x x x
Aku merasa tidak nyaman berada di dalam rumah orang lain. Diperparah lagi, ini rumah dari seorang gadis. Untuk sejenak, aku bersantai di ruang keluarga seperti seekor beruang kebingungan yang baru turun dari gunung, tapi aku menemukan tempat yang enak untuk duduk. Setelah memastikan kalau aku tidak mengotori karpetnya, aku duduk di lantai yang berada di salah satu sudut dengan menyilangkan kakiku, sambil menoleh kesana-kesini tanpa henti...
Mungkin yang membuat diriku tidak nyaman adalah baunya, dimana berbeda dari ruanganku. Ini membuat claustrophobia dan dan penciuman ala binatang milikku ini meninggi, dan akupun melirik ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari tahu penyebab ketidaknyamananku.
Di atas meja, ada pot bunga, dan sofa lembut yang diberi boneka beserta bantal. Di atas lemari, ada pewangi ruangan. Meski kurasa baunya agak aneh karena membuatku mencium bau pasta terbakar.
Sambil mengeringkan kepalaku dengan handuk, aku tampaknya mulai merasa terbiasa dengan wangi citrus ini. Akhirnya, aku menarik napas yang dalam, sehingga semua ketegangan ini keluar dari tubuhku.
Setelah rasa gugupku menghilang, aku mulai merasa kalau tubuhku ini kedinginan...Mungkin harusnya aku pergi ke toilet. Yeah, maksudku, akan sangat buruk jika aku sendiri buang air di rumah orang lain. Er, sebenarnya buruk juga jika aku lakukan di rumahku sendiri.
Akupun berdiri dan menuju wastafel. Di dalam, ada dua pintu. Mencoba mengingat-ingat kata-kata Chigusa, akupun membuka pintu yang berada di sebelah kiri.
Tepat di depanku, Chigusa yang telanjang sedang membelakangiku dan menolehkan kepalanya ke arahku.
"..."
"..."
Tampaknya dia baru saja keluar dari bak mandi, karena dari kulitnya yang berwarna pink itu masih terlihat air yang menetes. Memberiku sebuah ilusi yang berwarna-warni, seperti sebuah gambar yang berkerlap-kerlip, dan rambut hitamnya yang basah memang menarik. Aku bisa melihat setiap tetes air di tubuhnya, seperti menegaskan lekukan tubuhnya.
Ini seperti sebuah adegan tak ternilai dari lukisan seni, kecuali yang kulihat ini jauh lebih artistik. Secara tidak sadar, bahkan pemandangan keindahan tradisional yang sedang memegang botol shampoo ini seperti seorang gadis muda yang memegangi ember air di sebuah mahakarya seni.
Akupun terkejut dan terpesona
Chigusa tidak berteriak atau berusaha menyembunyikan dirinya; dia hanya mengedipkan matanya, dan menatap ke arah tubuhnya seperti benda yang aneh. Setelah itu, wajahnya memerah, punggung hingga wajahnya memerah(setidaknya begitu, itulah yang kulihat dari balik rambut hitamnya) hingga telinganya.
Setelah itu, aku mulai menyadarkan diriku dan segera menutup pintunya dengan pelan untuk pergi. Aku tidak tahu harus mengatakan apa terhadap yang barusan kulihat...Ada apa barusan? Sebuah ilusi optik?!
Akupun mundur selangkah dari pintu yang baru saja kututup itu...Oke, tarik napas yang dalam. Bagaimana itu bisa terjadi?
Akupun pura-pura memegang sumpit dengan tangan kananku dan memegang mangkuk nasi dengan tangan kiriku. Ini tidak ada hubungannya, tapi entah mengapa posisi tangan kiriku yang sedang berhalusinasi memegang mangkuk terlihat seperti memegang mangkuk yang lebih kecil dari biasanya...Sumpah, sepertinya aku pernah melihat mangkuk dengan ukuran yang seperti ini belakangan ini.
Untuk memastikan lagi, aku buka pintu yang lainnya, dan disana ada toilet.
KENAPA INI?! KENAPA ADA TOILET DISINI?! Akupun memegangi kepalaku karena bingung. KENAPAAAAAA?! TIDAAAAAAAK! Akupun meniru adegan dari Fujiwara Tatsuya ketika menutup pintunya. Aku sepertinya baru saja diperdaya oleh ingatanku tentang yang baru saja aku lihat.
[note: Fujiwara Tatsuya adalah aktor 33 tahun yang terkenal dengan peran Light Yagami di Death Note, Shishio Makoto di Rurouni Kenshin, Satoru Fujinuma di Boku Dake ga Inai Machi (adult ver).]
Ketika aku melihat ke samping, ternyata Chigusa menampakkan wajahnya dibalik pintu satunya. Wajahnya tidak memerah lagi, dan warna dari pipinya sudah kembali normal. Akupun bisa melihat baju dan lengannya, dan sedikit bagian dari dadanya.
"Soal makan siang, Misa bilang dia ingin makan daging sapi," dia mengatakannya dengan lambat, lalu menutup pintunya dengan senyum seperti Monalisa di musium seni pada malam hari.
"...O-Oke," akupun menjawabnya, sambil terus menatap ke arah pintu. Hanya ketika bau shampoo dan sabunnya mulai menghilang, aku akhirnya menyadarkan diriku kembali.
Sangat jelas sekali kalau dibalik senyumannya barusan ada sebuah ancaman yang kejam. Karena dia bilang soal makan siang, kurasa itu yang dia mau dari diriku. Kurasa aku yang disuruh untuk menyiapkannya.
Daging, oke, daging. Benar. Sambil mengulangi pesanannya, akupun pergi ke Seijou Ishii, masih dengan pakaian yang basah.
[note: Seijou Ishii itu semacam minimarket, kalau versi Indo mungkin semacam Alfa atau Indo-mart.]
x x x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar