x x x
Apa yang terus kau lakukan, tapi tidak
pernah ada habisnya?
Kerja.
Aku menatap PC dengan
tatapan kosong sementara kepalaku bermain-main dengan pertanyaan itu.
Sejak kapan
aku mendapat pekerjaan untuk menjadi notulis rapat? Yang harus mengerjakan itu,
kalau tidak salah, si kelas tiga yang menjadi pimpinan asisten arsip.
“Asisten
arsip. Kita belum menerima notulen yang minggu lalu.”
Kata-kata
dari sang wakil ketua yang hebat memulai semuanya.
Siapa yang
bertanggung jawab? Pimpinan tidak hadir? Kalau di bawahnya lagi? Juga tidak
hadir? Oke, dibawahnya. Dibawahnya. Dibawahnya...
Dan
sampailah ke diriku.
Ketika
kukatakan ‘akan kukerjakan’, aku mulai menggerutu “fuhi”.
Aku tidak
ingat satupun hal tentang rapat minggu lalu. Sambil mengarang bebas, aku
gunakan kata-kata “sedang dalam pengerjaan”, “sesuai yang direncakan”, “dikerjakan
sesuai rencana”, “Menyelesaikan berbagai macam rencana”, dan begitulah, kuisi
dengan yang semacam itu sampai selesai. Bukanlah masalah besar, karena yang
bertanggung jawab nanti adalah pimpinannya. Itulah gunanya dia ada.
Setelah
beberapa improvisasi ditambahkan, aku meminum teh yang kutuangkan sendiri tadi.
Tampaknya aku melakukan banyak kemajuan
karena suasananya terasa lebih sunyi dari biasanya...Aku memikirkannya
sambil melirik ke arah ruang rapat.
Orang-orang
yang sedang bekerja kuhitung tidak sampai dua puluh. Tidak lupa kalau 5 orang
diantaranya adalah pengurus OSIS. Banyak perwakilan dari kelas yang menjadi
panitia festival, dimana diwakilkan dua orang per kelas dari total 30 kelas,
tidak ada disini.
Dalam grup
tersebut, orang yang terlihat mengerjakan banyak sekali pekerjaan adalah
Yukinoshita. Karena Haruno-san tidak ada hari ini, dia terlihat mengerjakan
pekerjaannya tanpa ada masalah.
Yukinoshita
terlihat bekerja sangat keras dan lebih lama dari sebelumnya, tampaknya itu
bermula sejak kejadian dengan Haruno-san tempo hari.
Ada pula
beberapa hal sepele yang menambah pekerjaan kita.
Partisipasi
Haruno-san bersama teman-temannya tampaknya memicu organisasi lain untuk
berpartisipasi juga. Dan itu berarti kita butuh usaha ekstra untuk menangani
mereka.
Karena
personel yang kurang, pekerjaan yang ada tidak bisa tertangani sepenuhnya. Tapi
dibantu para pengurus OSIS dan kemampuan Yukinoshita, tidak lupa juga, kadang
mampir ke sini membantu menyelesaikan pekerjaan, kemampuan dari Haruno-san,
membuat kita masih mampu untuk menanganinya.
Ketika
beristirahat sejenak sekedar menarik napasku, aku melihat ke sekitarku, dan ada
seseorang yang melakukan hal serupa denganku.
Dia adalah
Meguri-senpai. Ketika kedua mata kami bertemu, dia sepertinya hendak mengajakku
bicara.
“Ah, umm...”
Tampaknya
dia kesulitan memanggil namaku, tapi kuputuskan untuk memulainya lebih dulu,
karena dia mulai memanggil namaku lagi dengan lembut.
“Maaf ya,
siapa namamu lagi?”
“Terima
kasih atas kerja kerasnya.”
“Uh huh.
Benar, kau juga,”
Meguri-senpai tersenyum. Dari ekspresinya saja terlihat kalau dia
kelelahan. Tapi dengan peningkatan beban kerja yang kami dapat disini, itu
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.
“Apa cuma
perasaanku atau bagaimana, orang-orang disini setiap harinya terlihat lebih
sedikit dari sebelumnya?”
“...Yeah,
tampaknya mereka sibuk dengan hal-hal lainnya.”
Ruang
konferensi ini, terlihat lenggang, terasa lebih luas daripada sebelumnya.
“Ta-tapi aku
yakin besok pasti akan datang lebih banyak lagi!”
Meguri-senpai mengatakannya, tapi sayangnya, itu sulit terjadi.
Apapun yang
terjadi, orang yang datang pasti akan sedikit dan lebih sedikit lagi. Sekali
mereka sadar kalau tidak ada satupun hukuman kalau tidak hadir, maka mereka
akan menganggap remeh absensi mereka.
Itu adalah
sebuah pola pikir yang dinamakan teori ‘broken window’.
Di sebuah
kota dimana ada gedung dengan jendela yang rusak. Ketika gedung ditinggalkan,
itu akan memicu sikap apatis, dan akan menurunkan moralitas serta memperkuat
adanya tindakan kriminal di sekitarnya, atau semacam itulah teorinya.
Secara
insting, manusia akan selalu memilih jalan yang termudah baginya.
Para panitia
yang ada disinipun tidak semuanya yang memang berniat untuk kerja. Mungkin ada
beberapa orang yang melawan nuraninya dan tetap hadir disini.
Yang membuat
mereka tetap bekerja karena mereka punya tanggung jawab yang ‘semua orang
melakukannya’ dan itu menyakitkan bagi hati mereka. Jika kau hapus pemahaman
itu ataupun menahan motivasi itu menyentuh dasar hatimu, kau pasti tidak akan
datang.
Itu karena terasa lebih mudah untuk mencari
alasan untuk tidak melakukannya daripada mencari alasan untuk melakukannya.
Semua orang memakai
semua pengalaman mereka sebagai alasan. Belajar atau sedang diet; apapun itu.
Entah cuacanya, entah suhunya, entah moodnya; apapun yang bisa digunakan untuk
tidak hadir.
Kadangkala,
sebuah tindakan tegas perlu diambil.
Itu adalah
sesuatu yang Meguri-senpai sadari juga.
Tapi tidak
ada yang tahu tindakan tegas apa yang harus diambil. Lagipula, si Ibu Ketua
sendiri tidak hadir dan hanya ada wakilnya yang ternyata lebih mampu darinya
disini.
Meguri-senpai dan diriku hanya terdiam, menikmati teh kita.
Meskipun aku
menikmati waktu minum teh ini (tentunya, dalam sunyi) dengan Meguri-senpai, aku
tidak bisa istirahat terus-terusan seperti ini.
Dengan
aktivitas persiapan Festival Budaya yang semakin intens, jumlah pekerjaan terus
menumpuk dan menumpuk.
Pintu ruang
rapat terdengar diketuk beberapa kali.
Tampaknya,
bunyi ketukan itu berasal dari seseorang yang membawa pekerjaan kesini.
“Silakan
masuk!”
Meguri-senpai
mengatakan itu karena tidak ada yang mengatakannya sejak tadi.
Dengan suara
“Permisi”, seseorang masuk ke ruangan ini.
Orang yang
mengetuk pintu tersebut adalah Hayama Hayato.
x
x x
“Saya ingin
menyerahkan formulir sukarelawan...”
Hayama
menanyakan itu setelah melihat ke arah Yukinoshita.
“Formulirnya
taruh di sebelah kanan.”
Terus
menulis sambil menjawab pelanggan mungkin 0 poin dalam industri service, tapi
ini adalah Yukinoshita, jadi sudah bisa diprediksi akan begitu. Mengetahui hal
itu, Hayama mengatakan “terima kasih” sambil menaruh formulirnya.
Hayama
harusnya sudah menyelesaikan urusannya disini, tapi dia masih disini, aneh
sekali. Bahkan, dia mendekatiku.
“...Orang-orang
disini kok sedikit sekali?”
“Yeah,
seperti itulah.”
“Oh...”. Hayama
menggaruk-garuk rambutnya seperti ragu. Apaan
sih, ada yang mengganggumu, ngomong aja. Entah mengapa, seperti biasanya,
ketika dia ada di dekatku, aku merasa sangat terganggu...
“...Jadi,
apa kau ada perlu sesuatu?”
Aku langsung
bertanya kepadanya agar ini cepat selesai.
Dia lalu
tersenyum.
“Nah,
sebenarnya tidak ada. Hanya menunggu formulirku diperiksa. Mereka sedang
melihatnya untuk memeriksa apakah ada kesalahan.”
Kalau itu gue tahu cok...
Tapi ngapain lu deket-deket gue...?
Itulah yang kupikirkan, tapi yang kutangkap adalah dia sepertinya sengaja
begitu. Aku tidak tahu mengapa, tapi ini membuat kita terlihat seperti sebuah
grup pertemanan, terutama ketika tidak ada pekerjaan. Mereka biasanya mendekat
ke orang yang mereka anggap akrab. Kalau aku bisa membuat mereka terlihat
seperti anak anjing, kurasa aku tidak akan merasa terganggu seperti ini.
Setelah itu,
beberapa pengunjung masuk dan keluar ruangan ini.
Tidak hanya
sukarelawan pengisi acara saja yang harus mengambil dan mengisi formulir;
penampilan tiap kelas dan klub juga harus melakukan itu. Masalah sukarelawan
masuk ke daerah seksi managemen sukarelawan, itu juga termasuk membicarakan
slot waktu dan perlengkapannya. Tapi untuk sisanya, masalah konsumsi atau
sejenis diserahkan ke divisi kesehatan. Sementara, para pimpinannya mereview
dan menerima formulir itu.
Hari ini,
kulihat banyak sekali pengunjung, mungkin karena deadline penyerahan formulir
sudah dekat. Karena timing waktunya, banyak sekali orang-orang berkumpul di
tengah ruangan seperti suasana yang kacau saja.
Tiba-tiba,
ada pembawa formulir yang keluar dari kerumunan itu.
Tampaknya
dia ini kelas satu dan punya wajah yang lugu, gadis ini lalu menuju ke arah
kami dan berbicara. Dengan Hayama...Hayama!
“Umm...formulir
sukarelawan...”
“Formulir
untuk sukarelawan taruh disana.”
Dia
meresponnya dengan tenang seolah-olah dirinya bagian dari panitia. Adegan
tersebut memicu salah paham dan beberapa orang yang datang untuk mengurus
formulir mulai bertanya macam-macam ke Hayama tentang berbagai hal.
“Aku kurang
paham bagaimana mengisi yang ini...Bisakah kau memberitahuku?”
“Boleh,
kalau kau tidak masalah.”
Aku sangat
yakin kalau gadis ini bertanya karena dia Hayama.
Ketika
Hayama membantunya mengisi formulir, di depannya berbaris beberapa orang.
“Tolong
bantu aku juga...”
“Ah, hei.”
Dia
memaksaku untuk membantunya sebelum aku mengkomentarinya...Sialan, bahkan gadis
yang formulirnya diberikan kepadaku, ekspresi wajahnya terlihat tidak senang.
Baik Hayama
dan diriku akhirnya terpaksa melayani antrian tersebut. Meguri-senpai datang
dan membantu kami. Akhirnya, kumpulan orang-orang yang menyerahkan formulir ini
selesai.
“Maaf soal
tadi ya. Terima kasih banyak!”
Setelah
situasinya tenang kembali, Meguri-senpai menuangkan teh. Untuk Hayama...Hayama!
Well,
mungkin dia merasa tidak enak karena ada orang diluar kepanitiaan sampai
membantu. Hanya saja, um, aku juga ikut membantu tadi...sniff.
Hayama
berterimakasih ke Meguri-senpai, dan setelah meminum tehnya, dia berkata.
“Apa kalian
punya cukup orang disini?”
“Aku tidak
sempat memeriksa kepanitiaannya. Aku sendiri sudah disibukkan oleh pekerjaan
seksiku sendiri sejak kemarin.”
“Seksimu?”
“Aku ada di
Asisten Arsip.” jawabku.
“Ahh,”
Hayama menjawabnya. “Itu memang cocok denganmu...”
“.....”
Kau mau mengajak berantem?
Seperti
mengambil kesimpulan dari situasinya, Hayama mengangguk.
“Begitu ya.
Pasti banyak sekali masalah, ya?”
“...Tidak,
tidak begitu.”
Tidak juga,
ini bukanlah masalah. Sebenarnya, kau mengatakan ada masalah karena tidak
melihat masalah.
Sekarang
ini, Yukinoshita sendirian mengerjakan mayoritas pekerjaan. Tidak hanya karena
dia mampu, dia juga memegang kuasa dari jabatan wakil ketua, dan karena dia
juga tidak berpartisipasi dalam kegiatan klub atau kelas, dia punya waktu
luang. Dia menambal pekerjaan para panitia yang membolos, bahkan jika yang
membolos itu berjumlah separuh dari total panitia.
“Tapi yang
sejauh ini kulihat, sepertinya Yukinoshita-san yang melakukan mayoritas
pekerjaannya”.
Hayama menoleh
dan menyebut Yukinoshita.
Yukinoshita
terdiam, tapi Hayama terus menatapnya seperti menunggu jawaban darinya.
“...Ya,
begini lebih efektif.”
“Tetapi
tidak akan bertahan lama.”
Bagi seorang
pria bernama Hayama Hayato, sangat jarang sekali mendengarnya terlihat memaksa.
Meguri-senpai seperti merasakan kalau suasananya bertambah panas.
Hanya suara
keyboard yang disentuh dan berbunyi clack
clack clack mengisi latar suara ruangan ini.
“.....”
Itu benar,
sangat yakin. Yukinoshita juga tidak berusaha menyanggahnya.
“Jadi
sebelum itu terjadi, sebaiknya membagi itu dengan orang lain.”
“Benarkah?
Kurasa tidak begitu.”
Kataku, dan
Hayama melihat ke arah mataku, menunggu kata-kataku selanjutnya.
“Fakta kalau
Yukinoshita yang melakukan semuanya sendiri itu membuat pekerjaannya selesai
lebih cepat. Yang merasa dirugikan juga tidak banyak. Yang terpenting lagi,
mempercayakan dan mempercayai pekerjaan ke orang lain itu terasa mengganggu.
Dan itu diperparah dengan adanya perbedaan kemampuan tiap orang.”
Kami berdua, atau setidaknya, aku, tidak
bisa mempercayai dan mempercayakan sesuatu ke orang lain.
Bahkan jika sesuatunya tidak berjalan dengan
baik, maka tidak masalah jika aku yang disalahkan, tidak perlu ada orang lain yang
jadi kambing hitam. Kalau kau memberikannya ke orang lain, maka akan menjadi
hal yang tiada akhir.
Itu bukanlah kebaikan hati ataupun perasaan
tanggung jawab. Kalau ini tentang dirimu seorang, maka kau bisa menyerah begitu
saja, tapi kalau ada orang lain terlibat? Kau tidak akan bisa.
Jika saja dia melakukan prinsip ini waktu itu,
jika saja dia melakukannya dengan benar waktu itu; hidup dengan membawa
pikiran-pikiran ini sangatlah berat, menyakitkan, dan menyengsarakan.
Jika itu yang akan terjadi, maka lebih baik
melakukannya sendirian.
Jika itu adalah sesuatu yang bisa kausesali
sendiri, maka hanya dengan isak tangis dan beban itu hilang.
Hayama menajamkan
pandangannya, dan melepaskan embusan napasnya secara perlahan dengan simpati.
“...Apakah
akan baik-baik saja dengan itu?”
“Apaan?”
“Kalau
sesuatunya bisa berjalan lebih baik dengan begitu, tidak masalah. Tapi
sekarang, kalau tidak, segera, semuanya akan jatuh. Dan kamu sendiri kali ini
tidak diperbolehkan untuk gagal, benar tidak? Itu berarti kau perlu mengubah
caramu mengerjakan itu.”
“Guh...”
Pria ini,
benar-benar argumen yang...Apa kamu ini semacam pabrik pengolahan teh? Dia
dengan mudahnya membalikkan argumenku. Ketika diriku dilanda frustasi, ada
sebuah suara terdengar.
“...Kupikir
begitu.”
Tampaknya
Yukinoshita juga tertusuk di tempat dimana dia terluka. Jari-jari tangannya
tampak berhenti menulis di keyboard.
Tapi Yukinoshita tidak memiliki seseorang
yang bisa dia andalkan. Mungkin beda ceritanya kalau disini ada Yuigahama.
“...Oleh
karena itu, biar kubantu.” kata Hayama.
“Tapi
mempercayakan itu ke orang luar...”
Hayama
menjawab kekhawatiran Meguri-senpai dengan senyuman.
“Tidak, aku
akan mengkoordinasi sukarelawannya, hanya itu saja. Semacam, aku jadi perwakilan
mereka.”
Itu adalah
proposal yang menarik. Tidak seperti organisasi resmi, para sukarelawan ini
punya kelas dan klub masing-masing, dan juga jalur komando yang berbeda. Karena
tiap grup punya kegiatan khusus yang berbeda-beda untuk ditampilkan, mengurusi
mereka semua pasti berat sekali.
Kalau semua
itu bisa diurus dengan membuat perwakilan dari sekian banyak sukarelawan, maka
itu akan mengurangi beban kerja, dimana saat ini, akan mengurangi beban di
pundak Yukinoshita.
Lebih jauh,
jika para sukarelawan itu bisa mengkoordinasi diri mereka sendiri terpisah dari
panitia, maka itu cukup masuk akal.
Meguri-senpai terlihat sedikit khawatir, dia terlihat tersenyum.
“Kalau
begitu, oke. Akupun senang kalau kami bisa mempercayakan itu kepadamu...”
“Bagaimana?”
tanya Hayama.
Yukinoshita
menaruh tangannya di dagu dan berpikir.
“.....”
“Yukinoshita-san,
sangat penting untuk mengandalkan orang lain,”
Meguri-senpai mengatakannya seperti berusaha meyakinkannya.
Hayama dan
Meguri-senpai mengatakan hal yang tanpa ragu dan yakin kalau itu benar. Itu
adalah yang terbaik, sangat menginspirasi, itu adalah sesuatu yang indah
tentang kebersamaan mencapai tujuan bersama.
Orang-orang
terbiasa dibantu orang lain kurasa tidak ada yang salah.
Tanpa ragu,
mereka mengandalkan orang lain.
Bekerjasama
dan menyatukan kekuatan. Kalau melihat kata-kata tersebut lebih dalam, tentu
kita akan merasa kalau itu adalah sesuatu yang indah.
Tapi aku
tidak berminat untuk memuji-muji hal itu.
Maksudku,
coba pikirkan saja.
Kalau semua
orang yang melakukannya bersama-sama adalah hal yang baik dan indah, bukankah
itu berarti orang yang melakukan semuanya sendirian terlihat buruk?
Mengapa
orang-orang yang memilih jalan hidupnya untuk sendiri harus ditolak seperti
ini?
Ini adalah
sesuatu yang tidak bisa kubiarkan terjadi.
“...Bergantung
ke orang lain itu penting, tapi hanya beberapa yang benar-benar melakukannya.
Tidak masalah kalau mereka butuh bantuan, tapi akan ada orang-orang yang juga
sedang mencari keuntungan darimu.”
Aku
mengatakannya dengan nada yang lebih agresif dari yang kubayangkan. Menyadari
ekspresi Meguri-senpai yang berubah, aku mengubahnya agar terkesan sebagai
candaan. Menakut-nakuti gadis yang cantik dan menyenangkan kurasa tindakan yang
keterlaluan.
“Spesifiknya,
uh...umm, ah. Benar, seperti pria yang selalu memberiku pekerjaan tambahan.
Serius nih, aku tidak akan memaafkan mereka. Aku tidak bisa menggampangkan itu
karena diluar kuasaku...Tapi aku tidak akan memaafkannya!”
“Kau buruk sekali!?”
Meguri-senpai meresponnya santai, seperti menanggapi kata-kataku sebagai
candaan.
Yukinoshita
lalu mengembuskan napas kecilnya.
“Tentunya
beban pekerjaan ini mulai memberi efek ke asisten arsip, jadi aku akan
memikirkan ulang semua pekerjaannya. Juga, karena Meguri-senpai meyakini hal
tersebut juga, kuterima usulmu tadi...Maaf ya.”
Dia terus menatap ke arah PC. Entah kepada
siapa dia meminta maaf.
Aku merasa kalau dia mengatakan itu sebagai
bentuk simpatinya kepadaku, tapi bukannya aku ini mau mendukung Yukinoshita.
Dia tidak punya alasan untuk meminta maaf. Aku hanya tidak bisa memaafkan orang
yang berpikir dirinya lebih baik daripada diriku. Sesederhana itu.
Aku tidak bisa mentoleransi bagaimana orang
yang sudah melakukan sesuatu sesuai apa yang dia yakini dan mulai dipengaruhi
orang orang-orang luar. Aku tidak bisa menutup mata ketika ada orang yang
berjuang dengan jalan yang dia yakini dan terlihat seperti orang yang salah.
Aku bertindak karena itu.
Sekali lagi, ini bukannya aku membantunya.
Sebaliknya, ada pekerjaan baru yaitu membagi ulang pekerjaannya. Yang kulakukan
itu sia-sia, itu saja.
“Oke, mari
kita bekerja dengan keras!”
“Aku akan
menghubungi orang-orang mulai besok.”
Hayama
tersenyum sementara Meguri-senpai mengangguk dengan antusias.
x x x
“Tampaknya
orang yang hadir lebih sedikit dari kemarin...”
Ini adalah
situasi kepanitiaan seminggu setelahnya. Bahkan hanya beberapa orang yang
hadir. Tidak perlu membandingkan dengan yang sebelumnya. Hanya terlihat
Yukinoshita dan beberapa orang dari pimpinan yang ada disini.
Meguri-senpai menggerutu dengan khawatir.
“Aku akan
menghubungi beberapa orang. Aku harusnya menolak usul Sagami-san kapan hari...”
Dia
sepertinya merujuk ke opini Sagami tentang ‘kelas juga penting’.
Setelah
Meguri-senpai mengatakan permintaan maaf, Yukinoshita menghentikan tangannya
yang sedang membuka-buka dokumen.
“Ini
bukanlah masalah. Aku akan mengatasinya dan menerima formulir dari berbagai
seksi. Sampai mereka datang, kurasa kita bisa mengerjakannya tanpa masalah.”
Sekilas,
pekerjaannya tampaknya tanpa hambatan, mungkin karena efek dari membagi
pekerjaan itu dengan orang lain.
Ini mungkin
kutipan dari beberapa anime atau manga, hanya 20% dari kawanan semut yang
benar-benar bekerja. Dua puluh persen lagi tidak bekerja. Dan sisa 60% berada
diantara bekerja dan tidak bekerja. Ini mungkin bisa kita aplikasikan ke
manusia.
Dengan kata
lain, 60% panitia hanya terbawa arus antara pihak A atau B setelah melihat
suasananya. Juga ada kemungkinan mereka condong ke salah satu sisi karena
mereka bisa memperoleh alibi yang mudah untuk disampaikan.
Dengan itu
yang terjadi di kepanitiaan, para semut yang benar-benar bekerja ini terlihat
punya masa depan suram.
Terutama,
ini bukan karena mereka tidak mau hadir, tapi ada pola pikir “kurasa tidak
masalah kalau aku tidak hadir” menyebar di kepanitiaan.
Jumlah yang
besar meyakinkan orang-orang. Perasaan kalau tidak masalah melakukan itu jika
orang lain juga melakukannya ternyata benar adanya.
Kalau kita
simpulkan dari sudut pandang lain, maka ‘Tren saat ini adalah tidak menghadiri
kepanitiaan’.
Kapanpun dan
dimanapun, aku selalu menjadi bagian dari minoritas. Aku merasa dibuang dari
surga saja.
Tapi masih
ada orang-orang yang benar-benar niat untuk bekerja. Para pengurus OSIS,
seperti yang kauharapkan, solid dan bertanggung jawab. Mereka menunjukkan
kemampuan administratif mereka dengan penuh tanggung jawab sebagai bagian dari
panitia festival budaya.
Itu mungkin
terjadi karena karisma ketuanya, Meguri-senpai. Hari ini seperti hari-hari
biasanya, para pengurus OSIS bekerja bersama untuk mensupport Meguri-senpai
yang menebarkan aura nyaman, dan juga orang yang peduli.
Meguri-senpai merespon dengan ramah dan membantu sebisanya. Dia
berkeliling, berbicara ke orang-orang yang ada di ruangan.
“Sepertinya
situasinya sedang sulit, tapi mereka katanya akan datang, jadi kita harus
bekerja dengan giat. Kami mengandalkanmu, oke?”
“Hahaha,
terima kasih...”
Dia tidak
lupa untuk berbicara denganku. Terima kasih...Kalau aku jadi satu-satunya orang
yang tidak diajaknya berbicara, aku pasti akan mengatakan selamat tinggal ke tempat
ini besok.
Aku menaruh
tasku dan melihat jadwal pekerjaan hari ini. Karena aku sudah menyelesaikan
secara perlahan, jumlah pekerjaanku terlihat berkurang. Kalau terus begini,
semuanya akan segera berakhir dengan cepat.
Ketika aku
berjalan, seseorang menepuk pundakku.
Ternyata
Hayama sedang memegang beberapa dokumen. Meski panitia yang lain belum datang,
Hayama kadang datang sebentar, meskipun dirinya bukan bagian kepanitaan. Datang
setiap hari mungkin terlihat memaksa, tapi kapanpun ada waktu kosong di
jadwalnya, dia akan datang kesini.
Hayama
memang pria yang baik.
“Maaf
mengganggu pekerjaanmu. Aku butuh sekitar 30 menit denganmu untuk membahas
permintaan perlengkapan.”
“Be-benar.”
Dia
menyebutkan waktu dan tujuan yang spesifik, jadi aku tidak punya alasan untuk
menolak. Ini bukanlah alasan yang buruk untuk menunda pekerjaanku.
Memang
benar-benar kualitas seorang bos.
Dan
sekarang, aku adalah anak buah Hayama. Ergh, aku ingin mati saja.
Ketika kami
bekerja, ada suara keras menghentak, berasal dari pintu yang dibuka. Di ruang
dimana orangnya sedikit, suara itu menggema dengan baik.
Dengan semua
mata menatapnya, Hiratsuka-sensei melambaikan tangannya dan memanggil dari arah
pintu.
“Yukinoshita,
ada waktu?”
Yukinoshita
melirik dari arah PC di mejanya.
“Hiratsuka-sensei...Kedua
tangan saya sedang agak sibuk saat ini...Apa tidak masalah jika saya
mendengarkan anda dari sini?”
Hiratsuka-sensei berpikir sejenak.
“Fumu...Well,
ini bukanlah sesuatu yang bisa kukatakan lagi di hari-hari berikutnya...”
Dia lalu
berjalan masuk ke ruangan dan berdiri di samping Yukinoshita.
“Tampaknya
kau belum mengembalikan kuisioner jurusanmu, tentang masuk IPA atau IPS.” kata
Sensei.
“...Maafkan
saya. Sekarang ini waktunya kurang tepat.”
Yukinoshita
mengatakan itu dengan malu-malu. Dia lalu memindahkan kedua tangannya dari
keyboardnya dan menaruhnya perlahan di lututnya.
“Begitu
ya...Aku tahu kalau kepanitiaan festival akan menyita banyak sekali waktumu,
tapi tolong jangan ‘over’.”
“Saya
mengerti,” Yukinoshita menjawabnya.
Hiratsuka-sensei tersenyum dengan lembut dan menyemangatinya.
“Umu...Well,
kami bisa menunggu sampai Festival Budaya selesai. Karena kamu ini siswa kelas
Budaya Internasional, itu memang tidak mempengaruhimu sama sekali. Masih ada
waktu. Ini hanya kuisioner formalitas. Bukan sesuatu yang harus kaupikirkan
terlalu dalam.”
Hiratsuka-sensei menepuk lembut kepala Yukinoshita seperti
mempedulikannya, dia lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan ruang rapat.
Yukinoshita membetulkan rambutnya sambil melihatnya pergi dengan ekspresi kesal.
Aku agak
terkejut melihat Yukinoshita berubah menjadi seperti itu karena itu. Tapi aku
bukanlah satu-satunya orang yang merasakan itu karena Hayama yang melihat ke
arah Yukinoshita memiliki ekspresi yang ragu-ragu juga.
Karena itu,
kami berdua berhenti bekerja.
“...Hei,
bisa dilanjutkan?”
Sangat sulit
berbicara ketika orang lain bekerja secara diam-diam, tapi sekarang kita tidak
melakukan apapun! Cepatlah dan bebaskan aku dari pekerjaan ini!
Ketika aku
berbicara, Hayama seperti kembali ke dirinya dan tersenyum.
“Yeah, maaf.
Ayo kita lanjutkan.”
Aku tidak
bermaksud begitu...”Bukankah ini waktunya kita selesai?” adalah yang ingin
kukatakan...bukan, “bukankah ini waktunya kita lanjutkan lagi?”
Aku ingin
menjelaskan kata-kataku, tapi dengan senyum Hayama, aku tidak bisa benar-benar
memberitahunya tentang maksudku. Masih ada waktu sebelum 30 menit yang
dijanjikan habis...Oke, mungkin aku memang belum waktunya untuk bebas.
Ketika aku
menuliskan daftar, memasukkan detil kertas formulir ke program excel,
Meguri-senpai yang bekerja di dekatku sedang mengobrol dengan Yukinoshita.
“Yukinoshita-san,
apa kamu mau pilih IPS atau IPA di kelas tiga?”
“Aku masih
belum tahu...”
“Oh, begitu,
baik, baik. Aku tahu rasanya ketika bingung. Aku mengkhawatirkan itu juga.
Kalau begitu, pelajaran apa yang kau rasa fasih? IPA?”
“...Itu,
sebenarnya bukan begitu.”
Yukinoshita
tidak terlihat sedih, tapi responnya kurasa cukup dingin.
Ketika
Meguri-senpai tidak yakin bagaimana melanjutkan percakapannya, Hayama berhenti
bekerja dan menegakkan kepalanya dari layar PC.
“Yukinoshita-san
juga fasih di IPS juga.”
“Ah, begitu
ya.”
Meguri-senpai tampak lega ketika Hayama menambahkan.
...Benar,
aku memang punya dugaan yang masih abu-abu, tapi Yukinoshita harusnya juga
pintar di IPS.
Aku ranking
3 dalam Sastra Jepang, ranking 2 ditempati Hayama, dan Yukinoshita di ranking
pertama. Kita seperti top 3 yang tidak tergeser, dan kita akan terus ada di top
3 jika masuk IPS.
Tambahan
lagi, dia selalu membaca buku dan imagenya itu memang terlihat kalau dia cocok
di IPS.
“Tahu tidak,
aku ini anak IPS. Jadi kalau kau bingung mau pilih mana, tanya saja ke aku!”
“Haa...Terima
kasih. Aku sangat menghargai tawaranmu.”
Sangat sopan atau begitulah pikirku,
tapi dia mengatakan penolakannya secara tidak langsung.
Meguri-senpai, tampaknya tidak menyadari itu dan melanjutkan
percakapannya dengan bersemangat.
“Yep, yep.
Oh, tapi aku tidak paham beberapa hal soal IPA, jadi aku mungkin tidak bisa
jawab. Tapi kau bisa tanya ke Haru-san, dia dulu memilih IPA.”
“...Itu,
benar.”
Sebuah
bayangan menyelimuti ekspresi Yukinoshita. Meski begitu, Yukinoshita bertanya
ke Haruno-san sesuatu sepertinya suatu hal yang mustahil.
Kata-kata
Yukinoshita seperti tidak membiarkan percakapan berlanjut. Meguri-senpai langsung
terdiam melihat suasana yang memaksanya untuk berhenti.
Yang
terdengar setelahnya adalah suara click
click tak tak dari keyboard dan kertas-kertas dokumen yang dibuka seperti
memberitahu kode morse.
Dengan
suasana yang sunyi, sebuah suara batuk terdengar sekilas. Bahkan suara batuk
kecil itu membuat mataku bergerak dengan sendirinya, mencari pemilik suara
tersebut.
“...Perwakilan
2F. Kau belum mengembalikan formulir tentang penampilan kelasmu.”
Yukinoshita
mengatakan itu sambil memegang dokumen di tangannya.
Tampaknya
ada seseorang yang belum mengembalikan formulirnya dan ini sudah lewat
deadline? Untunglah. Mana orang sialan
itu...? Oh, ternyata itu aku! Aku tidak merasa punya hubungan dengan
kelasku jadi aku tidak sadar begitu saja.
Sebenarnya,
kudengar Sagami yang menulis dan mengembalikannya...Well, tapi aku tidak bisa
mengkonfirmasi itu karena belakangan ini dia jarang sekali kesini.
“...Maaf,
aku akan segera menulisnya.”
Aku ragu kalau menunggu akan terjadi sesuatu
yang bagus, jadi mari kita karang saja asal-asalan.
“Begitu ya...Kirim
sebelum kegiatan kita berakhir hari ini.”
Aku
mengambil dokumen dari Yukinoshita dan mulai menulis.
Jumlah
partisipan, nama perwakilan kelas, nama kegiatan, peralatan yang dibutuhkan,
nama wali kelas...Apaan, mereka juga meminta untuk menyertakan foto juga? Apa
kau yakin mau menantang artis KW sepertiku?
Aku akhirnya
mengosongkan banyak sekali isian di formulir.
Ternyata aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku selama ini mampir
sebentar ke kelas bukan untuk omong kosong. Itu, tentunya, berarti aku
setidaknya ada petunjuk nama pertunjukan yang ditampilkan kelasku, juga
kira-kira berapa orang yang berpartisipasi.
Tapi itulah
gunanya pria ini ada disini. Tidak, dia harusnya ada disini karena momen ini.
“Hayama,
bisa beritahu aku detail soal ini?” kataku.
Hayama
berpikir sebentar dan menjawab. “Maaf, aku benar-benar tidak tahu.”
“Tidak
masalah, seadanya saja. Aku tinggal mengarang sisanya.”
“Kau
harusnya tidak melakukan itu.”
“...Aku bisa
mendengarmu.”
Yukinoshita
merespon dengan suaranya, tidak sedikitpun memindahkan pandangannya dari layar
PC.
Hayama lalu
tersenyum.
“Kupikir
akan lebih cepat jika kau mendatangi para gadis yang sekarang masih ada di
kelas.”
“Begitu ya.”
Aku
menyatukan kertas-kertas tersebut, meninggalkan ruang rapat, dan menuju ke
kelasku.
x x x
Ruangan
kelas seusai jam sekolah sebelum Festival Budaya terlihat seperti lahan proyek.
Suara-suara berisik yang bekerja dan banyaknya orang berpartisipasi menunjukkan
semangat tiap kelas.
Dalam sebuah
percakapan antara siswa laki-laki dan perempuan, para laki-laki melihat
seberapa populer mereka dilambangkan dengan (yH) dan seberapa banyak waktu yang
mereka habiskan dengan bekerja (yH). Setelah itu bandingkan dengan nilai
protagonisnya dengan mengalikan poin tersebut. Punya unit-unit dengan nilai
yang sama tersebut memang sulit untuk dimengerti.
[note: Tampaknya ini permainan dari Watari. Inisial
YH hanya merujuk ke Yukinoshita Haruno. Bisa jadi Hachiman sarkasme kalau
festival budaya adalah festival ala Haruno.]
Kelas 2F
juga menunjukkan nilai yH. Ada sebuah panggung yang berasal dari beberapa meja
dijadikan satu, kostum yang sedang dijahit di salah satu sudut, dan ada yang
sedang latihan dialog.
“Ya ampun,
lakukan yang benar!”
Beberapa
laki-laki termasuk Ooka sedang dimarahi oleh Sagami.
Jadi dia ada
disini...
Well,
lagipula dia hadir di kepanitiaan saja belum tentu bisa mengerjakan sesuatu.
Kadangkala, perbedaan kemampuan seseorang ini terlihat kejam.
Apa aku harus memberitahunya agar hadir di
kepanitiaan?
Aku
mempertimbangkan itu, tapi kata-kata dariku tampaknya akan membuatnya bergosip
di belakangku, “Uhh, Hikitani, dia seperti, komplain terus kepadaku.
Menjijikkan. Mau main keras? Tampaknya kekerasan seksual mungkin lebih tepat
mempertimbangkan betapa menjijikkannya dia (haha). Aku akan menuntutnya (haha).
Lagipula, dia bukanlah bosku (haha). Serius nih, memangnya siapa dia(haha)...?
Eh, serius ini, dia itu siapa?”. Skenario seperti itu otomatis berputar di
kepalaku seperti kekuatan supernaturalku tiba-tiba bangkit dan aku mendapatkan
kemampuan untuk melihat masa depan.
Aku melihat
ke seluruh ruangan dan menyadari kalau teman-teman sekelasku tidak memakai seragam
sekolah.
Apakah
mereka menyelesaikannya...?
Senjata
pemusnah yang menakutkan dan menghancurkan jiwa, kaos kelas...
Kaos kelas.
Sederhananya, kaos yang dibuat tiap kelas ketika Festival Budaya. Sebenarnya
penjelasannya tidak berguna karena namanya sendiri sudah menjelaskan apa itu.
Mungkin,
kaos itu bertujuan untuk menunjukkan betapa bersatunya orang-orang di kelas,
akrab, dan menunjukkan antusiasme mereka ke festival budaya, juga memberikan
kenangan fisik yang berharga dan bukti dari masa muda.
Menyinggung
kaos kelas, nama tiap siswa tertulis di belakang. Menurut pengalamanku, ini
bukanlah masalah utamanya.
Dari semua
nama yang tertulis, aku ingat ada nama asliku tertulis: “Hikigaya-KUN”.
Mayoritas nama tertulis dengan campuran hiragana dan katakana, jadi menggunakan
huruf kanji hanya untuk menulis namaku hanya membuatku terasa beda dari yang
lain dan terlihat mencurigakan. Terutama bagian “KUN” dimana tertulis dalam
katakana, ini menunjukkan beban berat yang ditunjukkan tukang sablonnya demi
menulis nama tersebut, dan kesalahan tersebut berakhir dengan membuatku merasa
bersalah soal itu.
Aku sudah
menerima damage yang luar biasa ketika festival kelas satu, tapi festival kali
ini, silakan saja. Aku bahkan tidak keberatan
namaku tertulis dalam huruf kanji. Hahaha, setelah festival budaya
selesai, aku akan memakainya sebagai kain lap. Itu bahkan tidak cukup bagus
sebagai piyama karena tidak dibuat dari bahan yang berkualitas.
Aku melihat
sekelilingku untuk mencari Yuigahama.
Uhh, Gahama, Gahama, err.
Er, terlihat
di depanku seseorang yang sangat cantik.
Lengan yang
kebesaran disertai mantel yang panjang, hanya memperlihatkan ujung
jari-jemarinya yang keluar. Dia adalah Totsuka yang sedang memakai kostum “Pangeran
Kecil”. Dia sedang diukur bajunya dan lipatan kain yang lebih itu ditahan
menggunakan pin.
Ketika
Totsuka menyadariku, dia mengeluarkan tangannya dari lengan baju dan melambai.
“Oh,
Hachiman. Selamat datang.”
“...Aku kembali.”
Momen yang cukup memalukan, aku pulang dan
aman!
Aku hampir
membungkuk dengan spontan juga. Kalau Totsuka mau menyapaku dengan itu setiap
kali bertemu denganku, maka aku dengan bahagia akan pulang setiap hari.
“Ah, benar”.
Totsuka mengatakannya
dan dia berlari kecil seperti ada sesuatu di pikirannya. Dia mengambil sesuatu
dari tasnya dan kembali. Sekilas, aku mengharapkan kalau situasi ini akan
berkembang menjadi ‘dia akan terpeleset karena menginjak lipatan mantel yang
kebesaran itu dan jatuh tepat di dadaku!”, tapi hidup ternyata tidak sesuai
imajinasi. Realita akan selalu lebih kejam tidak peduli kapan dan dimana.
“Ini, terima
kasih sudah meminjamiku ini.”
Yang dia
beri kepadaku adalah sebuah buku.
Itu adalah
novel yang kupinjamkan ke Totsuka kapan hari, “Sang Pangeran Kecil”. Karena aku
sudah membacanya berkali-kali, pinggiran bukunya sudah terkelupas dan bukunya
terlihat kusam. Aku juga sempat berpikir kalau buku tersebut tidak dalam
kondisi yang layak untuk dipinjamkan ke orang lain.
“Jadi aku
sempat berpikir kalau aku ingin membalas ini...”
Totsuka
mengangguk dan menatapku dengan kagum.
“Um...Hachiman,
apa kau suka sesuatu?”
Kamu.
Dia hampir
menanggapinya begitu. Sial, aku bahkan sadar kalau aku akan mengucapkan “K”.
“K...Kurasa
tidak ada untuk saat ini.”
Aku menjawab
itu untuk mengalihkan kesalahanku.
Totsuka lalu
menyilangkan lengannya seperti mengkhawatirkan sesuatu.
“Oh
oke...Ka-kalau begitu bagaimana dengan makanan favorit atau buku, atau...snack
yang kamu sukai? Akan sangat bagus jika kau memberitahuku.”
Kamu.
Lagi-lagi,
dia hampir menangkap responku. Bahkan aku sempat mengucapkan “Ka”.
“Ka...Kamu
membuatku tersudut dengan mengatakan itu tiba-tiba...Well, kalau memang harus
kukatakan, kurasa aku suka yang manis-manis.”
Misalnya MAX
COFFEE. Juga, kacang miso, jelly malt, atau cream lembut dari Mother Farm, atau
bahkan pai kacang Orandaya.
“Yang
manis-manis...Oke, aku akan membawanya lain kali!”
Totsuka
mengatakannya dengan senyum, lalu ada suara memanggilnya. Tampaknya mereka
sudah selesai memperbaiki kostum celananya. Totsuka membalas mereka dan
mengatakan kepadaku. “Oke, aku pergi dulu ya.”
“Semoga
perjalananmu menyenangkan.”
Aku menjawab
Totsuka yang melambaikan tangannya dan melihatnya pergi...Hal-hal semacam ini
memanglah manis. Kalau bisa, aku mau melihat Totsuka pergi setiap pagi dari
rumah. Meski, mengapa sangat menyakitkan melihat Totsuka direbut dariku.
Sekarang
karena aku ditinggal, aku melihat ke sudut ruangan kelas.
Sisi manis
Totsuka terlalu kuat untuk membuatku berpaling dari tugasku.
Urgh, Gahama...
Oh, dia ada disana.
“Yuigahama.”
Yuigahama,
yang sedang memakan es krim entah dia beli dimana, sambil memilah-milah kertas
atau semacam itu. Dia menaikkan kepalanya dan berjalan ke arahku.
“Huh? Hikki,
apa pekerjaanmu selesai?”
“Terlihat
tidak bekerja bukan berarti pekerjaanku berakhir.”
“Apa-apaan
sih yang kamu bicarakan?”
Yuigahama
mengatakan itu sambil melihatku seperti orang idiot.
Tsk, ini
adalah masalah yang melanda orang-orang di lingkungan buruh...Kenapa tidak kuajari gadis ini horor yang
sebenarnya dari menjadi budak perusahaan? Tapi aku tidak berani mengatakan
itu. Kebencianku terhadap pekerjaan kusimpan dulu di dalam hatiku, mari kita
selesaikan tugas yang menyebalkan ini dulu.
“Aku ini
sedang bekerja. Maaf, bisakah kau beritahu aku apa saja yang perlu kuisi di
formulir ini? Aku harus menyetornya sebelum kepanitiaan hari ini berakhir.”
“Apa ini
penting? Ah, bukankah Hayato juga ada disana?”
‘Disana’,
dia mungkin mengatakan kepanitiaan.
“Yeah.”
“Oke, kita
lakukan saja disana. Disini terlalu berisik. Aku mau memanggilnya kembali agar
kita bisa mendiskusikan soal dramanya.”
Ketika kami
berbicara, Sagami berkata dari belakang.
“Ah, aku
juga pergi ke ruang panitia. Maaf, semuanyaaaa. Aku akan menyelesaikan ini dan
pergi kesana.”
x x x
Kami kembali
ke ruang konferensi dan Yuigahama mendikteku tentang detil penampilan mereka.
Standar
seperti perlengkapan, jumlah orang, jumlah dana dan beberapa hal abstrak
semacam tujuan memilih kegiatan itu dan sinopsis cerita juga ditulis. Terlebih
lagi, kita bahkan membuat semacam peta atau blueprint, sesuatu yang harus aku
konversi menjadi tulisan saja karena di formulir tidak ada ruang untuk itu.
Ngomong-ngomong soal mengganggu.
“Sudah
kukatakan itu salah! Tulis begini, seperti, lebih booom! Cahaya yang keluar akan sangat keren, oke!”
“Aku tidak
paham maksudmu...”
Aku bukannya
mau mengatakan kalau gambarnya itu mengganggu, tapi yang dikatakan Yuigahamalah
yang mengganggu.
Kenapa penjelasanmu harus dramatis
begitu...? Ini sudah mendekati titik menakutkan.
“Juga, kau menuliskan
jumlah orang yang salah disana.”
“Sungguh
memalukan sekali...Aku diajari oleh Yuigahama dari sekian banyak orang di
sekolah ini...”
“Apa-apaan
barusan? Terserahlah, cepat dan perbaiki itu!”
Aku seperti
diajari oleh disiplin yang ketat, aku gerakkan pensilku di kertas dan akhirnya
kami membuat kemajuan.
Pemandangan
dari siswa-siswa yang bekerja dengan rajin, para pimpinannya, ditambah lagi
adanya motivasi dari Meguri-senpai yang tersenyum manis ketika mengerjakan
pekerjaannya. Akhirnya, ruang konferensi ini menemukan kedamaiannya dalam
melewati waktu.
Yang
mengganggu kedamaian itu hanyalah suara mekanik peralatan yang berisik.
“Maaaf sudah
telat! Oh, Hayama-kun, kau disini!”
Mengikuti
dari belakang Sagami, kedua temannya. Dia ini seperti sebulan sekali datang
untuk bekerja. Dia memanggil Hayama dan mendekatinya, tapi sebelum dia bisa,
Yukinoshita sudah berada di depannya. Meski Sagami agak kaget karena
Yukinoshita tiba-tiba ada di depannya, tanpa membiarkannya untuk kaget,
Yukinoshita memegang stempel dan setumpuk dokumen.
“Sagami-san,
aku membutuhkanmu untuk stempel disini. Aku pikir tidak ada masalah dengan
pemeriksaan dokumennya. Aku sudah membetulkan kesalahan-kesalahan yang ada.”
“...Benarkah?
Terima kasih!”
Tanpa ba bi bu pekerjaan langsung
disodorkannya tepat di depan pintu.
Entah karena
dihalangi berbicara dengan Hayama atau tidak senang karena dicegat oleh
tumpukan pekerjaan di pintu masuk, Sagami seperti memasang ekspresi zombie,
tapi dia langsung memasang senyum dan menerima dokumen-dokumen itu.
Sagami
menstempel dokumen-dokumen tersebut satu-persatu tanpa melihat isinya sementara
Yukinoshita, memeriksanya sekali lagi dan menaruhnya di tempat dokumen yang
sudah disetujui. Ini bukanlah hal yang baru, tapi komposisi orang-orang ini
sendiri sudah menimbulkan masalah, huh?
Karena aku
sudah lama di kepanitiaan, aku bisa membaca apa yang sedang terjadi, tapi
bagaimana dengan tanggapan orang luar? Dengan itu di pikiranku, aku menatap ke
arah Yuigahama dan bibirnya seperti tertahan disertai tatapannya yang merendah.
Well, mungkin dia sudah tahu masalahnya. Dengan tidak adanya aktivitas klub dan
perasaan aneh karena memiliki jarak antara dirinya dan Yukinoshita, di depan
matanya terlihat adegan interaksi antara Yukinoshita dan Sagami. Melihat adegan
itu bukanlah hal yang bagus.
Di lain
pihak, orang luar, Hayama, masih terlihat tersenyum. Malahan, dia meresponnya.
“Kerja
bagus, Sagami-san. Apa kau tadi dari kelas?”
Sagami
membalikkan badannya seperti katak dan menatap Hayama.
“Uh huh,
benar.”
“Begitu
ya...Jadi bagaimana situasinya?”
“Kurasa
situasinya berjalan dengan lancaaar,” jawab Sagami.
Hayama
berhenti sejenak.
“Oh,
maksudku bukan yang itu, tapi kepanitiaan festival. Maksudku, kelas sudah
berjalan dengan baik karena sudah dihandle Yumiko.”
Merasa
teraduk-aduk dengan kata-katanya, entah dia sadar atau tidak, dia seperti
menyebarkan racun. Jika Hayama memilih untuk mengatakan kata-kata itu secara
sengaja, pasti ada sesuatu di baliknya. Maksud aslinya pasti semacam “Apakah
tidak apa-apa bolos kerja di kepanitiaan?”.
Tapi Sagami
melanjutkan pembicaraan seperti tidak menyadari apapun, racunnya kurang mempan.
“Aah...Miura-san,
dia memang terlihat lebih cerewet dari biasanya, seperti bisa diandalkan.”
(translate: Miura kampret! Tidak hanya dia dipuji, dia sangat mengganggu karena
ikut campur urusan orang.)
“Hahaha,
maksudku dia membantu dan semacamnya. Itu bukanlah hal yang buruk.” (translate:
Kau sebaiknya tidak berbicara lebih jauh lagi, oke?)
Aku pasti
habis makan Jelly Penerjemah karena aku secara otomatis bisa membaca kata-kata
mereka...
Aku bukannya
membaca itu dengan mengamati beberapa poin kata-katanya, hanya saja pemilihan
kata-kata dari Sagami sangat buruk sehingga aku bisa membacanya. Bahkan aku
bisa membaca maksud dari kata-kata pria baik seperti Hayama.
Aku
mengikuti subtitle yang sedang bergerak di otakku tentang apa yang ada di depan
mataku, tapi ada yang menepuk kedua tangannya di depan mataku.
“Ayolah,
cepat dan selesaikan. Aku ingin kembali secepatnya.”
“Tunggu,
lagian, ini bukanlah pekerjaank...”
Sebenarnya,
ini adalah sesuatu yang Sagami harusnya lakukan. Kenapa sekarang malah aku? Aku
tidak paham.
“...Berisik
sekali,” Yukinoshita secara pelan menggumamkan itu, seperti merespon suara yap yap yap yang terdengar di ruangan
ini.
Yuigahama
dan diriku tiba-tiba menutup mulut kami, tapi Sagami melanjutkan percakapan
menyenangkannya dengan Hayama, tampaknya gumaman darinya tadi tidak terdengar
olehnya.
“Oh tidak,
aku sebenarnya ingin seperti Miura-san aku mengagumi bagaimana dia memimpin
yang lain!” (translate: Aku sangat ingin membacoknya
dan mengambil tempatnya!)
“Sagami-san,
kau juga punya kelebihan, apakah itu tidak cukup?” (translate: Sudah kubilang
berhenti membicarakannya lebih jauh? Kau harusnya sadar posisimu demi
kebaikanmu sendiri, oke?)
“Ehhh? Tapi
tidak ada satupun hal bagus dengan diriku!” (translate: Ayolah, aku sebenarnya
cuma merendahkan diriku! Tolong puji aku! Puji aku! Hayama-kun, puji aku!).
“Semua orang
itu berbeda. Kau mungkin berpikir begitu, tapi bagi orang lain, mereka hanya
bisa melihatnya saja.” (translate: Tidak, maaf, aku tidak terbiasa memuji
orang, jadi aku akan memberimu nasehat saja).
Percakapan
itu dipotong suara panggilan HP dan Sagami membuka HP-nya.
“Hikki,
jangan gerak-gerak terus. Kita menjadwal ulang pertemuan soal dramanya menjadi
nanti malam, jadi kita harus menyelesaikan ini secepatnya, oke?”
“Dua puluh
menit lagi sebelum jam sekolah tutup...”
Semua beban
seperti bertumpuk di kepalaku.
“Well,
tampaknya kita tidak akan sempat ke kelas, tidak ada yang bisa kita lakukan
karena delay ini, benar tidak?”
Hayama
tampaknya mendengarkan percakapan kita dan menambahkan.
Pria yang baik sekali. Meski, sebenarnya aku
tidak harus kena kekacauan ini jika dia mengerjakan formulir ini sejak kapan
hari. Tapi karena ini juga termasuk dalam pekerjaan panitia, jadilah
seperti ini. Dengan itu di pikiranku, aku harus menerimanya...
‘Aku adalah
ketuanya, tahu tidak? Jadi pekerjaanku itu harus kau kerjakan, terima kasih!’
(translate: Kau kerjakan dengan serius ya, dasar kuli. *meludah*). Itulah yang
ada di pikiranku.
Sabarlah...sabarlah...Aku akan membuatnya
membayarnya dua kali lipat di ronde selanjutnya. Bisakah aku tidak kehilangan
kesabaranku sampai saat itu tiba?
Ngomong-ngomong,
setelah beberapa waktu berlalu, kami akhirnya menyelesaikannya.
“Akhirnya
selesai...”
“Pastinya
begitu,” Yuigahama menjawabnya dengan ekspresi kelelahan.
“Maaf soal
ini. Kau sudah membantuku. Terima kasih.”
“Eh? Tidak,
itu tidak masalah. Tidak masalah sama sekali. Ini memang jarang melihat Hikki
meminta bantuan.”
“Kupikir
juga begitu. Bahkan aku sendiri tidak pernah berpikir kalau hari itu akan
datang.”
“Kamu ini
menganggapku idiot tingkat berapa sih!?”
Aku tidak
mempedulikan suara Yuigahama dan memberikan formulir tersebut ke Yukinoshita,
dia menerimanya tanpa mengatakan satupun kata. Dia melihat halaman pertama,
kedua, dan setelah selesai, dia merapikannya menjadi satu, lalu menaruhnya di
meja.
“Tampaknya
oke, terima kasih atas kerja kerasnya.”
Tanpa
sedikitpun menatapku, dia merapikan dokumen tersebut.
“Bukannya
kalau diterima akan distempel?”
“...Ah.”
“Itu benar,”
Yukinoshita
menjawabnya singkat dan mengambil dokumen itu lagi.
Sebuah
kesalahan yang kebetulan.
Itulah
mengapa dari tadi aku merasa ada yang janggal.
“Sagami-san.
Aku membutuhkanmu untuk menstempel ini.” kata Yukinoshita.
Sagami lalu
menghentikan obrolannya dan mengambil dokumen-dokumen itu.
“Oh, tentu.
Sebenarnya, aku akan memberikanmu stempelnya dan kau bisa lakukan sendiri, oke?”
“Sagami-san,
kau sudah terlalu jauh disini,”
Meguri-senpai tidak membiarkan itu terjadi dan menasehatinya.
Sagami tidak
terlihat malu.
“Ehhh? Tapi
bukankah lebih efisien begini? Kupikir yang terpenting adalah apa yang kita
lakukan dan tidak kaku dengan formalitas, benar tidak? Tahu tidak, semacam
saling percaya atau sejenisnya?”
Mendengarkan
kosakatanya barusan saja seperti mendengarnya mengatakan teori-teori yang luar
biasa. Tapi demi kenyamanan, akan lebih efisien jika Yukinoshita memegang stempel
daripada Sagami. Meguri-senpai tampaknya punya pikiran yang sama dan hanya bisa
menggerutu, kehabisan kata-kata.
“Kalau
Yukinoshita-san tidak masalah, maka tidak masalah...”
Meguri-senpai menatap ke arah Yukinoshita untuk melihat responnya.
Yukinoshita mengangguk.
“Aku tidak
masalah. Kalau begitu, aku akan menyetujui semuanya dari sekarang.”
Setelah dia
menerima stempelnya, dia langsung menstempel kertas-kertas tersebut.
Dengan
begini, pekerjaan hari ini selesai. Bel baru saja berbunyi.
“Oke, kurasa
itu menyudahi kegiatan kita hari ini. Aku yang akan mengunci ruangan ini, jadi
kalian bisa pulang duluan. Bagi para pimpinan, tolong periksa apa ada yang
ketinggalan,”
Meguri-senpai memberikan instruksi dan para pengurus OSIS langsung menyebar.
Bagi para panitia yang diberitahu untuk bisa pulang, mereka tampaknya tidak
melewatkan peluang itu untuk pulang bersama.
Kami mulai
menyiapkan diri kami untuk pulang dan meninggalkan ruangan konferensi.
Dalam
perjalanan menuju pintu keluar, Sagami yang mengobrol dengan teman-temannya
mendatangi kami.
“Oh, apa
kalian ingin mampir sebentar untuk makan? Yeah?”
Orang ini
hanya menatap ke arah Hayama ketika menanyakan itu...
Hayama dan
Yuigahama terlihat memalingkan mata mereka. Tampaknya mereka ingin
melihat-lihat situasinya dulu. Yuigahama lalu menatap ke arah Yukinoshita.
Dia
menjawabnya berbeda, sepertinya dia sudah tahu apa maksud semua ini.
“Aku masih
ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”
Itu bukanlah
alibi untuk menolak karena dia sebenarnya memang benar-benar punya pekerjaan
untuk dilakukan. Tidak lupa kalau dia juga dipercayakan pekerjaan itu karena
kepercayaan Sagami.
Tanggung
jawab dan pekerjaannya mulai membesar secara cepat.
“Oh, begitu
ya, tentu, mau bagaimana lagi.” (translate: Tidak, aku sebenarnya memang tidak
mengundangmu.)
Subtitlenya
ternyata belum hilang dan aku bisa melihat dengan mudah maksudnya. Kau jangan meremehkan kekuatan dari Wicked
Eye...
Mengikuti
penolakan Yukinoshita, aku juga menolak.
“Aku akan
langsung pulang.”
“Oke, aku
paham.” (translate: aku memang tidak akan menyediakan tempat duduk untukmu!).
Aku tahu
kalau aku sebenarnya tidak diundang, tapi kurasa barusan adalah hal yang bagus
dariku karena aku memastikannya untuk menolak. Maksudku, ayolah, diberitahu, “Eh,
umm, kau mau kemana? Kau tidak harus pergi, oke?” akan membuatku sedih. Tidak
ada satupun yang boleh gembira. Lagipula, kenapa aku harus dilarang-larang
setelah pulang bekerja, huh?
Orang-orang
yang diundang Sagami bukanlah Yukinoshita ataupun diriku, tapi mereka berdua.
Yuigahama
mengatakan sesuatu dengan datar, seperti sudah menyiapkan jawabannya terlebih
dahulu.
“Ha-hari ini
tidak bisa buatku...Aku harus menghadiri rapat kelas soal dramanya sebentar
lagi.”
“Ehhh?
Yui-chan tidak bisa, huuh? Ayolaah!” (translate: Hei, hei, kalau kamu tidak
ikut, maka Hayama juga tidak ikut, tahu tidak? Kamu becanda nih?).
Whoa,
responnya agak berbeda kali ini. Kali ini jauh lebih terbuka, benar tidak?
“Yeah, rapat
soal dramanya, benar tidak? Aku akan pergi kesana juga.” (translate: Aku pilih
alasan yang ini saja).
Hayama
tampaknya mencoba mencari keuntungan dari peluang yang barusah dia dengar dan
menolak tawarannya.
Sagami
terlihat bisa menerima alasan ajakannya ditolak.
“Oh, oke,
begitu ya. Tampaknya semua orang sudah ada rencana masing-masing. Mungkin lain
kali.” (translate: kalau Hayama-kun tidak ikut, ya sudahlah!).
Meskipun aku
tahu kalau membaca maksud dibalik kata-kata orang itu adalah hal yang tidak
lucu, aku tidak bisa menghentikan diriku dari membaca subtitle yang lewat itu.
Diriku yang
punya sifat seburuk ini, ternyata punya kemampuan yang spesial.
Sampai di
depan pintu depan, subtitle dari Sagami belum juga hilang. Tampaknya Sagami dan
yang lain akan berjalan bersama Hayama, melanjutkan obrolan mereka.
Aku pasang
sepatuku dan keluar setelah mereka.
Sore sudah
berlalu dan bayangan dari malam mulai menyebar.
“Aku pulang
dulu kalau begitu,” Yukinoshita mengatakannya dengan beberapa kata dan pulang
dengan tergesa-gesa. Dia membetulkan posisi tasnya ke bahunya, sepertinya
tasnya sangat berat dengan banyaknya dokumen yang dia taruh di dalamnya, dia
lalu berjalan pulang.
“Oke, Hikki,
sampai jumpa besok.”
Yuigahama
menepuk bahuku dan berlari pergi. Dia ada pertemuan kah? Tampaknya berat
sekali.
Aku menuntun
sepedaku dari parkir sepeda yang sepi.
Cahaya dari
lampu jalanan membuatku lemas. Tampaknya aku sudah menggunakan terlalu banyak
mataku untuk hari ini. Fitur subtitle tadi tampaknya membuat mataku cepat
lelah.
Dengan
berbagai macam pikiran yang tidak berguna mengisi kepalaku, ada satu hal yang
menarik perhatianku.
Ngomong-ngomong, aku tidak melihat subtitle
aneh tersebut di orang lain, huh?
x Chapter V | END x
Maaf dari Yukino itu ditujukan ke Hachiman, karena sudah membelanya agar tetap menjadi dirinya sendiri, dimana pada akhirnya Yukino lebih memilih untuk mengikuti saran Meguri dan Hayama.
Itu karena di vol 1 chapter 1 Hachiman pernah konfrontasi ke Yukino kalau melarikan diri dan menjadi apa yang orang lain inginkan merupakan sebuah kekalahan atas dunia ini.
...
Kalau kita cermati, solusi Hayama sebenarnya salah alamat. Hayama jelas tahu kalau pangkal permasalahannya adalah Sagami, tapi meminta Yukino untuk menerima Hayama sebagai bagian dari kepanitiaan jelas memiliki maksud terselubung. Menambah satu orang daripada membuat kembali seluruh perwakilan kelas di kepanitiaan jelas lebih efektif solusi yang terakhir.
...
Jawaban mengapa subtitle hanya muncul di Hayama dan Sagami, sedang yang lain tidak, baru terjawab di vol 6 chapter 9. Monolog Hachiman ketika berhadapan dengan Sagami di atap gedung sekolah.
Ada dua cara bagi dua orang yang berada di level paling hina di dalam komunitas untuk berkomunikasi. Pertama, saling menjilati luka masing-masing. Kedua, dengan saling menjatuhkan satu sama lain.
Karena Hayama juga memiliki subtitle, Hayama juga sebenarnya orang brengsek. Tapi itu baru terbuka di vol 10 chapter 7.
...
Monolog Hachiman yang berharap Yukino masuk IPS karena cocok dengan imagenya yang suka membaca buku, sungguh tidak masuk akal. Hanya karena suka membaca buku, bukan berarti Yukino cocok di IPS. Tapi jika melihat fakta Hachiman akan memilih IPS kelak, maka ini menjadi masuk akal. Manusia hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat, monolog vol 5 chapter 7.
...
Monolog Hachiman setelah menolak usulan Hayama. Tentang seseorang yang harusnya waktu itu melakukan sesuatu, tapi tidak dilakukan. Lalu orang itu membuat sebuah beban besar ke seseorang.
Itu adalah Hachiman, mengenai masalah tabrakan setahun yang lalu, dan Yukino sebagai penumpangnya. Hachiman menyesalkan dirinya yang harusnya menyelesaikan itu lebih dini, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Tapi itu menjadi masalah yang berantai, hingga Yukino memilih untuk menjadi Wakil Ketua Sagami untuk menghindarinya. Pada akhirnya, Yukino malah mendapatkan masalah yang lebih besar.
Yq gan
BalasHapus