Rabu, 17 Februari 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Volume O Chapter 1 : Yuigahama Yui membuat panggilan telepon yang konyol



x x x









  Suara dari TV yang sedang menyala terdengar dari ruang keluarga. Mungkin Komachi yang sedang menyalakan itu dan menontonnya dengan berbaring di bawah kotatsu sambil memegangi es krimnya dengan tangan. Aku tidak sadar kalau suara siaran TV-nya sangat berisik, jadi akupun berjalan sedikit menjauh.

  [Hei, Hikki!]

  Aku mendengar suara Yuigahama dari telepon. Tampaknya dia khawatir karena aku tidak mengatakan apapun dari tadi.

  “Yeah, aku bisa mendengarmu,” kataku sambil menjauh dari tembok tempatku bersandar dan berjalan menuju kamarku. Tanpa sadar akupun berjalan dengan perlahan seperti berusaha tidak membuat suara apapun. Mungkin, karena aku sedang berbicara di telepon. Penelpon di seberang sana harusnya tidak terganggu oleh suara-suara lain.

  Lorong ini terasa lebih dingin daripada ruang keluarga. Lantainya, tentunya, sangat dingin. Akupun merasa sangat dingin setiap melangkahkan kakiku untuk berjalan di lorong ini.

  [Aku mencurigai sesuatu ketika kau diam dan tidak mengatakan apapun.]

  “Tidak, tidak terjadi apapun.”

  Aku hanya perlu waktu sesaat untuk menguatkan diriku. Ketika ada sebuah panggilan telepon yang tidak terduga terjadi, hal pertama yang terjadi di pikiranku adalah “Sial, apa salahku kali ini?!”, jadi aku paham mengapa aku ragu-ragu ketika hendak mengangkat telepon itu. Lagipula, jika aku bisa tahu mengapa aku ditelpon, aku bisa mencari alasan untuk tidak mempedulikan panggilan itu. Lalu, jika aku bisa menaruh mesin penjawab telepon, aku tinggal memutar rekamannya dan memutuskan apakah ini penting atau tidak, dan aku bisa berpikir “Aku tidak perlu menelponnya balik, benar tidak?”. Jadi aku akan tetap tidak mempedulikannya. Karena itulah, orang-orang yang menghubungiku sering malas untuk menghubungiku kembali.

  Itu juga alasan mengapa panggilan telepon tidak begitu membuatku gugup: karena kau tidak bisa melihat wajah yang menelponmu, kau bisa juga pura-pura memberikan alasan sehingga tidak mengangkatnya, meskipun efeknya bisa akan terasa dalam hubunganmu kelak. Aku tidak paham apa yang ada di pikiran orang-orang, dan dengan panggilan telepon aku hanya bisa mendapatkan sedikit informasi. Peluang untuk salah paham akan bertambah tinggi. Sebuah hubungan yang dibangun dari beberapa tombol yang ditekan bisa dihancurkan dengan mudah. Ini juga berlaku dengan Yuigahama. Lebih tepatnya, karena yang menelpon ini adalah Yuigahama, maka aku tidak mau ada salah paham diantara kita. Akupun mengambil waktu sejenak untuk menenangkan nada suaraku.

  “Jadi, apa keperluanmu?” Tanyaku.

  Rumahku ini cukup kecil. Itulah yang kukatakan sebelum masuk ke kamarku. Kamarku gelap sekali...Akupun menyalakan lampunya, mengunci pintunya dan tiduran di kasurku. Cahaya lampu kamarku ini memperlihatkanku beberapa debu yang berterbangan disini. Akupun melihat itu sambil berpikir kalau aku harusnya membersihkan tempat ini.

  [Umm...]

  Yuigahama terlihat gugup dan mencari kata-kata yang tepat. Suaranya yang tidak jelas itu terdengar keras di kamarku yang sunyi ini.

  [H-Hikki...Apa kamu ada waktu luang...Di hari terakhir tahun ini?]

  Dia mengatakannya dengan pelan, kata demi kata. Dan secara perlahan, kata demi kata, akhirnya mencapai telingaku.

  “Hmm, aku ada waktu luang,” jawabku. Kenapa tanya-tanya? Aku bebas setahun ini. Apa lagi, aku juga tidak dibayar tahun ini. Terima kasih kepada Klub Relawan, aku terbiasa untuk bekerja ke perusahaan hitam. Ini artinya aku punya masa depan yang cerah sebagai budak perusahaan. Meski belakangan ini aku takut untuk memikirkan bisnis-bisnis perusahaan hitam itu dengan alasan yang berbeda.

  Tapi kemudian Yuigahama mengatakan sesuatu yang tidak terduga. Beberapa waktu lalu dia diam saja seperti menarik napas yang dalam dan sekarang suaranya sangat enerjik.

  [Kalau begitu ayo kita mengunjungi kuil!]

  “Ah, mengawal tahun ini pergi?”

  [Mengawal tahun untuk pergi?]

  Yuigahama mengulangi kata-kataku. Artinya dia tidak paham maksudku. Aku bisa merasakan kalau dia kebingungan. Aku bisa membayangkan kalau dia sedang memiringkan kepalanya dan berpikir dengan keras.

  “Maksudnya kita mengawal tahun ini pergi dan menyambut datangnya tahun baru.”

  Orang-orang biasanya berencana untuk datang ke kuil sebelum tengah malam. Banyak variasi dalam melakukan hal ini, tapi secara garis besar, ini adalah sebuah budaya disini.

  [Huh...]

  Yuigahama mengatakan itu dengan ragu-ragu. Entah apa dia paham atau tidak. Kemungkinan besar tidak. Ah, awal tahun diisi mengunjungi kuil...Sebenarnya itu pertanda yang baik. Kata orang rambutmu akan tumbul lebih bagus. Well, ya, jujur saja aku mulai khawatir tentang rambutku ketika melihat kepala ayahku yang botak. Kupikir adanya mitos kalau mengunjungi kuil akan membuat rambutmu tumbuh dengan baik kurasa tidak buruk-buruk amat. Jadi aku bisa selamat dari kebotakan di kemudian hari. Sementara itu, Yuigahama menanyakan sesuatu.

  [Kalau begitu...Ayo kita lepas tahun ini bersama-sama, mau tidak?]

  “Ya sudah, kenapa tidak.” Akupun membalasnya dengan spontan.

  Tapi...ada yang mengganjal...Aku sebagai penerima telepon ini tidak mempunyai cukup info. Yang kutahu saat ini adalah aku akan mengunjungi kuil bersama Yuigahama di akhir tahun, itu saja. Aku ingin tahu detail soal ini. Misalnya...Apa ini cuma kita berdua? Yuigahama tidak menyebutkan siapapun barusan, kalau menilai nada suaranya, maka peluang kegiatan ini hanya ada kami berdua sangat tinggi.

  Ini adalah hal yang beresiko: hanya berdua, bersama-sama. Aku sangat takut akan resikonya. Pergi kesana, misalnya, membeli sesuatu, seperti mencari data, kalau itu tidak masalah. Kalau ada alasan jelas untuk pergi, aku punya alasan jika ada orang kebetulan melihat kami berdua dan menggosipkan yang tidak-tidak. Apa ada yang berani menggosipiku jika aku punya alasan yang jelas?

  Urusan pribadi adalah hal yang berbeda dengan kasus ini. Kalau untuk kasus ini, aku harus melakukan apa? Apa maksudnya dengan mengunjungi kuil bersama? Berjalan bersama-sama, mengobrol bersama-sama, mengunjungi kuil seperti biasa? Apa arti dari kata ‘seperti biasa’? Agh, persetan dengan itu semua, ini terlalu filosofi. Akupun terus memikirkan itu tanpa menemukan jawabannya. Lagipula, ada beberapa pertanyaan lain menungguku.

  Kuil mana yang akan kita kunjungi? Mungkin Inage Sengen karena itu kuil terbesar di dekat sini. Maksudku, nanti disana pasti banyak orang. Aku ingat ketika festival kembang api di musim panas lalu. Ada sebuah kemungkinan kalau Yuigahama akan tidak nyaman denganku. Kami bisa bertemu seseorang yang merupakan temannya seperti, katakanlah, Sagami Minami. Dan tentunya banyak lagi orang lain yang akan aku lupakan. Sistem kasta dalam komunitas sosial memang tidak akan bisa hilang begitu saja. Sekali aku salah melangkah dan Yuigahama akan mendapatkan masalah. Ya, tidak boleh ada salah langkah kali ini.

  Hidup ini sudah menunjukkanku berkali-kali kalau kau tidak bisa membuat kesalahan ketika berkumpul, dengan orang sekitarmu, dan perasaan mereka. Membuat kesalahan itu adalah hal yang mudah, oleh karena itu aku harus membuat batasan yang jelas soal ini.

“Umm...Oke. Tapi bagaimana dengan yang lain?”

  Kau mengatakan sesuatu yang bagus, Hachiman. Akupun bertanya kepadanya apakah dia akan mengundang orang lain. Seperti sebuah pertanyaan : ‘Apa, kita, akan pergi hanya pergi berduaan kesana?’. Tapi tidak lama kemudian aku menyesali hal ini.

  [Ah? Well...yang lain...]

  Yuigahama mengatakan itu, lalu terdiam. Nada suaranya terkesan sedih sehingga membuatku hatiku tidak nyaman. Dia tidak bisa menjawabnya dengan cepat. Itu bisa berarti banyak hal, dan Yuigahama mungkin paham hal itu. Oleh karena itu anda suaranya kembali enerjik lagi.

  [Kurasa Yukinon bisa datang! Dia bilang kalau dia ada waktu luang!]

  Akupun berusaha untuk membalasnya dengan nada yang enerjik juga. Entah apa itu sudah kulakukan dengan benar atau tidak.

  [Oke...Umm...Kalau Komachi, dia mau ikut tidak?]

  Yuigahama menanyakan itu, suaranya masih terdengar enerjik. Akupun menatap ke arah pintu sambil memegang HP-ku dengan bahu.

  “Komachi? Tunggu dulu.”

  Aku membalasnya dan segera keluar dari kamarku sambil membiarkan telponnya tersambung.






x  x  x






  Akupun masuk ke ruang keluarga dan melihat Komachi disana. Dia sedang duduk di bawah kotatsu, memakan es krim dan menonton TV. Ada secangkir kopi susu di dekatnya, dan di kakinya berbaring Kamakura, seperti menjadi penghangat kakinya. Mode istirahat:ON. Sayang sekali tidak dalam mode nekomimi. Itulah Himouto-ku, Komachi-chan.

  Karena aku tiba-tiba masuk ke ruangan itu, Komachi menatapku dengan curiga.

  “Komachi, kau mau mengunjungi kuil ketika tahun baru?” tanyaku.

  “Tahun baru?”

  “Yep.”

  “Kenapa tiba-tiba?” Komachi menanyakan itu dan melihat ke arahku dengan tatapan mata yang penuh curiga. Karena itu akupun mundur selangkah. Komachi mengatakan “Hmm” dan melihat aku sedang memegangi HP.

  “Apa itu ajakan dari Yui-san lewat telepon?”

  “Yeah...” jawabku. Komachi lalu mendesah kesal.

  “Onii-chan...”

  “A-Apa?”

  Bahu Komachi lalu meninggi, dan menaruh jari-jemarinya setinggi kepalanya dan mulai berkata.

  “Komachi ingin tidur. Komachi tidak akan meninggalkan rumah. Jadi Komachi tidak akan ikut.”

  “Ya sudah kalau begitu...”

  Aku tidak mengerti pilihan kata-katanya, entah mengapa aku merasa ada sesuatu di baliknya. Aku harusnya berhenti mengandalkan Komachi. Aku harusnya berhenti menggunakan Komachi sebagai alasan atau menilai tindakanku. Itu sangat rendahan dan pengecut.

  “Komachi tidak akan ikut, dan Onii-chan harus berpikir dengan hati-hati kalau ingin pergi. Putuskanlah sendiri. Setuju?”

  Dia mengatakannya dengan nada yang memerintah, tatapannya sangat tajam, tetapi menggugah hatiku. Aku tidak bisa mengatakan apapun, hanya bisa menggumamkan “mmhm”.

  Kupikir tindakanku barusan adalah rendahan dan pengecut. Selain itu, yang kukatakan tadi ke Yuigahama juga sikap pengecut. Sikapku yang  bermain dengan kata-kata. Aku merasa malu dengan diriku sendiri. Aku menyadari kalau aku menggunakan kata seperti “yang lain” dan “semuanya” seperti alasan untuk menghindar. Akupun merasa kecewa dengan diriku sendiri.

  “Ya sudah aku paham maksudmu, aku akan melakukannya.”

  “Baguslah.”

  Komachi menjawabku, mengangguk. Meski aku paham sendiri tanpa bantuan Komachi. Meski begitu, aku masih memilih untuk tidak menengok kebenaran yang tidak menyenangkan itu. Akupun mengangguk ke Komachi dan meninggalkan ruang keluarga.

  Setiap manusia pasti menghadapi masalah dan harus melakukan apa yang mereka anggap perlu. Meski yang kulakukan sekarang adalah menyesali kata-kata yang kukatakan tadi.






x  x  x






  Kakiku menjadi dingin kembali ketika menginjak lantai dingin itu, seperti memberitahuku untuk cepat-cepat. Jadi aku secara tidak sadar mempercepat langkahku dan masuk ke kamarku. Tanganku masih memegang telepon yang belum diputus itu. Aku melihat ke HP tersebut dan mengembuskan napasku.

  “Halo?”

  Akupun memanggil Yuigahama.

  [Hello!]

  Jawaban dari Yuigahama terkesan buru-buru. Mendengar itu akupun merasa lega. Kupikir jawaban sebelumnya hingga barusan ada jeda yang sangat lama. Dia mungkin sudah menunggu lama dengan HP menempel di telinganya. Maafkan aku. Akupun membungkukkan kepalaku untuk meminta maaf, meskipun dia tidak bisa melihatku.

  “Maaf sudah membuatmu menunggu. Komachi bilang dia tidak mau ikut.”

  [Yeah, aku dengar tadi]

  Yuigahama tertawa ketika mengatakannya. Tunggu, dia dengar semuanya? Ya Tuhan, sangat memalukan!

  [Hikki, kalau kamu sendiri...mau datang?]

  Pertanyaan yang Yuigahama katakan dengan hati-hati tadi menggelitik telingaku. Bulu kudukku serasa berdiri. Bahkan suara dari telepon bisa mempengaruhi telingaku, titik lemahku. Untungnya ini bukan Skype atau FaceTime. Mungkin telingaku terlihat terbakar saat ini. Akupun terbatuk dan memaksakan diriku untuk mengganti topik yang ada di pikiranku ini. Mempertimbangkan percakapanku sebelumnya, aku memutuskan untuk mengatakannya dengan jelas, tanpa kebohongan dan alasan apapun.

  “Aku...well, aku akan datang. Kuserahkan pengaturannya kepadamu.”

  [Eh?...Umm...Yeah, tentu!]

  Yuigahama membalasnya, seperti bingung bercampur terkejut terdengar dari nada suaranya. Mungkin aku terlalu terang-terangan ketika menjawabnya. Apa aku salah? Akupun segera menambahkan.

  “Yeah, well...Aku sedang berada dalam liburan musim dingin, jadi aku sendiri tidak ada rencana apapun. Aku akan melakukannya.”

  [Yeah. Tapi...yang lainnya mungkin punya rencana masing-masing, tahu tidak...]

  “Mau bagaimana lagi. Yang penting datang saja dulu dan selesaikan masalahnya ketika disana.”

  Sial. Aku mengatakan alasan dan menjawab ajakannya dengan konyol. Aku harusnya memikirkan lebih dulu jawabanku. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tanganku yang sedang memegang HP sedang berkeringat saat ini. Aku bisa merasakan keringat yang sedang mengalir dari kepalaku. Mengapa sangat sulit untuk berbicara tanpa adanya persiapan? Akupun mendesah kecil, tapi telepon di seberang terlihat diam saja.

  “A-Ada apa?” tanyaku.

  [Ah? Ti-tidak ada apa-apa...]

  Yuigahama mengatakannya dan mulai terbatuk, seperti memeriksa suaranya.

  [Ya sudah, aku akan SMS nanti soal waktu dan tempat berkumpulnya.]

  “Oke”.

  [Hmm.]

  Yuigahama mengatakan itu, harusnya pembicaraan ini selesai. Tapi...entah mengapa tidak ada yang menutup teleponnya.

  Akupun bisa mendengar suara napasnya. Beberapa saat kemudian, Yuigahama terbatuk.

  “Apaan?”

  [Ah, tidak, maaf. Kupikir ini aneh sekali.]

  Apa ada yang aneh soal ini? Meskipun aku memang merasakan itu juga. Percakapannya sudah selesai dan aku harus mengakhiri panggilan ini, tapi aku tidak bisa melakukannya. Setahuku, menurut tata krama, pihak yang menelpon yang harus mengakhiri itu. Mungkinkah aku tidak mengakhiri ini karena pengetahuan ini? Meski hubungan kami berdua tidak pernah sesuai tata krama. Kurasa tidak masalah jika aku memutus teleponnya dahulu, akupun mengatakannya dengan jelas.

  “Oke, kuputus teleponnya."

  [Yeah, bye...]

  Yuigahama mengatakan itu tapi tetap tidak menutup teleponnya. Akupun mendengar suara napasnya dan senyumnya yang terlihat idiot.

  “Sudah putus saja teleponnya.”

  [Y-Yeah.]

  Yuigahama mengatakan itu. Dia sepertinya sedang tersenyum malu sambil bermain dengan sanggul rambutnya. Ketika aku membayangkan itu, Yuigahama sepertinya punya ide.

  “Bagaimana kalau kita hitung sampai dua dan putus teleponnya?”

  Dia mengatakan itu dengan awkward. Mendengar tawanya itu bisa kubayangkan seperti apa ekspresinya. Menyadari apa yang dia tawarkan barusan, aku merasa leherku menjadi terbakar tidak karuan.

  “Eh? Apa-apaan itu? Aku putus saja sekarang.”

  [Hei, tungg...]

  “Oke, selamat tinggal.”

  Akupun mengatakan itu dan menekan tombol “Akhiri panggilan” secepatnya. Akupun melihat ke HP-ku dan bernapas lega. Percakapan macam apa tadi? Ini seperti percakapan antar bocah-bocah yang membuatku malu. Akupun tiduran di kamarku untuk menghilangkan semua itu. Beberapa saat kemudian akupun mengembuskan napasku. Aku merasa kalau tenggorokanku ini kering dan segera berdiri dari kasurku dengan wajahku yang sudah mulai lelah.







x  x  x







  Sambil memasang wajah lelah, akupun datang ke ruang keluarga dan melihat Komachi. Setelah melihat wajahku, dia seperti merasa puas.

  “Jadi kau akan datang ke kuil?”

  “Yeah, mungkin saja.”

  Akupun membalasnya sambil berjalan ke dapur dan mencari air untuk diminum. Komachi lalu tersenyum licik.

  “Hehehe, benar, benar.”

  “Wajahmu sangat menjengkelkan, hentikan itu.”

  “Nah, kupikir Onii-chan tidak sebodoh yang kupikirkan.”

  Komachi mengatakan itu sambil tersenyum, meskipun kupikir yang dia katakan bukanlah pendapatnya. Aku harusnya menjawab telepon tadi dengan sesuatu yang lebih baik. Dengan semua penyesalan itu, aku duduk di kotatsu. Komachi lalu berdiri seperti menyerahkan tugas menjaga kotatsu kepadaku.

  “Ini artinya aku harus memikirkan kuil mana yang akan kudatangi nanti.”

  “Well, ayah bilang ingin mengunjungi kuil Kameido Tenjin. Kau bisa ikut dengannya.”

  Akupun menjawabnya, tapi wajah Komachi menunjukkan ekspresi yang jijik.

  “Eh?”

  Apa-apaan dengan jawabannya itu? Ayah sudah melakukan yang terbaik agar dicintai Komachi. Aku paham dengan yang dia rasakan, tapi tampaknya Komachi tidak peduli sedikitpun.

  “Lupakan saja. Aku akan pergi ke tempat lain nantinya...selamat malam.”

  Dia menjawab itu dan meninggalkan ruang keluarga.

  Yang tersisa disini hanya diriku dan Kamakura. Kamakura pun mendesah kesal, tiba-tiba berdiri dengan mood yang buruk, merenggangkan badannya dan merangkak di bawah kotatsu. Akupun mengikutinya masuk ke kotatsu dengan menyisakan kepalaku saja yang keluar dari kotatsu. Tidak lama lagi akhir dari tahun ini. Tampaknya tahun baru ini akan menjadi lebih bermasalah dari pada tahun sebelumnya.

 
 

  



x Chapter I | END x


Tidak ada komentar:

Posting Komentar