Sebenarnya,
sampai kapan kau akan terus dipanggil sebagai ‘anak laki-laki’?
Mari kita berdiskusi sejenak tentang batas
kedewasaan antara ‘anak-anak’ dan ‘orang dewasa’.
Apa anak-anak itu sampai SMP? SMA? Atau
mahasiswa?
Ataukah ketika kau berusia 20 tahun dan mulai
bekerja? Kalau begitu, itu artinya aku akan dipanggil sebagai anak laki-laki
sampai seluruh hidupku...
Sederhananya, aku tidak punya jawaban
terhadap pertanyaan itu, tapi setidaknya aku merasa kalau aku harusnya
dipanggil sebagai anak laki-laki karena aku sedang santai-santai di sofa dan
menonton anime.
Tapi menyebut seseorang anak kecil hanya
karena menonton anime dirasa kurang tepat karena banyak juga orang dewasa yang
menontonnya, bahkan mereka juga punya pekerjaan yang berhubungan dengan itu.
Oleh karena itulah, kecuali orang-orang tidak membeli DVD-nya, maka anime tidak
bisa diproduksi. Tentunya syarat penjualan itu juga berhubungan dengan apakah
akan ada season 2 atau bisnisnya menjadi lebih kecil, dan itu akan mempersulit
langkah selanjutnya untuk menciptakan karya baru selanjutnya. Jadi kusarankan
semuanya, tolong beli DVD dan Blue Ray-nya.
Yang kukatakan barusan adalah off-topic.
Pada dasarnya, aku merasa kalau mencari
perbedaan antara pria dewasa dan anak laki-laki berdasarkan hobinya adalah hal
yang mustahil.
Kalau begitu, faktor apa yang membuat kita
disebut ‘anak laki-laki’?
Dan disini, aku ingin mengatakan kalau ada
sesuatu yang menyegarkan datang ketika pikiranku disibukkan oleh pertanyaan
tadi.
Hal itu berasal dari sebuah SMS yang hanya
terdiri dari 1 baris kata-kata.
[Halo. Apa kamu tidak ada acara untuk
besok??]
Selama hidupku, aku tidak pernah menerima SMS
yang hangat semacam ini, hanya satu SMS berisi satu baris. Ini adalah sebuah
SMS yang ingin kubaca dengan keras-keras. Aku bahkan ingin membuatnya seperti
sebuah lagu. Mungkin saja aku akan mendapatkan penghargaan karena melakukan
itu.
Tadi malam, Totsuka Saika mengirimiku SMS
semacam ini yang membuatku mempertanyakan tentang ‘anak laki-laki’.
Apa yang membuatmu disebut sebagai anak
laki-laki? Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan itu jika dari segi
pencapaian, umur, hobi, dan sekarang, aku menyimpulkan kalau membahas itu dari
segi jenis kelamin malah akan membuatnya semakin rumit. Hukum alam ini tidak
ada artinya sama sekali.
Aku kekurangan contoh yang bisa membuatku
menyingkap kebenaran hal ini.
Dan untuk mengamankan materi referensinya, akupun
melakukan sebuah tindakan.
Aku membalas SMS tersebut dengan 500 karakter
dan menggunakan emotikon yang belum pernah kugunakan, bahkan di situasi normal
sekalipun. Tentunya aku juga tidak lupa untuk meninggalkan tanda tanya di akhir
SMS-nya.
Dalam momen saling membalas SMS itu, aku
sangat termotivasi. Kalau melihat seberapa bahagianya diriku, kurasa tidak aneh
jika ada yang mengira aku sedang memakai narkoba.
Sederhananya, aku berjanji kepada Totsuka
untuk menemaninya pergi keluar.
Semua kekalutan di pikiranku, tanda tanya,
atau entah apapun itu sudah tidak menjadi masalah lagi, bukan?
x x x
Waktu yang disepakati hampir tiba.
Matahari di bulan Agustus sangat panas
sekali, sementara angin yang hangat bertiup seperti berusaha menyesuaikan
situasinya.
Hal ini membuat tingkat kekhawatiranku hampir
naik dengan drastis.
Mengesampingkan hal tersebut, aku melihat
seseorang yang memancarkan sebuah aura, cerah dan bersinar. Dia berlari kecil
ke arahku setelah menyadari diriku. Ketika aku melihatnya, membuat sekitarku
mulai turun salju, jatuh, dan berkumpul...
Dengan melihat secercah cahaya masa depan
yang bersinar, aku menemukan Totsuka, dan ini membuatku sangat bahagia!
Totsuka datang!
“Hei Hachiman! Maaf telat!” dengan gaya yang
santai, dia menaruh kedua tangannya di lututnya, dan berusaha mengatur napasnya
setelah berlari ke arahku.
“Jangan khawatir soal itu. Sebenarnya juga
baru saja sampai disini.”
Yeah,
aku baru sampai disini 3 jam yang lalu, jadi kau jangan khawatirkan itu. Sama
sekali.
“Kau juga tidak benar-benar terlambat, jadi
kau tidak perlu berlari terburu-buru seperti tadi.”
“Oh, benar juga. Tapi bagaimana lagi, soalnya
itu terjadi begitu saja setelah melihatmu.”
Totsuka tertawa sambil menyembunyikan rasa
malunya. Mungkin ini gara-gara matahari atau entah apa itu, tapi auranya itu
membuatku memalingkan pandanganku.
“Ahh. Jadi, kita akan kemana?”
Meski kita saling mengirim SMS, Totsuka dan
diriku hanya sepakat kalau kita akan pergi keluar bersama-sama.
Dan akhirnya, kita memutuskan untuk
membicarakan akan kemana setelah bertemu, dan ini membuat pertemuan ini serasa
menyenangkan. Tapi gara-gara hal itu, aku semalaman berpikir soal ini dan
mengurangi jam tidurku.
Seperti yang biasa diobrolkan oleh para anak
SMA, ‘jalan-jalan bersama’ itu artinya apa? Aku tidak tahu apa maksud
sebenarnya dari kata-kata itu.
Ini membuatku tidak yakin akan mengusulkan
apa.
Tapi bagi Stasiun Kaihin-Makuhari, tempat
yang kita sepakati sebagai tempat pertemuan, semua yang ingin anak muda lakukan
ada di tempat ini.
Permainan ketangkasan, karaoke, bioskop, dan
balapan mobil. Disini juga terdapat berbagai macam toko. Setidaknya, kau tidak
akan kekurangan hiburan jika berada disini.
“Hmm, aku sebenarnya punya beberapa tempat
yang ingin kita tuju...”
Menjawab pertanyaanku tadi, dia masih
berpikir untuk sejenak, seperti tidak bisa memberikan jawaban dengan segera.
“Tapi aku tidak begitu yakin apa kau akan
menyukainya, Hachiman,” kata Totsuka, masih dalam pose berpikir dan
menganggukkan kepalanya.
Dia ternyata khawatir apakah aku akan
menyukainya atau tidak. Sangat jarang ada orang yang mau mempertimbangkan
sesuatu denganku, akupun mulai menatapnya.
Mari kita perjelas, orang-orang yang kukenal
semuanya egois...Kalau Yukinoshita jangan ditanya lagi, tapi Yuigahama,
Zaimokuza, dan bahkan Komachi sangat memaksa sekali ketika membahas hal-hal
yang mereka sukai. Coba lihat Hiratsuka-sensei, ego adalah satu-satunya hal
yang mengisi kepalanya, benar tidak? Dia juga tidak lama lagi akan menjadi
pemain utama dalam sinetron ‘Guru Wanita Yang Frustasi’.
Meski begitu, bagi orang yang memiliki minat
dan hobi tidak begitu banyak, jika ada orang yang mempertimbangkan seleraku
untuk menentukan pilihannya, itu akan menjadi pilihan yang sulit. Bahkan diriku
sendiri tidak begitu mengerti tentang diriku sendiri.
Liburan musim panas ini aku hanya duduk dan
tidak melakukan apapun juga...Maksudku, yang kulakukan hanya bermalas-malasan,
serius ini. Aku akan tidur hingga sore dan setelah itu, aku hanya akan pergi ke
toko buku atau perpustakaan.
Merasa tidak enak dengan Totsuka yang
kesulitan gara-gara diriku, aku menyarankannya sesuatu.
“Kenapa kita tidak pikirkan itu sambil jalan
dan melihat sekitar?”
“Oh oke, tentu saja. Kupikir akan lebih cepat
jika kita sudah memutuskan dari awal.”
Aku merasakan sesuatu ketika dia mengatakan
kalau ‘kita sudah memutuskan sesuatu’. Sampai hari ini, kebanyakan, aku memilih
untuk diriku sendiri, jadi ini merupakan pengalaman baru bagiku. Totsuka adalah
orang yang baik, mungkin saja kita akan menamai anak kita bersama-sama kelak.
Kami berjalan bersama di sepanjang jalan
depan stasiun, ditemani cahaya matahari sore.
Tapi kalau melihat betapa panasnya di luar,
mungkin kita akan lebih baik jika masuk ke gedung saja secepatnya. Jadi kita
harus memutuskan akan kemana terlebih dahulu.
Berbelanja...Aku tidak punya sesuatu yang
ingin kubeli, jadi opsi ini kulewati saja. Permainan ketangkasan...Well, itu
bisa saja. Totsuka sangat menyukai game, tapi dia tampak bukan seorang gamer.
Kurasa dia tertarik di semacam permainan koin atau mesin crane...
Kalau
begitu yang tersisa...tempat itu, mungkin...?
Kuputuskan kalau kita akan pergi ke Cineplex
Makuhari, gedung ini juga punya semacam pusat permainan ketangkasan. Nama
Cineplex ini mirip dengan Aniplex, tapi sebenarnya pemiliknya adalah Grup
Kadokawa. Selain memiliki 10 gedung bioskop, mereka juga punya bisnis permainan
ketangkasan dan berbagai restoran.
Kami lalu masuk ke gedung tersebut, kami tiba
di sebuah area yang didekorasi dengan berbagai pencahayaan dan suara-suara yang
menarik perhatian.
Ini semua difokuskan untuk permainan game ketangkasan
daripada game video. Misalnya permainan menembak, dansa ritmik, lempar koin,
dan mesin crane; ada juga stand foto dan darts. Permainan ketangkasan semacam
ini memang menarget anak muda. Ada banyak SMA dan Universitas di dekat sini,
jadi kelompok konsumen semacam itu yang ditarget mereka. Bagi hal lainnya,
restoran dan bioskop adalah fitur yang mereka harapkan bisa menarik perhatian
keluarga untuk berkunjung.
Ketika kita berkeliling, Totsuka tiba-tiba
berhenti.
“Ada
apa?” tanyaku, akupun menoleh ke arah yang sama dengannya. Dia sedang melihat
poster yang memberitahukan film-film yang akan diputar.
“Mereka ternyata sedang memutar film ini,
huh...?”
Totsuka menatap poster itu dengan rasa
antusias.
“Jadi, bioskop?”
“Ah, aku tidak masalah dengan apapun yang kau
sukai, Hachiman!”
“Nah, ayo kita nonton film saja. Kalau
dipikir-pikir, ini akan menjadi pengalaman pertamaku menonton di bioskop
bersama seseorang yang bukan keluargaku. Harusnya ini tidak akan melukai orang
lain.”
Sebenarnya, aku dulu pernah nonton bioskop
dengan orang lain ketika masih kecil. Waktu itu di Bioskop Marinpia, dimana
sekarang ini sudah tidak ada lagi, tapi itu terjadi gara-gara Komachi memaksaku
pergi dengannya sementara Ibuku sibuk berbelanja.
Setelah menjadi siswa SMP, aku pergi
sendirian ke bioskop. Karena lokasinya dekat dengan rumah, aku bisa pergi
kesana kapanpun aku mau.
Totsuka terdiam untuk sejenak sebelum
menatapku.
“Kau yakin?”
Dia bertanya kepadaku, tapi aku hanya punya 1
jawaban.
“Yeah.”
Aku putuskan; orang pertama yang menonton
bioskop bersamaku adalah Totsuka!
x x x
Ternyata, Totsuka memilih film horor.
Kami memilih tempat duduk kami di kasir dan
membeli tiketnya.
25E dan 25F. Totsuka dan diriku duduk
bersebelahan.
Setelah kami membeli popcorn, cola, dan tiket
kami disobek, kami langsung berjalan menuju auditorium.
Meski ini liburan musim panas, sebenarnya
yang benar-benar liburan hanyalah siswa; orang biasa akan tetap bekerja seperti
biasanya. Jadi, ruangan ini tidak terisi penuh.
Tapi efek sampingnya, penonton mayoritas
adalah siswa. Bahkan, ada beberapa pasang kekasih yang brengsek dan
sampah-sampah masyarakat yang sedang jatuh cinta mengisi tempat duduk di
pojokan yang sepi untuk bermesraan.
Kupikir aku baru saja melihat seorang gadis
mirip dengan Miura yang berada dalam kumpulan sampah itu, tapi itu mungkin
hanya imajinasiku saja. Mengapa orang-orang sejenis mereka punya penampilan
yang mirip-mirip, sih? Karena aku
sendiri susah sekali untuk membedakannya. Apa mereka itu semua kloning?
Semakin mereka khawatir tentang jati diri
mereka, semakin sedikit yang mereka miliki. Semakin mudah untuk kau kenali.
Bagi yang lain, kadangkala kau melihat sebuah
keganjilan tentang orang yang salah paham dengan arti dari jati diri dan
memakai mantel di musim panas. Misalnya orang yang duduk di depanku dan
bernapas seperti seekor beruang liar.
Instingku membunyikan alarm yang
memberitahuku kalau aku tidak boleh menoleh ke arahnya, jadi aku turuti
peringatan itu dan kuputuskan untuk mulai mencari tempat dudukku.
Aku lalu memeriksa tiap baris tempat duduk dengan
nomor tiket kita sambil berjalan di auditorium yang sunyi karena film akan
segera dimulai, akupun mulai gugup. Totsuka masuk terlebih dulu di ruangan ini
dan ketika dia menemukan tempat duduk kami, dia melambaikan tangannya kepadaku.
Dia pasti menahan dirinya untuk tidak berteriak karena kita berada di
auditorium.
Akupun duduk di kursiku dan menaruh tanganku
di pegangan tangan. Sikapku ini sangat keren sekali, seperti Sang Raja Iblis
yang beristirahat dan tidak ingin diganggu.
Tapi pegangan tangan kursi ini sangat mulus
dan lembut.
“Oh, maaf...”
Mendengarkan permintaan maaf tersebut, aku
baru sadar kalau aku menyentuh sesuatu. Ternyata itu lengan Totsuka. Aku baru
saja menyentuh seorang malaikat!
“O-Oh, nah! Itu juga salahku!” kataku, dan
kami berdua terburu-buru untuk menarik kembali tangan kami.
“.....”
“.....”
Kamipun memalingkan wajah kami dan kesunyian
terjadi.
Aku lalu melihat ke arah Totsuka, dan dia
sedang menatap ke bawah seperti menyembunyikan rasa malunya.
*Meski
begitu, dia itu pria.
Ruangan auditorium ini ber-AC, jadi rasa hangat yang
kurasakan darinya ini membuatku salah tingkah.
*Meski
begitu, dia itu pria.
Kami saling menatap satu sama lain seperti mencari
timing yang tepat untuk berbicara dan Totsuka mengatakan sesuatu dengan suara
yang pelan.
“H-Hachiman, kau bisa menggunakan pegangan
kursinya jika kau mau.”
“Uh,
aku pengguna tangan kanan, jadi aku akan bersantai menggunakan tangan kananku.
Jangan khawatirkan aku! Kau tahu kata orang, tangan kiri itu digunakan untuk
membimbing sesuatu atau sejenis itu!”
Entah mengapa, alasan yang tidak jelas keluar
dari mulutku.
Mendengarkan itu, Totsuka tertawa sambil
mengatakan “kau aneh sekali”.
“Oke, kalau begitu kita bagi saja,” kata
Totsuka, dan dia menaruh sikunya di sepertiga pegangan kursi.
“O-Oke...” dengan gugup, aku menaruh tangan
kiriku disana.
Ahh! Tangan kiriku! Tangan kiriku sangat
berbahagia!
Hurray. Untuk. Dunia ini. Perdamaian.
Jika dunia ini ditempati seratus Totsuka,
maka tidak akan ada satupun perang. Penjual senjata akan sepi pelanggan. Semua
hal yang menyebabkan stress akan hilang. Ini semacam efek lavender atau semacam
itu.
Karena
itu, film yang biasanya tidak begitu nyaman untuk kutonton ini tidak begitu
terasa menggangguku hari ini.
x
x x
Film mencapai bagian klimaks.
Kupikir...Aku sendiri tidak begitu yakin.
Ceritanya adalah hal yang lain, tapi aku tidak tahu sudah berapa lama waktu
berlalu. Satu jam, dua jam? Atau mungkin 10 menit?
Waktu yang menyenangkan ini berlalu dengan
cepat. Waktu yang kurasakan seperti kurang dari satu jam.
Berapa lama waktu berlalu itu tergantung dari
sudut pandang siapa.
“Whoa wow!”
Terlihat ada hantu yang berpakaian serba
putih terbang karena efek kacamata 3D, Totsuka kemudian terkejut dan memegangi
bajuku.
Whoa,
itu menakutkan sekali. Serius, bahkan aku merasa kalau jantungku ini mau
berhenti berdetak. Dia ini manis sekali...
Totsuka yang terkejut memanglah manis.
Totsuka-cute.
Setelah itu, si hantu yang berpakaian putih itu
merangkak keluar dari layar. Setiap kali seperti itu, Totsuka seperti menelan
napasnya sendiri dan berusaha menahan rasa takutnya.
Sejujurnya, film ini sangat menakutkan. Kalau
begini, aku bisa-bisa melompat ke rute Totsuka daripada membelok dari rute yang
saat ini kujalani dan terasa menakutkan. Jika dia tiba-tiba
melompat kepadaku, aku pasti akan memberikan yang terbaik. Bahkan, kalau perlu
aku akan menawarkan diriku.
Jantungku tidak karuan sementara darahku ini
mengalir seperti aliran lumpur di sebuah kuil. Di skenario terburuk, aku harus
menyiapkan ATM. Huh? Bukankah itu ETC? EVA? Well, terserah apapun itu.
Lagipula, filmnya akan selesai sebentar lagi.
Agar pikiranku tidak terus terbayang dengan
Totsuka, akupun melihat-lihat interior dari auditorium ini. Sejujurnya aku
ingin menghitung angka prima untuk membuatku tenang, tapi karena aku sudah
sejak awal mengincar untuk masuk Universitas Swasta Jurusan Liberal Art, aku
tidak begitu yakin jika angka 0 termasuk di dalamnya, jadi aku langsung
menyerah.
AC ruangan auditorium ini sangat dingin dan
menusuk tulangku, belum lagi suasananya yang gelap. Ini lingkungan yang sangat
cocok untuk menonton film horor.
Pada akhirnya, aku sangat bingung film ini
bercerita tentang apa ketika masuk ke ending credit.
Kami melihat ke arah layar sampai akhirnya
aku dan Totsuka berdiri.
Sambil dipenuhi pikiran tentang apa film yang
barusan kutonton itu, kami berjalan keluar dari bioskop.
“Filmnya sangat menyenangkan! Aku saja hampir
terus-terusan berteriak, tenggorokanku benar-benar kering.”
“Yeah, aku juga.”
Ada semacam perasaan aneh yang tidak hanya
membuat tenggorokanku kering, tapi bahuku seperti ketakutan akan sesuatu.
Kami berjalan membaur dengan keramaian yang
sedang berjalan keluar dari gedung menuju tangga utama.
Matahari yang sedang tenggelam dihalangi
gedung-gedung dengan ditemani tiupan angin yang menyegarkan.
“Mau istirahat sebentar?”
Akupun menunjuk ke arah kafe yang di ujung
jalan dan Totsuka mengangguk.
Meski banyak sekali orang yang keluar dari
bioskop itu menuju kafe yang sama, masih ada cukup kursi untuk kami berdua.
Kami lalu menuju kasir dan membuat pesanan.
“Um, es kopi.”
“Oh, aku juga sama.”
“Oke, kalau begitu aku juga, aku pesan es
kopi.”
Kami bertiga tidak menunggu lama karena kami
semua memesan es kopi dan duduk di kursi terdekat setelah menerima minuman
kami.
Pertama, aku ingin kopi hitam sehingga aku
bisa menikmati aroma dan rasanya. Rasa pahit yang tajam membuatku terjaga.
Setelah itu, aku menambahkan susu dan sirup jagung. Menggabungkan keduanya akan
menciptakan Black RX. Yep, semakin manis maka semakin baik!
Setelah tenggorokan basah kembali karena kami
meminum minuman, kami bertiga mengembuskan napas lega.
Kami bertiga?
“...Tunggu dulu.”
“Eh?”
“Mm?”
Jangan “mm?”
ke arahku. Aku ini sedang membicarakanmu.
Seorang penyusup yang menggambarkan seekor beruang
yang memakai mantel tiba-tiba muncul dan melakukan sesuatunya dengan santai. Benar.
Itulah yang dia rasakan.
“Uh, kalau tidak salah kamu ini?
Shinkiba-kun?”
“Zaimokuza-kun, Hachiman.”
Totsuka
meresponku dengan serius.
“Oke, Zimoku, Zaimokuya, atau apa itu, kamu
ini dari mana? Apa kamu salah satu dari serangga itu, tahu tidak, serangga yang
disebut maize weevil atau semacam itu?”
Bagaimana kalau kumbang karpet?
Zaimokuza menyedot kembali minumannya dan
menegakkan kepalanya.
“Fumu. Kupikir aku tadi harusnya memanggil
kalian ketika melihat kalian berdua di bioskop tadi, tapi malah akhirnya
mengikuti kalian, dan disinilah aku. Ternyata, skill kamuflaseku berfungsi
dengan baik hari ini.”
“Aku cukup yakin kalau semua orang hanya
berpura-pura tidak melihatmu.”
Setidaknya, aku tidak bisa melihatnya karena
Totsuka adalah satu-satunya tempat dimana aku memfokuskan sesuatu.
“Hei Zaimokuza-kun, lama tidak bertemu.”
“Me-Memang. Mohahaha!” kata Zaimokuza yang
tertawa karena gugup ketika Totsuka berbicara kepadanya.
Sekali lagi, Totsuka memang sesuatu, dia
merespon semuanya dengan natural...Well, jika dia bisa berbicara dengan
seseorang sepertiku, kurasa dia bisa berbicara dengan Zaimokuza.
“Apa acaramu hari ini nonton bioskop?”
“Memang. Sebenarnya ini kesalahan. Karena aku
tidak melihat satupun film horor Jepang ini unik. Tampak kebarat-baratan. Juga
kehilangan daya tariknya sehingga terlihat menyedihkan dan sampah, sebuah karya
yang hanya memikirkan penjualannya saja. Ooph! Tapi dalam kasusku ini, meski
aku menonton film horor, aku bukannya mau mengatakan kalau semua film yang
dibuat Hollywood hanya memikirkan penjualannya saja, tapi film adaptasi yang
terlihat aneh membuatku seperti itu. Kurasa ini gara-gara pengaruh Lafcadio
Hearn. Dooph! Aku terlalu berlebihan dengan pengetahuan yang terlalu dalam. Aku
terlihat sombong sekali, fokanupo! Aku terlihat seperti otaku. Tapi aku
sebenarnya tidak begitu, kopo!!”
Dia
mulai kumat...Satu hal mengenai para chuunibyo ini adalah mereka memiliki
pengetahuan yang tergolong dalam dengan sesuatu yang mistis, jadi ini
benar-benar sangat mengganggu. Hasil karya dari Koizumi Yakumo dan Izumi
Kyouoka atau cerita kuno dari Yanagida Kunio dan Orikuchi adalah hal-hal yang
mereka pahami, tapi mereka terus mengatakan hal-hal yang menunjukkan betapa
dangkalnya ilmu mereka.
“Kau pikir begitu? Aku sebenarnya menyukai
itu.”
“Memang, aku juga begitu.”
“Ehh!?”
Dia langsung menoleh ke arahku. Dia berubah
sangat cepat seperti bercahaya atau sejenisnya.
“Wow, kau luar biasa. Kamu ini mirip para
politikus yang sok penting itu barusan...”
“Diam kau. Hachiman, pendapatmu soal film
tadi?”
“Kurasa ceritanya mengalir begitu cepat dan
mudah dipahami. Ini hal yang berbeda kalau kita membahas betapa menariknya hal
itu.”
Meski aku kebanyakan melihat ke Totsuka
ketika film diputar, aku setidaknya ada gambaran tentang apa film yang kami tonton
ini.
“Uh huh. Tahu tidak waktu si hantu itu keluar
dari layar seperti ‘BAM!’? Itu gila sekali dan menakutkanku! Aku hampir saja
terkena serangan jantung.”
Tepat seperti apa yang kurasakan ketika itu.
Ketika Totsuka memegangi pakaianku dan berusaha bertahan dari seramnya film
itu, aku merasa jantungku seperti kelelahan dan berhenti berdetak.
“Well, bagi orang yang tidak merasakan rasa
takut, itu mungkin tidak ada apa-apanya. Kalau dibandingkan dengan ‘gadis yang
tidak boleh kita sebut namanya itu’, gadis itu lebih menakutkan!”
Zaimokuza seperti ketakutan ketika
mengucapkan itu. Kau ini seperti Malfoy ketika teringat betapa menakutkannya
Voldemort, tahu tidak? Bagi dia yang ketakutan seperti itu, aku hanya bisa
membayangkan satu orang gadis; Yukinoshita.
“Yeah, itu benar. Yukinoshita memang lebih
menakutkan dari filmnya.”
“Hachiman, kau jangan begitu. Maksudku,
pasti, pertama, um, dia memang terlihat menakutkan, tapi...”
Totsuka mencoba memberitahuku dengan nada
yang hangat, tapi suaranya agak melemah.
“Mungkin karena dia terlihat sangat serius
dan jujur dengan dirinya, sehingga dia terlihat menakutkan.”
“Jujur yang terlalu brutal bisa menakutkan
juga. Kau tidak akan tahu kata-kata apa yang selanjutnya akan dia ucapkan
kepadamu.”
Well, entah itu film atau sesuatu yang lain, melihat hal yang sama bukan
berarti kesannya sama.
Setidaknya, katakan saja mirip.
Tapi jika hanya dikatakan mirip, pasti ada sesuatu yang membedakannya.
Kami selalu melihat hal yang ingin kami lihat saja.
Kesan yang umum akan selalu didefiniskan oleh banyaknya jumlah orang
yang sependapat, entah kesan terhadap fiilm dan seseorang.
Oleh karena itu, sangat konyol untuk bisa memahaminya, atau bahkan
berusaha memahaminya. Adalah dosa dan kejahatan jika kau berpikir kalau kau
memahaminya.
Tapi jika kita tidak bertindak seperti kita memahami sesuatu, kita tidak
akan bisa terus hidup.
Memahami dan dipahami oleh seseorang akan membuat kita berdua memiliki
sebuah hubungan, sebuah hubungan tidak tertulis yang dipahami satu sama lain;
selain itu, kau tidak akan bisa bersamanya tanpa bisa memahami dirinya dan
berbicara dengannya.
Jika tidak begitu, maka ‘jati dirimu itu’ akan hilang begitu saja
seperti udara ini.
‘Jati dirimu’ itu adalah hal yang tidak bisa dijelaskan dan tidak
menentu. Seperti fenomena gestaltzerfall, semakin kau memikirkan sesuatu, maka
kau semakin tidak memahami sesuatu itu.
Setiap kau berusaha berhenti untuk memahami, kau akan mengumpulkan
berbagai informasi dan mulai membangun image tentang dirimu dan orang itu. Ini
seperti simulacrum; tidak peduli apa yang kau bangun, satu-satunya image yang
kaumiliki adalah masa kecilmu dan sesuatu yang sangat primitif.
Itulah yang kusebut horor.
Tiba-tiba aku merasa takut di tengah-tengah kafe
ber-AC ini. Akupun menyandarkan bahuku ini dan berusaha mengusir rasa takutku
ini.
Akupun meminum kopi di gelasku ini dan
ternyata telah kosong. Akupun menaruh gelas itu kembali dan Zaimokuza membuka mulutnya.
“Tapi, ini adalah liburan yang menyenangkan.
Sekarang aku bisa berkonsentrasi dengan manuskripku. Ah, ya, Hachiman. K-Kau
mau membacanya?”
Dia menatapku sambil menahan rasa malunya. Itu tidak manis sama sekali.
“Hanya jika selesai saja. Kau bawa sekarang?”
“Fumu, tentu saja. Seorang penulis itu harus
bisa menulis kapanpun dan dimanapun. Kapanpun, tasku selalu berisi laptop,
pomera, tablet, smartphone, dan peralatan menulis pribadi.”
Ah iya, kau jelas-jelas orang sejenis mereka,
membawa peralatan mereka kemanapun, kapanpun mereka merasa mendapat ide.
Totsuka terlihat kagum dengan Zaimokuza.
“Oh, itu berarti Zaimokuza-kun selalu bekerja
keras, huh?”
“Entahlah, bisa saja dia cuma pura-pura.”
Zaimokuza pasti mengatakan dia ekerja
keras, tapi dia pastinya tidak. Dia itu hanya berpura-pura sebagai penulis dan
berdebat tentang berbagai karya, tapi sebenarnya tidak pernah menulis
manuskripnya sendiri. Aku harus memperingatkan Totsuka bahwa dia bukanlah orang
yang patut dikagumi. Mungkin ada baiknya jika aku tusuk saja dia saat ini
dengan pisau dapur.
Seperti merasakan rasa kurang hormatku,
Zaimokuza tiba-tiba murung.
“Hapon. Dasar orang tolol yang sombong. Aku
tidak mau mendengar itu darimu. Coba kau lihat dirimu sendiri Hachiman, aku
bertaruh kalau kau tidak melakukan apapun selama ini.”
“Mm, mungkin kau ada benarnya. Satu-satunya
hal yang kulakukan adalah ikut kursus bimbingan belajar musim panas. Juga aku
membuat laporan proyek.”
“Huh? Apa kita mendapat tugas seperti itu?”
kata Totsuka dengan malu-malu.
Kalau melihat reaksinya, tampaknya dia sudah
menyelesaikan semua PR musim panasnya.
“Bukan, itu milik adikku.”
“Untuk Komachi-chan? Oh, oke. Kau ini kakak
yang baik, Hachiman.”
“Tidak juga. Kakak yang baik harusnya
membiarkan adik perempuannya melakukan itu sendiri.”
“Jadi, laporan penelitian tentang apa?”
“Hanya mengumpulkan apa yang di internet
saja.”
“Huh? Cuma itu saja?”
“Fumu. Karena ini cuma laporan saja, kurasa
itu sudah cukup. Sebaliknya, jika kau sampai mengeluarkan air mata dan seluruh
tenagamu untuk itu, hanya membuatmu terbebani saja.”
“Benar, benar. Komachi itu seorang gadis.
Harusnya kau tidak ikut campur jika hanya ingin membantunya setengah-setengah.”
Satu-satunya request Komachi adalah “Laporanku
ini tidak terlihat luar biasa seperti yang lain”. Hei, hei, perintah macam apa
ketika aku ini sudah membuatnya mencolok seperti Dhalsim di Street Fighter yang
selalu terbang? Aku bahkan bisa terbang lebih tinggi darinya hingga kau
menyebutku ‘Space Brother’.
Tapi kalau dipikir lagi, ketika aku serius
mengerjakan laporanku sendiri, aku mendengar suara tawa teman-teman sekelasku
di sekitarku. Kuharap mereka berhenti melakukan itu.
“Tapi melakukan itu kurasa cukup sulit. Aku
tidak bisa begitu saja mengeluarkan apa yang ada di kepalaku,” kata Totsuka,
seperti merasakan nostalgia.
Jika kau diberitahu kalau ‘apa saja boleh’,
itu sebenarnya sebuah perintah untuk ‘pikirkan dengan serius’. Kau pikir kami ini apa, penemu dari Boy
Kanipan?
“Kurasa ketika dulu mereka memintamu
melakukan tes IQ, mereka sebenarnya tidak mengetes kemampuan akademismu, tapi
kemampuan otakmu yang kreatif.”
“Tampaknya itu sesuatu dimana kau unggul
disana, Zaimokuza-kun. Maksudku, kau ini bercita-cita menjadi penulis, kan.”
“Dia tidak tampak seperti punya IQ yang
tinggi.”
“Homun, memang, jika begitu, aku ini tipe
orang yang punya EQ tinggi. Aku ini sangat peka terhadap perasaan sekitar.”
EQ, atau mereka sebut Emotional Intelligence
Quotient.
Ini hanya pendapat pribadiku saja, tapi
ketika ada seseorang tiba-tiba membahas EQ di sebuah percakapan tentang IQ,
jelas kalau dia punya IQ yang jongkok. Jika orang itu membahas ET, maka dia Steven
Spielberg. Ngomong-ngomong, jika dia ED, maka orang itu adalah Pele.
“Oh ya, itu seperti orang-orang yang punya
Mini 4WD. Mereka selalu mengatakan kalau mereka membuatnya dari nol.”
Ketika aku mengatakan itu, tubuh Zaimokuza
tiba-tiba seperti melompat. Entah mengapa, dia mulai berkeringat. Apa-apaan ini, apa dia ini semacam Katak
Jepang?
“Eh. Ehh!? Um, H-H-H-Hachiman, apa kita dulu
pergi ke SD yang sama?”
“Apa kamu serius yang kau katakan tadi...?
Sebenarnya, kau jangan membahas sesuatu yang tidak penting dengan sikap seperti
itu.”
Kalau boleh memilih, aku ingin dia kembali
saja ke sarangnya, entah dimana itu.
“Aku terbiasa main Mini 4WD juga loh.”
“Itu mengejutkanku.”
“Ehh? Kenapa begitu? Aku kan juga anak
laki-laki.” Totsuka tertawa.
Aku mencoba membayangkan bagaimana wajah
Totsuka ketika masih anak-anak, entah mengapa, aku hanya bisa membayangkan
dirinya memakai topi dengan T-Shirt saja. Aku yakin dia manis sekali di masa
lalu. Whoa, mari kita perjelas dulu. Dia juga manis saat ini. Jika dia manis di
masa lalu dan saat ini, kita harusnya memasukkan dia di dalam Cerita dari Masa
Lalu dan Saat Ini yang ada di kurikulum sekolahan.
“Hamon. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan
Broken G milikku. Lagipula, aku sudah memasang Iron Hammer. Setiap musuh yang
menghadapinya akan hancur tanpa sisa.”
“Itu terdengar idiot...Tch, Ku-Kurasa aku
tidak boleh mengatakan itu juga karena aku juga memasang sebuah cutter di Beak
Spider milikku...”
Aku juga memasang jarum dari mesin jahit di
Ray Stinger milikku.
“Kalian berdua melakukan hal-hal yang
berbahaya.”
Totsuka melihat kami berdua bergantian.
“TIdak masalah, karena aku hanya memainkannya
sendirian.”
“Memang. Penyendiri tidak akan melukai
siapapun, hanya dirinya sendiri.”
“Harusnya kau juga tidak boleh melukai dirimu
sendiri.”
“Oke...”
Dengan dia yang menatap kami berdua dengan
tajam, kami berdua mulai menyesali tindakan kami itu.
“Me-Memang...Ta-Tapi aku juga bisa melakukan
maintenance! Melawan yang lain, aku juga bisa secepat angin!”
Akupun memasang ekspresi sini dengan
kata-katanya.
“...Hah. Kau pikir bisa menang denganku?
Melawan Beak Spider milikku? Milikku memiliki diameter roda yang lebih kecil,
ban lentur, gears set torque tuned, dan body yang menggabungkan pendingin udara
dan bobot yang ringan, dan jika tersudut, aku akan memasang stabilizer ball
sehingga bisa mencapai kecepatan tinggi seperti memakai convertible alumunium
down-thrust roller! Kecepatannya akan berada diluar perhitungan!”
Sebenarnya aku belum pernah mencobanya.
Maksudku, mereka tidak mengijinkanku untuk membeli lintasannya...Aku pernah
mencoba membuat lintasannya dari karton bekas, tapi mobilnya malah macet dan
tidak mau berlari.
Zaimokuza tiba-tiba tersenyum setelah
mendengarkanku.
“Ku, ku, ku, tidak memperhitungkan berat alumunium
convertible adalah kesalahan fatal...berat extranya bisa berubah menjadi hal
yang fatal.”
“Silakan banyak bicara. Beak Spiderku ini
punya kelebihan lebih stabil dalam pusat gravitasi yang lebih rendah.”
“Hoh...Apa lebih baik kita lakukan duel untuk
membuktikannya?”
Zaimokuza dan diriku saling menatap satu sama
lain dengan tatapan mata agresif. Aku hampir saja mengatakan, “Hajar dia!
Magnuuuum!” sementara mengepalkan tanganku. Tunggu, yang itu Galactia Magnum,
benar tidak?
Kami berdua hanya bisa menatap satu sama lain
dan terdiam, tapi sebuah suara yang tidak terduga menghancurkan kesunyian ini.
“Oh, tampaknya menyenangkan! Aku sudah lama
tidak memainkan itu, aku ingin ikut! Avante-ku sangat cepat loh?”
“Avante!?”
Ada apa ini dengan perbedaan generasi kita!?
Seleranya tampak elit sekali! Dia bukan bagian dari faksi Boomerang atau
Emperor!
...Kurasa memiliki perbedaan generasi memang
sangat mungkin terjadi.
Sudah lama sekali berlalu sejak aku bermain
dengan Mini 4WD sewaktu kecil dulu, tapi gairah itu masih belum hilang dariku
hingga hari ini. Aku bahkan mengayunkan payungku seperti pedang ketika hujan
berhenti, dunia imajinasi seperti tertanam di diriku.
Karena itulah, meski aku sudah besar, aku
masih mengingat itu semua.
Bahkan jika generasi kami berbeda,
sebenarnya, ada hal-hal yang tidak berubah.
Karena itulah, jiwa seorang ‘anak laki-laki’
milikku tidak akan pernah hilang.
x Chapter III | END x
Semua monolog Hachiman tentang Yukino di chapter ini, benar-benar Hachiman lakukan di volume-volume mendatang.
Oke chating antara hachiman dan Zaimokuza benar2 unik
BalasHapusAnjir 🤣🤣🤣
Hapus