Jumat, 03 Juni 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 4 Chapter 4 : Tiba-Tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Fujoshi (2/2)

x x x












  Sebuah bunyi sendok yang ditaruh di atas meja terdengar.

  Setelah Rumi yang terlihat sedih tersebut kembali ke grupnya, kami kemudian kembali ke markas panitia.

  Kentang-kentang di kare yang Hiratsuka-sensei awasi dari tadi ternyata menyatu dengan baik, dan sebuah aroma yang membangkitkan selera makan mulai tercium dari panci tersebut.

  Tidak jauh dari dapur tersebut, ada sebuah meja kayu besar dimana terdapat peralatan makan yang sudah disiapkan. Kami lalu mulai mencari tempat duduk.

  Yukinoshita adalah orang pertama yang duduk. Dia duduk di kursi paling pojok tanpa ragu. Lalu Komachi duduk di sebelahnya. Dengan santainya, dia duduk di samping Yukinoshita, lalu Yuigahama mengikuti duduk di sebelahnya. Lalu, datang Ebina-san dan duduk di sebelah Yuigahama. Anehnya, Miura malah duduk pojokan tepat di sebelah Ebina-san. Kukira Miura adalah orang yang ingin duduk di tengah-tengah grupnya, ternyata tidak begitu, huh?

  Para pria lalu mulai memilih tempat duduknya. Tobe lalu duduk di seberang Miura. Well, pria itu tampaknya tidak masalah duduk di hadapan Miura. Lalu duduk di sebelah Tobe, Hayama.
  
  Karena aku tidak peduli ‘dengan siapa aku akan duduk’, maka aku berencana akan memilih tempat duduk setelah semuanya duduk. Kalau dipikir-pikir, ketika ada semacam kegiatan dan disana ada pemilihan tempat duduk, aku selalu menunggu hingga saat terakhir. Tahulah aku seperti apa. Aku adalah pria yang berhati besar, dimana aku akan selalu berkenan untuk memberikan pilihan memilih kepada orang lain.

  Jika dipikir-pikir lagi, tampaknya orang yang akan duduk di sebelah Hayama kalau tidak diriku, pasti Totsuka atau Hiratsuka-sensei.

  “Um...” Totsuka melihat ke arah Hiratsuka-sensei dan diriku, seperti memikirkan tentang sesuatu.

  “Ha-Hachiman, kau mau duduk dimana?”

  “Aku sih terserah. Aku terakhir saja.”

  “Tempat yang terbaik adalah yang tersisa terakhir – semacam itu?” tanya Totsuka.

  “Err, sebenarnya tidak juga...”

  Itu sebenarnya hanya masalah prinsip saja, tidak ada hubungannya dengan mitos atau sejenisnya.

  “Yang tersisa terakhir adalah yang terbaik...Begitu ya! Begitu toh. Ternyata begitu...Pasti begitu,” Hiratsuka-sensei mengatakan itu berulang-ulang, ekspresinya seolah-olah dirinya baru saja mendapatkan wahyu.

  Dia terlalu sensitif dengan kata ‘tersisa terakhir’... Siapa saja tolong nikahi dia, demi kedamaian dunia ini.

  “Meh, aku duduk dimanapun...” kataku. “Memangnya kau mau duduk dimana, Totsuka?”

  “Aku tidak masalah duduk di sebelahmu.”

  Aku kehilangan kata-kata.

  Totsuka mengatakan sesuatu yang diluar dugaan, jadi membutuhkan waktu sejenak bagiku untuk memproses reaksi tersebut. Totsuka lalu menutupi mulutnya dengan tangan seperti baru saja sadar dengan apa yang barusan dia katakan.

  “Ba-Barusan itu terdengar agak aneh. Maksudku, kita seharian sibuk menyiapkan makan siang dan berbicara ke anak-anak, jadi kita benar-benar tidak punya waktu untuk mengobrol, itu saja...”

  Dia menjelaskan itu, meski inti dari kata-katanya tetap tidak berubah. Malahan, ini terasa lebih menyenangkan.

  “Well, terserah kau saja. Ayo duduk.” Sambil mencoba menahan rasa maluku, aku mendorong Totsuka dari belakang, memberitahunya untuk segera duduk.

  Sial, kenapa punggungnya ringan sekali? Saking ringannya hingga aku tidak bisa merasakan satupun penolakan darinya.

  “Oke, aku akan duduk disini.” Totsuka lalu duduk dan menggunakan tangannya untuk menepuk-nepuk kursi kosong yang berada di sampingnya.

  “...Ah.”

  Setelah memastikan kalau kedua mataku tidak sedang menipuku, aku duduk disampingnya.

  “Kalau begitu, ayo kita mulai?” Akhirnya, Hiratsuka-sensei duduk di sebelahku dan mengatakan itu.

  Menggunakan itu sebagai sinyal, semua orang menepuk kedua tangan mereka bersamaan dan berkata, “Selamat Makan!”

  Kalau dipikir-pikir, lama sekali aku tidak makan bersama-sama dengan banyak orang seperti ini. Kalau tidak salah, pengalaman terakhirku adalah dua tahun lalu, kurasa itu bisa dikatakan cukup lama.

  “Ini serasa makan siang di sekolah,” Totsuka mengatakan itu sambil berbisik di sebelahku, sepertinya dia merasakan nostalgia seperti yang barusan kurasakan.

  “Mm, kebetulan waktu itu juga menu masakannya kare.” Aku lalu memberikan jawaban yang umum, sambil merasakan sebuah getaran karena gugup kami bisa sedekat ini.

  “Anak laki-laki sepertinya sangat menyukai kare. Mereka terlihat ramai dan senang ketika tahu menu makan mereka adalah kare.” Yuigahama mengatakan itu dengan nada yang terkesan nostalgia.

  Tampaknya kami punya pengalaman yang sama dengan acara makan bersama, kare dan anak laki-laki yang ramai ketika SD dan SMP. Begitulah yang terjadi di SMP-ku.

  “Yeah, yeah. Dan ketika siswa yang ditugasi untuk memasak karenya tiba-tiba membuat kare yang di panci tumpah, dia lalu disalahkan oleh teman-teman satu grupnya.”

  Tobe yang sedang memakan karenya terlihat tertawa mendengar itu.

  “Betul itu bro!”

  “Lalu, orang-orang sekelas mencemooh siswa itu, tahu tidak? Karena itulah dia akhirnya berkeliling ke grup-grup lain meminta sisa kare mereka agar bisa dibagi dan dimakan bersama grupnya. Merasa siswa itu seperti ‘tukang palak kare’ grup lain, guru yang bertugas lalu menyuruh siswa itu pergi, dan membuat si siswa itu seperti hendak menangis saja. Tapi yang terburuk dari itu adalah noda kare yang menempel karena tumpah tadi itu tidak hilang begitu saja. Orang-orang di sekitarnya bersikap seperti, ‘dia kok bau kare sih (haha)’, dan siswa itu diejek dengan nama Kareishu, alias orang tua yang bau. Hal-hal semacam itu memang sering terjadi.”

  “Tidak, itu tidak pernah...” kata Yuigahama.

  “Kenapa ceritamu sangat detail...? Apa itu pengalaman pribadimu?” tanya Yukinoshita.

  Tangan mereka, masih memegang sendok mereka, di tengah-tengah kegiatan mereka memakan karenya.

  “Noda karenya waktu itu tidak hilang begitu saja, jadi Komachi juga khawatir...” kata Komachi.

  Ini seperti “Masuk mode kasihan kepada Hikigaya”. Karena kesunyian ini, aku bisa mendengar suara ciutan burung di dataran ini.

  Hayama lalu pura-pura batuk untuk mencairkan suasananya.

  “Well, semua orang memang suka kare, kurasa wajar saja mereka terlihat antusias begitu. Juga, mereka suka selai gandum.”

  Sial, ini sangat nostalgia sekali. Selai misterius itu punya rasa khusus, mirip seperti Milo. Sial, ini benar-benar nostalgia. Aku benar-benar tidak melupakan momen itu.

  Hayama lalu menambahkan.

  “Aku pernah bertanya ke teman-temanku yang tinggal di propinsi lain, tampaknya selai gandum itu hanya disajikan di acara makan bersama di sekolahan Chiba saja.”

  “Huh?!”

  “Serius?!”

  “A-Apa itu benar?”

  Yuigahama, Miura, dan Komachi terlihat terkejut mendengarnya.

  “Hei begini, jika dilihat dari sudut pandang daerah lainnya, bukankah itu artinya sama saja kita terlihat seperti satu-satunya daerah yang memiliki kebiasaan aneh?” Aku langsung menunjukkan kekecewaanku terhadap daerah lain di Jepang.

  Bahkan Ebina-san tidak mampu mengatakan apapun. Semua orang terlihat sedang bermain-main dengan makanannya, berusaha memikirkan hal yang lain.

  Info-info Hayama soal Chiba ternyata membuat suasananya kurang nyaman.

  Tapi, kau tidak bisa menyebut dia sebagai Chibapedia hanya karena pengetahuan yang seperti itu. Siapapun bisa mengalahkannya! Tapi, aku tidak akan membiarkan diriku terlihat seperti orang yang tidak tahu apa-apa soal Chiba!

  “Kalian tahu tidak? Chiba satu-satunya daerah yang menyediakan kacang kedelai ketika jam makan siang di acara sekolah?”

  “Yeah, aku tahu.”

  “Memangnya siapa yang tidak tahu soal itu?”

  “Maksudku, hanya orang-orang Chiba saja yang terbiasa memakan itu dalam kesehariannya di rumah.”

  Reaksi semua orang terlihat dingin. Juga, kulihat kawanku ini, Nyonya Miura ternyata rutin makan kacang kedelai di rumahnya. Tapi kenapa tidak pernah ada menu itu di rumahku? Kampret!







x x x






  Suara dari air yang mendidih di teko itu mulai mengisi tempat ini. Meski suara itu terdengar keras, tapi itu seperti memberikan alarm kepada kami. Komachi lalu berdiri dan menuangkan air yang mendidih itu dalam poci yang sudah diisi kantung teh.

  Malam memang terasa agak dingin ketika kau berada di dataran tinggi, tapi karena para siswa SD sudah kembali ke kabinnya, suasana disini terlihat sedikit tenang, dan tentunya itu membuat suhu disini sedikit lebih dingin dari biasanya. Terlihat dahan-dahan pohon yang bergerak-gerak karena ditiup angin, dan aku bisa mendengar suara gerakan dahan tersebut dari kejauhan.

  Harusnya sekarang sudah masuk jam tidur siswa. Meski begitu, mereka pastinya tidak akan sekedar langsung tidur begitu saja ketika mereka berkumpul dengan teman-teman mereka. Mereka mungkin sedang bermain perang bantal, menaruh snack di atas kasur mereka dan mengobrol semalaman.

  Meski begitu, pasti ada siswa yang langsung tidur begitu saja. Mereka yang tidak dianggap sebagai bagian grup pasti memilih untuk tidur lebih dini, meski jumlahnya sedikit. Bukannya mereka itu tidak tahan dianggap bukan teman atau sejenisnya. Mereka hanya berusaha peduli kepada orang lain agar tidak mengganggu aktivitas teman satu kamar dengan langsung tidur. Well, bukannya aku mengatakan ini karena tidak akan ada orang yang tahu soal ini.

  Tapi ayolah, bisakah mereka berhenti menjahiliku ketika aku tidur? Bagaimana dengan berhenti mengambil fotoku yang sedang tidur? Tolonglah? Kurasa itu bisa dihitung sebagai sikap mereka yang peduli akan eksistensiku.

  Hayama lalu menaruh gelas kertasnya di meja.

  “Saat ini, kurasa ini saat yang tepat untuk mengadakan pembicaraan seperti yang pernah kita lakukan menjelang malam di darmawisata.” suara Hayama itu seperti sedang bernostalgia.

  Selama SMA, kami belum melakukan darmawisata. Tapi itu sudah terjadwal untuk dilakukan di semester kedua di kelas 2 SMA. Sekali lagi, paling yang kulakukan nanti hanya berjalan dengan jarak tiga langkah di belakang teman satu grupku, dan langsung tidur ketika malam tiba.

  Aku bisa mengatakan itu dengan mudah karena aku sendiri pernah melaluinya; bagi seseorang yang sudah pernah terjebak dalam situasi itu, ini hanyalah masalah kecil bagiku.

  “Kira-kira, gadis kecil itu baik-baik saja tidak ya...” tanya Yuigahama kepadaku dengan nada khawatiir.

  Aku tidak tahu siapa gadis yang dia maksud. Mungkin Tsurumi Rumi. Yukinoshita, Yuigahama, dan diriku, yang sudah berbicara langsung kepadanya, bukanlah satu-satunya pihak yang sadar kalau dia dijauhi teman-temannya. Semua orang disini bisa melihat itu. Tidak hanya dengan mendengarkan penjelasannya, siapapun yang melihat interaksinya saja sudah bisa tahu apa yang sedang terjadi dengannya.

  Terdengar suara korek api yang dinyalakan. Bagian tubuh Hiratsuka-sensei yang berada di bawah bayangan pohon, disinari cahaya api dari korek tersebut. Dia menghisap rokok tersebut, lalu mengembuskan asapnya ke udara, setelah itu dia membetulkan posisi kakinya.

  “Hmph. Apa kalian ada sesuatu?” tanya Sensei.

  Hayama menjawab.

  “Well, ada siswi yang dijauhi oleh teman-temannya...”

  “Yeah, aku kasihan kepadanya,” kata Miura.

  Karena dia hanya bersikap setuju dengan kata-kata Hayama, itu terdengar seperti sekedar basa-basi saja.

  Ini membuatku merasakan ada sesuatu di dadaku yang tidak bisa kutahan lagi.

  “Kau salah, Hayama,” kataku. Lalu aku berhenti sejenak, dan menambahkan lagi.

  “Kau tidak paham apa masalah sebenarnya. Tidak ada yang salah dengan tidak punya teman atau menjadi penyendiri. Menjadi masalah jika dia dipaksa untuk menjadi penyendiri oleh sekitarnya.”

  “Huh? Memangnya kau ada masalah dengan itu?” tanya Miura.

  Maksudku, aku ini berbicara dengan Hayama, tapi malah Miura yang menjawabnya. Menakutkan!

  “Ada orang yang suka menyendiri dan ada yang tidak suka. Ya hal-hal semacam itu, tahu tidak?”

  “Oh, kurasa begitu.”

  Oleh karena itu, solusi idealnya adalah dengan tidak memaksanya berubah, tapi yang benar adalah merubah lingkungan yang telah memaksanya itu.

  “Kalau begitu, apa kalian punya ide?” tanya Hiratsuka-sensei.

  “Kalau itu...”

  Kami semua terdiam.

  Apa yang ingin kita lakukan? Tidak ada. Kita hanya ingin menjadikan ini topik obrolan saja.

  Pada dasarnya, ini seperti menonton film dokumenter tentang perang atau kemiskinan di TV, lalu kita mengatakan “ya ampun” dan “kita harus melakukan sesuatu!”, di saat yang bersamaan kita sendiri tidak mau menggerakkan tubuh kita dari sofa yang nyaman sambil ditemani camilan yang enak.

  Kalau begini, ini artinya semua orang tidak akan melakukan apapun. Mereka akan membohongi dirinya sendiri, “Hari ini aku ingin bersyukur karena aku diberi nasib yang lebih baik”, begitulah dan hari ini berakhir. Mungkin paling banter mereka akan menyumbang 10Yen atau 100Yen dalam penggalangan dana. Tapi itulah yang maksimal akan mereka lakukan.

  Tentunya, akan ada orang yang sadar akan permasalahan sebenarnya seperti apa dan serius untuk melakukan sesuatu. Dan kuakui itu adalah hal yang hebat, dan aku tidak akan segan-segan menghormati dan memuji mereka. Mereka yang menggalang dana itulah yang benar-benar menjadi penolong.

  Tapi situasi kami berbeda. Aku, Hayama, Miura – tidak ada yang bisa kami lakukan. Meski kita tahu apa masalahnya, meski kita terlihat hanya mencari-cari alasan saja, yang kita lakukan disini hanyalah memberitahu orang lain kalau kita ini peduli kepada gadis itu.

  Meski masalah gadis itu bukan urusan kita, kita tidak bisa begitu saja bilang kita tidak peduli. Tapi jujur saja, kita tidak bisa melakukan apapun untuknya. Oleh karena itulah, kita hanya ingin memberitahu kalau kita ini bersimpati kepadanya – hal-hal sejenis itulah. Perasaan semacam itu bisa dikatakan hal yang indah, tapi di saat yang bersamaan bisa juga disebut alasan untuk kabur dan tidak bertindak. Itu tidak lebih hanya sekedar penggunaan logika untuk kabur dari kenyataan, sebuah contoh penggunaan masa muda yang salah dan sangat kubenci.

  “Aku...” Seseorang berkata.

  Dia adalah Hayama, yang sedari tadi hanya diam saja.

  “Aku ingin melakukan sesuatu untuk gadis itu, jika bisa...”

  Ekspresi seperti itu memang Hayama-banget. Kata-katanya terdengar lembut dan penuh simpati. Tapi di telinga Rumi, kata-kata itu akan terdengar jahat. Bagi orang lain, kata-kata itu terdengar seperti kata-kata yang indah.

  Sebuah kebohongan yang tidak akan melukai siapapun. Pendengarnya akan merasakan sebuah harapan telah muncul, meski jika bungkus dari si Harapan itu dibuka ternyata akan muncul sebuah keputus-asaan yang pekat. Tentunya kebenaran itu tidak akan terlihat begitu saja, dan semua orang bebas menterjemahkan kata-kata itu sesuai pikiran mereka masing-masing.

  “Bilang saja mustahil bagimu untuk menolongnya. Apa benar begitu?”







x x x







  Kata-kata Yukinoshita tadilah yang memastikan makna dari kata-kata ambigu dan abu-abu dari Hayama. Dalam suasana malam yang sunyi ini, cahaya dari sebuah lentera memperlihatkan sosok Yukinoshita. Sambil mengibaskan rambutnya, dia terus menatap tajam ke arah Hayama.

  Dia mengatakan itu seperti yakin kalau itulah fakta sebenarnya, kata-katanya tidak meminta penjelasan yang lebih jauh. Entah apakah yang dia katakan itu tentang kata-kata Hayama soal Rumi atau tidak.

  Untuk sejenak, aku bisa melihat ekspresi Hayama yang tertekan.

  “Itu...Mungkin benar kalau soal yang itu.” Lalu, Hayama terdiam. “Tapi, untuk situasi kali ini berbeda.”

  “Aku tidak yakin kalau soal itu.” Yukinoshita membalas pernyataan Hayama. Kata-katanya sangat dingin.

  Seperti menonton sebuah percakapan yang tidak terduga, kesunyian menyelimuti tempat ini.

  Sama seperti yang lain, aku hanya bisa diam sambil melirik ke arah Hayama dan Yukinoshita. Aku merasa, sikap Yukinoshita ini mirip sikapnya ketika Hayama pertamakali datang ke Klub Relawan, tapi sikap kerasnya ini terasa jauh berbeda dari biasanya.

  Sikap dinginnya itu kurang lebih memang karena aura dirinya seperti itu, tapi aku merasa kalau Yukinoshita seperti memberikan sebuah penekanan dalam kata-katanya barusan.

  Sangat jelas bagiku, pasti ada sesuatu yang pernah terjadi diantara keduanya. Sesuatu yang tidak aku ketahui. Tapi, cerita yang keren, bro! Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi diantara mereka, tapi suasana tidak nyaman ini terasa sangat mengerikan. Ouch.

  “Ngomong-ngomong...” Hiratsuka-sensei lalu menghisap rokoknya dalam-dalam.

  Secara perlahan, dia mengembuskan asap rokoknya, menghancurkannya di asbak, dan menatap Yukinoshita.

  “Bagaimana pendapatmu, Yukinoshita?”

  Merespon pertanyaannya, Yukinoshita menaruh tangannya di dagu.

  “Pertama-tama, saya ingin mengkonfirmasi sesuatu.”

  “Apa itu?”

  “Hiratsuka-sensei, kalau tidak salah Sensei pernah bilang kalau perkemahan ini sebagai training camp bagi Klub Relawan. Kalau begitu, apakah situasi dari gadis ini bisa dikategorikan sebagai request pekerjaan bagi Klub Relawan?”

  Hiratsuka-sensei kemudian berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Yukinoshita, lalu dia menjawabnya.

  “...Hmm. Yeah, kurasa begitu. Kutugaskan kalian sebagai staff sukarelawan di luar area sekolah sebagai bagian dari aktivitas klub. Secara teori, masalah yang ada disini bisa saja dijadikan request pekerjaan kalian.”

  “Begitu ya...” Yukinoshita meresponnya, lalu dia menutup kedua matanya.

  Angin yang bertiup ke tempat ini terasa lebih lemah dari biasanya. Sepertinya, bahkan hutan ini terasa seperti sedang berusaha mendengarkan suaranya, tidak ingin melewatkan satupun kata-katanya. Tidak ada satupun orang yang mengeluarkan suara; mereka hanya menunggu.

  “Kalau gadis itu meminta pertolongan kami, maka kami akan menggunakan segala cara yang diperlukan untuk memenuhi request itu.” Yukinoshita mengatakan itu dengan jelas, suaranya dipenuhi dengan emosi. Sebuah ketegasan terbaca dari kata-katanya.

  Yukinoshita, kau keren sekali tadi.

  Kalau aku ini seorang gadis, aku pasti akan menjadi penggemarnya saat ini. Maksudku, ayolah, Yuigahama dan Komachi saja sudah terpesona olehnya sejak tadi.

  Jawaban Yukinoshita itu tampaknya memuaskan Hiratsuka-sensei, karena itulah dia terlihat mengangguk.

  “Menurutmu, gadis itu membutuhkan bantuan?”

  “...Itulah yang tidak kita ketahui.”

  Itu benar, dia memang belum meminta tolong ke kita. Tapi itu tidak berarti dia sudah menunjukkan keinginannya seperti apa.

  Yuigahama lalu menarik lengan Yukinoshita.

  “Tahu tidak, Yukinon, kupikir gadis itu tidak bisa membicarakan masalahnya meskipun dia memang ingin melakukannya.”

  “Maksudmu tidak ada seorangpun yang akan percaya padanya atau sejenis itu?” tanyaku.

  Yuigahama tampak ragu sejenak sebelum menjawabku.

  “Yeah, sejenis itu, tapi...Rumi chan bilang kalau banyak juga yang dikucilkan. Jadi, dia bukanlah satu-satunya korban disana. Kurasa dia merasa tidak nyaman jika hanya dia sendiri yang merasa butuh bantuan. Aku tidak mau menyalahkan Rumi-chan – tapi semua orang memang seperti itu...Meski mereka merasa ingin menceritakan itu dan ingin kembali berkumpul seperti dulu, mereka tidak bisa menemukan momen yang tepat. Tapi, mereka terus membawa perasaan bersalah itu dengan mereka...”

  Yuigahama lalu tiba-tiba berhenti berbicara. Dia sepertinya berusaha mengatur tempo napasnya, lalu dia tiba-tiba tertawa untuk mengganti topiknya.

  “Aha, kurasa barusan agak...Err, agak memalukan. Maksudku, pasti butuh keberanian yang besar untuk bisa berbicara dengan orang yang kesehariannya tidak biasa diajak berbicara.”

  Yukinoshita menatap Yuigahama dengan senyuman, sesuatu yang cerah terlihat di kedua matanya.

  Dalam keadaan yang normal, memang butuh sebuah keberanian untuk berbicara ke seorang penyendiri. Yuigahama waktu pertamakali masuk ke ruangan Klub memang terlihat gugup. Meski begitu, dia memutuskan untuk masuk dan berbicara kepada Yukinoshita dan diriku.

  Mungkin itulah yang ada di balik tatapan Yukinoshita kepadanya.

  “Tapi tahu tidak, mungkin saja masalahnya ada di siswa-siswa di kelas Rumi-chan sendiri? ‘Kalau aku bicara, mungkin aku akan dikucilkan juga’, jadi aku pikir begini, ‘jadi aku lebih baik pura-pura tidak kenal saja’ atau ‘aku butuh waktu untuk mempersiapkan diriku, dan akhirnya aku seperti itu...Oh tidaaaak! Apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang buruk, benar tidak?! Apa aku baik-baik saja?!”

  Yuigahama seperti bangkit tiba-tiba dari kursinya dan melihat ekspresi semua orang. Tapi tidak ada seorangpun yang menunjukkan ekspresi kaget atau sejenisnya. Semua orang memasang senyum yang kecut seperti berusaha menahan emosi yang sulit untuk dikatakan.

  Yuigahama memang luar biasa. Jika aku seorang gadis, aku yakin kalau aku pasti ingin menjadi temannya.

  “Kau baik-baik saja. Kurasa itu memang karaktermu...” Yukinoshita menjawabnya dengan lembut. Meski suaranya terdengar pelan, tapi kata-kata itu memiliki banyak emosi yang terpendam.

  Yuigahama tampaknya merasa malu dengan kata-kata Yukinoshita, karena itulah wajahnya memerah dan dia hanya terdiam.

  Hiratsuka-sensei tersenyum ketika melihat Yukinoshita dan Yuigahama.

  “Apakah ada yang tidak setuju dengan kesimpulan Yukinoshita tadi?”

  Sensei lalu melihat ke arah kami semua, seperti hendak memastikan ekspresi kami.

  Tapi tidak ada seorangpun yang keberatan. Kalau boleh bilang, aku merasa kalau semua orang seperti tidak bisa mengatakan sesuatu. Mengatakan omong kosong seperti “Seperti yang mau nolong orang aja! Gue balik ke kamar dan tidur aja dah!” akan langsung dieksekusi mati.

  “Baguslah. Sekarang, kuserahkan kepada kalian untuk memikirkan rencananya. Aku mau istirahat dulu.”

  Setelah mengatakan itu, Hiratsuka-sensei menguap dan berdiri meninggalkan tempat duduknya.







x x x







  Beberapa menit setelah itu, topik secara otomatis berubah menjadi bagaimana seandainya Rumi membutuhkan bantuan kita, bagaimana kita akan membantunya.

  Topiknya: “Bagaimana agar Rumi bisa diterima oleh teman-temannya?”

  Miura adalah orang pertama yang berbicara.

  “Ayolaaah, gadis ini cukup cantik, jadi dia tinggal kita suruh bergabung dengan gadis cantik lainnya, benar tidak? Seperti, kita nasehati begini, nasehati begitu, dan mereka akan menjadi teman yang baik baginya. Gampang, bukan?”

  “Yeah. Kalo ginian lu emang terbaik deh, Yumiko!”

  “Heh, benar kan?”

  Wow, Miura, woooow. Barusan itu adalah sebuah logika super darimu. Kau dan sohibmu, Tobe, memang mempercayai itu dengan mudah, dia memang pria plin-plan. Logika yang luar biasa, aku benar-benar mengaguminya.

  “K-Kau bisa menerapkan metode itu jika gadis itu sendiri adalah Yumiko.” Seperti dugaanku, Yuigahama tidak menyetujuinya.

  Tapi, ini menjelaskan banyak hal. Jadi salah satu alasan Miura berteman dengan Yuigahama karena faktor tampilannya. Well, kuakui kalau Yuigahama memiliki tampilan yang enak dilihat. Dan itu artinya dia punya wajah yang cantik. Tapi karena dia itu gadis yang goblok dan sejenis itu, Miura harus hati-hati dan terus mengawasinya.

  “Mungkin maksud Yumiko bukan seperti itu, tapi ide Yumiko itu memang memberikan dasar yang bagus untuk dijadikan salah satu opsi. Tapi, dilihat dari situasinya, mungkin masalah paling dasar dari ini adalah bagaimana membuatnya berbicara.”

  Hayama mencoba membela Miura, sementara di kalimat yang lain menolaknya. Kuakui kemampuan diplomatik miliknya kali ini.

  Ekspresi Miura tiba-tiba berubah kecut.

  “Oh, ya begitu maksudku tadi,” dia mengatakan itu, lalu tidak meneruskan lagi.

  Di sebelahnya, Ebina-san menaikkan tangannya, ekspresinya seperti diliputi rasa percaya diri yang sangat tinggi.

  “Silakan, Hina.” Hayama memanggil sebuah nama.

  Tunggu dulu, siapa Hina? pikirku.

  Totsuka lalu menarik-narik bajuku.

  “Hina itu adalah nama depan Ebina-san. Tulisan namanya punya karakter mirip putri dan brokoli.”

  Ekspresiku yang kebingungan ini mungkin terbaca oleh Totsuka. Embusan napasnya membuat tubuhku geli dan dia punya aroma yang manis. Sialan! Kenapa ada pria yang wanginya seperti bunga?

  Nama lengkap Ebina-san adalah Ebina Hina. Baiklah, Chi akan mengingatnya! Bukannya aku ada perlu dengan nama lengkapnya atau sejenisnya, serius ini.

  Ebina-san lalu mengatakan sesuatu dengan santainya.

  “Kurasa tidak ada masalah dengan gadis itu. Dia akan baik-baik saja asalkan dia menekuni hobinya. Setelah dia menemukan apa yang menjadi hobinya, dia akan menghadiri event yang menarik minatnya dan lingkaran pertemanannya akan bertambah, begitulah? Aku yakin kalau dia suatu saat nanti akan menemukan tempat dimana dia bisa menyebut itu sebagai rumahnya yang sebenarnya. Dia nanti akan sadar kalau sekolah bukanlah satu-satunya tempat di dunia ini. Dan dia akan belajar untuk menikmati hidupnya dengan melakukan hal-hal lainnya.”

  Aku terkejut; pendapatnya itu terdengar jauh lebih baik dari yang kuharapkan. Bagian dimana dia mengatakan kalau sekolah bukanlah satu-satunya tempat di dunia ini memang benar adanya.

  Ketika kau ada di SD dan SMP, duniamu hanya berada di sekitaran sekolah dan rumah saja. Oleh karena itu, ditolak oleh komunitas tempat tersebut serasa dunia akan kiamat saja. Tapi inti kata-kata Ebina-san bukan disitu, yaitu kau harus mencari tempat diluar sekolah dimana kau bisa menjadi dirimu sendiri dan merasa antusias.

  Ah, aku paham. Maksud dia yaitu bergabung dengan komunitas diluar sekolah dimana kau merasa itu sebagai rumah keduamu, dan dari sana duniamu akan berkembang. Plus, dari cara bicaranya, kemungkinan besar Ebina-san mengatakan itu dari pengalamannya sendiri.

  Ebina-san lalu menambahkan.

  “Aku punya banyak teman lewat hobiku yang menyukai kisah para gay! Tidak ada satupun gadis yang membenci queers! Jadi Yukinoshita, bisakah kau menjadi – “

  “Yumiko, pergilah membuat teh bersama Hina,” Hayama langsung memotong.

  Miura langsung berdiri dan menarik lengan Ebina-san.

  “Oki-doki. Ayo, Hina, ayo pergi!”

  “Ahhh! Tapi aku ini sedang berusaha memberinya rekomendasi!”

  Ebina-san masih berusaha, tapi Miura langsung memukul kepalanya dan menyeretnya pergi.

  Yukinoshita hanya melihatnya pergi dengan diam, ekspresinya seperti baru saja melihat sesuatu yang buruk.

  “Kira-kira apa yang hendak dia rekomendasikan tadi...”

  “Yukinon, kau lebih baik tidak tahu apa-apa soal itu...”

  Yuigahama menjawabnya dengan ekspresi cemas. Begitu ya, jadi Ebina-san berusaha mengajaknya menjadi Fujoshi juga.

  Tidak lupa juga, andai saja kau bisa membuat pertemanan karena sesama penyuka karya gay, kau bisa saja bertengkar karena masalah penggemar pasangan A versus pasangan B. Meski sama-sama Fujoshi, masih ada kemungkinan kau akan bertengkar karena masalah-masalah otaku lainnya. Tidak ada yang benar-benar 100% bagus. Dunia hobi merupakan dunia lain dimana akan ada pertempuran lainnya yang sudah menunggumu.

  Setelah itu, beberapa pendapat dikemukakan, tapi tidak ada yang benar-benar memberikan sebuah rencana realistis.

  Tanpa adanya perdebatan, jumlah pendapat yang dikemukakan mulai terlihat sepi. Sumber: kelas yang tidak termotivasi. Kenapa sih mereka hanya terlihat antusias ketika menggosipkanku? Mereka malah terlihat menceritakan banyak sekali hal ketika menggosipkanku, sialan.

  Dalam kesunyian ini, Hayama kemudian mengatakan sesuatu seperti baru saja menyadarinya.

  “...Jika kita tidak memikirkan cara agar mereka semua bisa akrab kembali, kita tidak bisa menyelesaikan akar permasalahannya?” tanya Hayama.

  Secara tidak sengaja, aku tertawa dengan sinis ketika mendengar itu.

  Hayama lalu menatapku dengan tajam.

  Tapi kali ini aku tidak mau memalingkan wajahku hanya karena ini. Dengan penuh percaya diri, aku memasang senyum sinis dan menunjukkan itu ke dirinya.

  Seperti yang kuduga, pria ini tidak paham akar masalahnya.

  Frase “mereka semua bisa akrab” adalah masalah utamanya. Itu adalah sebuah frase yang dikutuk.

  Kata-kata itu merupakan akar permasalahannya. Semacam Geass power di salah satu anime.

  Itu adalah sebuah aturan hukum yang jahat dan hanya dikeluarkan oleh guru-guru yang berpikiran dangkal. Agar semua patuh dengan hukum itu, mereka memaksa sebuah taktik yang bernama “memaksa kedua mata yang buta itu untuk melirik” demi memastikan hukum itu berjalan dengan baik. Begitulah cara mereka menangani sifat-sifat siswanya yang terlihat tidak mainstream dengan siswa lainnya. Kadang, itu juga dipakai untuk menangani siswa yang dibenci. Dalam situasi yang seperti itu, jika kau jujur mengatakan “Aku tidak menyukaimu” atau “Aku tidak ingin melihatmu ada disini” kepada mereka, mungkin situasinya akan berubah. Mereka bisa saja membuka dirinya untuk bernegosiasi dan menemukan solusinya. Tapi akan menjadi mustahil jika kau hanya membesar-besarkan masalahnya dan yang kau bahas hanya permukaan dari masalah tersebut.

  Itu adalah sebuah bukti kalau dia sedang menerapkan “kebijakan yang terdengar baik”. Oleh karena itulah, aku langsung membungkam kata-kata Hayama.

  Tapi aku bukanlah satu-satunya orang yang melakukan itu.

  “Itu mustahil. Tidak ada satupun peluang kalau itu bisa terjadi.”

  Yukinoshita mengatakan kata-kata yang dingin itu, disertai nada yang tegas, menghancurkan opini Hayama lebih baik daripada sikap sinisku barusan.

  Bersama desahan pendeknya, Hayama memalingkan tatapannya.

  Miura, yang memperhatikan adegan ini, mengatakan protesnya.

  “Hei, Yukinoshita-san! Ada apa denganmu?”

  “Apa maksudmu dengan ‘ada apa denganku’?”

  Yukinoshita merespon nada kasar Miura itu dengan tenang.

  Tapi itu hanya membuat Miura semakin emosi.

  “Yang kubicarakan itu ya sikapmu. Semua orang disini sudah capek-capek agar situasi di tempat ini bisa terlihat akrab dan nyaman, kenapa kau malah mengatakan omong kosong seperti itu? Aku benar-benar tidak menyukaimu, tapi aku berusaha agar bisa akrab denganmu karena kegiatan ini harusnya menjadi sebuah perjalanan yang menyenangkan.”

  “Te-Tenanglah, Yumiko.” Yuigahama berusaha menenangkan Miura yang sudah dipenuhi emosi.

  Tapi Yukinoshita, malah terlihat dingin, sedingin mentimun.

  “Oh begitu, aku baru tahu kalau kau mempunyai pendapat yang besar tentang diriku ini. Sayangnya, aku tidak menyukaimu.”

  “Ka-kau juga tenanglah, Yukinon!”

  Yuigahama, yang berada diantara mereka berdua, berusaha menghilangkan api emosi Yukinoshita.

  Beranikan dirimu, Nak! Kau adalah si Pemadam Api cilik!

  Tapi metode normal tidaklah selalu menjadi metode yang tepat untuk memadamkan api yang semacam ini. Dari yang kudengar, menyiramkan air dalam bara api yang ditimbulkan oleh reaksi kimia malah membuat apinya berkobar lebih hebat lagi.

  Dan situasi kali ini, merupakan contoh yang tepat.

  “Heloo, Yui?” Sang Ratu mulai menatapnya dengan tajam.

  “...Kau ada di pihak mana?” tanya Sang Penyihir Es.

  Kau bisa melihat mana yang terkuat jika kau kombinasikan keduanya. Ada apa ini – Medoroa? Bahkan Sang Raja Iblis Vearn akan ketakutan dibuatnya.

  Yuigahama lalu terdiam karena ketakutan, tubuhnya bergetar hebat.

  Ya ampun, menakutkan sekali.

  “Totsuka, teh ini enak sekali. Kira-kira, apa yang dilakukan Zaimokuza saat ini? Apa dia baik-baik saja?”

  “Hachiman, lihat situasinya...”

  Mustahil, ini sangat menakutkan. Jangan paksa diriku.

  Yukinoshita dan Miura terlihat saling menatap satu sama lain. Tapi karena tempat duduk mereka dipisahkan oleh 3 orang, sepertinya situasinya tidak akan memanas lagi, untung saja. Ternyata, memisahkan anak-anak yang sedang bertengkar memang efektif. Karena mereka berada di sudut yang berbeda dan di baris yang sama, kedua pasang mata mereka tidak akan bertemu secara langsung.

    Dari posisinya yang berada di zona perdamaian, Komachi mengatakan sesuatu seperti memiliki ide.

  “Tapi dari yang kulihat, Rumi-chan tampaknya punya sifat yang suka mengatakan apapun secara terang-terangan, jadi meski kita taruh dia di grup gadis lainnya, dia pasti sulit untuk membaur. Apa kalian tidak berpikir kalau ketika dewasa, dia bisa akrab dengan sendirinya bersama gadis-gadis yang memiliki tipe suka show –off”.

  Seperti kata Komachi, Rumi mungkin adalah tipe gadis yang akan menikmati kehidupannya di masa depan kelak. Aku yakin kalau anak laki-laki banyak yang menyukainya ketika dia dewasa nanti, meski hubungannya dengan gadis lainnya tidak pernah membaik. Ada beberapa gadis mungkin akan menyadari itu dan berteman dengannya. Sial, memikirkan itu saja malah membuat darahku serasa mendidih.

  Hayama mengangguk seperti setuju dengan Komachi.

  “Yeah, dia memang memberikan semacam aura yang dingin atau mungkin agak tertutup.”

  “Kenapa kau tidak bilang saja terus terang? Bukankah gadis itu hanya bersikap seolah-olah dirinya gadis level atas? Sikapnya yang seperti itulah yang membuatnya dikucilkan. Mirip dengan seseorang yang kita sama-sama tahu.” Miura menambahkan tawa yang sinis dalam kata-katanya.

  “Kau ternyata memiliki sebuah masalah kebencian,” kata Yukinoshita. Dia sepertinya tidak mengatakan itu kepada Miura saja. “Kau menyadari kalau dirimu kalah, lalu kau merasa kalau dirimu itu dianggap rendah, apa ada yang salah dalam kata-kataku barusan?”

  Miura terlihat kesal.

  “Dengar ya, itu karena kau mengatakan omong kosong semacam itu!” Miura lalu berdiri dari kursinya.

  “Yumiko, hentikan itu!”

  Suara Hayama menghentikan Miura.

  Image dirinya yang suka becanda tiba-tiba hilang, membuat suasana ini menjadi penuh dengan tekanan. Jujur saja, sikap Hayama barusan terasa agak menakutkan...

  “Hayato...Hmph!”

  Untuk sejenak, Miura tampaknya kecewa dengan sikap Hayama, tapi dia langsung terdiam setelahnya. Setelah itu, dia tidak mau mengatakan apapun lagi.

  Sebuah suasana yang suram menyelimuti tempat ini. Pada akhirnya, tidak ada yang mau berbicara lagi, dan diputuskan kalau ini akan dibicarakan lagi besok. Well, kurasa beginilah dunia politik bekerja.


  Meski begitu, kau sebenarnya tahu apa yang terjadi. Bahkan kami, para siswa SMA tidak bisa akrab satu sama lain, dan itu merupakan sebuah contoh nyata bagi kami kalau itu memang terjadi juga di tingkatan siswa SD.





x Chapter IV | END x








  Tobe duduk di depan Miura bukan karena nyaman bisa melihat Miura, tapi karena dari situ dia bisa melihat Ebina dengan jelas. Saya kira ini tidak perlu dijelaskan lagi alasannya.

  ...

  Hachiman gombal bilang dia terbiasa duduk terakhir. Jika memang terbiasa duduk terakhir, maka dia akan membiarkan Hiratsuka-sensei duduk terlebih dahulu. Faktanya, Hachiman duduk duluan, baru setelah itu Hiratsuka-sensei duduk.

  Kesimpulannya, Hachiman sengaja menunggu Totsuka duduk dulu, lalu dia duduk di sebelahnya. Jangan tanya alasannya, kita membahas sesuatu yang gaib disini...

  ...

  Terang saja Yukino mengatakan kalau Hayama hanya bermulut manis soal menolong gadis yang dibully, karena itulah yang terjadi dengannya ketika SD dulu, Hayama tidak mau menolongnya.

  ...

  Jelas saja Hayama mengatakan berniat menolong karena situasi Rumi dan situasi Yukino di masa lalu berbeda. Di masa lalu, Hayama menyukai gosip pacaran dengan Yukino, karena Hayama menyukai Yukino. Menolong Yukino menghilangkan gosip itu sama saja dengan sebuah kerugian. Tapi situasi kali ini, Hayama tidak ada keuntungan ataupun hubungan dengan Rumi, jadi Hayama punya niat untuk membantunya.

  Tapi ini sama saja dengan Hayama mengakui kalau dia dulu memang brengsek ketika ada masalah serupa dengan Yukino.

  Di saat yang sama, ada determinasi yang serius dari Hachiman. Kita bisa melihat pengandaian Hayama di chapter 7 tentang Hachiman satu sekolah akan memiliki efek apa, Yukino pasti akan menyukai Hachiman.

  ...

  Kesimpulan Yukino tentang masalah Rumi, yaitu hanya akan bertindak jika Rumi meminta bantuan, adalah keputusan yang benar. Karena mereka tidak tahu apakah Rumi ini memang benar-benar penyendiri ataukah orang normal yang dikucilkan.

  Ini terjawab di volume 9 chapter 3, Rumi tetap menjadi penyendiri meski Hachiman sudah memberinya peluang untuk berteman lagi di chapter 7.

  Kesimpulannya, Rumi ini memang sejak awal penyendiri. Dia tertekan untuk memiliki teman hanya karena permintaan Ibunya agar mengambil foto-foto Rumi beraktivitas bersama-sama temannya.

  ...

  Teori Yui tentang Rumi mungkin berniat untuk berbicara baik-baik, tapi tidak menemukan momennya. Lalu Yui menjelaskan kalau Rumi mungkin membawa perasaan bersalah itu. Ditambah lagi Yui mengatakan mungkin saja karena takut teman-temannya mengucilkan Rumi karena yang dibahas adalah orang yang dibenci, dan lain-lain.

  Kalau anda jeli, itu sebenarnya adalah kisah Yui di kelas 1 SMA dengan Hachiman. Yui berusaha memberitahu kalau dia benar-benar kesulitan untuk berbicara dengan Hachiman soal kecelakaan itu. Yui merasa dia terus membawa beban bersalah itu selama ini. Karena posisi waktu itu di kelas 1 dia satu grup dengan Sagami, dan Sagami melihat Hachiman sebagai orang rendahan, dia kesulitan untuk jujur soal Hachiman.

  Sebenarnya, Yui berusaha mencari-cari alasan pembelaan atas sikapnya di volume 2 chapter 5. Tapi Yui lupa kalau ada fakta dirinya sendiri berjanji kepada Komachi kalau dia akan menemui Hachiman di sekolah dan berterimakasih secara langsung, vol 1 chapter 6. Artinya, menjelaskan posisinya di kelas 1 SMA bukanlah sebuah pembenaran untuk membohongi Komachi dan Hachiman.

  Sikap Yui juga yang mempertimbangkan image grup/dirinya yang berbicara dengan Hachiman (orang rendahan) hanya memperkuat imagenya sebagai 'nice girl'.

  Dalam chapter 5, Yukino tahu kalau cerita Yui itu berasal dari pengalaman masa lalunya. Kemungkinan besar Yukino tahu kalau itu adalah cerita Yui terhadap situasinya dengan Hachiman di kelas 1 SMA. Tapi, Yukino tidak tahu kalau Yui sudah membuat janji dengan Komachi.

  ...

  Ada sesuatu yang menarik dari Hachiman yang baru tahu kalau nama depan Ebina adalah Hina. Kita semua tahu, Hachiman setiap harinya mencuri dengar pembicaraan grup Miura dan Hayama. Hina adalah nama panggilan Ebina sehari-hari di grupnya. Jadi jika yang diketahui Hachiman hanyalah nama keluarganya, Ebina, patut dicurigai Hachiman memperoleh info itu darimana...

  Bisa saja karena mendengar nama Ebina dari Tobe (Tobe satu-satunya yang memanggil Ebina). Tapi tidak masuk akal jika tidak tahu nama depannya Hina karena Hayama, Miura, dan Yui sering memanggilnya dengan nama "Hina".

  ...

  Monolog Hachiman, mendekati akhir chapter, tentang gadis penyendiri yang ketika dewasa akan terlihat cantik. Lalu akan ada banyak pria yang mendekati gadis itu, sehingga ada beberapa gadis yang memilih untuk berteman dengan gadis yang cantik itu. Lalu tiba-tiba Hachiman menjadi emosi.

  Pertama, kita tahu Hachiman tidak punya teman. Jadi monolog tersebut adalah pengalamannya atau Hachiman melihat langsung kejadiannya. Tidak ada cerita masa lalu Hachiman mengenai gadis penyendiri. Tapi ada cerita saat ini tentang gadis penyendiri.

  Hachiman sendiri mengatakan kalau Rumi ini situasinya mirip Yukino.

  Dengan kata lain, gadis yang ada di monolog Hachiman ini adalah Yukino. Gadis yang memilih berteman dengan Yukino tersebut adalah Yui. Pria yang menyukai gadis penyendiri itu adalah dirinya. Yui mendekati Yukino karena ingin dekat dengan Hachiman. Ini semua terekspos jelas di volume 3 chapter 1, chapter 3, dan chapter 6.

  ...

  Hachiman bohong dengan mengatakan kalau apapun yang terjadi dengan Hayama dan Yukino di masa lalu, bukanlah urusannya.

  Di chapter 5, Hachiman bertanya langsung ke Yukino tentang hubungan Yukino dan Hayama di masa lalu. Itu terjadi karena Hayama mengatakan kalau gadis yang disukainya berinisial Y. Lalu ketika sedang mengipasi api, Hayama hendak membahas sesuatu yang bernama "Yu-".

  Entah apa alasannya, Hachiman jelas melangkahi prinsipnya untuk tidak ikut campur urusan orang lain. Mengapa Hachiman perlu tahu ada apa antara Yukino dan Hayama di masa lalu?


  Sebenarnya Watari sudah memberikan jawaban yang sangat terang benderang di vol 10 chapter 4, ketika Miura bertanya langsung ke Yukino "ada apa dengan Yukino-Hayama" di masa lalu. Itu karena Miura mencintai Hayama. Kalau Hachiman mempertanyakan alasan yang sama dengan Miura, bukankah itu artinya...
  


1 komentar: