x x x
Agar tidak mengganggu Komachi yang tengah belajar,
akupun berpindah dari kotatsu menuju kamarku. Melihat sebentar ke arah jam yang
ada di samping tempat tidurku, ternyata ini masih bisa dibilang belum terlalu
malam. Meski aku seperti menghabiskan seluruh hidupku di taman tadi, sebenarnya
memang tidak memakan begitu banyak waktu. Mungkin, aku merasa itu lama sekali
karena aku sendiri yang kelelahan, atau mungkin karena diriku yang merasa tidak
berguna waktu itu.
Meski aku
merasa kalau ini bisa dibilang ‘kemalaman’ untuk menghubungi seseorang, kupikir
tidak begitu buruk jika kuhubungi via SMS. Lagipula, si penerima SMS bisa
membalasnya kapanpun dia mau. Alasan tidak membalas dengan segera bisa dengan
mudah diselesaikan dengan kalimat, “aku ketiduran”, “aku tidak lihat HP-ku sama
sekali”, “tidak mendengar HP-ku berbunyi” dan sejenisnya. Berbicara soal SMS,
aplikasi terbaru mengenai SMS memang benar-benar menjengkelkan. Mereka
memberikan info kepada si pengirim SMS kalau SMS yang mereka kirim sudah
kubuka, lalu aku mulai digosipkan seperti, “Hikigaya pura-pura enggak baca SMS gue!”, “Dih brengsek”, “Ini pasti sering terjadi jika
berurusan dengannya”, “Benar, kan?” menyebar dengan cepat. Dari dulu, aku sudah
keberatan dengan aplikasi ini. Mereka selalu menampilkan kalau SMS sudah dibaca
beserta jam dibukanya, gara-gara itu pula aku selalu diinterograsi seperti “kau
jelas-jelas membaca SMS-nya, kenapa tidak segera membalasku?!”
Apa-apaan
dengan komunitas ‘Kakak tertua’ ini? Sangat menakutkan, kalau boleh jujur. Apa
mereka semua itu Hiratsuka-sensei? Serius ini, menakutkan sekali.
Begitulah
trend populer yang marak dalam dunia SMS belakangan ini. Tapi, aku tidak hendak
memakai aplikasi yang populer itu untuk saat ini. Malahan, aku mulai
menekan-nekan layarku ini untuk mengirim SMS secara tradisional.
Meski
begitu, mengirim SMS adalah hal yang mengganggu.
Karena tidak
ada kehangatan dari kotatsu, akupun menyelimuti tubuhku ini dengan selimut, dan
mulai menggerakkan jari-jariku yang mulai mati rasa karena dingin. Mulai
memasukkan kata demi kata, dan menekan tombol di layar. Ketika kutekan tombol
‘kirim’, ternyata menghabiskan waktu kurang lebih 10 menit sejak pertama kali
menulisnya.
SMS yang
kukirim : Berikan aku nomor Hayama.
SMS-nya
hanya terdiri dari 4 kata, tapi kenapa memakan waktu selama itu?
Alasannya
sangat jelas.
Entah itu
SMS tradisional ataupun memakai aplikasi smartphone, kata-kata yang telah
dikirim tidak bisa ditarik lagi. Jika aku mengatakan secara langsung, aku masih
bisa mencari celah dengan menambahkan beberapa kata setelahnya. Tapi dalam
kasus SMS, ada catatan-catatan tentang kata-kata apa saja yang telah kukirim,
dan inilah yang membuatnya sangat menakutkan. Kau tidak bisa melihat ekspresi
si penerima, jadi kau tidak tahu apakah kau harus mengirimkan SMS lagi untuk
memperlancar penyampaian maksud atau tidak.
Karena itulah,
aku harus memastikan kalau kata-kata yang kukirim tidak ada makna yang aneh.
Tapi, daripada sekedar memeriksa kata-katanya berulang-ulang, aku lebih sering
melihat catatan SMS yang telah kukirim selama ini dan berkata, “Arg, harusnya aku tidak mengirim kata-kata
seperti ini”.
Melihat
kata-kata yang dingin dan buruk dari SMS yang kukirim, akupun mendesah kesal.
Lalu HP yang kupegang ini ternyata bergetar. Kalau dibandingkan dengan waktu
yang dibutuhkan untukku mengirim SMS, balasan yang kuterima ini bisa dibilang
hanya beberapa detik.
Alasan
mengapa aku menerima balasannya dengan cepat, sangat jelas sekali...
SMS diterima
: Kenapa?
Hanya
dibalas satu kata.
Well, SMS
pendek seperti itu memang hanya butuh beberapa detik untuk menulisnya.
Tapi, kurasa
ini kurang tepat jika hanya membalas dengan satu kata tanya.
Ketika aku
bingung harus menjelaskan apa selanjutnya, HP-ku bergetar lagi. Kupikir itu
adalah SMS lain, tapi ketika kulihat layarnya, ternyata ada yang menelponku. Di
layar tertulis [✰★ Yui ✰★]
Sambil
berpikir kalau ini adalah hal yang aneh bagi seseorang langsung menelpon balik
setelah mengirim SMS, akupun menekan tombol ‘terima’.
“...Halo.”
[“Ah,
Hikki?”]
Dari
suaranya, aku bisa mendengar suaranya yang ceria bercampur dengan latar yang
berisik. Tampaknya dia sedang berada di luar.
Meski
begitu, tidak peduli berapa kali aku mendengar suara Yuigahama di telepon, aku
tetap tidak terbiasa dengan itu. Akupun menarik napas yang dalam untuk
menstabilkan suaraku.
“Ah...Maksudku,
kenapa menelponku tiba-tiba?”
Pakai saja SMS, sial. Aku jelas tidak
masalah dengan SMS. Maksudku, jangan menakut-nakuti orang yang tidak terbiasa
menerima panggilan telepon.
Ketika aku
memikirkan itu, aku bisa mendengar suara yang kurang senang darinya.
[“Karena SMS
itu kelamaan Hikki!”]
“Ah, benar
juga. Memang, whoops, salahku.”
Kalau begitu maafkan aku. Akupun meminta
maaf kepadanya.
...Tapi,
tahulah.
Kalau
dipikir-pikir, hal itu, mengirim SMS ke gadis, kau harus berpikir keras sebelum
menekan tombol ‘kirim’, benar tidak? Misalnya, memikirkan kata-kata yang tidak
terkesan menjijikkan bagi mereka, juga memikirkan kalau membalas SMS dengan
cepat akan membuatmu terlihat seperti orang yang menakutkan. Mungkin mereka juga akan berpikir kalau kau
sangat menakutkan jika kau mengirimi mereka SMS tentang apapun yang terjadi
hari itu. Waktu SMP, aku pernah mengirim SMS basa-basi tentang jawaban ujian
hari itu, meski aku sendiri sudah tahu. Memikirkan kejadian itu saja sudah
membuatku ketakutan, rasanya aku ingin mati saja.
Sebenarnya, aku ingin tahu lebih banyak
tentang apa yang ada di pikiran seorang gadis...
[“Ngomong-ngomong, kau mau nomor Hayato? Aku tidak yakin apakah boleh
memberikannya kepadamu...”]
“Well,
sebenarnya dia punya nomorku. Dulu, dia pernah meminta nomorku. Waktu itu, aku
lupa untuk meminta balik nomornya.”
[“Begitu
ya...?”]
Jawaban
Yuigahama tadi agak telat. Entah apa dia kagum atau terkejut mengetahui kalau
aku meminta nomor Hayama.
[“Tapi,
kenapa harus saat ini?”]
Ini memang
terdengar seperti pertanyaan yang normal. Ah,
apa-apaan sih dengan semua pertanyaan mengapa ini darinya? Apa kamu ini Vivian
Hsu dari era Black Biscuit?
“Kenapa
katamu? Hmm, begini...Ada sesuatu yang hendak kubicarakan dengannya.”
Bahkan
diriku sendiri tahu kalau jawabanku barusan memang mencurigakan. Hikigaya
Hachiman sedang berusaha agar bisa berbicara dengan Hayama Hayato. Jangan lupa
juga kalau dia tidak ingin melakukan itu di sekolah, dan memilih untuk
berbicara dengan Hayama lewat telepon. Sangat normal jika orang-orang akan
berpikir apa yang hendak kubicarakan dengannya. Daripada memberitahunya alasan
yang terdengar kurang logis, mungkin akan terdengar lebih baik bagiku jika
kukatakan saja, “aku ingin tahu nomor Hayama sehingga aku bisa menjual nomornya
ke para gadis yang menyukainya”.
Yuigahama
tampaknya memikirkan sesuatu karena dia hanya diam saja dari tadi. Jika merasa
kurang puas dengan jawabanku, dia biasanya pura-pura batuk dan menunggu
jawabanku. Tapi, Yuigahama berbicara, mengatakan sesuatu yang mengejutkan karena tidak berkaitan dengan
pembicaraan.
[“Hmm...Ah,
kalau begitu, bagaimana jika begini. Saat ini, Yukinon dan aku sedang makan
malam. Bisa tidak kau kesini, Hikki?”]
x x x
Akupun
bersepeda disinari cahaya lampu jalanan kurang lebih selama 10 menit.
Padahal aku
baru mandi dengan air hangat beberapa saat lalu, sekarang tubuhku menggigil
kedinginan lagi. Ketika aku pulang nanti, aku ingin berendam di ‘air beraroma
Komachi’ lagi....Ketika pikiranku dihibur dengan hal-hal semacam itu, tidak
lama kemudian aku sampai di gedung yang tampak familiar bagiku.
Dari depan
gedung, terlihat sebuah restoran masakan China dengan tulisan berwarna merah.
Setelah naik ke lantai 2, aku bertemu dengan orang yang menyuruhku datang, dan
dia bersama seseorang yang hanya berjarak beberapa gelas darinya.
Yuigahama
dan Yukinoshita.
Setelah aku
masuk ke restoran, mereka dengan cepat menyadari kehadiranku dan melambaikan
tangannya dengan enerjik.
“Oh, Hikki.
Yahallo!”
“Selamat
malam.”
“Yo.”
Setelah
membalas sapaan mereka, akupun berjalan ke arah mereka.
Yuigahama
dan Yukinoshita duduk di meja untuk empat orang....Tapi, kenapa mereka duduk
bersebelahan? Apa kalian berdua sepasang kekasih? Tapi justru karena itulah,
ini artinya tempat duduk yang bisa kuambil adalah di seberang mereka.
Setelah
duduk, akupun menekan bel untuk memanggil pelayan restoran ini. Aku bahkan
tidak perlu membuka daftar menu ketika pelayan tersebut datang kepadaku.
“Pesan satu
ramen dan nasi goreng, termasuk paket minuman yang ada di makanan itu. Juga,
aku tidak mau sup yang sepaket dengan nasi gorengnya.”
Itu karena
sup dari ramen dan sup biasa memiliki rasa yang hampir sama...Si pelayan
tampaknya tahu apa maksudku, dan tanpa mempertanyakan pesananku, dia
meninggalkan meja kami.
Yuigahama
yang duduk di seberangku, menatapku dengan terkejut.
“Whoa...Kau
ternyata sudah sering kesini.”
“Well, bisa
dikatakan begitu. Ketika kau selevel denganku, kau bisa menjadi penyendiri
profesional di berbagai restoran keluarga. Tidak peduli keluarganya, kau tidak
akan punya kesulitan dalam memesan makanan.”
“Dan apa
maksudmu dengan mengatakan ‘keluarga di restoran keluarga’?”
Yukinoshita
seperti menekan-nekan keningnya seperti mendapatkan sakit kepala. Eh? Bukan begitu, err, karena itu, umm,
sebenarnya karena kau sendirian, jadi kau bisa memesan dengan cepat tanpa
mengganggu keluarga yang ada di restoran
itu. Hachiman berpikir kalau nona Yukinoshita harusnya juga memanfaatkan momen
ini untuk menunjukkan skillnya juga.
Tapi,
Yukinoshita tampaknya lebih banyak menghabiskan waktu bersama Yuigahama
daripada sendirian, mungkin aku harusnya tidak mengkhawatirkan soal itu. Hari
ini, mungkin dia memutuskan untuk berjalan-jalan di Chiba sebelum pulang ke
rumah. Yuigahama juga mungkin memanfaatkan ini sebagai alasan untuk menginap di
apartemen Yukinoshita.
Sebenarnya
tidak ada masalah soal itu. Kuharap
keduanya akan bisa terus akrab. Yang membuatnya bermasalah adalah alasan
mengapa aku disuruh kesini dan mengganggu ‘happy✩time’ mereka berdua.
“...Kembali ke topiknya, ada
apa menyuruhku kesini?”
Ketika kukatakan itu,
pesananku datang. Dibalik uap panas ramen, aku menatap ke arah Yuigahama,
kulihat dirinya hanya menunduk dan menjawabku.
“Ah, un, soal itu, kupikir
akan lebih baik jika melakukannya sesuai urutan yang benar.”
“Urutan yang benar?”
Aku melihat ke arahnya
sambil memakan ramenku, dan Yuigahama terlihat memasang senyum yang malu-malu
sambil menepuk dadanya.
“Yup! Jadi, kupikir aku akan
menelpon Hayato dulu? Setelah itu, Hikki akan berbicara dengan Hayato lewat
HP-ku. Lalu, kau bisa meminta nomornya sendiri dengan cara itu. Dengan begitu,
tidak akan ada yang merasa dicurangi. Bukankah itu bagus?”
Yuigahama tertawa dengan
puas, tampaknya dia puas dengan sarannya tadi.
Tapi, aku tidak tahu apa
yang ada di pikirannya sehingga dia menyarankan hal itu. Sederhananya, aku
tidak paham.
Argh, mengapa harus begini.
Bukankah lebih baik jika kau beri saja nomornya kepadaku secara
langsung...Ketika aku duduk disini, tampak kecewa dengan apa yang terjadi, aku
melihat Yukinoshita juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tampaknya juga
tidak setuju dengannya.
“...Saat ini, kita tidak
tahu bagaimana situasi Hayama-kun. Kita harusnya tidak menelponnya sesuka
kita.”
Eh? Itukah yang ada di
pikiranmu? Bukankah kau harusnya bertanya tentang ‘urutan yang benar’ dari
usulan Yuigahama? Well, meski aku memiliki pemikiran yang berbeda, tapi aku
tidak bisa tidak sependapat dengan Yukinoshita.
“...Memang ada benarnya.
Pilihan terbaik saat ini memang menghindari kontak dengan Hayama.”
Seperti itulah. Bagaimana
jika Hayama sedang keluar dengan teman-temannya saat ini? Bagaimana jika dia
menerima panggilan dari salah satu artis gosip itu, Yuigahama, ini sama saja
menambah bumbu dalam gosipnya. Tapi jika yang tahu adalah Tobe, kurasa tidak
masalah karena dia juga bersimpati dengan masalah ini. Tapi, akan ada orang
seperti perjaka tanggung, Ooka, diantara teman-teman Hayama. Meski tampilan
Ooka sendiri memberitahukan kalau dia bukanlah ancaman, dia mungkin akan
membumbui gosip ini ketika mengobrol dengan orang lain, dengan harapan akan
membuatnya terdengar lebih menarik, membuat gosipnya melebar dan menyebabkan
kepanikan.
Oleh karenanya, yang terbaik
adalah berbicara dengan dia di sekolah. Tapi, sejujurnya jika kau ada
kepentingan pribadi dengan seseorang lewat telepon, lalu menggunakan HP orang
lain, si penerima mungkin akan curiga kalau kau punya motif tertentu.
Dengan dua orang menolak
idenya, Yuigahama terlihat kurang senang.
“Begitu ya, mungkin memang
ada benarnya...Kalau begitu, ayo kita kirim SMS dulu sebelum menelponnya.”
“Erm, bukankah lebih enak
kalau kau kirimi saja SMS kepada dia? Bisakah begitu saja tanpa perlu
menelponnya?”
Aku memintanya begitu karena
kupikir menelponnya dengan HP orang lain kurasa diluar rencana. Yuigahama yang
memiringkan kepalanya memberikanku jawaban yang membingungkan.
“Unn...Well, beberapa orang
tidak menyukai itu. Kurasa akan lebih baik jika berbicara langsung!”
“Apa kamu sendiri tidak
merasa aneh jika orang lain menerima SMS dimana isinya ada orang lain meminta
nomor orang itu?”
Yukinoshita tampaknya setuju
dengan kata-kata Yuigahama. Dia terlihat menganggukkan kepalanya, sambil
memindahkan rambut panjangnya yang ada di bahunya. Dia mengucapkan itu dengan
nada yang kurang senang dan jijik. Dia mungkin pernah mengalami itu di masa
lalu.
Bagi siswa SMA, benda
seperti HP ini tidak sekedar alat komunikasi. Meski data pribadi adalah hal
yang bernilai tinggi, tapi bagaimana cara penggunanya berpikir untuk
memanfaatkannya adalah hal yang terpenting. Bagi para siswa SMA, jika ini
berarti menunjukkan seberapa banyak temannya, berarti juga menunjukkan seberapa
populer dirinya, dan tentunya juga mendongkrak status sosial mereka.
Misalnya, Hayama dan
Yukinoshita, juga Yuigahama yang punya tampilan menarik ataupun status sosial
tinggi di SMA. Jelas ada sebuah nilai ekstra jika punya nomor pribadi
mereka. Entah karena banyak yang
menanyakan nomornya, atau nomornya tersebar di kalangan siswa, jelas akan ada
hal-hal yang mereka rasa mengganggu dari hal itu.
“...Begitu ya. Baiklah kalau
begitu. Meski, itu terdengar sedikit merepotkan, ya sudah lakukan saja.”
“Oke.”
Ketika kukatakan itu,
Yuigahama tampaknya sangat lega dan menganggukkan kepalanya, lalu mulai
menekan-nekan layar HP-nya. Dia mungkin sedang mencari nomor kontak Hayama
untuk mengirimanya SMS.
Ketika melihatnya
mencari-cari nomor kontaknya, tiba-tiba aku mengatakan sesuatu secara spontan.
“Dia itu, memang merepotkan.”
Aku mengatakannya begitu
saja tanpa berpikir terlebih dahulu. Kemudian, mereka berdua terdiam. Bahkan
Yuigahama yang jari-jarinya menekan-nekan layar dengan cepat-pun terdiam.
“...”
“...”
Baik Yukinoshita dan
Yuigahama menatap ke arahku. Dengan tatapan mataku, kutanya balik ke mereka, “memangnya
ada apa?”, tatapanku bertemu dengan Yuigahama dan dia tertawa.
“Un,...Hikki, kamu sendiri
juga biasanya merepotkan.”
“Tunggu dulu, apa kau baru
saja mengatakan sesuatu yang kejam kepadaku?”
Bahkan Yukinoshita sendiri
terlihat sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hayama-kun mungkin tidak
mau dipanggil seperti itu olehmu.”
“Yup, faktanya, mungkin dia
sendiri tidak mau dipanggil apapun olehmu.”
Tapi, yang mereka berdua
katakan masuk akal. Fakta bahwa baik Hayama dan diriku adalah sebuah eksistensi
yang cukup mengganggu. Juga, masalah kami ini berada di titik yang sama.
Bagaimana cara kami bersikap dengan orang lain.
Dari titik ini saja, kami
tidak bisa saling menatap satu sama lain.
Tapi, aku merasa kalau
bagaimana dirinya dan diriku menyikapi ini berbeda, dari level biasa hingga
ekstrem. Bahkan kami juga menolak untuk mencoba memahami satu sama lain.
Ketika aku memikirkan itu,
HP Yuigahama berdering. Dia melihat ke arah layar HP-nya, dan seketika
ekspresinya berubah suram.
“Ah, maaf, mama sedang
menelponku.”
Sambil mengatakan itu, dia
berdiri dengan cepat.
“Halo. Ya, ini aku. Ya, aku
sudah makan.”
Setelah mengatakan itu, dia
mulai berjalan meninggalkan meja menuju pintu keluar.
Melihat teman-teman SMA-mu
mendengar percakapanmu dengan ibumu memang cukup memalukan, kurasa begitu.
Akupun merasakan itu. Mengingat kejadian serupa terjadi kepadaku di masa lalu,
waktu itu aku seperti ingin meledakkan kepalaku saja. Waktu itu, ayahku
berusaha menyanyikanku lag Jacknife, pura-pura menjadi Ozaki Yutakan versi
Chiba, atau menyanyikan lagu tidur dari Jagged Heart agar membuatku tenang.
Akupun mengembalikan
pandanganku kembali ke meja ini. Di saat yang sama, tatapan Yukinoshita juga
kembali ke arah meja dan kedua pasang mata kami bertemu.
Ketika kami saling menatap
satu sama lain, Yukinoshita terlihat malu-malu, dia pura-pura batuk dan
memalingkan pandangannya dariku.
Lalu, tidak lama kemudian
dia menatapku kembali.
“Apa yang hendak kau
bicarakan dengan Hayama-kun?”
Tatapan matanya tampak
berbeda dari sebelumnya. Sepertinya, dia bertanya dengan serius.
Sebelumnya, aku meminta
mereka untuk menikmati waktu berdua sehingga aku bisa mengobrol dengan Hayama.
Dirinya yang ingin tahu apa yang ingin kubicarakan memang cukup bisa dipahami.
Tapi, pembicaraanku dengan
Hayama tadi tidak menghasilkan sesuatu. Malahan, lebih emosional dari pertemuan
kami sebelumnya. Tapi, dia tidak dapat keuntungan apapun dari berbohong. Oleh
karena itu, aku menaikkan bahuku dan memberitahunya dengan jujur.
“Well...Dia tidak mengatakan
apapun soal bagaimana memecahkan masalah ini.”
Begitulah, dia banyak sekali
membicarakan hal-hal yang tidak berguna.
Apa yang dia katakan
kepadaku, jujur saja tidak membantuku. Bahkan, dia tidak memberitahuku apa
metodenya untuk memecahkan masalah ini.
Itu bahkan tidak bisa
dibilang sebuah percakapan. Itu hanya terdengar seperti mengoceh kesana-kemari, seperti memberitahu sesuatu ke orang yang
tidak dikenal.
Bahkan jika kuberitahu
kepadanya tentang isi percakapan kami tadi, dia mungkin tidak akan paham. Aku,
dan mungkin Hayama juga, tidak bisa saling memahami.
Oleh karena itu, aku hanya
memberitahunya apa hasil pembicaraanku tadi. Meski begitu, mungkin ini sudah
cukup baginya. Dia menaruh tangannya di dagu dan mulai berpikir.
“Begitu ya...”
Akupun menganggukkan
kepalaku, dan Yukinoshita melanjutkan kata-katanya.
“Mungkin memang harusnya aku
sendiri yang berbicara dengannya...”
Dia mengatakan itu dengan
menundukkan kepalanya, suaranya sangat pelan. Tapi, aku tidak memperbolehkan
telingaku untuk tidak mendengar itu. Oleh karenanya, mulutku terbuka, dan tanpa
sadar, aku sendiri mengeluarkan sebuah nasehat kepadanya.
“Bukankah ini berbeda dengan
yang barusan kau katakan? Orang yang terseret di gosip ini tidak hanya
Yuigahama, tapi kau juga. Mendekati Hayama tanpa perhitungan bukanlah tindakan
yang bagus.”
“...Begitu ya....Lebih
tepatnya karena memang situasinya seperti itu, aku berpikir demikian.”
Yukinoshita mengatakannya
sambil menunduk, dan bahunya terlihat turun. Dari sikapnya, aku langsung tahu
kalau dirinya baru sadar apa makna dibalik kata-kata tersebut.
Dengan kata lain, dia ingin mengorbankan dirinya di gosip itu dan
membiarkan gosipnya terfokus ke dirinya.
Belakangan ini, ada beberapa gosip di
sekitar Hayama. Misalnya, Yukinoshita sedang berpacaran dengannya, atau kalau
tidak itu berarti Yuigahama yang berpacaran dengannya. Juga, ada gosip dengan
beberapa gadis yang berhubungan dengan Hayama, bagaimana perang psikologis
diantara mereka, dan sebentar lagi akan menjadi peperangan, dan lain-lain.
Karena itulah banyak sekali
versi gosip itu yang abu-abu. Yang membuatnya ironis adalah fakta kalau tidak
ada versi yang jelas soal gosip itu, karena banyak sekali bagian-bagian dari
gosip itu yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, sepertinya sangat mustahil
untuk tahu siapa yang sebenarnya menjadi korban terparah.
Selain itu, jujur saja aku
sendiri tidak masalah dengan gosip itu, aku tinggal menutup telingaku saja
dengan gosip-gosip itu.
Karena gosipnya tidak jelas,
membuat orang lain menyiramkan bensin ke apinya, dan hasilnya bisa kita lihat
saat ini.
Hasilnya, ketiganya baik
Hayama, Yukinoshita, dan Yuigahama tidak bisa mengambil tindakan. Jika salah
satu dari mereka mengambil tindakan, akan menyebarkan gosip yang lain.
Misalnya, ada yang bergerak untuk klarifikasi gosipnya. Jika kita berpikir
bagaimana reaksi publik soal itu, maka itu adalah tebakan yang mudah.
Rasa penasaran publik akan
berubah menjadi serangan. Karena publik sangat putus asa ingin gosipnya
setidaknya terlihat benar-benar berkaitan dengan korbannya. Karena mereka pikir
kau sedang mencari-cari alasan untuk kabur dari tuduhan publik. Karena mereka
pikir harusnya kalau kau merasa tidak ada yang disembunyikan, kau akan
menghadapi gosip itu dengan santai. Begitulah seterusnya. Mereka akan menggunakan
semua logika yang bisa dipakai untuk menantangmu ketika apinya membesar.
Jika ada satu orang yang
terlibat skandal itu terlihat hendak kabur, fokus publik akan berpindah. Mereka
akan fokus ke satu orang, dan melepaskan tekanan ke yang lain.
Mungkin itulah yang
Yukinoshita hendak katakan.
Tapi, aku tidak akan
mengijikan dirinya menggunakan metode semacam itu. Setidaknya, aku tidak akan memperbolehkan seseorang yang sebelumnya
menolak bagaimana caraku menyelesaikan masalah, meniru caraku itu dan
mengorbankan dirinya.
“Aku tidak akan pernah
menyetujui tindakanmu.”
Mendengarku mengatakan itu,
Yukinoshita menegakkan kepalanya.
“...Aku sudah menduga kalau
kau akan mengatakan itu.”
Lalu, dia tertawa kecil.
Wajahnya tidak terlihat lagi ekspresi yang suram seperti sebelumnya, tapi sebuah senyuman yang penuh determinasi
seperti sebelumnya.
“Tidak apa-apa. Anggap saja
itu sebagai usaha paling terakhir yang bisa kutempuh.”
“Kalau begitu, kurasa tidak
apa-apa.”
“Hmm...Tapi, kalau situasi
seperti ini berlanjut, aku sebenarnya tidak mempermasalahkan itu...”
Ketika dia mengatakan itu,
dia tampak khawatir dan menatap ke arah pintu. Tampaknya Yuigahama baru saja
selesai berbicara dengan ibunya. Dia menyadari kalau Yukinoshita melihat ke
arahnya, dan melambaikan tangannya ke arah kami.
Beberapa hari lalu,
Yukinoshita yang punya pengalaman serupa di masa lalu, mengingatkan Yuigahama
kalau dia sedang dalam bahaya karena banyak yang menggosipinya dari belakang.
Akupun juga menyaksikan sendiri ketika jam pelajaran olahraga.
Karena itulah, Yukinoshita
ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya. Mungkin itulah alasan dia
mengatakan kata-kata barusan. Ekspresinya ketika dia menatap ke arah Yuigahama
terlihat lembut dan penuh rasa peduli. Dipenuhi semacam perasaan cinta dan
kasih sayang. Yuigahama juga kadang memasang ekspresi seperti itu juga. Meski
keduanya terlihat berbeda, mereka memang punya sesuatu yang mirip. Hal ini
membuatku tersenyum.
Melihat wajahku yang
tersenyum ketika melihat wajahnya, Yukinoshita menatapku dengan tajam.
“...Ada apa denganku?”
“Ti-Tidak ada. Kalau
dipikir-pikir, soal itu, kupikir memang jalan terbaik adalah aku yang berbicara langsung dengan Hayama.”
Aku lalu mencoba mencari
alasan dengan kata-kata tersebut, dan Yukinoshita menatapku dengan terkejut.
“Begitukah?...Tapi, bisakah
kau menggelar sebuah percakapan secara normal?”
“Aku bisa berbicara dengan
normal. Hei, jangan menatapku seperti itu. Aku ini juga pengguna bahasa lokal!
Aku tidak punya masalah dengan cara pengucapan, stok kata-kata, dan juga tata
bahasa. Masalahku hanya aku tidak punya rasa percaya diri untuk menyampaikan
maksudku.”
“Bukankah itu yang paling
penting...”
Dia membalasku dengan
sarkasme, dan tertawa sambil memasang ekspresi kagum.
Tapi, aku tidak mengatakan
logika berbeda tersebut tanpa tujuan. Aku mengatakan itu, karena aku melihat
adanya harapan ketika aku melihat ke arah Yukinoshita dan Yuigahama.
Meski aku dan Hayama
berbeda, tapi jika ada satu saja bagian dari kami yang sama, maka pasti ada
sesuatu yang bisa kami sepakati.
Kalau begitu, meski aku dan
Hayama tidak bisa seperti mereka berdua, setidaknya, kami berdua bisa
membicarakan sesuatu. Meski ada basa-basi yang menyelimuti pembicaraan kami,
sebuah bentuk kebaikan dan hal-hal yang mengganggu adalah dua hal yang berbeda.
Ketika aku memikirkan itu,
Yuigahama kembali. Seperti biasanya, dia duduk di sebelah Yukinoshita.
“Maaf maaf. Aku akan
mengirim Hayato SMS sekarang.”
“Ah, itu tidak perlu.”
Mendengarku mengatakan itu,
Yuigahama terlihat terkejut.
“Huh, mengapa?”
“Kalau dipikir-pikir, aku
sendiri tidak terbiasa berbicara lewat telepon. Aku bahkan tidak bisa melihat
ekspresi orang yang berbicara denganku...Oleh karena itu, kupikir aku akan
berbicara dengannya secara langsung.”
Aku mengambil uang 1000Yen
dari dompetku dan menaruhnya di atas meja. Keduanya mungkin akan ke apartemen
Yukinoshita setelah ini. Kurasa aku akan meninggalkan mereka disini saja.
Ketika aku berdiri dari
kursiku, kemudian aku mendengar suara tawa dari Yukinoshita.
“Sikapmu tadi kurang
meyakinkan untuk terlihat keren ketika kau merespon ekspresi orang lain.”
“Tahu tidak? Mayoritas
komunikasi itu tidak berasal dari kata-kata. Dengan kata lain, mata orang dan
sikapnya itulah yang terpenting.”
“Tidak heran kalau kau
sangat buruk dalam berkomunikasi.”
Mendengarkan jawabanku,
Yukinoshita lalu meresponnya dengan kata-kata yang dingin, sambil meminum teh
dari cangkirnya. Oi, aku tahu maksudmu
itu. Kau sedang membuat mata ikan busukku ini sebagai bahan becandaan, benar
tidak?
Ketika aku menatap
Yukinoshita dengan mata ikan matiku, Yuigahama menggumamkan sesuatu, tampaknya
dia memikirkan sesuatu. Lalu, dia mengatakan sesuatu sambil menatapku.
“...Apa, apa maksudmu,
semacam extrasensory perception?”
Bukan oi.
x x x
Setelah meninggalkan
restoran, aku mulai memikirkan banyak hal sambil mengayuh sepedaku ke rumah.
Soal gosip. Soal Hayama.
Soal mereka, tentang diriku.
Aku masih belum paham soal itu semua.
Aku tidak punya pengalaman
untuk memperoleh jawaban-jawaban itu.
Kalau begitu, bagaimana
dengan Hayama.
Entah mengapa, aku berhasil
mengumpulkan beberapa informasi dari pengalamanku, meski jawabannya meragukan,
tapi setidaknya aku bisa melihatnya. Hubungan diantara kita. Dari dulu memang
sangat bermasalah untuk menyebut itu sekedar teman sekelas ataupun kenalan
saja. Tapi, kata ‘teman’ memang tidak cocok untuk itu. Hubungan kami tidaklah
bagus dan banyak hal dimana kami ini menolak untuk memberitahu satu sama lain.
Tapi, mengatakan hal seperti
itu menyadarkanku sesuatu.
Oleh karena itu, aku ingin
mengatakan itu. Mungkin kami ini, bisa dibilang rekan seperjuangan?
Mungkinkah kata-kata itu
cocok untuk menggambarkannya.
Rekan punya satu hal yang
sama, tapi sisanya berbeda.
Kalau begitu, dirinya dan
diriku, Hikigaya Hachiman dan Hayama Hayato, pasti ada hal yang sama untuk
dibahas.
Sebuah percakapan yang dulu
berakhir tanpa hasil. Karena waktu itu aku sangat yakin kalau kita tidak akan
pernah bisa saling memahami.
Tapi, sebuah kesalahan
dariku jika aku berusaha memahaminya. Karena tidak diperlukan adanya pemahaman
ataupun keinginan untuk memahami.
Tidak akan pernah ada sebuah
kesepahaman antara diriku dan dirinya, yang ada hanyalah apa yang menguntungkan
dan apa yang tidak menguntungkan.
Yang dibutuhkan bukanlah
percakapan, tapi sebuah perundingan. Kami berdua harusnya bernegosiasi untuk
mencapai kata sepakat.
Kalau begitu, aku harus
memilih tempat yang tepat, memikirkan dimana aku akan mengatakannya, dan
memikirkan apa yang kumau darinya.
Di sebuah tempat dimana kami
berdua tidak akan bisa lari, dalam situasi dimana kami berdua tidak akan
teralihkan dengan hal lain. Aku yakin bisa menyentuh dasar permasalahan ini
dengan kata-kata yang tepat.
Agar itu terjadi, mungkin
ini satu-satunya momen dimana aku dan dirinya bisa berbicara dengan benar.
x Chapter II | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar