x x x
Setelah kita mengendap-endap di pintu masuk, tubuh kita tiba-tiba lemas.
Cahaya dari lampu penerangan jalan menyinari pintu masuk, dan memperlihatkan kami lautan sepatu. Sepatu boots, loafers, sandal, sneakers, sepatu hak, sepatu olahraga...Sepatu dengan jumlah tidak normal berserakan di dekat pintu masuk. Apa seekor lipan tinggal disini? Mungkinkah Kuriu-sensei adalah bentuk manusia dari suatu makhluk? Aku dari dulu memang sudah menduga kalau proporsi tubuhnya itu memang jauh berbeda dari manusia biasa. Kurasa aku tidak akan kaget kalau dia bukanlah manusia.
"Apa-apaan ini...?"
Haruma-san kaget setelah membuka salah satu lemari sepatu dan lebih banyak lagi sepatu yang jatuh ke lantai.
"Kalau tidak salah ada istri Presiden Filipina yang mengoleksi sepatu. Marcos...Pendeta Marcos X?"
[note: Imelda Marcos, kalau tidak salah koleksinya ada 3000 pasang sepatu.]
Ketika kulihat sepatu Haruma-san, tampaknya adalah sepatu yang baru rilis di musim panas ini. Kalau menilai dirinya membeli sepatu ini dari toko grosiran, aku bisa melihat kalau dia memang tidak punya pacar. Setelah memikirkan ini, aku kemudian melepas sepatuku dan menentengnya sambil berjalan ke lorong.
"Polisi belakangan ini suka memperhatikan detail TKP, jadi usahakan agar tidak meninggalkan bukti."
"...Kalau boleh tanya, pekerjaanmu yang sebenarnya apa sih? Mungkinkah kau ini ahli di pekerjaan lain selain tukang kredit, nona?"
Haruma-san berusaha becanda, meski ini bukan waktu yang tepat.
Hanya dengan menutup pintunya, tidak ada lagi cahaya yang masuk ke rumah ini. Kesunyian melanda ruangan ini.
Di dalam lorong ini, mustahil bisa melihat beberapa langkah ke depan, sebuah kegelapan yang pekat tersaji di depanku. Akupun merasakan sebuah rasa takut yang besar menjalar dari belakang tubuhku.
"Haruma-san, tanganmu mana?"
"Hmm?"
"Senter? Pisau Swiss Army? Kawat kasa? Chloroform? Pistol Setrum?"
[note: kawat kasa bisa dipakai untuk mencekik orang sampai mati. Choloroform dalam dosis tepat dapat membuat orang yang mencium baunya pingsan seketika, bahkan meninggal. Jangan tanya saya tahu darimana =) ]
Meski aku sudah menjulurkan tanganku beberapa kali, aku tidak menerima satupun benda yang kuminta tadi. Haruma-san hanya diam disana.
"...Kalau kau tidak membawa satupun benda-benda sihir itu, lalu buat apa kesini? Apa kamu tidak punya sebuah insting sebagai seorang penyihir?"
"Si-Si-Si-Sihir? Oke, aku memang menggunakan sihir. Jangan salah paham denganku."
"Hmm? Haruma-san, kadang-kadang kau gugup dengan hal-hal yang janggal...Apa kau merasa kurang nyaman dengan hal-hal berbau sihir yang kubicarakan ini?"
"...Jangan khawatir. Ini hanya sebagai referensi."
[note: barang-barang kunci sebagai referensi sihir di Precure.]
"Aku tidak paham, tapi jangan berkecil hati. Masih banyak waktu sebelum umurmu 30 tahun, pasti banyak kejadian-kejadian yang terjadi sebelum itu."
[note: Ada guyonan di Jepang, kalau tetap perjaka/perawan sampai umur 30, kau akan menjadi penyihir.]
"Kau tampaknya tidak paham maksudku, ya?"
Kami mengatakan itu sambil berbisik dan menyinari area di depan kami dengan aplikasi senter dari smartphone. Kami mengandalkan itu agar keberadaan kami tidak mudah dideteksi.
Di sisi lain, aku tahu kalau masuk tanpa terdeteksi adalah hal terpenting, tapi bagaimana dengan hal lainnya? Konsep kami berdua ingin menjadi penyihir dalam kegelapan ini terdengar seperti sebuah sindiran berbau seksual, Haruma-san. Aku akan menggantikan kertas pemberitahuan di dompetnya dengan sebuah saran-saran. Yoink.
Dengan perlahan, kami membuka tiap pintu yang ada, memeriksa setiap sudut di rumah ini. Dapur, kamar mandi, wastafel, dan begitulah akhirnya kusimpulkan kalau area sebelah kanan ini terasa agak lembab, sementara area sebelah kiri seperti menyisakan banyak sekali ruang. Kalau dari tampilan rumahnya, orang pasti mengira kalau sebelah kanan rumah ini banyak ruangannya, sehingga bagian sebelah kiri kebanyakan adalah lorong untuk memudahkan keluar-masuk ruangan. Akupun berusaha mengkalkulasi ini seperti membayangkan ruangan-ruangan di kapal selam atau sebuah penjara.
"..."
Kurasa aku mendengar suara tangis dari salah satu dinding. Tentunya, aku sendiri berpikir kalau itu hanya suara ranting atau semacamnya. Aku ini tidak percaya dengan omong kosong yang tidak ilmiah seperti hal-hal mistis atau gaib, jadi aku tidak takut sedikitpun dengan hantu.
"Karena kita sudah sejauh ini, kita mungkin perlu berjalan dengan posisi depan-belakang."
"Huh, kenapa?"
Karena aku lelah berjalan berdampingan, tahu tidak. Haruma-san harusnya di depan sementara aku di belakangnya. Sang pengawal dan yang dikawal. Kuda dan kusir. Peluru dan pemimpin geng. Ekor dan kadal. Hal-hal semacam itu.
"Um, agak sulit berjalan..."
Sayangnya, Haruma-san menggerutu seperti dia takut akan gelap, jadi aku menempelkan tubuhku di punggungnya. Akupun memegangi lengan kemejanya dengan kencang, kuputuskan kalau aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Baguslah, harusnya ini membuat Haruma-san tenang. Ya ampun, dia memang kucing yang penakut. Tidak akan ada apa-apa, manis. Ini, ini.
"
"Eeeeek
Tiba-tiba, ada telapak tangan di depan mataku. Akupun kaget dan jiwaku ini serasa hampir lepas dari tubuhku. Ketika aku hendak berteriak karena kaget, sebuah telapak tangan yang besar menutupi mulutku. Ketika aku hendak protes, tangan tersebut bahkan berusaha lebih kencang untuk menutup mulutku. Jadi ada benarnya kalau ada yang bilang manusia lebih menakutkan daripada hantu. Akupun menatapnya dengan tajam untuk menyuarakan protesku.
"...Disana."
Haruma-san memberi kode dengan dagunya ke ujung lorong, sebuah pintu di sebelah kanan.
Mungkinkah ada seseorang disana? Aku bisa mendengar suara yang pelan muncul di balik pintu itu. Ataukah itu suara jantungku? Aku tidak tahu bedanya apa. Aku harus menghentikan jantungku untuk mengetahuinya. Juga, aku harus hidup lagi untuk menghentikan pria di sebelahku ini.
Aku bisa mendengar suara dari Haruma-san menelan ludahnya sendiri.
Tiba-tiba, dia seperti meraba-raba area sekitar pintu itu tanpa ragu. Tanpa membawa pistol setrum ataupun chloroform, dia tidak sadar kalau ruangan ini seperti sebuah penjara dan yang dia lawan adalah manusia lipan.
Ini sangat janggal sekali. Dia tidak punya sihir ataupun mukjizat. Jika sesuatu terjadi dengan tubuh Haruma-san, apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak bisa kehilangan Haruma-san begitu saja. Dia harusnya menemui petugas asuransi jiwa dan membuat kontrak dengan nama diriku sebagai penerima uang sebelum masuk ke ruangan itu.
"Aku menemukan saklarnya. Aku akan menyalakan lampunya."
"Tunggu, tunggu, tunggu dulu!"
Ketika aku mulai panik, lampunya menyala.
Ruangan tersebut cukup untuk dipasang enam tatami. Dinding dan karpetnya berwarna abu-abu, perabotan dan hiasannya juga sewarna dengan taplak mejanya. Di tengah ruangan itu ada kasur...tunggu, kasur?
Kasurnya tidak terbuat dari kayu. Tidak ada batangan besinya pula. Bahkan ini tidak ada matras ataupun selimutnya; ini hanya tumpukan pakaian yang menyerupai kasur.
Pendek, berenda, lentur, gampang rusak, ada beberapa yang perlu dijahit, dan tentunya pakaian yang tidak normal ditemukan di tempat ini
Dan yang sedang tertidur lelap di tengah tumpukan itu adalah Kuriu-sensei. Sensei, yang tidur dengan nyenyak, tampaknya mulai terbangun oleh lampu yang menyala, karena dia mulai terlihat menggaruk-garuk matanya dengan sesuatu yang mirip bra.
Lalu, akhirnya dia membuka kedua matanya.
"Mmm, siapa itu? Shia...? Bukankah sudah kubilang untuk tidak masuk sembara
Ketika kedua mata Kuriu-sensei menyadari kehadiran kami, kedua mata dan mulutnya terbuka lebar, dan aku bisa melihat tenggorokannya dengan jelas.
Juga, kepalanya yang harusnya memakai topi tidur, kini memakai dua pasang celana dalam. Apa-apaan ini?
x x x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar