Taman yang akan menjadi tempat start marathon kali
ini sudah dipenuhi oleh para siswa dan siswi kelas 1 dan 2. Rute yang akan
dilalui marathon pria adalah berlari melewati jalan pinggir pantai dan berbalik
ke taman ini lagi setelah melewati Jembatan Mihama.
Jaraknya
sangat jauh, sangat jauh. Apapun yang lebih besar dari tiga akan terhitung
sebagai sesuatu yang besar di matematika oleh Hachiman –kun!
Well,
setidaknya, misiku kali ini tidak ada hubungannya dengan jumlah kilometer yang
harus kulalui.
Kami kemudian diinstruksikan untuk berbaris,
dan kami mulai berbaris rapi di belakang garis putih di tempat start.
Akupun
berusaha maju ke depan, bergerak dengan licin seperti belut. Diluar dugaan,
semua orang memberikanku jalan dengan mudah.
Ini sebenarnya
adalah marathon khusus siswa SMA Sobu. Bukanlah sebuah event yang populer dan
juga tidak ada pengaruhnya ke nilai akademis. Dipaksa lari dalam cuaca sedingin
ini sudah membuat orang kehilangan motivasi.
Semua orang
merasakan hal yang sama, kecuali satu orang.
Dengan semua
ekspektasi yang mengharapkannya menang tahun ini, Hayama tidak bisa lolos dari
event ini dengan hasil yang tidak memuaskan. Dia tidak boleh terlihat
menggampangkan event ini di mata publik.
Dia ada di
barisan terdepan di barisan start, aku bisa melihatnya langsung dan hanya
berjarak beberapa orang dari posisiku saat ini.
Ketika dia
melakukan pemanasan, para gadis yang melihat start marathon pria mulai
berteriak histeris.
Tiga puluh
menit setelah marathon pria diberangkatkan, maka marathon untuk para gadis akan
dimulai. Sampai saat itu, tampaknya mereka akan melihat dan menyemangati
marathon pria.
Hayama
mengangkat sedikit tangannya untuk menjawab teriakan histeris penonton.
Diantara kerumunan para gadis yang dia lihat, terdapat Miura.
Mungkin
gugup karena banyak sekali gadis di sekitarnya, Miura hanya menatap saja ke
arah Hayama. Disampingnya ada Ebina-san dan Yuigahama. Tidak jauh di belakang
mereka juga ada Yukinoshita.
Dan ada
seorang gadis yang berjalan bergabung ke kerumunan mereka, Isshiki.
Mengetahui
kedatangan Isshiki, Miura tampak menyapanya. Isshiki-pun mengangguk. Baik Miura
dan Hayama terlihat saling menatap satu sama lain. Isshiki yang mengetahui
adegan ini, memandangi Miura dengan tatapan yang licik. Lalu, dia menaruh kedua
tangannya di depan mulutnya dan berteriak dengan suara keras.
“Hayama-senpai,
berikan yang terbaiiiiiik...! Ah, sekalian saja, Senpai juga yaaaaa!”
Setelah
mendengarkan itu, Hayama melambaikan tangannya dengan senyum yang kecut, entah
mengapa Tobe yang agak jauh dari Hayama juga membalas “Yeaaaaah!”.
“Bukan,
bukan, aku tidak mengatakan itu kepadamu, Tobe-senpai,” kata Isshiki sambil
melambai-lambaikan tangannya di depan wajahnya dan mengatakan, “bukan lu!”.
Miura yang sejak tadi
hanya diam melihatnya, tiba-tiba menarik napas yang dalam, dia lalu meneriakkan
sesuatu.
“Ha-Hayatooooo...Be-Berikan
yang terbaik!”
Suaranya
tidak begitu keras sehingga terkesan tertelan oleh suara histeris penonton.
Tapi Hayama dengan segera menaikkan tangannya dan tentunya, memasang senyum
yang lembut.
Miura yang
melihat itu kemudian mengangguk.
Isshiki
melihat keduanya dengan ekspresi puas dan menoleh ke arahku.
“...Senpai,
kau juga lakukan yang terbaik, okeeeeeee!”
B-Baiklah...Tapi kenapa dia tidak mau
menyebutkan namaku...? Apa dia tidak ingat namaku...Ketika memikirkan itu,
Yuigahama yang sejak tadi melihat Isshiki, kemudian mengambil satu langkah ke
depan.
Kemudian,
Yuigahama melambaikan tangannya.
“La-Lakukan
yang terbaik!”
Suaranya
bisa dibilang lebih lembut dari Isshiki, seperti takut kalau didengar oleh
orang-orang di sekitarnya, tapi memang terdengar jelas di telingaku...Untung saja dia tidak menyebut namaku. Aku
senang kalau dia juga mempertimbangkan hal itu.
Akupun
menaikkan tanganku untuk mengapresiasi sikapnya dan Yuigahama terlihat
mengepalkan kepalan tangannya. Kemudian, di sebelahnya, tatapan mata
Yukinoshita bertemu denganku.
Dia hanya
mengangguk kecil. Mulutnya seperti sedikit bergerak dan mengatakan sesuatu,
tapi aku tidak bisa mendengar suaranya.
Tapi, aku termotivasi.
Baiklah,
saatnya fokus ke pekerjaanku...
Aku lalu
menyelipkan tubuhku diantara celah-celah barisan ini dan berada tepat di
belakang garis start, seperti Hayama. Kedua mata Hayama lurus menatap ke depan,
tidak melihat ke arahku.
Aku putar
bahuku, menggerakkan lututku, sedikit demi sedikit, dan bergeser secara
perlahan hingga berada di samping Hayama. Ketika bergeser, aku bisa mendengar
suara orang-orang yang kesal dengan ekspresi wajah yang kurang menyenangkan.
Sebenarnya aku ingin mengatakan “maaf ya”, tapi malahan hanya tertawa dan
mengatakan maaf itu dari dalam hati. Akhirnya, aku ada di samping Hayama.
Dia sedang
mengobrol dengan Tobe dan yang lain tentang sesuatu. Ketika dia menyadari
kehadiranku, dia hanya tersenyum seperti bertanya apa aku ada perlu dengannya.
Aku hanya
diam saja dan melihat lurus ke arah depan.
Sebentar
lagi, marathon akan dimulai. Aku bahkan bisa tahu tanpa melihat ke arah jam
besar di taman.
Suara
berisik dari para siswa di belakangku tiba-tiba menghilang. Teriakan para gadis
di barisan penonton juga tampak mereda.
Ketika semua
orang terdiam, seperti menunggu momen tersebut, seseorang berjalan menyusuri
garis putih start marathon dan berhenti di salah satu ujung garis.
“Sekarang,
apa kita semua sudah siap?”
Orang yang
mengatakan itu dan mengarahkan pistolnya ke atas adalah Hiratsuka-sensei.
Kenapa
Hiratsuka-sensei? Biasanya guru olahraga yang melakukannya. Ya ampun, tampaknya
orang ini tidak bisa melewatkan satupun peluang agar tampak menonjol dari yang
lain. Ataukah dia hanya ingin menembakkan pistolnya?
Hiratsuka-sensei menaikkan pistolnya tinggi-tinggi dan menggunakan
tangan satunya untuk menutup telinganya. Ketika jarinya menyentuh pelatuk, para
siswa disini terdiam dan para gadis seperti menahan napasnya ketika melihat
itu.
Beberapa
detik kemudian Hiratsuka-sensei membuka mulutnya.
“Ambil
posisi...Siap.”
Seketika,
pelatuk ditarik dan suara tembakan terdengar.
Kemudian,
kami semua mulai berlari.
Pertama, aku
akan memanasi kakiku ini dulu dengan berlari lambat. Tujuanku hanya mengejar
Hayama saja.
Tapi
beberapa orang yang berlari di sebelahku langsung tancap gas seperti finish ada
di depan mata.
Alasannya
karena di posisi start ini ada kamera dokumentasi. Entah untuk buku tahunan
atau apa itu, tapi dengan alasan tertentu, marathon ini dipasangi kamera.
Para
kumpulan orang bodoh itu berlari dengan sekuat tenaga mereka hanya untuk
mengesankan kalau mereka akan berlari seperti itu sepanjang marathon. Pada
akhirnya mereka hanya mengatakan, “Aku awalnya di marathon ini di barisan
pertama, loh!”. Para pria ini memang bodoh.
Mereka yang
mempertaruhkan seluruh stamina mereka di awal marathon akan dengan cepat
kehilangan staminanya.
Oleh karena
itulah, pertempuran sebenarnya akan dimulai di jalan pinggir pantai, keluar
dari taman ini.
Secara
perlahan aku meninggalkan grup orang bodoh tersebut dan mulai mendekati Hayama.
Akupun
berusaha mengimbangi kecepatan langkah dari orang-orang yang ada di posisi atas
marathon ini. Mereka seperti bergerombol di depan, dimana rombongan ini memiliki
karakteristik yang sudah bisa kuduga. Semua orang di rombongan itu menatap ke
depan, tidak ada yang berbicara, tidak ada yang memasang ekspresi. Orang-orang
semacam ini merupakan jaminan tempat teratas di perlombaan, oleh karena itu
mereka tidak terpancing untuk tancap gas seperti orang-orang tadi di awal
marathon. Terutama, bagi Hayama yang berada di depan grup tersebut, yang
mengincar tempat teratas.
Tapi,
diantara orang-orang tersebut, ada sebuah pengecualian. Siapa kira-kira orang
itu?
Itu adalah
diriku! Hei, bukankah pertanyaan tadi
terlalu mudah?
Biasanya,
aku ada di rombongan ‘orang-orang yang terkucilkan’. Kali ini, aku bergabung
dengan rombongan siswa-siswa top di barisan depan. Tapi jelas, aku tidak ada
keinginan untuk menjadi juara di marathon ini. Aku bahkan tidak membuat satupun
rencana bagaimana memenangkan marathon ini.
Karena
itulah, aku bisa melakukan sesuatu yang sangat berlawanan dengan mereka.
“Hayama.”
Sambil
berlari, aku memanggilnya. Siswa-siswa yang lain di rombongan ini tampak
terkejut. Bahkan Hayama sendiri terkejut melihatku.
“Jadi, apa
yang akan kau lakukan?”
Aku berlari
di samping Hayama dan menanyakan itu. Hayama tidak mengurangi kecepatannya dan
tatapannya kembali ke arah depan.
“...Bisa
ditunda dulu untuk dibahas sesudah marathon?”
“Tidak,
harus kita selesaikan sekarang. Kalau dibiarkan terus, orang-orang yang terlibat
akan semakin menderita. Tidak ada waktu lagi.”
Mungkin
karena kukatakan sambil berlari, nada suaraku terdengar tajam.
Bukannya aku
menderita karena gosip itu atau semacamnya. Tapi, orang-orang yang menggosipkan
itu di sekitarku membuatku kurang nyaman. Atau mungkin, kukatakan saja aku
membencinya.
Hayama
melihatku dengan tatapan yang mengganggu, mungkin dia melihat sebuah hal yang
penting dari kata-kataku.
“...Mungkin
aku bisa melakukan sesuatu di marathon ini.”
“Begitu ya.
Kalau begitu tidak masalah. Maksudku, kau kan
Hayama.”
Sambil
mengatakan itu, aku menggerakkan daguku untuk memberinya tanda kalau aku
menyetujuinya dan meningkatkan laju lariku. Tapi, Hayama menolak untuk
mempercepat langkahnya.
“Kupikir
tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi saat ini.”
Hayama
memberitahuku dengan suara yang pelan. Mungkin karena dia tidak ingin
percakapan ini didengar orang-orang yang berlari di sekitarnya.
Bagi orang
luar, melihat para pelari ‘top’ di marathon ini sedang mengobrol pasti
menimbulkan tanda tanya. Pelari lain mulai melirik ke arahku dan Hayama.
Tapi,
situasi seperti inilah yang kuperlukan.
Eksistensi
Hayama Hayato selalu menarik bagi orang-orang di sekitarnya, meski, tindakannya
juga sebatas terhadap orang-orang di sekitarnya juga. Oleh karena itu, dia
tidak bisa bertindak sesuka-hatinya.
Dengan
seluruh tatapan mata yang menuju ke arahnya, pasti opini tiap orang akan
berbeda-beda soal dirinya. Kalau kita ambil rata-rata opini publik soal
dirinya, akan muncul gambar “Hayama yang setiap orang suka dan harapkan”.
Jika aku
tidak menghancurkan image palsu ini, image idola yang dipunyainya, aku tidak
akan bisa menembus inti dari Hayama itu sendiri.
Akupun
berusaha mengatur napasku yang sudah tidak karuan
karena laju lari yang cepat. Meski dadaku terasa kesakitan, aku berusaha
menekan rasa sakit itu dan membuka mulutku dengan senyuman.
“Bukankah
kau pernah mengatakan itu terakhir kali?...Kapan kau akan berhenti lari dari
kenyataan?”
Setelah
mengatakan kata-kataku, Hayama menoleh ke arahku.
Ekspresinya
tidak setenang sebelumnya. Matanya terbuka lebar, dan dia terlihat seperti
menggigit sesuatu tanda frustasi. Dia seperti kehabisan napas.
Hei Hayama,
ekspresi ini terlihat bagus padamu. Ah, benar, ekspresi seperti ini yang ingin
kulihat.
Akupun
meresponnya dengan menyeringai. Lalu, Hayama terlihat terkejut sebelum tertawa
dengan pelan.
“...Provokasimu
sangat murahan.”
Sambil
mengatakan itu, dia mempercepat larinya. Tidak lama kemudian, dia mengejarku
dan menyalipku. Seketika, jarak antara kami dan para pelari ‘top’ semakin
menjauh. Yang lain hanya bisa melihatnya saja dan tidak ada yang berusaha
mengejarnya.
Ini bagus
sekali. Sangat bagus karena ini menciptakan situasi dimana hanya ada aku dan
dirinya yang berlari, tanpa adanya orang lain.
Akupun
menatap ke depan, melihat Hayama yang sedang berlari di depanku.
Panggung
sudah siap.
Setelah ini,
negosiasi antara dirinya dan diriku akan dimulai.
x x x
Angin yang
bertiup dari laut menerpa wajahku. Ketika tubuh yang panas diterpa angin
dingin, untuk sejenak aku merasakan ada bagian tubuhku yang menggigil.
Setiap kali
sol sepatu ini menyentuh aspal, tubuhku serasa menerima getaran.
Aku tidak
bisa menghilangkan suara dari angin dan tubuhku ini. Keduanya bercampur dengan
uap panas yang keluar dari mulutku.
Akupun
bernapas dengan sekuatku dan tercium bau garam.
Pepohonan yang ditanam di sepanjang garis pantai ini
tampaknya sengaja dibuat untuk menjadi penahan angin. Tempat start marathon
ini, ditanami banyak sekali pohon pinus, tapi setelah keluar dari area taman,
pepohonan yang ada di pinggir pantai ini seperti tulang belulang kering tanpa
adanya dedaunan.
Aku terus memaksa kakiku untuk berlari meski diriku
sendiri sudah tidak bisa merasakan keberadaan kakiku sendiri. Seperti detak
jantung yang secara spontan terus memompa darah. Detak jantung dan langkah
kakiku seperti berlomba, dimana tidak ada satupun yang berusaha memimpin.
Bermacam-macam
pikiran terus datang dan pergi ketika aku berlari.
Aku sangat
bersyukur pergi ke sekolah dengan bersepeda. Kalau tidak, aku tidak akan bisa
berlari sebaik ini meski tidak bergabung dengan klub olahraga. Bukannya aku ini
buruk dengan marathon. Bahkan, permainan apapun selain yang memakai bola
merupakan spesialisasiku. Itu karena aku bisa mengakhiri permainan tersebut
sesuka hatiku. Aku tidak perlu mengganggu orang lain, itulah intinya. Pada
akhirnya, yang kulakukan hanyalah membuat pikiranku sibuk sambil berusaha
menggerakkan kakiku.
Tapi,
marathon hari ini berbeda.
Marathon ini
lebih menyiksa dari biasanya.
Karena
langkahku kali ini jauh lebih cepat daripada ketika pelajaran olahraga. Juga
karena dingin yang luar biasa dari terpaan angin dingin. Juga karena aku
berpikir terlalu banyak semalam sehingga aku tidak punya cukup waktu tidur.
Banyak
sekali alasannya.
Tapi, alasan
terbesarnya karena di depanku kali ini, ada Hayama Hayato.
Sebagai
orang yang sudah terbiasa dengan aktivitas klub olahraga, Hayama tidak tampak
kelelahan dan bisa berlari dengan stabil. Tubuh bagian atasnya tampak santai
dan tubuh bagian bawahnya stabil, seperti hendak mengatakan kondisinya sedang
prima. Aku bisa melihat mengapa dia menjuarai marathon ini tahun lalu.
Di lain
pihak, aku hanya bisa melihat ke depan dan berusaha mengejar Hayama.
Jarak antara
posisiku dengan titik balik di Jembatan Mihama masih jauh, tapi tubuhku ini
sudah hendak mencapai batasnya. Dari tadi, tubuhku berteriak karena terus
menerima rasa sakit, kakiku mulai kesakitan, dan juga suara-suara yang
berteriak di telingaku. Sejujurnya, aku ingin pulang saja. Jika aku baru saja
makan, aku pasti akan muntah saat ini.
Entah
mengapa, aku bisa memaksakan hingga sejauh ini. Karena aku tahu kalau sebentar
lagi tubuhku akan mencapai batasnya, aku tidak bisa menyembunyikan semua
kartuku lagi. Sudah ada jarak yang cukup jauh antara kita dan kelompok ‘pelari
top’. Ini adalah momen yang sempurna untuk berbicara.
Setelah
berlari sekuatnya, aku bisa mengejar Hayama dan berada di sampingnya, lalu
akupun memanggilnya.
“Hei, kau,
kau katanya mau melakukan sesuatu. Memangnya apa itu?”
“..Aku akan
cari kesempatan untuk menjelaskannya. Tapi, tidak ada metode yang bisa
menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Oleh karenanya, aku akan berusaha
mengontrol gosipnya secara perlahan.”
Hayama seperti
kehabisan napas ketika mengatakannya. Akupun membalasnya setelah menemukan
momen diantara tarikan napasku.
“Begitu ya.
Tapi, bukankah itu memakan waktu yang lama?”
“Memang.”
Sambil
mengatakan itu, Hayama menganggukkan kepalanya. Seperti dugaanku, Hayama ini
sudah terbiasa dengan gosip semacam ini. Tapi, apa yang dia sarankan tadi
hanyalah solusi sementara. Bukanlah solusi yang mengarah ke inti dari
permasalahan itu.
“...Karena
itu, aku punya sebuah penawaran untukmu.”
Hayama lalu
memiringkan kepalanya sambil melirik ke arahku dengan tatapan mata penuh tanda
tanya.
“Caramu
mengatakannya membuatku merasa kalau idemu itu bukanlah sesuatu yang enak untuk
didengar.”
Nadanya yang
merasa kurang senang, dicampur dengan ekspresi serius membuatku tertawa.
Hayama-kun,
itu benar sekali! Delapan puluh ribu poin untukmu!
Dengan
tenggorokan yang sudah kering, aku mulai terbatuk ketika tertawa. Setelah
batukku terhenti, aku lalu melanjutkan kata-kataku.
“Kenapa kau
tidak berpacaran saja dengan Miura?”
Setelah
mengatakannya, ekspresi Hayama berubah. Suasana santai yang sebelumnya
terpancar, kini berubah dastris. Kedua matanya seperti dirasuki amarah ketika
menatapku.
“Kupikir
Miura sangat cocok denganmu.”
Aku katakan
saja sejujurnya, aku tahu kalau Miura bukanlah gadis yang jahat. Sebagai
seseorang yang pernah melihat sisi tulus dari Miura, membuatku merasa tidak
enak mengatakan hal-hal semacam ini. Aku memang merekomendasikan Miura-san.
Harusnya, orang yang mendengarkanku itu merasakan hal yang sama.
“Kurasa,
candaanmu barusan itu agak berlebihan.”
Hayama
bahkan tidak melihat ke arahku ketika mengatakan kata-kata itu. Sangat jauh
dari sikapnya yang tenang, dia seperti menekanku dan sikapnya ini serasa ingin
membuatku kabur saja.
Tapi, aku
berusaha melawan balik tekanannya dengan keinginanku yang sangat kuat.
“Aku hanya
berusaha mengatakan kalau itu adalah solusi paling sederhana untuk masalah ini,
itu saja. Aku tidak keberatan jika kau punya ide yang lain. Kalau kau mau,
mungkin berpacaran dengan Isshiki daripada Miura?”
Goblok bener, apa sih yang barusan
kukatakan? Aku bahkan membenci diriku sendiri karena itu. Aku sering
mengobrol dengan Isshiki. Aku tahu kalau dia bisa menunjukkan sisi lugu dari
dirinya, dan di saat yang berbeda dia juga bisa menunjukkan sikap yang dewasa.
Kira-kira dia akan marah tidak jika dia mendengar yang kukatakan barusan,
ataukah dia akan memintaku untuk terus ‘mempromosikan dirinya’ di depan Hayama?
Kurasa, itu bukanlah masalahnya. Meski Isshiki sering terlihat memanfaatkan
orang lain, dia sendiri adalah gadis dengan keinginan yang kuat. Kupikir dia
tidak akan memperbolehkanku mengatakan hal semacam tadi.
Pikiran-pikiran tersebut dihancurkan oleh sebuah suara yang tajam.
“...Kau gak usah banyak omong.”
Setidaknya,
sebuah emosi yang terbakar terlihat dari kata-kata tersebut.
“Kenapa aku
harus diam hanya karena kamu yang mengatakan itu?...Aku ini tidaklah sebaik
yang kau kira.”
Entah kapan
dan dimana. Kata-kata dari siapa yang barusan kupinjam? Kata-kata ini diucapkan
kepadaku dengan senyum yang dibuat-buat. Lalu, Hayama melihatku dengan tatapan
yang kesal, dan tiba-tiba dia tertawa.
“Kau becanda
ya? Aku tidak pernah sedikitpun melihatmu sebagai pria yang baik.”
Ketika dia
mengatakan itu, tiba-tiba laju lariku melambat. Tapi, kalau terus begini,
jarakku akan menjauh darinya. Karena itu, akupun mempercepat lagi langkahku.
“Dasar pria brengsek...”
Kata-kata tersebut keluar begitu saja dariku dan Hayama tersenyum sinis kepadaku.
“Aku tidak
ingin mendengar itu darimu.”
Kau benar
sekali. Akupun hampir tersenyum karenanya. Tapi usahaku ini membuahkan hasil
karena aku bisa membuatnya bereaksi dengan tidak wajar, tidak seperti dirinya
yang biasanya. Kalau begitu, maka inilah momen yang tepat.
Akupun
mengatur napasku sehingga kata-kataku tidak akan terputus.
“Jujur saja
ya, aku tidak tahu apa ada cara yang lain selain yang tadi kukatakan...Karena
itulah, aku ingin tahu bagaimana menurutmu.”
Ketika
mengatakan itu, aku berusaha mempercepat langkahku. Kakiku terasa sangat berat,
tapi dengan keinginan yang kuat, akupun bisa menyalip Hayama. Setelah itu,
akupun menoleh ke belakang dan melihat ke arahnya.
Karenanya,
aku bisa melihat ekspresi langka dari Hayama. Dia seperti terkejut. Tapi, dia
secara cepat kembali ke dirinya sendiri dan mengejarku.
“...Itu
sangat diluar dugaan, kau mengatakan sesuatu seperti itu.”
Bahkan
tarikan napas Hayama terlihat mulai sengaja dipercepat, mungkin dia sendiri
bingung dengan kata-kataku. Aku bisa melihat suara tawa dari mulut Hayama. Dia
mungkin pura-pura bodoh. Karenanya, laju Hayama terlihat melambat. Akupun
berusaha mengikuti langkahnya. Setelah menyadari aku juga mengikuti langkahnya,
dia menatapku dan mulai berbicara.
“Maaf ya,
aku ini dari awal tidak punya keinginan sama sekali untuk bekerjasama denganmu.
Bukankah sudah kukatakan kalau masalah ini hanya melibatkanku saja? Jadi kau
tidak perlu ikut campur soal ini.”
“Anggap saja
aku ini juga merasa terganggu dengan gosip itu.”
Ketika aku
mengatakan itu, tatapan mata Hayama menajam, tatapannya itu seperti memaksaku
untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Aku sangat
terganggu dengan orang-orang yang menyebarkan gosip tidak bertanggung jawab.
Aku jengkel kepada mereka yang mengatakan apapun seenak mereka.”
Akupun
mengatakan kata-kata yang selalu tertahan di tenggorokanku semenjak gosip itu
beredar. Alasan semacam ini adalah alasan dimana aku tidak bisa mengatakannya
begitu saja, tidak peduli seberapa banyak yang sudah kutahan selama ini.
Tapi,
tatapan Hayama tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Melihatnya seperti itu,
aku sendiri tidak bisa mengatakan apapun lagi. Tapi, jika aku terus diam, dan
berusaha mencairkan suasananya, maka akan berakhir seperti di taman dekat
Saize. Aku tidak akan bisa mendapatkan jawabannya.
“...Lagipula,
mustahil gosip ini bukanlah urusanku.”
Mengesampingkan fakta kalau tenggorokanku ini sangat kering karena haus,
aku akhirnya bisa mengeluarkan kata-kata terakhir yang terus menghantui dadaku
ini.
“Begitu
ya?...”
Hayama
melihat ke arah lain, dan melihat ke depan. Aku bisa melihat kalau dirinya
seperti tersiksa oleh sesuatu. Dengan ekspresi seperti itu, dia berbicara.
“...Tapi,
aku tidak bisa sepakat dengan permintaanmu yang pertama tadi...Lagipula,
hubungan yang terjadi diantara kita bukanlah hubungan dimana kita bisa
bekerjasama, benar tidak?”
“Benar
sekali. Kita ini bukanlah teman ataupun partner.”
Tidak ada
yang salah dalam kata-kata Hayama. Kami ini berbeda satu sama lain, sehingga
berusaha memberikan definisi terhadap hubungan kita adalah absurd. Ideologi
kita, emosi kita, situasi kita, dan semuanya hal dari kita adalah berbeda.
Tapi, ada
kesamaan yang muncul diantara kami berdua.
“Tapi, kita
bisa sepakat dengan keuntungan dan kerugiannya. Kalau begitu, masalah yang kita
hadapi ini bisa kita bagi rata berdua.”
Mendengarku
mengatakan itu, Hayama hanya terdiam dan tidak menjawab apapun. Dia hanya
berlari dan terdiam. Tapi, aku tahu kesunyian ini adalah tanda darinya agar aku
terus melanjutkan kata-kataku.
“...Oleh
karena itu, well, kupikir aku bisa mempertimbangkanmu sebagai rekan
seperjuangan.”
Ketika aku
mengatakan kata-kata itu, entah mengapa, aku merasakan sebuah tekanan yang luar
biasa. Aku bisa merasakan kalau keringat mulai muncul dari tubuhku. Entah apa
Hayama juga merasakan hal yang sama. Hayama menyadari kalau wajahnya juga
berkeringat dan dia menyeka rambutnya, kemudian dia melihat ke arah laut.
Lalu, dia
berbicara dengan pelan.
“Seperti
dugaanku, kita ternyata masih belum bisa punya hubungan yang baik, huh?”
“Huh?”
Aku tidak
mengerti apa maksudnya dan ketika aku hendak bertanya lagi, terdengar suara
langkah-langkah kaki yang mendekat.
Tampaknya,
selama percakapan tadi, kita menurunkan kecepatan lari kita, sehingga rombongan
pelari ‘top’ itu mengejar kita. Aku sendiri tidak keberatan mereka menyalipku,
tapi bagaimana dengan Hayama? Akupun melihat ke arahnya untuk menunggu
reaksinya, dia sepertinya tidak keberatan disalip. Dia lalu melihat ke arah
kakinya dan melanjutkan kata-katanya.
“Rekan
seperjuangan?”
“Jangan
membuatku mengulangi itu. Aku malu mengatakannya.”
Aku merasa
bulu kudukku berdiri ketika mendengar kata-kataku diulangi oleh orang lain. Aku
berusaha membuatnya berhenti, dan kemudian, Hayama memotong kata-kataku dengan
tenang.
“Aku tidak
menyukaimu sama sekali.”
“Be-Benar...”
Dia
mengatakannya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku, kata-katanya itu seperti
membuatku kehilangan suaraku. Meski aku tahu kalau aku ini bukan orang yang
dengan mudahnya disukai orang, tapi diberitahu secara langsung seperti ini, dan
yang terpenting, ini adalah kejadian pertama. Hayama tampak tidak peduli dengan
reaksiku dan terus melihat ke depan, melihat jarak kita dengan rombongan pelari
‘top’, lalu melanjutkan kata-katanya.
“Aku tidak
tahan ketika aku kalah denganmu. Oleh karena itu aku ingin kau terlihat setara
denganku. Oleh karena itulah aku ingin menganggapmu tinggi, dan mungkin dengan
begitu, aku bisa menerima dengan lapang
dada hal dimana aku kalah denganmu.”
“...Begitu
ya.”
Aku yakin
kalau akupun begitu. Akupun menganggap Hayama makhluk spesial untuk meyakinkan
diriku, untuk membohongi diriku selama ini, kebohongan yang kukatakan ketika
melihat Hayama Hayato, tanpa ragu, aku menganggap dirinya sebagai pria yang
baik.
Aku
meresponnya dengan terdiam, dia sendiri menatapku seperti ada sesuatu. Dia lalu
tersenyum dengan senyum yang lebih segar dan lebih provokatif daripada
sebelumnya.
“Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan
permintaanmu tadi. Aku akan melakukan sesuatu dengan caraku sendiri...Caramu
melakukan sesuatu berbeda denganku, juga bagaimana dirimu melihat sesuatu.”
“Begitu ya.”
Akupun
mengangguk dan Hayama juga melakukan hal yang serupa.
Pada
akhirnya, baik Hayama dan diriku bukanlah teman ataupun sahabat. Akupun mulai
yakin kalau kami berdua tidak akan bisa bekerjasama. Meski begitu, meski cara
kita berbeda, meski cara kita melihat sesuatu berbeda, pasti ada sesuatu yang
bisa kita lakukan untuk memecahkan masalah ini.
Hayama
tampaknya sudah memutuskan sesuatu, dan dia mulai melakukan pemanasan untuk
memastikan kondisi bahu dan tubuhnya.
“Oleh karena
itu, aku harus menang.”
“Begitu ya.
Yakin bisa menang? Mereka sudah di belakang kita.”
Kakiku mulai
terasa berat dan aku seperti tidak bisa memerintah mereka. Aku sudah merasa
tidak bisa berlari lagi, tapi Hayama merasakan hal yang berbeda.
“Tidak
masalah.”
Hayama mengatakan itu tanpa melihat ke
belakang.
“...Tidak,
aku akan menang...Karena itulah diriku selama ini.”
Dia
menyatakannya seperti itu, kemenangan itu, dia ingin menjawab ekspektasi semua
orang, dan dia bersikap seperti Hayama Hayato yang diharapkan semua orang,
seolah-olah itulah Hayama yang sebenarnya.
Aku cukup
yakin kalau itulah cara hidupnya selama ini. Memiliki banyak harapan tentang
dirinya, menaruh harapan-harapan itu di atas segalanya, dan menerima itu
sebagai dirinya. Sebuah jalan hidup yang berbeda denganku. Mungkin karena
itulah kita berdua punya pandangan ekstrem yang berbeda mengenai bagaimana cara
untuk menyelesaikan masalah yang melibatkan orang-orang terdekat.
Semuanya.
Atau. Tidak sama sekali.
Sampai saat
ini, Hayama selalu menjadi nomor satu, sedang aku memilih untuk menjadi yang
terakhir.
Kalau
begitu, kenapa dengan dia sebelumnya?
Hayama
mempercepat langkahnya dan mulai berada beberapa langkah di depanku, menoleh
kepadaku dengan senyumnya yang biasa.
“Kalau kau
sendiri, apa yang akan kau lakukan?”
Kau tidak
perlu bertanya soal itu. Kau akan mengerti ketika kau melihatnya sendiri. Tapi,
daripada memberinya jawaban, yang kukeluarkan hanyalah suara keluhanku.
“...Sudah
kau lari saja duluan.”
Tanpa
menunjukkan adanya penyesalan apapun, Hayama menaikkan bahunya.
“...Tapi,
orang pertama yang akan bergerak lebih dulu mungkin adalah dirimu.”
Dengan
senyum yang penuh rasa kesendirian itu, Hayama mulai berlari.
Meninggalkanku di belakang, jauh dan jauh di belakang.
Aku sudah
tidak punya stamina lagi untuk mengejarnya. Yang bisa kulakukan hanyalah
melihatnya berlari.
Sebuah
jawaban yang tidak bisa kuberikan. Sebuah kemungkinan yang tidak terbayangkan
pernah kulihat di mimpiku. Dan Hayama Hayato mulai berlari menjauh.
Sial, kamu
ini keren apa bagaimana?
Meski itu
terdengar tidak seperti dariku, tapi aku tidak punya pilihan lain kecuali
berlari.
Menang atau
kalah, ketika sudah sampai disini, itu bukan masalah lagi.
Yang ingin
kulakukan hanyalah berlari. Ketika pikiran-pikiran itu memenuhi kepalaku,
kakiku mulai berlari kencang. Tiba-tiba kaki kananku bertabrakan dengan
belakang kaki kiriku. Karena tidak mampu menahan, akupun terjatuh di jalan.
Lalu aku berbaring saja di jalan itu, melihat ke arah langit.
Seperti yang kuduga, aku tidak bisa seperti
Hayama.
Uap putih
dari napasku itu mulai menghilang ditelan oleh birunya langit di atasku ini.
x Chapter III | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar