x x x
Angin yang dingin menggoyang daun pepohonan.
Tidak peduli
seberapa besar usahaku untuk menatap langit malam ini, bintang-bintang tersebut
tidak berkedip sedikitpun. Mereka tetap berada di tempatnya, dan bersinar
seperti biasanya.
Meski jika
aku hanya berdiri dan melihat ke arah mereka, jarak diantara para bintang dan
diriku tidak akan berkurang.
Pagi akan
menjelang dengan segera, dan cahaya bintang beserta bulan akan secara perlahan
menghilang oleh cahaya matahari yang menyinari perumahan disini.
Setelah
Hayama Hayato meninggalkanku di taman, aku melihat sejenak ke arah langit
malam.
Siapa yang
dia bilang sedang lari dari masalah?
Jika
seandainya kutanya kepadanya kepada siapa pertanyaannya waktu itu, kira-kira
jawaban apa yang akan dia berikan?
Aku sangat
yakin kalau dia akan menjawab, “diriku sendiri”, dengan suara yang lembut dan
senyum yang gelap.
Tapi jika
dia mengatakan itu, itupun bukanlah sebuah kebohongan, karena itu juga termasuk
kebenarannya.
Meski
begitu, jika aku benar-benar mendengarnya, meski aku tahu kalau dia akan
menjawab itu, aku sendiri tampaknya tidak akan benar-benar yakin. Itu memang
bukan sebuah kebohongan.
Tapi, itu
juga bukan kebenaran yang menyeluruh.
Makna-makna
sebenarnya tersebunyi dibalik kata-kata, atau kebenaran itu sendiri hanya
berterbangan di sekitar hati nurani seseorang. Meski sadar atau tidak sadar,
kata-kata tersebut akan menusuk hati seseorang, seperti tanaman sulur yang
menembus tembok gedung.
Sejujurnya,
ada sesuatu dibalik kata-kata Hayama Hayato tadi. Seperti sebuah pasak, atau
mungkin hanya penyesalanku saja, yang membuatku tertahan di tempat ini.
Aku hanya
bisa duduk disini, tanpa tahu sudah berapa lama kuhabiskan waktuku untuk hal
ini.
Di depan
mataku, aku bisa melihat bintang-bintang di langit malam, cahaya dari
gedung-gedung yang jauh disana, cahaya lampu dari mobil-mobil yang berada di
jalan raya, dan juga cahaya lampu penerangan jalan yang mulai terlihat redup.
Selain itu,
yang ada hanyalah kegelapan yang pekat.
Angin dari
cuaca bulan Januari ini mulai merayap lewat ujung kakiku, dan mulai mengambil
alih hati dan pikiranku. Hanya ketika aku mengembuskan napas beratku saja aku
baru benar-benar sadar kalau suhu udara ini benar-benar terasa beku.
Tapi, tidak
peduli seperti apa tubuhku ini, pikiranku masih saja tidak tenang. Jauh dari
kata tenang, selalu ada hal yang muncul disini dan disitu, membuatku seperti
melupakan kebekuan yang sudah membayangi pikiranku. Pertanyaan yang sama terus
berputar-putar di kepalaku, tapi aku sendiri tidak punya jawabannya.
Meskipun aku
memikirkan banyak sekali hal yang tidak berguna, aku terus memberitahu diriku
kalau jawabannya tidak akan pernah kutemukan. Lagipula, yang Hayama katakan
tadi memang benar. Kata-katanya, “Kau berusaha menghindari masalahnya lagi,”
terus datang ke pikiranku.
Aku tidak
tahu apa yang Hayama pikirkan hingga dia memberiku jawaban yang seperti itu.
Suaranya yang menghilang karena tiupan angin musim dingin, mempercayakan diriku
untuk melakukan sesuatu, tapi entah mengapa aku tidak bisa mendengarnya. Aku
tidak mengerti satupun hal yang dia katakan padaku waktu itu. Dengan melakukan
apa yang kita lakukan selama ini, baik Hayama dan diriku merasa seperti punya
alasan.
Sampai saat
ini, kita memang bisa menghindari masalah sebenarnya.
Tidak.
Ini sangat
memalukan dan menjijikkan.
Karena aku
sadar soal itu, karena aku percaya kalau aku bisa menangani apa yang terjadi,
karena aku sendiri yang mengijinkan itu terjadi, karena aku percaya kalau suatu
hari nanti tindakanku ini akan dimaafkan. Ini seperti menyiapkan alasan jika
terjadi sesuatu. Aku sendiri paham kalau alasan semacam itu tidak akan pernah
berhasil.
Dia
mengatakan seperti itu sebelumnya, kalau ini tidak bisa terus seperti ini.
Kata-katanya
terus menggema di bagian terdalam telingaku dan tidak mau pergi. Dulu, aku
pernah mengalami itu secara pribadi, jadi aku paham rasanya mengalami itu.
Sejak saat
itu, aku juga sadar aku ini harusnya ada dimana.
Pada waktu
itu, aku bisa merasakan perasaan itu.
Suatu hari
nanti, pasti, kalau ini akan berakhir. Aku sadar betul soal itu.
Aku paham
sekali kalau aku tidak bisa mencegah atau melindungi itu sendirian. Pengalaman
diriku yang kubangun lebih dari 17 tahun memberitahuku hal itu.
Karena aku
tidak tahu bagaimana caranya agar seseorang mencintaiku, orang-orang yang
kutemui hingga saat ini, dan orang-orang yang akan kutemui di masa depan,
sangat jelas kalau suatu hari nanti pasti akan ada perpisahan.
Seperti
bagaimana bunga-bunga hilang, bahkan tanpa adanya badai, mengucapkan selamat
tinggal ke yang lain merupakan bagian dari hidup.
Setidaknya,
itulah hidup dari Hikigaya Hachiman.
Tapi, aku
tidak tahu bagaimana dengan hidup Hayama Hayato.
Dia berbeda
dariku. Dia berteman dengan siapapun, punya teman yang banyak, dan juga mungkin
dicintai banyak orang. Bahkan jika Hayama sendiri tidak berpikir demikian,
orang-orang di sekitar Hayama mungkin akan terus menunjukkan kebahagiaannya
bisa berhubungan dengan Hayama.
Karena
itulah, Hayama sendiri selalu berusaha memenuhi ekspektasi mereka.
Well,
setidaknya, setahun terakhir aku berkesempatan untuk mengamatinya secara
langsung, dia memang pria yang baik.
Pada
akhirnya, Hayama memilih untuk tidak menjadi beban siapapun, dan juga berteman
akrab dengan siapapun.
Sejak awal,
waktu dia bertemu kami, waktu dia menemui kami untuk berkonsultasi, waktu itu
ketika kami menghadapi insiden itu bersama, ketika dia menantangku dengan
pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahkan waktu itu aku bisa melihat perbedaan
diantara kami berdua sangat jelas terlihat. Waktu itu juga, ketika dia
mengandalkan orang lain karena dia sendiri seperti berusaha melawan apa yang
dia yakini, dan ketika itu pula, dia tidak bisa mengubah perasaan seseorang,
sampai saat ini, ketika dia berharap untuk mengubah cara hidup seseorang sesuai
dengan cara hidupnya selama ini.
Meski semua
hal tentang kami adalah berbeda, dia dan diriku punya jawaban yang sama.
Meski
begitu.
Hikigaya
Hachiman dan Hayama Hayato pada dasarnya berbeda. Eksistensi mereka tidak cocok
satu sama lain. Karena itulah, jawabannya dan jawabanku harusnya tidak sama.
Kalau begitu, harusnya kata-kata yang kita perdebatkan dari dasar hati kita
harusnya menunjuk ke hal yang berbeda. Ketika dia mengatakan itu untuk
mengingatkanku, perbedaan antara diriku dan dirinya menjadi sejelas kristal.
Meski aku tidak tahu bagaimana aku mengatakan itu dengan kata-kata, tubuhku
akhirnya mulai bergerak.
Aku berdiri
dari bangku yang dingin ini dan membuka kunci sepedaku yang kuparkir di gerbang
taman. Mungkin sikapku ini dibuat-buat.
Pikiran-pikiran tersebut ternyata belum
berhenti menggangguku, aku merasa seperti hal-hal tersebut punya tempat untuk
menguncinya di suatu sudut hatiku.
Oleh karena
itu, aku memaksakan diriku untuk bergerak.
Memerintahkan tubuhku untuk bergerak, bergeraklah.
Bersama
sepedaku, aku lalu berjalan mengikuti jalan raya. Kukayuh dengan kuat, dan meningkatkan
lajuku. Secara perlahan, detak jantungku bertambah kencang.
Udara yang
dingin ini menerpa wajahku.
Karat yang
menyelimuti beberapa bagian sepeda mulai menimbulka n bunyi yang tidak nyaman.
Meski gerigi, rantai, dan pedal sepeda hanya berputar-putar di tempat yang
sama, selama mereka tetap berada di posisinya, bagian-bagian tersebut akan
terus bersama sebagai sebuah sistem, mereka bisa merubah cara mengendarai
sepeda ini.
Yang harus
kulakukan adalah menghadapi realita yang ada di depanku.
Karena aku
selalu menjebak diriku dalam delusi milikku sendiri, aku tidak bisa bergerak
maju, kalau begitu, aku tidak akan bisa bergerak ke depan.
Akupun terus
bersepeda di jalur jalan raya, dan jika masuk jalur khusus sepeda di pinggiran
sungai, akan melewati sebuah jembatan.
Begitulah
diriku yang biasa pulang ke rumah sehari-harinya.
Di sepanjang
jalan, banyak sekali perempatan yang kulewati, percabangan itu juga menjadi
jalur alternatif untuk pulang ke rumah. Meski beberapa jalur tersebut berujung
buntu, tapi dengan berbalik kembali, aku bisa dengan mudah kembali ke jalan
utama dan mengambil jalan yang benar untuk pulang. Ini hanyalah bagaimana
memilih cara paling efektif untuk ke rumah, itu saja.
Pulang ke
rumah setiap hari, tidak aku tidak perlu khawatir apa aku memilih jalan yang
benar atau tidak. Tidak mungkin diriku bisa tersesat oleh beberapa jalan ini.
Jika orang
sudah tahu akhir dari perjalanan mereka seperti apa, tidak masalah apa jalan
yang mereka pilih. Mereka akan mencapainya.
Tapi, jika
kau tidak tahu kemana dirimu akan pergi, tidak tahu apa yang kau inginkan, maka
mustahil untuk bergerak maju.
x x x
Tidak peduli selarut apa malam musim dingin itu,
selama aku terus mengayuh sepeda kurang lebih 20 menit, tubuhku akan mulai
menghangatkan dirinya sendiri. Tidak hanya karena mantel dan syal di tubuhku
ini, itu juga karena keringat yang keluar, membuat bajuku lengket ke kulitku.
Aku tidak
memikirkan hal lain, dan akupun tidak mendengarkan hal yang lain. Yang
kulakukan hanyalah terus mengayuh sepeda hingga rumah. Sambil mengatur napasku,
aku lalu memarkir sepedaku di dekat pintu masuk rumah, dan kakiku mulai
bergerak secara perlahan, kelelahan terasa mulai menyambut tubuhku ini.
Akupun
membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Karena dari tadi diterpa oleh angin
dingin, udara hangat di rumah mulai menyambutku. Rasanya sangat gatal dan bercampur
dengan baju yang lengket, membuatku merasa sangat terganggu. Aku melempar tasku
ke pinggir dan membuka syalku. Lalu, melepas mantel dan menuju kamar mandi.
Ketika kubuka kamar mandinya, aku seperti dikelilingi oleh udara hangat ketika
masuk ke bagian depan kamar mandi, dan aroma dari shampoo mulai tercium.
Udara di
luar terasa sangat dingin dan kering, oleh karena itu udara hangat dan lembab
ini merupakan sambutan yang baik, bahkan aku bisa merasakan kalau hatiku ini
meleleh secara perlahan. Sekali lagi, akupun menarik napasku dalam-dalam dan
melihat mencoba melihat bagian dalam kamar mandi.
Hmm...
Kaca yang
berembun, pengering rambut yang siap dipakai, ikat rambut yang digantung,
handuk di keranjang pakaian, dan terakhir aroma udara ruangan ini. Kalau
melihat situasi ini, tampaknya seseorang baru saja selesai menggunakan kamar
mandinya.
Waktu
seperti ini masih terlalu awal bagi kedua orangtuaku yang merupakan budak-budak
perusahaan untuk pulang. Lagipula, suasana kamar mandi ini terasa sempit oleh
barang-barang ini, juga ada pengering rambut yang kabelnya lupa dicabut karena baru
terpakai. Menganalisis semua info tadi, kupikir orang yang baru saja menggunakan
kamar mandi ini adalah Komachi.
...Kira-kira
apa ada air dalam bak mandinya.
Tiba-tiba
aku merasa tidak nyaman.
Ini karena
adikku tersayang, Komachi, belakangan ini menerapkan aturan ketat denganku
karena dirinya juga beranjak dewasa. Misalnya, dia menolak untuk menggunakan
bak mandi yang baru saja kupakai. Kalau dipikir-pikir Komachi melakukan yang
sebaliknya, aku merasa kalau [air hangat beraroma Komachi] yang dia pakai
mungkin sudah dibuang. Ini memang masalah bagiku.
...Tidak,
aku bukannya kesal karena air yang kupakai mandi bukanlah beraroma Komachi.
Kalau dipikir-pikir, apa sih ‘air hangat beraroma Komachi’? Kedengarannya seperti
minuman yang akan terjual dengan laris! Ini akan menjadi minuman yang
revolusioner. Tapi, sebagai Onii-chan, aku tidak memperbolehkan itu~ Kuharapkan
kalian, para perusahaan minuman mau bekerja sama dan memilih ‘rasa adik
perempuan’ daripada rasa Komachi. Aku juga yakin kalau rasa yang itu juga akan
sama larisnya!
Ngomong-ngomong, sejujurnya aku tidak peduli apakah air hangat itu ada ‘rasa
Komachi’ atau tidak. Aku hanya ingin menghangatkan tubuh dinginku ini di dalam
bak mandi, itu saja. Kalau begitu, aku akan memeriksa bak mandinya.
Akupun
melepas kaus kakiku dan melepas pakaianku, melangkahkan kakiku ke lantai basah
kamar mandi. Aku awalnya memiliki ekspektasi ketika aku merasakan hangatnya
pintu kamar mandi ini. Setelah kubuka, aroma ringan dari aroma pemandian dan
uap panas mulai terasa.
Ah, seperti
yang kuharapkan dari Komachi, adikku ini...Tampaknya dia menyisakan air hangat
disini. Mata dari Onii-chanmu ini mulai basah, tapi itu jelas karena uap panas
ini. Akupun melepas pakaianku yang tersisa dan masuk ke bak mandi. Menutup
pintunya dan melakukan kegiatan pertamaku, menyirami diriku dengan air hangat.
“Splash,
spoosh,” suara yang terdengar ketika aku menyirami diriku beberapa kali dengan
air hangat. Setelah membasuh tubuhku dengan air, akupun langsung masuk ke bak
mandi.
“Ahhhhh.”
Akupun melepas desahan itu secara spontan.
Akupun
menenggelamkan kepalaku di bawah air, dan sekarang, seluruh tubuhku benar-benar
tenggelam. Menggunakan hidungku, akupun melepaskan udara dari tubuhku,
menciptakan gelembung-gelembung air. Dengan melakukan ini, mungkin hal-hal di
dada yang membuatku depresi ini akan hilang seperti gelembung udara ini. Tapi,
meski begitu...
Hal yang membebaniku ini, yang sedang berada
di dasar hatiku ini masih ada disana terus, tidak sedikitpun bergerak.
x x x
Setelah mandi, akupun berpakaian, dan membawa
tumpukan pakaianku sebelumnya, dan meninggalkan ruangan itu. Sambil membawa
tumpukan pakaian di tangan satunya, akupun mengeringkan wajahku dengan handuk
menuju ruang keluarga di lantai dua. Aku melihat Komachi disana, belajar di
atas kotatsu.
“Selamat
datang kembali!”
Dia
berbaring, separuh badannya miring ke
samping sambil memainkan rambutnya dengan pensil.
“Yup. Aku
pulang.”
Meski aku
sudah membalasnya, Komachi tampaknya hanya diam saja disana, memikirkan
soal-soal di tangan satunya. Tampaknya dia melanjutkan kembali belajarnya.
Biasanya,
aku akan menyuruhnya untuk belajar di kamarnya, tapi karena aku merasa segar
setelah mandi air hangat, kuputuskan untuk membiarkannya kali ini.
Tidak peduli
apapun, dia jelas-jelas mendaptkan poin yang sangat banyak dengan menyiapkan
air hangat di bak mandi tadi. Jika dia bertanya kepadaku, “apa kau mau mandi
dulu? Ataukah makan malam dulu? Atau mungkin, Ko-Ma-Chi?”, jika dia melakukannya,
harga saham Komachi pasti naik tidak karuan! Jika ada sesuatu seperti SSR kartu
[Adik Komachi yang licik], aku akan langsung menaruh taruhan disana! Onii-chan
bersedia mengeluarkan ribuan dollar untuk memperoleh kartu ini. Akan sangat
indah jika kau bisa melempar uang ke mesin judi dan mendapatkan apapun yang kau
suka! Tapi, entah itu [air hangat rasa Komachi] atau SSR, menggunakan adik
kecilmu untuk memperoleh uang memang sangat menakutkan. Disini, aku ingin
berterimakasih kepada ayah dan ibuku yang telah membuat eksistensi Komachi ada.
Juga, apa aku sudah mengucapkan ketidaksukaanku terhadap grup-grup
menjengkelkan di Chiba?
Ngomong-ngomong, kurasa aku harus berterimakasih ke Komachi karena
menyiapkan air hangat untukku.
Akupun
menaruh tumpukan pakaianku yang ada di tangan di suatu tempat dan mulai
bergabung ke kotatsu. Disana, aku bisa merasa kalau kucing kami, Kamakura naik
ke lututku. Tampaknya dia memanfaatkanku sebagai sumber panas baru karena aku
baru saja keluar dari kamar mandi.
“Komachi,
terima kasih soal kamar mandi.”
“Un. Itu
karena kau masih belum pulang ketika Komachi di rumah, dan juga hari ini sangat
dingin.”
Komachi
membalasku tanpa sedikitpun menoleh ke arahku, dan melanjutkan pose setengah
tertidurnya.
“Begitu ya?”
“Yup.”
Setelah
percakapan singkat itu, aku mulai mendengar lagi suara pensilnya. Lalu aku
mulai bermain dengan Kamakura.
Sebuah
percakapan sehari-hari yang sangat normal. Tidak ada makna apapun di dalamnya.
Mungkin ini sebenarnya tidak bisa dikategorikan dalam sebuah percakapan normal.
Bahkan jika
kami berdua tidak memperhatikan satu sama lain, jika kami melihat hal yang
berbeda, melakukan hal yang berbeda, kita tidak akan saling membenci satu sama
lain.
Bagi
seseorang sepertiku yang tidak tahu bagaimana caranya agar bisa punya hubungan
dengan orang lain, Komachi mungkin satu-satunya pengecualian untuk itu.
Tapi,
bukannya mengatakan kalau kita ini tidak pernah bertengkar, kita sering
bertengkar karena hal-hal kecil, seperti memutuskan siapa yang akan memakai
kamar mandinya pertama kali. Meski begitu, kami masih berhubungan layaknya
saudara.
Ini bukanlah
sesuatu seperti cinta dan rasa saling percaya. Ini adalah sesuatu yang sangat
sederhana, mungkin sesuatu yang memang terikat sejak dulu kepada dua orang. Ini
semacam sesuatu yang sudah terbiasa dilakukan oleh dua orang dan menjadi
semacam kebiasaan.
Seperti
bagaimana diriku menerima gaya hidupnya yang bebas, Komachi juga menerima
diriku yang tidak berguna ini. Aku pikir kalau diriku ini tidak akan bisa
membuat hubungan yang seperti itu dengan siapapun.
Pertama,
orang tidak berguna sepertiku ini tidak akan diterima oleh orang normal
kebanyakan. Ah, maaf, Komachi, karena menjadi Onii-chan yang tidak berguna.
Tapi, meski
aku tidak diterima oleh orang lain, aku masih bisa menerima orang lain. Aku
bisa menjamin ini karena hingga saat ini, aku belum pernah punya ekspektasi
atau berusaha memahami orang lain. Dengan begitu, tidak peduli kalau kita ini
berbeda, tidak peduli kalau kita ini tidak bisa memahami satu sama lain, tidak
peduli kalau kita tidak bisa menerima satu sama lain, kita pasti bisa
menjalankan hidup kita dengan damai. Tapi, masalahnya adalah dunia ini sendiri
sudah membuatku stress.
Akupun
mengambil blazer seragamku dari tumpukan pakaian itu dan mencari HP-ku.
“Haaah...”
Ketika aku
memikirkan tentang apa yang akan kulakukan selanjutnya, secara spontan aku
mendesah.
“Oh? Kau
tampaknya sangat lelah sekali.”
Telinga
Komachi yang sensitif mendengar desahanku dan menoleh ke arahku. Seperti
mengikutinya, Kamakura juga menoleh kepadaku.
Begitulah
caranya bertanya apa ada sesuatu denganku. Akupun menggeleng-gelengkan kepalaku
dan mencolek telinga Kamakura untuk memberitahu kalau tidak ada apa-apa. Adik
perempuanku ini memang sangat pintar dan manis. Tidak hanya itu, dia juga
lembut dan sensitif terhadap sekelilingnya. Jika aku bercerita apapun, dia
pasti akan mendengarkanku dengan serius, tidak peduli seperti apa ceritanya.
Tapi, aku
tidak bisa selamanya melibatkan Komachi. Aku tidak bisa berharap kalau Komachi
akan selalu ada disampingku. Lagipula, kupikir masalah antara Hayama dan diriku
bukanlah hal yang bisa kujelaskan ke orang lain. Meski kami berdua tidak mau
memberikan nama atas masalah itu. Memutuskan kalau masalahnya akan kuselesaikan
lalu mempercayakan masalah itu ke orang lain bukanlah sebuah hal yang bisa
dibenarkan.
Agar bisa
menyelesaikan permasalah-permasalahan itu, ada satu hal yang harus kulakukan
terlebih dahulu.
Sebuah
masalah yang belum pernah kusentuh, atau kupikirkan.
Hayama
Hayato, pusat dari semua masalah ini.
Tidak
masalah apa yang kukatakan dan bagaimana caraku mengatakannya. Aku akan
memperoleh beberapa jawaban darinya, dan menghapus ‘tatapan tahu semuanya’ dari wajahnya. Aku tidak senang
membiarkannya mengatakan itu.
Rasa kurang
senang itu menjalar ke jari-jari tanganku dan akupun membuka daftar kontak di
HP-ku dan mulai mencari namanya. Di saat itulah, aku menyadari sesuatu.
...Aku, aku
tidak punya nomornya sama sekali.
x Chapter I | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar