x x x
Guru sastra
jepangku, Hiratsuka Shizuka, terlihat emosi ketika membaca essay milikku dengan
keras-keras. Ketika kudengarkan dengan cermat, aku ternyata baru sadar kalau
skill menulisku jauh dari kata bagus. Kupikir akan terlihat pintar jika kutaruh
beberapa huruf yang asing disana, tapi ternyata terlihat seperti sebuah taktik
murahan yang dimiliki seorang penulis bermasalah.
Apakah
karena tulisanku yang terkesan amatir tersebut, alasan dibalik dia memanggilku
kesini? Mungkin saja begitu. Pasti itulah alasannya. Setelah Sensei selesai
membacanya, dia menaruh tangannya di kening.
“Begini,
Hikigaya, apa tugas yang kuberikan kepadamu ketika di kelas tadi?”
“...Well,
itu adalah menulis essay dengan topik ‘Pandanganmu terhadap kehidupan SMA’.”
“Benar
sekali. Jadi kenapa kau menulis surat ancaman seperti ini? Apa kau teroris?
Atau mungkin, idiot?”
Dia
mengatakan itu sambil merapikan rambutnya, lalu tatapan matanya sangat tajam ke
arahku.
Kalau dipikir-pikir,
dia mungkin lebih tepat dikatakan ‘nyonya’ daripada ‘guru wanita’, karena yang
terakhir tadi lebih terkesan erotis. Ketika aku memikirkan banyak hal, kepalaku
dipukul oleh kertas yang digulung olehnya.
“Perhatikan
yang benar!”
“Ya, Sensei.”
“Matamu,
seperti mata ikan yang membusuk.”
“Tapi ikan
kaya omega-3 bukan? Saya rasa itu bisa membuat saya terkesan pintar.”
Tapi gerakan
mulutnya semakin emosi mendengarkan jawabanku.
“Hikigaya.
Apa-apaan dengan essay semacam ini? Aku ingin mendengar dulu alasanmu.”
Tatapan
matanya seperti orang yang melemparkan pisau ke arahku. Hanya wanita yang
dikutuk untuk menjadi cantik, adalah wanita yang bisa memberikan ekspresi yang
cukup kuat sehingga membuatmu terseret dalam auranya. Sederhananya, dia
terlihat menakutkan.
“Uh-well...bukankah
itu mencerminkan kehidupan SMA, benar tidak? Essay itu sudah melebihi
ekspektasi sebuah essay yang ditulis anak SMA!”
Aku terus
menggumamkan kata-kataku. Aku sebenarnya gugup berbicara kepada orang, tapi
berbicara ke wanita yang lebih tua membuatku bertambah gugup.
“Biasanya,
judul essay seperti itu akan membuat para siswa akan menuliskan pengalaman
mereka di dalamnya, benar tidak?”
“Memang
benar judulnya seperti itu, sensei. Kalau sensei menulis judulnya lebih detail,
mungkin saya bisa menulis essay sesuai dengan apa yang sensei ingin baca di
essay saya. Namun kalau tidak sesuai harapan sensei, bukankah itu salah sensei
yang memberi judul essay kurang detail?”
“Kau jangan
mengajariku, dasar bocah.”
“Bocah...?
Ya masuk akal juga kalau usia seperti sensei mengatakan itu kepada saya,
mungkin saya memang bocah.”
Ada sebuah
angin bertiup. Dan ternyata itu adalah sebuah pukulan. Pukulan yang dilepaskan
tanpa adanya gerakan awalan. Dan kalau itu belum cukup, itu adalah pukulan yang
mengagumkan sehingga hanya beberapa mili dari pipiku.
“Selanjutnya
kupastikan tidak akan meleset.” Dia mengatakannya dengan tatapan mata yang
serius.
“Maafkan
saya. Saya akan menulis ulang essaynya.”
Untuk
mengesankan penyesalan, aku akan menuliskan kata-kataku dengan bijak. Tapi
sekarang, dari semua yang sensei lakukan, tampaknya menulis ulang essay tidak
termasuk dalam salah satu cara untuk memaafkanku. Kurasa yang tersisa untukku
adalah berlutut dan membungkuk di depan kakinya.
Ketika aku
sedang mempersiapkan diriku untuk itu, dia lalu berkata.
“Tahu tidak,
aku sebenarnya tidak marah kepadamu.”
Oh, jadi
begini. Hal-hal mengganggu yang selalu mereka bilang. ‘Aku tidak akan marah,
jadi tolong beritahu’. Dan setelah kuberitahu, ternyata mereka marah. Tapi
anehnya, kali ini dia tidak terlihat marah. Well, kecuali adegan ketika aku
membahas usianya.
Aku lalu
melihat reaksinya ketika aku batalkan lututku yang hendak berlutut tadi.
Dari saku
mantelnya, dia mengambil rokok Seven Stars dan mengetuk-ngetuk mejanya dengan
bungkus rokok yang ada sisi filternya. Persis seperti yang dilakukan para pria
yang sudah tua. Setelah membuka rokoknya, dia lalu menyalakan korek 100Yen
tersebut dan menyalakan rokoknya. Dia lalu menghisap rokoknya dalam-dalam dan
mengeluarkan asapnya di depanku, dengan ekspresi wajah yang serius.
“Kamu tidak
ikut klub manapun, benar?”
“Benar.”
“...Kau
tidak punya satupun teman, benar tidak?”
Dia bertanya
seperti itu, seperti sudah menyimpulkan kalau aku memang tidak punya teman.
“Sa-saya
beritahu saja kalau saya ini hidup dengan pandangan yang parsial, sehingga saya
tidak bisa punya hubungan yang dekat dengan orang lain!”
“Kesimpulannya,
kau tidak punya, benar?”
“Pa-pada
dasarnya, yeah begitulah...”
Seperti
sudah menduga jawabanku seperti apa, ekspresi wajah sensei tiba-tiba berubah
menjadi sangat antusias.
“Jadi begitu
ya! Kau benar-benar tidak punya teman! Tepat seperti diagnosisku. Melihat kedua
mata yang terlihat mati sepertimu, aku langsung tahu!”
Jadi kau
bisa mengetahuinya hanya dengan melihat mataku? Kalau begitu kau tidak perlu
repot-repot tanya kepadaku lah!
Dia lalu
menganggukkan kepalanya dengan mengatakan “mhmmm...ya” dan melihat ke arahku.
“...Bagaimana
dengan pacar atau semacam itu?”
Apa-apaan
dengan ‘semacam itu’? Apa yang akan kau lakukan jika aku bilang kalau aku punya
homoan?
“Untuk
sekarang ini, belum punya...”
Aku masih
memiliki harapan agar memiliki itu di masa depan, jadi kukatakan ‘sekarang ini’,
untuk jaga-jaga...
“Begitu
ya...”
Kali ini dia
menatapku dengan tajam, dengan mata yang sedikit berembun. Kuharap itu karena
asap rokoknya yang membuat matanya iritasi.
Hey,
hentikan itu! Jangan mengasihani nasibku dengan tatapan mata seperti itu!
Ngomong-ngomong, ujung dari pertanyaan tadi kemana sih? Apakah
Hiratsuka-sensei memang guru yang seantusias ini?
Mungkinkah
dulunya dia adalah siswi SMA yang nakal dan dikeluarkan dari sekolah, yang
kembali ke sekolahnya untuk menjadi guru?...Serius nih, kembali saja ke
sekolahmu!
[note: Kalau tidak salah ada sinetron Jepun berjudul
Yankee Bokou ni Kaeru dimana anak nakal sekolah tersebut kembali ke sekolah
tersebut sebagai guru. Dimana guru tersebut membantu para anak nakal di
sekolahnya kembali ke jalan yang benar.]
Setelah
mempertimbangkan sesuatu, dia mengepulkan asap rokoknya.
“Baiklah,
begini saja. Tulis ulang essaymu.”
“Siap.”
Pasti akan
kulakukan.
Baiklah,
kali ini aku akan menulis banyak hal yang ‘normal’, tidak menyinggung siapapun.
Mirip seperti tulisan blog, gravure idol, dan seiyuu.
Seperti: Makan malam hari ini adalah...Kari!
Apa-apaan
menggunakan ‘adalah...’? Tidak ada yang mengejutkan dengan mengatakan akan
memakan kari.
Sampai saat
ini, reaksinya masih sesuai dugaanku. Tapi apa yang dia katakan selanjutnya
adalah hal yang diluar dugaanku.
“Tapi, fakta
kalau kau mengatakan hal-hal yang melukai perasaanku itu tetap kucatat. Apa kau
tidak pernah diajari agar tidak membicarakan usia wanita di depannya? Sebagai
hukumannya, kau akan bergabung dengan Klub Relawan. Lagipula, yang salah memang
harus menerima hukuman.”
Dia tidak
tampak terluka, malahan dia seperti memerintahku saja. Tapi, dia seperti orang
yang licik saja.
Ngomong-ngomong licik, ini mengingatkanku dengan hal yang lain...Kedua
mataku berusaha kabur dari realitas dimana dari tadi aku melirik ke arah dada
sensei yang berusaha keluar dari sesaknya blus yang dia pakai.
Sungguh
pemikiran yang tercela...Tapi kalau begitu, hukuman macam apa yang tadi dia
berikan?
“Klub
Relawan...Saya harus melakukan apa di klub itu?”
Aku
menanyakan itu karena bingung. Aku merasa kalau di klub itu aku harus melakukan
perbuatan-perbuatan kotor, seperti menculik orang.
“Ikuti saja
aku.”
Hiratsuka-sensei lalu mematikan rokoknya di asbak dan berdiri. Ketika
aku berdiri saja karena bingung tidak ada penjelasan yang memadai, ternyata
sensei sudah ada di pintu, melihat ke arahku.
“Oi,
cepatlah!”
Dengan
penasaran, kuikuti arah dimana langkahnya menuju.
x
x
x
Bentuk gedung sekolah dari SMA Sobu kota Chiba agak aneh. Kalau dari
atas, terlihat seperti huruf kanji untuk mulut ( ロ ). Kalau
ditambah gedung audio-visual, maka sekolah kita jika dilihat dari atas akan
terlihat seperti mata dari seekor burung. Gedung yang menjadi ruangan kelas
berada di dekat jalan raya, berseberangan dengan gedung khusus. Sebuah lorong
panjang yang ada di lantai dua menghubungkan kedua gedung, membentuk sebuah
image persegi.
Area-area kosong yang mengelilingi gedung sekolah adalah tempat suci
bagi anak muda yang harusnya mati di essayku. Ketika jam makan siang, baik
siswa maupun siswi makan siang bersama. Lalu, bermain badminton bersama.
Setelah pulang sekolah, dengan ditemani cahaya matahari yang sedang tenggelam
dan latar belakang gedung sekolah, mereka membicarakan tentang cinta-cintaan
sambil melihat ke arah bintang-bintang ditemani tiupan angin laut.
Yang benar aja!
Dari sudut pandang orang luar, mereka seperti para aktor yang memainkan
drama berjudul ‘masa muda’ dan memainkan peran mereka dengan baik. Dalam drama
seperti itu, mungkin aku berperan sebagai pohon atau semacam itu.
Jika melihat arah langkah sepatu ‘click-clack’ sensei yang membentur
lantai, tampaknya dia menuju ke arah gedung khusus.
Aku merasakan hal yang buruk soal ini.
Sebagai permulaan, sesuatu yang bernama ‘Klub Relawan’ sendiri sudah
terdengar buruk. Kata ‘relawan’ sendiri adalah hal yang tidak lazim dalam
kehidupan sehari-hari.
Tapi kenyataannya, hal-hal seperti itu tidak akan terjadi. Tidak,
sebenarnya, kalau dibayar maka tidak masalah. Kalau kata orang uang bisa
membeli segalanya, maka aku harusnya tidak perlu bermimpi di dunia yang busuk
ini. Dengan kata lain, ‘relawan’ sendiri terdengar buruk.
Yang terburuk adalah, kita sudah sampai di gedung khusus. Aku sepertinya
akan melakukan hal-hal semacam memindahkan piano dari ruang musik, membersihkan
sampah-sampah eksperimen di lab biologi, merapikan buku-buku di perpustakaan,
atau semacam itu. Kalau begitu, aku harus mempersiapkan rencana cadangan.
“Sensei, saya punya penyakit kronis di bawah punggung saya...kalau tidak salah her,
her, herpes? Yeah, itu dia...”
“Kurasa maksudmu tadi itu hernia. Tapi santai saja. Kau tidak akan
mengerjakan pekerjaan kasar.”
Hiratsuka-sensei berusaha meyakinkanku.
Oh begitu, tampaknya ini semacam pekerjaan kantoran? Kalau pekerjaan
semacam itu, maka ini adalah pekerjaan yang mengutamakan pikiran daripada
aktivitas fisik. Ini mirip siksaan untuk mengisi sebuah lubang daripada
menggali lubangnya.
“Saya seperti merasakan kematian ketika memasuki ruangan kelas.”
“Apa itu mirip dengan sniper dengan hidung panjang? Ituloh yang ada di
seri Bajak Laut si Topi Jerami?”
Jadi anda baca komik shounen juga?
Ya sudahlah, aku sendiri tidak keberatan mengerjakan pekerjaan
sendirian. Aku hanya mengatakan ke pikiranku saja kalau aku ini adalah sebuah
mesin, maka masalah selesai.
“Kita sudah sampai.”
Ruangan kelas di depan sensei tidak ada keanehan apapun jika dilihat
baik-baik. Tidak tertulis apapun di pintunya. Ketika aku menatap itu dengan
penasaran, sensei membuka pintu gesernya. Ada beberapa kursi dan meja yang
disusun bertumpuk di pojokan.
Mungkin ini digunakan sebagai gudang. Kalau dipikir-pikir, ini tidak ada
bedanya dengan ruangan kelas yang normal, kecuali posisi perabotannya. Tapi,
yang membedakan ruangan ini dari kelas adalah di ruangan ini ada seorang gadis.
Ditemani cahaya matahari senja, dia terlihat sedang membaca buku.
Mungkin kalau dunia akan kiamat, dia akan tetap duduk disana, membaca bukunya.
Dengan ilusi seperti ini, membuatku merasa kalau yang kulihat ini adalah sebuah
gambar lukisan.
Momen dimana aku melihat itu, baik pikiran dan tubuhku serasa membeku.
Aku sangat terpesona oleh pemandangan ini.
Menyadari kalau ada tamu, dia menaruh penanda halaman di bukunya dan
melihat ke arah kami.
“Hiratsuka-sensei. Saya pernah mengatakan kepada sensei untuk mengetuk
pintu dulu sebelum masuk...”
Tubuh yang elegan. Rambut hitam yang panjang. Meski memakai seragam yang
sama dengan gadis-gadis di kelasku, dia tetap terlihat berbeda.
“Meski aku mengetuk, kau tidak akan meresponnya.”
“Itu karena anda langsung masuk tanpa menunggu respon dari saya.”
Dia memberikan ekspresi protes untuk merespon kata-kata sensei.
“Dan siapa orang konyol yang ada di belakang anda itu?”
Dia menatapku dengan tatapan yang dingin.
Aku tahu gadis ini. Dia adalah Yukinoshita Yukino, kelas 2J.
Sebenarnya, aku hanya tahu nama dan wajahnya, aku tidak pernah bicara
dengannya. Mustahil aku bisa, karena pada dasarnya aku sendiri sangat jarang
berbicara dengan orang-orang di sekolah.
Di SMA Sobu, selain memiliki 9 kelas reguler per angkatan, disini ada
sebuah kelas yang berisikan siswa-siswa berprestasi yang diharapkan mampu
bersaing dengan kurikulum internasional. Kelas tersebut punya standar nilai 2-3
kali lebih tinggi daripada kelas lain. Kebanyakan berisi siswa pindahan dari
luar negeri ataupun siswa yang berkeinginan untuk kuliah di luar negeri.
Di kelas tersebut, ada satu siswa yang sangat terkenal, atau lebih
tepatnya, menjadi perhatian semua orang, dia adalah Yukinoshita Yukino. Entah
di ujian biasa atau ujian semester, dia selalu konsisten berada di ranking satu
dari seluruh siswa SMA Sobu. Sederhananya, dia adalah gadis yang paling cantik
dan sempurna di sekolah ini, semua orang tahu siapa dia.
Di lain pihak, aku adalah pria standar, siswa level medioker. Oleh
karena itu, kalau dia tidak kenal diriku, akupun tidak akan tersinggung. Meski,
aku agak sedikit tersinggung ketika dia mengatakan diriku konyol.
“Ini Hikigaya. Dia akan bergabung dengan Klub.”
Karena tiba-tiba dikenalkan sensei, akupun mengangguk. Kalau begini,
berarti aku harus memperkenalkan diriku.
“Aku Hikigaya Hachiman, dari kelas 2F. Umm...Eh...Apa maksud anda dengan
bergabung?”
Bergabung? Menjadi anggota klub ini?
Sensei lalu berbicara seperti sudah menduga apa yang ingin kukatakan.
“Kau harus terlibat aktif di kegiatan klub ini sebagai hukuman. Aku
tidak menerima protes, penolakan, pertanyaan, dan semacamnya. Coba kau
renungkan sikapmu itu. Bercerminlah dahulu!”
Tanpa membiarkanku untuk protes, dia melanjutkan.
“Dengan semua itu, kau mungkin bisa tahu dari melihatnya sekilas,
hatinya memang sudah korup. Hasilnya, dia terlihat seperti seorang penyendiri
yang perlu dikasihani.”
Bisakah anda bilang dari melihat sekilas saja sudah tahu, tanpa perlu
menjelaskannya detail?
Sensei lalu menatap Yukinoshita dan berkata.
“Kalau dia bisa belajar caranya bersosialisasi, mungkin bisa
kupertimbangkan lagi. Bisakah kuserahkan dia padamu? Requestku adalah agar kau
menghilangkan sifatnya yang korup dan tertutup.”
“Begitu ya, kupikir akan lebih bagus jika anda bersikap keras kepadanya
dan menanamkan disiplin.”
Yukinoshita meresponnya dengan tegas.
...Gadis yang menakutkan.
“Aku akan dengan senang hati jika bisa melakukannya, tapi aku sendiri
punya masalah yang harus kuselesaikan. Juga, disini tidak diperbolehkan adanya
kekerasan fisik.”
...Dia mengatakan itu seolah-olah kekerasan verbal diperbolehkan.
“Dengan berat hati saya menolaknya. Tatapan matanya seperti punya maksud
terselubung yang membuat hidupku serasa dalam bahaya.”
Yukinoshita seperti membetulkan kerah seragamnya, lalu dia menatapku.
Aku ini tidak sedang melirik dadamu yang super datar..Eh, benar tidak
ya? Tidak, tidak, aku tidak meliriknya. Aku hanya mengatakannya sekilas dan
tidak sengaja melirik dadanya.
“Jangan khawatir Yukinoshita. Karena mata dan hatinya sudah korup, dia
sangat adaptatif dan mengkalkulasi dengan baik resikonya. Dia tidak akan
melakukan sesuatu yang membuatnya mendapat tuntutan hukum. Kau bisa mempercayai
tampilan jahat yang menyedihkan darinya.”
“Itu bukanlah pujian...Apa anda tidak salah? Saya ini bukan mampu
mengkalkulasi resiko, lebih tepatnya saya ini mampu membuat keputusan yang
masuk akal.”
“Penjahat yang menyedihkan ya...Begitu...” kata Yukinoshita.
“Kau bahkan tidak mendengarkan penjelasanku dan langsung setuju
dengannya...”
Apa sensei berhasil mempengaruhinya ataukah tampilanku yang seperti
penjahat yang menyedihkan ini yang dia percayai? Entah apapun itu, Yukinoshita
sekarang menganggapku seperti sesuatu yang aku sendiri tidak ingin dia lihat.
“Ya sudah, kalau itu request dari sensei, saya tidak bisa
menolaknya... Saya terima requestnya.” Yukinoshita mengatakan itu dengan nada agak
jijik terhadap sesuatu.
Sensei tersenyum puas.
“Oke, kalau begitu selanjutnya kuserahkan padamu.”
Setelah itu, dia keluar ruangan dengan terburu-buru.
Dan aku hanya berdiri disini...
x x x
Sejujurnya, aku akan lebih tenang kalau mereka meninggalkanku sendirian. Tapi berada dalam
lingkungan yang asing, membuatku gugup. Suara dari detik jam dinding membuatku
ketakutan seperti takut tiba-tiba bersuara dengan keras.
Hei, apa ini, serius? Apa ini sebuah perkembangan kehidupan rom-com-ku?
Aku seperti diselimuti sebuah tensi yang cukup tinggi. Aku tidak mau komplain
dengan situasinya.
Tiba-tiba, sebuah memori kelam semasa SMP muncul di pikiranku.
Waktu itu jam pulang sekolah. Ada dua siswa yang masih berada di kelas.
Gorden kelas seperti tertiup angin yang lembut, dan cahaya matahari senja
menyinari ruangan itu, seorang laki-laki menembak si gadis di depannya.
Aku masih ingat betul kata-kata si gadis.
‘Bisakah kita berteman saja?’
Ah tidak, ini adalah memori buruk. Kita tidak pernah bicara apapun lagi
setelah menjadi teman. Karena itulah, aku berpikir kalau teman adalah sebuah
hubungan dimana orang-orang tidak perlu berbicara satu sama lain.
Intinya, sendirian ditemani gadis cantik di ruang tertutup adalah
semacam situasi rom-com yang tidak akan pernah terjadi dalam hidupku.
Sayangnya, aku sudah terlatih dalam hal ini, jadi aku tidak akan jatuh dalam perangkap
ini begitu saja.
Para gadis tertarik kepada pria seksi dan populer. Mereka juga memiliki
hubungan palsu dengan mereka. Memikirkan itu saja membuatku tertawa cekikikan.
Dengan kata lain, gadis-gadis semacam itu adalah musuhku.
Sampai sekarang, aku sudah bersumpah kalau aku tidak akan merasakan
pengalaman semacam itu lagi. Cara tercepat agar tidak terjebak dengan situasi
rom-com ini adalah dengan menjadi orang yang dibenci. Sengaja kalah agar
menang! Aku akan melakukan apapun untuk melindungi harga diriku, jadi persetan
dengan popularitas!
Kalau begitu, sebagai awalan, aku akan mengintimidasi Yukinoshita dengan
terlihat seperti orang jahat di depannya. Seorang binatang liar akan membunuh
orang dari tatapannya!
Grrrr...!
Yukinoshita lalu menatapku seperti sampah. Dia menatapku dengan setengah
mata tertutup dan mengembuskan napasnya.
“...Kenapa kau tidak berhenti berdiri disana, berhenti membuat
suara-suara yang menjijikkan, dan duduk?”
“Huh? Oh, yeah. Maaf.”
...Woah, apa-apaan tatapan matanya tadi? Semacam binatang buas?
Mungkin dia habis membunuh 5 orang!
Meski aku seperti berusaha mengintimidasinya, Yukinoshita masih bersikap
ramah kepadaku. Sambil berusaha menghilangkan rasa gugupku, aku menarik kursi
kosong terdekat dan duduk.
Setelah itu, Yukinoshita tidak mengatakan apapun. Dia hanya
membalik-balik halaman bukunya. Suara halaman buku yang dibalik seperti menjadi
suara latar ruangan ini. Aku tidak tahu apa yang dia baca kalau melihat
sampulnya, mungkin semacam literatur. Semacam karya Salinger, Hemingway, atau
Tolstoy. Kupikir itu yang bisa kubaca dari ekspresinya.
Yukinoshita terlihat seperti gadis dari kalangan elit kalau melihat
bagaimana dia memperlakukan siswa lain apapun yang terjadi, dia selalu terlihat
sebagai gadis yang sangat cantik. Tidak seperti orang elit yang normal,
Yukinoshita Yukino memutuskan ikatannya dari lingkaran sosial di sekitarnya.
Seperti namanya, yuki no shita no yuki (Salju
yang berada di bawah salju), tidak peduli seberapa cantik dirinya, dia tetap
tidak tersentuh dan tidak bisa didapatkan oleh siapapun. Yang bisa orang
lakukan hanyalah mengagumi kecantikannya.
Sejujurnya, aku tidak pernah menduga kalau kejadian aneh ini, berakhir
dengan menjadi kenalannya. Aku sangat yakin kalau kuceritakan ini ke
teman-temanku, mereka akan cemburu. Meski, aku tidak punya teman untuk
kuceritakan.
Jadi, apa yang akan kulakukan dengan Nona Cantik ini disini?
“Apa ada sesuatu?”
Mungkin karena aku menatapnya cukup lama, tapi Yukinoshita menutup
bukunya karena tidak nyaman dan langsung menatapku.
“Ah, maaf. Aku sedang berpikir apa yang harus kulakukan.”
“Tentang apa?”
“Begini maksudku. Aku ini diajak kesini tanpa diberi penjelasan apapun.”
Dia menatapku seperti melihat seekor serangga, dia lalu mengembuskan
napas seperti orang yang menyerah dan mengatakan beberapa kata.
“...Kurasa kau ada benarnya. Kalau begitu, mari kita jadikan itu game.”
“Game?”
“Ya. Game yang membuatmu harus menebak semacam apa klub ini. Jadi,
menurutmu...klub apa ini?”
Aku memainkan sebuah game dengan
gadis yang sangat cantik di ruangan tertutup...
Yang terbayangkan olehku hanyalah elemen-elemen erotis, tapi aura yang
dia berikan bukanlah aura yang lembut, tapi sejenis pisau yang tajam. Sangat
tajam sehingga nyawaku bisa hilang jika salah. Oi, kemana suasana rom-com tadi,
kok hilang?
Merasa terdesak, keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. Aku lalu melihat
ke sekitarku untuk mencari petunjuk.
“Apa ada member klub yang lain?”
“Tidak ada, hanya kita.”
Apa ini bisa dilegalkan menjadi sebuah klub? Aku sendiri ragu soal itu.
Sederhananya, disini tidak ada petunjuk sama sekali.
Tunggu. Sebenarnya, dari tadi memang banyak sekali petunjuk. Bukannya
sombong, aku ini memang bagus dalam game solo, semakin sedikit teman main maka
semakin bagus.
Aku sangat percaya diri dalam permainan dan teka-teki. Aku malah merasa
bisa menang kalau ada kuis di SMA. Kalau aku menggabungkan banyak sekali
petunjuk, maka jawabannya jelas.
“Ini sebuah klub literatur?”
“Benarkah...? Apa alasanmu?”
Yukinoshita mempertanyakan itu dengan wajah yang sangat antusias.
“Setting ruangannya. Tidak adanya peralatan khusus dan member klub yang
sedikit tapi klub tetap diperbolehkan ada. Dengan kata lain, ini adalah klub
yang tidak memerlukan dana dari sekolah. Tambahan lagi, kau membaca buku. Jadi jawabanku
tadi itu sudah tepat.”
Alasan yang mengagumkan, aku mengatakan itu ke diriku sendiri. Bahkan
bocah SD berkacamata akan mengatakan “wah, benarkah?” dan memberiku petunjuk,
kuselesaikan kasusnya seperti semudah menjentikkan jariku.
[note: Bocah SD berkacamata
adalah Conan Edogawa dari manga Detective Conan.]
Tampaknya Nona Yukino ini mulai terlihat kagum dan mengatakan ‘begitu ya...’.
“Salah.” Yukinoshita tertawa ketika mengatakannya.
...Sekarang, ini benar-benar membuatku gugup.
“Jadi klub semacam apa ini?”
Meski aku mengatakan itu, Yukinoshita memberikan tanda kalau game ini
masih berlanjut.
“Baiklah, kuberi petunjuk penting. Aku disini, yang sedang kulakukan ini, ini
termasuk aktivitas klub.”
Akhirnya dia memberiku petunjuk. Tapi ini tidak ada hubungannya dengan
jawaban. Bahkan, ini berakhir dengan kesimpulan yang sama dengan sebelumnya –
Klub Literatur.
Tunggu, tunggu dulu. Tenang dulu. Santai. Santailah, Hikigaya Hachiman.
Dia mengatakan kalau tidak ada member lain selain kita berdua. Tapi
meski berdua, aktivitas klub masih berlangsung.
Mungkin, ada member bayangan? Dan ada twist di ceritanya kalau ternyata
ada member bayangan di klub ini. Dan pada akhirnya, cerita rom-com milikku akan
berkembang menjadi Gadis Bayangan Yang Cantik dan diriku.
“Perkumpulan penelitian hal gaib!”
“Sudah kuberitahu tadi kalau ini adalah klub...”
“Oh, berarti Klub Penelitian Hal Gaib!”
“Salah...Itu konyol sekali. Hantu itu tidak ada.”
Dia mengatakan itu tanpa mengatakan hal yang manis seperti ‘Ka-karena tahu tidak, me-mereka itu tidak
ada! A-aku tidak mengatakan itu karena aku takut atau semacamnya!’. Dia
malah mengatakan itu dengan tatapan yang tajam. Tatapan sejenis yang mengatakan
‘orang idiot mati saja!’.
[note: Hachiman ternyata suka
gadis yang tsundere.]
“Aku menyerah deh. Aku tidak ada petunjuk lagi.”
x x x
“Hikigaya-kun. Sudah berapa lama semenjak terakhir kalinya kau berbicara
ke seorang gadis?”
Dia langsung saja menanyakan pertanyaan yang tidak relevan itu. Ternyata
gadis ini berani juga.
Aku sangat yakin dengan informasi yang ada di kepalaku. Aku ingat pernah
mengobrol dan gadis-gadis di kelasku menganggapku sebagai stalker. Menurut
memori otakku, terakhir kalinya aku berbicara kepada seorang gadis adalah Juni
dua tahun lalu.
Gadis: “Hari ini panas sekali ya?”
Aku: “Lebih tepatnya lembab sekali, benar tidak?”
Gadis: “Apa?....Oh...Um...Yeah, kupikir begitu.”
Selesai.
Percakapannya sejenis dengan itu. Kecuali fakta kalau dia ternyata tidak
berbicara kepadaku, tapi kepada gadis yang duduk di seberangku. Manusia memang
suka mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan. Bahkan sampai saat ini, ketika
ingat kejadian itu di tengah malam, aku rasanya ingin menutup kepalaku dengan
selimut dan berteriak sekencang-kencangnya.
Tepat ketika aku mulai lega karena memori itu sudah hilang lagi dari
kepalaku, Yukinoshita memberitahu sesuatu.
“Mereka yang mampu, termotivasi untuk memberikan sesuatu kepada yang
tidak mampu. Banyak yang mengatakan kalau itu adalah pekerjaan sukarela.
Memberikan bantuan untuk mengembangkan suatu negara, mengorganisir makanan bagi
tunawisma, memberikan kesempatan kepada pria tidak populer untuk berbicara kepada
seseorang gadis. Memberikan bantuannya kepada mereka yang membutuhkan. Itulah
yang dilakukan klub ini.”
Entah mengapa, Yukinoshita mengatakan itu sambil berdiri. Dia melihatku
dengan rendah.
“Aku mengundangmu ke Klub. Selamat bergabung dengan Klub Relawan.”
Meski suaranya tidak seperti orang yang mengundang, tapi caranya
mengatakan itu memang menarik. Mungkin itulah yang membuat mataku seperti
hendak meneteskan air mata.
Tapi dia tetap menaburi garam di lukaku, membuatku semakin depresi.
“Menurut Hiratsuka-sensei, ini adalah tugas bagi mereka yang superior
untuk menyelamatkan mereka yang eksistensinya menyedihkan. Aku akan memastikan
untuk memenuhi apa yang beliau requestkan kepadaku dengan penuh tanggung jawab.
Aku akan memperbaiki sikapmu yang bermasalah itu. Setidaknya, tunjukkanlah rasa
terima kasihmu.”
Mungkin dia meniru ‘noblesse oblidge’. Sebuah ungkapan berbahasa
Perancis yang berisi sebuah gerakan moral para bangsawan untuk menunjukkan
sikap mereka yang terhormat dan bermoral. Yukinoshita berdiri disana sambil
menyilangkan lengannya, memang menunjukkan sebuah image kaum bangsawan. Bahkan,
terasa wajar kalau memanggilnya kelas elit, kalau melihat nilai akademis dan
tampilannya.
“Gadis sialan...”
Aku harus menunjukkan segala yang kupunya untuk menjelaskan kepadanya
kalau aku bukanlah orang yang pantas untuk dikasihani.
“...Tahu tidak, meski aku yang mengatakan itu, aku sebenarnya ini
superior. Aku ini peringkat tiga dalam ujian Sastra Jepang! Aku punya penampilan
yang bagus! Kalau kau menyingkirkan fakta kalau aku tidak punya pacar atau
teman, aku sebenarnya berada dalam level elit.”
“Itu malah membuatku bertambah yakin...Tapi, sangat mengagumkan
melihatmu bisa mengatakan itu dengan percaya diri. Kau ini orang aneh. Aku
saja sudah mulai ketakutan.”
“Diamlah. Aku sendiri juga tidak sudi mendengar itu dari gadis yang aneh
sepertimu.”
Dia memang gadis aneh. Setidaknya, itu menurut gosip yang kudengar.
Gosip itu tidak sengaja kudengar, karena aku sendiri tidak berbicara dengan
orang di sekolah. Mereka mengatakan kalau Yukinoshita adalah gadis yang berbeda
dari gadis kebanyakan.
Mungkin inilah yang mereka sebut dengan kecantikan yang dingin. Dan
sekarang dia tersenyum dingin kepadaku. Kalau mau lebih spesifik lagi, senyum
yang sadis.
“Hmm...Menurut observasiku, tampaknya kesendirianmu itu merupakan hasil
dari pikiranmu yang korup dan sikapmu yang tidak percaya dengan sosial
sekitarmu. Pertama, aku akan menemukan tempat untukmu di sosial sekitarmu. Mau
bagaimana lagi, kau sendiri terlihat perlu dikasihani. Tahu tidak? Menemukan
tempat dimana kau harusnya berada, bisa membuatmu terbakar habis dan akhirnya
membuatmu menjadi bintang.”
“Itu cerita di buku ‘The Nighthawk Star’, benar tidak? Itu cukup nerdy.”
Kalau aku tidak ditakdirkan untuk menempati peringkat tiga di Sastra
Jepang, aku tidak mungkin tahu tentang itu. Juga, itu adalah cerita yang sangat
kusukai, jadi aku sangat mengingatnya dengan baik. Sangat tragis hingga
membuatku menangis. Itu adalah cerita yang pasti disukai oleh banyak orang.
[note: Nighthawk Star adalah
cerita tentang seekor burung yang bernama NightHawk. Dia terkenal karena buruk
rupa. Mencoba terbang jauh dan tewas. Setelahnya, tubuhnya menjadi cahaya yang
indah dan menjadi bintang yang bersinar sangat terang.]
Merespon kata-kataku, mata Yukinoshita terbuka lebar seperti terkejut
denganku.
“Aku terkejut. Aku tidak bisa membayangkan kalau siswa SMA yang berada
di bawah standar sepertimu akan membaca karya dari Miyazawa Kenji.”
“Apa kau baru saja meremehkanku?”
“Maafkan aku. Mungkin agak keterlaluan. Tepatnya adalah siswa medioker,
mungkin itu yang paling tepat.”
“Tapi itu bukankah masih keterlaluan?! Bukankah kau dengar kalau aku ini
ranking tiga?!”
“Menjadi percaya diri seperti itu hanya karena ranking tiga sungguh
menyedihkan. Membuat hasil sebuah tes sebagai indikator nilai intelektual
seseorang itu saja sudah menyedihkan.”
...Gadis ini. Ada sebuah batasan dimana orang bisa bermain kasar. Baru
bertemu dengan pria dan menunjukkan superioritasnya, dia pikir diriku ini
Pangeran Vegetta dari bangsa Saiyan?
[note: Pangeran Vegetta terkenal
karena sifat suka bertarungnya daripada intelektualitasnya. Manga Dragon Ball.]
“Meski begitu, ‘The Nighthawk Star’ memang cocok denganmu. Misalnya,
tampilan dari Nighthawk sendiri.”
“Apa kamu bilang kalau wajahku ini jelek?”
“Aku tidak mengatakan itu. Aku hanya mengatakan kalau kebenaran kadang
menyakitkan...”
“Bukankah yang kau katakan itu sama saja?!”
Lalu, Yukinoshita memasang wajah serius dan menaruh tangannya di bahuku.
“Kau jangan berpaling dari kenyataan. Lihat ke cermin dan lihatlah
realitanya.”
“Hei tunggu dulu. Meski akulah yang mengatakan itu, tapi kupikir aku ini
cukup ganteng. Bahkan adik perempuanku bilang ‘onii-chan, kau tampan sekali
jika tidak berbicara apapun...’. Itu bisa diartikan kalau wajahku ini tampan.”
Seperti yang kuharapkan dari adikku. Dia punya mata yang bagus! Dimana,
itu bertolak belakang dengan para gadis di sekolahku!
Yukinoshita menaruh tangannya di kening seperti sedang sakit kepala.
“Apa kau idiot? Kecantikan adalah sesuatu yang tidak bisa kau katakan
ke dirimu sendiri. Dengan kata lain, jika hanya ada dua orang di ruangan ini,
maka pendapatku adalah pendapat yang benar.”
“Me-meski awalnya membingungkan, entah mengapa, kurasa kata-katamu tadi
memang masuk akal...”
“Misalnya, kedua matamu itu seperti mata ikan busuk, dan itu
meninggalkan kesan yang buruk. Aku bukannya mau mengkritisi wajahmu, tapi
ekspresi wajahmu itu...sangat tidak menarik. Itu adalah bukti kalau kau punya
kepribadian ganda.”
Ketika dia berbicara, wajah Yukinoshita memang sangat manis, tapi di
dalamnya, terlihat berbeda. Tampilan matanya seperti melihat seorang kriminal.
Dia dan diriku tampak kurang dalam hal ‘chemistry’.
...Tapi kalau dipikir-pikir, apa kedua mataku ini memang terlihat
seperti mata ikan? Kalau aku ini seorang gadis, mungkin aku akan mengatakan ‘Apa?
Apa aku ini terlihat mirip dengan putri duyung?’.
Ketika aku sedang dibingungkan oleh pikiran-pikiran itu, Yukinoshita
memindahkan rambutnya ke belakang bahunya dan berkata seperti seorang pemenang
lomba.
“Intinya adalah, percaya diri karena punya nilai bagus di hal-hal palsu
seperti nilai akademis dan penampilan bukanlah hal yang menarik. Tidak lupa
kalau kau punya mata yang busuk.”
“Sudah cukup dengan ledekan tentang mata!”
“Ya, kurasa jika lebih jauh dari ini, kurasa itu tidak akan mengubah
sesuatu.”
“Mungkin kau bisa memulai itu dengan meminta maaf ke orang tuaku.”
Aku bisa merasakan wajahku sudah siap-siap untuk mengantisipasi respon
kemenanganku terhadapnya. Tapi ekspresinya menjadi lebih kejam disertai
kata-kata selanjutnya.
“Aku tampaknya sudah mengatakan hal-hal yang buruk. Aku merasa kasihan
dengan orang tuamu.”
“Oke, hentikan itu, ini salahku. Tidak, ini salah wajahku.”
Aku mengatakan itu seperti hendak menangis putus asa saja. Akhirnya,
Yukinoshita menghentikan kata-katanya. Aku akhirnya menyadari kalau
memperpanjang percakapan ini adalah hal yang sia-sia. Aku seperti sedang duduk
di dekat kaki pohon Budha, bermeditasi untuk mencari pencerahan, sementara itu
Yukinoshita terus melanjutkan kata-katanya.
“Ya sudahlah, setidaknya itu membuat simulasi percakapannya menjadi
komplit. Kalau kau bisa mengobrol dengan gadis sepertiku, maka kau harusnya
bisa mengobrol dengan siapapun.”
Dia meluruskan rambut panjangnya dengan tangan kanannya, Yukinoshita
memberikan ekspresi seperti sudah menyelesaikan sesuatu. Lalu dia tersenyum.
“Sekarang, kau punya memori spektakuler yang ada di dalam hatimu dan
akan menemanimu meskipun kamu sendirian.”
“Bukankah solusi itu hanyalah solusi sepihak saja?”
“Kalau begitu, maka itu tidak akan memenuhi request Sensei...Mungkin aku
harus memakai pendekatan paling mendasar...Seperti, menyuruhmu berhenti ke
sekolah?”
“Itu bukanlah solusi. Bukankah itu hanya menyembunyikan noda saja?”
“Ah, jadi kamu sadar kalau dirimu itu adalah noda di sekolah ini?”
“Jadi itukah alasannya mengapa orang-orang sering menatapku curiga dan
menghindariku?”
Aku berusaha merespon permainan candaan kata ini, tapi tidak untuk
memakan jebakannya.
“...Benar, sangat mengganggu.”
Ketika aku berusaha tersenyum melihat candaan kami, Yukinoshita
menatapku seperti berkata ‘kenapa makhluk sepertimu bisa ada?’. Seperti kataku,
kedua matanya sangat menakutkan.
Kesunyian melanda ruangan ini, dan aku sudah merasa cukup membiarkan
telingaku terluka. Sebenarnya, mungkin karena aku membiarkan Yukinoshita
mengatakan apapun yang ingin dia katakan dan itu membuat telingaku sakit.
Tapi, kesunyian itu berakhir ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan
keras.
x x x
“Yukinoshita, aku masuk.”
“Bukankah sudah saya beritahu untuk mengetuk pintu dahulu...”
Yukinoshita tampaknya sudah menyerah untuk memberitahunya.
“Maaf, maaf. Tidak usah pedulikan diriku, lanjutkan saja kegiatanmu. Aku
sempat berpikir untuk mampir dan melihat bagaimana situasi kalian.”
Sensei tersenyum ke Yukinoshita dan menyandar ke tembok ruangan ini. Dia
lalu melihat ke arahku dan Yukinoshita.
“Sangat menyenangkan melihat kalian berdua bisa akur.”
Apa-apaan kesimpulannya itu?
“Hikigaya, teruskan usahamu untuk menghilangkan temperamen sinismu itu
dan sembuhkan mata busukmu itu. Aku akan pulang dulu. Jangan lupa kalian pulang
sebelum jam tutup sekolah.”
“Tu-tunggu dulu!”
Aku lalu memegang tangan sensei untuk menghentikannya. Tapi, yang
terjadi...
“Ow! Owwwww! Aku menyerah! Aku menyerah!”
Dia langsung mengunci tanganku dengan sebuah kuncian lengan dalam
beladiri. Setelah aku menepuk-nepuk tangannya agar melepaskanku, dia akhirnya
melepaskanku.
“Oh, ternyata itu kau, Hikigaya. Jangan tiba-tiba berada di belakangku
karena aku bisa tidak sengaja mengeluarkan jurus beladiriku kepadamu.”
“Anda ini sebenarnya siapa? Golgo? Lagipula, bukankah anda yang
sebenarnya main tiba-tiba? Anda yang melakukannya tiba-tiba!”
[note: Golgo adalah seorang tokoh
assassin di manga Golgo13.]
“Apa kau mau minta lagi?...Ngomong-ngomong, ada masalah apa?”
“Masalahnya ya anda ini...Apa maksud anda mengatakan menghilangkan
sifatku? Bukankah itu sama saja dengan membuatku terlihat seperti anak muda
yang bermasalah? Jadi ini semua tentang apa?”
Sensei lalu menggaruk-garuk dagunya seperti memikirkan sesuatu.
“Bukankah Yukinoshita sudah menjelaskannya kepadamu? Sebenarnya, tujuan
klub ini adalah membantu orang menyelesaikan masalah mereka dengan membuat
mereka sendiri berkembang. Aku akan mengarahkan para siswa yang membutuhkan
pengembangan diri mereka di kelas konseling ke klub ini. Kau bisa menganggap
klub ini adalah tempat latihan ruang dan waktu di Dragon Ball, atau mungkin
Revolutionary Girl Utena, kalau itu bisa membuatmu mengerti dengan cepat.”
“Itu bahkan membuatku sulit untuk mengerti, malahan itu tadi sudah
menggambarkan seberapa tua anda.”
“Bisa kau ulangi lagi?”
“...Oh tidak ada apa-apa.”
Aku mencoba kabur dari tatapan dinginnya.
“Yukinoshita. Tampaknya kau sedikit kesulitan untuk ‘menyembuhhkannya’.”
“Itu karena dia tidak mau mengakui fakta kalau dirinya sendiri punya
masalah.”
Yukinoshita menjawab itu dengan dingin.
...Perasaan ini...Aku tidak tahan untuk berdiri disini. Ini mirip ketika
orangtuaku menemukan buku porno di laciku ketika aku kelas 6 SD dan sampai
sekarang masih saja menceramahiku.
Tidak, kurasa tidak seburuk itu.
“Umm...Kalian dari tadi mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal seperti
akan membenahiku-lah, membuatku berkembang-lah, reformasi-lah, revolusi
mengobrol dengan gadis-lah, dan lain-lain. Tapi, aku sendiri tidak pernah
memintanya...”
Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya sambil berkata “Hmm?”
“...Apa yang kau katakan? Kalau kau tidak berubah, kau akan berada di
level yang akan membuatmu hidup di sosial sekitar menjadi semakin berat.”
Yukinoshita memandangku sambil memberikan arguman yang sejenis dengan ‘Perang
itu tidak ada gunanya. Turunkan senjatamu!’.
“Kau tahu tidak, rasa kemanusiaanmu itu sangat berbeda dari yang
lainnya. Apakah kau tidak ingin merubah itu?”
“Bukan itu intinya...Aku ini tidak ingin seorangpun menodongkan tombak
kepadaku dan memintaku berubah. Mendikteku untuk menjadi seperti apa.
Sebenarnya, mengubah dirimu agar sesuai dengan dunia atau orang lain bukankah
berarti kau sudah tidak menjadi dirimu sendiri? Apa itu yang kalian sebut
dengan menjadi diri sendiri?”
“Dirimu sendiri adalah hal yang tidak bisa kau lihat oleh dirimu sendiri
secara objektif.”
Kata-kataku yang mengagumkan tadi mengutip kata-kata Descartes dan
dipotong oleh Yukinoshita...Meski begitu, kata-kataku selanjutnya adalah
kata-kata yang cukup bagus.
“Kau hanya melarikan diri dari masalah. Kalau kau tidak berubah, kau
tidak akan bisa maju ke depan.”
Yukinoshita mengatakan itu, memotongku dengan kata-kata kasarnya. Kenapa
dia selalu berseberangan dan mengatakan hal-hal yang tajam kepadaku? Apakah
orang tuanya kepiting atau semacam itu?
“Memangnya salah kalau lari? Jangan terus memberitahuku untuk berubah
seperti aku ini hanyalah idiot yang tahu satu hal. Kalau kau seperti itu maka
yang kau lakukan itu seperti berkata ke matahari, ‘Tenggelam di barat itu sudah
sangat mengganggu, jadi tolong mulai besok tenggelamlah di timur’.”
“Itu keliru. Tolong jangan mengalihkan topiknya. Matahari itu tidak
bergerak, tapi bumi yang bergerak. Apa kamu tidak tahu teori heliosentris?”
“Itulah yang mau kukatakan! Kalau itu keliru, maka yang kau katakan juga
keliru. Dengan berubah, pada akhirnya aku akan berubah hanya agar bisa lari
dari masalah. Jadi, siapa yang sebenarnya lari dari masalah? Jika aku tidak
lari dari masalah, maka aku tidak akan berubah dan berdiri di tempat dimana aku
berada kini. Kenapa kau tidak terima saja masa lalu dan diriku yang sekarang?”
“...Kalau begitu, itu tidak akan menyelesaikan satupun masalah ataupun
menyelamatkan seseorang.”
Ketika Yukinoshita mengatakan kata ‘menyelamatkan’, ekspresinya seperti
diliputi amarah yang luar biasa. Aku bersedia meminta maaf karena mengatakan
hal-hal tidak jelas sehingga membuatnya emosi dengan mengatakan ‘ma-maaf’ jika
itu bisa mendinginkannya. Berbicara tentang penebusan dosa, ini bukanlah hal
yang sepatutnya dikatakan siswa SMA. Aku hanya tidak mengerti mengapa dia bisa
menjadi emosi seperti itu.
“Kalian berdua tenang dulu.”
Hiratsuka-sensei mengatakan itu dengan santai, dan menjadikan
kata-katanya itu sendiri sebagai faktor yang membuat suasana ini tidak
menyenangkan.
“Ternyata ini berkembang menjadi hal yang menarik. Aku sangat menyukai
perkembangan yang semacam ini. Ini seperti cerita-cerita manga JUMP. Dan ini
adalah hal yang bagus, bukan begitu?”
Meski dia perempuan, kedua matanya terbakar seperti seorang lelaki.
“Dahulu kala, ada dua buah kekuatan besar yang memiliki prinsip keadilan
berbeda. Karena kita ini meniru plot di manga shounen, akhirnya keduanya
terlibat di sebuah pertempuran akhir.”
“Tapi kami berdua tidak sedang berada dalam manga shounen...”
Tampaknya tidak ada yang mempedulikan kata-kataku.
Sensei tertawa, dia menatap kami dan membuat sebuah pengumuman.
“Begini saja. Mulai sekarang, aku akan mengirimkan domba-domba bermasalah
ke klub ini dimana kalian akan menangani mereka. Kalian berdua akan membantu
mereka sesuai dengan cara kalian. Dan ini merupakan momen yang bagus untuk
membuktikan kalau keadilan moral milik siapa yang paling benar. Siapakah yang
bisa membantu orang-orang ini?! Gundam Fight. Siap, Go!!”
“Aku menolak.”
Yukinoshita langsung menolak usulannya. Kedua matanya terlihat sangat
dingin, persis seperti sebelumnya. Karena aku setuju dengannya, akupun
mengangguk. Tidak lupa kalau entah apa namanya gundam tadi, bukanlah sesuatu
dari generasi kita.
Setelah melihat kami yang menolaknya, dia seperti hendak frustasi saja.
“Tsk. Mungkin Robattle lebih mudah dipahami...”
[note: Robattle itu ada di RPG
Medabots. Dimana bisa bertarung dengan medabot lainnya.]
“Bukan itu masalahnya...”
Game seperti Medabots itu sudah kuno sekali...
“Sensei. Tolong berhentilah bersikap seperti anak kecil yang hiperaktif.
Mungkin keren untuk seseorang yang seumuran dengan anda, tapi itu sangat buruk
bagi kami.”
Yukinoshita seperti mengatakan kata-kata yang tajam setajam bongkahan
es. Aku tidak tahu apakah sensei sudah ‘normal’ atau masih ‘status aneh’, tapi
wajah sensei terlihat memerah karena malu. Dia lalu pura-pura terbatuk dan
menjelaskan ulang.
“Be-begini! Satu-satunya hal yang membuktikan perkataan mereka benar
adalah aksi mereka! Jika aku mengatakan kalian harus bertanding, maka kalian
akan bertanding. Kalian berdua tidak punya hak untuk menolak.”
“Itu terlalu tirani...”
Dia ini persis seperti anak kecil! Satu-satunya hal darinya yang dewasa
adalah dadanya.
“Agar kalian bertarung dengan serius, aku akan memberikan sebuah
motivasi. Bagaimana kalau yang menang bisa memerintahkan yang kalah apapun yang
mereka inginkan?”
“Apapun itu?”
Kalau ‘apapun’, pastinya akan minta ‘itu’? Mustahil yang lain selain ‘itu’...
Tiba-tiba suara kursi yang digeser terdengar. Yukinoshita seperti
bergerak dua meter ke belakang, melindungi tubuhnya seperti mengambil posisi
bertahan.
“Bertarung melawan pria ini membuat kesucianku dipertaruhkan. Aku
menolak.”
“Prejudice! Tidak semua siswa kelas 2 SMA akan selalu memikirkan hal
itu! Ada banyak hal seperti, uh...Sebentar kupikir dulu!...Kedamaian dunia?
Hal-hal semacam itu? Selain itu, kurasa aku tidak bisa memikirkan hal yang
lain.”
“Jadi Yukinoshita Yukino sendiri takut...Apa kau takut kalah?”
Sensei mengatakan itu dengan wajah yang licik. Yukinoshita sepertinya
tersinggung olehnya.
“...Baiklah. Meskipun, sebenarnya aku cukup terganggu dengan provokasi
murahan. Kuterima. “
Woah, Yukinoshita pecundang yang buruk. Bagaimana bisa dia tipe yang takut
kalah?
Hiratsuka-sensei seperti tersenyum dan menggerutu, lalu dia memalingkan
wajahnya dari tatapan Yukinoshita.
“Kalau begitu, sudah diputuskan!”
“Hei, anda belum bertanya kepada saya apakah saya menerimanya...”
“Melihatmu tersenyum licik saja sudah menjelaskan mengapa aku tidak
perlu bertanya kepadamu.”
Begitu ya...
“Akulah yang akan memutuskan pemenang pertandingan ini. Tentunya,
keputusan itu berdasarkan opiniku dan bias. Jangan terlalu dipikirkan dan
bersikaplah seperti biasanya...Lakukan yang terbaik!”
Setelah mengatakan kata-kata itu, sensei meninggalkan ruangan.
Meninggalkan Yukinoshita yang sedang menyilangkan lengannya dan diriku di
belakang.
Tentunya, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ketika kesunyian
melanda ruangan, suara dari radio pengumuman berbunyi. Itu adalah tanda kalau
jam tutup sekolah sudah dekat. Menandakan akhir dari segala aktivitas sekolah
di hari itu.
Dengan sinyal itu, Yukinoshita mengemas barang-barangnya seperti hendak
pulang ke rumah. Setelah dia memasukkan semua bukunya ke tas, dia berdiri.
Tanpa sedikitpun menoleh kepadaku, dia pergi begitu saja. Tanpa mengatakan ‘sampai
jumpa besok’ atau ‘selamat tinggal’, dia berjalan begitu saja. Aku bahkan tidak
sempat memanggilnya karena ekspresinya yang dingin itu.
Dan disinilah aku, satu-satunya orang di ruangan ini. Apa hari ini
semacam hari sial atau semacamnya? Aku dipanggil ke ruang guru, lalu dipaksa
bergabung dengan klub misterius, dan dibully secara verbal oleh seorang gadis
yang hanya punya sisi manis...maksudku wajahnya yang manis. Dan akhirnya aku
berakhir dengan menerima damage yang luar biasa.
Bukankah berbicara dengan seorang gadis harusnya membuat dirimu semakin
antusias? Malahan hatiku seperti tenggelam semakin dalam.
Kalau tahu akan berakhir seperti ini, mungkin berbicara ke hewan setiap
hari akan terasa lebih enak. Mereka tidak mengatakan sesuatu kepadamu dan
selalu tersenyum. Kenapa aku tidak terlahir sebagai orang yang punya sifat
hardcore masochist?
Dan yang terpenting, kenapa aku dipaksa ikut pertandingan yang tidak
jelas? Dengan Yukinoshita sebagai musuhku, kupikir aku tidak akan menang. Aku
membayangkan apakah sesuatu seperti pertandingan itu termasuk dalam kegiatan
klub. Ketika aku membayangkan ‘aktivitas klub’,
sesuatu seperti para siswa membentuk girl band seperti DVD yang kutonton
tampaknya lebih menarik.
[note: Anime K-ON.]
Jika keadaannya terus begini, akankah kami berdua akan bisa bersama?
Tampaknya tidak.
Dia mungkin akan memerintahku dengan gaya tata krama elit dan mengatakan
‘Napasmu bau, bisakah kau berhenti bernapas setidaknya selama 3 jam?’.
Seperti yang kuduga, masa muda hanyalah masa dimana penuh dengan
kebohongan.
Setelah kalah dalam turnamen baseball di kelas tiga, mereka menangis
untuk membuat suasananya menjadi indah. Setelah gagal dalam ujian masuk
universitas, mereka mengatakan kegagalan itu hanyalah jadi pengalaman hidp
saja. Setelah ditolak orang yang ditembaknya, mereka menghilang. Mereka menipu
dirinya sendiri dengan sikap arogannya, mereka berpikir kalau yang mereka
lakukan itu demi kebahagiaan orang tersebut.
Dan terjadilah kejadian tadi. Kehidupan komedi romantis masa muda antara
diriku dengan gadis penyendiri dan menyebalkan yang memiliki sifat tsundere tidak
akan terjadi. Seperti yang kuduga; masa muda itu penuh kepura-puraan,
pengalihan isu, dan konspirasi.
x Chapter I | END x
Analisis
Sikap Hachiman yang terpesona oleh Yukino di chapter ini, adalah kunci pernyataan Hachiman di vol 7 chapter 3 tentang dirinya yang pernah jatuh cinta pada seorang gadis. Bisa dikatakan, Hachiman menyukai Yukino sejak pertemuan pertamanya.
...
Hachiman yang menyatakan kalau seluruh siswa SMA Sobu kenal Yukinoshita Yukino sebenarnya tidaklah benar. Buktinya, vol 3 chapter 5, Sagami dan Hatano tidak yakin gadis yang di depannya adalah Yukino.
Hanya satu hal yang menjelaskan hal ini, Hachiman kemungkinan besar mencari tahu siapa Yukino (Stalker).
Hanya satu hal yang menjelaskan hal ini, Hachiman kemungkinan besar mencari tahu siapa Yukino (Stalker).
...
Hachiman menyukai gadis tsundere.
...
Cerita Nighthawk Star mirip cerita hidup Yukino. Memisahkan diri dari Ibunya agar bisa hidup lebih baik.
...
Kemungkinan besar, Yukino tahu nama Hikigaya Hachiman dari kecelakaan satu tahun lalu.
...
Misteri mengapa Hiratsuka-sensei menaruh Hachiman di Klub Relawan sebenarnya baru terbuka di vol 9 chapter 5.
Cerita hubungan Hachiman dan Yukino mirip cerita Sensei ketika muda dulu, karena salah perhitungan, akhirnya berakhir seperti saat ini. Sensei berharap Hachiman bisa membuka hati Yukino dan bersamanya.
Singkat kata, Hiratsuka-sensei melihat Yukino ini mirip dengan seorang pria yang dulu pernah dia sukai. Setelah menjadi asisten guru BK, Hiratsuka-sensei bisa melihat karakter siswa yang mirip dengannya, yaitu Hachiman. Lalu, Sensei berharap dengan ditaruhnya Hachiman disana, bisa membuat Yukino berubah.
...
Pernyataan Yukino yang hendak mencarikan tempat dimana Hachiman harusnya berada, menjadi awal pengulangan di vol 1 chapter 6 dan vol 7.5 side B.
Dalam vol 1 chapter 6, Hachiman menyarankan Totsuka untuk berjuang mempertahankan tempat dimana dia berada, yaitu Klub Tenis.
Dalam vol 7.5 side B, Hachiman mempertanyakan itu ke dirinya sendiri. Dimana tempat Hachiman harusnya berada?
...
Misteri mengapa Hiratsuka-sensei menaruh Hachiman di Klub Relawan sebenarnya baru terbuka di vol 9 chapter 5.
Cerita hubungan Hachiman dan Yukino mirip cerita Sensei ketika muda dulu, karena salah perhitungan, akhirnya berakhir seperti saat ini. Sensei berharap Hachiman bisa membuka hati Yukino dan bersamanya.
Singkat kata, Hiratsuka-sensei melihat Yukino ini mirip dengan seorang pria yang dulu pernah dia sukai. Setelah menjadi asisten guru BK, Hiratsuka-sensei bisa melihat karakter siswa yang mirip dengannya, yaitu Hachiman. Lalu, Sensei berharap dengan ditaruhnya Hachiman disana, bisa membuat Yukino berubah.
...
Pernyataan Yukino yang hendak mencarikan tempat dimana Hachiman harusnya berada, menjadi awal pengulangan di vol 1 chapter 6 dan vol 7.5 side B.
Dalam vol 1 chapter 6, Hachiman menyarankan Totsuka untuk berjuang mempertahankan tempat dimana dia berada, yaitu Klub Tenis.
Dalam vol 7.5 side B, Hachiman mempertanyakan itu ke dirinya sendiri. Dimana tempat Hachiman harusnya berada?
Bang gk bsa di download nang file pdf dong bang
BalasHapusKangen novel ini, baca ulang lagi dari awal huuuu..
BalasHapusBtw menurut gua hal paling seru di novel ini perdebatan Hachiman Sama Yukinon apa lagi sampe saling sarkas lucu bgt.
Nikmatin ajha buat nyelesei'in ini novel
BalasHapusMarathon...star!! Do'akan agar selamat 😆👌
BalasHapusbaru mau marathon gua malah wkwk , nunggu s3 skalian heheh
HapusNyesel baru sekarang liat versi LN nya ternyata bagus bngt
BalasHapusKompleks sekaleee...
BalasHapusSeger nih buat marathon gegara s3 yng bikin canggung. Alhamdulillah
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus