Selasa, 29 Maret 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 4 Chapter 7 : Pada akhirnya, Tsurumi Rumi memilih jalannya sendiri

x  x  x






 Tidak peduli bagaimana kau menyebutnya, jerit malam adalah sebuah kegiatan luar ruangan di event perkemahan. Itu bukanlah tempat dimana kita memakai kostum atau VFX. Sebagai pengingat saja bagi panitia yang mungkin lupa, tugas kita sederhana: kau mensetting rute perjalanan ke kuil Budha, kau mengendap-endap dalam gelapnya malam untuk menggoyang-goyang pohon dan mengejar-ngejar orang dengan memakai kostum.

  Begitulah rencananya, tapi hutan ketika malam tiba merupakan sebuah kengerian tersendiri. Ketika suara pepohonan yang tertiup angin mulai terdengar, maka kau akan merasa kalau ada suara dari dunia lain terdengar di telingamu. Dan ketika wajahmu tertiup angin, kau seperti disentuh oleh kematian.

  Suasana semacam inilah yang kau rasakan ketika kau mereview jalur yang akan digunakan untuk tes keberanian, sekaligus merencanakan apa yang akan dilakukan pada malam itu. Setelah kami memeriksa jalurnya dari atas hingga bawah, kami sekaligus  menempelkan beberapa jimat kertas di sebuah Stevenson screen yang kami simbolkan sebagai kuilnya. Para siswa SD diharuskan untuk membawa jimat ini kembali.
[note: Stevenson Screen itu semacam rumah panggung kecil , biasanya untuk menaruh alat meteorologi agar aman dari cuaca buruk.]

  Meski kami sudah melakukan pekerjaan yang diperlukan, kami tetap memeriksa dimana saja ada tempat-tempat berbahaya sehingga para siswa SD tidak keluar jalur dan tersesat. Kami juga menandai area dimana kami akan muncul dan berperan sebagai monster; kami akan berpindah-pindah tempat sehingga para siswa SD akan kesulitan untuk melewati area itu.

  Meski aku belum pernah berpartisipasi dalam sebuah diskusi, mengesampingkan kalau ini adalah diskusi dan semacamnya, aku menggambar sebuah peta imajinasi di dalam kepalaku. Mappy tahu – jalan ini adalah jalan buntu.

  Ketika aku kembali ke tempat berkumpul para panitia, Yukinoshita memecah kesunyian.

  “Jadi, apa yang akan kita lakukan?”

  Yang akan kita lakukan sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kegiatan jerit malam.

  Yang dia tanyakan adalah bagaimana cara untuk menyelamatkan Tsurumi Rumi dari takdirnya. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya, biasanya orang-orang disini aktif sekali mengemukakan pendapatnya. Tapi yang terjadi saat ini, sunyi melanda tempat ini.

  Masalah ini memang sebuah hal yang sulit untuk ditangani.

  Tidak ada sesuatu yang baik dihasilkan dari sebuah saran ‘kau harusnya bersikap baik ke sesamamu’ seperti sebuah mantra, dan bahkan jika kita benar-benar mencairkan situasinya dengan memberitahu mereka apa yang harus dilakukan, sejarah akan berulang. Katakanlah begini, Hayama meminta Rumi untuk bergabung dengan grup mereka, tapi grup itu melihat dirinya seperti seorang pengganggu. Hayama adalah orang populer, dan mereka mungkin akan menerima Rumi karena permintaan Hayama. Tapi Hayama bukanlah orang yang akan selalu ada di grup mereka seharian. Kita harus melakukan sesuatu terhadap akar permasalahannya.

  Dan dari banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi ini, kita selalu mendapatkan jawaban yang itu-itu saja.

  Hayama mengatakan itu dengan perlahan.

  “Rumi-chan kurasa harus membicarakan itu dengan mereka, kurasa begitu. Kita akan mengusahakan agar situasi itu bisa terjadi.”

  “Tapi kalau kau lakukan itu, yang lainnya mungkin akan memperlakukan Rumi-chan dengan buruk...” Yuigahama mengatakan itu sambil menatap ke arah bawah.

  Tapi Hayama tetap tidak mau merubah pendapatnya.

  “Kalau begitu, kita akan mengusahakan situasinya agar dia bisa berbicara dengan para gadis itu satu-persatu.”

  “Itu sama saja. Mereka mungkin terlihat baik di depan, tapi di belakang mereka akan memulai itu lagi. Para gadis itu lebih menakutkan dari yang kau bayangkan, Hayato-kun,” Ebina-san mengatakannya dengan tubuh yang bergetar.

  Seperti yang kau duga, Hayama menjadi terdiam.

  “Apa, serius? Itu menyeramkan sekali!”

  Entah mengapa, Miura tiba-tiba mengatakan itu. Well, dia adalah tipe orang yang berbicara begitu saja. Karena dia adalah Sang Ratu, mungkin dia tidak begitu peduli dengan politik di belakang layar, mungkin dia merasa terkejut ketika mendengar itu.

  Kalau begini, menjadi riajuu adalah sebuah hal yang berat. Mungkin punya teman adalah ide yang buruk; kau juga harus membagi hal-hal yang buruk dengannya. Tidak, kalau begini, mereka hanya menyediakan pelarian saja agar status quo tetap terjaga.

  Tapi, status quo itu sendiri juga sebuah topik yang panas.

  Kalau begitu, itu adalah hal dimana kita harus turun tangan.

  “Aku punya sebuah ide.”

  “Ditolak.” Yukinoshita langsung memotongku.

  “Kau ini cepat sekali menyimpulkan sesuatu...Orang sepertimu itu tidak cocok untuk membeli rumah atau semacam itu.” Menurutku, dia harusnya memikirkan sesuatu dengan matang terlebih dahulu. “Ngomong-ngomong, dengar. Soal acara jerit malam nanti. Kita bisa memanfaatkan itu.”

  “Bagaimana kita memanfaatkannya?” Totsuka memiringkan kepalanya.

  Demi Totsuka, aku putuskan untuk menjelaskannya semanusia mungkin.

  “Tahu tidak, kata orang ... apa saja bisa terjadi dalam acara jerit malam?”

   Begitulah kataku, tapi semua orang di ruangan ini hanya terdiam. Ebina-san  melihatku dengan curiga seperti hendak menginterograsiku.

  Yuigahama, yang mengangguk seperti sedang memikirkan sesuatu, dia menyentuh tangannya sendiri seperti mendapatkan sesuatu.

  “Kau bisa membuat semua orang terkejut dengan Spasibo Efek! Lalu mereka akan menjadi akrab atau semacamnya?”

  “Kupikir yang kau maksud itu adalah Efek Placebo,” kata Hayama dengan senyum yang tidak selaras dengan tatapan matanya. Tatapan matanya melihatnya dengan ekspresi kasihan.

  “...Bahkan sebelum itu, kau membicarakan tentang Efek Suspension Bridge.” Yukinoshita menatap rendah ke arahnya, melihatnya dengan sedih.

  Entah mengapa, suasana di ruangan ini seperti sedang mengantar jenazah dari Yuigahama Yui.

  “A-Aku paham! Yang penting itu idenya!” Yuigahama mengoceh, wajahnya terlihat memerah.

  “Idenya juga salah,” kataku. “Coba pikir apa yang sering terjadi dalam acara jerit malam.”

  “...Mati karena terkejut, kurasa. Memang, tidak ada jejak adanya kekerasan fisik, jadi orang akan mengira itu adalah kecelakaan. Kurasa memakai metode itu sudah diluar kemanusiaan.” Yukinoshita menatapku seperti mengatakan metode itu sangat tercela.

  “Salah. Cara berpikirmu itulah yang diluar kemanusiaan...” Sambil pura-pura batuk, aku meneruskan jawabanku. “Jawabannya adalah – Tiba-tiba mengagetkan seseorang yang sedang serius mencari foto hantu dan membuat mereka lari ketakutan.”

  “Itu mustahil bisa terjadi.” Hayama dan Yukinoshita memotongku secara bersamaan.

  “Diamlah, itu bisa terjadi.”

  Memang. Tahu tidak, masalahnya, aku ini terinspirasi oleh pertemuan dengan seorang gadis yang sedang sendirian dan berkata, “Aku merasa ada hantu di dekat sini...” Lalu aku pikir akan sangat keren jika aku bisa melihat hantu juga, jadi aku menyiapkan kameraku untuk mengambil foto hantu.

  Tapi yang kutemukan bukanlah hantu, tapi manusia-manusia jahil. Mereka mengagetkanku di situasi terburuk, dan itu di tengah acara jerit malam.

  Aku sangat ketakutan, karena tiba-tiba ada sesuatu muncul begitu saja, lalu mereka mengejarku dan – well, mari kita tidak larut lebih jauh dalam cerita itu.

  Yukinoshita mendesah jijik.

  “Kau tidak menyimpulkan sesuatu yang klise seperti manusia adalah makhluk paling menakutkan dari kejadian itu, benar tidak?”

  “Manusia juga cukup menakutkan.” Komachi mengangguk setuju.

  Tapi.

  “Sebenarnya kurang pas. Yeah, tidaklah salah jika mengatakan manusia adalah makhluk paling menakutkan, tapi ketakutan itu sendiri bukanlah sesuatu yang jahat.”

  “Jadi rasa takut semacam apa yang kau maksud...?” tanya Yukinoshita.

  Aku berhenti sejenak sebelum menjawabnya.

  “Manusia yang paling menakutkan adalah orang yang paling dekat denganmu. Karena kau sangat mempercayai mereka dengan hidupmu, kau tidak akan pernah menyangka kalau mereka akan menusukmu dari belakang. Itu adalah hal yang paling menakutkan dari hidupmu. Seperti kata orang, musuh paling jahat adalah teman terbaikmu.”

  Aku menjelaskan itu dengan sewajar mungkin, tapi semua orang tampak terdiam.

  “Begini, kujelaskan dengan lebih sederhana.” Sebenarnya ini tidak terlalu sulit. “Manusia itu akan menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika terdesak. Ketika mereka merasa benar-benar terancam, mereka akan melakukan apapun untuk menyelamatkan diri mereka. Mereka tidak akan memikirkan tentang orang lain. Mereka bahkan akan mengorbankan orang jika itu bisa menyelamatkan mereka. Mustahil kau bisa bersama dengan orang yang pernah menunjukkan sisi jelek mereka dengan begitu jelas. Begitulah cara kita agar bisa memecah pertemanan mereka.”

  Aku menjelaskan maksudku itu dengan nada yang berbeda, tapi reaksi mereka diluar dugaanku. Semua orang hanya terdiam.

  “Jika semua orang menjadi penyendiri, maka tidak akan ada konflik.”

  Aku mengatakan kalimat terakhir tadi dengan nada yang hati-hati.







x  x  x






  “Wh-whoa...”

  Yuigahama merespon ketika aku selesai berbicara. Kedua mata dari Yukinoshita terlihat merendah, dia seperti mencoba untuk melirik ke arahku.

  “Hikitani-kun, itu adalah sesuatu yang menjijikkan...”

  Bahkan Hayama, yang tidak pernah mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, merasa jijik. Ini seperti ingin membuatku menangis saja. Terakhir kalinya aku merasa seperti ini ketika SD dalam kegiatan ‘merawat hewan’. Udang karang tersebut ternyata saling memakan satu sama lain, sehingga aku yang disalahkan ketika ada diskusi mengenai kegiatan itu.

  Hanya Totsuka yang terlihat mengangguk dan mengagumiku.

  “Hachiman, kau ternyata memikirkan banyak sekali hal.”

  Jika orang lain yang mengatakannya, mungkin akan terdengar seperti sarkasme, tapi jika Totsuka yang mengatakan itu, aku merasa kalau dia sedang memujiku. Jika seandainya aku tahu kata-katanya itu palsu, mungkin aku akan berniat untuk menghancurkan dunia ini.

  Yukinoshita lalu mengambil alih jalannya diskusi.

  “Apa ada ide yang lain...” dia mengatakan itu. “Kalau begitu, maka kita tidak punya pilihan lain lagi.” dia tampaknya sudah memutuskannya.

  Lakukan malam ini, atau tidak usah sama sekali. Bukannya aku mau mengatakan kalau saat ini kita memiliki banyak pilihan.

  Tapi ekspresi Hayama jauh dari kata senang.

  “Tapi itu tidak akan menyelesaikan masalahnya, benar tidak?” dia menanyakan itu.

  Memang, seperti kata Hayama. Ini tidaklah menyelesaikan masalahnya. Semua tahu itu salah tanpa perlu dijelaskan lagi.

  “Tapi kita bisa menghapus masalahnya.”

  Ketika aku menegakkan kepalaku, Hayama menatapku langsung. Tatapannya sangat lurus sehingga aku memalingkan pandanganku karena malu.

  Tapi dia tidaklah salah.

  Kalau kau khawatir dengan hubunganmu, maka kau tinggal hancurkan hubunganmu dan kekhawatiranmu akan hilang.  Hancurkan alasan yang membuatmu menjadi orang yang kalah. Itu bukanlah masalah. “Aku tidak boleh kabur” adalah sesuatu yang ada di pikiran orang-orang yang kuat. Itu adalah hal yang salah, karena itulah yang ditanamkan oleh dunia ini.

  Kata-kata “Aku tidak salah – tapi dunia inilah yang salah” mungkin terdengar sebagai sebuah alasan, tapi itu bukanlah hal yang salah. Setidaknya pasti ada yang benar dari seluruh tindakanmu selama ini. Akan ada banyak situasi dimana tetanggamu, komunitas sosial, dan dunia inilah yang salah

  Kalau tidak ada yang mau membuktikan itu, maka aku yang akan membuktikannya.

  Hayama terus menatapku. Tapi tiba-tiba dia tersenyum.

  “Jadi begitukah cara berpikirmu, huh...Aku mulai paham mengapa dia lebih dekat denganmu.”

  Ketika aku hendak bertanya siapa dia yang dimaksud, Hayama langsung menambahkan.

  “Oke. Kita akan mengikuti strategi ini...Tapi, aku bertaruh kalau mereka akan tetap solid dan menyelesaikan masalah sebagai sebuah grup. Aku ingin percaya kalau itu adalah sifat alami mereka ketika terjadi masalah. Aku yakin kalau mereka itu adalah anak-anak yang baik.”

  Hayama mengatakan itu dengan senyum yang ceria, aku kehilangan kata-kata. Meski kita setuju dengan metode yang sama, seberapa dalam keyakinan kita ini akan  bentrok nantinya?

  “Huh? Ini pasti tidak akan menyenangkan,” kata Miura.

  “Sial,” kata Tobe. “Aku ikut saja apa kata kalian.”

  Setelah Hayama menenangkan komplain Tobe dan Miura, dia menatapku.

  “Kita akan ikut ide Hikitani-kun. Kaulah auteur-nya.”
[note: auteur itu semacam teori dalam perfilman, yaitu sesuai visi dari sang sutradara.]

  “...Oke.”

  Meski peran Hayama nantinya merupakan peran yang tidak menyenangkan, dia tetap mengatakan kalau dia akan melakukannya.

  Kalau begitu, aku akan meyakinkan diriku juga.

  Juga, apa sih artinya auteur? Apa itu sesuatu yang harus kulakukan?






x x x






  Ketika kita membuat persiapan untuk acara jerit malam, Hiratsuka-sensei memanggil kami untuk berkumpul di ruang tamu.

  “Saya ada permintaan kepada kalian untuk mengarang dan menyebarkan cerita-cerita hantu untuk membuat acara jerit malam menjadi lebih seru,” kata Hiratsuka-sensei, mengumumkan misi selanjutnya.

  Dalam sebuah acara tes keberanian, cerita hantu merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Meski kita sudah menyebarkan cerita hantu, meski kita juga berpakaian seperti hantu, kesuksesan itu semua tergantung dari seberapa takut si siswa SD tersebut.

  Ada yang bilang kalau bentuk hantu yang sebenarnya adalah rumput berwarna putih yang berterbangan, tapi ketika orang sudah larut dalam ketakutan mereka yang terdalam, mereka akan berhalusinasi tentang sebuah penampakan yang luar biasa.

  Kau bisa katakan kalau fenomena hantu itu lahir dari kesan subjektif dan kesalahpahaman. Pada dasarnya, merasa ada biji jagung utuh dalam sop jagung yang dihaluskan atau melihat mangkuk bergerak setelah kau menuangkan sup miso panas ke dalamnya juga sebuah kesan subjektif. Kau salah paham dengan apa yang kau lihat. Tidak ada yang misterius di dunia ini.

  “Apa ada yang punya cerita hantu?” tanya Hiratsuka-sensei.

  Kami hanya bisa menatap satu sama lain.

  Well, ini bukannya Tomori si Tukang Cerita, jadi kami tidak punya banyak sekali cerita hantu. Satu-satunya orang yang mengangkat tangannya selain diriku adalah Totsuka.

  “Hmph. Totsuka dan...Hikigaya, huh. Sebuah kombinasi yang memberikan kesan menakutkan. Coba ceritakan cerita kalian.”

  Agar acara jerit malam menarik, kami akan menceritakan cerita hantu di hadapan dua kelas yang masing-masing kelas terdiri dari 30 siswa – dengan begitu, ada 60 siswa. Harusnya, kita tidak akan menceritakan cerita yang kurang bagus.

  Kami meminjam ruang tamu penginapan dan duduk membentuk lingkaran. Kami bahkan meminjam lilin untuk meningkatkan suasananya.

  Totsuka dan diriku setuju untuk menceritakan cerita kami berurutan dengan tanda kontak mata. Setelah persiapan selesai, Totsuka menaikkan tangannya, seakan tidak mempedulikan kesunyian di ruangan ini.

  “Oke, aku yang pertama...”

  Lampu ruangan ini sudah dimatikan, hanya menyisakan beberapa lilin yang menyala sebagai sumber cahaya. Ketika ada angin bertiup dari jendela yang terbuka, api lilin itu bergerak-gerak dan bayangan kami disini terlihat berbentuk aneh.

  “Ini cerita tentang Senpai-ku. Senpai-ku itu semacam pembalap jalanan.”

“Suatu hari, dia menantang turunan di sebuah gunung sendirian, seperti yang biasa dia lakukan. Tapi dia dihentikan oleh sebuah mobil patroli polisi. Dia merasa ini aneh karena dia tidak melanggar batas kecepatan. Lalu, si polwan yang keluar dari mobil patroli itu berbicara dengannya.”

Polwan :
    “Melanggar hukum jika ada dua orang dan salah satunya tidak memakai helm...huh? Apa yang terjadi dengan gadis yang ada di belakangmu?”

  “Senpai selalu berkendara sendirian; dia tidak pernah membonceng siapapun. Jadi...Apa yang si polisi perempuan tadi lihat...? Dan kemudian hari berikutnya...”

  Totsuka menyeka keringat yang muncul di kepalanya.

  “Senpai berdansa dengan nasib sial.”

  Ini antiklimaks. Ada apa dengan Engrish? Dia terlalu banyak membaca manga amerika...

  Semua orang yang mendengarkan terlihat kecewa. Tapi Totsuka terus berbicara. Aku harus akui keinginannya yang kuat itu.

  “Senpai itu adalah ayah dari dua orang anak. Dia berhenti menjadi pembalap jalanan dan mulai bekerja. Lalu dia membangun sebuah keluarga yang bahagia setelah menikahi polwan tadi, yang menghentikannya tempo hari. Hingga hari ini, istrinya lebih menakutkan dari hantu.”

  “Siapa yang mau mendengarkan cerita bahagia semacam itu...?” Hiratsuka-sensei mengatakan itu dengan ekspresi jijik.

  Heh, aku juga merasa kalau cerita seperti itu bukanlah cerita hantu. Aku akan mengajari para berandalan ini tentang ketakutan yang sebenarnya.

  “Sekarang giliranku.”

  Akupun membawa lilin mendekat ke posisi dudukku, membiarkannya menggesek lantai. Cahaya dari api lilin itu menyelimutiku. Aku akan menceritakan mereka sesuatu yang menakutkan – percaya padaku!

  “Ini berdasarkan kisah nyata...”

  Setelah aku mengatakan pembuka khas itu, suara-suara orang berbisik di sekitarku tiba-tiba terdiam. Aku bisa mendengar suara mereka yang sedang menghirup udara.

  “Ini terjadi ketika aku masih SD, ketika sekolah kami punya kegiatan semacam perkemahan. Mereka mengadakan acara jerit malam. Memang...terjadi di suatu malam seperti yang akan kita lakukan.”

  “Kami dibagi menjadi beberapa grup, disuruh untuk membawa kembali kertas jimat di kuil kecil yang berada di tengah hutan. Semua berjalan lancar hingga giliran grup kami tiba, tapi semua trik-trik dalam acara itu sudah diatur oleh guru. Tidak ada satupun hantu yang ada di sekitar kita.”

  Para guru dan orang-orangan sawah dengan aksesoris di kepala mereka mungkin berhasil membuat kami ketakutan, tapi kami akhirnya berhasil mengambil jimat tersebut dan kembali dengan selamat.

  “Dalam perjalanan tidak terjadi apapun, hanya beberapa kejadian seperti berteriak di sana-sini. Begitulah pikirku. Tiba-tiba salah satu member grup kami, Yamashita-kun, berkata.”

  Yamashita:
    “Siapa yang memegang jimat grup kita?”

  “Kata-kata itu membuat grup kami terpecah. ‘Bukannya kamu?’, ‘Bukan, itu bukan aku.’, ‘Bukan aku juga...’, ‘Lalu siapa?’ . Orang-orang di grup tidak ingat siapa yang memegang jimatnya. Aku sendiri takut, tahu tidak. Sepatuku bahkan bergetar hebat, dan akupun hampir menangis.”

  “Lagipula...”

  Akupun menutupnya.

  Semua mata memandangku – tidak, tidak kepadaku, mungkin kepada kegelapan yang berada di belakangku.

  “Tidak ada yang menyadari kalau akulah yang memegang jimat itu...”

  Setelah kututup ceritaku, akupun meniup lilin itu.

  Dalam kesunyian yang melanda ruangan ini, aku mendengarkan desahan Yuigahama.

  “Bukankah itu cuma cerita seorang penyendiri.”

  “Akan lebih menakutkan jika Hikigaya-kun akhirnya berteman akrab dengan grup jerit malamnya waktu itu.” Yukinoshita menatapku dengan dingin.

  Dia benar sekali, dan aku tidak bisa menyangkalnya.

  “Ya sudah, apa itu cerita terbaik kalian?” Hiratsuka mengembuskan napasnya yang dalam, sangat dalam.

  “Err, apa yang anda harapkan dari para amatir untuk tiba-tiba menceritakan sesuatu...?” tanyaku.

  “Hmm...Tapi itu adalah skill yang dibutuhkan agar bisa bekerja nanti setelah dewasa. Kau akan diminta untuk menceritakan cerita lucu di pesta minum-minum. Kau tidak akan punya kesempatan yang lain untuk menajamkan skill berceritamu. Itu bisa membuat hubunganmu dengan rekan kerja semakin lancar di kemudian hari.”

  Itu cukup mengejutkanku. A-Aku tidak tahu itu...

  “Apa yang Sensei katakan...? Karena aku tidak punya harapan, dan aku berniat tidak bekerja. Bukankah itu lingkungan dimana aku akan berada kelak, benar tidak?”

  “Kau ini terlalu negatif...Aku akan tunjukkan bagaimana caranya,”

  Hiratsuka-sensei mengatakan itu sambil menyalakan salah satu lilinnya.

  Semakin tua, maka semakin bijak – itulah kata orang. Setidaknya, kita akan mendengar cerita hantu dari orang dewasa. Dengan ekspresi penuh ekspektasi (“Dia akan menceritakan kita! Sebuah cerita yang akan membuat kita ketakutan!”), kamipun melihat ke arah Hiratsuka-sensei.

  Hiratsuka-sensei melihat tatapan kami ini dengan senyuman dan mulai menceritakan ceritanya.

  “Aku punya seseorang yang bisa kau sebut sebagai teman baik. Mari kita panggil dia Kinoshita Haruka. Tapi 5 tahun lalu, Kinoshita Haruka menghilang...Kata-kata terakhir yang dia katakan kepadaku adalah ‘aku akan pergi duluan’. Setelah itu, aku tidak pernah bertemu dengannya...”

  “Tapi sesuatu terjadi beberapa hari yang lalu. Seorang wanita yang familiar muncul di depanku. Dia tersenyum kepadaku. Ternyata dia adalah temanku yang kukira hilang. Ketika aku hendak memanggilnya, aku melihat sesuatu di belakangnya – wajah yang sedang menyeringai...”

  Sensei menceritakan itu dan wajahnya berubah menjadi pucat. Tampaknya dia sangat ketakutan. Ekspresinya itu membuat bulu kudukku berdiri.

  “...Anak kecil yang digendongnya ternyata berusia 3 tahun. Itu ternyata menakutkanku.”

  Hiratsuka-sensei meniup lilin di depannya itu dan ruangan ini berubah menjadi gelap gulita.

  Suasana yang sunyi ini mulai mengisi ruangan ini, aku sendiri tidak bisa menahan diriku.

  “Ternyata dia selama ini mengubah namanya dan punya anak...” akupun menggumamkan itu.

  Tolong siapapun cepat lamar dia. Kalau tidak, bisa-bisa akulah yang melamarnya karena kasihan.

  Pada akhirnya, tidak ada seorangpun dari kami yang punya cerita hantu yang cocok, jadi kita memutuskan untuk melihat beberapa DVD “Film Hantu Sekolahan” yang ada di penginapan ini.







x x x






  Ketika para SD sedang disuguhi cerita hantu yang berasal dari DVD, para panitia dari siswa SMA melakukan persiapan akhir untuk tes keberanian.

  Sementara itu, Yukinoshita dan yang lain melakukan persiapan, aku dipanggil oleh Hayama untuk mengkonfirmasi detail rencananya. Setelah kami mengkonfirmasi skenario dan poin-poinnya, kami mulai membahas tentang grupnya.

  “Jadi kita hanya muncul ketika grup Rumi-chan ini lewat, benar?” Tanya Hayama.

  “Yeah, kau benar. Itu pasti akan memakan waktu, jadi kau harus membuat grup mereka itu berangkat paling akhir. Apa kau akan melakukan semacam trik agar mereka bisa berangkat terakhir?”

  “Nah, kurasa itu kurang realistis dan memakan banyak waktu. Kita akan menamakan grup-grup mereka sesuai apa yang kita mau. Benar...Lalu kita akan mengatakan akan memanggil grup yang berangkat secara acak dengan tujuan untuk meningkatkan tekanannya karena para siswa belum mempersiapkan mentalnya.”

  Diskusi dengan Hayama ini berlangsung mulus. Aku sendiri merasa kalau diriku ini cukup pintar, tapi Hayama selalu selangkah di depanku. Mulutnya itu seperti mengeluarkan begitu saja logika-logikanya dengan lancar, ini memang cukup misterius.

  “Kalau begitu, kuserahkan padamu,” akupun menutup diskusi ini.

  “Oke. Oh bagaimana kau akan menuntun mereka ke pos kami?”

  “Aku akan memindahkan tanda lingkaran yang menunjukkan rute sebenarnya, dan membuat tanda baru yang menggiring mereka ke posmu. Kau dan yang lain tinggal tunggu mereka di ujung jalan itu.”

  “Oke. Juga, soal Tobe dan Yumiko, aku khawatir mereka kesulitan untuk mengingat skenarionya dengan baik.”

  Ah, jadi mereka bukanlah orang yang bisa mengingat sesuatu dengan baik.

  “Kau harusnya menuliskan rangkumannya di HP mereka. Akan terasa wajar jika mereka terlihat bermain-main dengan HP-nya. Bahkan, itu akan terasa lebih realistis jika mereka memainkan HP-nya dengan ekspresi bosan.”

  “Aku tidak pernah membayangkan ide semacam itu...”

  Hayama lalu menggerakkan jari-jarinya di tablet miliknya dan menuliskan detailnya dengan cepat. Sikap businesman seperti itu memang terlihat luar biasa.

  Di lain pihak, ini adalah pembicaraan pekerjaan yang paling menyenangkan. Kau tidak perlu basa-basi untuk membuka pembicaraan, juga tidak perlu mempertimbangkan perasaan orang lain. Sangat bagus mengatakan hal-hal kasar dalam pekerjaan dan dimaklumi karena itulah yang sedang kita kerjakan.

  “Jadi seperti ini, huh? Aku akan menjelaskan seperti ini kepada Tobe dan Yumiko.”

  “Kuserahkan ini kepadamu,” kataku, meski aku sendiri sepertinya tidak perlu memberitahunya.

  “Baiklah, sampai jumpa nanti.”

  Setelah pertemuan berakhir, aku berpisah dengan Hayama, yang berjalan menuju Miura dan Tobe untuk mendiskusikannya.  Untuk saat ini, kuputuskan untuk membantu Yukinoshita dan yang lain dengan persiapan mereka.

  Aku menyebut itu sebagai persiapan, tapi sebenarnya bukan hendak menampilkan sebuah penampilan atau semacamnya. Pada dasarnya, kita hanya perlu ‘bergentayangan’ dan menakut-nakuti anak kecil.

  Dalam hal ini, daripada mempersiapkan cerita-cerita hantu untuk menakut-nakuti mental para anak-anak ini, yang memberikan kesan paling kuat adalah tampilan hantunya. Kalau mempertimbangkan korban kita ini adalah anak SD, maka kemunculan hantu akan lebih memberikan efek takut daripada cerita-cerita hantu. Sederhananya, muncul dari kegelapan malam dan membuat mereka berteriak adalah hal yang paling berkesan bagi mereka. Dulu ketika SD, ada Jason Voorhees muncul entah dari mana, ada suara-suara doa kitab Budha terdengar di beberapa titik, dan hantu dimana kepalanya terikat sesuatu berterbangan di dekat garis finish – itu menghasilkan suasana yang mencekam.

  Pengelola perkemahan ini, juga menyediakan properti untuk mengadakan kegiatan semacam itu, mereka punya berbagai kostum monster. Para guru mengambil properti itu dan memberikannya kepada kita.

  Mereka menyiapkannya dengan baik, tapi aku mulai menggaruk-garuk kepalaku setelah melihatnya.

  “Kostum setan...Telinga kucing dan ekor...Yukata berwarna putih...Topi penyihir beserta mantel dan jubahnya...Kostum gadis kuil...”

  Tentunya, kostum-kostum ini sangat bagus, tapi bukankah kostum ini lebih cocok dipakai di event lain? Ini adalah kostum-kostum Halloween.

  Menurut Hiratsuka-sensei, para guru SD sudah menyiapkan ini dengan baik. Tapi, kalau dilihat dari sudut manapun, para guru SD itu tampaknya hanya ingin melihat para anak SMA bercosplay-ria dengan kostum ini. Ini membuatku ingin menjadi guru di masa depan.

  Pertama-tama, Ebina-san mengambil kostum gadis kuil. Ebina-san, yang punya tampilan wajah lugu meski dia sendiri anggota grup Miura, tampak cocok sekali dengan kostum bergaya Jepang tersebut. Dia tampak berkharisma daripada menakutkan, begitulah menurutku. Kira-kira apa dia akan memunculkan aura yang menakutkan ketika dia benar-benar berada di kuil...

  Lalu aku pindah ke sudut yang lain untuk melihat kostum apa yang mereka pakai.

  Aku melihat Totsuka sedang merapikan topinya. Dia kemudian menarik-narik lengan jubahnya.

  “Kira-kira, penyihir itu termasuk monster apa tidak ya...” dia menggumamkan itu.

  “Well, kasarnya begitu.”

  Kecuali yang kau pakai itu sebenarnya adalah kostum penyihir perempuan, dilihat dari manapun sudah jelas itu. Sharanraaaan.

  “Tapi bukannya ini tidak menakutkan?”

  “Nah, ini menakutkan. Kau cocok sekali.”

  Yeah, ini memang menakutkan. Kalau begini terus, aku mungkin akan berakhir dengan rute Totsuka, jadi yeah, ini memang menakutkan.  Heh...Bukannya kau yang sudah memantraiku dengan sihir terlarang itu? Apa-apaan sih yang kukatakan?

  “Onii-chan, onii-chan.”

  Seseorang menepuk pundakku – tidak, sensasinya seperti ada yang memantul daripada menepuk. Ketika kulihat, ada cakar kucing yang merupakan bagian dari kostum.

  “Apa ini – monster kucing?”

  “Kupikir begitu...”

  Mungkinkah ini salah satu kostum milik Grup Teater Shiki? Sampai pada akhirnya aku sadar kalau dia ternyata adikku.

  Tubuh Komachi seperti diselimuti bulu hitam, dan memakai telinga kucing beserta ekornya.

  “Aku tidak paham kostum apa ini, tapi terlihat imut jadi aku tidak peduli,” kataku.

  Gadis yang cantik akan tetap terlihat manis, tidak peduli apapun yang dia pakai. Mungkin dia akan terlihat manis jika berada dalam Mobile Suit. Sumber : Nobel Gundam dari G Gundam.

Sambil memutar-mutar cakarnya, seperti memeriksa keleluasaan gerakan kostumnya, ada makhluk yang mirip hantu muncul entah dari mana.

  “.....”

  Sang Hantu itu menyentuh telinga kucing Komachi.

  Sentuh, sentuh.

  “Er, um...Yukino-san?”

  Tepuk, tepuk.

  Yukinoshita kali ini fokus ke ekornya.

  Remas, remas.

  Lalu dia mengangguk. Apa-apaan? Kesimpulan apa yang dia dapatkan barusan? Dia seperti seorang ahli yang menyimpulkan sesuatu. Dia seperti hendak mengatakan Tampilan yang bagus, kawanku.

  “Kostummu bagus,” dia mengatakan itu. “Malah kurasa cocok untukmu.”

  “Teruma kasih banyak, Yukino-san. Kau juga terlihat keren sekali! Benar tidak, Onii-chan?”

  “Yep. Sebuah kimono memang cocok denganmu. Kau benar-benar mirip hantu wanita salju. Kau ini sudah membunuh berapa orang?”
[note: Ada mitos di pegunungan bersalju Jepang jika ada pemuda berjalan sendirian, maka akan ada wanita berkimono putih meminta tolong untuk membantunya berjalan. Tapi di perjalanan, si hantu wanita tadi membunuh pemuda tersebut.]

  “...Apa kau barusan memujiku?” Alis dari Yukinoshita terlihat bergerak-gerak. Lalu entah mengapa suasana di sekitar kita mulai mendadak dingin.

  “Ah, dingin sekali udaranya. Kau benar-benar hantu wanita salju. Kau pembawa kematian.”

  Setelah aku membalasnya, Yukinoshita membalikkan rambut panjangnya yang berada di bahunya dan melihat ke arahku.

  “Kau juga pembawa kematian, Hikigaya-kun. Kau terlihat seperti zombie betulan. Mata busukmu itu selevel dengan zombie buatan Hollywood.”

  “Aku ini tidak sedang memakai make-up atau kostum.”

  Akupun menatap Yukinoshita, tapi setelah itu aku langsung memalingkan pandanganku setelah dia menatapku balik.

  Sekarang aku tidak melihat ke Yukinoshita, kedua mataku sekarang melihat ke arah Yuigahama, yang sedang melihat-lihat tampilan dirinya dengan kostum.

  Ketika kulihat, dia senyum-senyum saja di depan cermin besar itu, lalu dia tiba-tiba menggeleng-gelengkan kepalanya, seperti mengatakan lebih baik untuk tidak melakukannya. Lalu, setelah dia melepaskan napas kecilnya dan memiringkan kepalanya, dia memasang pose ceria. Dia seperti orang yang hendak menghadiri event cosplay pertamanya.

  “Kau tampak sibuk sekali,” akupun memanggilnya.

  “Oh, Hikki...”

  Yuigahama memeluk dirinya sendiri seperti hendak menyembunyikan tubuhnya. Tapi kurangnya rasa percaya diri itu terlihat jelas dari ekspresi wajahnya.



  Akupun berbicara. “Um, kau ini...”

  Wajahnya yang menatap ke arah bawah kali ini langsung menatap ke arahku, seperti mengantisipasi kata-kataku.

  “Er, um...bagaimana tampilanku ini?”

  “Tampilanmu tampak berlebihan, kalau kukatakan pendapatku, nantinya kau bisa mengira kalau aku ini sedang becanda...Sayangnya, aku tidak berminat untuk melakukannya.”

  Er, apaan...? Yuigahama terlihat memikirkan sesuatu, lalu dia mengatakan sesuatu seperti sadar maksudku apa.

  “Kau harusnya pura-pura saja memujiku...dasar bodoh!” Yuigahama lalu membalikkan badannya dariku dan kembali lagi ke cerminnya dengan suasana hati yang lebih baik.

  Komachi, yang mungkin melihat adegan itu dari awal hingga akhir, membuat suara yang mengganggu dan terkesan licik.

  “Onii-chan, kau ini Hinedere.”

  “Jangan membuat istilah-istilah aneh.”

  Ketika aku merasa kalau meladeni tembok beton kecil ini serasa menjadi usaha yang sia-sia, grup Hayama muncul.

  Ketika kulihat mereka, sepertinya Miura dan Tobe sudah mempersiapkan diri mereka. Miura terlihat sangat menakutkan meski tanpa memakai kostum. Dengan kata lain, dia memang menakutkan sepanjang waktu.

  “Hayama.”

  Ketika kupanggil Hayama, dia mengangguk dan mulai berbicara.

  “Baiklah, ayo kita briefing dulu sebelum berangkat.”

  Masih ada sedikit waktu sebelum acara jerit malam dimulai.

  Meski semua orang disini tahu kalau tindakan ini akan menimbukan kesan buruk dan tidak ada sesuatu yang bagus dari ini, tidak ada yang mampu menghentikannya, dan begitulah hingga waktu berjalan dengan sendirinya.






x x x






  Mungkin bertujuan untuk menguatkan suasananya, sebuah api unggun kecil dibuat di dekat tempat start. Setiap kali ada kayu bakar baru ditambahkan, sebuah percikan api muncul dari api unggun tersebut.

  “Baiklaaah! Selanjutnya adalah grup ini!”

  Ketika Komachi menunjuk ke sebuah grup, anak-anak itu terlihat kegirangan. Setelah semua orang di grupnya berkumpul, dan mulai menunjukkan antusiasmenya, mereka berbaris di posisi start.

  Tigapuluh menit berlalu semenjak grup pertama berangkat. Kalau melihat jumlah grup yang masih ada di start, kira-kira sudah 70% grup yang telah berangkat.

  Seperti kata Hayama, skenario berjalan lancar ketika kita memilih grup yang berangkat secara acak tanpa menentukan urutannya terlebih dahulu. Para siswa SD ini, menunggu dengan antusias sambil menerka-nerka apakah mereka yang akan berangkat selanjutnya, mereka terlihat sedikit gugup. Untuk itu, Hayama terlihat mengembuskan napas lega seperti melihat semua ini sudah sesuai rencana. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu ke telinga Tobe dan Miura. Mungkin mereka hendak berdiskusi lagi untuk merampungkan persiapan akhir rencana kita.

  “Tugas kalian adalah mengambil kertas jimat dari kuil kecil yang berada di dalam hutan”.

  Totsuka mengumumkan peraturan sederhana tersebut sambil berdiri di pintu masuk ke hutan dengan kostum nenek sihir. Awalnya, dia terbata-bata ketika mengatakannya, mungkin karena gugup, tapi pada akhirnya dia terbiasa setelah mengirimkan beberapa grup masuk ke dalam hutan. Sekarang, dia melakukannya dengan wajar.

  Mungkin tidak akan ada masalah jika kutinggalkan Komachi dan Totsuka disini. Lagipula, ada Hiratsuka-sensei bersama mereka. Kurasa tidak akan ada masalah besar.

  Secara perlahan, aku mulai berjalan meninggalkan mereka untuk melihat bagaimana acara jerit malam ini berjalan. Saatnya untuk melihat bagaimana yang lainnya menangani pos mereka.

  Akupun berjalan diantara semak-semak di pepohonan sehingga para siswa SD tidak akan melihat kehadiranku.

  Pos pertama dijaga oleh Yuigahama.

  Ketika ada grup yang lewat, dia tiba-tiba muncul dari balik pohon.

  “Rawr! Aku akan memangsa kalian!”

  ...Apa-apaan dengan cara menakut-nakuti yang buruk itu? Apa dia Gachapin?

  Dikejutkan oleh gadis remaja yang tampak kikuk, para siswa SD itu hanya tertawa dan melanjutkan perjalanannya.

  Setelah grup itu melewati posnya, bahu Yuigahama terlihat merendah dan dia menggumam.

  “Wow...Aku ini seperti orang bodoh saja...”

  Ouch...

  Kupikir aku akan membuatnya tidak nyaman jika aku memanggilnya atau sejenis itu, kuputuskan untuk meninggalkannya saja. Akupun mengambil jalan pintas, menembus semak belukar dan pohon, lalu berjalan lurus ke depan.

  Selama perjalanan, aku bisa mendengarkan suara obrolan dari para siswa SD.

  Mereka membicarakan  dan menertawakan tentang bagaimana para panitia yang menjadi hantu dan ternyata tidak menakutkan mereka sama sekali. Kira-kira mereka benar-benar tidak takut atau pura-pura berani? Tapi ketika aku membuat suara rumput yang bergeser oleh sepatuku, suara mereka terhenti.

  “Eh, barusan itu apa?”

  “Kupikir aku baru saja melihat sesuatu.”

  “Kurasa itu tidak ada apapun...”

  Begitulah yang kudengar dari suara mereka yang pelan.

  Hal yang paling menakutkan adalah sesuatu yang tidak bisa kau lihat. Tanpa menunjukkan diriku, aku bergegas menuju pos selanjutnya.

  Jauh di dalam hutan, terasa sangat gelap sekali, dan itu saja sudah membuat kulitku seperti diselimuti sesuatu. Mungkin ini memang malam di musim panas, tapi malam di daratan tinggi sangatlah dingin. Karena itu, aku tidak bisa merasakan apakah ini dingin karena cuaca atau karena kehadiran dari suatu makhluk yang tidak familiar.

  Jalan yang kulalui ini hanya diterangi oleh cahaya bulan dan bintang. Tidak beberapa lama, jalan tersebut bercabang menjadi dua.

  Sebuah sosok terlihat. Cahaya bulan menembus pepohonan, menyinari kulitnya yang putih pucat, sementara tiupan angin membuat sosok itu terlihat seperti sebuah ilusi.

  Aku tidak bisa mengucapkan satupun kata.

  Bukan karena aku takut. Aku melihat sebuah kecantikan yang tidak bisa kugambarkan dan itu membuat bulu kudukku berdiri. Aku merasa salah jika aku membuka mulutku, kecantikan ini seperti mempunyai garis yang tidak boleh kulewati.

  Aku cukup yakin kalau banyak hal di dunia selama ini terjadi dari proses seperti itu. Mitos yang diceritakan turun-temurun, dan mereka menganggap itu sebagai sosok supranatural. Pikiran-pikiran itu mulai muncul di kepalaku.

  Sementara Yukinoshita Yukino tetap menjadi hantu, aku hanya bisa berdiri dan terdiam menatapnya. Cahaya bulan dan dinginnya tiupan angin mulai menyentuh kulitku.

  Waktu terus berjalan, entah berapa detik sudah berlalu.



  Dia lalu menoleh, seperti merasakan kehadiran seseorang. Dia lalu menatap ke arahku; aku sendiri sedang berada di bawah bayangan pohon.

  “Ahhh!”

  Terkejut karena kemunculanku yang tiba-tiba, Yukinoshita tiba-tiba mundur sekitar 2 meter dari tempatnya.

  “...Hikigaya-kun?”

  Tatapan matanya terus menatapku lalu dia memegangi dadanya seperti merasa lega.

  Apa-apaan dengan reaksinya itu...? Itu membuatku merasa malu saja.

  “Ternyata kau sedang bekerja keras disini.”

  “Kupikir tadi kau itu hantu...Matamu seperti zombie.”

  Ya ampun, reaksinya tidak ada manis-manisnya. Akupun membalasnya dengan nada sinis.

  “Bukannya dulu kau pernah bilang kalau hantu itu tidak ada?”

  “Memang, aku pernah bilang begitu.”

  “Kau terlihat ketakutan barusan,” kataku.

  Yukinoshita tiba-tiba menegakkan posisi tubuhnya. Dia menatapku dan mulai berceramah.

  “Aku tadi tidak takut. Ketika kau mempercayai kalau hal-hal semacam itu ada, maka otakmu akan terhubung dengan visual cortex. Dari sudut pandang medis, ada pernyatan kalau pikiran itu bisa memberikan efek ke seluruh tubuh. Oleh karena itu, hantu itu tidak ada. Atau, dengan kata lain, mereka tidak akan ada selama kau percaya mereka tidak ada. Pastinya begitu.”

  Dia seperti mencari-cari alasan saja...Terutama dengan menambahkan ‘pastinya begitu’ di akhir kalimatnya.

  “Ngomong-ngomong, ini sampai kapan?” tanya Yukinoshita.

  “Sudah sekitar 70% yang berangkat. Sebentar lagi akan selesai.”

  “...Begitu ya. Tampaknya kita masih akan harus disini untuk sementara waktu,” dia mendesah kesal.

  Pada saat itu, rumputnya berbunyi. Tiba-tiba bahu Yukinoshita naik seperti bereaksi akan suara tersebut.

  Jadi kau benar-benar ketakutan, huh.

  Oh sial. Ada grup yang melihat ke arah kita. Kalau begini, mereka akan melihatku dengan jelas. Ketika aku hendak bersembunyi di bayangan pepohonan, sesuatu menahanku. Ketika aku kulihat, Yukinoshita memegangi lenganku.

  “Ada apa...?” tanyaku.

  “Huh? Oh...”

  Yukinoshita pasti melakukannya secara spontan, karena ketika dia mendengar pertanyaanku, dia tetap terdiam. Setelah dia sadar dengan apa yang dia lakukan, dia melepaskan lenganku dan membalikkan tubuhnya.

  “...Tidak ada apa-apa. Yang terpenting, kau harus cepat-cepat sembunyi?”

  “Maaf. Tampaknya kita sudah telat.”

  Sebelum aku bisa bergerak, anak-anak tersebut sudah melihatku. Anak yang ada di barisan terdepan melihatku dengan jelas.

  Melihat seorang pria dengan pakaian normal pasti akan membuat suasana seramnya hilang. Aku tidak ingin menghancurkan suasana acara jerit malam.

  Begitulah dugaanku, tapi anak-anak ini malah terlihat seperti baru saja melihat sesuatu yang menakutkan.

  “Z-Zombie?!”

  “Bukan, itu ghoul!”

  “Kedua matanya terlihat menakutkan! Ayo kabur!”

  Anak-anak tersebut langsung lari secepat mungkin. Akupun melihat ke arah langit yang berbintang ini, seperti hendak menangis saja.

  Yukinoshita terlihat tersenyum dan menepuk pundakku.

  “Kau bagus sekali tadi. Sudah menghibur anak-anak itu. Mereka akan punya kenangan indah karena mata busukmu itu, benar tidak?”

  “Kau ini tidak tahu caranya membuat orang tenang...”

  Kenapa gadis ini harus menendangku ketika aku sudah jatuh terkapar...

  “Ya sudah, aku pergi duluan.”

  “Baiklah. Sampai nanti.”

  Akupun terus berjalan ke depan dan meninggalkan Yukinoshita di belakang. Para siswa SD mungkin ada di depanku, tapi aku bisa mengambil jalan pintas jika aku menerobos semak belukar ini.

  Dengan jalan pintas, aku akhirnya sampai di api unggun yang berada di garis finish.

  Dekat kuil kecil yang ada di garis finish, Ebina-san sedang melambai-lambaikan ranting pohon. Apa dia hendak mengucapkan mantra atau sejenisnya. Bisa jadi.

  “Aku berdoa atas nama surga!” dia bahkan melakukan ritual doa dalam Shinto.

  Ngomong-ngomong, gadis ini serius sekali. Setidaknya untuk ritual doa Shintonya. Wow, aku seperti idiot saja.

  Well, melihat ada seorang gadis kuil tiba-tiba muncul di depanmu ketika kau lengah mungkin akan menakutkan.  Apalagi gadis kuil tersebut sedang melakukan ritual doa. Akupun mendekatinya.

  Ebina-san menyadariku dan menoleh ke arahku.

  “Hi-Hikitani-kun.”

  “Hi. Kau tidak perlu sebegitu seriusnya.”

  “Aku juga bisa mengucapkan mantra pengusiran roh jahat juga.”

  “Begitu ya...”

  Kira-kira seperti apa sih mantra pengusiran roh itu...Apa itu seperti Seimei x Douman atau sejenisnya? Ini terlalu dalam sehingga aku tidak tahu apa ini. Tapi satu hal yang pasti: Ebina-san yang normal jauh lebih menakutkan daripada cosplay gadis kuil.

  Akupun berlari meninggalkannya, tidak lupa dengan mengatakan sampai jumpa nanti dan berlari dengan tenaga penuh.






x  x  x






  Setelah selesai memeriksa semua pos, akupun kembali ke garis start, dimana yang tersisa hanyalah 2 atau 3 grup.

  Komachi memberangkatkan grup baru, dan mereka berkumpul di garis start. Setelah anak-anak itu pergi, grup Hayama mulai bergerak.

  “Baiklah, Hikitani-kun. Kami akan pergi sekarang, kuserahkan sisanya padamu.”

  “Siap.”

  Dengan balasan yang singkat, seperti balasan rekan bisnis, aku melihat Hayama bersama Tobe dan Miura pergi, dan setelah itu giliran Rumi tiba.

  Api unggunnya berbunyi, apinya seperti berdansa ketika ditiup angin.

  Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dan tawa yang berasal dari dalam hutan.

  Sambil menunggu untuk diberangkatkan, aku mengamati Rumi. Dalam suasana grupnya yang ramai, Rumi hanya diam saja. Dari sudut pandang seorang guru, dia sepertinya tidak terlihat sebagai bagian grup itu, dan gadis itu pasti sadar, kalau jarak antara dirinya dan grupnya sendiri terlihat jelas; dia seperti dipotong dan dibuang dari grupnya.

  Karena Rumi memahami itu juga, dia menjaga jarak dengan grupnya sekitar satu langkah. Melihat betapa menderitanya dirinya demi orang lain membuat dadaku ini tergetar.

  Komachi mengambil HP dari kantongnya untuk memeriksa waktunya.

  “Baiklah!” dia mengumumkannya dengan ceria. “Selanjutnya grup ini!”

  Dari dua grup yang tersisa, satu grup berteriak kegirangan. Grup terakhir terlihat kecewa.

  Dilepas oleh Komachi dan Totsuka, grup kedua terakhir itu berangkat.

  Setelah aku melihat mereka pergi, aku mulai meninggalkan tempat itu.

  Tujuanku adalah persimpangan jalan yang ada di jalan tanjakan. Aku menghapus tanda berbeloknya, dan menutup persimpangan itu sehingga menjadi jalan satu arah. Aku bersembunyi di semak-semak sehingga tidak akan bertemu dengan grup tersebut, persis seperti saat aku memeriksa pos-pos tadi. Malam membuat embun yang ada di dedaunan terasa sangat dingin.  Ketika malam mulai semakin larut, udaranya bertambah dingin.

  Aku melewati pos Yuigahama dan Yukinoshita. Aku pergi ke persimpangan yang mengarah ke dua arah: ke arah gunung dan ke arah hutan sekitar, dimana itu menuju ke arah kuil kecil di garis finish.

  Karena aku berlari di sepanjang rute, akupun bernapas dengan terengah-engah. Setelah aku mengatur napasku, aku menyembunyikan tubuhku di bawah bayangan pohon terdekat. Ini bukannya hendak menakut-nakuti anak-anak itu, tapi sekedar agar tidak terlihat saja.

  Grup kedua terakhir tadi baru saja lewat, suara mereka yang ramai terdengar dari kejauhan. Setelah mereka benar-benar tidak terlihat, akupun menghilangkan tanda beloknya. Aku lalu menutup jalan yang menuju ke kuil dan membuka jalan yang tidak menuju garis finish.

  Hayama, Miura, dan Tobe berdiri di jalan yang menuju ke arah gunung. Aku berjalan ke arah mereka dan mengatakan sesuatu.

  “Saatnya tiba. Kuserahkan kepada kalian.”

  “Siap,” Hayama menjawabnya singkat ketika duduk di batu terdekat. Miura dan Tobe juga duduk di dekatnya sehingga mereka bisa menunggu komandonya dengan jelas.

  Setelah memastikan mereka bertiga telah siap, aku kembali ke persimpangan tadi dan bersembunyi di bayangan pepohonan.

  Aku menunggu kedatangan grup Rumi, menghitung menitnya. Satu, dua menit. Harusnya sebentar lagi grupnya akan berangkat.

  Ketika malam semakin larut, kegelapan di hutan ini terlihat semakin pekat. Secara perlahan, aku menutup mataku di kegelapan ini dan memfokuskan pendengaranku. Aku bisa mendengarkan suara Burung Hantu dan dedaunan yang tertiup angin.

  Telingaku mendengar ada sesuatu yang datang mendekat.

  Aku bisa mendengar suara dari beberapa orang. Suara mereka semakin dekat. Tapi aku tidak bisa mendengar suara Rumi. Tapi ketika para gadis itu mendekati posisiku, aku bisa memastikan kalau Rumi bersama mereka. Berbeda dari para gadis di grupnya, Rumi hanya diam saja.

  Tapi, itu akan berakhir malam ini.

  Ketua grupnya menunjuk ke arah persimpangan jalan tersebut. Meskipun dia melihat kalau jalan itu terlihat sengaja ditutup dan ada tanda berbelok yang terlihat dilepas, dia tetap berjalan menuju jalan yang terbuka itu. Semua mengikutinya, seperti tidak meragukan pilihan jalurnya.

  Sambil mengendap-endap dan menjaga jarak, akupun mengikuti mereka dari belakang.

  Pada saat itulah, sebuah suara yang pelan memanggilku.

  “Hikigaya-kun. Bagaimana situasinya?”

  Ketika kulihat asal suara itu, Yukinoshita dan Yuigahama berdiri di dekatku. Karena grup Rumi adalah grup yang terakhir, gadis-gadis ini sudah menyelesaikan peran mereka sebagai monster di pos masing-masing.

  “Saat ini, mereka sedang berjalan menuju Hayama dan yang lain. Aku akan menontonnya, bagaimana dengan kalian?”

  “Aku akan melihatnya juga.” kata Yukinoshita.

  “Aku juga,” kata Yuigahama.

  Keduanya mengangguk. Dan akupun membalasnya dengan anggukan, kemudian kami mulai berjalan secara pelan.

  Grup Rumi mengobrol dengan keras untuk mengusir rasa takut mereka akan kegelapan. Sambil berjalan, mereka berbicara dengan ceria, seseorang di grup mereka tiba-tiba berkata “ah”.

  Ada beberapa orang berdiri di depan grup mereka.

  “Oh, itu para anak SMA.”

  Setelah mereka sadar kalau itu adalah grup Hayama, para siswa SD itu berlari ke arah mereka.

  “Mereka memakai pakaian normal!”

  “Cupu sekali!”

  “Berusahalah lebih keras lagi!”

  “Acara uji nyali ini tidak menakutkan sama sekali!”

  “Tampilannya saja seperti anak SMA, tapi mereka bodoh sekali!”

  Setelah melihat sosok-sosok familiar tersebut, mereka mungkin melepaskan semua tekanan mereka. Terlebih lagi, para siswa SD ini membuat grup Hayama seperti bahan becandaan.

  Tapi ketika para siswa SD itu mendekat, Tobe menoleh ke arah mereka dengan tiba-tiba.

  “Huh?” dia mengatakan itu dengan nada yang agresif. “Kalian pikir sedang berbicara kepada siapa?”

  “Hei, jangan sok akrab ya. Tahu tidak kalau kita ini bukan teman kalian?”

  Seketika, para siswa SD itu terdiam.

  “Meep...”

  Seperti berusaha memahami apa yang baru saja dikatakan ke mereka, mereka terlihat mulai berpikir. Tapi Miura tidak membiarkan itu begitu saja, dia tidak mau memberikan mereka keuntungan.

  “Kalau dipikir-pikir, barusan ada yang menjadikanku bahan becandaan  ya, huh? Siapa yang mengatakan itu?”

  Tidak ada yang merespon pertanyaannya. Mereka hanya menatap satu sama lain.

  Melihat sikap mereka, Miura mengatakan itu dengan nada yang frustasi.

  “Aku tanya ya, siapa yang bilang itu? Aku tahu seseorang mengatakannya. Siapa itu? Apa lidah kalian tertahan sesuatu? Cepat katakan!”

  “Maafkan aku...” seseorang terdengar sedang meminta maaf.

  Tapi Miura tidak peduli.

  “Apa? Aku tidak bisa dengar.”

  “Kau kira kami main-main? Huh? Oi!” Tobe menatap ke arah anak-anak itu, membuat mereka ketakutan dan mundur selangkah.

  Tapi Miura sudah memblokir jalan mereka.

  “Lakukan saja, Tobe, lakukan! Kau tahu bukan kalau tugas kita adalah mengajarkan anak-anak ini tata krama, benar?”

  Tanpa adanya jalan untuk kabur, para siswa SD ini mulai tersudut. Dengan cepat, mereka terkurung oleh segitiga antara Hayama, Miura, dan Tobe.

  Tobe adalah orang yang terus mengancam mereka dengan kekerasan.

  Miura adalah orang yang terus mengatakan kata-kata menusuk ke mereka.

  Dan Hayama adalah orang yang menebarkan ketakutan hanya dengan menatap mereka dengan dingin dan diam.

  Setengah menit yang lalu mereka sangat antusias, dan sekarang mereka seperti memiliki situasi yang terbalik. Mereka mungkin serasa ingin menendang diri mereka sendiri yang sudah mengoceh kesana-kemari. Waktu bermain sudah selesai – tinggal satu serangan lagi untuk membuat mereka jatuh ke dasar.

   Tobe mulai meremas-remas kepalan  tangannya.

  “Hayama-san, bolehkah kutangani para anak nakal ini?” katanya, sambil menunjukkan kepalan tangan. “Bolehkah kuhajar mereka?”

  Ketika nama Hayama disebut, para siswa SD tersebut meliht ke arahnya. Karena dia orang paling baik, bukankah dia harusnya membantu kita? Pastinya dia akan bisa mencairkan suasananya hanya dengan senyumannya – ekspektasi seperti itu bisa kulihat dari ekspresi wajah mereka.

  Tapi Hayama mengatakan kata-kata yang persis seperti skenario yang kita sepakati.

  “Begini saja. Aku akan membiarkan separuh dari kalian lewat. Tapi separuhnya tetap tinggal. Kalian putuskan saja sendiri siapa saja yang tetap tinggal,” katanya, dengan nada yang dingin dan terkesan kejam.

  Tiba-tiba mereka mendadak diam, saking sunyinya sehingga kau bisa mendengar suara embun yang menetes, para siswa SD menatap satu sama lain. Tanpa satupun kata, hanya dengan tatapan, mereka melihat ke sesamanya dan bertanya mereka harus bagaimana.

  “...Kami ini benar-benar minta maaf,” seseorang mengatakan itu dengan nada sesenggukan, seperti hendak menangis.

  Meski begitu, Hayama tidak bergeming.

  “Aku tidak ingin mendengarkan permintaan maafmu. Seperti kataku, separuh dari kalian tetap tinggal disini.” dia berhenti sejenak. “Sekarang, pilihlah.”

  Setiap kata-katanya yang dingin itu keluar, bahu anak-anak tersebut seperti bergetar hebat.

  “Hei, kau dengar dia? Atau mungkin kau memang dengar tapi kau pura-pura tidak mendengar?” Miura terus menekan mereka.

  “Cepat dan putuskan siapa yang tinggal. Apa kamu yang tinggal? Oi!” Tobe mengatakan itu dengan nada mengancam dan menendang tanah di sekitarnya.

  “Tsurumi, kau tetap tinggal...”

  “...Yeah, kau harusnya tinggal saja.”

  Lalu mereka terdiam.

  Setelah melakukan diskusi dengan berbisik-bisik, mereka telah memutuskan siapa kambing hitamnya. Rumi hanya bisa terdiam, tidak berbicara bahkan mengatakan ‘tidak’. Aku memang memprediksi seperti apa sikap Rumi, tapi siapa yang selanjutnya disuruh tinggal merupakan hal yang tidak bisa kuprediksi.

  Tiba-tiba, aku mengembuskan napasku. Sampai saat ini, semuanya berjalan sesuai skenario. Pertanyaannya, sampai sejauh mana mereka akan mengikuti skenarioku.

  Aku bisa mendengar suara desahan Yukinoshita di sampingku.

  “Apa tujuan utamamu ada di adegan selanjutnya?”

  “Yeah. Kita akan menghancurkan hubungan di sekitar Rumi.”

  Yuigahama yang mendengarkan percakapan kami berdua, menggumamkan sesuatu.

  “...Kira-kira apa tidak apa-apa menghancurkan hubungan mereka?”

  “Santai saja,” kataku. “Jika hubungan mereka berlandaskan kepalsuan, satu serangan saja akan menghancurkan hubungan mereka dengan mudah.”

  “Apa grup mereka akan pecah?” Tanya Yuigahama.

  Akupun mengangguk.

  “Yeah, mungkin saja. Jika para gadis itu memang benar-benar teman sejati seperti kata Hayama, maka itu tidak akan terjadi dan drama kita akan berakhir setelahnya. Tapi, kurasa yang terjadi tidak akan seperti itu.”

  “Memang. Hanya orang-orang dengan tujuan terselubung saja mau berkumpul dengan seseorang yang  punya mental kuat dalam menipu orang lain,” Yukinoshita mengatakan itu sambil melihat ke arah kejauhan. Tidak, dia mengatakan itu seperti teringat sesuatu dengan masa lalunya.

  Tentunya, itu tidak berakhir begitu saja, seperti kata Yukinoshita.

  Ketika Rumi didorong maju ke depan, ekspresi wajah Hayama seperti dihantam sesuatu, tapi dengan cepat dia memasang ekspresi dingin.

  “Jadi kau sudah memutuskan satu orang. Sekarang, kurang dua lagi. Cepatlah.”

  Dua orang lagi dari grup yang tersisa 5 orang itu. Mereka mungkin sudah memilih 1 orang, tapi mereka masih butuh 2 lagi. Siapa lagi yang akan mereka korbankan? Sebuah adegan yang sering terjadi di drama wanita penyihir jahat mulai terlihat.

  “...Kalau saja Yuka tidak mengatakan itu ke mereka tadi.”

  “Ini salah Yuka.”

  “Yeah...”

  Seseorang mengusulkan sebuah nama dan yang lainnya setuju. Seseorang di grupnya mengirimkan alat eksekusi, satu orang sudah dibunuh, dan tinggal satu orang lagi yang harus mati.

  Tapi, tidak ada satu orangpun yang mau mengatakan sesuatu.

  “Tidak mungkin! Hitomi kan yang pertama ngomong!”

  “Aku tidak mengatakan apapun! Aku tidak melakukan hal yang salah! Mori-chan-lah yang bersikap buruk! Dia selalu seperti itu. Dia melakukan itu ke para guru juga.”

  “Huuh? Aku? Apa hubungannya keseharianku dengan situasi ini? Hitomi yang mulai duluan dan setelah itu Yuka. Kenapa ini menjadi salahku?” dia mulai berdebat dengan emosi menyala.

  Kurasa aku tidak akan heran jika salah seorang dari mereka langsung menarik kerah sesamanya karena emosi. Bahkan bagi penonton drama ini yang melihatnya dari dekat, suasananya sangat tidak nyaman hingga membuat tenggorokan terasa sakit.

  “Kalian berhentilah. Mari kita semua bermaaf-maafan...”

  Akhirnya ada yang mulai menangis – jauh lebih dalam dari ketakutan dan putus asa, mungkin bukan semacam kebencian. Atau mungkin air mata itu adalah air mata pura-pura agar dia bisa dikasihani dan tidak dikorbankan.

  Tapi sikap Miura tidak berubah, meski ada yang menangis di depannya. Sebaliknya, dia terlihat kesal dan menutup HP-nya yang sejak tadi dia mainkan dengan keras. Amarahnya meledak seperti kembang api.

  “Yang paling kubenci itu, adalah para gadis yang berpikir kalau menangis itu akan menyelesaikan masalah. Hayato, apa yang akan kau lakukan? Mereka hanya berputar-putar saja.”

  “...Dua orang lagi. Cepatlah pilih,” Hayama mengatakan itu dengan dingin, seperti menunjukkan ekspresi kematian.

  Setelah itu, Tobe pura-pura sedang berlatih tinju.

  “Hayato-kun, akan lebih cepat jika aku langsung menghajar mereka saja.”

  “Kalau begitu, kuberi waktu 30 detik.”

  Dia sepertinya berpikir kalau ini tidak akan selesai-selesai, lalu dia memutuskan untuk memberikan limit waktu. Dia seperti memasang borgol yang disebut ‘waktu’ kepada para gadis itu.

  “Dia tidak mau membiarkan kita lewat meskipun kita meminta maaf...Apa kita akan memanggil guru?”

  “Uh-hu, aku tidak akan menjamin apa yang akan terjadi dengan kalian jika kalian melapor. Aku tahu persis wajah kalian.” Tobe dengan mudah menghancurkan ide itu dengan sekali ucap.

  Seperti kehabisan opsi, mereka terdiam. Meski mereka diam, waktu terus berjalan.

  “Dua puluh detik lagi.” satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara Hayama.

  Setelah terdiam sejenak, seseorang di grup itu menggumamkan sesuatu.

  “...Harusnya Yuka.”

  “Yuka, tetap disini.” terdengar suara lainnya.

  “...Kurasa itu adalah ide yang bagus.” ada suara lain yang mengatakannya.

  Seseorang di grup tersebut terlihat pucat, tampaknya gadis itulah yang bernama Yuka. Dia melihat ke arah gadis yang belum memberikan pendapatnya.

  Gadis itu menyadari kalau Yuka menatapnya dan dia menurunkan tatapannya sambil menoleh ke arah lain.

  “...Maaf, tapi kami tidak punya pilihan lain.”

  Ketika Yuka mendengar kata-kata tersebut, bibirnya bergetar. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.

  Di sampingku, terdengar Yuigahama yang mengeluh.

  “Tidak punya pilihan lagi, huh...”

  Benar sekali, tidak ada pilihan.

  Tidak ada yang bisa membalikkan keadaan. Karena itulah, jika ada orang yang terpilih menjadi tumbal, mereka tidak bisa melakukan apapun.

  Kau tidak bisa membalikkan opini populer begitu saja. Ada masanya dimana kau tidak punya pilihan selain melawan hati nuranimu.

  Karena ‘semua orang’ mengatakan begitu, ‘semua orang’ melakukan itu, jadi jika kau tidak melakukan itu juga, maka kau tidak akan menjadi bagian dari ‘semua orang’.

  Tapi tidak ada satu orangpun yang menjadi ‘semua orang’. Mereka tidak berbicara dan mereka tidak menghajarmu. Mereka tidak marah dan mereka tidak tertawa. ‘Semua orang’ itu adalah ilusi yang diciptakan oleh sihir yang bernama ‘pemikiran sebuah grup’. Itu adalah sebuah istilah yang lahir tanpa adanya campur tangan logika. Itu hanyalah hantu yang diciptakan oleh pikiran kerdil yang jahat dari seorang manusia. Dalam proses transformasinya, itu akan memangsa siapapun diluar lingkaran pertemanan mereka dan bahkan memberikan kutukan pada teman mereka sendiri. Mantan anggota grup juga akan dianggap sebagai musuh.

  Oleh karena itulah aku tidak menyukainya.

  Aku benci dunia yang menjunjung tinggi selera ‘semua orang’.

  Aku benci sebuah perdamaian yang dihasikan dengan mengorbankan orang-orang.

  Aku benci ide tidak bertanggungjawab yang mengatakan sesuatunya dengan bohong, mengotori semua kebaikan dan keadilan, membuat mereka yang berdiri atas kebenaran dan keadilan seperti kumpulan oportunis, sebuah duri yang selalu menusukmu ketika waktu mulai berjalan.

  Kau tidak bisa mengubah masa lalu dan dunia. Kau tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, juga kau tidak bisa mengubah ‘semua orang’. Tapi seperti kataku barusan, itu bukanlah alasan yang bisa membuatmu memperoleh pembenaran untuk menjadi budak dari sistem.

  Kau bisa membuang masa lalu, menghancurkan dunia dengan kakimu dan membiarkannya hancur tidak berbentuk.

  “Sepuluh, sembilan...” Hayama mengatakan hitung mundurnya.

  Rumi terlihat melirik sesuatu. Dia memegangi kamera digitalnya yang dia gantung di lehernya seperti sebuah jimat keberuntuungan. Dalam hatinya, mungkin dia sedang melakukan sesuatu seperti berdoa.

  “Tujuh, enam...”

  Para siswa SD itu hanya bisa menangis. Hutan yang gelap ini menyerap kebencian dari para gadis itu dan membuat kegelapan di hutan ini menjadi semakin pekat.

  Waktunya akan habis. Kurasa ini sudah cukup untuk membuat para gadis ini menyadari kebusukan orang-orang di sekitar mereka.  Sekarang yang harus kami lakukan adalah keluar dan mengatakan “Selamat, anda menjadi korban kejahilan kami!” dengan nada yang ceria, dan menyanyikan lagu-lagu tertentu. Jika ini terus begini, yang terbayang di kepalaku adalah mereka akan terus menyalahkanku. Dengan pikiran-pikiran itu terbayang di kepalaku, akupun mulai berdiri.

  “Tunggu dulu.”

  Seseorang menarik kaosku, membuat leherku tertahan oleh kerah kaos.

  Akupun berkata. “Ada apa?”

  Ketika kulihat, Yuigahama hanya terus melihat ke arah Rumi. Seperti mengetahui apa maksudnya, akupun kembali duduk.

  “Lima, empat, tiga...”

  “Maafkan aku...”

  Ketika Rumi menaikkan tangannya dan memotong kata-kata Hayama, hitung mundur terhenti. Ada apa? Hayama menatap ke arah Rumi, seperti memberitahu pertanyaannya.

  Lalu terjadilah itu.

  Sebuah sinar yang menyilaukan mengelilingi mereka. Beep beep beep – sebuah bunyi terdengar. Kilatan cahaya yang tiba-tiba di kegelapan malam ini seperti membuat layar menjadi putih dan mata tidak bisa melihat apapun.







x  x  x







  “Bisa lari? Lewat sini! Cepat!”

  Dalam kilatan cahaya putih itu, aku medengar suara Rumi. Lalu suara langkah kaki yang melewati tempatku. Aku bisa tahu apa yang terjadi, tapi itu setelah beberapa waktu kemudian.

  “Barusan itu...Apa itu kilat lampu kamera?” Akupun menggaruk-garuk mataku, yang mulai terbiasa dengan kegelapan.

  Rumi mungkin menggunakan kamera digital yang dia gantung di lehernya. Efeknya seperti melemparkan stun grenade.

  Hayama, Tobe, dan Miura juga tidak mengejar mereka.

  “Apa gadis itu baru saja menyelamatkan mereka?” Yukinoshita mengatakan itu seperti tidak mempercayainya.

  “Mungkin mereka semua sebenarnya adalah teman baik?” Yuigahama bertanya kepadaku, seperti agak lega.

  “Mustahil kau bisa berteman dengan seseorang yang selalu melihatmu rendah.” kataku.

  “Oh benar...” Yuigahama mengatakan itu dengan melihat ke bawah seperti kecewa akan sesuatu.

  Meski begitu, mengesampingkan itu, ada yang ingin kutambahhkan soal ini.

  “Tapi, jika dia menolong mereka, meski tahu kalau mereka semuanya brengsek, maka sikapnya itu benar-benar tulus, itulah yang kuyakini,” kataku.

  Yukinoshita mengangguk kepadaku seperti dia menyetujuinya.

  “Kurasa begitu,” dia mengatakan itu setelah memikirkan sesuatu.

  “Nah, bukannya aku benar-benar tahu soal itu.”

  “Apa-apaan itu? Pendapatmu itu kontras sekali...” Yuigahama mengatakan itu.

  Memangnya kau berharap aku akan mengatakan apa? Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka.

  “Tapi tahu tidak, kurasa bagus sekali jika punya seseorang yang benar-benar tulus kepadamu.” kata Yuigahama, tersenyum.

  “Tidak ada orang jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua orang itu kurang lebih adalah orang baik, atau, setidaknya, begitulah. Tapi ketika kau sedikit saja menyenggol mereka, maka mereka akan berubah. Inilah yang menakutkan dari manusia. Kita harus selalu was-was dengan orang lain.”

  Akupun mendengarkan suara yang tidak enak didengar ketika mengatakan pemikiranku barusan.

  “Apa-apaan dengan ocehanmu itu...? Menakutkan.” Yuigahama melihatku dengan curiga. Dasar lonte kasar!

  Meski begitu, Yukinoshita mengangguk seperti memahami sesuatu.

  “Itu tampaknya dari Natsume Soseki.”

  “Yeah. Itu tulisan Soseki, tapi jika kau lihat dari sudut pandang yang berbeda, maka sebenarnya tidak ada stereotip seperti ‘orang baik’, tapi ketika kau ganggu mereka, mereka mungkin akan menunjukkan sisi baik mereka. Kupikir begitu.”

  Yuigahama memiringkan kepalanya ketika aku mengatakan itu.

  “Hmm? apa itu artinya kau bisa tahu apa orang itu benar-benar tulus atau tidak?”

  “Kurang lebih begitu. Kebenarannya akan selalu tersembunyi di semak belukar, atau sejenis itu.”

  “Itu adalah  ‘Dalam semak belukar’ karya Akutagawa Ryuunosuke...”

  Seperti biasanya, inilah yang terjadi jika kau berada diantara percakapan tidak berguna dari dua penggemar sastra Jepang, tapi Yukinoshita hanya mendesah kecil sedang Yuigahama terlihat memasang ekspresi penuh tanda tanya. Kurasa dia harus membaca karya Soseki terlebih dahulu.

  Ketika aku hendak mencari-cari quote dari karya Soseki, grup Hayama berjalan ke arah kami.

 “Kalian sudah bekerja dengan baik,” Hayama memanggil ke arah kami.

  “Yeah. Kalian juga sudah bekerja dengan baik.” akupun berterima kasih kepada Tobe dan Miura yang sudah bekerja keras. Jika mereka tidak ada disini, mungkin kita tidak akan bisa menyelesaikan sesuatu, kau bisa katakan kalau mereka ini adalah MVP drama ini.

  “Ya ampun, aku kapok memerankan ginian lagi,” Kata Tobe. “Mataku masih merasa pedas.”

  “Hei, bisakah kita istirahat sesudah ini?” tanya Miura.

  “Bisakah kita serahkan sisanya kepadamu? Aku juga terasa agak lelah,” Hayama mengembuskan napasnya, dia memang terlihat lelah. Mungkin dia lelah berperan sebagai penjahat dimana dia sehari-hari berperan sebagai orang baik; itu memang tidak cocok dengannya.

  “Yeah, kutangani sisanya,” kataku. “Kurasa tidak begitu berat.”

  “Terima kasih. Kuhargai itu.” Hayama hanya tersenyum tipis sebelum kembali ke arah kabinnya bersama Miura dan Tobe di belakangnya.

  “Mungkin kita harusnya kembali juga dan berganti baju,” kata Yukinoshita.

  “Oh, yeah. Hari ini terasa panjang sekali,” kata Yuigahama.

  “Tentu,” kataku. “Sampai jumpa nanti.”

  Aku meninggalkan Yukinoshita dan Yuigahama di belakangku, kembali ke lapangan.




  Aku bisa melihat api unggun yang menyala, dengan nyala api yang besar.









x x x








  Ketika mereka mengelilingi api unggun itu, mereka menyanyikan lagu dengan bersama-sama. Itu semacam lagu yang menceritakan kalau mereka selamanya akan menjadi teman dan sejenis itu. Bagiku, itu adalah sebuah lagu yang akan menimbulkan trauma.


  Komachi, Totsuka, dan Ebina-san juga pergi untuk berganti pakaian, jadi yang kulakukan hanyalah menatap ke arah api unggun itu sendirian.

  Ketika lagu berakhir, saatnya momen yang paling menarik, folk dance yang super romantis. Melihat kumpulan anak-anak itu dari luar lingkaran, cukup aneh melihat diriku bisa melihat sesuatu yang indah dari sebuah event yang kubenci.

  Tapi para gadis di grup Rumi tidak menatap wajah satu sama lain. Karena mereka baru saja menunjukkan sisi buruk mereka ke sesamanya beberapa saat lalu, sangat jelas kalau mereka tidak akan mengatakan apapun ketika bertemu.

  Semua orang di grupnya terlihat seperti tidak peduli. Tapi sesekali mereka menatap ke arah Rumi. Kira-kira apakah ini akan menjadi malam dimana mereka mulai mengajaknya berbicara, sedikit demi sedikit.

  Aku tidak punya pekerjaan lagi, jadi aku mencari Hiratsuka-sensei. Ketika kulihat, dia sedang berbicara dengan beberapa guru SD. Setelah berada di dekatnya, Hiratsuka-sensei menyadari kehadiranku. Dia pamit ke guru-guru tersebut dan datang kepadaku.

  “Kerja bagus di jerit malam. Kau bisa istirahat untuk saat ini. Kulihat pekerjaan yang tersisa tidaklah banyak. Kau akan baik-baik saja besok. Apa kau sudah menyelesaikan masalahmu?”

  “Y-Yeah...Er, kira-kira masalah saya apa?”

  Ketika aku berusaha mencari jawabannya, Yukinoshita, yang sudah selesai mengganti bajunya, mendatangi kami.

  “Yang kita lakukan hanyalah menakut-nakuti para siswa, membuat mereka menangis dan menunjukkan kebohongan di pertemanan mereka.”

  “Penjelasanmu itu terdengar seperti pekerjaan yang kejam...”

  “Tapi bukankah itu yang sebenarnya?”

  “Begitulah, tapi itu, er...”

  Aku tidak bisa menyangkalnya. Kalau kau pikirkan kata-katanya dengan dalam, dia memang benar, dan itu membuatku tidak nyaman.

  Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya seperti tidak tahu harus menjawab apa.

  “Aku tidak paham, tapi...dari yang kulihat, aku merasa kau tidak mengerjakan ini sendirian. Mungkin lebih tepatnya kau melakukannya bersama-sama...Well, terserahlah. Itu adalah karakteristik kalian.”

  Hiratsuka-sensei tersenyum sambil melihat para siswa SD tersebut melakukan folk dance. Lalu dia pergi kembali untuk bersosialisasi dengan para guru.

  Ini meninggalkanku berduaan dengan Yukinoshita. Yukinoshita memanggil namaku seperti hendak mengatakan sesuatu yang sulit.

  “Hikigaya-kun...Sebenarnya, kau ingin menyelesaikan masalah ini untuk siapa?”

  “Aku melakukan ini untuk Rumi Rumi, kurasa begitu,” akupun menjawabnya sambil menaikkan bahuku.

  Maksudku, lihat dulu. Aku tidak melihat ada orang yang meminta klub relawan untuk melakukannya. Aku menyelesaikan masalahnya dengan inisiatif sendiri: Bagaimana aku bisa membuat rencana agar Tsurumi Rumi bisa berdamai dengan sekitarnya?

  Lebih dari itu, aku tidak bermaksud untuk mengaitkan aksiku ini dengan sesuatu. Meski jika ada seseorang yang punya agenda tersendiri dalam rencana itu, kurasa aku tidak akan mau mencampuri urusannya. Juga, aku tidak berpikir kalau yang tadi kulakukan sudah menyelesaikan masalahnya.

  “...Begitu ya. Itu terdengar bagus.”

  Dengan itu, Yukinoshita tidak mempertanyakanku lagi dan melihat ke arah api unggun yang berada di tengah lapangan. Folk dance baru saja berakhir dan mereka terlihat mulai membubarkan diri.

  Jalan kecil yang berada di samping kami berdua, dilewati oleh para siswa SD tersebut.

  Rumi terlihat sedang berjalan di jalan tersebut.

  Dia mengenaliku, dan dia oh, dia memalingkan pandangan matanya. Ketika dia melewatiku, dia jelas-jelas seperti menolak untuk melihat ke arahku.

  “Tampaknya kau tidak mendapatkan hadiah,” Yukinoshita mengatakannya dengan nada becanda.

  “Aku tidak melakukan sesuatu yang bagus untuknya. Mari kita realistis saja. Yang kulakukan hanyalah menakut-nakuti beberapa anak kecil dan menghancurkan pertemanan mereka. Plus, aku memanfaatkan orang lain untuk berperan jahat...Itu adalah metode terburuk, jadi tidak ada yang perlu berterimakasih untuk itu.”

  “Kurasa begitu.” Yukinoshita tiba-tiba berhenti sejenak.

  “Tapi akan sangat lega jika kau bisa menyingkirkan orang-orang yang membullymu. Lagipula, gadis itu mengambil keputusannya sendiri, bukan begitu? Kau mungkin sudah memilih metode ilegal dan merencanakannya dengan buruk, tapi kaulah yang mempersiapkan semua untuknya, Hikigaya-kun.”

  Yukinoshita mengatakan sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan kepadaku, tidak ada makna terselubung, terlihat lurus dan jujur seperti dirinya.

  “Dan kupikir, meski tidak akan ada yang mau memujimu, kau akan dimaafkan jika itu menghasilkan hal yang bagus.”



  Untuk kali ini, Yukinoshita tidak memandangku dengan rendah dan sikap yang sering mencelaku. Dia tersenyum lembut kepadaku. Tapi, tatapannya mengarah ke sesuatu yang berada di belakangku. Kedua mata Yukinoshita mengarah ke Yuigahama dan yang lain.

  Mereka memegang ember air dan kembang api di tangan mereka. Komachi dan Totsuka menemukan Hiratsuka-sensei, meminjam koreknya dan mulai bermain dengan kembang api. Hiratsuka-sensei terlihat tidak nyaman dengan itu.

  “Yukinon, maaf membuatmu menunggu!” kata Yuigahama. “Ini untukmu, kembang api.”

  “Aku tidak mau ikutan, terima kasih. Lakukan itu dengan orang lain. Aku akan duduk saja melihatnya dari sini.”

  “Ya ampuuuun, aku kan sudah capek-capek untuk beli ini...” Yuigahama menggerutu.

  “Aku sudah tidak punya energi yang tersisa untuk bersenang-senang,” Yukinoshita menjawab Yuigahama. “Tapi tolong hati-hati ketika bermain dengan api.”

  Setelah mengatakan itu, Yukinoshita duduk di bangku yang berada tidak jauh dari sini.

  “Apa kau ini nenek-nenek atau semacamnya...?” tanyaku.

  Kami lalu meminjam korek dari Hiratsuka-sensei dan menyalakan lilin untuk dijadikan sumber api.

  Tongkat kembang api ini tampaknya dibeli di minimarket. Aku membagi isinya kepada Komachi dan yang lain.

  Ketika aku menyalakannya dengan api, kembang apinya membuat bunyi tertentu dan terlihat ada api berwarna hijau yang muncul. Whoa, cantiknya.

  ...Tapi apakah caraku bermain dengan kembang api ini sudah benar. Ini sepertinya agak berbeda dengan membakar kutu kayu. Bukankah kau harusnya hanya menontonnya saja? Kalau mereka itu adalah roket kembang api, kau bisa menggunakan imajinasimu. Kau akan melakukan pengeboman acak. Tahu tidak, aku membacanya di Zukkoke Sannin-gumi.

  “Yukinon! Kau harus lihat ini!” Yuigahama berteriak.

  Dia melambai-lambaikan empat kembang api di tangannya. Dia menggunakan gaya Vega atau semacamnya? Tolong anak-anak, jangan tiru ini di rumah.

  Ketika Yuigahama menari-nari, jejak-jejak cahaya kembang api mulai mengisi langit malam. Melihat Komachi dan Totsuka menari-nari dengan kembang api, apakah memang seperti ini caramu bermain dengan kembang api? Meski begitu, kembang apinya akan cepat habis jika kau menggunakannya dengan cara seperti itu, akan lenyap setelah cahayanya bersinar terang.

  Aku menyalakan kembang api milikku, melindunginya dari embusan angin sebisa mungkin dengan tubuhku. Ketika aku melakukannya, Yuigahama berdiri di sampingku dan duduk. Dia menyalakan apinya, melindungi kembang api dengan tubuhnya sepertiku.

  Ketika kembang apinya menyala, cahayanya berwarna orange. Dia baru saja menari-nari ceria, tapi entah mengapa dia terlihat pendiam kali ini.

  “...Kau pikir Rumi-chan dan yang lainnya akan baik-baik saja?”

  “Kita bukanlah pihak yang bisa memutuskan itu.”

  “Tapi perlakuan mereka akan berbeda setelah ini.”

  “Malahan, mereka mungkin akan kehilangan hubungan pertemanannya,” kataku, bersamaan dengan padamnya api di kembang api milikku. Kembang api yang bercahaya orange, melambangkan besi yang meleleh, jatuh ke tanah dan kehilangan cahayanya.

  Yuigahama memberiku tongkat kembang api yang lain dan menyuruhku menyalakannya sendiri.

  “...Tapi, ini kan belum benar-benar selesai, benar tidak? Membiarkan semua kemungkinan itu terbuka apa itu tidak membuatku terus terbayang? Itu saja sudah membuatku seperti gila ketika memikirkannya, kujamin itu.”

  Sumber : Gahama-san, begitu kah? Mungkin kata-katanya ada sedikit nada persuasif. Kalau begitu, mungkin kali ini aku akan percaya kepadanya.

  Akupun mendekatkan kembang api di tanganku ini ke lilin. Asap mulai muncul dan kembang apinya menyala.

  Kembang api yang dipegang Yuigahama sudah habis. Seperti menunggu momen tersebut, dia membisikkan dengan perlahan sesuatu kepadaku.

  “Hei, Hikki. Kau sudah melakukan semuanya, tahu tidak.”

  “Apaan?

  “Soal rencana-rencana yang kita bicarakan tempo hari. Kita memang tidak membuat pesta barbeque, tapi kita membuat kare, dan meski kita tidak ke kolam renang, kita sudah berenang di sungai. Kita tidak pergi berkemah untuk senang-senang, tapi kita pergi berkemah untuk ‘training camp’ anak SD. Dan kita juga melakukan acara uji nyali sambil menakut-nakuti orang lain.”

  “Kau serius sekali menganggap semua itu?”

  Aku merasa kalau ini berbeda. Tapi Yuigahama membuang kembang apinya dan mengambil kembang api yang baru.

  “Kurasa setidaknya mirip-mirip, jadi yeah!” dia berhenti sejenak. “Plus, kita melihat kembang api bersama-sama.”

  “Well, itu mungkin ada benarnya.”

  “Semuanya sudah terjadi. Dan itu berarti...Kau harus memastikan kalau kita akan jalan-jalan bersama itu menjadi kenyataan.”

  Aku tidak mampu mengatakan apapun, aku menatap ke arah Yuigahama seperti dipaksa untuk melihat ke arahnya. Ketika kedua mata kami bertemu, Yuigahama tertawa. Kembang apinya mulai menyala.

  Meski dia mengatakan itu kepadaku, tapi aku sudah memutuskan jawabanku.

  “...Mungkin suatu hari nanti, kupikir begitu.”







x  x  x








  Setelah kita membersihkan kembang apinya, malam sudah semakin larut. Kami harus kembali ke kabin seperti kemarin di waktu yang sama.

  Seperti kemarin, akupun mandi di kantor penginapan dan kemudian berjalan menuju kabin, ditemani oleh angin malam. Karena malam ini adalah malam terakhir di perkemahan, aku bisa mandi dengan santai.

  Ketika sampai di kabin, lampunya sudah dimatikan. Semua orang sudah tidur lebih dulu.

  Ketika aku melihat ada matras tidur kosong sudah terbentang di salah satu sudut, dimana kemungkinan besar itu dilakukan oleh Totsuka, akupun terpikirkan sesuatu.

  ...Tolong jadilah istriku.

  “Hikitani-kun...”

  “Hayama, huh. Apa aku membangunkanmu?”

  “Nah, aku kesulitan untuk bisa tidur, itu saja.”

  Well, mungkin dia memang akan kesulitan untuk tidur setelah melakukan apa yang dia lakukan di jerit malam tadi. Aku yang hanya melihatnya dari semak-semak saja merasa tidak enak.

  “Maaf ya, sudah menyerahkan peran penjahat kepadamu.”

  “Sungguh, aku tidak keberatan dengan itu. Aku tidak susah tidur gara-gara itu. Hanya saja, aku teringat dengan beberapa hal di masa lalu...Dulu, aku tidak melakukan apapun ketika ada adegan yang sama terjadi di depan mataku,” Hayama mengatakan itu, terlihat seperti tidak sedang becanda atau menyangkal, tapi seperti merasa kasihan dengan dirinya sendiri.

  Aku tidak tahu apapun soal masa lalu Hayama dan Yukinoshita, aku tidak tahu harus menjawab apa. Daripada menjawab seadanya, mungkin akan lebih baik jika aku pura-pura tidur saja.

  “Mungkin situasinya akan lebih baik jika Yukinoshita-san itu sifatnya mirip dengan kakaknya.”

  Ah, jadi pria ini tahu tentang Haruno-san, mungkin dia bertemu di rumahnya atau semacamnya. Meski kita kenal orang yang sama, aku tidak setuju dengan Hayama.

  “Nah...Kau tidak perlu mengatakan itu. Membayangkan Yukinoshita bisa bersosialisasi dengan baik saja sudah membuatku ketakutan.”

  “Haha, kurasa kau ada benarnya.”

  Suasana kabin ini sangat gelap, jadi aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi sangat sulit membayangkan kalau Hayama sedang tersenyum kalau mendengar caranya berbicara. Nadanya tiba-tiba berubah, dan aku bisa mendengar suara tarikan napasnya.

  “...Hei, kira-kira akan menjadi seperti apa jika kau bersekolah di SD yang sama dengan kami, Hikitani-kun.”

  Aku menjawab pertanyaannya dengan cepat.

  “Bukankah sudah jelas. Sekolahmu akan bertambah satu penyendiri.”

  “Kau pikir begitu?”

  “Kupikir begitu.”

  Suaraku diselimuti dengan kepercayaan diri yang tinggi.

  Aku bisa merasakan kalau Hayama sedikit tertawa. Untuk menghilangkan fakta kalau dia baru saja tertawa, Hayama pura-pura terbatuk.

  “Kupikir akan banyak hal yang berubah. Hanya saja...meski begitu...”

  Dia berhenti sejenak seperti sedang memilih kata-kata.

  “Aku mungkin tidak akan menyukaimu, Hikigaya-kun.”

  Sunyi. Untuk sejenak setelah mendengarkan kata-kata itu, pikiranku terasa kosong. Aku membayangkan Hayama, yang akrab dengan siapapun, bisa mengatakan hal seperti itu kepadaku. Akupun berhenti sejenak, dan kemudian menjawabnya.

  “...Sialan. Kau ini mengejutkanku saja.”

  “Hanya becanda. Selamat malam.”

  “Yeah. Selamat malam.”

  Mungkin itu pertamakalinya aku mengenali Hayama Hayato sebagai seorang manusia. Dan Hayama mengenali Hikigaya Hachiman dengan cara yang serupa.

  Nada suaranya tidak terdengar bagus. Sesuatu yang  keras dan kejam seperti tersembunyi entah dimana.

  Instingku mengatakan kalau yang baru saja dia katakan itu bukanlah kebohongan – tidak ada satupun kebohongan dalam kata-katanya.







x Chapter VII | END x






  Kita semua tahu siapa yang merujuk dia yang dimaksud Hayama...

  ...

  Dalam vol 10 chapter 7, Hayama mengatakan kalau hubungan antara dirinya dengan Hachiman adalah rival.

  ...

  Jika Hayama menyebut Yukino saat ini lebih dekat dengan Hachiman, maka artinya, setidaknya dulu Hayama pernah dekat dengan Yukino. Yeah, kita semua tahu kalau mereka dulunya adalah grup pertemanan ketika SD. Haruno, Yukino, dan Hayama merupakan teman bermain semasa kecil.

  ...

  Hayama bertaruh kalau Grup Rumi akan bekerjasama ketika menghadapi situasi yang mereka ciptakan kelak. Tapi, Hachiman meyakini kalau grup mereka akan pecah.

  Tentunya, kita semua tahu kalau ending dari Hachiman-lah yang benar.

  Keyakinan Hayama ini jelas berdasarkan situasi grupnya. Dalam volume 2 chapter 3, Hayama percaya dengan kebaikan hati member grupnya, yaitu Ooka, Tobe, dan Yamato.

  Ironisnya, Hayama sendiri yang berusaha menghancurkan pertemanan mereka di vol 7.

  ...

  Kesimpulan klise Yukino yang menebak kalau Hachiman akhirnya akan menyimpulkan kalau 'manusia lebih menakutkan daripada hantu' terbukti di vol 7 chapter 7, adegan di rumah hantu. Hachiman benar-benar mengatakan quote tersebut.

  ...

  Coba anda bandingkan kesan Hachiman terhadap Yui, Ebina, dan Yukino di acara jerit malam. Anda akan menemukan hal yang menarik...

  ...

  “Jika hubungan mereka berlandaskan kepalsuan, satu serangan saja akan menghancurkan hubungan mereka dengan mudah.”

  Kata-kata Hachiman di chapter ini dipakai oleh Yukino ketika menjelaskan hubungan mereka berdua yang diujung tanduk, adegan Marinpia, vol 9 chapter 5.

  ...

  Kata-kata Yukino tentang kumpulan orang yang memiliki maksud terselubung berkumpul di sekitar orang yang pandai menipu itu benar-benar menyindir grup Hayama di volume 7.

  ...

  Kata-kata Miura soal tangisan seorang gadis tidak akan menyelesaikan masalah...

  Miura menjilat ludahnya sendiri di vol 10 chapter 4, Miura menangis sejadi-jadinya karena sudah putus asa dengan jurusan Hayama di kelas 3.

  ...

  Yui jelas tertarik dengan kasus hubungan pertemanan palsu di grup Rumi, karena itulah yang sebenarnya terjadi di kelas 1 dan 2 SMA.

  Di kelas 1 SMA, Yui satu grup dengan Sagami, tapi di vol 6 chapter 3, Yui menjelek-jelekkan Sagami.

  Di kelas 2 SMA, Yui sengaja berteman dengan Yukino agar bisa dekat dengan Hachiman di Klub Relawan, vol 3 chapter 1.

  ...

  Orang pertama yang memuji Hachiman dalam metode kali ini adalah Yukino, kedua adalah Hiratsuka-sensei di chapter 8.

  Jelas Yukino memuji Hachiman, karena dirinya sendiri ketika SD adalah seorang korban bully. Baginya, Hachiman adalah orang yang harusnya muncul ketika SD dulu.

  ...

  Hachiman sepertinya sudah menetapkan jawaban dari ajakan kencan Yui.

  Sebenarnya, jawabannya sudah tertulis jelas di vol 5 chapter 5, yaitu menolak ajakan Yui. Waktu itu, Yui mengajak Hachiman kencan di Festival Kembang Api, Pelabuhan Chiba. Sayangnya, Komachi berkata lain dan memaksa Hachiman.

  ...

  Hayama menyebut Haruno tanpa menjelaskan siapa Haruno di depan Hachiman, sama saja memberitahu kalau Hayama yakin Hachiman kenal Haruno. Artinya, ada satu pertemuan antara Haruno dan Hachiman sebelum chapter ini, yaitu vol 3 chapter 4, kencan Hachiman-Yukino di Lalaport.

  Ini menjawab juga pertanyaan Hayama di vol 4 chapter 4, Hayama hendak bertanya ke Hachiman soal Yu   . Jelas yang hendak dia tanya adalah Yukino, dan kemungkinan besar yang hendak Hayama bahas adalah laporan Haruno soal Hachiman dan Yukino yang berkencan di Lalaport.

  ...

  Jangan tertipu oleh pengandaian Hayama mengenai Hachiman satu SD dengannya, karena faktanya mereka saat ini sudah satu sekolah, satu SMA. Sebenarnya, pengandaian dan pertanyaan tersebut sudah dijawab sendiri oleh Hayama di awal chapter ini, yaitu Yukino lebih dekat dengan Hachiman.

  Ini juga menjelaskan tentang apa yang terjadi ketika SD dulu antara Hayama dan Yukino jika kita menyatukan kepingan petunjuk di vol 10 chapter 8, vol 11 chapter 1, dan vol 11 chapter 5. 

  Yukino memberikan coklat persahabatan kepada Hayama, tentunya Haruno juga menerima coklat tersebut. Tapi, gosip terdengar ramai kalau Yukino menyukai Hayama. Yukino dibully oleh gadis-gadis di kelasnya yang menyukai Hayama, lalu Yukino meminta kerjasama Hayama untuk menghilangkan gosip tersebut. Hayama mengira Yukino hanya malu mengakui kalau Yukino menyukai dirinya, jadi Hayama memilih tidak kooperatif karena mengira kedua pihak saling suka satu sama lain. Tanpa Hayama sadari, bully tersebut meninggalkan trauma yang mendalam bagi Yukino.

  Yukino memilih untuk mengambil beasiswa pertukaran pelajar dan sekolah di luar negeri semasa SMP, vol 4 chapter 3, jelas Yukino melakukannya karena dia tidak ingin menjadi korban bully ketika SMP nanti, dan menunjukkan betapa kecewanya Yukino kepada Hayama yang tidak mau kooperatif untuk menghilangkan gosip itu.

  ...

  Jelas saja Hayama mengatakan mungkin dia di SD tidak akan menyukai Hachiman, karena mereka berdua adalah rival, memperebutkan Yukino.

  ...

  Pertanyaan Yukino kepada Hachiman tentang aksi Hachiman kali ini demi siapa, sebenarnya memberikan gambaran jelas kepada Yukino di vol 6 chapter 6 Hachiman melakukan aksinya di rapat slogan Festival Budaya untuk siapa.

  Hachiman melakukannya untuk Yukino.





  

3 komentar:

  1. Masuk semua min.
    Versi animenya gak seditel ini, pas baca lnnya + konspirasi dari mimin jadi tercerna deh. Sasuga min 👏👏👏

    BalasHapus
  2. "Aku mungkin tidak akan menyukaimu, Hikigaya-kun" jadi si hayama udah tahu nama 8man, kenapa masih dipanggil hikitani?

    BalasHapus