x x x
Suasana di
dalam mobil terasa sangat sunyi sekali.
Kursi
penumpang di belakangku seperti habis dihancurkan oleh sesuatu. Tidak sampai 30
menit dan kita sudah mencapai situasi paling umum dari perjalanan wisata
menggunakan mobil kunamakan begitu, semua orang mulai tertidur. Aku sendiri
berada di kursi penumpang yang berada di sebelah pengemudi, pikiranku sudah
pergi entah kemana dan aku mulai mengantuk. Meski begitu, aku merasa tidak enak
kepada Hiratsuka-sensei kalau aku tertidur di sebelahnya, jadi aku memberikan
yang terbaik agar tetap terjaga.
Jalan raya
ini sangat sepi. Para siswa yang sedang liburan seperti kami tidak bisa
mengucapkan banyak terima kasih yang cukup untuk ini, tapi selain anak
sekolahan, mereka sedang sibuk bekerja di tengah pekan. Ini sebenarnya belum
mencapai festival Obon, jadi tidak ada yang memblokir jalanan menuju Chiba.
Mungkin aku
akan terus berpikir seperti ini hingga kami tiba di kota Chiba dua atau tiga
jam selanjutnya.
“Aku
berencana untuk menurunkan kalian semua di sekolah, tidak apa-apa? Mengantar
kalian satu-persatu ke rumah kurasa hanya akan membuatku bertambah capek.”
Kira-kira
Sensei mengatakan itu karena dia sudah memperkirakan rute-rute yang akan dia
jalani ketika mengantar kami pulang? Begitulah yang terpikirkan olehku ketika
mendengarnya.
“Sensei
tidak perlu sampai sejauh itu,” aku menjawabnya sambil mengangguk.
Hiratsuka-sensei mungkin sudah lelah, aku bahkan merasa kalau dia lebih
baik mengambil peluang tercepat untuk menurunkan kami di Chiba.
Sambil
melihat ke depan, Sensei, mengatakan sesuatu dengan lembut.
“Kau...Kemarin kau berjalan di atas tali yang sangat tipis. Jika kau
salah langkah, itu mungkin bisa menjadi sebuah masalah serius.”
Aku tidak
ingat kalau aku pernah menceritakan masalah itu dengannya, tapi tampaknya dia
mendengarnya entah dari mana. Masalah yang dia katakan itu berhubungan dengan
Tsurumi Rumi.
Akupun
mengembuskan napasku. “Maafkan saya.”
“Aku tidak
ingin menyalahkanmu atau sejenisnya. Kau mungkin hanya melakukan apa yang harus
kau lakukan. Bahkan faktanya, kupikir yang kau lakukan itu cukup bagus
mengingat keterbatasan waktu yang kau miliki.”
“Meski
begitu, saya sudah memilih metode yang terburuk.”
“Yeah,
begitulah. Kau memanglah yang terburuk.”
“Kenapa
Sensei malah mengkritik sifat saya...? Bukankah yang sedang kita bicarakan ini
metode saya?”
“Kau adalah
orang terburuk ketika memikirkan metode tentang masalah itu. Tapi karena kau
orang yang paling hina dari yang terburuk-lah, kau bisa mendekati orang yang
sudah jatuh hingga menghantam batu di dasar. Memiliki orang yang bersifat
seperti itu merupakan sebuah keuntungan di situasi seperti itu.”
“Cara yang
kurang menyenangkan untuk memuji seseorang...”
Aku seperti
memiliki sesuatu yang tidak bisa diukur.
Tapi
Hiratsuka-sensei, di lain pihak, tiba-tiba menggumamkan sesuatu dengan ceria.
“Sekaraaaang, kira-kira poin yang besar ini akan diberikan kepada
siapa...”
“Ini
harusnya menjadi sebuah kemenangan besar bagi Hikigaya Hachiman.”
Aku yang
melakukan perencanaan dan memproduseri hal itu. Er, well, kalau membahas hasil
dan apakah mencapai target atau tidak, itu agak sulit untuk dibahas, tapi
kurasa keputusan itu masuk akal jika mempertimbangkan seberapa besar tekad dan
tindakan yang kulakukan dalam masalah itu.
Hiratsuka-sensei tersenyum.
“Tapi jika
Yukinoshita tidak mendengarkanmu dan mengambil keputusan, kau mungkin tidak
akan bisa melakukan apapun. Plus, jika Yuigahama tidak meyakinkanmu, kau tidak
akan menemukan alasanmu untuk melakukannya.”
“Sial, jadi
Sensei pikir semua orang pantas menjadi yang terbaik dalam masalah itu...?”
Hampir saja aku menang. Atau begitulah
yang kupikirkan, ketika dia mengatakan itu dengan ekspresi menyeringai.
“Sejak kapan
kau mulai berhalusinasi untuk menjadi pemenangnya?”
“Oh ayolah,
kita tidak perlu membahas ini lagi...”
“Kau mungkin
sudah menjadi masalah tersendiri sejak hari pertama. Aku sudah mengurangi
nilaimu sejak itu. Yukinoshita dan Yuigahama masing-masing punya satu poin awal
dan poinmu sendiri adalah nol.”
“Entah
mengapa, saya sudah menduga kata-kata itu akan keluar dari Sensei...”
“Secara
garis besar, yang kau lakukan sudah bagus.”
Sebuah
tangan yang berasal dari kemudi mobil tiba-tiba meraihku. Dengan tangan yang
lain untuk mengemudi, Hiratsuka-sensei menepuk kepalaku.
“Sangat
memalukan diperlakukan seperti anak kecil, tolong hentikan itu Sensei,” kataku.
“Aww, jangan
malu-malu begitu.”
Hiratsuka-sensei terus mengelus kepalaku, seperti menemukan tempat yang
menyenangkan untuk bermain.
“Ah, yang
saya maksud itu bukan saya. Maksud saya itu memalukan bagi Sensei. Serius ini,
Sensei ini sudah setua apa hingga memperlakukan saya seperti anak kec “
“Hikigaya.
Kau lebih baik tidur saja.” Tangannya tiba-tiba terbang begitu saja ke leherku
seperti sebuah pedang.
“Meep.”
Dan
begitulah, tiba-tiba aku merasa sedang masuk terowongan yang gelap dan tidak
sadarkan diri.
x x x
Aku merasa
seseorang menggoyang-goyangkan tubuhku dan membangunkanku.
“Hikigaya.
Kita sudah sampai, bangunlah.”
“Mm...”
Ketika
kubuka mataku, sebuah pemandangan yang familiar terbentang di depanku. Itu
adalah sekolah yang biasa kudatangi setiap harinya.
Sekarang
sudah lewat tengah hari.
Aku pasti
sangat lelah sekali, karena aku merasa tidur seperti bayi. Siapa yang tahu aku
sudah tidur berapa lama? Ketika aku bangun, aku merasa sangat segar.
“Maaf,
tampaknya saya tertidur.”
“Hm?”
katanya, “Oh benar. Jangan khawatirkan itu. Kau mungkin kelelahan. Sekarang, bangunlah.”
Dibangunkan
oleh Hiratsuka-sensei yang baik dan tidak seperti biasanya, akupun keluar dari
mobil. Udara hangat dari pertengahan musim panas mulai menyapa kulitku. Udara
semacam ini tidaklah aneh bagi orang yang tinggal di dekat laut. Hanya dua atau
tiga hari berlalu dan entah mengapa suasana seperti ini serasa nostalgia.
Di sekitar,
kulihat tiap orang seperti berusaha melemaskan dirinya dan sesekali menguap.
Kami mengeluarkan tas kami dari minivan dan bersiap untuk pulang dengan keadaan
masih setengah mengantuk. Radiasi panas dari aspal tidak membantu sama sekali
dengan rasa kantuk ini.
Setelah
semuanya memastikan kalau tidak ada yang ketinggalan di mobil, kamipun
membentuk barisan. Hiratsuka-sensei menatap kami dengan ekspresi puas.
“Kalian
semua sudah melakukan yang terbaik. Perkemahan ini benar-benar selesai setelah
kalian sampai ke rumah. Tolong hati-hati di perjalanan. Baiklah, dengan ini
kalian kububarkan.”
Sensei
memasang ekspresi licik di wajahnya, entah mengapa. Tebakanku kalau dia mungkin
sudah menyiapkan kata-kata itu dengan rapi sebelum kami pulang...
Sambil
menaruh pegangan tas di punggungnya, Komachi melihat ke arahku.
“Onii-chan,
bagaimana kita akan pulang ke rumah?”
“Kurasa kita
akan naik bus ke kereta Tokyo-Chiba. Sekalian kita mampir untuk belanja
sebentar dalam perjalanan pulang.”
“Aye aye,
sir!” dia menjawabnya dengan ceria sambil memberikan hormat. “Tapi kalau kita
akan naik kereta Tokyo-Chiba, apa Yukino-san mau pulang bersama kita?”
“Memang...Kalau
begitu aku akan menemanimu di setengah perjalanan.” Yukinoshita mengangguk.
Yuigahama
dan Totsuka saling menatap satu sama lain.
“Oh oke.
Kalau begitu kami duluan ya,”
Mereka
berdua mengucapkan selamat tinggal dan mulai mengambil langkah untuk pulang.
Dan ketika
itulah, itu terjadi.
Dengan
perlahan dan senyap seperti sengaja dikemudikan secara diam-diam, ada sebuah
mobil hitam muuncul di depan kami.
Seorang pria
paruh baya duduk di kursi pengemudi. Ketika kulihat, dia memakai topi sopir
yang menutupi rambut putihnya. Sedang kursi penumpang di belakangnya terhalang
oleh kaca hitam, jadi aku tidak tahu siapa yang ada disana.
“Tampaknya
itu mobil milik orang kaya...” kataku.
Ada sebuah
hiasan berwarna keemasan, seperti seekor ikan terbang yang menempel di ujung
hidung mobil. Bemper depannya seperti baru saja diganti dengan yang lebih
mengkilap. Entah mengapa, aku merasa pernah melihat ini sebelumnya...
Ketika aku
mulai menatap mobil itu dengan seksama, si sopir yang berpakaian formal itu
keluar dari mobil, sedikit membungkuk kepada kami dan membuka pintu penumpang
dengan sikap yang terlatih.
Keluarlah
seorang wanita yang menebarkan aura musim semi, meski ini sedang di tengah
musim panas.
[note: Haruno bisa berarti musim semi.]
“Hiii,
Yukino-chan!”
Yukinoshita
Haruno, dibalut gaun putih, keluar dari mobil dengan anggun.
“Nee-san...”
“Huh, apa
itu...Kakak Yukinon?”
Yuigahama
mengatakan itu sambil mengedip-ngedipkan matanya dan melihat bolak-balik antara
Yukinoshita dan Haruno-san.
“Whoa,
mereka mirip sekali...” Komachi menggumam.
Totsuka
mengangguk mendengarnya. Mereka berdua memang mirip meski berbeda satu sama
lain, seperti Nega dan Posi.
“Yukino-chan, kau bilang kalau kau akan pulang ke rumah di liburan musim
panas ini, tapi kau tidak datang-datang juga. Jadi kakakmu ini sangat khawatir
dan datang kesini untuk menjemputmu!”
“Dari mana
dia tahu kalau kita ada disini...?” tanyaku. “Ini sangat menakutkan.”
“Kurasa dia
melihat posisiku lewat GPS di HP-nya. Dia selalu melakukan apapun yang
memungkinkan meskipun itu sangat buruk.”
Ketika aku
membicarakan itu sambil berbisik ke Yukinoshita, Haruno-san memotong.
“Ah,
ternyata Hikigaya-kun! Wow, jadi kalian ternyata benar-benar berpacaran. Hmm?
Kalian pasti sedang berkencan ya? Pasti ini kencan! Aku ini cemburu loooh! Oh enaknya jadi anak muda!”
“Jangan itu
lagi...Bukankah sudah kuberitahu kalau kau salah?”
Dia
tiba-tiba menyikutku dia ini benar-benar orang paling menyakitkan di dunia
ini, sumpah ini. Jauh dari kata
berhenti, sikapku yang lengah barusan membuatnya mulai terus-terusan menyikutku
sehingga kedua tubuh kami ini seperti ditempelkan oleh lem. Dia sangat
mengganggu dan lembut, juga senyumnya manis, sejujurnya, perutku ini dibuat
sakit olehnya.
“Ma-Maafkan
aku! Kau membuat Hikki kurang nyaman!”
Yuigahama
menarik lenganku, menjauhkanku dari Haruno-san.
Seperti
sedang dipotong, keusilan Haruno-san terhenti. Haruno-san menatap tajam ke
Yuigahama dengan penuh tanda tanya. Tapi tatapan tajam matanya tidak mengendur
sedikitpun.
Dengan
senyum yang tenang di bibirnya, Haruno-san membalikkan tubuhnya ke arah
Yuigahama.
“Er,
uh...Ada karakter baru, huh? Apa kamu ini...Pacarnya Hikigaya-kun?”
“Bu-Bukan!
Kami tidak seperti itu!”
“Ya ampun,
itu membuatku lega. Aku tidak tahu akan bersikap apa jika kau ini mengganggu
hubungan Yukino-chan. Aku ini Yukinoshita Haruno, kakak dari Yukino-chan.”
“Ah, senang
berkenalan denganmu...Aku teman Yukinon, Yuigahama Yui.”
“Teman,
huh...”
Berbeda
dengan ekspresinya yang sedang tersenyum, suaranya sangat dingin. “Oh benar,
bahkan Yukino-chan punya teman. Sungguh bagus, aku merasa lega mendengarnya.”
Nada dan
kata-katanya mungkin terdengar lembut, tapi suasana tempat ini seperti dipenuhi
tumbuhan berduri tajam.
“Oh, tapi
kau jangan sentuh-sentuh Hikigaya-kun. Dia itu miliknya Yukino-chan.”
“Bukan
begitu,”
“Bukan
begitu,”
Yukinoshita
dan diriku mengatakan hal yang sama di waktu yang bersamaan.
“Nah lihat
sendiri kan! Mereka sangat kompak.”
Haruno-san tertawa kecil ketika mengatakan kekagumannya.
Apa membuat
kami sebagai bahan becandaan merupakan caranya untuk bersenang-senang, ataukah
dia hanya pura-pura seperti itu?
“Haruno,
sudah cukup,” tiba-tiba ada seseorang mengatakan itu.
Haruno-san
hanya tersenyum dingin.
“Lama tidak
bertemu, Shizuka-chan.”
“Berhentilah
memanggilku dengan nama itu.”
Hiratsuka-sensei memalingkan wajahnya dengan “hmph” seperti merasa malu
dengan itu.
Karena
merasa terkejut oleh mereka berdua yang ternyata saling kenal, akupun menoleh
ke arah Hiratsuka-sensei dan bertanya.
“Sensei,
anda kenal dia?”
“Dia dulu
muridku.”
“Apakah itu
artinya...?”
Aku hendak
bertanya tentang arti sebenarnya dari jawaban Hiratsuka-sensei, tapi Haruno-san
memotongku.
“Well, kita
bisa mengobrol di lain waktu, benar tidak, Shizuka-chan? Kalau begitu,
Yukino-chan. Saatnya kita pulang, huh?”
Begitulah
kata Haruno-san, tapi Yukinoshita tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak.
Dia tidak mempedulikan kata-katanya.
“Ayolah, Ibu
sudah menunggumu.”
Yukinoshita,
yang sikapnya dari tadi tidak tergoyahkan, tiba-tiba bereaksi.
Dia mulai
terlihat ragu-ragu. Tapi kemudian seperti menetapkan keputusannya dan menoleh
ke arah Komachi dan diriku.
“Komachi-san, maaf sudah mengecewakanmu meski sudah mengajakku. Aku
tidak bisa menemanimu.”
“Apa? Oh,
oke...Well, mau bagaimana lagi, kau kan
masih ada keperluan keluarga...”
Komachi
menjawabnya dengan tidak jelas, seperti kaget mengapa Yukinoshita terkesan
menjaga jarak dari pilihan kata-kata yang dia keluarkan tadi.
Yukinoshita
hanya bisa tersenyum kecil.
“...Selamat
tinggal,” dia mengatakan itu dengan pelan, suaranya mulai menghilang diterpa
angin.
Dengan
dituntun oleh Haruno-san, Yukinoshita dengan cepat masuk ke dalam mobil.
“Sampai
jumpa lagi, Hikigaya-kun. Bye bye!”
Haruno-san
melambai-lambaikan tangannya sebelum masuk ke mobil.
“Jalan ke
tengah kota,” dia memberitahu sopirnya.
Si sopir
kemudian sedikit membungkuk dan menutup pintunya. Dia lalu menuju kursi
pengemudi yang berseberangan dari posisi kita. Entah mengapa, sikap
membungkuknya tadi tidak diarahkan ke kita, tapi ke Yukinoshita.
Mustahil aku
bisa melihat situasi di balik kaca hitam itu. Tapi aku sangat yakin kalau Yukinoshita duduk dengan tegak, hanya saja
kedua matanya sedang menatap suatu tempat.
Mesin mobil
mulai dinyalakan dan si sopir mulai mengemudikan mobil itu dengan pelan. Mobil
berjalan lurus ke depan hingga tidak terlihat lagi di pojokan.
Aku terus
melihat arah dimana mobil itu pergi. Yuigahama kemudian menarik lengan bajuku.
“Hei...Kau
kenal mobil itu...”
“Well, mobil
sewaan terlihat sama satu sama lain. Yang ada di kepalaku waktu itu hanya rasa
sakitnya saja, bukannya aku ingat tentang detail-detail kecil soal itu.”
Aku
mengatakan sesuatu yang harusnya tidak kukatakan.
Sejujurnya, aku sudah menyadari itu ketika
aku melihat mobil tersebut.
-
Itulah terakhir kalinya aku melihat
Yukinoshita Yukino di liburan musim panas ini.
x Volume 4 | END x
Buat yang belum tahu, Hiratsuka-sensei ini jago karate, vol 1 chapter 1.
...
Hachiman sebenarnya sadar kalau mobil yang menabraknya setahun lalu adalah mobil yang sama ketika menjemput Yukino.
...
Dalam adegan ini, Yukino terlihat santai meladeni Haruno. Namun, ketika Haruno mulai membawa nama Ibu mereka, Yukino mulai berubah sikap.
Terlihat jelas kalau ada sebuah masalah besar antara Yukino dengan Ibunya.
...
Sebenarnya, yang dilihat Yukino dari dalam mobilnya adalah Hachiman. Jelas untuk meyakinkan dirinya kalau Hachiman tidak menyadari, kalau mobil yang di depannya adalah mobil yang sama ketika terjadi insiden tabrakan tahun lalu.
...
Sebenarnya, Hachiman secara tidak langsung sudah memberitahu Yui kalau itu adalah mobil yang menabraknya. Yui hanya mengatakan mobil itu, tapi Hachiman membahas kecelakaan. Entah Yui sadar atau tidak, harusnya Yui sadar...
Beres dah
BalasHapus