Rabu, 01 Juni 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 4 Chapter 4 : Tiba-Tiba, Ebina Hina Memasuki Mode Fujoshi (1/2)


x x x





  Kalau bicara masakan ketika perkemahan, maka kare langsung terlintas di pikiranku.

  Wajar jika seseorang yang bercita-cita untuk menjadi suami rumahan bisa membuat satu atau dua variasi masakan kare. Bahkan, apapun yang mereka masak, akan berakhir menjadi kare tanpa mereka sadari. Terlebih lagi, jika kau memiliki persediaan saus kare yang mencukupi, maka apapun yang akan kau masak akan otomatis menjadi kare. setahuku, dalam dunia kare di Chiba, restoran Sitar merupakan restoran yang terkenal dengan karenya, tapi tahulah karena kita sedang ada di Desa Chiba, mau tidak mau kau harus memasak sendiri. Juga, apa sebelumnya aku lupa memberitahu kalau Restoran Sitar karenya enak?

  Itu artinya, makanan kita di malam hari nanti adalah masakan perkemahan – kare.

  Dibuka dengan demonstrasi dari Hiratsuka-sensei yang mengajarkan bagaimana menyalakan kompor menggunakan arang, yang akan ditiru oleh grup memasak lain di SD ini.

  “Pertama-tama, saya akan contohkan dulu.”

  Tanpa menunggu lama, dia langsung menumpuk arang tersebut. Dia lalu menyelipkan beberapa kertas koran bekas diantara tumpukan itu. Setelah dia menyalakan apinya, koran tersebut terbakar.

  Setelah itu dia mengipasi bara api tersebut, lalu dia tiba-tiba mengambil minyak salad dan menyiramkannya ke api.

  Tiba-tiba api membesar. Tolong jangan tiru ini di rumah; Ini berbahaya.

  Orang-orang di sekitarnya berteriak dan berbisik-bisik. Tapi Hiratsuka-sensei yang tidak peduli malah mengambil rokok entah dari mana dan menaruhnya di mulut, terlihat sebuah senyuman licik di wajahnya. Setelah itu dia mendekatkan wajahnya ke api tersebut, membiarkan rokok tersebut tersulut api, dan menghisap asap rokoknya dalam-dalam.

  Dia lalu menjauh dari lokasi tersebut, dan mengembuskan napas seolah-olah puas dengan aksinya tersebut.

  “Kurang lebih begitu cara melakukannya.”

  “Anda tampaknya sangat terbiasa untuk melakukan ini.”

  Gerakannya cepat dan terlatih, tidak lupa juga dia memanfaatkan minyak salad sebagai triknya.

  Hiratsuka-sensei kemudian menjelaskan sesuatu sambil menatap sesuatu di kejauhan.

  “Heh, aku biasa melakukan ini setiap ada pesta barbeque di Klub Universitas. Ketika aku sibuk mengurusi api arangnya, mereka yang berpasangan malah sibuk bermesraan.”

  Dia malah terlihat kesal. “Sekarang suasana hatiku sedang tidak enak.”

  Hiratsuka-sensei seperti teringat sesuatu akan kenangan buruk di masa lalunya.

  “Siswa laki-laki mempersiapkan apinya, sedang yang perempuan menyiapkan bahan masakannya,” dia mengatakan itu sambil berjalan ke arah para gadis.

  Apa kenangan buruk di masa lalunya itu membuatnya memutuskan untuk memisah anak laki-laki dan para gadis? Apa dia baik-baik saja?

  Hayama, Totsuka, Tobe, dan diriku terlihat hanya berdiam diri saja di tengah-tengah kesibukan para siswa SD tersebut.

  “Kalau begitu, ayo kita bantu mereka?”

  Hayama dan Tobe lalu memakai sarung tangan mereka dan mulai menumpuk arangnya, sementara Totsuka membantu mereka menyelipkan kertas koran di tumpukan itu.

  ...Sial, aku malah belum melakukan apapun.

  Persiapannya sendiri berjalan dengan lancar, dan yang tersisa hanyalah pekerjaan tidak berguna seperti mengipasi apinya.

  Aku sendiri tidak percaya kalau dalam situasi ini aku terlihat seperti orang yang tidak punya hati, berdiri saja dan tidak melakukan apapun. Jujur  saja, aku tidak masalah jika ada Tobe atau Hayama mendatangiku dan berkata “Oke, kuserahkan sisanya padamu”, tapi aku takut jika Totsuka yang mengatakan itu.

  Kuputuskan untuk mengambil sarung tangan, mengambil kipas, dan mengipasi kompor arang tersebut, seperti sedang memasak panggangan belut yang bercampur saos kedelai.

  Pata pata pata.

  “Sepertinya cukup panas disini...” kata Totsuka, seperti hendak memberitahuku.

  “Yeah, sepertinya begitu...”

  Dataran tinggi harusnya terasa sejuk, tapi ini sudah ada di tengah musim panas. Apalagi bekerja disamping nyala api, membuat diriku mulai berkeringat.

  “Aku akan mengambilkan minuman buat semuanya,” kata Totsuka sambil meninggalkan tempat ini.

  Lalu Tobe mengikutinya.

  “Bro, kalau lu mau ambil buat semuanya, gue bantuin ye!”

  Berkebalikan dengan ekspektasiku, dia mungkin adalah pria baik. Atau mungkin itu hanya sikap gentleman saja karena tidak ingin melihat Totsuka yang memiliki lengan kurus itu membawa barang bawaan yang berat.

  Ahem. Silakan temani dia dan selesaikan tugas itu untukku!

  Tapi ini malah menyisakan diriku dan Hayama di tempat ini.

  “...”

  Pata pata pata pata.

  “...”

  Pata pata pata pata.

  Aku mencoba untuk mematikan emosiku dan tidak melakukan apapun kecuali mengipasi bara apinya, tidak memikirkan yang lain. Tidak beberapa lama, aku merasakan kesenangan baru dari melihat api dari arang yang mulai terlihat memerah.

  Hanya saja, kedua mataku mulai basah oleh keringat yang berasal dari panas api dan udara yang panas ini. Ketika aku mencoba menggosok mataku, pandangan mataku bertemu dengan Hayama. Ini artinya dia terus memandangiku sejak tadi.

  Kalau ada Ebina disini, kita bisa mendapatkan masalah besar!

  “...Ada sesuatu?” tanyaku.

  “Oh, tidak ada,” kata Hayama mencoba menjawabnya.

  Kesunyian terjadi.

  Tanpa menghentikan pekerjaanku, aku menatap ke arah Hayama. Itu memancing Hayama untuk membuka mulutnya dan mengatakan itu lagi.

  “Serius ini, tidak ada apa-apa.”

  Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa, begitulah katanya.

  Dia semacam apa sih – kaset rekaman yang rusak? Aku tidak pernah melihat seseorang yang memaksa kalau tidak ada apa-apa dalam pikirannya.

  Ketika aku menunjukkan sikapku yang merasa kesal olehnya, Hayama menaikkan bahunya dan mengatakan sesuatu.

  “...Hikitani-kun, soal Yu – “

  “Maaf membuatmu menunggu, Hachiman.”

  Totsuka menyentuhkan botol plastik minuman dingin ke pipiku, memotong kata-kata Hayama. Akupun kaget karena sensasi dingin tersebut.

  Ketika kulihat, Totsuka memasang ekspresi lugu dan innocent di wajahnya, seperti senang karena bisa menjahiliku. Dia lalu menarik tangannya dengan terburu-buru. Wajahnya yang memerah memang sangat manis. Jika kau bandingkan manisnya dia dengan sesuatu yang berasal dari surga, bisa dibilang dia seperti malaikat yang dari surga.

  Hatiku serasa tidak karuan gara-gara hal ini. Akupun berusaha menenangkan diriku. Setelah kembali ke diriku yang biasanya, aku mengatakan sesuatu.

  “Oh, terima kasih yaaa.”

  Karena aku masih dalam posisi agak terguncang, kata-kata terakhirku terlihat seperti dipanjang-panjangkan. Tobe sendiri terlihat sedang membawa beberapa botol plastik di belakang Totsuka.

  “...Aku akan ambil alih,” Hayama mengatakan itu dengan senyum.

  Karena dia menawarkan sesuatu yang baik, akupun menerima tawarannya dan bertukar posisi. Aku memberikan kepadanya kipas yang kupegang, melepas sarung tanganku, dan menerima botol barley tea dari Totsuka.

  “Oke, kuserahkan padamu.” aku lalu berhenti sejenak. “Ngomong-ngomong, apa yang hendak kau bicarakan sebelumnya?”

  “Kuberitahu nanti.” Hayama terlihat tidak keberatan dan mulai mengipasi api tersebut.

  Pata pata.

  Ya ampun, capek sekali.

  Kuminum barley tea-ku, aku lalu melihat Hayama dari belakang.

  Kira-kira, apa yang hendak dia katakan tadi?

  Well, aku sendiri memiliki dua dugaan. Tapi, aku sendiri masih belum tahu pasti apa yang hendak Hayama tanyakan.

  Aku lalu duduk di bangku yang ada di luar dan meminum tehku, duduk sambil bergaya seperti warga kelas atas di Chiba.

  Dan disitulah momen dimana para gadis kembali ke tempat ini.

  Melihat kami sudah mempersiapkan apinya dan mengawasi bara api tersebut, Miura terlihat senang.

  “Hayato, kau membantu sekali!”

  “Oh, kau benar. Hayato-kun ternyata tipe pria outdoor!” Ebina kemudian menambahkan dengan bersemangat.

  Lalu, mereka melirik ke arahku.

  Kenapa Hikitani terlihat seperti sedang bermalas-malasan? Aku merasakan tatapan mereka seperti mengatakan hal itu.

  Masalahnya adalah situasi kita saat ini, memperlihatkan kalau Hayama seperti “Hayama orangnya baik sekali, selalu mengerjakan kepentingan bersama...teheee”, semacam itulah.

  Kurasa, beginilah cara dunia ini bekerja.

  “Hikki, terima kasih sudah bekerja keras. Ini untukmu.”

  Yuigahama, yang kembali dengan Miura Cs, memberikanku tisu pembersih wajah. Tidak terdengar sebuah sarkasme dalam kata-katanya tadi.

  “Ah, Hachiman, kau benar-benar bekerja keras! Serius, kau benar-benar bekerja,” Totsuka mengatakan itu sambil menempelkan kepalan tangannya di depan dadanya.

  Kalau dipikir-pikir, aku memang terlihat seperti sedang bermalas-malasan jika dari sudut pandang orang yang sekedar lewat tempat ini.

  “Jelas terlihat lah. Hikki, kau terlihat memasang ekspresi serius.” Yuigahama mengatakan itu sambil tertawa.

  Dari belakangnya, Yukinoshita melihat ke arahku.

  “Sebenarnya, itu bisa terlihat dari wajahmu. Berhentilah menggosok-gosok wajahmu dengan sarung tangan itu. Wajahmu menghitam karena bersentuhan dengan sarung tangan arang itu,” dia mengatakan itu seperti melihatku sejak tadi.

  Ah, ternyata aku sudah mengotori wajahku sendiri. Aku mulai paham apa maksud Yuigahama memberiku tisu pembersih wajah, aku lalu mulai membersihkan wajahku dan berterima kasih.

  “...Terima kasih.”

  Meski aku mengatakan kata-kata itu, entah mengapa aku merasa kata-kataku tadi seperti tidak diarahkan ke orang tertentu.








x x x








  Komachi dan Hiratsuka-sensei berjalan ke arah kami, membawa keranjang sayuran. Keduanya tampak sedang membicarakan sesuatu yang menarik. Entah mengapa, aku bisa menebak apa yang mereka bicarakan.

  Sepertinya – diriku. Karena salah satu bakat terpendamku adalah menjadi bahan lelucon kapanpun aku mendengar suara tawa di kelasku, maka dengan mudah aku bisa menebak siapa yang mereka bicarakan. Ya ampun, menjadi pria populer memang sulit!...Sulit sekali.

  Sambil membayangkan apa saja yang mereka bicarakan, aku duduk terdiam dan melihat mereka mendatangiku.

  “Hikigaya, ada apa? Kau tampak suram sekali. Apa pria kutu buku memang benar-benar tidak suka kegiatan outdoor?”

  “Apaan sih dengan istilah pria kutu buku anda...?”

  Yeah, aku memang suka membaca, tapi bukannya aku seperti maniak buku atau sejenisnya.

  “Hei, Komachi, kau cerita apa saja kepadanya?”

  “Huh? Kita hanya membicarakan hal-hal yang pernah kau lakukan kepadaku. Misalnya kau ini kakak yang baik, kakak yang super penolong yang bersedia menunjukkan contoh tulisan tugas musim panasnya di masa lalu demi tugas musim panasku. Ah, pertolonganmu itu memberimu banyak sekali poin Komachi!”

  “Oke. Kurasa aku mulai paham. Kalau tidak salah waktu itu kau merengek-rengek.”

  Tapi apa waktu itu sudah berlaku sistem poinnya? Tunggu dulu, pasti yang dia ceritakan ke Sensei soal isi dari tugas laporanku itu.

  “Meski Komachi sudah mengatakan itu dengan jujur, Onii-chan, kau tetap tidak mengakuinya,” Komachi mengatakan komplainnya.

  Hiratsuka-sensei menatap kami seperti hendak mengelus kening Komachi saja, tapi dia berhenti.

  “Well, sebenarnya kami membicarakan hal-hal diluar itu. Kebanyakan memang tentang cerita kalian berdua. Kita menceritakan tentang pengalaman masa kecil kami.”

  “Waah! Itu, seperti, ketahuan...Itu akan membuat poin Komachi menurun jika dia tahu...” Wajah Komachi tiba-tiba memerah di depanku.

  Dia lalu pura-pura batuk seperti berusaha menarik perhatianku.

  “Ha-Hanya becanda...Apa reaksiku itu berhasil menaikkan poin Komachi?”

  “Kau bodoh sekali...”

  Emosiku hilang entah kemana. Dia terlalu manis untuk dimarahi.

  “Berhentilah mengatakan hal-hal bodoh dan buat karenya dengan cepat. Belum lagi kita harus menanak nasinya.”

  Kalau aku berkumpul dengannya, kita tidak akan selesai-selesai memasak ini. Aku lalu mengambil keranjang sayuran itu dan membawanya ke dapur.

  Meski aku menyebutnya dapur, tapi ini sebenarnya semacam gudang peralatan atau bahan makanan. Kita memakai tempat ini untuk mencuci beras dan menyiapkan makanan.

  Tidak ada banyak variasi dalam bahan-bahan ini. Maksudku, kehidupan sosialku saja punya variasi yang lebih banyak dari ini. Tiga potong daging babi, wortel, bawang, dan kentang. Ini mengingatkanku dengan isi menu kare yang rata-rata disajikan di rumah-rumah keluarga Jepang pada umumnya.

  “Well, kalau dipikir-pikir, kurasa wajar jika anak kelas 6 SD sudah belajar menanak nasi di luar ruangan.” Bahkan Yukinoshita mengatakan sesuatu yang tidak biasanya.

  Sebenarnya, itu tidak akan membuat anak itu lebih baik, tapi memperkenalkan memasak nasi secara dini lebih baik daripada tidak sama sekali.

  “Yeah, kurasa begitu. Kata orang rumahan, kare yang kau buat itu menunjukkan karaktermu. Karena yang dibuat Ibu itu dipenuhi dengan berbagai macam isi, seperti tahu tebal, dan lain-lain.”

  “Hmm, jadi begitukah, huh.”

  Jawaban Yukinoshita terkesan dingin. Maksudku, dia selalu dingin, tapi kali ini dia meresponku seperti tidak tertarik untuk membahasnya lebih jauh.

  “Yeah, begitulah,” kataku. “Seperti masakan mie yang terbuat dari umbi-umbian atau lobak. Kau akan menambahkan banyak sekali bahan di panci agar terlihat ramai.”

  “Yeah, yeah, seperti menaruh pasta ikan di dalamnya atau sejenisnya bro.” Tobe tiba-tiba bergabung dalam pembicaraan.

  “Uh, yeah.” Saking terkejutnya sehingga diriku tidak bisa membalasnya dengan wajar.

  Hei, kau jangan bicara denganku dengan santainya. Kita nanti bisa dikira teman, sial.

  Tapi Tobe bersikap seperti dia tidak peduli akan hal itu, dia mulai mengatakan hal-hal yang tidak jelas seperti “Pasta ikan, seafood bro” dan lain-lain. Mungkin sebenarnya dia itu benar-benar pria baik karena dia benar-benar ingin berkomunikasi denganku dari semua orang yang ada disini.

  Tapi, anggap saja dia itu adalah pria baik, tapi sikapku yang tidak serius menanggapinya juga bukanlah hal yang salah. Karena banyak hal dari diriku yang terlihat salah di mata dunia ini, jadi mungkin ada baiknya aku tidak berbicara lagi dengannya, demi kebaikannya.

  Disampingku, ada Yuigahama yang sedang menggumamkan lagu sambil menguliti kentang dengan alat khusus untuk menguliti kentang. Karena dia tidak menggunakan pisau dapur, dia pastinya pernah mencoba itu sekali dan menyerah.

  “Tapi kita bisa membuat kare seperti yang biasa mamaku buat. Kita hanya perlu menaruh beberapa daun aneh di dalamnya. Maksudku, mungkin saja mamaku itu agak aneh.”

  Ternyata aneh dalam memasak itu berasal dari dia. Tidak salah lagi – ternyata itu semacam penyakit turunan! Kumohon, jangan taruh akar tanaman di kare itu. Kau bisa keracunan solanine!

  “Ah, ini. Daunnya seperti ini,” Yuigahama mengatakan itu sambil menaruh alat pengupasnya, lalu mengambil sebuah daun.

  ...Ah, mungkinkah itu yang mereka sering sebut dengan daun salam? Kurasa itu semacam rempah-rempah populer.

  “Kalau tidak salah, namanya itu adalah daun laurier...” kata Yukinoshita.

  “Apa? Loli?”

  Muncul sebuah ilusi di kepalaku.

  “Eheheh...Daun sudah ada di dalam kare...” – Loli-san (umur 6 tahun).

  Aku harusnya menonton itu di Pixiv ketika sudah pulang ke rumah...

  Ketika aku memikirkan hal itu, Yukinoshita menatapku.

  “Aku katakan ini untuk jaga-jaga saja, tapi daun laurier itu juga terkenal dengan sebutan daun salam. Benar tidak, Lolicon-san?”

  Dia tahu! Apa Nona Yukinoshita ini seorang esper?!

  “Tentu saja aku tahu itu, aku tahu kalau itu daun salam!”

  Tentunya, Yuigahama tampak tidak tahu itu, buktinya, dia malah menarik-narik lenganku.

  “Hei, bukankah laurier itu semacam produk pabrikan?”

  Ternyata kebodohan gadis ini bukanlah turun-temurun. Tapi ini semacam evolusi. Sebuah Warp Digivolution.

 






x x x







  Kami sudah mengerjakan tugas masing-masing, kami juga sudah menyelesaikan persiapan memasak dan mencuci berasnya. Karena semua sudah selesai, maka kita tinggal memasaknya.

  Ketika aku menyiapkan peralatan memasak, mendidihkan air, merebus daging dan sayuran. Aku mendengar Ebina-san mengatakan sesuatu.

  “Wortel ini kok bentuknya mesum sekali, mirip pen – “

  Miura lalu memukul kepalanya. Dia seperti berusaha membenarkan pernyataan Ebina-san dimana tidak ada seorangpun di bumi ini yang berkeinginan untuk membenarkannya, ternyata Miura ini gadis yang baik, benar tidak?

  Tapi heroine yang kasar belakangan ini sedang tidak populer; heroine yang sedang populer saat ini adalah yang pura-pura sedang tidak mempedulikanmu padahal dia sendiri terus-terusan sedang memikirkanmu.

  Setelah menaruh air di panci dan mendidihkannya, aku mengambil dua jenis saus kare dan mencampurnya. Lemak kuahnya akan berasal dari tiga irisan dagin ini, sedang percampurannya dengan saus karenya hanya akan membuatnya terasa gurih. Sekarang, saatnya merebut ini dengan hati-hati. Seperti yang kau duga dari murid yang berpengalaman, ditambah lagi kalau dia adalah seorang juru masak veteran, ini berjalan dengan lancar.

  Ketika kulihat sekitarku, asap dan uap terlihat dimana-mana. Ini adalah sesi masak outdoor pertama bagi siswa SD ini. Aku bisa melihat ada beberapa grup seperti mendapatkan kesulitan dalam aktivitas ini.

  “Kalau kau ada waktu luang, kau mungkin bisa melihat-lihat sekitarmu dan membantu mereka?” kata Hiratsuka-sensei.

  “Saya rasa itu diluar keinginan saya, Sensei,” mereka itu bukan urusanku.

  Meski begitu, mengapa sih para riajuu ini suka sekali mencampuri urusan orang lain? Apa mereka ini semacam baterai atau komponen elektronik yang terhubung dengan sesuatu yang jauh?

  “Well, kau tidak setiap hari bisa berbicara dengan anak SD,” kata Hayama, seperti menyetujui usul itu.

  “Tapi panci disini sudah mendidih.”

  “Yeah. Oleh karena itulah, tugasmu yang tersisa adalah mengawasi yang lain.”

  Itu bukan maksudku ketika aku mengatakan itu...Entah mengapa Sensei selalu mengasumsikan kalau aku pasti akan setuju dengannya. Kalau kau mendengarkan itu dari telinga orang normal, maka dia harusnya tahu kalau aku hendak mengatakan kalau aku tidak mau pergi karena pancinya sudah mendidih, benar tidak? Benar? Itu maksudku. Kenapa itu malah terdengar kalau aku menganggur dan butuh saran harus pergi kemana?

  Kuputuskan untuk tidak menyerah dulu.

  “Saya akan mengawasi tempat ini saja...” kataku.

  “Tidak perlu repot-repot, Hikigaya. Aku yang akan mengawasinya untukmu.”

  Hiratsuka-sensei menunjukkan giginya yang sedang menyeringai kepadaku.

  Sial, jadi begini. Ini semacam pelatihan “Kau harus pergi dari sini demi kebaikanmu, nak!”, benar tidak?

  Seperti memimpin arah rombongan, Hayama mampir ke grup terdekat. Bukannya aku peduli, tapi pria ini bertindak seperti semacam ketua Klub Relawan saja.

  Kami disambut dengan baik oleh para siswa SD tersebut, seperti kemunculan siswa SMA adalah sebuah pemandangan yang langka bagi mereka. Mereka menjelaskan apa yang spesial dari kare mereka, meski belum sepenuhnya selesai, mereka bahkan menceritakan kalau itu adalah resep turun temurun dari nenek mereka, namun dengan rasa yang lebih baik. Well, membuat kare di Jepang memang dibuat dengan harapan memiliki citarasa yang lebih baik dari resep pendahulunya. Kupikir, hasilnya tidak akan terlalu wah, tidak seperti yang mereka ceritakan.

  Hayama dan yang lain dikelilingi para siswa SD dan mereka tampak akrab. Ya, mungkin ini karena mereka punya kualitas riajuu, tapi itu bukanlah satu-satunya alasan disini. Siswa SD biasanya mudah tertarik dengan orang yang terlihat dewasa di dekat mereka. Mereka tidak berpikir terlalu banyak mengenai orang dewasa di sekitar mereka, jadi mereka tidak terlalu memikirkan orang dewasa macam apa yang sedang mereka dekati itu. Sumber: diriku di masa lalu.

  Para siswa SD ini tidak tahu nilai sebenarnya dari uang, pentingnya belajar, dan apa artinya cinta. Semua yang mereka lihat terlihat sebagai hal yang natural dan mereka tidak memikirkan terlalu rumit mereka semua berasal dari mana. Mereka ini berada di level dimana mereka hanya memahami dunia ini di bagian permukaannya saja.

  Masuk SMP dan seterusnya, mereka akan belajar mengenai frustasi, menyesal, dan putus asa. Bahkan mungkin mereka akan menyadari kalau dunia ini bukanlah tempat yang mudah untuk bertahan hidup.

  Di lain pihak, anak SD yang terbuang dari sekitarnya mungkin sudah mempelajari hal ini lebih dini.

  Misalnya, contoh saja, gadis kecil itu. Dia satu-satunya orang yang dibuang dari grupnya, dan sekarang dia hidup dalam bayang-bayang.

  Bagi para siswa SD, seorang gadis yang menghabiskan waktu sendirian mungkin pemandangan yang wajar. Karena itulah, mereka tidak mempedulikannya. Tapi seseorang yang berada di luar komunitas mereka, pasti menyadari hal tersebut.

  “Apa kau suka kare?” tanya Hayama ke Rumi.

  Melihat hal itu, Yukinoshita mendesah dengan lembut – saking lembutnya sehingga kau tidak bisa mendengarnya. Dia memikirkan hal yang sama denganku.

  Aksi Hayama barusan merupakan hal yang patut disayangkan.

  Jika kau hendak memanggil seorang penyendiri, kau harus melakukannya di tempat yang privat atau rahasia. Kau harus meyakinkan mereka kalau tidak ada orang lain yang akan melihat itu.

  Diajak bicara oleh anak SMA, tidak lupa juga kalau dia adalah orang populer dalam keramaian seperti Hayama, membuat keberadaan Rumi menjadi mencolok dari gadis-gadis yang lain, membuat status penyendirinya bertambah parah.

  Sederhananya, ini seperti dipasangkan dengan Gurumu, itu akan membuatmu merasa lebih malu dari sekedar menjadi penyendiri. Simpati mereka membuatmu terluka. Berhentilah bersikap baik kepadaku. Jangan pedulikan aku, sialan!

  Tidak memiliki warna dan tidak terlihat, maka kau tidak akan menerima rasa sakit apapun ketika ditinggal sendiri, meski jika kau dijodohkan dengan gurumu, wajahmu akan terlihat konyol, persis seperti perjaka yang tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis.

  Karena itulah, itu adalah tindakan yang bodoh.

  Misalkan jika Hayama bergerak, mereka di sekitarnya akan mengikutinya. Jika fokus perhatian mereka – si “cowok SMA keren” – menaikkan jarinya ke atas, maka para siswa SD ini akan ikut-ikutan seperti itu.

  Rumi terlihat seperti ditarik ke lampu sorot panggung oleh sikap Hayama tadi. Saat ini, dia menjadi pusat perhatian.

  Seorang penyendiri tiba-tiba menjadi pusat perhatian di sebuah stadion yang dipenuhi oleh suporter. Manisnya, seperti kisah Cinderella. Kalau begitu, maka dia ini adalah Super-Dimension Cinderella. Dia dia akan hidup bahagia selama-lamanya.

  Tentunya, yang terjadi saat ini tidak semanis itu.

  Aku bisa menebak apa yang ada di pikiran para siswa SD ini, pastinya bukan sejenis “Eeek! Rumi-chan mengobrol dengan anak SMA! Kerennya! Tolong jadi temanku juga!”.

  Mungkin lebih tepat jika begini, “Huh? Ngapain anak SMA itu ngobrol dengannya?”, dan dia mulai ditatap oleh banyak anak SD dengan tatapan curiga yang penuh dengan rasa cemburu, emosi. Dia seperti terjepit diantara bebatuan di sebuah tempat yang berbahaya.

  Dengan begitu, situasi Rumi saat ini terlihat sangat sulit.

 





x x x






  Tidak peduli apa responnya terhadap pertanyaan Hayama, sebuah perasaan tidak nyaman terus tercipta. Jika dia menjawabnya dengan hangat, mereka akan berkata, “Dia Ge-eR!” dan dia menjawabnya dingin, mereka akan bilang, “Ada apa dengannya? Sombong sekali!”. Apapun jawabannya, dia tidak akan lolos dari penilaian negatif.

  Wajah Rumi menunjukkan keterkejutan ketika Hayama berbicara dengannya, tapi –

  “...Tidak juga. Kare bukan makanan kesukaanku,” dia menjawabnya dengan ketus, dingin, sebelum pergi dari panggung yang dipenuhi lampu sorot itu.

  Dalam situasi ini, strategi mundur merupakan satu-satunya opsi. Dia tidak punya kartu-kartu yang bisa dimainkan lagi.

  Rumi sebisanya pergi dari tatapan mata manusia. Dia lalu pergi menjauh dari lokasi kerumunan manusia – begitulah, dia pergi ke tempat dimana disitu ada diriku. Kebetulan juga, Yukinoshita berusaha menjaga jaraknya dariku, meski dia sedari tadi ada di samping pagar bersamaku.

  Seorang penyendiri level tinggi memiliki area pribadi yang luas, tidak lupa juga kalau Yukinoshita punya aura kuat yang bisa membuat orang-orang takut mendekat. Mungkin kau bisa menyebut itu sebagai sebuah sifat aslinya. Itu semacam, sebuah hal yang luar biasa. Mengapa aku baru saja mengatakan itu seakan-akan itu hal yang dramatis? Itu hanyalah sebuah fakta sederhana!

  Rumi berdiri 3 meter dari posisiku, berdiri diantara Yukinoshita dan diriku. Dia mengambil jarak yang cukup dimana dia bisa melihat diriku dan Yukinoshita.

  Hayama terus melihat Rumi dengan disertai senyum, namun tidak lama kemudian dia kembali bergabung bersama para siswa SD lainnya.

  “Oke, kalian semua, kalian sudah bekerja dengan keras, jadi ini adalah saat yang tepat untuk membumbuinya! Apa ada yang punya usul mau memasukkan apa?” tanya dia. Suaranya sangat ceria dan mempesona, membuat perhatian semua orang mengarah kepadanya.

  Karena sikapnya, semua tatapan yang diarahkan ke Rumi sudah menghilang.

  Para siswa SD menaikkan tangannya dan berteriak-teriak, mengatakan kopi, capsicum, coklat, dan sejenis itu.

  “Yeeeep! Kupikir buah-buahan akan bagus! Seperti cherry atau sejenisnya!”

  Oh, ngomong-ngomong, yang barusan itu Yuigahama. Apa-apaan dirinya barusan, mengapa dia ikut-kutan...? Seperti yang kau duga, ekspresi Hayama tiba-tiba dibuat kecut olehnya.

  Tidak hanya dia berpartisipasi dalam permainan anak kecil, usulannya barusan jelas-jelas menandakan kalau dia punya kemampuan memasak yang paling menyedihkan diantara para siswa SD tersebut.

  Setelah kembali ke dirinya, Hayama mengatakan sesuatu. Apapun itu, membuat bahu Yuigahama menurun dan dia mulai meninggalkan itu dan berjalan menuju tempat kami. Sepertinya, dia merasa kalau ada disana maka seperti pengganggu saja.

  “Mereka kumpulan orang-orang bodoh...” kataku.

  Kesunyian melanda, lalu ada sebuah suara yang muncul.

  “Jujur saja, mereka itu terlihat seperti orang-orang bodoh...” Tsurumi Rumi mengatakan sesuatu yang terdengar dingin di telingaku.

  Oke, kuputuskan namanya harusnya dipanggil Rumi Rumi. Apa dia dari Nadesico?

  “Well, mayoritas orang-orang memang seperti itu. Baguslah kalau kau sadar lebih cepat,” kataku.

  Rumi melihat ke arahku, wajahnya dipenuhi tanda tanya. Tatapannya seperti mengatakan kalau dia baru menyadari kehadiranku, ini membuat diriku kurang nyaman.

  Melihat bagaimana cara Rumi melihatku, Yukinoshita mengatakan sesuatu.

  “Bukankah kau sendiri juga bagian dari mayoritas itu?”

  “Jangan meremehkanku. Aku ini punya bakat hebat untuk menjadi penyendiri, bahkan jika aku ini bagian dari mayoritas.”

  “Bagaimana bisa kau komplain dan memperpanjang masalah seperti itu. Kau benar-benar diluar ekspektasiku. Kau mungkin pantas dicemooh, bukan dipertanyakan lagi.”

  “Bukankah kau harusnya menghormati seseorang jika mereka sudah melebihi ekspektasimu...?”

  Rumi hanya mendengarkan percakapan kami dengan diam, tidak satupun senyum muncul dari wajahnya.

  Dia lalu mendekati kami, dan mengatakan sesuatu.

  “Nama?”

  “Huh? Memangnya ada apa dengan nama?” tanyaku, aku tidak paham maksudnya.

  Meresponku, Rumi mengulangi lagi kata-katanya seperti hendak menjelaskan sesuatu.

  “Aku menanyakan namamu. Kau harusnya menterjemahkan pertanyaanku seperti itu.”

  “...Kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu dulu sebelum meminta orang lain untuk memperkenalkan dirinya?” Yukinoshita menatapnya dengan tajam.

  Sayangnya, itu bukanlah tatapannya yang paling menakutkan.

  Dia menatapnya – atau, mungkin lebih akurat – tatapan kematian. Tampaknya dia tidak mempedulikan kalau dia sedang berbicara dengan anak kecil. Biasanya, Yukinoshita memasang ekspresi yang lebih lembut. Mungkin dia tidak begitu suka anak kecil.

  Tatapannya itu membuat Rumi ketakutan, dia mulai terlihat kurang nyaman.

  “...Tsurumi Rumi.”

  Meski dia mengatakan itu dengan pelan, aku tidak merasa kalau aku tidak mendengarnya. Yukinoshita juga sama sepertiku, sepertinya begitu. Setelah dia mendengar nama Rumi disebutkan, dia mengangguk.

  “Aku Yukinoshita Yukino. Pria ini adalah...Hiki...Hikiga...Hikifroggaya-kun, benar tidak?”

  “Hei, kau tahu dari mana julukanku waktu kelas 4 SD? Sampai lulus SD mereka terus memanggilku Froggy...”

  Entah mengapa, kupikir mereka waktu itu sudah malas memanggilku dengan nama asliku dan mulai memperlakukanku seperti semacam amfibi.

  “Aku Hikigaya Hachiman.”

  Karena aku tidak mau disebut Hikifroggaya-san oleh anak SD, aku memperkenalkan diriku dengan baik. “Kalau itu, Yuigahama Yui.”

  Akupun menunjuk ke arah Yuigahama, yang sudah berjalan ke arah kami dan berada di posisi yang cukup dekat.

  “Apa? Kau memanggilku?” Yuigahama melihat kami bertiga dan berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi.

  “Oh, benar, benar. Aku Yuigahama Yui. Kalau tidak salah, Tsurumi Rumi-chan? Senang bertemu denganmu.”

  Tapi Rumi hanya mengangguk saja mendengar perkenalan dari Yuigahama. Dia tidak mau menatap matanya. Dia hanay melihat ke arah kakinya saja, dan ragu-ragu hendak mengatakan sesuatunya.

  “Entah mengapa, aku merasa kalau kalian berdua berbeda dari mereka.”

  Aku sendiri tidak tahu siapa yang dia sebut karena kata-katanya sangat abu-abu, tapi kurasa dia merujuk ke kami berdua – Yukinoshita dan diriku – merupakan tipe manusia yang berbeda dari mereka yang disana, alias Hayama dan gerombolannya.

  Well, kami berdua memang berbeda. Coba kau lihat kumpulan orang-orang yang dia sebut dengan “mereka” disana, mereka tampak sedang menikmati hidup mereka dalam sebuah pertunjukan “membuat kare spesial”.

  “Aku juga berbeda. Dari mereka yang disana.” kata Rumi, seperti mengkonfirmasi sesuatu tentang dirinya.

  Wajah Yuigahama tiba-tiba dipenuhi rasa penasaran. “Apa maksudmu dengan berbeda?”

  “Semua orang di sekitarku hanyalah bocah-bocah. Well, bukannya aku merasa lebih baik dari mereka. Jadi aku tidak mau melakukan hal-hal yang tidak berguna. Kurasa sendirian memang terdengar lebih baik.”

  “Ta-Tapi.” Yuigahama tampak kehilangan kata-katanya. “Kupikir kenangan ketika SD bersama teman-temanmu adalah hal yang penting.”

  “Aku tidak butuh sesuatu seperti kenang-kenangan...Ketika aku sudah masuk SMP, aku bisa berteman dengan orang-orang dari sekolah yang lain.”

  Dia mengatakan itu sambil menatap ke atas, menatap langit. Matahari mulai terbenam, dan langit yang berwarna kemerahan mulai berubah menjadi gelap. Aku mulai melihat beberapa bintang di atas sana.

  Tatapan mata Rumi terlihat menyedihkan, tapi di saat yang bersamaan, mereka memancarkan sebuah harapan yang indah.

  Tsurumi Rumi masih mempercayai; dia masih mengharap. Dia masih berharap kalau masa depannya akan lebih baik ketika memasuki lingkungan yang baru.

  Meski begitu, harapan itu langsung sirna.

  “Maaf kalau aku lancang, tapi kurasa itu tidak akan terjadi.”

  Orang yang mengatakan itu begitu saja adalah Yukinoshita Yukino.

  Rumi mulai melihat ke arahnya.

  Yukinoshita lalu menatapnya.

  “Orang-orang yang satu SD denganmu akan masuk ke SMP yang sama denganmu. Dengan begitu, sejarah hanya akan berulang kembali,” dia mengatakan itu dengan dingin, tanpa memilih kata-katanya. “Selanjutnya, orang-orang baru dari sekolah lain malah akan bergabung dengan orang-orang lama tersebut.”

  Bagi mereka yang lulus dari SD terdekat dan masuk ke SMP di sekitarnya, hubungan antar siswa masih akan terasa hingga mereka berkembang dengan sendirinya. Artinya kau akan membawa beban-beban masa lalumu ketika SD dulu. Meski kau berniat membuat teman baru, hutang-hutang di masa lalu seperti sedang berdiri di depanmu dan siap menghadangmu.

  Info tentang masa lalumu akan tersebar, mulai dari cerita lucu dan candaan-candaan tentangmu. Sekali dirimu hanya dianggap sebagai bahan candaan saja bagi mereka, maka riwayatmu sudah dipastikan tamat.

  Tidak ada yang mengatakan satupun kata.

  Aku sendiri tidak bisa menyangkalnya. Tidak hanya diriku, Yuigahama juga terlihat diam dan tidak nyaman. Rumi sendiri tidak memiliki satupun kata untuk dikatakan, tidak satupun.

  “Aku yakin kau sendiri tahu itu, benar tidak?” kata Yukinoshita, seperti mengirimkan serangan pamungkas kepadanya.

  Lalu, dia kemudian mencoba mengintip ekspresi wajah Rumi, dia kemudian berusaha menggigit bibirnya sendiri, seperti sedang mempertahankan sesuatu.

  Mungkin, mungkinkah...Ekspresi Rumi ini mengingatkan Yukinoshita tentang dirinya sendiri di masa lalu.

  “Aku sudah tahu itu...” sebuah kata-kata yang pelan, muncul dari mulut Rumi, lalu dia menggumam. “Aku benar-benar sudah melakukan sesuatu yang bodoh.”

  “Memangnya kenapa?” tanya Yuigahama.

  “Orang-orang dijauhi oleh grup beberapa kali...Tapi tidak lama kemudian kita berbicara kembali satu sama lain – seperti sebuah loop yang tanpa henti. Seseorang tiba-tiba mengatakan sesuatu, dan semua orang mengikuti idenya.”

  Rumi mengatakan itu dengan dingin, tapi aku merasakan sebuah kenangan buruk dari kata-katanya itu. Ada apa dengan ceritanya itu? Menakutkan sekali.

  “Lalu, salah satu dari gadis yang populer dan sering terlihat akrab tiba-tiba dijauhi, dan aku juga ikut-ikutan menjauhinya juga...Tapi, tiba-tiba aku malah dijauhi juga. Padahal, aku sendiri tidak melakukan sesuatu yang salah.”

  Aku yakin itu terdengar sebagai ide yang bagus waktu itu. Tidak, sepertinya orang-orang yang melakukan itu memang tidak memiliki alasan yang jelas. Mereka hanya merasa kalau itu perlu dilakukan saja, tidak ada yang lain.

  “Mungkin karena aku terlalu sering bercerita tentang gadis tersebut.”

  Teman kemarin bisa saja membuat rahasiamu terdengar seperti sebuah candaan di kemudian hari, hanya demi menjadi materi candaan.

  Kalau kau siswa kelas 6 SD, kau mungkin punya orang yang kau suka. Kau pasti akan menceritakan itu ke seseorang tentang perasaan yang tidak bisa kau bendung itu. Tapi karena itu seperti sebuah cerita yang memalukan, maka kau menceritakan itu ke seseorang yang kau percayai dalam sebuah sesi curhat. Entah mengapa orang-orang bisa menyebarkan gosip itu setelah mengatakan, “Aku pasti akan menjaga rahasiamu!” Apa mereka semacam Klub Dachou atau sejenisnya?

  Mungkin saat ini aku bisa membicarakan hal-hal seperti itu sambil tertawa keras-keras, tapi jika aku masih kelas 6 SD, kurasa yang terasa hanyalah rasa sakit yang luar biasa.

  Jika kau merasa kalau kau sudah mempercayakan sesuatu ke seseorang dan percaya kalau rahasiamu akan terjaga, percayalah kalau itu akan menjadi senjata makan tuan, cepat atau lambat.

  Tidak ada satupun orang jahat di dunia ini. Dalam keadaan normal, semua orang itu kurang lebih orang yang baik, atau setidaknya, bersikap wajar. Tapi ketika kau desak mereka, mereka bisa berubah secara tiba-tiba. Itulah yang menakutkan dari manusia. Terus hidup dengan orang lain dengan dengan diliputi rasa curiga terhadap sesamanya.

  Entah kenapa, quote itu muncul di pikiranku.

  Mereka sebenarnya bukanlah orang jahat. Semua orang tahu itu, termasuk diriku. Aku tidak pernah meragukan itu.

  Meski begitu, orang-orang tidak akan segan untuk mencakar orang lain jika mereka merasa akan memperoleh keuntungan dari itu.

  Manusia akan mencari-cari alasan yang rasional untuk membenarkan tindakan mereka yang jahat; dimana mereka seharusnya tidak menjadi orang jahat. Agar diri mereka tidak terlihat buruk, mereka mengubah dunia ini menjadi seburuk mereka.

  Seseorang yang kau puji “keren” kemarin, bisa saja menjadi “sombong” hari ini; seseorang yang kau hormati karena “pintar dan cerdas” sekarang menjadi seseorang yang “meremehkan orang lain”, dan “orang yang ceria” menjadi “Mengganggu dan lebay”.

  Agar mereka bisa melakukan kejahatan di dunia yang buruk ini, mereka mengatasnamakan tindakan mereka atas dasar keadilan. Karena mereka tidak bisa melakukannya sendirian, mereka membentuk grup dengan sesamanya. Mereka membicarakan tentang betapa jahatnya seseorang atau betapa berdosanya dia seperti sebuah hal yang sangat penting, dan mereka langsung memvonis orang itu tanpa mempertimbangkan rasa keadilan baginya. Mereka adalah kumpulan orang-orang yang hanya membesar-besarkan masalah.

  Kalau mereka bukan kumpulan penipu, lalu apa?

  Dalam dunia tertutup mereka, kau akan terus dihantui kekhawatiran kalau kaulah yang akan jadi korban selanjutnya. Jadi sebelum itu terjadi, kau harus menemukan kambing hitam yang lain.

  Lingkaran mereka terus berputar, tiada akhir.

  Jadi apa maksudnya dengan membangun sebuah persahabatan jika itu artinya kau akan dikorbankan demi kepentingan orang lain?

  “Apa hal-hal semacam ini...Akan terjadi lagi di SMP...” Rumi mengatakan itu sambil menangis, suaranya terdengar tergetar hebat.

  Sebuah tangisan terdengar, seakan-akan dirinya sedang tenggelam dalam sesuatu. Aku sendiri berdiri kurang dari 10 meter darinya, tapi dari apa yang kulihat, aku seperti melihat dirinya tenggelam di sebuah tempat yang antah-berantah, tempat yang jauh dari dunia manusia.






x Chapter IV Part I | END x






  Apa yang hendak ditanyakan Hayama dan ada awalan "Yu"? Hachiman mengatakan ada dua dugaan tentang hal itu. Mari kita telaah lagi, "Yu-" ini, ada 3 nama yang memakai awalan itu. Mari kita telusuri cara Hayama memanggil orang-orang di sekitarnya. Yumiko untuk Miura, Yui, dan Yukinoshita untuk Yukino.

  Lalu kita lihat orang yang ditanya, Hikigaya Hachiman. Apakah mungkin Hayama akan bertanya tentang Miura kepada Hachiman? Miura kita coret dari daftar.

  Jadi, dua dugaan Hachiman itu adalah Yui dan Yukino.

  Di chapter 5, Hachiman bertanya langsung ke Yukino apakah ada sesuatu antara dirinya dan Hayama. Sedang sampai volume 11, Hachiman tidak pernah bertanya hal serupa ke Yui.

  Di volume 10, Hayama diketahui ternyata selama ini memanfaatkan Miura untuk kepentingan pribadi. Memiliki hubungan khusus dengan member grup Miura merupakan sebuah kesalahan besar. Artinya, Yui pasti bukan orang yang hendak Hayama bahas disini.

  Fakta bahwa ketika Hayama mengatakan gadis inisial Y membuat Hachiman menjadi gusar, Hachiman merasa terganggu dengan gosip Hayama - Yukino, Hayama juga mengakui kalau Hachiman sudah merubah Yukino...Kemungkinan besar Hayama di chapter ini hendak membicarakan kedekatan Hachiman dan Yukino.

  Mengapa saya mengatakan kedekatan? Karena di vol 4 chapter 7, Hayama menyebut Haruno tanpa mempertanyakan apakah Hachiman mengenalnya, artinya Hayama yakin Hachiman kenal Haruno. Hachiman hanya sekali bertemu Haruno dalam rentang volume 1-4, yaitu ketika kencan dengan Yukino di LalaPort.

  Sederhananya, Haruno memberitahu Hayama kalau dia bertemu Yukino sedang kencan dengan Hachiman di Lalaport. Hayama kemungkinan besar ingin mengkonfirmasi itu. Kalau anda tanya tebakan saya soal kata-kata Hayama, mungkin begini:

  "Hikitani-kun, soal Yukinoshita-san, kata Haruno-san dia pernah bertemu kalian berdua di Lalaport awal Juni lalu."

  ...

  Jelas saja Yukino merasa tertekan ketika Hachiman membahas "Campuran kare menunjukkan karakter orangnya". Jika kare dalam keluarga Yukino dimasak oleh Ibunya, mungkin Yukino bisa mengambil kesimpulan seperti apa karakter Ibunya. Atau bisa juga masakan kare di rumahnya dimasak oleh koki, sehingga dia tidak benar-benar tahu bagaimana kehangatan seorang Ibu seharusnya.

  ...

  Heroine yang kasar tidak populer. Lalu yang populer adalah heroine yang pura-pura tidak peduli, tapi sebenarnya sangat peduli. Dengan kata lain, heroinenya tsundere. Hachiman menyukai gadis tsundere. Lalu di review Watari tentang Zoku, Watari mengatakan kalau Yukino heroinenya. Kebetulan juga, Yukino tsundere. Ya silakan anda ambil kesimpulan sendiri...

  ...

  Dugaan Hachiman kalau nasib Rumi ini mengingatkan Yukino tentang masa lalunya di SD adalah benar adanya. Buktinya, Yukino memuji Hachiman setelah tindakannya di acara jerit malam. Bagi Yukino, Hachiman ini adalah pahlawan yang harusnya muncul ketika dirinya SD dulu.

  Ini cocok dengan pertanyaan Hayama jika seandainya Hachiman dulu satu SD dengannya, dimana dia pasti akan satu SD dengan Yukino. Kemungkinan besar Yukino akan akrab dengan Hachiman, tidak dengan Hayama.

  Tapi pengandaian ini sedikit tricky, karena saat ini Hachiman juga satu sekolah dengan Hayama dan Yukino. Jika benar Hayama hendak bertanya soal Yukino-Hachiman di LalaPort tempo hari, maka Hayama sebenarnya cemburu dengan Hachiman-Yukino.

  ...

  "Jadi apa maksudnya dengan membangun sebuah persahabatan jika itu artinya kau akan dikorbankan demi kepentingan orang lain?"

  Monolog Hachiman di akhir artikel, sebenarnya contoh bagus sudah hadir di volume 3 chapter 1. Yui mengatakan dirinya berteman dengan Yukino, tapi mengkhianati persahabatannya hanya karena Hachiman tahu perasaan Yui.

  ...

  Anggapan Hachiman tentang Yukino tidak suka anak kecil itu pupus di volume 11 chapter 5, ketika Yukino menangani Keika yang masih TK.

  Kemungkinan besar, Yukino bersikap tegas ke Rumi karena Rumi itu adalah cerminan dirinya di masa lalu.

  ...

1 komentar: