Minggu, 14 Februari 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Volume N Chapter 2 : Di satu sisi, Kawasaki Taishi adalah pribadi yang keren


x x x









  Kawasaki Taishi. Adik dari teman sekelasku yang bernama Kawa-sesuatu, Kawasaki Saki. Dia seumuran dengan Komachi dan ikut kelas bimbingan belajar yang sama. Menurut hukum Layman, sepertinya seluruh siswa SMP juga ikut kelas tambahan. Kota ini punya banyak sekali bimbingan belajar yang berkualitas. Tentunya, baik dirinya dan Komachi ikut bimbingan belajar yang terdekat dari rumah masing-masing, ini berarti kalau rumah keluarga Kawasaki tidak jauh dari sini juga. Kalau begitu, lokasi bimbingan belajarnya berada diantara rumahnya dan rumahku. Ini artinya: Apapun jalan yang dipilih oleh Taishi ketika hendak pulang ke rumah dari bimbingan belajarnya, mustahil dia beralasan mampir kesini  ‘kebetulan lewat karena memang lewat jalur ini kalau pulang ke rumah’. Bukannya aku mau mempermasalahkan dia yang mampir ke rumah kami ataupun jalur yang dia pilih untuk pulang.

  Kawasaki Taishi ada disini bukanlah hal yang mengejutkan: Si anak SMP berusaha agar punya alasan mampir ke rumah gadis yang dia sukai. Sumbernya: diriku sendiri. Kalau dipikir lagi, ini memang menyedihkan. Aku merasa ingin menghajar sampai babak belur diriku yang ada di masa lalu itu.

  Akupun melihat ke arah Taishi. Dia membicarakan sesuatu dengan Komachi, dan Komachi juga terlihat tidak membenci itu. Itu artinya, Komachi memang membiarkan dia datang kesini. Akupun menunggu momen diantara percakapan mereka dan menanyakan sesuatu.

  “Jadi kalian pulang bersama-sama?”

  “Ya, kami telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru pembimbing dan kebetulan kami pulang di waktu yang bersamaan.”

  Aku tahu maksudnya. Jadi dia sengaja menunggu Komachi menyelesaikan tugasnya. Sekarang sudah malam, jadi dia tampaknya menunggu sangat lama hingga Komachi selesai. Kuakui usahamu, nak. Bahkan The Amin tidak akan mau menunggu selama itu. Atau mungkin saja mereka mau. [https://www.youtube.com/watch?v=cG2N38Eq2IM] lagu ini. Sebenarnya, sampah-sampah jaman dulu apa yang si Hikki ini dengar sih? Kuakui kalau aku menyukai bagaimana Taishi merencanakan penyergapan ala Yumin terhadap Komachi, tapi di sisi lain akupun merasa sedih. Komachi lalu menarik-narik lenganku.

  “Taishi katanya ingin ngobrol denganmu.”

  “Huh.”

  Jadi dia tidak kesini demi Komachi saja? Akupun melihat ke arah Taishi. Dia lalu pura-pura terbatuk dan melihatku dengan sangat serius.

  “Onii-san, bolehkah aku mengobrol denganmu sebentar?”

  “Ogah. Jangan panggil aku kakakmu. Lagian, siapa sih kamu?”

  “Aku tidak akan menyerah! Namaku Kawasaki Taishi.”

  Diapun membalasku sambil berjalan ke arahku. Ya ampun, dia sangat serius, bagaimana aku bisa menolakmu? Tidak, tidak ada waktu untuk memikirkan adegan dalam manga Shoujo. Dia sangat serius hingga membuatku memalingkan pandanganku. Aku pasti akan kalah jika kita berada di dunia hewan.

  “Jadi, apa maumu?” kuputuskan untuk mendengarkannya.

  “Membicarakan soal ujian masuk SMA Sobu. Katanya akan ada sesi wawancara.”

  “Ah. Yeah, setahuku memang akan ada sesi wawancara dalam ujiannya.”

  Akupun agak lupa-lupa ingat tentang wawancara itu. Ya, hari pertama ujian masuk akan berisi ujian tulis. Dan hari kedua ujian berisi ujian wawancara. Karena aku mengingat soal itu, akupun teringat tentang suatu hal.

  “Komachi, kau sudah siap dengan ujian wawancaranya?”

  “Yep. Dulu aku pernah mencoba masuk SMA Sobu lewat jalur rekomendasi sekolah, jadi aku ikut program latihan wawancara di bimbingan belajar.”

  “Hmm, latihan wawancara...”

  Di bimbingan belajar, memang ada program untuk membantu siswa dalam sesi wawancara sekolah. Mereka bahkan punya program kerjasama dengan beberapa SMA lewat program rekomendasi. Meski, Komachi akhirnya gagal dalam ujian rekomendasi itu, dengan nilai yang cukup tipis. Lagipula, mustahil orang paling komunikatif di keluarga Hikigaya bisa gagal di sesi wawancara. Cukup fokus di ujian tulisnya, maka semuanya akan berjalan dengan lancar. Kakakmu ini percaya denganmu! Ngomong-ngomong, dulu ketika aku ikut ujian masuk SMA Sobu, aku tidak menganggap serius ujian wawancara dan fokus ke ujian tulisnya saja. Di hari kedua, sesi wawancara, kalau tidak salah aku hanya duduk dan tidak melakukan apapun. Mungkin karena aku pikir jika ujian tulis lancar, harusnya aku akan baik-baik saja, jadi aku menanggapi sesi wawancara dengan tenang. Sayangnya, aku lupa apa saja yang ditanyakan waktu sesi wawancara. Tapi aku hanya bisa mengingat kalau wawancaranya berlangsung hangat dan akrab, sehingga itu bukan masalah serius. Tapi bagi mereka yang belum pernah ikut ujian, pasti akan mengkhawatirkan hal tersebut.

  “Aku belum pernah ikut ujian dengan wawancara, jadi aku khawatir.”

  Taishi mengatakan itu dengan nada yang terdengar depresi. Kupikir dia tidak perlu khawatir. Entah itu tes rekomendasi ataupun ujian-ujian lainnya, asal kamu yakin dengan jawabanmu, maka kau bisa lulus wawancaranya. Tes tulis adalah yang terpenting. Tapi, itu hanya pendapatku saja. Meski kau terlihat bagus di wawancara tapi nilai ujian tulismu rendah, kau bisa mengucapkan selamat tinggal ke SMA Sobu dan ujian masuk SMA lainnya.

  Oleh karena itu, aku ingin menjelaskan itu kepadanya.

  “Wawancaranya gampang sekali. Kau bisa tanya itu ke kakakmu.”

  “Mustahil! Dia terlihat tidak tahu apapun soal wawancara!”

  Dia baru saja menjelekkan kakaknya dan menertawakan itu. Kau bisa dipukul olehnya nanti, tahu tidak! Meski aku tidak bisa mengatakan kalau yang barusan dia ucapkan adalah salah. Lihat saja sekilas kakak perempuannya itu, maka kau akan langsung tahu kalau wawancara merupakan hal buruk baginya. Dia mungkin terlihat seperti anak muda yang tidak peduli dengan kehidupan sosial, tapi faktanya, dia adalah gadis yang normal.

  Siapa sih yang menciptakan tentang “siapa yang keren” dan “siapa yang benar” ketika melabeli para anak muda ini? Hal-hal tersebut hanya dipakai untuk memperkuat status sosial dalam komunitas. Jadi orang-orang yang dianggap kelas bawah akan mengibas-ngibaskan ekornya dan merasa bahagia setiap ada orang dengan status sosial di atasnya mengatakan “ini, ini, manis” lalu melempar makanan ke mereka. Aku ini orang yang serius, dan aku hidup dalam dunia yang serius. Meski, hanya kriminal rendahan saja yang mengatakan hal itu. Mereka bukanlah tandingan para preman di Chiba. Mereka pernah memerasku 500Yen sewaktu SMP dulu. Sampai sekarang akupun masih emosi dengan hal itu.

  “Kakakku itu ya seperti itu. Hanya kepadamu saja aku bisa menanyakan itu, Onii-san.”

  “Hmm.”

  Aku masih berpikir kalau Taishi menjelek-jelekkan kakaknya. Tapi dia masih sayang kepadanya, sampai sejauh itu meminta bantuan Klub Relawan tempo hari. Itu artinya dia tidak ingin melihat kakaknya sedih, oleh karena itu dia bertanya ke orang lain. Ini artinya aku harus menanggapi pertanyaannya dengan serius. Taishi lalu pura-pura terbatuk lagi.

  “Ini mungkin akan memakan waktu, jadi bisakah kita membicarakan ini di tempat lain?”

  Dia mengatakan itu sambil menatap ke arah pintu rumah kami. Jadi dia memberiku kode agar mengajaknya masuk ke dalam? Setidaknya, aku tidak akan membiarkan orang yang tidak dikenal masuk ke kamar Komachi.

  “Baiklah.”

  Akupun menjawabnya sambil membuka pagar rumahku. Tapi dia masih terlihat menatap ke arah pintu rumahku dan terdiam. Komachi lalu melihat kami berdua dan dia memasang senyum yang licik.

  “Well, rumahku masih berantakan saat ini. Bagaimana kalau kita pergi ke McDonalds dekat stasiun? Tapi aku tidak bisa ikut, aku merasa sangat kedinginan saat ini.”

  Wajah Taishi terlihat kecewa.

  “Benar juga, memang dingin.”

  Dia mengatakan itu sambil tersenyum. Yep, licik sekali. Komachi, aku sekarang benar-benar takut denganmu. Kasihan sekali dirimu, nak Taishi. Tapi, sebagai kakak, aku harusnya menendang jauh musuh-musuh yang ada selagi ada kesempatan.

  “Well, karena memang sangat dingin, kita bisa bertemu lagi di lain waktu.”

  “Ti-tidak, kalau kupikir-pikir, ini tidak begitu dingin. Ayo kita lakukan disini saja, Onii-san!”

  Taishi menggaruk-garuk hidungnya dan tersenyum. Huh, serangga kecil ini ternyata tidak buruk juga. Jika dia setuju kalau ini cukup dingin, maka artinya dia harus pergi. Hati dari seorang pria harusnya memang sekuat baja, tidak begitu saja pulang ke rumah hanya karena dingin. Kurasa aku harus menaruh hormat atas keberanianmu itu dan tidak akan berperan sebagai ‘kakak Komachi’ untuk hari ini. Ya sudahlah, ayo kita bicara.

  “Kalau cuma sebentar, kurasa aku bisa mengujimu dan memberikan beberapa saran untuk wawancara.”

  “Ya, terima kasih.”

  Taishi terlihat senang ketika menjawabnya. Kurasa keceriaannya barusan sudah memberinya cukup poin untuk lulus tes wawancara. Ngomong-ngomong, kalau dia memang mencari jawaban, maka aku akan memberikannya yang banyak. Akupun membetulkan kerahku dan memasang ekspresi wajah yang serius.

  “Kenapa kau memilih sekolah kami ini?”

  Akupun menanyakan itu sambil menatap Taishi dengan serius. Dia tampak ketakutan dengan tatapanku dan berkali-kali terlihat gugup.

  “Well...Kakak perempuan saya adalah siswa sekolah anda, dan menurutnya, sekolah ini punya sejarah akademis yang bagus dalam IPA maupun IPS. Juga, lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Oleh karena itu, saya memilih sekolah anda sebagai tujuan saya.”

  Taishi mengatakan itu dengan sopan dan hati-hati tanpa kehilangan tempo. Akupun mengangguk kepadanya, tersenyum dan mengatakan apa yang harusnya dikatakan pewawancara.

  “Bagus dan cukup jelas. Apa yang kau katakan tadi adalah jawaban yang kau hapalkan selama ini?” jawabku. Setelahnya, aku merasakan angin yang dingin menembus pakaianku. Taishi hanya berdiri saja dengan mulut yang terbuka. Komachi yang berada di sebelahnya, hanya bisa menganggukkan kepalanya.

  “Aww...Onii-san, barusan tadi sangat menakutkan.”

  “Hei, bukan aku yang terlihat buruk disini. Aku hanya menirukan kata-kata orang yang biasa mewawancaraiku.”

  Jujur saja, itu memang kata-kata yang sering diucapkan pewawancara kepadaku. Aku pernah mengalami wawancara kerja yang membuatku sangat stress dan membuatku patah hati sehingga aku tidak bekerja dengan maksimal. Tapi, Taishi tidak menyerah.

  “Bi-bisakah kau ulang lagi wawancaranya?” dia mengatakan itu sambil menggumamkan “tolong...”. Oh hentikan itu, kau tidak perlu menganggap itu dengan serius. Aku hampir saja mengagumi sikapnya itu, tapi dia tidak boleh larut dalam pujian. Aku harus menekannya lebih jauh!

  “Baiklah. Ahem...Kenapa kau memilih sekolah kami?”

  Taishi lalu menarik napas dalam-dalam dan akupun menanyakan lagi pertanyaanku tadi.

  “Ketika memilih SMA, saya melihat bagaimana program-program SMA tersebut menyiapkan jenjang lanjutan bagi siswanya di universitas nanti. Setelah membaca pamflet-pamflet mengenai SMA anda, juga berkonsultasi dengan kakak saya yang bersekolah di SMA ini, saya menyimpulkan kalau sekolah anda ini sangat cocok dengan tempat pendidikan yang saya inginkan.”

  Apaan dengan kata-kata “sekolah anda?” Apa kamu seorang bangsawan? Kau tidak akan mengatakan “bunuh tuan itu!”, benar tidak? Akupun menutup kedua mataku dan mendengarkan jawaban Taishi tadi. Akhirnya aku bisa mendengarkan embusan napas yang menyatakan kalau dia telah selesai menjawabnya. Akupun membuka kedua mataku dan menatapnya dengan curiga. Melihat tatapanku itu, Taishi mulai gugup. Akupun memasang senyum sehingga dia terlihat lega, menyilangkan lenganku dan mengangguk.

  “Dengan mengatakan jenjang selanjutnya, berarti kau menginginkan dirimu berkembang. Tapi tugasmu disini nanti adalah bekerja. Tidak ada seorangpun yang akan membantumu untuk berkembang.”

  Aku mengatakan itu dan melihat ke arah Taishi. Hanya embusan angin dingin yang menghancurkan kesunyian ini. Tidak lama kemudian, Taishi menjawabku.

  “Tapi ini bukan wawancara untuk kerja...”

  “Ini Wawancara sekolah! Onii-chan, jangan lupa kalau ini adalah wawancara untuk masuk ke sekolah! Sekolah itu memang bertugas untuk membantu siswa untuk berkembang, tahu tidak!”

  Komachi melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku seperti memeriksa apakah aku masih waras atau tidak. Akupun memikirkan kata-kataku tadi: Apa yang barusan kukatakan salah?

  “Ah, yeah. Aku terbiasa mendengarkan itu dari orang yang mewawancaraiku ketika aku melamar kerja part time. Tampaknya, wawancara sekolah agak berbeda dengan wawancara kerja.”

  “Onii-san, bagaimana dulu kau bisa lulus tes wawancara sekolah?”

  Taishi mengatakannya sambil mengangguk. Serius, memang benar-benar ada orang di bagian penerimaan lamaran kerja yang mengatakan hal-hal semacam itu. Sebenarnya, aku punya alasan bagus untuk membahas memori-memori kelam itu.

  “Well...Kurasa demi kebaikanmu, kau harus selalu siap untuk kemungkinan yang terburuk.” akupun mengatakan itu. Komachi terlihat kurang senang dengan sikapku ini.

  “Gak gak gak gak gak, itu bukan yang terburuk, tapi pewawancaranya yang jahat sekali. Kupikir Komachi sekarang tahu mengapa Onii-chan tidak mau bekerja. Mendengarkan hal itu memang terasa sangat buruk sekali.”

  Dia mengatakan itu dengan nada yang menyedihkan. Hei...tega benar kamu? Kau bilang apa yang kakakmu ini alami benar-benar buruk? Kau tidak serius dengan itu, benar tidak? Serius? Karena takut dia tidak suka denganku, akupun melihat ke arah Komachi. Taishi lalu mengatakan sesuatu.

  “Kupikir aku mulai kehilangan rasa percaya diriku...” bahunya terlihat turun. Dia memang terlihat down sekali setelah latihan wawancara ini.

  “Jangan khawatir. Wawancara sekolah biasanya ditangani orang-orang yang ramah.” kataku. Kupikir aku sudah menakut-nakutinya dari tadi.

  “Be-benarkah?” Taishi menanyakan itu seperti mencari pencerahan dariku.

  Tapi aku bukanlah orang jahat dan tidak akan menendang orang yang sudah jatuh. Kekurangan Taishi adalah si serangga beracun ini mulai dekat dengan Komachi, tapi selain itu dia adalah orang yang baik. Juga, kakak perempuannya sangat menakutkan. Apakah berarti itu hal yang bagus? Nah, adik perempuan yang manis adalah hal yang bagus, tapi tidak dengan ini. Ngomong-ngomong, aku sebaiknya menyemangatinya. Kakak perempuannya sangat menakutkan, jika dia tahu kalau aku menakut-nakuti adiknya, aku tidak tahu akan ada kejadian buruk apa yang menimpaku kelak.

  “Well, yeah. Kalau si pewawancara menyebabkan stress kepada calon siswa, dewan pengawas sekolah akan menegur dengan keras. Jadi, pewawancaranya nanti pasti akan sangat ramah.”

  “Alasan yang ribet sekali...” Komachi menggumamkan itu seperti komplain dengan dunia ini yang tidak terlihat sempurna. Yeah, dunia ini memang jauh dari kata sempurna. Orang-orang yang bekerja itu tidak suka berurusan dengan komplain.

  “Ngomong-ngomong, katakan saja dengan jelas dan tegas ketika wawancara, maka kau akan lulus.”

  Taishi terlihat lega dan melihat ke arahku seperti tidak percaya.

  “Benarkah? Hanya perlu seperti itu?”

  “Yeah. Yang terpenting adalah katakan dengan tegas dan tidak lupa siap mengambil lembur kapan saja.”

  “Di sekolah tidak ada lembur, Onii-chan!” Komachi mengingatkanku lagi dengan nada yang kecewa.

  Sialan, kebiasaanku yang berasal dari “Warrior-Skipper” kumat lagi. Biar kujelaskan. Ketika kau bermulut besar dengan mengatakan siap lembur kapan saja, maka kau harus belajar untuk mengingat betul kata-katamu. Setelah kau sudah terbiasa bekerja, belajar di sana-sini dan terlihat bisa diandalkan, mengambil lembur akan terlihat melelahkan, jadi akhirnya kau akan bolos kerja secara diam-diam dan menjadi orang yang hanya menunggu gaji untuk dibayarkan.

  Akupun mulai berpikir apakah aku sudah terlalu banyak bicara. Tapi tampaknya kata-kataku tadi memberikan efek yang bagus bagi Taishi. Matanya yang sempat terlihat seperti mata orang mati mulai bercahaya lagi.

  “Yeah, aku merasa lebih baik sekarang.”

  Taishi mengatakan itu dengan singkat, sepertinya dia jujur, dan tersenyum kecil. Sekedar kalian tahu ya, aku sangat jarang untuk memotivasi seseorang.

  “Berhentilah khawatir akan wawancaranya. Itu bukan bertujuan untuk menjatuhkanmu, tapi ingin mengenal dirimu lebih jauh.”

  Semua pertanyaan dan jawaban yang akan dilakukan dalam wawancara sepertinya sudah banyak yang tahu. Kalau ditanya mengapa memilih sekolah ini, jawab saja kau suka suasananya. Kalau ditanya kamu ini seperti apa orangnya, jawab saja kau ingin berteman akrab dengan siapa saja dan lembut selembut mentega. Meski, akan terkesan tidak normal jika semua calon siswa menjawab hal yang sama jika ditanya tentang dirinya. Mereka harusnya belajar kalau yang mempekerjakan mereka sedang mencari buruh kasar; jika mereka selembut mentega dan disuruh bekerja menangani mesin, maka tidak akan bisa bekerja. Para buruh kasar akan selalu ditaruh di berbagai tempat. Misalnya ayahku itu. Jadi banzai bagi semua budak perusahaan!

  Biasanya, jawaban wawancara yang disiapkan dengan baik mengandung banyak sekali kebohongan, dan kau mengatakan itu dengan lancar tanpa perlu berpikir. Meskipun itu bukan sekedar wawancara biasa. Kupikir bahkan si pewawancara tahu kalau mereka tidak bisa mengevaluasi orang yang diwawancarai dari jawabannya. Yang bisa mereka evaluasi adalah cara mereka berbicara dan terutama kebiasaannya. Oleh karena itu aku bilang untuk mengatakannya dengan tegas. Meskipun itu adalah kegiatan berbicara, tapi yang dinilai adalah non verbal. Ada yang bilang kalau berbicara itu sebesar 30% dari komunikasi.

  Jika seseorang dalam proses wawancara akan menjawab pertanyaan dengan benar tapi dengan malu-malu dan gugup, dalam skala 1 hingga 100 mereka hanya akan mendapat poin maksimal 30. Atau begitu-kah? Aku sendiri tidak begitu bagus dalam matematika.

  Ngomong-ngomong, aku tidak melihat adanya alasan mengapa pria tanggung dan ceria di depanku ini harus khawatir tentang wawancara itu. Tapi ada satu hal yang menarik. Akupun pura-pura terbatuk dan menunjuk ke arahnya.

  “Kecuali, kau harus berbicara dengan sopan. Tidak seperti saat ini.”

  “Jangan khawatir, Onii-san. Aku berbicara seperti itu hanya kepadamu saja.”

  Taishi mengatakan itu sambil tersenyum dan menaikkan kepalan tangannya. Eh, apa begitu caramu memperlakukanku? Tiba-tiba aku kehilangan semangatku untuk menasehatinya dan ingin segera mengusirnya saja.

  “Ok, kurasa sudah cukup untuk hari ini. Pulang sana.”

  “Yeah. Terima kasih!”

  Taishi tampaknya tidak menyadari perubahan sikapku. Dia lalu membungkuk dan berterimakasih kepadaku. Baiklah, kalau dia sudah berterimakasih, biasanya aku tidak akan mempermasalahkan lagi caranya berbicara kepadaku. Aku ini orang yang simple. Hachiman si manusia simple, heh.

  Tapi tiba-tiba Taishi menaikkan kepalan tangannya dan mengatakan sesuatu.

  “Sebenarnya, aku punya satu pertanyaan lagi untukmu.”

  “Apaan?

  Kamu ini siapa sih, Ukyou? Ketika kupikir aku sudah selesai denganmu, sekarang kau masih mau yang lain? Tidak ada lemparan dadu untukmu, aku tidak akan menurutimu.

  “Kalau ini soal SMA Sobu, kau bisa tanya ke kakakmu.”

  Aku mengatakan itu sambil selangkah ke belakang. Tapi ekspresi Taishi terlihat lebih serius dari sebelumnya.

  “Aku tidak bisa menanyakan itu ke kakakku...”

  Dia menjawabnya begitu saja. Oh, aku tahu! Ini pasti sesuatu yang sangat serius. Komachi tampaknya menangkap hal itu dan memutuskan untuk tidak ikut campur, atau mungkin tidak ingin mengganggu. Dia lalu mengatakan “hmm” dan mengangguk.

  “Baiklah, aku sudah kedinginan, jadi aku akan masuk ke dalam. Taishi-kun, terima kasih sudah menemaniku pulang. Onii-chan, bicaralah dengannya, itu permintaanku, oke?”

  Komachi mengatakan itu, memutar pegangan pintu dan mulai berjalan masuk ke dalam rumah.

  “Taishi-kun, lakukan yang terbaik.”

  Dia melambaikan tangannya sekali lagi sebelum menutup pintunya. Senyum yang lebar dan bahasa tubuh yang genit...Ya Tuhan, adik perempuanku memang manis. Tapi ini juga mencurigakan. Dia mungkin sengaja kabur karena tidak ingin terganggu dengan semua ini. Selain diriku, pria yang telah terbuai di sebelahku ini mulai berbicara.

  “Hikigaya-san sangat baik.”

  Taishi mengatakannya setelah Komachi menutup pintunya. Entah mengapa, dia terus melihat ke arah pintu tersebut seperti terhipnotis dengan sesuatu. Nah, dia bukannya mau bersikap baik: dia hanya lelah berurusan dengan kita dan menyerahkan sisanya kepadaku. Ya Tuhan, adikku ini memang sangat mengganggu.

 






x  x  x







  Kami berjalan secara perlahan dalam dinginnya malam. Komachi sudah masuk ke dalam rumah sehingga aku tidak perlu memaksakan diriku untuk mengobrol dengan Taishi. Tapi dia bilang mau bertanya sesuatu kepadaku dengan ekspresi yang serius sehingga aku tidak bisa mengusirnya begitu saja. Aku tidak ingin membuat para tetangga terbangun dengan keributan di depan rumahku, juga akupun tidak tahu apakah normal jika pergi ke kafe dengan anak SMP. Jadi kuputuskan untuk mampir ke minimarket yang ada di pinggir jalan ketika menemaninya keluar dari kompleks perumahan.

  Langit malam yang cerah, tiang-tiang lampu penerangan jalan berjejer di sepanjang jalan ini, ditemani oleh cahaya lampu mobil yang lewat, dan cahaya lampu dari jendela apartemen-apartemen di sekitar sini. Kami berdua mulai mengisi jalanan yang memantulkan berbagai cahaya tersebut. Akhirnya aku melihat sebuah minimarket. Minimarket ini letaknya agak jauh dari rumahku. Meski, aku sebenarnya tidak tahu dimana letak rumah Kawasaki. Akupun masuk ke dalam, membeli dua kaleng kopi dan keluar dari minimarket.

  “Ini.”

  Akupun melempar satu kaleng ke Taishi. “Ini bukan permainan menghindar dari bola, tangkap itu!  Bagus.”

  “Berapa ini?” dia bertanya kepadaku dan mulai meraba-raba dompetnya.

  “Tidak perlu.” akupun melambaikan tanganku.

  “Beneran? Terima kasih!”

  Dia mengucapkan itu sambil membuka kalengnya. Akupun membuka kaleng kopiku. Kami tidak melihat adanya tempat duduk kecuali besi panjang di parkiran sepeda minimarket, jadi akhirnya kami duduk disana. Lalu segera kuminum sekaleng kopi hangat tersebut yang sudah berada di tanganku. Kenikmatan ini tidak bisa kau beli dengan harga 100Yen. Taishi lalu mengembuskan napasnya yang terlihat berwarna putih di udara.

  “Soal yang ingin kutanyakan tadi...” dia mulai berkata.

  Karena tertarik dengan apa yang hendak dia katakan, akupun menolehkan kepalaku ke arahnya. Wajahnya benar-benar terlihat serius.

  “Onii-san, bisakah kau beritahu aku bagaimana caranya agar bisa menjadi populer di mata para gadis?” tanya Taishi.

  Aku hampir tersedak oleh kopi yang kuminum dan batuk tidak karuan. Taishi lalu menepuk-nepuk punggungku, mengkhawatirkanku apakah aku akan baik-baik saja. Maafkan aku, Taishi harusnya tidak perlu meminta maaf. Beberapa saat setelahnya, akupun merasa baikan. Taishi lalu melihat ke arahku lagi.

  “Kau ini bertanya ke orang yang salah. Aku tidaklah populer.”

  “Itu tidak benar! Kau hari ini pulang bersama seorang gadis!” dia protes dengan wajah yang memerah. Ah, maksudnya si Orimoto.

  “Aku hanya kebetulan saja bertemu dia waktu pulang ke rumah. Apa kau pikir kalau kami berdua sepasang kekasih, hanya karena aku terlihat berjalan bersamanya?”

  Kalau memakai logika tersebut, berarti aku dan Taishi adalah sepasang kekasih. Akupun tersenyum jijik, merasakan aura-Ebina, meski Ebina-san berada jauh dari sini.

  “Kupikir tidak seperti itu.”

  Taishi mengatakannya dengan wajah yang serius. Yeah, kurasa begitulah proses seorang anak laki-laki berubah menjadi seorang pria. Mungkin dia harus kuberitahu secara kasar soal hal ini? Akupun menoleh kepadanya.

  “Tepat sekali. Lagipula, jika ada pria yang mengatakan kepadaku kalau dia menyukai Komachi, aku akan menghajarnya.”

  Aku mengatakan itu sambil meremas kaleng kopiku, sehingga terlihat sedikit penyok.

  “Onii-san, kau membuatku takut.”

  Dia masih berani memanggilku ‘kakak’ setelah kukatakan itu? Kau menantang ya? Aku tidak kesal kepadamu, malah aku akui dirimu. Meski kau menanyakan sesuatu seperti – bagaimana menjadi populer – kau harus punya keberanian. Di lain pihak, kupikir jika hendak menghadapi ujian, bukanlah hal yang bijak jika memikirkan hal yang diluar ujian. Bukan momen yang tepat untuk kabur dari kenyataan. Aku ingat dulu, punya jadwal yang padat dan masih saja memikirkan cita-cita untuk menjadi artis atau pemain baseball profesional. Oh tidak! Kuharap Taishi tidak seperti itu!

  “Ngomong-ngomong, kenapa kau menanyakan hal seperti itu?” kuputuskan untuk menanyakan itu.

  Tapi kecurigaanku itu tidaklah beralasan, itu hanya jauh dari realita. Taishi memiringkan kepalanya sambil membayangkan sesuatu.

  “Entahlah...Untuk motivasi? Akan menjadi alasan yang bagus untuk belajar dengan keras jika ada sesuatu yang menarik di SMA.”

  Tahu tidak? Dia ada benarnya juga. Tapi jika kau terlalu berharap, kau akan berakhir dengan situasi seperti mengembalikan uang pinjaman: kau harus memberikan apa yang kaupunya untuk sesuatu yang tidak ada. Aku harus menghancurkan ilusi itu! Ini adalah bentuk lain dari sebuah kebaikan hati!

  “Sejujurnya, apa yang kuimpi-impikan ketika nanti masuk SMA, tidak ada satupun yang menjadi kenyataan.”

  Taishi menatapku seakan-akan tidak percaya dengan yang barusan dia dengar.

  “Serius?”

  “Yep. Semuanya tidak seperti yang kubayangkan.” kataku.

  Aku merasakan sebuah realita dari caraku berbicara. Tapi apa yang sudah kukatakan tidak bisa kutarik kembali, jadi kulanjutkan lagi kata-kataku tadi.

  “Tapi, apa yang kudapatkan ternyata tidak buruk-buruk amat.” akupun menyelesaikan kalimatku, dan kami berdua terdiam.

  Satu-satunya suara hanyalah suara musik dari minimarket dan suara orang yang mengayuh sepeda di pinggir jalan. Tiba-tiba aku mendengar suara napasnya yang terdengar sangat puas.

  “Aku sekarang menjadi sangat termotivasi.”

  “Huh? Kenapa?”

  Taishi lalu berdiri, membetulkan jaketnya dan melihat ke arahku.

  “Entahlah. Tiba-tiba aku merasa begitu.”

  Dia mengatakan itu, membetulkan tas dan kerah jaketnya.

  “Nanti kalau aku sudah diterima, aku akan datang kepadamu dan membicarakannya lebih jauh. Kalau begitu, aku pulang dulu.”

  Dia jujur seperti biasanya. Akupun tersenyum kecil. April tahun depan, siswa baru, tahun ajaran baru...Dan ini berarti sebuah hubungan yang baru, berbeda dengan apa yang sedang ada saat ini. Tapi ini baru akan terjadi dalam 3-4 bulan lagi. Semuanya pasti akan berubah, dan apa yang terjadi saat ini akan berubah.

  “Tentu, kalau itu terjadi.”

  “Apa maksudmu?”

  Taishi menanyakan itu. Akupun terdiam sebentar untuk mengingat jawaban yang telah kusiapkan sejak tadi.

  “Kalau kakakmu mengijinkan. Dia akan marah kalau tahu aku mengajarkanmu hal-hal aneh.”

  Setelah aku mengatakannya, Taishi-pun tertawa.

  “Yeah.”

  “Ya sudah, datang saja jika kau sudah diterima.”

  “Akan kulakukan yang terbaik. Terima kasih, Onii-san.”

  “Berhenti memanggilku Onii-san. Setidaknya kau belajar untuk memanggilku senpai.” kataku.

  Taishi seperti mematung. Tapi tidak lama kemudian matanya bersinar cerah.

  “Wow! Keren sekali! Aku akan membiasakannya segera! Bolehkah kuberitahu kakakku soal ini? Dia pasti akan memperbolehkanku!”

  “Diamlah, jangan becanda. Serius, jangan cerita ke dia. Cepatlah kau pulang.”

  Aku berusaha menutupi rasa maluku. Taishi-pun tersenyum. Aku malah bertambah malu, dan berusaha mengusirnya pergi. Taishi-pun segera membalikkan badannya dan mulai pergi. Setelah menyeberang jalan, dia berbalik dan membungkukkan badannya ke arahku.

  “Terima kasih banyak, Hikigaya-senpai!” dia mengatakan itu dengan keras dan segera pulang ke rumah.

  Itu cepat sekali, itulah yang terpikirkan olehku ketika melihatnya pergi.



 



  
  x Chapter II | END x



1 komentar: