Kamis, 18 Februari 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Volume O Chapter 2 : Seperti sifatnya, Yukinoshita Yukino selalu datang tepat waktu


x x x






  Malam biasanya tenang dan sunyi, tapi suara keramaian ini tidak sedikitpun mengecil ketika hendak menuju tengah malam. Malam sudah selarut ini, tapi aku masih bisa melihat keramaian orang dari jendela kereta. Suasana gerbong kereta sangat hidup. Setelah bertahan dengan suasana gerbong yang ramai untuk melewati beberapa stasiun, akhirnya akupun keluar dari kereta bersama dengan keramaian orang-orang. Setelah berjalan sebentar, akupun sudah sampai di gerbang kuil Inage Sengen.

  Infonya, gerbang yang berada di Jalan Raya 14 ini dulunya pernah tenggelam oleh ketinggian air laut. Itu tertulis di twitter resmi milik Chiba-kun, jadi pasti info itu benar adanya. Mungkin di Chiba pernah dibangun kuil yang sangat besar di masa lampau, seperti kuil Itsukushima yang termasuk dalam daftar cagar budaya UNESCO. Kalau begitu, kuil Inage Sengen harusnya ada di daftar tersebut. Setidaknya, itu menurut pendapatku.

  Kuilnya sangat ramai. Kurasa memang benar-benar layak masuk cagar budaya internasional, menurutku. Kuil yang sangat populer! Akupun berjalan bersama keramaian ini dan sampai di gerbang. Di bawah gerbang tersebut, aku bertemu orang yang sudah sepakat untuk bertemu denganku. Dia melihatku juga dan mulai melambai-lambaikan tangannya, rambutnya yang berwarna coklat muda terlihat melambai-lambai juga.

  “Hikki! Hi-yahallo!”

  “Salam macam apa itu?”

  Aku mengatakannya tanpa menunjukkan ekspresi kesalku. Yuigahama memakai tight model jaring, mantel beige dengan syal panjang. Tangannya juga memakai sarung tangan. Di sampingnya berdiri seseorang yang tidak kusangka-sangka. Mantel hitam, rok model plaid dengan tight hitam membalut kakinya. Yukinoshita Yukino. Tampaknya dia diajak oleh Yuigahama. Yukinoshita menatapku dan mengangguk.
[note: rok model plaid itu model rok yang biasa dipakai petenis wanita. Grup-grup idol juga sering memakai rok ini di panggung.]

  “Halo.”

  “Hi.” balasku.

  Lalu kami mendengar suara keras dari lonceng kuil, menandakan tahun ini akan segera berakhir. Orang-orang di sekitar kami mulai melihat jam di HP mereka masing-masing untuk memastikan kalau mereka tidak melewatkan momen itu.

  Suara-suara hitung mundur mulai terdengar. Lima, empat, tiga, dua satu, dan keramaian ini mulai berteriak. Diantara mereka ada pula yang melompat tinggi seperti mengatakan kalau dia tidak sedang ada di bumi selama setahun. Selama ini kalian ada di mana? Kau sendiri juga masih belum keluar dari lapisan atmosfer bumi. Akupun memasang tatapan dingin ketika melihat ke arah mereka. Sedang mata Yuigahama, kontras, dia malah terlihat bersemangat.

  “Selamat Yahallo!” dia mengatakan itu sambil berbalik ke arah kami berdua.

  “Ucapan selamat macam apa itu? Selamat tahun baru.”

  Aku menjawabnya dengan memasang senyum yang ironis. Aku mendengar seseorang sedang batuk di sebelahku, dan aku melihat ke arahnya.

  “Selamat tahun baru!”

  Yukinoshita mengatakan itu sambil menyembunyikan senyumnya di balik syal. Yeah, memang terlihat memalukan berkumpul dan mengatakan selamat tahun baru. Aku sendiri juga sambil memegangi ujung syalku juga.

  “Yeah, umm...Selamat tahun baru.”

  Akupun mengatakan itu dengan nada yang normal. Setelah kami mengucapkan selamat, Yukinoshita menunjuk ke suatu tempat.

  “Kalau begitu, ayo kita masuk ke area kuilnya.”

  Cahaya dari lampion menerangi jalan setapak ini menuju kuil. Kami mulai berjalan menyusuri jalan kuil. Pepohonan tumbuh di sisi jalan ini. Pengunjung kuil ini juga terlihat sedang berjalan ke arah yang sama dengan kami. Kuil ini adalah kuil terbesar di daerah sini, jadi wajar jika banyak pengunjungnya. Bahkan ketika lewat tengah malam, pengunjungnya terlihat bertambah banyak.

  Yuigahama menoleh kesana-kemari, melihat pemandangan tersebut. Ah, dia mungkin tertarik ke stand yang ada di ujung sana.

  “Suasananya seperti sebuah festival,” kata Yuigahama.

  “Begitulah. Banyak sekali orang di sekitar sini. Momen yang tepat untuk mendapatkan uang. Aku ingin pulang saja.” Akupun membalasnya, dan Yuigahama terlihat kesal.

  “Kenapa sih kamu selalu mengatakan hal itu? Ayo kita makan sesuatu, kita sudah terlanjur ada disini.”

  Yuigahama mengusulkan sesuatu dan keluar dari rombongan. Yukinoshita menghentikannya dengan menarik syalnya.

  “Kita ke kuil dahulu.” Yukinoshita menolaknya, memegangi bahu Yuigahama dan memalingkan kepalanya. Akupun memalingkan kepalaku juga ke ujung antrian. Antriannya ternyata panjang sekali, kita tidak akan sampai ke kuil dalam waktu dekat. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu dengan keramaian ini, ini semakin membuatku gugup.

 


  Aku ingin pulang saja...




  Kuharap area tangganya akan terdapat lebih sedikit orang-orang setelah kita melewatinya. Apa disana ada juga stand penjualan? Semua orang melihat ke arah kuil utama dan berjalan dengan lambat. Kami akhirnya tiba di bagian kuil utama; sebentar lagi akan tiba waktunya bagi kami untuk berdoa.

  “Apa yang ingin kau minta?” tanya Yuigahama.

  “Ini bukan momennya. Sekarang ini bukan tanabata.”

  “Memang benar. Tidak ada yang membuat permohonan disini.”

  Yukinoshita terlihat sedang menatapnya. Yuigahama lalu memasang ekspresi serius dan menggerutu.

  “Tapi katanya orang-orang, mengandalkan Dewa jika sedang mendapati kesulitan atau semacam itu. Seperti, berdoa dan semuanya akan berjalan dengan baik...”

  Itu seperti logika impian semua orang. Jika Dewa adalah makhluk yang seperti itu, dunia kita ini pastinya lebih damai dari saat ini.

  “Aku pernah dengar kata-kata ini dari orang Atheis. Seperti hanya orang lemah yang mengandalkan Dewa jika tertimpa masalah.”

  Yukinoshita menjawabnya sambil menyentuh keningnya. Tampaknya dia tidak begitu setuju dengan Yuigahama soal itu.

  “Tapi kau harusnya mengandalkan Dewa. Minta kepadanya dan kau akan menerimanya...”

  Yuigahama mengatakan itu sambil melebarkan matanya. Tampaknya, dia sendiri bingung. Rombongan di depan kami tampaknya sudah selesai berdoa dan berjalan ke arah keluar.

  “Ya sudah, percayai saja apa yang kau percayai. Tapi setahuku, momen seperti ini jika membuat janji kepada Dewa, kurasa itu akan menjadi sebuah keuntungan.” Dia mengatakan itu sambil tersenyum.

  “Ah, oke aku paham maksudmu...Kalau begitu, aku akan membuat sebuah janji yang kuat.” Yuigahama mengatakan itu sambil mendekati Yukinoshita.

  “Baiklah.” Yukinoshita membalasnya dengan lembut, dan mereka berdua berjalan ke arah altar kuil. Setelah melempar koin ke kotak, mereka membunyikan loncengnya, membungkuk dua kali, menepuk tangannya dua kali, dan menutup mata mereka.

  Sebuah janji kepada Dewa...Tampak mistis sekali. Akupun mengikuti kedua gadis tersebut dan menepuk tanganku dua kali.




  Apakah aku akan membuat sebuah permohonan, ataukah aku akan membuat sebuah janji kepada Dewa...




  Akupun melihat ke arah Yukinoshita dan Yuigahama yang ada di depanku. Yukinoshita tampak berdiri dengan diam, menutup ekdua matanya; Yuigahama seperti sedang menggumamkan sesuatu, kalau melihat kerutan di dahinya, dia sepertinya sedang gugup. Aku tidak tahu permohonan atau janji apa yang mereka buat. Akupun menutup mataku; aku sendiri tidak punya satupun hal yang ingin kuminta kepada Dewa. Semua keinginan yang kumiliki ini bisa kudapatkan dengan usahaku sendiri.

  Jadi aku memohon kepada Dewa agar Komachi lulus ujian. Itu adalah sesuatu dimana usahaku tidak memberikan efek apapun dalam hal itu.









x  x  x









  Kami akhirnya selesai melakukan ritual dan meninggalkan altar. Ketika kulihat sekitarku... WOW, banyak sekali gadis kuil disini! Hanya ada para gadis kuil dan suster. Becanda, tidak ada suster disini. Akupun melewati surga para gadis kuil ini dan masuk ke area stand resmi milik kuil. Banyak sekali dijual jimat keberuntungan, anak panah suci, kertas-kertas doa dan banyak lagi yang lainnya. Setelah membeli jimat keberuntungan, aku memutuskan untuk menarik ramalan keberuntungan tahun baru di salah satu stand. Akupun mengambil kotak kayu tersebut, dan memberikan kertas yang jatuh dari kotak tersebut ke gadis penjaga kuil. Karena tempat menukarkan ramalan ada di stand lain, akupun bergegas ke stand tersebut untuk menukarkan ramalanku.

  Stand tersebut ada di salah satu ujung area kuil. Yuigahama tampak tersenyum di samping Yukinoshita yang melihat sesuatu di telapak tangannya dengan kecewa. Apa terjadi sesuatu? Akupun pergi ke arah mereka.

  “Maaf ya, tadi agak lama.” kataku. Yuigahama lalu menoleh ke arahku.

  “Tidak masalah, lagipula kami juga baru saja menarik ramalan Omikuji juga.”

  Dia membalasku sambil menunjukkan ramalan yang didapatkannya. “Keberuntungan besar” tertulis di kertas tersebut. Kalau begitu, senyumnya tadi pasti karena hal ini. Akupun memalingkan pandanganku ke Yukinoshita. Dia menahan sesuatu di bibirnya dan menatapku dengan berat.

  “Kau tadi dapat ramalan apa? Kalau tidak salah kau juga menarik ramalan Omokuji juga, bukan?”

  “Yeah.” Akupun mengatakan itu sambil menunjukkan kertasku. Kedua gadis tersebut melihat ke kertas tersebut.

  “Keberuntungan kecil...”

  Ini terlalu aneh jika dibilang suka dengan hasil ramalannya. Meski, apa sih yang kau harapkan dari ramalan seharga 100Yen? Akupun melihat setiap baris tulisan ramalan yang ada di kertas itu, tapi tidak bisa memahami satupun maksudnya. Misalnya, ada tulisan untuk memperhatikan kesehatanku. Yang tertulis tidak buruk-buruk amat, jadi aku masih pikir-pikir dulu untuk mengikatnya atau tidak.

  Sekarang saatnya bagi Yukinoshita untuk menunjukkan ramalan miliknya.

  “Keberuntungan sedang.”

  Dia mengatakan itu sambil tersenyum, terdengar sebuah kebanggaan dari nada bicaranya tersebut. Syukurlah “moodnya” berubah menjadi baik. Dia terlihat puas dan merapikan rambutnya yang bersandar di bahunya. Yuigahama melihatnya dengan tersenyum.

  “Untung saja tidak ada yang dapat kertas bertuliskan ‘Sial’.” Yuigahama mengatakan itu sambil tersenyum.

  “Memang.”

  Yukinoshita setuju dan memalingkan matanya, wajahnya memerah. Tampaknya dia menganggap ramalan ini seperti sebuah kompetisi. Lalu, kedua matanya bertemu denganku.

  “Oh, bukankah itu paket jimat keberuntungan?”

  Dia menanyakan itu sambil melihat ke arah paket tersebut dengan penuh ketertarikan. Aku memang memegang itu sejak tadi. Akupun menunjukkan kepadanya sebuah paket kertas jimat keberuntungan yang tertulis “Kuil Inage Sengen” di atasnya.

  “Oh, yang ini? Yeah. Aku membelinya untuk Komachi agar dia bisa lulus ujiannya.”

  “Oh,” kata Yukinoshita, dia lalu memiringkan kepalanya dan melihat ke arahku.

  “Kalau kau mau, kita bisa menuliskan harapan itu di papan kayu disana...”

  “Yeah, demi keberuntungan Komachi!” Yuigahama menambahkan.

  “...Tapi antriannya terlihat panjang,” kataku sambil melihat antrian yang menuju tempat untuk menuliskan itu. Aku tidak bisa begitu saja menerima tawaran mereka.

  “Ya sudah, terima kasih.” akupun langsung mengatakannya. Para gadis terlihat seperti tidak percaya ketika mendengarkannya dariku.

  “Apaan?” tanyaku melihat tatapan mereka.

  “Tidak ada. Aku hanya terkejut saja.” Yukinoshita pura-pura terbatuk ketika mengatakannya.

  “Aku jarang mendengarmu mengatakan terima kasih. Lagipula, kau ini tidak suka mengantri.” Yuigahama menambahkan itu dan tersenyum. Hei, memangnya lucu? Aku memang terbiasa berterima kasih ke orang.

  “Aku putuskan untuk membuang semua harga diriku demi adik perempuanku. Jika tidak demi Komachi, aku sudah santai-santai di rumah saat ini.”

  “Tampaknya yang kau buang itu adalah akal sehatmu, bukan harga dirimu.” Yukinoshita mengatakan itu dengan kecewa, setelah itu dia mulai berjalan.

  “Kalau begitu, ayo?” Yukinoshita berjalan beberapa langkah di depan. Yuigahama melihatnya dari belakang dan mendorong punggungku. Akupun mulai berjalan dan masuk ke antrian tersebut.






x  x  x






  Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya kami bisa menuliskan harapan kami di papan kayu tersebut. Tulisan tangan Yukinoshita sangat cantik sekali, seperti diluar level tulisan buku-buku yang pernah kau baca, sedang tulisanku dan Yuigahama seperti sebuah coretan tidak teratur di papan ini. Setidaknya, harapanku sudah ditulis di papan ini. Aku merasa tidak enak kepada Dewa yang harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan orang sepertiku. Di sisi lain, sekarang papan kayu ini menjadi semacam jimat keberuntungan, jadi bisa memperoleh perhatian para Dewa kurasa hal yang sangat bagus.

  Setelah itu akupun memeluk papan kayu tersebut dan menepuk tanganku. Kumohon, sang papan kayu kecil, biarkanlah Komachi lulus ujiannya. Akupun menggumamkan ‘namu-namu’.

  “Kurasa semuanya sudah selesai.” Kataku.

  Para gadis mengangguk. Well, aku sendiri tidak merencanakan kegiatan ini, tapi setidaknya tujuan ke kuil telah terpenuhi. Akupun coba mengingat apakah kita melewatkan sesuatu.

  “Jadi sekarang mau kemana? Pulang ke rumah?” tanyaku.

  “Tidak! Kenapa kau selalu mengatakan itu?” Yuigahama menatapku dengan kesal dan dingin. Aku ingin mengatakan kalau ‘urusan kita disini sudah selesai’, tapi Yukinoshita memotongku.

  “Kalau tidak salah, tadi katanya mau mampir di beberapa stand disini?” tanya Yukinoshita. Dia mungkin ingat kalau tadi Yuigahama ingin beli sesuatu. Yuigahama dengan enerjik terlihat mengangguk.

  Well, setidaknya lokasinya ‘berada dalam perjalanan pulang’, jadi aku tidak keberatan. Tanpa mengatakan hal yang lain, para gadis mulai berjalan. Kami mulai berjalan balik melewaati jalan yang kami lalui tadi. Akhirnya, kami melihat stand-stand. Kebanyakan berisi Takoyaki dan Okonomiyaki, tapi ada minuman musiman, seperti amazake, dijual disana juga. Diantara stand itu aku melihat adanya stand permainan menembak. Aku sering melihatnya di festival musim panas, tapi di musim gugur...Seseorang terdengar membicarakan sesuatu di dekatku.

  “Kenapa ada permainan menembak di akhir tahun?”

  Yukinoshita membayangkan itu dan mendekati stand itu untuk melihatnya dari dekat.

  “Yeah, memang aneh. Well, banyak pengunjung kuil ini datang membawa anak mereka, mungkin ada beberapa orang yang punya pikiran untuk membuat stand ini agar bisa menghibur mereka.”

  “Meski begitu, kenapa ada disini...”

  Yukinoshita tampaknya tidak mendengarkan kata-kataku dan terus menatap ke arah stand menembak tersebut dengan antusias. Diantara hadiah permainan itu, ternyata ada boneka yang mirip dengan Pan-san. Ah, tampaknya aku tahu.

  “Mau coba permainan menembaknya?”

  “Tidak, ke-kenapa aku harus...”

  Dia mengatakan itu, seperti tidak yakin. Tidak, dia mungkin memang ingin mencobanya. Yuigahama yang melihat hal itu juga sekarang mulai melihat perilakunya yang mencurigakan.

  “Yukinon suka sama Pan-san ya?” dia mengatakan itu sambil tersenyum.

  Biasanya, Yukinoshita langsung sadar dan memberikan berbagai alasan, tapi kali ini dia tidak mendengarkan kata-kata Yuigahama. Apa dia segitunya berkonsentrasi ke Pan-san? Yukinoshita terus menatap ke arah itu dan mengatakan sesuatu ke dirinya sendiri. Tampaknya kita tidak akan bisa bergerak hingga adegan ini selesai. Apa yang harus kulakukan? Akupun tidak yakin, tapi kurasa aku harus mencoba atraksinya? Akupun mulai memikirkan untuk mengambil dompetku ketika Yuigahama mendekatiku.

  “Ngomong-ngomong,” dia menarik lenganku.

  “Apa maumu?”

  “Umm...” dia menarik lenganku lagi. Tampaknya dia ingin aku untuk mendekat. Akupun mengangguk dan Yuigahama mulai membisikiku seperti hendak memberitahu rahasia.

  Tentunya kita harus mendekat untuk bisa seperti itu. Ini bukanlah sesuatu dimana aku akan kaget atau bereaksi berlebihan. Tapi aroma citrus dari parfumnya dan melihat wajahnya yang memerah di cuaca dingin ini, kurasa ini bisa dikatakan sebuah cobaan. Meski begitu, aku memberitahunya untuk terus melanjutkan kata-katanya.

  “Hei, bagaimana soal hadiah ulang tahun Yukinon?”

  “Ah,”

  Ulang tahun Yukinoshita tinggal beberapa hari lagi, seingatku begitu. Dan aku sudah berjanji dengannya untuk membelikannya hadiah, waktu Natal kemarin. Tidak, aku masih ingat soal janji itu. Sebaliknya, aku mulai berpikir tentang apa yang harus kulakukan tentang itu. Kapan, dimana, dengan siapa, apa yang dilakukan dan mau membeli apa. Ini seperti sistem 5W1H. Kalau aku disuruh menentukan kapan, jawabanku mungkin membuat orang lain tidak nyaman. Sebaliknya, kalau aku yang mengatakan biar orang lain yang memutuskan, mereka akan menyerahkannya ke orang lain tanggung jawab itu. Kita tidak akan memutuskan apapun dengan cara itu...Oleh karena itu, aku berterimakasih karena dia menyinggung masalah ini. Kalau tidak, aku akan mengulur-ngulur itu terus dan berakhir dengan mengatakan “Hachichika ingin pulang saja”. Oleh karena itu aku memutuskan untuk memilih harinya saat ini.

  “Kalau besok bagaimana, kau bisa?”

  “Ah, yeah, bisa.” Dia menjawabnya dengan terkejut dan mulai memainkan sanggul rambutnya.

  “Ya sudah besok saja.”

  Dia mengatakan itu dan terdiam. Akupun terdiam juga. Kesunyian ini mungkin karena situasi yang aneh ini. Akupun mulai melihat ke sekitarku untuk menyembunyikan rasa maluku dan melihat Yukinoshita mendatangi kita dengan bahunya yang terlihat tidak bersemangat.

  “Kau sudah selesai?” tanyaku.

  “Ya, ayo kita pergi,” dia mengatakan itu sambil tersenyum.

  “Ada apa sih?”

  Ada apa disana? Akupun melihat ke arah stand menembak. Ah, aku paham itu. Itu ternyata bukan Pan-san, tapi Panta-san. Well, ini memang sering terjadi.

  “Ah, maksudmu boneka Pachimon itu?” Akupun mengatakan itu seperti paham akan sesuatu. Yukinoshita lalu menyentuh dagunya dan memiringkan kepalanya.

  “Pachimon? Kalau tidak salah aku pernah dengar itu entah dimana. Kalau tidak salah nama akhirnya Hi...Hiki...”
[note : Pachimon = Hachimon.]

  “Hei! Aku ini tidak sedang membicarakan diriku. Kau bahkan tidak mengingat nama terakhirku sama sekali?” Kataku. Yukinoshita lalu menggeser rambutnya dari bahu karena terkejut.

  “Itu cukup kasar sekali. Aku ingat persis nama lengkapmu.”

  “Yang kasar itu kamu.”

  Well, kalau dia ingat namaku, kurasa tidak masalah. Lagipula, di dunia ini memang ada orang-orang yang memanggil nama orang dengan Kawa-sesuatu dan mulai melupakan nama aslinya. Si Kawa-sesuatu lagi ngapain ya sekarang?







x  x  x







  Melewati jalan setapak yang tadi kami lewati, kami keluar dari gerbang kuil dan lewat jalan raya. Angin dingin terus menerpa kami. Tubuhku mulai menggigil, baik diriku dan Yuigahama menaikkan kerah mantel kami. Yukinoshita, tampaknya tidak terpengaruh oleh cuaca dingin ini. Dia hanya membetulkan syalnya saja. Wajahnya terlihat sangat lelah. Embusan napasnya terlihat berwarna putih, dan seketika hilang di udara. Yeah, dia tidak terbiasa berada dalam keramaian. Sama dengan diriku.

  Akupun melihat ke arah jalan ke kuil, keramaiannya tampak lebih padat dari sebelumnya.

  “Kereta Narita mungkin akan padat dengan penumpang juga,” kataku.

  “Kalau begitu kita naik Kereta Chiba saja!” Yuigahama mengatakan itu dan menepuk dua tangannya. Dia melihat ke arah pinggir jalan raya dimana hanya ada pemandangan laut dan gedung sekolah kami. Kereta Chiba berangkat dari stasiun yang jauh dari area kuil, jadi harusnya orang yang naik kereta tersebut jauh lebih sedikit. Lagipula, jalan menuju stasiun tersebut melewati sekolah kami, dimana kami sudah familiar dengan itu, jadi ini tidak begitu jauh bagi kami.

  “Kenapa tidak. Bagaimana denganmu?” Tanyaku. Yukinoshita-pun mengangguk.

  “Kalau begitu, ayo pergi!”

  Yuigahama mengatakan itu dan mendorong punggung Yukinoshita. Si korban tampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan.

  Banyak sekali lampu penerangan jalan yang berjejer di jalan raya ini, ditambah lagi dengan lampu dari mobil-mobil yang lewat. Di taman dekat jalan raya, terlihat banyak sekali anak muda menyalakan kembang api, tampak hendak melanjutkan kegembiraan tahun baru mereka.

  Suara langkah kaki kami seperti menggema di langit malam kota ini. Ini memang bukan malam yang biasa bagi kota ini. Suara terdengar dari arah ini dan itu. Dua bayangan diantara dunia yang berisik dan cerah ini seperti fatamorgana bagiku. Akupun mendengungkan lagu untuk menemani langkah kakiku ini, mencoba mempertahankan jarak ini. Syalku melambai-lambai karena tiupan angin ini.

 


  Para gadis terlihat sesekali melirik ke arah belakang mereka dan kemudian tersenyum. Aku disini, aku disini, berhentilah memeriksaku.




  Ada beberapa orang terlihat di stasiun tersebut. Keretanya memang beroperasi 24 jam. Beberapa orang masih ingin merayakan tahun baru, sedang yang lainnya terlihat ingin pulang saja. Kamipun membaur dengan keramaian tersebut dan masuk ke stasiun.

  Aku dan Yukinoshita akan naik ke kereta dan pergi pulang, tapi rumah Yuigahama dekat sini. Akupun menanyakan itu kepadanya.

  “Yuigahama, apa yang akan kau lakukan?”

  “Eh? Aku...Entahlah...” Dia menjawab itu dan melihat ke arah Yukinoshita.

  “Aku tidak keberatan kalau kau menginap di apartemenku.”

  “Eh, serius?!”

  “Ya,” Yukinoshita menjawabnya dan terlihat sedikit menguap seperti anak kucing.

  “Ya sudah, kau menginap saja di tempat Yukinoshita,” Akupun menyimpulkan itu dengan cepat dan melewati pembatas ke ruang tunggu kereta. Aku tidak ingin meninggalkan para gadis sendirian ketika malam sudah selarut ini. Tata krama bagi para pria adalah harus menemani mereka hingga pulang ke rumahnya. Orang-orang terlihat mulai berdiri. Ternyata keretanya baru saja tiba. Meski begitu, penumpang yang di gerbong terlihat lebih sedikit kalau dibandingkan rombongan orang yang berjalan ke kuil tadi. Jalur kereta ini melewati pinggir pantai dan tidak ada kuil di dekatnya, jadi orang-orang yang menumpang kereta ini jauh lebih sedikit.

  Kami bertiga duduk di dalam gerbong; kereta lalu mulai berjalan. Lantai kereta yang hangat mulai menghangatkan kakiku yang kedinginan ini. Akupun bernapas lega. Yuigahama tampaknya melihat sikapku itu dan tersenyum.

  “Di luar masih dingin,” kata Yuigahama.

  “Yeah. Malam di musim dingin memang bukan waktu yang tepat untuk keluyuran.”

  “Tapi justru karena itulah lebih menyenangkan! Bahkan lebih menyenangkan daripada siang hari!” kata Yuigahama sambil menunjukkan matanya yang berbinar-binar. Apa-apaan itu? Kau suka kelayapan ketika malam? Apa kamu Pelacur-tan? Meskipun setidaknya aku bisa menghubungkan keseruan belanja malam hari di swalayan terdekat.

  Aku yang melihat Yuigahama sedang duduk di kursi seberangku menyadari kalau Yukinoshita hanya diam saja sejak tadi. Ya ampun, dia sudah mendapatkan mimpi pertama tahun ini. Kurasa  itu pertanda yang bagus, hehe. Tunggu, harusnya mimpi pertama adalah malam nanti, bukan? Maka ini bukanlah mimpi pertama...

  Yukinoshita lalu kehilangan keseimbangan dan bersandar di bahuku. Aku bisa merasakan berat tubuhnya dan aroma dari shampo yang dia pakai. Kehangatan tubuhnya seperti menembus mantel yang dia pakai. Dia juga sedikit mendengus dalam tidurnya, seperti melihatnya tidur sehari-hari.

  Gerbong kereta terasa sedikit berguncang, ditemani suara angin yang menabrak jendela dan suara-suara obrolan penumpang. Meski begitu, yang kudengar hanyalah suara napas dari Yukinoshita yang tepat berada di sampingku karena kereta yang bergoyang. Tubuhku terasa panas seketika karena kontak yang tiba-tiba ini. Kalau aku bergerak, Yukinoshita akan terbangun. Meski aku sendiri sebenarnya tidak menginginkannya untuk bersandar kepadaku. Adegan ini cukup memalukan bagiku.

  “H-hey...” kataku, tapi Yuigahama menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya, memberitahuku untuk tetap diam.

  “Yukinon sedang kelelahan,” dia membisikkan itu dari jauh.

  Bagaimana aku bisa membantahnya? Biasanya, aku langsung pindah tempat saja, tapi saat ini aku bisa pindah tempat jika Yukinoshita tersadar dari tidurnya. Yuigahama lalu berjalan beberapa langkah ke depan, menaruh tangannya di pipinya dan melihat ke wajah Yukinoshita sambil tersenyum. Kedua mataku bertemu dengannya, dan akupun memalingkan wajahku.

  Meski kita sudah melewati beberapa stasiun. Beberapa...Eh apa Chiba seluas itu? Rute ini serasa rute yang sangat panjang bagiku.

 





x  x  x






  Suara yang berasal dari speaker pengumuman gerbong kereta memberitahukan kalau kita akan sampai di stasiun berikutnya, dan kereta mulai berjalan melambat. Tapi bibir Yukinoshita yang berkilauan ini masih mendengus, dan dadanya terlihat membesar dan mengecil karena tarikan napasnya. Aku jelas terpesona oleh gerakan ini, tapi aku tidak boleh membuat mataku terus menatap tempat itu terlalu lama. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan kita sudah sampai di stasiun.

  Yuigahama lalu berdiri dan pergi ke samping Yukinoshita.

  “Yukinon, kita sudah sampai,” Yuigahama mengatakan itu sambil menggoyang-goyang tubuhnya.

  Yukinoshita membuat suara seperti orang yang baru bangun tidur, dia membuka matanya dan butuh beberapa detik untuk membuatnya benar-benar sadar. Dia lalu menyadari posisinya itu dan menegakkan posisi duduknya.

  “Ma-Maaf.”

  “Tidak masalah.” Aku membalasnya sambil memalingkan pandanganku. Akupun juga membetulkan bahu dan leherku. Berat dari tubuhnya sudah tidak terasa lagi, tapi aku masih bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang masih menempel di tubuhku.

  Kami lalu keluar dari kereta, disambut angin dingin yang menerpa wajah kami. Dengan cepat, sambil menghindari itu, kami pergi ke arah tangga dan keluar dari stasiun. Stasiun ini ini memang hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal penumpang di hari-hari biasa, dan yang terlihat saat ini hanyalah kami bertiga. Kesunyian ini ditambah dengan tiupan angin yang dingin ini membuat suasana yang tenang.

  Kota yang sunyi di musim dingin. Kami lalu berjalan menuju apartemen Yukinoshita. Kedua gadis di depanku, sedang aku sendiri beberapa langkah di belakang mereka. Kami melewati taman yang berada di depan stasiun. Yukinoshita tampaknya sengaja membuat jarak denganku. Akupun juga melakukan hal yang sama karena suasananya akan terasa sangat ‘awkward’ jika kami saling menatap satu sama lain, meski begitu...

  Bayangan yang terlihat dari kedua gadis ini berasal dari lampu jalanan. Dari situ aku bisa melihat kalau Yukinoshita sedang mendesah dan menyentuh keningnya. Mungkin dia sedang menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian tadi. Yuigahama, sebaliknya, tersenyum dan mengatakan sesuatu.

  “Yukinon, kau cantik sekali waktu tidur.”

  Bahu Yukinoshita tergetar. Dia melihat ke arah Yuigahama sejenak dan memalingkan pandangannya. Yuigahama tersenyum: Tampaknya kata-katanya tadi mendapatkan ‘jackpot’ dan Yukinoshita tersipu malu saat ini.

  “Ah, sungguh menyenangkan!” kata Yuigahama.

  “Menyenangkan?” Yukinoshita terlihat menggerutu.

  “Yep, menyenangkan!” Yuigahama menjawabnya dengan hangat hingga bisa melelehkan kata-kata dingin dari Yukinoshita.


  Setelah kata-katanya itu, aku dan Yukinoshita hanya bisa terdiam.


  Sejujurnya, kita ini diam bukan karena sedih.


  Yuigahama lalu melangkah ke depan dan berbalik ke arah kami berdua.

  “Oh, benar! Pertamakalinya matahari terbit tahun ini! Laut kan dekat sini, ayo kita lihat!” datanglah ajakan tolol dari Yuigahama. Senyumku tiba-tiba menyusut karenanya.
[note: jadi Hachiman bilang dia dan Yukino tidak sedih, ternyata mereka berdua lagi senyum-senyum.]

  “Eh?...” Akupun menggerutu karena kesal.

  “Jangan menjawabku dengan sindiran itu,” Yuigahama menatapku dengan serius. Gua sengaja bangun jam 6 pagi hanya demi melihat matahari terbit? OGAH.

  “Pelabuhan Tokyo ada di sebelah barat Chiba, jadi kita tidak bisa melihat matahari terbit di laut...” Yukinoshita mengatakan itu, seperti kebingungan dengan sikap Yuigahama. Yuigahama lalu terkejut.

  “Be-benarkah?” Tanyanya. Yukinoshita-pun tersenyum.

  “Ya. Matahari bersinar dari arah timur.”

  “Aku tahu kalau itu!”

  Sepertinya Yukinoshita berhasil balas dendam kepadanya soal tidur di kereta. Para gadis ini tampaknya bersenang-senang di awal tahun ini...

  “Memang benar kalau kau tidak akan bisa melihat matahari terbit di kota Chiba, tapi di Chousi ada tempat terkenal untuk melihat matahari terbit.”

  Ada satu tempat, di Gunung Inubosaki, lokasinya ada di ujung timur daratan Jepang. Tempat itu ramai ketika tahun baru, dan macet merupakan hal yang biasa. Saat ini tampaknya orang-orang pergi kesana semua. Pelajaran singkat tentang Chiba telah berakhir.

  Akupun memberitahu itu kepada para gadis. Hasilnya, mereka hanya bisa terdiam.

  “Hikki, kau ini benar-benar Maniak Chiba,” Yuigahama menyadari hal itu.

  Yang benar saja. Aku sudah lama dijuluki itu disini.

  Setelah kami bertiga sampai di depan apartemen Yukinoshita, melewati pintu kaca otomatis, dia berhenti dan menoleh ke arahku.

  “Sampai jumpa lagi. Terima kasih karena telah mengantarkanku pulang,”

  Dia mengucapkan terima kasih kepadaku dengan ekspresi malu-malu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi aku hanya bisa mengangguk, seperti pura-pura tidak ada apa-apa.

  “Oke, selamat tinggal,” kataku.

  “Yeah,” Yuigahama membalasku.

  “Selamat malam.”

  Akupun melambaikan tanganku, melewati pintu kaca otomatis tersebut lagi dan disambut suasana malam. Akupun berhenti sejenak dan melihat jendela-jendela apartemen di sekitarku, merenungi tentang tanggal 1 Januari ini. Kata orang, sepanjang tahun situasinya tidak akan berbeda dengan apa yang kualami di tanggal 1 Januari. Jadi ini artinya sepanjang tahun yang kualami adalah kekacauan-kekacauan ini?

  Meski... aku tidak bisa mengatakan kalau aku tidak menyukai ini.

  Jalan terakhir bagi si orang tua itu kalau tidak jalan yang sedih, pasti jalan yang menggembirakan. Kurasa barusan itu kata-kata dari Ikkyu Sojun. Menggunakan logika itu, berarti apapun yang kualami bisa diartikan sesuatu yang buruk, bisa juga sesuatu yang bagus.

  Kebiasaan burukku adalah aku terbiasa melihat sesuatu dengan persepsi negatif, selalu mencari hal-hal yang buruk tentang itu. Dengan pikiran-pikiran itu, akupun mulai melangkahkan kakiku pergi dari apartemen ini. Tapi terdengar bunyi pintu kaca otomatis tersebut terbuka, bersamaan dengan suara langkah kaki. Akupun berbalik dan melihat Yuigahama.

  “Hikki.”

  “Apa?” Tanyaku. Dia memegangi sanggul rambutnya dan terlihat agak ragu.

  “Umm...Sampai jumpa besok.” dia mengatakan itu sambil menatapku dengan penuh tanda tanya.

  “Yeah, sampai jumpa besok.” Akupun membalasnya sambil menatap ke arahnya. Yuigahama lalu melambaikan tangannya sambil kembali masuk ke apartemen. Akupun melihatnya pergi, dan membalikkan badanku untuk memulai langkahku di tahun yang baru ini. Tahun dimana tidak ada satupun hal baru yang akan menantiku.

 
 




  

x Chapter II | END x





Tidak ada komentar:

Posting Komentar