Kembali ke Chapter I
x x x
Ketika keluar dari kelas setelah jam pengarahan
dari Wali Kelas di jam pelajaran terakhir, aku melihat Hiratsuka-sensei berdiri
di lorong dan menungguku. Dia ini seperti sipir penjara, berdiri tanpa bergerak
sedikitpun dengan menyilangkan lengannya. Faktanya, jika dia memakai pakaian
militer dan membawa cambuk, mungkin itu akan terlihat sangat cocok dengannya.
Well, karena sekolah ini juga mirip dengan penjara, kurasa imajinasi seperti
itu bukanlah imajinasi yang berlebihan. Maksudku, kau bisa membandingkan itu
dengan Alcatraz atau Cassandra. Akan lebih bagus lagi jika Penyelamat Akhir
Jaman muncul dan tiba disini.
“Hikigaya.
Saatnya untuk aktivitas klub.”
Setelah dia
mengatakannya, aku bisa merasakan kalau seluruh darah di tubuhku menjadi dingin.
Sial. Aku akan ditangkap. Kalau aku sampai dikawal menuju ruangan klub maka
bisa dipastikan kalau diriku akan kehilangan seluruh kehidupan SMA-ku.
Yukinoshita,
adalah seorang gadis yang terlahir superior, mengatakan kata-kata yang beracun.
Ini sangat menusuk dan tidak terlihat manis sama sekali. Apakah ini pantas
disebut tsundere? Oh tunggu dulu, deskripsi tadi tampaknya persis ciri-ciri
Wanita Jalang Tua.
Meski
begitu, Hiratsuka-sensei tampak tidak peduli kepadaku dan hanya bisa tersenyum.
“Ayo jalan.”
Hiratsuka-sensei mengatakan itu dan berusaha menarik lenganku. Aku
berusaha menghindarinya. Tanpa ragu, dia lalu berusaha menangkap tanganku lagi.
Akupun berusaha menghindarinya lagi.
“Umm,
begini...Saya pikir, dari semua hal, sistem pendidikan kita harusnya membantu
siswa agar berani dan menghormati kebebasan...Jadi saya ingin mengatakan
keberatan tentang bagaimana saya dipaksa untuk ikut kegiatan ini...”
“Sayangnya,
sekolah adalah institusi yang didesain untuk melatih siswa agar bisa terintegrasi
dengan baik dengan komunitas masyarakat. Sekali kau masuk ke komunitas, tidak
akan ada yang peduli dengan pendapatmu. Jadi kau harus mulai membiasakan dirimu
untuk dipaksa melakukan apapun.”
Setelah
Sensei mengatakan itu, sebuah pukulan dengan cepat melayang ke arahku.
Dia tidak
memberiku pukulan yang biasanya, tapi pukulan kali ini dia memukul dengan
menambahkan gerakan memutar seperti memasang sekrup. Sangat bertenaga sehingga
aku kesulitan untuk bernapas. Lalu tanpa membuang-buang waktu, dia menghentikan
upayanya untuk membunuhku dan menarik tanganku.
“Kau sudah
tahu apa yang terjadi jika mencoba berdebat denganku? Jangan macam-macam dengan
kepalan tanganku ini.”
“Kepalan
tangan anda sangat mematikan...”
Mustahil ada
rasa sakit yang melebihi pukulannya tadi.
Sambil
berjalan, Hiratsuka-sensei membuka mulutnya seperti teringat sesuatu.
“Oh benar.
Kalau kau mencoba kabur lagi maka kau akan otomatis kalah dalam perlombaan
dengan Yukinoshita. Aku tidak menerima satupun alasan. Malahan, kau akan
mendapatkan penalti. Kurasa kau jangan berharap untuk bisa lulus begitu saja
dari SMA ini di kelas 3 nanti.”
Tampaknya
mustahil aku bisa lolos dari ini. Bukannya ini berhubungan dengan itu sih. Ketika suara hak sepatunya yang
menghantam lantai berbunyi dengan keras, Sensei berjalan di sampingku. Yang
membuatnya terlihat buruk, dia menggandeng lenganku. Kalau dilihat-lihat,
Sensei seperti hostess bar yang bercosplay sebagai guru yang sedang mengawalku
menuju pertunjukan kabaret cosplay-nya.
Tapi ada 3
hal yang berbeda. Pertama, aku tidak membayarnya sama sekali. Kedua, dia
sebenarnya tidak memegangi lenganku, tetapi menarik ujung lenganku. Terakhir,
aku tidak terlihat bahagia ataupun antusias. Well, kecuali kalau ujung siku
milikku ini menyentuh dada Sensei.
Ruangan klub
itu adalah satu-satunya tempat yang kita tuju.
“Um, saya
ini tidak akan kabur atau semacamnya, tidak apa-apa jika saya pergi sendirian.
Maksud saya, Sensei tahu kalau saya selalu sendirian. Jadi saya pasti baik-baik
saja sendirian. Atau lebih tepatnya, jika saya tidak datang sendirian, saya
tidak bisa menjaga agar diri saya tetap tenang.”
“Jangan
mengatakan hal-hal menyedihkan seperti itu. Aku ingin kita pergi bersama.”
Sensei
mendesah kecil dan tersenyum kepadaku. Ini sangat berbeda dengan tatapan mata
yang yang biasanya terlihat sedang merendahkanku. Perbedaan ini mulai
mengusikku.
“Membiarkanmu kabur sudah cukup untuk membuatku menyeringai karena
emosi. Jadi meski aku tidak mau, aku tetap akan menyeretmu kesana untuk
mengobati pikiranku yang stress.”
“Itu adalah
alasan terburuk yang pernah saya dengar!”
“Bagaimana
ya? Meskipun kegiatan semacam ini menggangguku, aku masih mau menemanimu agar
bisa memperbaikimu. Ini adalah sesuatu yang bisa kau sebut dengan sebuah
hubungan cinta yang indah antara guru dan muridnya.”
“Apa seperti
ini yang disebut cinta? Kalau ini dinamakan cinta maka saya tidak
membutuhkannya.”
“Alasan tadi
menunjukkan kalau dirimu ini sedang bimbang, benar tidak?...Saking bingungnya
sehingga semua titik di tubuhmu itu terbalik? Apa kau akan membuat Holy Cross
Mausoleum atau sejenisnya?”
Kau
tampaknya penggemar berat manga...
“Kalau kau
tidak banyak mengeluh, maka kau akan terlihat lebih manis. Tidak ada yang
menyenangkan jika melihat dunia ini dari sudut pandangmu.”
“Well, dunia
ini memang tidak semuanya tersinari oleh cahaya matahari dan kebahagiaan. Jika
komunitas sosial hanya terbentuk dari orang-orang yang melihat dunia ini
seperti sebuah hal-hal yang menggembirakan saja, Hollywood tidak akan membuat
film yang bisa membuat orang menangis, bukan? Akan selalu ada orang-orang yang
bisa menemukan sebuah kebahagiaan dalam tragedi.”
“Berceramah
seperti itu memanglah keahlianmu. Meski memang cukup lumrah bagi anak muda
bersikap antipati, tapi levelmu ini sudah dikategorikan penyakit berbahaya.
Sebuah sakit yang merupakan karakter dari siswa tingkat sebelas. Yeah, kau bisa
menyebutnya ‘kounibyou’.”
Hiratsuka-sensei terlihat tersenyum bahagia sambil mengkonfirmasi apa
penyakitku ini.
“Hei,
bukankah itu terlalu kasar? Memperlakukan saya seperti saya memiliki penyakit?
Maksud saya, ada apa dengan kounibyou ini?”
“Apa kamu
suka manga dan anime?”
Seperti
tidak mempedulikan pertanyaanku, dia mengganti topiknya.
“Well, saya
tidak membencinya atau sejenis itu.”
“Jadi kenapa
kau menyukainya?”
“Itu
karena...Menggambarkan budaya Jepang. Itu juga merupakan bagian dari budaya
populer yang dibanggakan oleh Jepang. Bukankah akan terasa aneh jika saya tidak
mengagumi fakta itu? Karena pasar domestiknya menjadi lebih besar, kita juga
tidak bisa menyepelekan dampak ekonominya.”
“Begitu ya.
Bagaimana dengan literatur-literatur umum? Higashino Keigo dan Isaka Koutarou
atau sejenisnya?”
“Well
sejujurnya saya sudah membaca karya mereka, saya suka buku-buku yang mereka
tulis sebelum mereka menjadi terkenal.”
“Apa
perusahaan penerbit favoritmu?”
“GaGaGa...dan Kodansha Box. Well, sebenarnya saya tidak tahu apakah
Sensei akan mengkategorikan terbitan Kodansha Box sebagai Ligh Novel atau
tidak. Kenapa Sensei menanyakan hal-hal ini?”
“Well. Kau
ini sudah memenuhi ekspektasiku...bukan dalam hal yang bagus. Sebuah contoh
sempurna dari kounibyou.”
“Seperti
kata saya tadi, apa sih kounibyou?”
“Kounibyou
ya kounibyou. Sebuah pola pikir yang dimiliki siswa SMA. Mereka pikir jika
bersikap sinis adalah keren, dan selalu memandang hal-hal populer di internet
seperti ‘Bekerja berarti kalah dengan sistem’. Ketika membicarakan penulis
novel dan manga populer, mereka akan mengatakan ‘aku lebih menyukai karya-karya
mereka sebelum mereka populer’. Mereka mengejek semua usaha tiap orang dan
memuji sesuatu yang tidak jelas. Dan yang terpenting, mereka mengejek para
otaku meski mereka sendiri merupakan otaku. Mereka berbicara seperti mereka
memahami semuanya, lalu mereka mengatakan sesuatu yang bisa membuat pemikiran
menjadi bingung. Sederhananya, mereka adalah kaum yang tidak disukai.”
“Tidak
disukai...aduh sial! Itu menggambarkan saya dengan tepat sehingga saya tidak
bisa menyangkalnya!”
“Sebenarnya
tidak begitu, aku ini sedang memujimu. Para siswa jaman sekarang harusnya
pintar-pintar dan bisa menyesuaikan dengan keadaan dengan mudah. Sebagai
seorang guru, aku tidak bisa mengatakan kalau aku senang melihat kesalahanmu
itu. Maksudku, melihat bagaimana caraku berbicara denganmu seperti kau ini
adalah orang dewasa membuatku merasa kita ini sebagai rekan kerja.”
“Siswa jaman
sekarang, huh?”
Secara
spontan aku tersenyum kecut ketika mengatakannya. Sebuah hal yang klise untuk dikatakan.
Aku merasa jengkel, lalu aku memikirkan sesuatu untuk membalasnya. Tapi, Sensei
sepertinya bisa menyadari maksudku dan menatapku dengan tajam, akupun menaikkan
bahuku.
“Tampaknya
kau akan mengatakan sesuatu yang sesuai dengan karakteristik siswa pengidap
kounibyou.”
“...Oh
benarkah.”
“Aku tidak
ingin kau salah tangkap tapi aku ini benar-benar memujimu. Aku suka orang yang
memegang teguh idealismenya. Meski mereka itu berbeda.”
Mendengar
Sensei mengatakan ‘suka’ membuatku merasa seperti orang idiot. Aku mulai
gelisah untuk membalasnya balik karena kata yang barusan kudengar itu merupakan
kata yang sangat langka.
“Berbeda
seperti halnya dirimu, bagaimana pendapatmu soal Yukinoshita Yukino?”
“Dia sangat
menjengkelkan.”
Aku menjawabnya
begitu saja. Saking bencinya hingga aku mengira Sensei mengatakan ‘Kau harusnya
menyerah saja menghadapi jalan yang dibeton itu'.
“Begitu ya.”
Hiratsuka-sensei mengatakannya dengan senyum yang kecut, lalu dia
menambahkan.
“Meski
begitu, dia memang siswi sempurna yang unik...Well, mereka yang menderita itu
mungkin akan merasa seperti itu. Tapi tetap, dia adalah gadis yang sangat
manis.”
Manis dalam
hal apa? Itulah yang ada di pikiranku, sambil menggoyang-goyangkan kepalaku
dalam pikiran.
“Dia juga
punya semacam ‘penyakit’ itu. Dia gadis yang baik dan berbuat benar. Tapi
sosial sekitarnya tidaklah baik dan benar. Aku yakin dia menjalani kehidupan
yang sangat berat.”
“Kalau
mengesampingkan fakta dia bertindak benar dan baik, saya yakin kalau mayoritas
sosial sekitar akan setuju dengan Sensei.”
Setelah
mengatakannya, Sensei melihat ke arahku seperti mengatakan ‘itulah yang
kupikirkan tadi’.
“Seperti
yang kuharapkan...Kalian berdua ini kontras satu sama lain. Aku khawatir dengan
fakta bahwa kalian berdua tidak bisa beradaptasi dengan sosial sekitar. Oleh
karena itulah aku ingin mengumpulkan kalian berdua di tempat yang sama.”
“Bukankah
itu sama saja dengan ruangan isolasi?”
‘Yeah, mungkin begitu. Aku suka mengawasi siswa seperti kalian berdua, sangat menyenangkan. Jadi mungkin...Aku ingin kalian berdua bisa menjadi dekat.”
Dia
mengatakannya dengan senyum yang bahagia.
Lalu,
seperti biasa, dia mengunciku dengan lengannya. Dia mengunciku dengan lengannya
di sekitar pinggangnya sehingga aku tidak bisa kemana-mana. Gerakan beladiri
campuran ini mungkin diinspirasi dari manga. Meski siku milikku ini membuat
bunyi yang cukup gaduh, tapi tetap bisa menyentuh dada Sensei yang besar.
...Ya ampun.
Seperti biasanya, aku kesulitan untuk kabur setelah dia menggunakan gerakan
yang sempurna ini. Disisi lain ini menyenangkan, tapi harusnya ini tidak boleh
lama-lama karena bisa berbahaya bagi perasaan.
Tidak,
sebenarnya aku sudah tidak berminat soal ini.
Dan sesuatu
baru saja terpikirkan olehku, karena dadanya ada dua, kata ‘bust’ harusnya
dibuat jamak menjadi ‘busts’.
x x x
Sensei baru
melepaskanku setelah kami mencapai gedung khusus. Mungkin dia sudah berhenti
khawatir kalau aku akan kabur. Meski begitu, dia terus menatap ke arahku ketika
aku meninggalkannya. Dia tidak menunjukkan adanya sentimen yang mengatakan
sesuatu seperti ‘maaf ya aku akan meninggalkanmu’ atau ‘sebenarnya aku tidak
ingin meninggalkanmu...’. Satu-satunya hal yang bisa kurasakan darinya adalah
keinginannya untuk menghabisiku seperti mengatakan ‘Kau tahu apa yang terjadi
jika kau kabur, bukan?...’.
Aku hanya
bisa tersenyum kecut ketika berjalan menyusuri lorong ini.
Lorong
gedung khusus ini sangat sunyi dan udaranya sangat dingin.
Harusnya ada
klub-klub lain yang sedang beraktivitas tapi aku tidak mendengar satupun suara
yang mengindikasikan hal tersebut. Aku tidak tahu kalau gedung ini sunyi
mungkin karena gadis itu. Terkena pengaruh aura aneh dari Yukinoshita Yukino.
Akupun
menaruh tanganku di pegangan pintu klub. Jujur saja, aku merasa sangat depresi
saat ini, tapi jika kabur hanya akan membuat situasinya memburuk. Yang
terpenting adalah tidak membiarkannya mengatakan sesuatu yang buruk tentangku.
Aku harusnya tidak berimajinasi aneh-aneh tentang situasi kami berdua di
ruangan itu. Aku harus berpikir kalau kami berdua terpisah di ruangan itu.
Kami berdua
tidak memiliki hubungan apapun, aku harusnya tidak merasa aneh atau tidak
nyaman.
Dan hari ini
dimulai dengan: teknik pertama untuk menghindari rasa takut karena kesendirian –
‘jika kau melihat orang yang tidak dikenal, anggap mereka sebagai orang asing.’
Sayangnya, tidak ada teknik kedua.
Pada
dasarnya, suasana yang aneh itu adalah hasil dari berpikir ‘jika aku tidak
mengatakan sesuatu...’ dan ‘jika aku tidak berusaha akrab dengannya...’ mulai
merasuki pikiranmu.
Pola pikir
seperti ini juga mirip dengan ketika kau duduk di sebelah seseorang di sebuah
kereta, kau akan berpikir ‘Sial! Kita hanya berduaan disini! Ini sangat aneh
sekali!’.
Kalau aku bisa
menanamkan teknik tadi, aku sepertinya bisa menjalani ini. Akan lebih baik jika
dia hanya diam saja dan membaca buku atau semacamnya.
Setelah
pintu ruangan klub kubuka, aku melihat Yukinoshita duduk disana dan membaca
buku dengan posisi yang sama seperti kemarin.
“.....”
Memang
langkah yang bagus ketika aku membuka pintunya tapi aku mulai berpikir apakah
ide yang bagus jika aku mengatakan sesuatu. Ngomong-ngomong, aku akan
mengangguk saja dan masuk ke dalam ruangan.
Yukinoshita
hanya melihatku sejenak dan kemudian kembali lagi ke buku bacaannya.
“Di ruangan
seperti ini, kenapa dudukmu jauh sekali...Apa kau sedang mengucilkan dirimu?”
Dia tidak
mempedulikanku dan aku merasa seperti menghilang begitu saja di udara. Bukankah
ini mirip seperti sikapku ketika di dalam kelas?
“Sapaan yang
aneh. Kau ini berasal dari suku mana?”
“...Selamat
sore.”
Akupun
menyapanya dengan sapaan yang kupelajari di TK, tanpa bisa membalas sikapnya
tadi. Yukinoshita meresponku dengan senyum.
Mungkin ini
pertamakalinya Yukinoshita Yukino tersenyum kepadaku. Ketika dia tersenyum, aku
berusaha mengamati apakah dia punya lesung pipi atau ada giginya yang terlihat.
Dengan kata lain, dia memang gadis yang manis. Sesuatu yang aku sendiri tidak
peduli dengan hal itu.
“Selamat
sore. Kupikir kau tidak akan pernah datang lagi.”
Senyumnya
tadi jelas-jelas hanyalah tipuan. Ini selevel dengan ‘Tangan Tuhan’ milik
Maradona.
“I-Ini bukan
apa-apa bagiku! Jika aku tidak datang, maka aku akan otomatis kalah, jadi
itulah satu-satunya alasanku! Ja-Jangan salah paham ya!”
Percakapan
barusan seperti sebuah percakapan drama genre rom-com. Tapi, kami ini bermain
di peran yang berlawanan. Ini seperti aku adalah si gadis dan dia adalah si
pria. Ini benar-benar buruk.
Sepertinya
Yukinoshita tidak tertarik dengan jawabanku. Begitulah, dengan kata lain, dia
melanjutkan pembicaraan seperti tidak peduli responku seperti apa.
“Ketika
orang sudah terhina hingga level tertentu, biasanya mereka tidak akan datang
lagi...Apa kamu ini semacam masokis?”
“Bukan...”
“Kalau
begitu, stalker?”
“Salah lagi.
Hei, kenapa kau berpikir kalau aku ini suka kepadamu?”
“Kau tidak
merasa begitu?”
Dasar
jalang. Dia memiringkan kepalanya seperti penuh tanda tanya. Sebenarnya ini
manis sekali, tapi aku tidak akan terjebak olehnya!
“Kau pikir
aku akan menyukaimu? Bahkan jika kau tidak mengatakan hal tersebut sebelumnya.”
“Ya, aku
sangat yakin kalau kau menyukaiku.”
Yukinoshita
mengatakan itu tanpa rasa terkejut sedikitpun. Lebih tepatnya, dia bersikap
seperti biasanya, datar dan dingin.
Kuakui,
wajah Yukinoshita sangat manis. Saking manisnya hingga orang sepertiku, yang
tidak punya teman dan tidak berinteraksi dengan siapapun di sekolah ini, tahu
hal itu. Tidak ada yang bisa mendebatkan fakta kalau dia adalah salah satu
gadis tercantik di sekolah ini.
Tapi,
terlalu percaya diri merupakan sikap yang abnormal.
x x x
“Kenapa kau
berpikir sangat naif seperti itu? Apa setiap hari adalah ulang tahunmu? Ataukah
pacarmu itu Sinterklas?”
Kalau benar
begitu, pikirannya akan selalu terperangkap dalam delusi kebahagiaan.
Jika dia
terus seperti ini, dia tidak akan mengalami pengalaman yang menyakitkan. Dia
sebaiknya merubah itu sebelum dia sampai di titik dimana dia tidak akan bisa
kembali.
Tampaknya
beberapa hal muncul dalam pikiranku. Aku putuskan untuk memilih dengan
hati-hati kata-kata yang kuucapkan agar bisa menyampaikan pesanku dengan baik.
“Yukinoshita.
Kau ini abnormal. Kau jelas-jelas berhalusinasi. Coba kau periksakan dirimu
atau sejenisnya.”
“Apakah itu
caramu peduli kepadaku?”
Yukinoshita
tertawa kecil dan melihat ke arahku, tapi kedua matanya tidak sedang
tertawa...mereka terlihat menakutkan.
Tapi aku
tidak mengatakan kalau dia ini sampah atau tidak berguna atau sejenis itu. Dia
harusnya berterimakasih kepadaku karena itu. Jujur saja ya, jika wajahnya tidak
cantik, aku yakin kalau aku akan menghajarnya.
“Well,
mempertimbangkan kalau dirimu ini selalu melihat rendah orang lain sehingga kau
akan melihatku sebagai orang asing. Tapi, kurasa cukup wajar kalau aku berpikir
seperti itu. Itu berdasarkan pengalamanku sendiri.”
Yukinoshita
tertawa sambil menarik bahunya dengan bangga. Entah mengapa pose tersebut
terlihat keren ketika dilakukan Yukinoshita, kurasa ini akan tetap menjadi
misteri.
“Berdasarkan
pengalaman, katamu...”
Dia paling
berpikir kalau itu berasal dari pengalaman romantis. Kurasa wajar jika dia
berpikir begitu kalau melihat penampilannya.
“Kau sedang
membicarakan kehidupan sekolahmu yang sangat menyenangkan...” akupun
menggumamkannya sambil mendesah.
“Ya, ya. Itu
benar. Mungkin lebih tepatnya jika yang kulakukan ini membuat sekolah ini
memiliki kehidupan yang damai.”
Yukinoshita
meresponku. Mengesampingkan itu, entah mengapa Yukinoshita seperti memandang
sesuatu yang jauh dan tatapannya diarahkan tidak ke arahku. Karena itu, aku
akhirnya berpikir kalau lekukan tubuhnya dari dagu hingga lehernya sangatlah
indah. Informasi barusan sungguh tidak berguna, aku serasa ingin mati saja.
Sambil
melihatnya, aku menyadari sesuatu. Well, jika aku terus berpura-pura keren maka
aku akan menyadari itu seketika, tapi gadis yang menganggap dirinya di atas
semuanya ini sudah memijakkan kakinya dimana dia sendiri tidak akan bisa punya
hubungan dengan orang normal. Oleh karena itu, mustahil dia bisa memiliki
kehidupan sekolah yang normal.
Mungkin, aku
harusnya bertanya saja kepadanya...
“Hey, apa
kau punya teman?”
Setelah aku
mengatakannya, Yukinoshita menoleh kepadaku.
“...Well
pertama-tama tolong jelaskan definisi dari teman dari awal hingga akhir.”
“Ah,
sudahlah. Kalimat semacam itu hanyalah kalimat yang diucapkan orang yang tidak
punya teman.”
Sumber:
diriku.
Well, mari
kita bicara hal yang serius, aku tidak tahu apa definisi dari teman. Kuharap
akan ada seseorang yang menjelaskan kepadaku apa yang membedakan ‘teman’ dengan
‘kenalan’. Apa seseorang yang kau lihat tiap hari akan kau sebut teman, dan
apakah orang yang kau lihat tiap hari itu kau sebut saudara? Mido Faado reshi
sorao? Kenapa ‘o’ terakhir tadi terdengar bukan seperti bagian kalimatnya? Itu
benar-benar menggangguku.
Sebagai
permulaan, ada sebuah garis yang jelas antara definisi seorang teman dan
kenalan. Terutama jika menyangkut pertemanan diantara para gadis.
Bahkan
orang-orang di kelas yang sama diklasifikasikan sebagai teman sekelas, teman,
dan sahabat. Kalau begitu, ini tentang perbedaan istilah itu muncul dari mana. Tapi
tiba-tiba aku mengatakan itu secara spontan.
“Karena aku
membayangkan dirimu yang tidak punya satupun teman, kurasa itu tidak apa-apa.”
“Aku tidak
pernah mengatakan kalau diriku tidak punya satupun teman. Meski, jika benar aku
tidak punya satupun teman aku tidak akan berpikir kalau aku merasa rugi akan
hal itu.”
“Ah benar. Kau
benar. Kau benar.”
Aku
mengatakan itu dengan cepat, menghindari kata-katanya ketika dia menatapku
dengan sinis.
“Begitulah,
kau ini terlihat seperti mudah sekali disukai oleh siapapun, kenapa kau tidak
punya teman?” tanyaku.
Yukinoshita
terlihat sedikit jengkel. Setelah itu, dia memalingkan pandangan matanya dariku
seperti tidak senang akan sesuatu dan berbicara.
“...Kau
tidak akan pernah mengerti diriku.”
Yukinoshita
sedikit mengembungkan pipinya dan melihat ke arah lain.
Well, itu
karena Yukinoshita dan diriku berbeda dan aku tidak akan pernah mengerti
sedikitpun apa yang ada di pikirannya. Aku sendiri kesulitan untuk memahami apa
yang dia katakan kepadaku. Tidak peduli seberapa keras usaha kita, pada
akhirnya kita tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain.
Meski
begitu, ada satu hal yang mungkin kupahami dari Yukinoshita, yaitu
kesendiriannya.
“Bukannya
aku tidak paham apa yang hendak kau katakan. Menjadi penyendiri berarti kau punya
banyak waktu luang untuk dirimu sendiri. Kau bahkan bisa mengatakan kalau
kepercayaan bagi kebanyakan orang yang mengatakan ‘kau tidak harus sendirian’
itu adalah hal yang menjijikkan.”
“.....”
Yukinoshita
hanya melihatku sejenak sebelum dia menolehkan wajahnya ke depan dan menutup
kedua matanya. Aku bisa mengatakan kalau dia sedang memikirkan sesuatu dari
bahasa tubuhnya itu.
“Meski kau
pikir kau suka menjadi penyendiri, punya seseorang yang memberimu simpati
karena itu adalah hal yang sangat mengganggu. Aku benar-benar paham rasanya.”
kataku.
“Mengapa kau
bersikap kita berdua seolah-olah ada di level yang sama. Itu benar-benar
mengganggu.”
Seperti
berusaha menutupi rasa jengkelnya, Yukinoshita memindahkan rambut panjangnya
yang ada di bahu ke belakang.
“Well,
meskipun kau dan diriku ini memiliki standar yang berbeda, kurasa kita punya
perasaan yang sama sebagai seorang penyendiri. Meski itu terdengar mengesalkan.”
kata Yukinoshita.
“Apa
maksudmu dengan mengatakan kita memiliki standar yang berbeda...Aku punya
alasanku sendiri mengapa aku menjadi penyendiri. Kau bisa menyebutku sebagai Raja dari para
penyendiri. Di lain pihak, akan sangat konyol menyebut orang sepertimu sebagai
seorang penyendiri.”
“Ada apa
ini...Tiba-tiba kau menceritakan keadaanmu meski kau tahu itu sia-sia saja...”
Yukinoshita
tampak terkejut dan melihatku dengan ekspresi penuh keterkejutan.
“Kau
menyebut dirimu seorang penyendiri, padahal dirimu disukai oleh semua orang.
Kau ini memalukan bagi semua penyendiri di luar sana.”
Akupun
mengatakan itu dengan bangga, merasa puas dengan ekspresinya.
Tapi,
Yukinoshita tiba-tiba tertawa dengan ekspresi sinis.
“Itu adalah
kesimpulan yang sederhana sekali. Tampaknya kau hanya bisa meresponnya sampai
di saraf refleks saja, dimana itu tidak melibatkan aktivitas otak untuk
berpikir. Maksudku, apa yang kau pahami dari menjadi orang yang disukai banyak
orang? Oh benar, kau tidak pernah mengalami itu sebelumnya. Maaf, aku tidak
mempertimbangkan hal itu.”
“Jika kau
mencoba untuk mempertimbangkan itu, harusnya kau mempertimbangkan itu
hingga akhir...”
Bukankah kau
harusnya menyebut itu kebijakan palsu? Dia ini memang wanita jalang.
“Jadi
bagaimana rasanya menjadi populer?” tanyaku.
Yukinoshita
menutup matanya sejenak seperti memikirkan sesuatu.
Setelah
pura-pura batuk, dia berbicara.
“Bagi
seseorang sepertimu, yang tidaklah populer, mungkin ini tidak enak untuk
didengar.”
“Katakan
saja, aku sudah siap.” jawabku.
Yukinoshita
menarik napas yang dalam merespon kata-kataku itu. Aku tidak bisa merasakan hal
yang lebih tidak menyenangkan dari ini. Aku seperti kekenyangan dari percakapan
kami sebelumnya. Ini seperti memakan ramen dengan jumlah yang tidak terbatas.
“Karena aku
memang terlihat manis dari dulu, anak laki-laki yang mendekatiku biasanya
memiliki perasaan suka kepadaku.”
Aku menyerah
saja. Dia seperti menambahkan sayuran ekstra dan MSG ke ramenku. Tapi meskipun
aku sudah berpura-pura tenang dan percaya diri, aku tidak bisa begitu saja
berdiri dan pergi. Akupun berusaha menenangkan diriku dan menunggunya selesai
berbicara.
“Itu bermula
sejak kelas 6 SD. Setelah itu...”
Ekspresi
Yukinoshita berbeda dari sebelumnya. Ini seperti sedikit melankolis.
Kejadian itu
pasti sudah berlalu sekitar lebih dari 5 tahun. Memangnya apa hubungannya
dengan perasaan suka dari lawan jenis?
Jujur saja,
aku sendiri hampir 16 tahun hidup dengan merasa jijik ketika melihat orang
menyatakan perasaan suka ke lawan jenis, aku sendiri tidak pernah bisa
memahaminya. Aku bahkan tidak pernah menerima satupun coklat valentine dari
ibuku, itu juga sebuah dunia dimana aku sendiri tidak memahaminya. Dia merasa
seperti orang yang bisa membuat semuanya bahagia sehingga dia merasa menjadi
pemenang. Bukankah yang sebenarnya terjadi dia hanya membuatku terlihat seperti
makhluk yang setiap hari mendengarkan keluh kesalnya?
Tapi hanya
itu saja, bukan begitu?
Meski ini
berbeda seperti vektor positif dengan vektor negatif dalam gaya tarik, akan
terasa sangat kasar jika aku membalasnya dengan jujur. Ini seperti berdiri
telanjang di tengah-tengah badai. Ini sama kasarnya seperti memotongnya
tiba-tiba ketika berada dalam diskusi kelas.
x x x
Aku teringat
kalau aku pernah disuruh berdiri di depan papan tulis sendirian sedang siswa
sekelasku mengelilingku dan meneriakkan ‘minta maaf! minta maaf!’ sambil
bertepuk tangan. Skenario itu mirip dengan sebuah neraka.
...Itu
adalah sebuah pengalaman yang pahit. Itu pertamakalinya aku menangis di sekolah.
Tapi aku
baik-baik saja saat ini.
“Tapi
menjadi yang disukai pasti lebih baik daripada menjadi yang dibenci. Kau
terlalu dimanjakan. Terlalu dimanja.”
Aku
mengatakan begitu saja setelah memori yang tidak menyenangkan teringat di
kepalaku. Yukinoshita mendesah pendek. Dia tampaknya seperti sedang tersenyum,
tapi ekspresinya itu terlihat berbeda.
“Meski aku
sendiri tidak punya satupun keinginan agar orang-orang menyukaiku.” dia
menegaskan sesuatu dan menambahkan beberapa kata lagi. “Sebaliknya, jika
orang-orang itu benar-benar tulus menyukaiku, mungkin itu akan benar-benar
menjadi hal yang bagus.”
“Huh?”
Aku secara
spontan memintanya untuk mengulang apa yang barusan dia katakan setelah
mendengarkan kata-katanya yang sangat pelan tadi. Dia lalu menoleh kepadaku
dengan ekspresi wajah yang serius.
“Jika kau
berteman dengan seseorang yang sangat populer di kalangan para gadis, bagaimana
menurutmu?”
“Pertanyaan
yang bodoh. Aku tidak punya satupun teman, mengapa pula aku harus
mengkhawatirkan hal itu.”
Aku
menjawabnya dengan tegas. Seperti seorang pria. Meski aku sendiri yang
mengatakannya, aku juga terkejut betapa cepatnya diriku menjawabnya sebelum dia
menyelesaikan kata-katanya.
Tampaknya
Yukinoshita juga terkejut. Dia seperti kehilangan kata-kata dan membiarkan
mulutnya terbuka begitu saja.
“...Untuk
sejenak, aku sempat berpikir kalau kau baru saja mengatakan sesuatu yang keren.”
Yukinoshita menaruh tangannya di keningnya seperti terkena sakit kepala, lalu
dia merendahkan kepalanya. “Coba kau mengandaikan dirimu dalam posisiku tadi,
apa jawabanmu?”
“Aku akan
menghabisinya.”
Aku tidak
tahu apakah jawaban cepatku tadi akan memberinya jawaban yang memuaskan atau
tidak, tapi Yukinoshita menganggukkan kepalanya.
“Jelas kan, kau akan mencoba untuk
mengeliminasi orang itu? Itu seperti tindakan brutal yang tidak masuk akal.
Tidak, mereka bahkan punya perasaan yang lebih rendah dari binatang...Sekolah
tempatku berada punya banyak sekali orang-orang seperti itu. Meski aku percaya
kalau mereka itu adalah orang-orang yang patut dikasihani karena hanya bisa
melihat eksistensi diri mereka dengan melakukan hal-hal tersebut.” Yukinoshita
tiba-tiba tertawa kecil ketika mengatakannya.
Gadis yang
dibenci oleh para gadis. Kategori semacam itu pasti ada. Tidak sia-sia rupanya
aku bersekolah selama 10 tahun.
Bukannya aku
terlibat dalam itu, tapi itu adalah sesuatu yang bisa kau pahami hanya dengan
melihatnya dari kejauhan. Tidak, itu karena aku sedang melihat dari luar-lah
aku bisa memahaminya.
Yukinoshita
pastinya selalu berada di titik tengah masalah itu, tanpa ragu, dia selalu
dikepung dari segala arah. Bagi seseorang yang hidupnya seperti itu, aku bisa
membayangkan apa saja yang sudah dia lalui selama ini.
“Waktu SD
dulu, sepatu indoor-ku disembunyikan dariku sekitar 60 kali, tapi 50 kejadian
itu pelakunya adalah gadis-gadis di kelasku.”
“Aku sangat
penasaran dengan 10 sisanya.”
“Tiga kali
dilakukan oleh anak laki-laki. Dua kali ketika ada guru yang menyimpankan sepatu itu untukku. Dan lima sisanya, seekor anjing mencurinya dariku.”
“Persentase
dicuri oleh anjing tampaknya tinggi sekali.”
Itu adalah
sesuatu yang diluar imajinasiku.
“Tapi tidak ada
yang mengejutkan soal itu.”
“Aku tadi
sebenarnya hanya mencoba untuk tidak mempedulikannya!”
“Karena hal
itu, aku harus membawa pulang sepatu indoorku setiap hari dan akhirnya aku juga
harus membawa recorderku pulang ke rumah juga.”
[note: recorder itu semacam seruling modern, IYKWIM
mengapa Yukino harus membawanya pulang.]
Yukinoshita
mengatakan itu dengan ekspresi yang aneh. Setelah melihat ekspresinya itu, aku
tiba-tiba merasa simpati dengan apa yang menimpanya.
Hanya karena
itu? Faktanya itu adalah hal yang pernah kualami. Faktanya ketika SD dulu, aku
marasa bersalah karena ketika jam istirahat dimana tidak ada seorangpun di
kelas, aku menukar bagian mulut recorderku.
Aku merasa
bersalah dengan apa yang menimpa Yukinoshita.
Itu benar.
Itu benar. Hachiman. Jangan. Pernah. Berbohong.
“Pasti itu
sangat berat untukmu.”
“Ya, itu
sangat berat. Semua itu gara-gara aku terlihat manis.”
Saat ini,
kata-katanya itu tidak sekalipun menggangguku ketika aku melihat Yukinoshita
mengatakan itu dengan senyumnya yang bercampur perasaan depresi.
“Mau
bagaimana lagi. Tidak ada yang sempurna. Mereka itu semua lemah, mereka punya
pikiran yang jelek dan mereka mudah sekali iri dan berusaha menjatuhkan yang
lain. Cukup janggal, semakin kau terlihat superior maka kau akan semakin sulit
untuk hidup di dunia ini. Bukankah itu salah? Oleh karena itulah aku ingin
mengubah dunia ini dan orang-orang di dalamnya.” Mata Yukinoshita ketika
mengatakannya terlihat serius dan terlihat dingin, saking dinginnya hingga bisa
membakarmu seperti es kering.
“Bukan
terlalu gila jika kau mengerahkan seluruh usahamu untuk rencana luar biasa itu?”
“Mungkin.
Tapi itu terdengar lebih baik daripada rencanamu untuk diam hingga kering, layu
dan mati...Aku sangat benci caramu yang menganggap kelemahan itu sebagai hal
yang positif.”
Yukinoshita
mengatakan itu dan memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.
Yukinoshita
Yukino adalah seorang gadis yang cantik. Sebuah fakta tidak terbantahkan dimana
aku sendiri mengakui itu dari hatiku yang terdalam. Dari luar, dia terlihat
seperti mustahil untuk didekati, dengan nilai akademis yang sempurna dan tanpa
cela. Tapi, sifatnya yang rumit itu merupakan luka yang fatal bagi karakter
dirinya. Sebuah kekurangan yang tidak bisa dikatakan manis. Tapi dia memiliki
sebuah alasan untuk memiliki luka fatal tersebut.
Aku tidak
mau mempercayai begitu saja apapun yang Hiratsuka-sensei katakan, tapi menjadi
orang yang punya semuanya, Yukinoshita juga punya penderitaannya sendiri.
Pastinya
tidak akan sulit untuk menyembunyikan itu dan menipu dirimu sendiri dan orang
di sekitarmu. Itu adalah apa yang mayoritas orang-orang di dunia ini lakukan.
Persis seperti orang-orang pintar yang mendapat nilai bagus di ujian dan mereka
mengatakan kalau itu hanya ‘beruntung’ saja di ujian. Seperti bagaimana gadis
dengan wajah biasa-biasa saja yang iri dengan gadis cantik dimana poin
kejelekan mereka ditentukan dari seberapa gemuk mereka.
Tapi
Yukinoshita tidak melakukan itu.
Dia tidak
akan mau membohongi dirinya sendiri.
Bukannya aku
tidak mau mengakui tindakannya itu. Karena kita berdua memilih jalan yang sama
dalam hal itu.
Sebagai
pertanda kalau percakapan ini berakhir, Yukinoshita melihat kembali ke arah
buku bacaannya.
Sambil
melihatnya, aku merasakan sebuah perasaan yang aneh.
Dia dan
diriku memiliki kesamaan. Aku memikirkan itu dari harusnya aku yang memikirkan
diriku sendiri.
Kesunyian
ini...entah mengapa terasa menyenangkan.
Aku merasa
jantungku berdetak sedikit lebih kencang daripada biasanya. Sepertinya
jantungku ini mengatakan ingin berdetak lebih kencang lagi.
Maka...
Maka dia dan
aku...
“Hei,
Yukinoshita...Kalau kamu mau, aku bisa jadi tema-“
“Maaf. Itu
mustahil.”
“Apaaa? tapi
aku bahkan belum menyelesaikan kata-kataku!”
Yukinoshita
kembali ke buku bacaannya setelah menolakku dengan datar. Terlebih lagi, dia
memasang ekspresi seperti jijik akan sesuatu.
Yup, gadis
ini tidak ada manis-manisnya. Komedi romantis dan hal-hal sejenisnya seperti
meledak begitu saja.
x Chapter II | END x
Sensei sendiri memberi pernyataan kalau maksud dia menaruh Hachiman dan Yukino di Klub Relawan memang untuk membuat mereka berdua lebih dekat...
...
Satu-satunya penjelasan logis mengapa Sensei bisa menjelaskan kounibyou dengan baik adalah Sensei pernah atau saat ini masih mengidap penyakit tersebut.
Diperkuat lagi vol 9 chapter 5 kalau saran-sarannya terhadap Hachiman waktu itu berdasarkan pengalamannya sendiri.
...
Semua dugaan Yukino terhadap Hachiman, belakangan diketahui benar adanya. Hachiman memang menyukai Yukino. Hachiman juga seorang stalker.
...
Lima kali sepatu indoor Yukino diambil paksa oleh anjing. Saya katakan diambil paksa karena jika dicuri oleh anjing, maka tidak ada yang tahu kalau yang mengambil itu adalah anjing. Karena Yukino tahu yang mengambil itu adalah anjing, artinya anjing tersebut tiba-tiba datang dan mengambil paksa sepatu indoornya, lalu pergi bersama sepatunya.
Ini menjelaskan mengapa Yukino takut dengan anjing.
Ini menjelaskan mengapa Yukino takut dengan anjing.
...
Teman masa kecil Yukino itu adalah Hayama. Gara-gara Yukino terlihat memberikan coklat di hari Valentine ke Hayama (vol 11 chapter 1), Yukino dibully. Ini menjelaskan mengapa 83% pelaku bully ke Yukino adalah gadis, mereka semua penggemar Hayama.
Nasib Hayama sendiri dibenci oleh Yukino, karena Hayama menolak membantu Yukino untuk mengatasi gosip itu. Jika merunut pernyataan Hayama sendiri di vol 8 chapter 5, maka Hayama waktu itu salah paham. Hayama mengira kalau Yukino menyukainya (coklat valentine), belakangan diketahui kalau Haruno juga menerima coklat serupa (vol 11 chapter 5), artinya itu adalah coklat persahabatan.
Karena Hayama berpikir Yukino sebenarnya menyukainya, Hayama tidak mau menghilangkan gosip tersebut. Sementara itu, Yukino terus dibully.
Karena Hayama berpikir Yukino sebenarnya menyukainya, Hayama tidak mau menghilangkan gosip tersebut. Sementara itu, Yukino terus dibully.
...
Bully terjadi di kelas 6 SD, sedangkan kasusnya adalah coklat valentine tanggal 14 Februari. Pada Maret, mereka lulus SD. Artinya selama kurang dari dua bulan terjadi bully tersebut, dan dalam sehari sepatu Yukino setelah menemukan lokasinya, kembali hilang karena dibully.
Ini yang membuat Yukino akhirnya memiliki masalah kepercayaan dengan namanya "teman" dan memilih SMP di luar negeri untuk menghindari bully.
Ini yang membuat Yukino akhirnya memiliki masalah kepercayaan dengan namanya "teman" dan memilih SMP di luar negeri untuk menghindari bully.
apa kata dada dalam konteks bust sebaiknya diterjemahkan menjadi payudara?
BalasHapusdada lebih baik
HapusTranslatenya asiik
BalasHapus“Sebaliknya, jika orang-orang itu benar-benar tulus menyukaiku, mungkin itu akan benar-benar menjadi hal yang bagus.”
BalasHapusYukinon dan Hachiman sama-sama ingin ketulusan ternyata
Lansung tertolak
BalasHapusjadi gitu toh... btw, penjelasan web ini sangat jelas daripada web sebelah. apalagi ama animenya.
BalasHapusterus semangat uploag gan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBagaimanapun blog ini seolah rumah setelah kecewa dengan animenya. Ternyata LN nya emang lebih seru dan detail. Terima kasih banyak penulis yang meluangkan waktu menerjemahkan kisah ini.
BalasHapus