x Chapter VII x
Hari ini adalah hari kedua darmawisata.
Hari ini semua siswa melakukan kunjungan sesuai dengan jadwal grup masing-masing, dan rencana grupku kali ini adalah mengunjungi daerah Uzumasa sampai Rakusei.
Tujuan pertama kami hari ini adalah Desa Film Uzumasa. Desa ini sebenarnya adalah desa buatan yang biasa dipakai untuk setting film sejarah. Sebagai lokasi wisata yang terkenal, tidak hanya meniru setting Jalan Yoshiwara dan Ikedaya, disini juga banyak sekali hal-hal yang bisa menghibur turis. Misalnya ‘Rumah Hantu’ dan ‘Mansion Ninja’ yang dapat membuat para pengunjung merasakan atmosfer Jepang jaman dahulu lewat atraksi dan cosplay.
Kami pergi ke Uzumasa dari hotel naik bus kota.
‘Paket tiket bus 1 hari’ adalah sebuah paket wisata yang ‘murah-meriah’ bagi kantong siswa ataupun turis. Dengan harga 500Yen, kau bisa naik bus kota sepuasmu selama sehari. Sebuah paket impian bagi siapapun. Karena jalur busnya yang luas dan mencakup hampir seluruh daerah di kota ini, kau bisa pergi ke berbagai tempat wisata yang kau inginkan di Kyoto.
Tapi, hal tersebut ada kekurangannya.
Dengan banyaknya atraksi musim gugur yang menarik, bus kota selalu dipenuhi oleh turis. Mungkin peluangmu untuk naik bus itu sendiri sekitar 10%-50%. Karena murah dan nyaman, banyak sekali turis yang menggunakannya.
Kalau setiap kita pindah lokasi artinya harus menghadapi keramaian seperti ini, persetan dengan request klub!
Dalam keramaian yang absurd ini, aku sangat mengkhawatirkan situasi para gadis dan Totsuka; kalau prianya ya masa bodoh!
Tapi karena di grup para gadis ada Miura dan Kawasaki, orang-orang di sekitar mereka menjadi ketakutan dan membuat Ebina serta Yuigahama mendapatkan ruang yang nyaman. Yeah, mereka berdua sangat menakutkan...
Sedangkan Totsuka, dia berada di ‘tangan yang benar’.
“Ha-Hachiman, kau baik-baik saja? Maaf ya?”
Dia meminta maaf ketika berdiri diantara kedua lenganku.
“Oh tidak masalah. Kecuali lengan-lengan tidak dikenal yang menyikutku dan kaki-kaki antah berantah yang menginjak sepatuku, kurasa ini bukan masalah.”
“Ah sorry ya! Hikitani, maaf repotin! Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang bisa kulakukan disini? Disini super ramai, serius ini.”
Terkutuk kau, Tobe!
“Kalian jangan lupa kalau kita turun di pemberhentian selanjutnya.”
Hayama memberitahu kami. Dia memang pria level atas karena tetap mengkhawatirkan orang lain meskipun berada dalam situasi yang kacau balau seperti ini.
Tidak lama kemudian, bus berhenti di depan Desa Film Uzumasa.
Kami dan gerombolan turis mulai keluar dari bus.
Kami serasa ‘dikepret’ dan diinjak-injak selama di dalam bus, dan sekarang tibalah saatnya bagi kami untuk bersenang-senang di desa ini.
Dalam kondisi seperti ini, aku lebih suka jika kita mampir sebentar ke Komeda Coffee dan memesan Kopi Kayu Manis sambil beristirahat. Tapi masalahnya, Tobe ketika turun dari bus langsung lari terburu-buru membeli tiket dan kembali ke rombongan dengan beberapa tiket di tangannya.
“Ini, Ebina.”
“Terima kasih ya.”
Begitu ya. Jadi kau beli tiket cepat-cepat sehingga kau bisa memberikannya tiket. Ketika aku berdiri memikirkannya, Hayama dan yang lainnya juga pergi membeli tiket.
“Oh, ini untukmu, Hikitani.”
“...Yeah.”
Pria ini tampaknya sangat antusias hari ini. Okelah, akan kubantu sebisaku.
Kami lalu masuk ke desa. Ketika melewati gerbang masuk, Pretty Cure mulai mencuri perhatianku, tapi karena disini aku harus bersikap lebih dewasa, aku putuskan untuk fokus dengan hal-hal lainnya di taman;aku akan ke Pretty Cure ketika kesini sendirian.
[note: Pretty Cure adalah sebuah brand anime gadis penyihir yang sudah mengeluarkan beberapa seri populer. Di Uzumasa, ada sebuah museum anime tersebut, bisa dikatakan ‘surga’ penggemar Pretty Cure. Watari tampaknya menyukai anime tersebut.]
Beberapa area taman disini seperti menggambarkan suasana kota Edo, bahkan kau seringkali melihat orang-orang, yang biasanya staff desa ini, berpakaian seperti Samurai dan berlalu-lalang di tempat itu.
[note: Samurai adalah pria terlatih dengan ilmu berpedang yang mengabdi kepada bangsawan tertentu. Samurai yang tidak bertuan disebut Ronin. Pedang Samurai memiliki nama yang bervariasi, namun yang paling populer adalah katana.]
“...Ayo kita kesana!”
“Y-yeah! Ayo, ayo!”
Ketika Hayama menyarankan itu dengan senyum, Tobe yang tampak lemas mulai enerjik kembali.
“Bagaimana kalau kita kesana?”
Yuigahama lalu menunjuk ke sebuah rumah hantu bertema sejarah. Tampaknya, dia memang melirik ke tempat itu sejak berada disini.
Memang, cukup lumrah sih. Karena dia memikirkan tentang Tobe dan Ebina.
Dan itulah diharapkan dari sebuah atraksi rumah hantu.
Kau tidak bisa meremehkan atraksi rumah hantu. Di depan rumah hantu tersebut ada tulisan dibuat oleh perusahaan Toei. Tidak hanya tampilan monster-monsternya yang dibuat dengan detail, para pegawai Toei juga berperan menjadi monsternya.
[note: Toei adalah perusahaan mainan terkemuka di Jepang. Bekerjasama dengan Super Sentai, Kamen Rider, Ultraman, dll. Jaminan kualitas mainan dan set monster yang mengerikan.]
Ada seseorang yang sebenarnya tidak menyukainya, tapi karena tidak ada yang keberatan, akhirnya kita mengantri di atraksi tersebut.
[note: Tobe takut gelap, vol 7 chapter 5 ketika memasuki kuil di sebelah Kiyomizu.]
“Hayatooo, aku takuuuut!”
Miura bersikap manja dan memeluk lengan Hayama. Tahu tidak, Miura? Kau ini jauh lebih manis ketika bersikap seperti Ibu yang merawat anak-anaknya. Kusarankan kau lebih memperhatikan dengan betul keunggulan pesonamu itu!
“Yeaaah, aku sebenarnya tidak begitu bagus dalam masalah rumah hantu.”
Hayama tertawa malu-malu seperti menghindari topiknya. Dengannya yang memberitahu kelemahannya itu, hatiku merasa tidak nyaman karena itu adalah hal yang langka.
Akhirnya, tiba bagi kami untuk masuk. Punya 8 orang yang akan masuk ke atraksi akan terlihat terlalu aneh, jadi kami memutuskan akan dibagi 2 kelompok dengan per kelompok berisi 4 orang.
Setelah grup Hayama berangkat, sekarang giliran grupku untuk masuk.
Bagian pertama adalah perkenalan. Disini, kami melihat tayangan video yang melarang tindakan kekerasan seperti memukul dan menendang para aktor yang berperan sebagai monster. Sejujurnya, ini malah membuatku ketakutan...
Ini sejenis dengan spoiler dan memberikan kesan kalau atraksi ini diciptakan dengan sungguh-sungguh...
Setidaknya itulah yang kupikirkan hingga saat ini.
Ketika masuk lebih jauh, suasana yang tidak familiar mulai mengisi sekitarku.
Lingkungan sekitar mirip suasana jaman Edo.
Pengunjung memang dilarang untuk menyalakan lampu atau sejenisnya. Pencahayaan diatur sedemikian rupa sehingga para pengunjung hanya bisa melihat simbol-simbol menakutkan selama perjalanan. Setelah penglihatan kami mulai terlihat terbatas, sudut yang gelap di ujung jalan ini sudah menunggu untuk menakut-nakuti para pengunjung.
Suara orang-orang yang berdoa menggema dalam kegelapan ini sehingga aku tidak tahu seberapa jauh posisi grup yang lain.
Tapi, aku bisa mendengar samar-samar suara grup Hayama karena ada suara yang sangat khas.
“Oh sial, sial, sial, siaaaaaaaal!”
Tobe, pria yang bertipe gampang sekali ditakut-takuti, tenggelam dalam suasana rumah hantu dan karena sangat ketakutan, dia sejak awal masuk atraksi ini terlihat menempel terus kepada Hayama. Di dekat suara tersebut, terdengar tawa Ebina yang sangat menakutkan.
“Eek! Barusan itu, suara aneh...”
Berjalan di belakangku, adalah Kawasaki yang selalu memegangi lenganku sambil terlihat ketakutan. Umm, kalau kau begitu terus, bajuku bisa sobek, bisakah kau hentikan itu? Itu cuma suara tawa Ebina, kau enggak perlu taku ...Oke, suara tawanya memang menakutkan.
Hari ini semua siswa melakukan kunjungan sesuai dengan jadwal grup masing-masing, dan rencana grupku kali ini adalah mengunjungi daerah Uzumasa sampai Rakusei.
Tujuan pertama kami hari ini adalah Desa Film Uzumasa. Desa ini sebenarnya adalah desa buatan yang biasa dipakai untuk setting film sejarah. Sebagai lokasi wisata yang terkenal, tidak hanya meniru setting Jalan Yoshiwara dan Ikedaya, disini juga banyak sekali hal-hal yang bisa menghibur turis. Misalnya ‘Rumah Hantu’ dan ‘Mansion Ninja’ yang dapat membuat para pengunjung merasakan atmosfer Jepang jaman dahulu lewat atraksi dan cosplay.
Kami pergi ke Uzumasa dari hotel naik bus kota.
‘Paket tiket bus 1 hari’ adalah sebuah paket wisata yang ‘murah-meriah’ bagi kantong siswa ataupun turis. Dengan harga 500Yen, kau bisa naik bus kota sepuasmu selama sehari. Sebuah paket impian bagi siapapun. Karena jalur busnya yang luas dan mencakup hampir seluruh daerah di kota ini, kau bisa pergi ke berbagai tempat wisata yang kau inginkan di Kyoto.
Tapi, hal tersebut ada kekurangannya.
Dengan banyaknya atraksi musim gugur yang menarik, bus kota selalu dipenuhi oleh turis. Mungkin peluangmu untuk naik bus itu sendiri sekitar 10%-50%. Karena murah dan nyaman, banyak sekali turis yang menggunakannya.
Kalau setiap kita pindah lokasi artinya harus menghadapi keramaian seperti ini, persetan dengan request klub!
Dalam keramaian yang absurd ini, aku sangat mengkhawatirkan situasi para gadis dan Totsuka; kalau prianya ya masa bodoh!
Tapi karena di grup para gadis ada Miura dan Kawasaki, orang-orang di sekitar mereka menjadi ketakutan dan membuat Ebina serta Yuigahama mendapatkan ruang yang nyaman. Yeah, mereka berdua sangat menakutkan...
Sedangkan Totsuka, dia berada di ‘tangan yang benar’.
“Ha-Hachiman, kau baik-baik saja? Maaf ya?”
Dia meminta maaf ketika berdiri diantara kedua lenganku.
“Oh tidak masalah. Kecuali lengan-lengan tidak dikenal yang menyikutku dan kaki-kaki antah berantah yang menginjak sepatuku, kurasa ini bukan masalah.”
“Ah sorry ya! Hikitani, maaf repotin! Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada yang bisa kulakukan disini? Disini super ramai, serius ini.”
Terkutuk kau, Tobe!
“Kalian jangan lupa kalau kita turun di pemberhentian selanjutnya.”
Hayama memberitahu kami. Dia memang pria level atas karena tetap mengkhawatirkan orang lain meskipun berada dalam situasi yang kacau balau seperti ini.
Tidak lama kemudian, bus berhenti di depan Desa Film Uzumasa.
Kami dan gerombolan turis mulai keluar dari bus.
Kami serasa ‘dikepret’ dan diinjak-injak selama di dalam bus, dan sekarang tibalah saatnya bagi kami untuk bersenang-senang di desa ini.
Dalam kondisi seperti ini, aku lebih suka jika kita mampir sebentar ke Komeda Coffee dan memesan Kopi Kayu Manis sambil beristirahat. Tapi masalahnya, Tobe ketika turun dari bus langsung lari terburu-buru membeli tiket dan kembali ke rombongan dengan beberapa tiket di tangannya.
“Ini, Ebina.”
“Terima kasih ya.”
Begitu ya. Jadi kau beli tiket cepat-cepat sehingga kau bisa memberikannya tiket. Ketika aku berdiri memikirkannya, Hayama dan yang lainnya juga pergi membeli tiket.
“Oh, ini untukmu, Hikitani.”
“...Yeah.”
Pria ini tampaknya sangat antusias hari ini. Okelah, akan kubantu sebisaku.
Kami lalu masuk ke desa. Ketika melewati gerbang masuk, Pretty Cure mulai mencuri perhatianku, tapi karena disini aku harus bersikap lebih dewasa, aku putuskan untuk fokus dengan hal-hal lainnya di taman;aku akan ke Pretty Cure ketika kesini sendirian.
[note: Pretty Cure adalah sebuah brand anime gadis penyihir yang sudah mengeluarkan beberapa seri populer. Di Uzumasa, ada sebuah museum anime tersebut, bisa dikatakan ‘surga’ penggemar Pretty Cure. Watari tampaknya menyukai anime tersebut.]
Beberapa area taman disini seperti menggambarkan suasana kota Edo, bahkan kau seringkali melihat orang-orang, yang biasanya staff desa ini, berpakaian seperti Samurai dan berlalu-lalang di tempat itu.
[note: Samurai adalah pria terlatih dengan ilmu berpedang yang mengabdi kepada bangsawan tertentu. Samurai yang tidak bertuan disebut Ronin. Pedang Samurai memiliki nama yang bervariasi, namun yang paling populer adalah katana.]
“...Ayo kita kesana!”
“Y-yeah! Ayo, ayo!”
Ketika Hayama menyarankan itu dengan senyum, Tobe yang tampak lemas mulai enerjik kembali.
“Bagaimana kalau kita kesana?”
Yuigahama lalu menunjuk ke sebuah rumah hantu bertema sejarah. Tampaknya, dia memang melirik ke tempat itu sejak berada disini.
Memang, cukup lumrah sih. Karena dia memikirkan tentang Tobe dan Ebina.
Dan itulah diharapkan dari sebuah atraksi rumah hantu.
Kau tidak bisa meremehkan atraksi rumah hantu. Di depan rumah hantu tersebut ada tulisan dibuat oleh perusahaan Toei. Tidak hanya tampilan monster-monsternya yang dibuat dengan detail, para pegawai Toei juga berperan menjadi monsternya.
[note: Toei adalah perusahaan mainan terkemuka di Jepang. Bekerjasama dengan Super Sentai, Kamen Rider, Ultraman, dll. Jaminan kualitas mainan dan set monster yang mengerikan.]
Ada seseorang yang sebenarnya tidak menyukainya, tapi karena tidak ada yang keberatan, akhirnya kita mengantri di atraksi tersebut.
[note: Tobe takut gelap, vol 7 chapter 5 ketika memasuki kuil di sebelah Kiyomizu.]
“Hayatooo, aku takuuuut!”
Miura bersikap manja dan memeluk lengan Hayama. Tahu tidak, Miura? Kau ini jauh lebih manis ketika bersikap seperti Ibu yang merawat anak-anaknya. Kusarankan kau lebih memperhatikan dengan betul keunggulan pesonamu itu!
“Yeaaah, aku sebenarnya tidak begitu bagus dalam masalah rumah hantu.”
Hayama tertawa malu-malu seperti menghindari topiknya. Dengannya yang memberitahu kelemahannya itu, hatiku merasa tidak nyaman karena itu adalah hal yang langka.
Akhirnya, tiba bagi kami untuk masuk. Punya 8 orang yang akan masuk ke atraksi akan terlihat terlalu aneh, jadi kami memutuskan akan dibagi 2 kelompok dengan per kelompok berisi 4 orang.
Setelah grup Hayama berangkat, sekarang giliran grupku untuk masuk.
Bagian pertama adalah perkenalan. Disini, kami melihat tayangan video yang melarang tindakan kekerasan seperti memukul dan menendang para aktor yang berperan sebagai monster. Sejujurnya, ini malah membuatku ketakutan...
Ini sejenis dengan spoiler dan memberikan kesan kalau atraksi ini diciptakan dengan sungguh-sungguh...
Setidaknya itulah yang kupikirkan hingga saat ini.
Ketika masuk lebih jauh, suasana yang tidak familiar mulai mengisi sekitarku.
Lingkungan sekitar mirip suasana jaman Edo.
Pengunjung memang dilarang untuk menyalakan lampu atau sejenisnya. Pencahayaan diatur sedemikian rupa sehingga para pengunjung hanya bisa melihat simbol-simbol menakutkan selama perjalanan. Setelah penglihatan kami mulai terlihat terbatas, sudut yang gelap di ujung jalan ini sudah menunggu untuk menakut-nakuti para pengunjung.
Suara orang-orang yang berdoa menggema dalam kegelapan ini sehingga aku tidak tahu seberapa jauh posisi grup yang lain.
Tapi, aku bisa mendengar samar-samar suara grup Hayama karena ada suara yang sangat khas.
“Oh sial, sial, sial, siaaaaaaaal!”
Tobe, pria yang bertipe gampang sekali ditakut-takuti, tenggelam dalam suasana rumah hantu dan karena sangat ketakutan, dia sejak awal masuk atraksi ini terlihat menempel terus kepada Hayama. Di dekat suara tersebut, terdengar tawa Ebina yang sangat menakutkan.
“Eek! Barusan itu, suara aneh...”
Berjalan di belakangku, adalah Kawasaki yang selalu memegangi lenganku sambil terlihat ketakutan. Umm, kalau kau begitu terus, bajuku bisa sobek, bisakah kau hentikan itu? Itu cuma suara tawa Ebina, kau enggak perlu taku ...Oke, suara tawanya memang menakutkan.
Ketika aku mengamati sekitarku, tampaknya ini adalah sebuah rumah yang menjadi TKP pembunuhan pada jaman Edo.
Kurasa ini setting standar di rumah hantu, tapi desainnya memang langsung tepat sasaran. Yuigahama, yang berjalan di sebelahku, berjalan dengan kaki yang gemetaran dan menaruh tangannya di bajuku.
“A-aku benar-benar tidak bagus dalam hal ini...”
Ketika dia mengatakan itu, dia sambil melirik-lirik sekitarnya seperti mengira akan ada sesuatu yang akan muncul tiba-tiba.
“Hantu-hantu dari atraksi rumah hantu tidaklah menakutkan. Manusialah yang paling menakutkan.”
“Lagi-lagi dengan omongan filosofi anehmu...Tapi untuk saat ini, kurasa kau cukup bisa diandalkan.”
Yuigahama tertawa ketika mengatakannya, tapi serius ini, manusia itu sendirilah yang paling menakutkan.
“...Sederhananya, rumah hantu yang memang dibuat untuk menakuti orang adalah hal yang paling menakutkan.”
“Ya ampun, kau ternyata jelek sekali! Tidak bisa diandalkan!”
Tunggu dulu, akupun ketakutan juga! Kalau aku kesini sendirian, mungkin aku sudah lari ke ujung jalan sambil berteriak ketakutan.
“Heeeeeeeeeei! Heeeeeeei! Heeeeeeeeei!” terdengar suara tersebut diucapkan dengan nada yang aneh. Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu dimana jalan keluarnya.
Karena orang lain di grupku lebih berisik daripada biasanya, aku malahan menjadi tidak takut lagi.
Mungkin itu juga berlaku kepada Totsuka yang sejak tadi tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Malahan, dia tampaknya menikmati situasi ini.
“Totsuka, kau tampaknya sangat menikmati ini…”
“Yup, aku memang menyukai hal-hal semacam ini.”
Mungkin suasana disini gelap, tapi kegelapan itu tidak bisa menyembunyikan senyum manisnya. Aku sempat berpikir kalau senyumannya ini bisa saja menjadi sumber alternatif bagi krisis energi baru-baru ini. Saat ini kita lebih butuh senyuman, bukan minyak!
Ketika sedang berjalan, seekor monster(tentunya orang dengan kostum) melompat sambil berteriak “blaaaah”. Kawasaki langsung terkejut dan lari seperti hidupnya sedang dipertaruhkan. Lucunya, Kawasaki mengejutkan Totsuka sehingga dia ikut-ikutan lari.
Meski diriku terkesan tenang, akupun tidak luput dari rasa kaget.
Kaget tersebut membuat diriku menabrak Yuigahahama yang berada di sebelah kananku.
Yang terjadi adalah kepala kami bertabrakan dan suara kami mulai menggema.
“Ugh...”
“Ouch...”
Kami berdua duduk jongkok karena kepala kami kesakitan.
“Ma-Maaf...”
“Nah, akulah yang maaf, aku tadi terkejut...”
Ketika aku meminta maaf, dia menyentuh kepalaku seperti berusaha memijiti bagian yang sakit tadi.
“Kau tidak terluka?”
“Enggak, cuma sakit saja...”
Lagipula, ini sangat memalukan, jadi tolong hentikan! Aku membetulkan posisi kepalaku ini dan berdiri segera sehingga bisa menghentikan tangannya. Yuigahama tetap duduk dengan berjongkok.
[note: Ini lucu karena semalam Yukinoshita memeganginya jalan berdua dan Hachiman tidak sekalipun mengeluh!]
“Ngomong-ngomong, kita harus cepat. Kita sekarang yang paling belakang.”
Ketika dia hendak berdiri, aku menawarkan bantuanku. Tampaknya skill yang biasa kupakai ketika Komachi butuh bantuan secara otomatis, aktif.
“Huh?”
Yuigahama melihat ke arah tanganku dengan penuh tanda tanya. Tunggu, ini adalah hal yang normal ketika kulakukan dengan Komachi. Ketika menyadari situasinya, aku mulai membatalkan tawaranku tadi dan menarik kembali tanganku ke sakuku lagi.
“Terima kasih.”
Dia ternyata menerima tawaranku. Well, inilah yang kau katakan dengan kebaikan, juga dikenal dengan nama empati. Sebagai seorang gentleman. Ini adalah hal yang normal bagi seorang pria. Aku adalah orang yang gentleman.
Oleh karena itu aku akan membantunya berdiri dengan baik.
“Oke, ayo kita menuju jalan keluar.”
Yuigahama tersenyum ceria dan melepaskan tanganku. Aku sendiri tidak punya waktu untuk memikirkan apakah kejadian tadi adalah kejadian memalukan atau tidak karena Yuigahama mendorong bahuku dari belakang.
“Ayo cepat!”
Rumah hantu berdarah yang dingin dan gelap ini, masih menyediakan kengerian karena kami melihat ada prajurit tanpa kepala mengejar-ngejar kami dari belakang.
“Tampaknya di depan sudah jalan keluar.”
Cahaya mulai terlihat di sebuah pintu. Setelah kami melewati pintu tersebut, sebuah angin segar menerpa kami.
“Akhirnya selesai juga...Aku sangat ketakutan...”
Tidak seperti semangatnya yang menggebu-gebu, Yuigahama terlihat sangat kelelahan dan duduk di kursi. Di depannya ada Totsuka dan Hayama yang sudah selesai lebih dulu.
Totsuka lalu mendatangiku.
“Hachiman, tadi sangat menyenangkan, ya?”
Totsuka yang tersenyum membuatku merasa linglung. Jiwaku seperti diterbangkan ke deretan bintang-bintang di angkasa.
“Ayo kita ke tempat selanjutnya.”
Hayama melihat ke arah semuanya. Tampaknya tidak ada yang keberatan. Miura yang sedari tadi duduk di bangku, berdiri dan mengumpulkan energinya.
“Oke, aku akan panggil Ebina.”
Ketika dia mengatakan itu, dia berjalan ke arah toko cinderamata. Kupikir semuanya ada disini, tapi tampaknya Ebina dan Tobe tidak ada disini. Aku melihat ke arah toko tersebut dan disana ada Ebina seperti mengagumi barang-barang Shinsengumi dan Tobe di dekatnya mengatakan “Oh pedang kayu, sangat mahaaaal”.
[note:Shinsegumi adalah sebuah kepolisian yang dibentuk oleh pemerintah resmi tahun 1864, didirikan oleh para jagoan berpedang. Tujuannya untuk melindungi Shogun yang terakhir di Kyoto dan menstabilkan situasi keamanan. Bukankah Shogun punya Samurai yang melindunginya? Berdirinya Shinsegumi berarti berlakunya larangan membawa pedang dan senjata api bagi non-organisasi pemerintah. Kalau anda penggemar anime Samurai X, pasti paham apa yang terjadi.]
Eh...Apakah atraksi rumah hantu berhasil...?
Kurasa ini setting standar di rumah hantu, tapi desainnya memang langsung tepat sasaran. Yuigahama, yang berjalan di sebelahku, berjalan dengan kaki yang gemetaran dan menaruh tangannya di bajuku.
“A-aku benar-benar tidak bagus dalam hal ini...”
Ketika dia mengatakan itu, dia sambil melirik-lirik sekitarnya seperti mengira akan ada sesuatu yang akan muncul tiba-tiba.
“Hantu-hantu dari atraksi rumah hantu tidaklah menakutkan. Manusialah yang paling menakutkan.”
“Lagi-lagi dengan omongan filosofi anehmu...Tapi untuk saat ini, kurasa kau cukup bisa diandalkan.”
Yuigahama tertawa ketika mengatakannya, tapi serius ini, manusia itu sendirilah yang paling menakutkan.
“...Sederhananya, rumah hantu yang memang dibuat untuk menakuti orang adalah hal yang paling menakutkan.”
“Ya ampun, kau ternyata jelek sekali! Tidak bisa diandalkan!”
Tunggu dulu, akupun ketakutan juga! Kalau aku kesini sendirian, mungkin aku sudah lari ke ujung jalan sambil berteriak ketakutan.
“Heeeeeeeeeei! Heeeeeeei! Heeeeeeeeei!” terdengar suara tersebut diucapkan dengan nada yang aneh. Entah mengapa, aku sendiri tidak tahu dimana jalan keluarnya.
Karena orang lain di grupku lebih berisik daripada biasanya, aku malahan menjadi tidak takut lagi.
Mungkin itu juga berlaku kepada Totsuka yang sejak tadi tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Malahan, dia tampaknya menikmati situasi ini.
“Totsuka, kau tampaknya sangat menikmati ini…”
“Yup, aku memang menyukai hal-hal semacam ini.”
Mungkin suasana disini gelap, tapi kegelapan itu tidak bisa menyembunyikan senyum manisnya. Aku sempat berpikir kalau senyumannya ini bisa saja menjadi sumber alternatif bagi krisis energi baru-baru ini. Saat ini kita lebih butuh senyuman, bukan minyak!
Ketika sedang berjalan, seekor monster(tentunya orang dengan kostum) melompat sambil berteriak “blaaaah”. Kawasaki langsung terkejut dan lari seperti hidupnya sedang dipertaruhkan. Lucunya, Kawasaki mengejutkan Totsuka sehingga dia ikut-ikutan lari.
Meski diriku terkesan tenang, akupun tidak luput dari rasa kaget.
Kaget tersebut membuat diriku menabrak Yuigahahama yang berada di sebelah kananku.
Yang terjadi adalah kepala kami bertabrakan dan suara kami mulai menggema.
“Ugh...”
“Ouch...”
Kami berdua duduk jongkok karena kepala kami kesakitan.
“Ma-Maaf...”
“Nah, akulah yang maaf, aku tadi terkejut...”
Ketika aku meminta maaf, dia menyentuh kepalaku seperti berusaha memijiti bagian yang sakit tadi.
“Kau tidak terluka?”
“Enggak, cuma sakit saja...”
Lagipula, ini sangat memalukan, jadi tolong hentikan! Aku membetulkan posisi kepalaku ini dan berdiri segera sehingga bisa menghentikan tangannya. Yuigahama tetap duduk dengan berjongkok.
[note: Ini lucu karena semalam Yukinoshita memeganginya jalan berdua dan Hachiman tidak sekalipun mengeluh!]
“Ngomong-ngomong, kita harus cepat. Kita sekarang yang paling belakang.”
Ketika dia hendak berdiri, aku menawarkan bantuanku. Tampaknya skill yang biasa kupakai ketika Komachi butuh bantuan secara otomatis, aktif.
“Huh?”
Yuigahama melihat ke arah tanganku dengan penuh tanda tanya. Tunggu, ini adalah hal yang normal ketika kulakukan dengan Komachi. Ketika menyadari situasinya, aku mulai membatalkan tawaranku tadi dan menarik kembali tanganku ke sakuku lagi.
“Terima kasih.”
Dia ternyata menerima tawaranku. Well, inilah yang kau katakan dengan kebaikan, juga dikenal dengan nama empati. Sebagai seorang gentleman. Ini adalah hal yang normal bagi seorang pria. Aku adalah orang yang gentleman.
Oleh karena itu aku akan membantunya berdiri dengan baik.
“Oke, ayo kita menuju jalan keluar.”
Yuigahama tersenyum ceria dan melepaskan tanganku. Aku sendiri tidak punya waktu untuk memikirkan apakah kejadian tadi adalah kejadian memalukan atau tidak karena Yuigahama mendorong bahuku dari belakang.
“Ayo cepat!”
Rumah hantu berdarah yang dingin dan gelap ini, masih menyediakan kengerian karena kami melihat ada prajurit tanpa kepala mengejar-ngejar kami dari belakang.
“Tampaknya di depan sudah jalan keluar.”
Cahaya mulai terlihat di sebuah pintu. Setelah kami melewati pintu tersebut, sebuah angin segar menerpa kami.
“Akhirnya selesai juga...Aku sangat ketakutan...”
Tidak seperti semangatnya yang menggebu-gebu, Yuigahama terlihat sangat kelelahan dan duduk di kursi. Di depannya ada Totsuka dan Hayama yang sudah selesai lebih dulu.
Totsuka lalu mendatangiku.
“Hachiman, tadi sangat menyenangkan, ya?”
Totsuka yang tersenyum membuatku merasa linglung. Jiwaku seperti diterbangkan ke deretan bintang-bintang di angkasa.
“Ayo kita ke tempat selanjutnya.”
Hayama melihat ke arah semuanya. Tampaknya tidak ada yang keberatan. Miura yang sedari tadi duduk di bangku, berdiri dan mengumpulkan energinya.
“Oke, aku akan panggil Ebina.”
Ketika dia mengatakan itu, dia berjalan ke arah toko cinderamata. Kupikir semuanya ada disini, tapi tampaknya Ebina dan Tobe tidak ada disini. Aku melihat ke arah toko tersebut dan disana ada Ebina seperti mengagumi barang-barang Shinsengumi dan Tobe di dekatnya mengatakan “Oh pedang kayu, sangat mahaaaal”.
[note:Shinsegumi adalah sebuah kepolisian yang dibentuk oleh pemerintah resmi tahun 1864, didirikan oleh para jagoan berpedang. Tujuannya untuk melindungi Shogun yang terakhir di Kyoto dan menstabilkan situasi keamanan. Bukankah Shogun punya Samurai yang melindunginya? Berdirinya Shinsegumi berarti berlakunya larangan membawa pedang dan senjata api bagi non-organisasi pemerintah. Kalau anda penggemar anime Samurai X, pasti paham apa yang terjadi.]
Eh...Apakah atraksi rumah hantu berhasil...?
x
x
x
Tujuan kami selanjutnya adalah daerah Rakusei. Rencananya, kami akan kesana dengan naik bus dari Uzumasa.
Tapi, masalahnya adalah daerah Rakusei terdapat kuil Kinkaku dan banyak lagi tempat-tempat populer bagi para turis. Saat ini sedang berada dalam musim gugur dan bus akan selalu terlihat penuh.
Yang terpenting, banyak sekali turis yang pulang dari Desa Uzumasa dan tanpa ragu mereka juga menunggu bus yang sama dengan kita. Melihat banyaknya bus yang lewat sini tapi tidak berhenti, menandakan busnya penuh dan kita harus menunggu lagi.
Oleh karena itu, aku menghindari naik bus kota sebisanya.
Aku lalu melihat situasi sekitarku dan terlihat ada pemberhentian taksi.
Hmm.
Mungkin akan terasa aneh, tapi ketika orang sudah merasa nyaman dengan pilihannya, mereka langsung tidak memperhitungkan adanya alternatif lain yang tersedia.
Aku menepuk bahu Yuigahama yang berdiri di sampingku. Dia tampak kelelahan dan menjawabku tanpa menolehkan kepalanya ke arahku.
“Ada apa?”
“Ayo naik taksi saja.”
Ketika kuberitahu, Yuigahama menggerutu.
“Taksi? Taksi kan mahal? Dan mahal berarti tidak.”
Dengan kata lain, dia ingin menunggu bus.
Apa-apaan dia? Sikapnya macam Ibu-Ibu Rumah Tangga saja! Dia seperti itu juga ketika Festival Budaya, tampaknya dia memang diajari untuk ketat terhadap uang...
Tapi, bagiku yang bercita-cita menjadi Suami Rumahan, aku tidak boleh kalah dari Ibu-Ibu.
“Bukan begitu, coba dengar ini. Memang kalau di Tokyo, sebagai Ibukota Negara, kuakui taksi memang mahal. Tapi, ini adalah Kyoto, tentunya pasti lebih murah. Taksi kecil juga lumrah disini. Bahkan, kita akan terasa rugi jika tidak pakai taksi. Apalagi kalau kita bagi rata biayanya, nanti kelihatan kalau ternyata tidak semahal yang dikira.”
“Eeeh...”
Reaksinya yang kaget ini, tampaknya aku perlu menambahkan beberapa alasan untuk meyakinkannya.
“Tunggu, tenang dulu. Ada kerugian jika kita buang-buang waktu menunggu bus disini.”
“Seperti?”
Reaksi Yuigahama seperti hendak mendengarkanku hanya sekedar membuang-buang waktu. Gadis sialan...
Kalau begini, aku harus mengaitkan alasannya dengan sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Kamu suka Disney Land tidak?”
“Ya, lalu?”
Tidak seperti sebelumnya, sikapnya kali ini berbeda. Dia membetulkan posisinya dan menatap ke arahku. Jangan meremehkan kemampuanku tentang Chiba, aku jauh lebih ahli kalau soal ini. Termasuk dengan Disney Land. Satu-satunya hal menarik di Chiba yang berjalan dengan ketertarikan Yuigahama jelas sesuatu seperti Disney Land. Oleh karena itu, aku berusaha mengubahnya dengan ini.
“Tempat itu terkenal sebagai tempat kencan, tahu tidak?”
“Uh huh, semua orang juga tahu. Terus kenapa?”
Yuigahama memiringkan kepalanya seperti penuh dengan tanda tanya.
“Tapi, ada sebuah kabar yang tidak sedap.”
“Eh, apa itu?”
Dia lalu membalikkan badannya ke arahku seperti tertarik dengan topiknya. Setelah mengkonfirmasi itu, aku melanjutkan penjelasanku.
“Pasangan yang pergi kencan ke Disney Land akan putus.”
“Ah, kalau itu aku memang sering dengar. Itu kan semacam mitos.”
“Memang. Tapi, kalau kau mengamati dengan baik, ternyata itu masuk akal.”
Sebenarnya, tidak ada hal yang supranatural disini. Ini hanyalah sebuah permainan psikologis manusia.
“Ketika antrian masuk atraksi terasa sangat lama, kau akhirnya akan stress. Bahkan obrolan di sekitarmu mulai terasa ‘garing’. Ketika itu terjadi, kau akan merasa tidak nyaman dan diam merupakan pilihan terbaik, dan akhirnya kau akan bosan.”
“Haa, begitu ya, begitu ternyata~.”
Yuigahama mengangguk sambil mengagumi penjelasanku. Tampaknya, aku sukses mempengaruhinya. Tinggal, satu penjelasan akhir untuk menyegel keputusannya.
“Bukankah situasi kita ini mirip dengan itu?”
“Kau dan aku? Kupikir tidak begitu.”
Yuigahama meresponnya dengan penuh tanda tanya. Bukan, bukan, sial ternyata kau tidak bisa bereaksi sesuai dengan skenarioku!
“Bukan itu...Aku berbicara tentang Tobe dan Ebina.”
“Ah, be-benar juga...”
Yuigahama menundukkan kepalanya karena merasa malu.
“Coba lihat mereka.”
Aku gerakkan jempol tanganku ke arah mereka berdua.
Baik Tobe dan Ebina terlihat dilanda kebosanan. Ebina tampak berbicara banyak sekali hal tidak jelas, sedang Miura daritadi hanya bermain dengan HP-nya. Tobe, malahan jauh dari mereka sambil bermain pedang kayu. Eh tunggu, kau ternyata beli pedang itu?
“I-iya sih...”
Ketika melihat situasi itu, Yuigahama menyilangkan lengannya.
Akhirnya kutambahkan sesuatu agar lebih meyakinkan lagi.
“Aku cuma ingin mengatakan, kalau kursi penumpang taksi itu adalah ruangan yang terbatas. Sehingga kedekatan mereka harusnya bisa meningkat.”
[note: Kalau kita cerdas, ini berarti Hachiman yang semalam naik taksi bertiga duduk di kursi penumpang yang sempit bersama Yukino sadar sepenuhnya kalau Sensei bermaksud menjadikan mereka berdua lebih dekat.]
Setelah mengatakan itu, Yuigahama terkejut.
“Be-begitu ya...kucoba tanya ke mereka.”
Yuigahama lalu berjalan menuju grup di depannya dan membicarakan sesuatu.
“Kalian mau tidak kalau kita naik taksi?”
Ketika dia mulai membicarakan itu, semuanya tampak ragu-ragu. Mau bagaimana lagi, wajar-wajar saja bagi siswa SMA ragu jika ditanyakan hal semacam itu. Mereka kebanyakan berpikir kalau taksi adalah hal yang mahal dan mereka memang sejak awal tidak terbiasa memakai taksi. Tampaknya aku harus turun tangan mempengaruhi mereka. Lagipula aku tidak ingin naik bus yang ramai seperti tadi.
“Kalau kita naik taksi, biayanya tidak mahal kalau dibagi orang empat.”
“Begitu ya.”
Hayama yang menyadari itu dengan cepat adalah sebuah bantuan yang tak terhingga. Kalau leader sudah menyetujui, tinggal masalah waktu saja para pengikutnya setuju. Miura dan Tobe tampak tidak berkeberatan. Ebina mengangguk setuju sambil memegangi Kawasaki. Totsuka tampak setuju juga.
Kami meninggalkan antrian bus dan menuju pemberhentian taksi.
Karena kami ada 8 orang, kami memecah kembali grup menjadi 2.
Ketika berjalan menuju pemberhentian taksi, Hayama dan Miura berjalan di depan diikuti oleh Kawasaki dan Totsuka. Aku lalu berperan sebagai tembok memisahkan mereka berempat di depan dengan tiga orang di belakangku. Jadi ketika masuk ke taksi, grup empat orang yang pertama akan terdiri dari Hayama, Miura, Kawasaki, dan Totsuka. Grup selanjutnya akan terdiri dari diriku, Yuigahama, Ebina, dan Tobe. Disaat yang seperti inilah, peran sebagai tembok sangatlah penting.
Hayama memimpin grup menuju taksi yang menunggu.
“Oke, ayo kita masuk.”
Hayama sebagai leader terlihat mengatur urutannya. Kurasa ini akan sesuai rencana.
“Ayo Yumiko.”
“Okeeeeee.”
Setelah Hayama mengatakan itu, Miura langsung masuk. Hayama lalu memanggil seseorang untuk masuk ke taksi.
“Ayo Tobe.”
Ketika dia memanggil Tobe, dia langsung meresponnya.
“Ah, rooger. Ayo Ebina, ayo kita pergi.”
“Oke, oke. Kami akan pergi duluan kalau begitu. Yui, Sakisaki...”
Tobe dan Ebina mengikuti instruksi Hayama dan naik taksi satu-persatu. Ebina melambai-lambaikan tangannya kepada Yuigahama dan Kawasaki ketika masuk ke taksi.
“Ah, yeah, sampai jumpa disana.”
“Jangan panggil aku Sakisaki.”
Yuigahama meresponnya balik sedangkan Sakisaki dengan malu-malu menatapnya dengan tatapan yang kurang senang.
Terakhir, ditutup dengan Hayama yang masuk dan duduk di kursi penumpang.
“...Oke, kami duluan ya.”
Hayama memanggil semuanya tanpa sedikitpun menatap ke arahku.
...Hmm, jadi begini ya permainanmu.
Karena kami berada di belakang, kurasa aku harus memimpin orang-orang ini masuk ke taksi.
“Jadi, kita duduk dimana?”
Totsuka bertanya itu, tapi urutan yang masuk akal kurasa akulah yang duduk di sebelah supir.
“Oke, aku duduk di depan. Kalian bertiga di belakang.”
Pintu taksi terbuka dan mereka bertiga duduk di belakang. Setelah aku duduk di depan, aku kencangkan sabuk pengamannya dahulu.
“Tolong ke kuil Ninnaji.”
Aku memberitahu tujuan kami dan supir taksi yang tersenyum lembut itu mengulangi tujuan kami sekali lagi.
Mobil akhirnya mulai berjalan.
Selama di perjalanan, supir taksi mengajakku mengobrol.
“Apa kalian sedang dalam darmawisata?”
“Ya, benar sekali.”
Aku melihat sejenak ke arah si supir dan memberikannya jawaban singkat. Aku bukannya bermaksud memberikannya jawaban yang dingin, tapi aku sendiri tidak terbiasa mengobrol basa-basi dengan seseorang.
“Kalian berasal dari mana?”
“Dekat Tokyo.”
Ketika warga Chiba datang ke daerah lain dan ditanya berasal dari mana, mereka akan berakhir dengan mengatakan “di dekat Tokyo”. Maksudku, orang-orang kebanyakan tidak tahu dimana Chiba.
Setelah itu, percakapan hanya berputar-putar antara diriku dan si supir taksi. Kurasa ini sudah menjadi standar operasional bagi semua taksi untuk menerapkan jebakan pembicaraan semacam ini.
Sebaliknya, kursi penumpang di belakang mulai tenggelam dalam pembicaraan antara perempuan.
“Benar. Dan seperti, ketika kamu mulai serius dalam perang bantal, Yumiko mulai menangis.”
“Kau jangan memberitahunya soal seperti itu...”
Dari cermin di atasku terlihat Yuigahama sedang bergembira membicarakan sesuatu dan Kawasaki yang sedang malas mengobrol terlihat menyilangkan kakinya beberapa kali. Ngomong-ngomong, Miura terlalu sering menangis...Sedang Totsuka hanya tersenyum dan menyelipkan beberapa kejadian yang terjadi di ruangan para pria.
[note: Vol 4 chapter 5, Yukino bercerita kalau Miura menangis di kabin mereka setelah mereka berdebat kecil.]
“Oh, perang bantal tampaknya seru. Kami hanya main mahjong dan UNO. Ah, Hachiman juga kalah dan kelupaan dengan hukumannya juga.”
Jarak kursi kita memang tidak begitu jauh, tetapi obrolan mereka jauh lebih hidup dari obrolanku.
Yeah, kupikir mereka sedang menikmatinya.
Sedangkan untukku, si supir tampaknya maklum dengan jawaban-jawaban singkatku. Yang kulakukan sejak tadi hanyalah melihat ke jendela samping dan memandangi pemandangan kota.
Tapi, masalahnya adalah daerah Rakusei terdapat kuil Kinkaku dan banyak lagi tempat-tempat populer bagi para turis. Saat ini sedang berada dalam musim gugur dan bus akan selalu terlihat penuh.
Yang terpenting, banyak sekali turis yang pulang dari Desa Uzumasa dan tanpa ragu mereka juga menunggu bus yang sama dengan kita. Melihat banyaknya bus yang lewat sini tapi tidak berhenti, menandakan busnya penuh dan kita harus menunggu lagi.
Oleh karena itu, aku menghindari naik bus kota sebisanya.
Aku lalu melihat situasi sekitarku dan terlihat ada pemberhentian taksi.
Hmm.
Mungkin akan terasa aneh, tapi ketika orang sudah merasa nyaman dengan pilihannya, mereka langsung tidak memperhitungkan adanya alternatif lain yang tersedia.
Aku menepuk bahu Yuigahama yang berdiri di sampingku. Dia tampak kelelahan dan menjawabku tanpa menolehkan kepalanya ke arahku.
“Ada apa?”
“Ayo naik taksi saja.”
Ketika kuberitahu, Yuigahama menggerutu.
“Taksi? Taksi kan mahal? Dan mahal berarti tidak.”
Dengan kata lain, dia ingin menunggu bus.
Apa-apaan dia? Sikapnya macam Ibu-Ibu Rumah Tangga saja! Dia seperti itu juga ketika Festival Budaya, tampaknya dia memang diajari untuk ketat terhadap uang...
Tapi, bagiku yang bercita-cita menjadi Suami Rumahan, aku tidak boleh kalah dari Ibu-Ibu.
“Bukan begitu, coba dengar ini. Memang kalau di Tokyo, sebagai Ibukota Negara, kuakui taksi memang mahal. Tapi, ini adalah Kyoto, tentunya pasti lebih murah. Taksi kecil juga lumrah disini. Bahkan, kita akan terasa rugi jika tidak pakai taksi. Apalagi kalau kita bagi rata biayanya, nanti kelihatan kalau ternyata tidak semahal yang dikira.”
“Eeeh...”
Reaksinya yang kaget ini, tampaknya aku perlu menambahkan beberapa alasan untuk meyakinkannya.
“Tunggu, tenang dulu. Ada kerugian jika kita buang-buang waktu menunggu bus disini.”
“Seperti?”
Reaksi Yuigahama seperti hendak mendengarkanku hanya sekedar membuang-buang waktu. Gadis sialan...
Kalau begini, aku harus mengaitkan alasannya dengan sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Kamu suka Disney Land tidak?”
“Ya, lalu?”
Tidak seperti sebelumnya, sikapnya kali ini berbeda. Dia membetulkan posisinya dan menatap ke arahku. Jangan meremehkan kemampuanku tentang Chiba, aku jauh lebih ahli kalau soal ini. Termasuk dengan Disney Land. Satu-satunya hal menarik di Chiba yang berjalan dengan ketertarikan Yuigahama jelas sesuatu seperti Disney Land. Oleh karena itu, aku berusaha mengubahnya dengan ini.
“Tempat itu terkenal sebagai tempat kencan, tahu tidak?”
“Uh huh, semua orang juga tahu. Terus kenapa?”
Yuigahama memiringkan kepalanya seperti penuh dengan tanda tanya.
“Tapi, ada sebuah kabar yang tidak sedap.”
“Eh, apa itu?”
Dia lalu membalikkan badannya ke arahku seperti tertarik dengan topiknya. Setelah mengkonfirmasi itu, aku melanjutkan penjelasanku.
“Pasangan yang pergi kencan ke Disney Land akan putus.”
“Ah, kalau itu aku memang sering dengar. Itu kan semacam mitos.”
“Memang. Tapi, kalau kau mengamati dengan baik, ternyata itu masuk akal.”
Sebenarnya, tidak ada hal yang supranatural disini. Ini hanyalah sebuah permainan psikologis manusia.
“Ketika antrian masuk atraksi terasa sangat lama, kau akhirnya akan stress. Bahkan obrolan di sekitarmu mulai terasa ‘garing’. Ketika itu terjadi, kau akan merasa tidak nyaman dan diam merupakan pilihan terbaik, dan akhirnya kau akan bosan.”
“Haa, begitu ya, begitu ternyata~.”
Yuigahama mengangguk sambil mengagumi penjelasanku. Tampaknya, aku sukses mempengaruhinya. Tinggal, satu penjelasan akhir untuk menyegel keputusannya.
“Bukankah situasi kita ini mirip dengan itu?”
“Kau dan aku? Kupikir tidak begitu.”
Yuigahama meresponnya dengan penuh tanda tanya. Bukan, bukan, sial ternyata kau tidak bisa bereaksi sesuai dengan skenarioku!
“Bukan itu...Aku berbicara tentang Tobe dan Ebina.”
“Ah, be-benar juga...”
Yuigahama menundukkan kepalanya karena merasa malu.
“Coba lihat mereka.”
Aku gerakkan jempol tanganku ke arah mereka berdua.
Baik Tobe dan Ebina terlihat dilanda kebosanan. Ebina tampak berbicara banyak sekali hal tidak jelas, sedang Miura daritadi hanya bermain dengan HP-nya. Tobe, malahan jauh dari mereka sambil bermain pedang kayu. Eh tunggu, kau ternyata beli pedang itu?
“I-iya sih...”
Ketika melihat situasi itu, Yuigahama menyilangkan lengannya.
Akhirnya kutambahkan sesuatu agar lebih meyakinkan lagi.
“Aku cuma ingin mengatakan, kalau kursi penumpang taksi itu adalah ruangan yang terbatas. Sehingga kedekatan mereka harusnya bisa meningkat.”
[note: Kalau kita cerdas, ini berarti Hachiman yang semalam naik taksi bertiga duduk di kursi penumpang yang sempit bersama Yukino sadar sepenuhnya kalau Sensei bermaksud menjadikan mereka berdua lebih dekat.]
Setelah mengatakan itu, Yuigahama terkejut.
“Be-begitu ya...kucoba tanya ke mereka.”
Yuigahama lalu berjalan menuju grup di depannya dan membicarakan sesuatu.
“Kalian mau tidak kalau kita naik taksi?”
Ketika dia mulai membicarakan itu, semuanya tampak ragu-ragu. Mau bagaimana lagi, wajar-wajar saja bagi siswa SMA ragu jika ditanyakan hal semacam itu. Mereka kebanyakan berpikir kalau taksi adalah hal yang mahal dan mereka memang sejak awal tidak terbiasa memakai taksi. Tampaknya aku harus turun tangan mempengaruhi mereka. Lagipula aku tidak ingin naik bus yang ramai seperti tadi.
“Kalau kita naik taksi, biayanya tidak mahal kalau dibagi orang empat.”
“Begitu ya.”
Hayama yang menyadari itu dengan cepat adalah sebuah bantuan yang tak terhingga. Kalau leader sudah menyetujui, tinggal masalah waktu saja para pengikutnya setuju. Miura dan Tobe tampak tidak berkeberatan. Ebina mengangguk setuju sambil memegangi Kawasaki. Totsuka tampak setuju juga.
Kami meninggalkan antrian bus dan menuju pemberhentian taksi.
Karena kami ada 8 orang, kami memecah kembali grup menjadi 2.
Ketika berjalan menuju pemberhentian taksi, Hayama dan Miura berjalan di depan diikuti oleh Kawasaki dan Totsuka. Aku lalu berperan sebagai tembok memisahkan mereka berempat di depan dengan tiga orang di belakangku. Jadi ketika masuk ke taksi, grup empat orang yang pertama akan terdiri dari Hayama, Miura, Kawasaki, dan Totsuka. Grup selanjutnya akan terdiri dari diriku, Yuigahama, Ebina, dan Tobe. Disaat yang seperti inilah, peran sebagai tembok sangatlah penting.
Hayama memimpin grup menuju taksi yang menunggu.
“Oke, ayo kita masuk.”
Hayama sebagai leader terlihat mengatur urutannya. Kurasa ini akan sesuai rencana.
“Ayo Yumiko.”
“Okeeeeee.”
Setelah Hayama mengatakan itu, Miura langsung masuk. Hayama lalu memanggil seseorang untuk masuk ke taksi.
“Ayo Tobe.”
Ketika dia memanggil Tobe, dia langsung meresponnya.
“Ah, rooger. Ayo Ebina, ayo kita pergi.”
“Oke, oke. Kami akan pergi duluan kalau begitu. Yui, Sakisaki...”
Tobe dan Ebina mengikuti instruksi Hayama dan naik taksi satu-persatu. Ebina melambai-lambaikan tangannya kepada Yuigahama dan Kawasaki ketika masuk ke taksi.
“Ah, yeah, sampai jumpa disana.”
“Jangan panggil aku Sakisaki.”
Yuigahama meresponnya balik sedangkan Sakisaki dengan malu-malu menatapnya dengan tatapan yang kurang senang.
Terakhir, ditutup dengan Hayama yang masuk dan duduk di kursi penumpang.
“...Oke, kami duluan ya.”
Hayama memanggil semuanya tanpa sedikitpun menatap ke arahku.
...Hmm, jadi begini ya permainanmu.
Karena kami berada di belakang, kurasa aku harus memimpin orang-orang ini masuk ke taksi.
“Jadi, kita duduk dimana?”
Totsuka bertanya itu, tapi urutan yang masuk akal kurasa akulah yang duduk di sebelah supir.
“Oke, aku duduk di depan. Kalian bertiga di belakang.”
Pintu taksi terbuka dan mereka bertiga duduk di belakang. Setelah aku duduk di depan, aku kencangkan sabuk pengamannya dahulu.
“Tolong ke kuil Ninnaji.”
Aku memberitahu tujuan kami dan supir taksi yang tersenyum lembut itu mengulangi tujuan kami sekali lagi.
Mobil akhirnya mulai berjalan.
Selama di perjalanan, supir taksi mengajakku mengobrol.
“Apa kalian sedang dalam darmawisata?”
“Ya, benar sekali.”
Aku melihat sejenak ke arah si supir dan memberikannya jawaban singkat. Aku bukannya bermaksud memberikannya jawaban yang dingin, tapi aku sendiri tidak terbiasa mengobrol basa-basi dengan seseorang.
“Kalian berasal dari mana?”
“Dekat Tokyo.”
Ketika warga Chiba datang ke daerah lain dan ditanya berasal dari mana, mereka akan berakhir dengan mengatakan “di dekat Tokyo”. Maksudku, orang-orang kebanyakan tidak tahu dimana Chiba.
Setelah itu, percakapan hanya berputar-putar antara diriku dan si supir taksi. Kurasa ini sudah menjadi standar operasional bagi semua taksi untuk menerapkan jebakan pembicaraan semacam ini.
Sebaliknya, kursi penumpang di belakang mulai tenggelam dalam pembicaraan antara perempuan.
“Benar. Dan seperti, ketika kamu mulai serius dalam perang bantal, Yumiko mulai menangis.”
“Kau jangan memberitahunya soal seperti itu...”
Dari cermin di atasku terlihat Yuigahama sedang bergembira membicarakan sesuatu dan Kawasaki yang sedang malas mengobrol terlihat menyilangkan kakinya beberapa kali. Ngomong-ngomong, Miura terlalu sering menangis...Sedang Totsuka hanya tersenyum dan menyelipkan beberapa kejadian yang terjadi di ruangan para pria.
[note: Vol 4 chapter 5, Yukino bercerita kalau Miura menangis di kabin mereka setelah mereka berdebat kecil.]
“Oh, perang bantal tampaknya seru. Kami hanya main mahjong dan UNO. Ah, Hachiman juga kalah dan kelupaan dengan hukumannya juga.”
Jarak kursi kita memang tidak begitu jauh, tetapi obrolan mereka jauh lebih hidup dari obrolanku.
Yeah, kupikir mereka sedang menikmatinya.
Sedangkan untukku, si supir tampaknya maklum dengan jawaban-jawaban singkatku. Yang kulakukan sejak tadi hanyalah melihat ke jendela samping dan memandangi pemandangan kota.
x
x
x
Kuil Ninnaji terkenal karena menjadi referensi bab 52 dari Tsurezuregusa dimana ada gambar biksu yang sedang memiliki ekspresi wajah malu-malu sering muncul dalam cerita buku tersebut.
[note: Tsurezuregusa adalah sebuah tulisan terkenal dari biksu Yoshida Kenko yang ditulis antara tahun 1330 – 1332. Di salah satu bab buku tersebut membahas tentang kuil Ninnaji.]
Kuil ini sebenarnya lebih populer ketika musim semi daripada musim gugur. Alasan utamanya karena bunga Sakura akan mekar secara penuh ketika musim semi.
Meskipun ini sudah akhir dari musim gugur, masih banyak turis yang kesini karena kuil dan kebun bunganya sendiri masih bagus untuk dilihat. Yang membuat ini terasa menyedihkan adalah karena kami ini hanyalah seorang siswa SMA.
Mereka pasti berkata “Ini terlihat luar biasa” atau “Memang betul” atau “Bagus sekali”. Sekarang, kemana antusiasme yang mereka tunjukkan di Desa Film tadi?
Begitulah yang terjadi, aku sendiri tidak tahu apa yang ada di kuil ini. Tapi yang bisa kukatakan adalah “Hooh, jadi ini kuil terkenal yang diceritakan di Tsurezuregusa...” kepada diriku sendiri. Sebenarnya, kuil Ninnaji tidak hanya dibahas di bab 52.
Setelah tur singkat mengelilingi kuil, semua orang tampak mengeluarkan aura “bukankah ini saatnya kita pergi?”.
Dengan kemampuannya yang sensitif membaca keadaan, Yuigahama lalu mengajak yang lainnya.
“Oke, ayo kita ke tempat selanjutnya.”
Sekarang, tempat selanjutnya adalah kuil Ryouanji. Selain nama yang keren, tempat ini terkenal karena kebun batunya. Itu malahan lebih keren loh!
Hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit untuk menuju kuil Ryouanji dari kuil Ninnaji.
Kami mulai berjalan berkelompok.
Daun bunga yang berwarna merah mulai terlihat berjatuhan dan menghiasi pemandangan lantai.
Ketika berjalan dalam sebuah grup, sudah merupakan kebiasaan bagiku untuk berjalan paling belakang. Yuigahama yang sejak tadi berjalan di depanku, memperlambat langkahnya dan berjalan di sampingku.
“Kurasa ini tidak berjalan dengan baik.”
Dia mengatakan itu sambil menatap ke arah bawah. Ini pasti tentang Tobe dan Ebina.
“Memang benar. Aku sendiri sudah capek berusaha membuat mereka tetap bersama. Malahan aku sempat berpikir kalau membantu orang lain akan terasa lebih mudah daripada mereka.”
“...Itu...tampaknya benar.”
“Lagipula...”
“Lagipula?”
Lagipula, alasan utama mengapa ini tidak berjalan sesuai rencana karena Yuigahama. Ini adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Sifat Tobe yang seperti itu adalah masalah lain dan Ebina yang tidak tertarik kepada Tobe juga masalah yang lain. Tapi yang paling penting, ada satu orang yang dari tadi menjadi musuh dalam selimut.
Aku sangat yakin kalau orang itulah yang dari kemarin membuat tembok tidak terlihat bagi pekerjaan kita.
Tapi, mereka tidak akan percaya kalau orang itu tega berbuat seperti itu kepadanya. Hanya saja tidak ada artinya memberitahu orang-orang dimana kau sendiri merasa tidak yakin akan hal itu. Keraguan dan kecurigaan memang harus disimpan rapat-rapat, atau lebih tepatnya, mereka harus dikunci dalam sebuah botol. Kau sudah kalah dalam permainan jika kau mengatakan sebuah kecurigaan yang kuat.
Dan yang terpenting, jika orang yang mencurigakan itu adalah dirimu, maka tidak akan ada yang disalahkan.
Aku memberitahu Yuigahama yang sedang menunggu kata-kataku.
“Jangan terlalu memaksa. Kalau ini memang mustahil, maka ini memang mustahil.”
“Tapi, aku ingin memberikan yang terbaik.”
Yuigahama mengatakan itu sambil menendang dedaunan yang jatuh di depannya.
“Hanya saja, jangan terlalu memaksa. Akan sangat buruk jika Ebina juga mulai membencimu.”
“Be-begitu ya...”
“Ya begitulah. Ketika orang itu merasakannya, maka akan berakhir seperti itu...”
“Hmm...”
Yuigahama meresponnya dengan kurang semangat. Tidak, ini memang benar-benar menyiksa.
Ketika kami mengobrolkan itu, tampaknya Hayama dan yang lainnya sedang menunggu kami. Kita sepertinya sudah sampai di depan kuil Ryouanji.
Pagar dari bambu menghiasi jalan di sekitar dan kami mulai menaiki tangga yang dibuat dari batu.
Ketika masuk bagian Houjou, yang merupakan bagian dari kompleks kuil, akhirnya kami sampai ke kebun batu.
Ini adalah Kebun Karesansui.
Ini sebenarnya adalah kebun yang dibentuk dari bebatuan dan mineral-mineral lain tanpa adanya air.
Jadi, pasir putih di kebun ini harusnya melambangkan air. Hmm, begitu ya, jadi ini begini: semacam seni tata letak batu yang dilambangkan sedang dikelilingi air, ya semacam itulahh.
Karena sehabis melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, mereka tampak kelelahan dan memutuskan untuk duduk sebentar sambil mengamati kebun batu. Aku akhirnya memutuskan hal yang sama dan menuju bangku yang berada di pojokan.
Ketika aku berada di pinggir bangku, orang di bangku tersebut bergeser dan memberiku ruang untuk duduk. Ketika aku hendak memberinya rasa terimakasihku, orang itu malah memanggilku.
“Oh, kebetulan sekali.”
Hmm? Ketika aku lihat betul siapa orang itu, ternyata orang tersebut adalah Yukinoshita Yukino.
[note: Tsurezuregusa adalah sebuah tulisan terkenal dari biksu Yoshida Kenko yang ditulis antara tahun 1330 – 1332. Di salah satu bab buku tersebut membahas tentang kuil Ninnaji.]
Kuil ini sebenarnya lebih populer ketika musim semi daripada musim gugur. Alasan utamanya karena bunga Sakura akan mekar secara penuh ketika musim semi.
Meskipun ini sudah akhir dari musim gugur, masih banyak turis yang kesini karena kuil dan kebun bunganya sendiri masih bagus untuk dilihat. Yang membuat ini terasa menyedihkan adalah karena kami ini hanyalah seorang siswa SMA.
Mereka pasti berkata “Ini terlihat luar biasa” atau “Memang betul” atau “Bagus sekali”. Sekarang, kemana antusiasme yang mereka tunjukkan di Desa Film tadi?
Begitulah yang terjadi, aku sendiri tidak tahu apa yang ada di kuil ini. Tapi yang bisa kukatakan adalah “Hooh, jadi ini kuil terkenal yang diceritakan di Tsurezuregusa...” kepada diriku sendiri. Sebenarnya, kuil Ninnaji tidak hanya dibahas di bab 52.
Setelah tur singkat mengelilingi kuil, semua orang tampak mengeluarkan aura “bukankah ini saatnya kita pergi?”.
Dengan kemampuannya yang sensitif membaca keadaan, Yuigahama lalu mengajak yang lainnya.
“Oke, ayo kita ke tempat selanjutnya.”
Sekarang, tempat selanjutnya adalah kuil Ryouanji. Selain nama yang keren, tempat ini terkenal karena kebun batunya. Itu malahan lebih keren loh!
Hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit untuk menuju kuil Ryouanji dari kuil Ninnaji.
Kami mulai berjalan berkelompok.
Daun bunga yang berwarna merah mulai terlihat berjatuhan dan menghiasi pemandangan lantai.
Ketika berjalan dalam sebuah grup, sudah merupakan kebiasaan bagiku untuk berjalan paling belakang. Yuigahama yang sejak tadi berjalan di depanku, memperlambat langkahnya dan berjalan di sampingku.
“Kurasa ini tidak berjalan dengan baik.”
Dia mengatakan itu sambil menatap ke arah bawah. Ini pasti tentang Tobe dan Ebina.
“Memang benar. Aku sendiri sudah capek berusaha membuat mereka tetap bersama. Malahan aku sempat berpikir kalau membantu orang lain akan terasa lebih mudah daripada mereka.”
“...Itu...tampaknya benar.”
“Lagipula...”
“Lagipula?”
Lagipula, alasan utama mengapa ini tidak berjalan sesuai rencana karena Yuigahama. Ini adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Sifat Tobe yang seperti itu adalah masalah lain dan Ebina yang tidak tertarik kepada Tobe juga masalah yang lain. Tapi yang paling penting, ada satu orang yang dari tadi menjadi musuh dalam selimut.
Aku sangat yakin kalau orang itulah yang dari kemarin membuat tembok tidak terlihat bagi pekerjaan kita.
Tapi, mereka tidak akan percaya kalau orang itu tega berbuat seperti itu kepadanya. Hanya saja tidak ada artinya memberitahu orang-orang dimana kau sendiri merasa tidak yakin akan hal itu. Keraguan dan kecurigaan memang harus disimpan rapat-rapat, atau lebih tepatnya, mereka harus dikunci dalam sebuah botol. Kau sudah kalah dalam permainan jika kau mengatakan sebuah kecurigaan yang kuat.
Dan yang terpenting, jika orang yang mencurigakan itu adalah dirimu, maka tidak akan ada yang disalahkan.
Aku memberitahu Yuigahama yang sedang menunggu kata-kataku.
“Jangan terlalu memaksa. Kalau ini memang mustahil, maka ini memang mustahil.”
“Tapi, aku ingin memberikan yang terbaik.”
Yuigahama mengatakan itu sambil menendang dedaunan yang jatuh di depannya.
“Hanya saja, jangan terlalu memaksa. Akan sangat buruk jika Ebina juga mulai membencimu.”
“Be-begitu ya...”
“Ya begitulah. Ketika orang itu merasakannya, maka akan berakhir seperti itu...”
“Hmm...”
Yuigahama meresponnya dengan kurang semangat. Tidak, ini memang benar-benar menyiksa.
Ketika kami mengobrolkan itu, tampaknya Hayama dan yang lainnya sedang menunggu kami. Kita sepertinya sudah sampai di depan kuil Ryouanji.
Pagar dari bambu menghiasi jalan di sekitar dan kami mulai menaiki tangga yang dibuat dari batu.
Ketika masuk bagian Houjou, yang merupakan bagian dari kompleks kuil, akhirnya kami sampai ke kebun batu.
Ini adalah Kebun Karesansui.
Ini sebenarnya adalah kebun yang dibentuk dari bebatuan dan mineral-mineral lain tanpa adanya air.
Jadi, pasir putih di kebun ini harusnya melambangkan air. Hmm, begitu ya, jadi ini begini: semacam seni tata letak batu yang dilambangkan sedang dikelilingi air, ya semacam itulahh.
Karena sehabis melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, mereka tampak kelelahan dan memutuskan untuk duduk sebentar sambil mengamati kebun batu. Aku akhirnya memutuskan hal yang sama dan menuju bangku yang berada di pojokan.
Ketika aku berada di pinggir bangku, orang di bangku tersebut bergeser dan memberiku ruang untuk duduk. Ketika aku hendak memberinya rasa terimakasihku, orang itu malah memanggilku.
“Oh, kebetulan sekali.”
Hmm? Ketika aku lihat betul siapa orang itu, ternyata orang tersebut adalah Yukinoshita Yukino.
“Aah, kau datang kesini juga ternyata?”
“Begitulah.”
Ketika kuamati baik-baik, dia ternyata sedang bersama grupnya; grup yang terdiri dari para gadis yang cantik sedang duduk di sampingnya. Tatapan mereka yang seperti mencurigaiku membuatku sedikit tidak nyaman...Well, kuakui kalau interaksiku sendiri dengan Yukinoshita juga sebuah hal yang langka; jadi bisa kau katakan kalau ini adalah kejadian yang langka.
Tapi, yang kulihat ini, Yukinoshita tampak lebih eksentrik daripada biasanya.
Mengesampingkan apakah dia punya teman atau tidak di kelas, atau mungkin tidak, dia tampaknya tidak masalah jika berjalan di sebuah grup. Meskipun, tidak seperti dia menghabiskan waktu bersama Yuigahama dalam kedudukan yang setara, ini lebih mirip sebuah grup yang berisi kumpulan gadis yang menjadi fansnya.
Tapi, penilaianmu terhadap seseorang akan terus berganti tergantung bagaimana kau melihat hal tersebut.
Kebun batu ini adalah salah satu contohnya. Entah dari sudut manapun kau melihat, kau tidak akan bisa melihat 15 batu yang disusun itu secara lengkap. Jadi posisimu melihat yang berubah itu membuatmu melihat mereka dengan pemandangan yang berbeda.
Aku yakin orang yang menciptakan kebun ini punya filosofi indah di pikirannya. Tapi bagi orang rendahan sepertiku, hanya itulah yang bisa memikirkan hal seperti itu.
Dunia ini penuh dengan hal yang tidak bisa dipahami. Arti dari kebun batu ini, adalah menggambarkan wajah sebenarnya dari seseorang. Disinilah kita memilih hendak melihatnya sebagai apa.
Sekarang, mengapa dia tiba-tiba berdiri...atau begitulah yang kupikirkan hingga dia menyadari kalau diriku sejak tadi melihat ke arahnya. Dia lalu mengatakan sesuatu.
“Tora-no-ko Watashi adalah nama lain dari kebun ini. Aku hanya ingin tahu, sebenarnya bagian mana dari kebun ini yang menggambarkan harimau.”
[note: Tora = harimau.]
Ooh. Kurasa dia tertarik karena harimau sendiri adalah keluarga dari kucing.
Tora-no-ko Watashi ya? Aku lalu ikut-ikutan berdiri untuk melihat bagian mana dari kebun itu yang melambangkan harimau.
Aku tidak paham mengapa ini dinamakan harimau.
Tapi, Yukinoshita sepertinya mendapatkan sesuatu karena terlihat menatap kebun batu tersebut dengan tatapan yang lembut.
Kami lalu hanya melihat ke arah kebun batu untuk sejenak.
“Ah, Yukinon.”
Entah mengapa, Yuigahama tiba-tiba ada disamping kami. Ketika dia menyadari ada Yukinoshita. Ketika Yuigahama hendak duduk di ruang kosong di bangku yang kami tinggalkan berdiri tersebut, Yukinoshita yang berdiri kemudian tersenyum dan mengatakan sesuatu.
“Mari kita ke tempat lain.”
“Oke, ayo diskusi disana.”
Yukinoshita lalu menyisir rambutnya dan membalikkan badannya.
“Maaf, aku ada perlu sebentar. Aku tidak keberatan kalau kalian berjalan lebih dahulu.”
Ketika dia memberitahu teman-temannya di kelas 2J, mereka mengangguk setuju dengan mata yang penuh kekaguman ke Yukinoshita. Ini seperti hubungan senior-junior diantara para gadis elit. Menyebut mereka memiliki hubungan yang dekat mungkin adalah sebuah kesalahan.
Ketika aku memikirkan hubungan Yukinoshita dengan teman sekelasnya itu, sebuah suara memanggilku.
“Apa yang kau lakukan? Ayo cepat.”
Aaah, ternyata aku harus pergi. Lagipula, tatapan mata para gadis 2J ini sangat menakutkan ketika melihatku berdiri. Apa aku akan ditusuk oleh fans Yukinoshita sebentar lagi?
Kami keluar dari area Houjou dan berjalan di sekitar taman. Aku mengikuti keduanya dari belakang.
“Bagaimana requestnya?”
“Mmm...Tampaknya ini buruk sekali.”
Yuigahama menjelaskan situasinya secara singkat. Setelah dia mendengarkan ceritanya, Yukinoshita melihat ke arah bawah dan meminta maaf.
“Begitulah.”
Ketika kuamati baik-baik, dia ternyata sedang bersama grupnya; grup yang terdiri dari para gadis yang cantik sedang duduk di sampingnya. Tatapan mereka yang seperti mencurigaiku membuatku sedikit tidak nyaman...Well, kuakui kalau interaksiku sendiri dengan Yukinoshita juga sebuah hal yang langka; jadi bisa kau katakan kalau ini adalah kejadian yang langka.
Tapi, yang kulihat ini, Yukinoshita tampak lebih eksentrik daripada biasanya.
Mengesampingkan apakah dia punya teman atau tidak di kelas, atau mungkin tidak, dia tampaknya tidak masalah jika berjalan di sebuah grup. Meskipun, tidak seperti dia menghabiskan waktu bersama Yuigahama dalam kedudukan yang setara, ini lebih mirip sebuah grup yang berisi kumpulan gadis yang menjadi fansnya.
Tapi, penilaianmu terhadap seseorang akan terus berganti tergantung bagaimana kau melihat hal tersebut.
Kebun batu ini adalah salah satu contohnya. Entah dari sudut manapun kau melihat, kau tidak akan bisa melihat 15 batu yang disusun itu secara lengkap. Jadi posisimu melihat yang berubah itu membuatmu melihat mereka dengan pemandangan yang berbeda.
Aku yakin orang yang menciptakan kebun ini punya filosofi indah di pikirannya. Tapi bagi orang rendahan sepertiku, hanya itulah yang bisa memikirkan hal seperti itu.
Dunia ini penuh dengan hal yang tidak bisa dipahami. Arti dari kebun batu ini, adalah menggambarkan wajah sebenarnya dari seseorang. Disinilah kita memilih hendak melihatnya sebagai apa.
Sekarang, mengapa dia tiba-tiba berdiri...atau begitulah yang kupikirkan hingga dia menyadari kalau diriku sejak tadi melihat ke arahnya. Dia lalu mengatakan sesuatu.
“Tora-no-ko Watashi adalah nama lain dari kebun ini. Aku hanya ingin tahu, sebenarnya bagian mana dari kebun ini yang menggambarkan harimau.”
[note: Tora = harimau.]
Ooh. Kurasa dia tertarik karena harimau sendiri adalah keluarga dari kucing.
Tora-no-ko Watashi ya? Aku lalu ikut-ikutan berdiri untuk melihat bagian mana dari kebun itu yang melambangkan harimau.
Aku tidak paham mengapa ini dinamakan harimau.
Tapi, Yukinoshita sepertinya mendapatkan sesuatu karena terlihat menatap kebun batu tersebut dengan tatapan yang lembut.
Kami lalu hanya melihat ke arah kebun batu untuk sejenak.
“Ah, Yukinon.”
Entah mengapa, Yuigahama tiba-tiba ada disamping kami. Ketika dia menyadari ada Yukinoshita. Ketika Yuigahama hendak duduk di ruang kosong di bangku yang kami tinggalkan berdiri tersebut, Yukinoshita yang berdiri kemudian tersenyum dan mengatakan sesuatu.
“Mari kita ke tempat lain.”
“Oke, ayo diskusi disana.”
Yukinoshita lalu menyisir rambutnya dan membalikkan badannya.
“Maaf, aku ada perlu sebentar. Aku tidak keberatan kalau kalian berjalan lebih dahulu.”
Ketika dia memberitahu teman-temannya di kelas 2J, mereka mengangguk setuju dengan mata yang penuh kekaguman ke Yukinoshita. Ini seperti hubungan senior-junior diantara para gadis elit. Menyebut mereka memiliki hubungan yang dekat mungkin adalah sebuah kesalahan.
Ketika aku memikirkan hubungan Yukinoshita dengan teman sekelasnya itu, sebuah suara memanggilku.
“Apa yang kau lakukan? Ayo cepat.”
Aaah, ternyata aku harus pergi. Lagipula, tatapan mata para gadis 2J ini sangat menakutkan ketika melihatku berdiri. Apa aku akan ditusuk oleh fans Yukinoshita sebentar lagi?
Kami keluar dari area Houjou dan berjalan di sekitar taman. Aku mengikuti keduanya dari belakang.
“Bagaimana requestnya?”
“Mmm...Tampaknya ini buruk sekali.”
Yuigahama menjelaskan situasinya secara singkat. Setelah dia mendengarkan ceritanya, Yukinoshita melihat ke arah bawah dan meminta maaf.
“Begitu ya, aku meminta maaf karena menyerahkan ini kepada kalian.”
“Tidak perlu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu.”
Yuigahama menepuk-nepuk dadanya, sementara Yukinoshita merasa lega melihatnya.
“Mungkin ini tidak cukup jika dikatakan sebagai pengganti, tapi aku sendiri sempat memikirkan sesuatu.”
“Apa?”
Ketika kutanya, Yukinoshita melihat ke arahku.
“Tempat-tempat di Kyoto yang kebanyakan para gadis sukai. Kurasa mereka bisa memanfaatkan itu sebagai tempat tujuan mereka pada hari ketiga besok.”
“Ooo, ini baru Yukinon. Ah, kalau begitu, kenapa kita tidak pergi bersama juga besok?”
“Bersama Tobe?”
Aku merasa kalau ini tidak akan berbeda dengan sebelumnya.
“Bukan, bukan. Maksudku, kita bisa mengikuti mereka dari belakang kalau-kalau mereka butuh bantuan atau semacamnya.”
“Kurasa itu bukanlah metode yang elegan.”
Membuntuti dari belakang hanya untuk mengawasi mereka bukanlah sebuah kelakuan yang patut untuk dilakukan.
“Ngomong-ngomong, selama mereka mengikuti rekomendasi ini, kupikir mereka setidaknya akan membuat sebuah kemajuan. Kalau ada sesuatu, kita mungkin bisa mendiskusikannya lagi.”
Jadi merencanakan sebuah tujuan kencan bagi mereka? Ya selama kita dekat dengan mereka dan dianggap normal, jika terjadi sesuatu maka kita bisa melakukan sesuatu.
“Ini bukanlah rencana yang terbaik, tapi ini lebih baik daripada tidak melakukan sesuatu.”
Sekarang, rencana sudah diputuskan. Aku sendiri tidak tahu bagaimana reaksi mereka nanti terhadap rencana ini dan bagaimana ini bisa memberikan Tobe sebuah keuntungan.
Ketika kita selesai mengelilingi taman, kami kembali ke gerbang depan.
“Kami akan ke kuil Kinkakuji setelah ini.”
“Kalau begitu, aku akan kembali.”
“Oke, sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa besok.”
Setelah berpisah dengan Yukinoshita, Yuigahama dan diriku bertemu dengan Hayama dan yang lain. Masih ada beberapa tempat yang harus kami tuju.
Kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit dari kuil Ryouanji ke kuil Kinkakuji. Kami melewati Universitas Ritsumeikan dan memilih jalur di sebelah jalan raya.
Pada akhirnya, kami menghabiskan banyak sekali waktu di kuil Kinkakuji.
Ketika kegiatan berakhir, jam menunjukkan angka 5 sore. Kami akhirnya menunggu bus kota yang lewat dan kembali ke penginapan.
Orang yang memimpin grup ini, Hayama, menelpon ke Wali Kelas untuk memberitahukan kalau mereka telat karena menunggu bus. Pada akhirnya, ketika kami sampai di penginapan, pemandian terbuka bagi para pria sudah masuk jam tutup.
Akhirnya, aku harus mandi di kamar mandi dalam penginapan di hari kedua.
Tidak, ini masih sesuai skenario. Masih ada hari ketiga. Ini belum saatnya untuk lempar handuk!
“Tidak perlu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu.”
Yuigahama menepuk-nepuk dadanya, sementara Yukinoshita merasa lega melihatnya.
“Mungkin ini tidak cukup jika dikatakan sebagai pengganti, tapi aku sendiri sempat memikirkan sesuatu.”
“Apa?”
Ketika kutanya, Yukinoshita melihat ke arahku.
“Tempat-tempat di Kyoto yang kebanyakan para gadis sukai. Kurasa mereka bisa memanfaatkan itu sebagai tempat tujuan mereka pada hari ketiga besok.”
“Ooo, ini baru Yukinon. Ah, kalau begitu, kenapa kita tidak pergi bersama juga besok?”
“Bersama Tobe?”
Aku merasa kalau ini tidak akan berbeda dengan sebelumnya.
“Bukan, bukan. Maksudku, kita bisa mengikuti mereka dari belakang kalau-kalau mereka butuh bantuan atau semacamnya.”
“Kurasa itu bukanlah metode yang elegan.”
Membuntuti dari belakang hanya untuk mengawasi mereka bukanlah sebuah kelakuan yang patut untuk dilakukan.
“Ngomong-ngomong, selama mereka mengikuti rekomendasi ini, kupikir mereka setidaknya akan membuat sebuah kemajuan. Kalau ada sesuatu, kita mungkin bisa mendiskusikannya lagi.”
Jadi merencanakan sebuah tujuan kencan bagi mereka? Ya selama kita dekat dengan mereka dan dianggap normal, jika terjadi sesuatu maka kita bisa melakukan sesuatu.
“Ini bukanlah rencana yang terbaik, tapi ini lebih baik daripada tidak melakukan sesuatu.”
Sekarang, rencana sudah diputuskan. Aku sendiri tidak tahu bagaimana reaksi mereka nanti terhadap rencana ini dan bagaimana ini bisa memberikan Tobe sebuah keuntungan.
Ketika kita selesai mengelilingi taman, kami kembali ke gerbang depan.
“Kami akan ke kuil Kinkakuji setelah ini.”
“Kalau begitu, aku akan kembali.”
“Oke, sampai jumpa besok.”
“Sampai jumpa besok.”
Setelah berpisah dengan Yukinoshita, Yuigahama dan diriku bertemu dengan Hayama dan yang lain. Masih ada beberapa tempat yang harus kami tuju.
Kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit dari kuil Ryouanji ke kuil Kinkakuji. Kami melewati Universitas Ritsumeikan dan memilih jalur di sebelah jalan raya.
Pada akhirnya, kami menghabiskan banyak sekali waktu di kuil Kinkakuji.
Ketika kegiatan berakhir, jam menunjukkan angka 5 sore. Kami akhirnya menunggu bus kota yang lewat dan kembali ke penginapan.
Orang yang memimpin grup ini, Hayama, menelpon ke Wali Kelas untuk memberitahukan kalau mereka telat karena menunggu bus. Pada akhirnya, ketika kami sampai di penginapan, pemandian terbuka bagi para pria sudah masuk jam tutup.
Akhirnya, aku harus mandi di kamar mandi dalam penginapan di hari kedua.
Tidak, ini masih sesuai skenario. Masih ada hari ketiga. Ini belum saatnya untuk lempar handuk!
x
x
x
Aula penginapan serasa hidup.
Kenapa ini menjadi semacam tradisi di darmawisata untuk memiliki makan malam prasmanan, seperti cerita-cerita kuno di Jepang?
Karena itu, aku tidak pernah mendapatkan menu makan malam yang kuinginkan karena antri belakangan dan makanan yang hendak kumakan sudah habis.
Tampaknya, di kamar nanti, grupku akan melanjutkan turnamen mahjongnya. Semua orang di aula ini tampak mengobrolkan bagaimana mereka melewatkan malam mereka kemarin dengan bermain mahjong. Sepertinya, mereka semua semalam, menyibukkan diri mereka dengan bermain mahjong.
Masalahnya, turnamen mahjong hari ini dibuka dengan orang yang punya kekalahan terbanyak dalam turnamen semalam harus melakukan hukuman.
Jika aku kembali ke kamarku saat ini, maka aku akan diseret ikut dalam turnamen mahjong tersebut. Jika aku menjadi orang yang kalah dan sepulang dari hari ketiga harus menjalani hukuman terlebih dahulu, maka aku akan melewatkan kesempatanku untuk mandi bersama Totsuka.
Kalau begini, maka solusinya mudah: Aku akan kembali ke kamarku nanti saja.
Agar memuaskan perutku yang keroncongan ini, aku akhirnya keluar dari hotel. Kalau ketahuan, ini berarti aku akan dimarahi oleh guru, tapi disini adalah momen yang tepat untuk mengaktifkan skill kamuflase yang kupelajari.
Tanpa seorangpun curiga, aku bisa keluar dari hotel dan mampir ke minimarket yang berada di seberang jalan.
Untuk membuang waktu, aku memilih untuk ke bagian majalah dimana aku biasa menghabiskan waktuku disana.
Uhh, Sunday GX, Sunday GX.
Ketika aku sedang mencari, sebuah suara memanggilku.
“Ooh, siapa yang datang kesini, ternyata Hikio.”
Sebelum aku menemukan majalah Sunday GX yang kucintai ini dan lupa kubeli, aku ternyata sudah ketahuan oleh seseorang.
Karena gadis ini memanggilku dengan nama yang salah dan nada yang mengesalkan, aku menatapnya dengan tatapan mata busukku yang tajam.
[note: GX adalah singkatan Gene-X. Sunday GX adalah majalah komik bulanan bagi pembaca pria, mirip Shonen Jump, dan diterbitkan oleh penerbit Shogakukan. Bedanya, Sunday GX ini juga menampilkan komik korea atau manwha. Jadi, ini seperti majalah bagi penggemar komik yang lebih luas, tidak terbatas buatan Jepang. Sebenarnya majalah ini terbit tiap tanggal 19 tiap bulannya, bukan harus hari minggu = sunday. Nama sunday jadi ‘lumrah’ ketika awal rilis di tahun 2006 majalah ini terbit tanggal 19 di hari minggu yang sama tiap bulannya. Hanya kebetulan saja tahun 2006 punya tanggal 19 dengan hari minggu beruntun.]
Tapi, Miura Yumiko, yang memanggilku Hikio tidak sekalipun menolehkan pandangannya ke arahku dan dia hanya terus menatap ke arah majalah yang dibacanya. Trus kalau begini, kamu ngapain manggil namaku...?
Tapi, jarak diantara kita terlihat nyaman untukku. Jika pihak lain tidak berniat mengangguku, maka aku tidak berniat mengganggu mereka.
Aku mengambil majalah GX tanpa melihat ke Miura. Kami berdua hanya berdiri saja dan membalik-balik halamannya.
“Sebenarnya...Apa sih yang kalian rencanakan?”
Ketika dia mengatakan itu, bulu kudukku mulai berdiri.
Aku tidak tahan mendengarnya karena nada suaranya sangat menakutkan...Begitulah yang ada di pikiranku, ketika aku menoleh ke arah Miura, dia sedang memilih-milih majalah fashion yang akan dibacanya.
Meski begitu, seperti dia sadar kalau diriku sedang menatapnya, dia melanjutkan obrolannya.
“Semua rencana kalian untuk mendekati Hina, bisakah kalian hentikan itu?”
Mata miura tetap menatap ke arah halaman majalah seperti dia lupa dengan pelajaran tata krama kalau orang itu harus menghadap satu sama lain ketika berbicara.
Dia lalu membalik halamannya.
“Kau dengar tidak?”
Aku sebenarnya ingin memberitahu dia kalau itu harusnya yang kukatakan kepadanya, tapi aku sebenarnya tidak mengatakan apapun dari tadi, benar tidak? Jadi aku mengulangi saja kata-katanya untuk meresponnya balik.
Kenapa ini menjadi semacam tradisi di darmawisata untuk memiliki makan malam prasmanan, seperti cerita-cerita kuno di Jepang?
Karena itu, aku tidak pernah mendapatkan menu makan malam yang kuinginkan karena antri belakangan dan makanan yang hendak kumakan sudah habis.
Tampaknya, di kamar nanti, grupku akan melanjutkan turnamen mahjongnya. Semua orang di aula ini tampak mengobrolkan bagaimana mereka melewatkan malam mereka kemarin dengan bermain mahjong. Sepertinya, mereka semua semalam, menyibukkan diri mereka dengan bermain mahjong.
Masalahnya, turnamen mahjong hari ini dibuka dengan orang yang punya kekalahan terbanyak dalam turnamen semalam harus melakukan hukuman.
Jika aku kembali ke kamarku saat ini, maka aku akan diseret ikut dalam turnamen mahjong tersebut. Jika aku menjadi orang yang kalah dan sepulang dari hari ketiga harus menjalani hukuman terlebih dahulu, maka aku akan melewatkan kesempatanku untuk mandi bersama Totsuka.
Kalau begini, maka solusinya mudah: Aku akan kembali ke kamarku nanti saja.
Agar memuaskan perutku yang keroncongan ini, aku akhirnya keluar dari hotel. Kalau ketahuan, ini berarti aku akan dimarahi oleh guru, tapi disini adalah momen yang tepat untuk mengaktifkan skill kamuflase yang kupelajari.
Tanpa seorangpun curiga, aku bisa keluar dari hotel dan mampir ke minimarket yang berada di seberang jalan.
Untuk membuang waktu, aku memilih untuk ke bagian majalah dimana aku biasa menghabiskan waktuku disana.
Uhh, Sunday GX, Sunday GX.
Ketika aku sedang mencari, sebuah suara memanggilku.
“Ooh, siapa yang datang kesini, ternyata Hikio.”
Sebelum aku menemukan majalah Sunday GX yang kucintai ini dan lupa kubeli, aku ternyata sudah ketahuan oleh seseorang.
Karena gadis ini memanggilku dengan nama yang salah dan nada yang mengesalkan, aku menatapnya dengan tatapan mata busukku yang tajam.
[note: GX adalah singkatan Gene-X. Sunday GX adalah majalah komik bulanan bagi pembaca pria, mirip Shonen Jump, dan diterbitkan oleh penerbit Shogakukan. Bedanya, Sunday GX ini juga menampilkan komik korea atau manwha. Jadi, ini seperti majalah bagi penggemar komik yang lebih luas, tidak terbatas buatan Jepang. Sebenarnya majalah ini terbit tiap tanggal 19 tiap bulannya, bukan harus hari minggu = sunday. Nama sunday jadi ‘lumrah’ ketika awal rilis di tahun 2006 majalah ini terbit tanggal 19 di hari minggu yang sama tiap bulannya. Hanya kebetulan saja tahun 2006 punya tanggal 19 dengan hari minggu beruntun.]
Tapi, Miura Yumiko, yang memanggilku Hikio tidak sekalipun menolehkan pandangannya ke arahku dan dia hanya terus menatap ke arah majalah yang dibacanya. Trus kalau begini, kamu ngapain manggil namaku...?
Tapi, jarak diantara kita terlihat nyaman untukku. Jika pihak lain tidak berniat mengangguku, maka aku tidak berniat mengganggu mereka.
Aku mengambil majalah GX tanpa melihat ke Miura. Kami berdua hanya berdiri saja dan membalik-balik halamannya.
“Sebenarnya...Apa sih yang kalian rencanakan?”
Ketika dia mengatakan itu, bulu kudukku mulai berdiri.
Aku tidak tahan mendengarnya karena nada suaranya sangat menakutkan...Begitulah yang ada di pikiranku, ketika aku menoleh ke arah Miura, dia sedang memilih-milih majalah fashion yang akan dibacanya.
Meski begitu, seperti dia sadar kalau diriku sedang menatapnya, dia melanjutkan obrolannya.
“Semua rencana kalian untuk mendekati Hina, bisakah kalian hentikan itu?”
Mata miura tetap menatap ke arah halaman majalah seperti dia lupa dengan pelajaran tata krama kalau orang itu harus menghadap satu sama lain ketika berbicara.
Dia lalu membalik halamannya.
“Kau dengar tidak?”
Aku sebenarnya ingin memberitahu dia kalau itu harusnya yang kukatakan kepadanya, tapi aku sebenarnya tidak mengatakan apapun dari tadi, benar tidak? Jadi aku mengulangi saja kata-katanya untuk meresponnya balik.
“Aku dengar...Kami sebenarnya tidak benar-benar membuat rencana untuk mendekatinya.”
“Jelas-jelas begitu. Bahkan dengan melihatnya sekilas saja, orang pasti tahu.”
Miura menutup majalahnya. Tampaknya dia akan menatapku secara langsung kali ini.
“Tolong hentikan, itu sangat mengganggu, tahu tidak?”
Setelah mengatakan itu, dia mengambil majalah yang didekatnya. Dia lalu memindahkan plastik penutup majalah tersebut. Oi, kupikir kita dilarang buka-buka majalah yang disegel plastik! Tapi, aku sendiri melakukan hal serupa. Lagipula, ini adalah Miura, jadi mustahil aku bisa kabur darinya tanpa memberinya penjelasan.
“Mengganggu katamu? Aku ini melakukan itu karena ada yang memberikan requestnya. Kalau memang pada akhirnya kau merasa yang kami lakukan itu membuat seseorang rugi ataupun seseorang untung, sebaiknya ikhlaskan saja. Lagipula, kau sendiri juga tidak terpengaruh apapun dari hal itu.”
“Haa?”
Pertamakalinya dalam hidupku mengalami percakapan kasar dan kurasa percakapan ini tidak bisa didefinisikan percakapan. Miura lalu melihat ke arahku, mata dari Sang Ratu seperti hendak menahan jiwaku.
“Itu akan jelas-jelas berpengaruh bagi kami.”
“....”
Kata-katanya ini diluar ekspektasiku, dan aku hanya bisa menatapnya dengan terkejut. Kita ini sedang membicarakan Miura. Entah seberapa mengganggunya ini terhadap dirinya, aku percaya dia akan mengatakan itu blak-blakan ke semua orang. Dia akan menghancurkan semua jarak dan memprovokasi pihak lain untuk pergi dari mencampuri urusan grupnya.
Ketika wajahku terlihat kebingungan, Miura menatapku.
“Jangan pura-pura bodoh, kau kan sering bersama Yui, kalau begitu kau pasti tahu ada apa dengan Ebina, benar tidak?”
“Mu-mustahil kami ini berpacaran atau semacamnya...”
Tiba-tiba diberitahu semacam informasi mengenai diriku yang tidak kutahu, aku meresponnya dengan spontan. Ya Tuhan, apa-apaan dengan gadis ini? Mengapa dia menyimpulkan seperti itu? Bu-bukannya a-aku ini berpacaran dengan gadis itu atau semacamnya!
Setelah perasaan yang menjijikkan itu mulai turun dalam bentuk keringat dingin, Miura menatapku dan memprovokasiku dengan suara tawanya yang dalam.
“Apa-apaan kau, jangan salah paham ya! Menjijikkan sekali. Apa-apaan Yui dan Hikio berpacaran? Bukan itu maksudku. Aku berbicara tentang sifat Yui, kau kan sering berbicara dengannya. Menjijikan!”
...Kau tidak perlu mengulangi kata 'menjijikkan' lagi dua kali.
Dia tidak membahas tentang hubungan antara dua orang yang berbeda gender, tapi semacam kenalan atau hubungan pertemanan.
Kalau itu maksudnya, maka aku tidak tahu apa yang hendak dia bahas.
“Apa maksudmu? Kupikir, Yuigahama dan Ebina-san memang tidak mirip.”
“Memang, sifat mereka berdua berbeda jauh...”
Miura mulai menatapku dengan lembut.
“Yui, tahu tidak, adalah gadis yang suka membaca suasana di sekitarnya. Dia juga belakangan ini sering mengatakan apa yang ada di pikirannya.”
Ya seperti kata Miura. Aku memang tidak begitu punya banyak waktu untuk mengenal Yuigahama, dia memang sejak awal suka membaca suasana orang-orang sekitarnya. Merespon suasana sekitarnya, dia bisa memposisikan dirinya dalam situasi dimana dia bisa mendapatkan tempat dalam sosial sekitarnya.
“Hmm, benar juga...”
“Ebina juga mirip dengannya. Sifatnya sangat mirip, tapi kebalikannya.”
Miura tersenyum seperti diliputi rasa kesendirian, lalu dia menaruh majalah yang dipegangnya itu ke raknya kembali.
“Dia mencoba untuk masuk tanpa membaca suasananya.”
Oh, jadi dia mirip Yuigahama tapi kebalikannya. Ebina akan membaur dengan grup tanpa peduli terhadap suasananya, kurasa deskripsi itu memang cocok dengan dirinya.
“Ah, kata-katamu ada benarnya juga.”
“Benar. Oleh karena itu, ini sangat berbahaya. Ebina kadang-kadang sulit untuk diatur.”
Dengan kata lain, Ebina membiarkan dirinya diatur oleh orang-orang di sekitarnya, dan membuat itu sebagai jarak antara dirinya dan komunitas sekitarnya. Dia sebenarnya bukan orang yang eksentrik, tapi dialah orang yang diperlakukan seperti orang eksentrik.
Nada suara Miura tiba-tiba mendadak serius.
“Ketika Ebina menjadi pendiam, dia jadi sangat populer dengan para pria dan banyak pria yang meminta bantuanku untuk dikenalkan dengannya. Dia selalu menolak untuk bertemu mereka. Awalnya, kupikir dia hanya malu saja, jadi aku terus membujuknya. Kemudian, kau tahu apa yang dia katakan?”
“Apaan?”
Aku jelas sekali tidak mau ikut-ikutan permainan tebak kata ini jika tidak diberi petunjuk. Miura lalu menaikkan bahunya dan memiringkan kepalanya.
“ ‘Ah, silakan, sesukamulah’ dia mengatakannya sambil tertawa. Dia menganggapku seperti orang yang baru kenal saja.”
Setelah Miura menceritakannya, aku membayangkannya seperti sebuah rekaman yang diulang-ulang di kepalaku. Suaranya, ekspresinya, dan dia menatapku dengan dingin seperti tidak memaafkan orang yang mencampuri urusan pribadinya.
“Ebina tidak pernah membicarakan tentang dirinya dan akupun tidak menanyakan itu kepadanya. Tapi, aku sangat yakin dia membenci itu.”
Mungkin kau agak salah. Kalau dia akan kehilangan sesuatu, maka dia akan memilih untuk menghancurkan dirinya sendiri. Jika melindungi sesuatu bisa membawa korban baru, maka dia akan memilih untuk menyerah saja dan melemparkan semua itu.
Bahkan dengan hubungan yang dia miliki saat ini; dia pasti memilih untuk membuang itu.
“Tahu tidak, sekarang ini, aku sangat menikmati grup kami. Tapi kalau Ebina meninggalkan grupku, maka kami semua tidak bisa seperti sebelumnya lagi. Kami tidak bisa melakukan banyak hal-hal bodoh lagi.”
Nada suara Miura terdengar seperti terguncang berat.
“Jadi, bisakah kau membatalkan request itu dan jangan berusaha mendekati dia lagi?”
Mungkin, inilah pertama kalinya di dunia ini, pertama kali baginya memandangku sebagai manusia yang sederajat.
Apa yang ingin dia pertahankan jelas terlihat dari tatapannya.
Oleh karena itu, aku menjawabnya dengan jujur sesuai dengan apa yang kudengar.
“Kalau cuma itu masalahnya, kurasa kau tidak perlu khawatir.”
“Kenapa kau mengatakan seperti itu?”
Miura bertanya kepadaku. Memang, itu adalah respon yang sudah kuduga. Miura memang tidak punya alasan kuat harus mempercayai kata-kataku. Entah itu semacam saling percaya atau sejenisnya, langkah awal semua itu bisa tercipta adalah membangun sebuah kesepahaman antara dua pihak.
Sedangkan level kepercayaan antara Miura dan diriku bisa dikatakan tidak ada.
Oleh karena itu, aku bisa menjawabnya dengan memberinya jawaban dari orang yang dia percayai.
“Tidak masalah. Hayama bilang kalau dia akan melakukan sesuatu tentang itu.”
“Apa-apaan itu. Tapi, kalau Hayato mengatakan begitu, kurasa tidak masalah.”
Miura mengatakan itu sambil tertawa kecil.
“Jelas-jelas begitu. Bahkan dengan melihatnya sekilas saja, orang pasti tahu.”
Miura menutup majalahnya. Tampaknya dia akan menatapku secara langsung kali ini.
“Tolong hentikan, itu sangat mengganggu, tahu tidak?”
Setelah mengatakan itu, dia mengambil majalah yang didekatnya. Dia lalu memindahkan plastik penutup majalah tersebut. Oi, kupikir kita dilarang buka-buka majalah yang disegel plastik! Tapi, aku sendiri melakukan hal serupa. Lagipula, ini adalah Miura, jadi mustahil aku bisa kabur darinya tanpa memberinya penjelasan.
“Mengganggu katamu? Aku ini melakukan itu karena ada yang memberikan requestnya. Kalau memang pada akhirnya kau merasa yang kami lakukan itu membuat seseorang rugi ataupun seseorang untung, sebaiknya ikhlaskan saja. Lagipula, kau sendiri juga tidak terpengaruh apapun dari hal itu.”
“Haa?”
Pertamakalinya dalam hidupku mengalami percakapan kasar dan kurasa percakapan ini tidak bisa didefinisikan percakapan. Miura lalu melihat ke arahku, mata dari Sang Ratu seperti hendak menahan jiwaku.
“Itu akan jelas-jelas berpengaruh bagi kami.”
“....”
Kata-katanya ini diluar ekspektasiku, dan aku hanya bisa menatapnya dengan terkejut. Kita ini sedang membicarakan Miura. Entah seberapa mengganggunya ini terhadap dirinya, aku percaya dia akan mengatakan itu blak-blakan ke semua orang. Dia akan menghancurkan semua jarak dan memprovokasi pihak lain untuk pergi dari mencampuri urusan grupnya.
Ketika wajahku terlihat kebingungan, Miura menatapku.
“Jangan pura-pura bodoh, kau kan sering bersama Yui, kalau begitu kau pasti tahu ada apa dengan Ebina, benar tidak?”
“Mu-mustahil kami ini berpacaran atau semacamnya...”
Tiba-tiba diberitahu semacam informasi mengenai diriku yang tidak kutahu, aku meresponnya dengan spontan. Ya Tuhan, apa-apaan dengan gadis ini? Mengapa dia menyimpulkan seperti itu? Bu-bukannya a-aku ini berpacaran dengan gadis itu atau semacamnya!
Setelah perasaan yang menjijikkan itu mulai turun dalam bentuk keringat dingin, Miura menatapku dan memprovokasiku dengan suara tawanya yang dalam.
“Apa-apaan kau, jangan salah paham ya! Menjijikkan sekali. Apa-apaan Yui dan Hikio berpacaran? Bukan itu maksudku. Aku berbicara tentang sifat Yui, kau kan sering berbicara dengannya. Menjijikan!”
...Kau tidak perlu mengulangi kata 'menjijikkan' lagi dua kali.
Dia tidak membahas tentang hubungan antara dua orang yang berbeda gender, tapi semacam kenalan atau hubungan pertemanan.
Kalau itu maksudnya, maka aku tidak tahu apa yang hendak dia bahas.
“Apa maksudmu? Kupikir, Yuigahama dan Ebina-san memang tidak mirip.”
“Memang, sifat mereka berdua berbeda jauh...”
Miura mulai menatapku dengan lembut.
“Yui, tahu tidak, adalah gadis yang suka membaca suasana di sekitarnya. Dia juga belakangan ini sering mengatakan apa yang ada di pikirannya.”
Ya seperti kata Miura. Aku memang tidak begitu punya banyak waktu untuk mengenal Yuigahama, dia memang sejak awal suka membaca suasana orang-orang sekitarnya. Merespon suasana sekitarnya, dia bisa memposisikan dirinya dalam situasi dimana dia bisa mendapatkan tempat dalam sosial sekitarnya.
“Hmm, benar juga...”
“Ebina juga mirip dengannya. Sifatnya sangat mirip, tapi kebalikannya.”
Miura tersenyum seperti diliputi rasa kesendirian, lalu dia menaruh majalah yang dipegangnya itu ke raknya kembali.
“Dia mencoba untuk masuk tanpa membaca suasananya.”
Oh, jadi dia mirip Yuigahama tapi kebalikannya. Ebina akan membaur dengan grup tanpa peduli terhadap suasananya, kurasa deskripsi itu memang cocok dengan dirinya.
“Ah, kata-katamu ada benarnya juga.”
“Benar. Oleh karena itu, ini sangat berbahaya. Ebina kadang-kadang sulit untuk diatur.”
Dengan kata lain, Ebina membiarkan dirinya diatur oleh orang-orang di sekitarnya, dan membuat itu sebagai jarak antara dirinya dan komunitas sekitarnya. Dia sebenarnya bukan orang yang eksentrik, tapi dialah orang yang diperlakukan seperti orang eksentrik.
Nada suara Miura tiba-tiba mendadak serius.
“Ketika Ebina menjadi pendiam, dia jadi sangat populer dengan para pria dan banyak pria yang meminta bantuanku untuk dikenalkan dengannya. Dia selalu menolak untuk bertemu mereka. Awalnya, kupikir dia hanya malu saja, jadi aku terus membujuknya. Kemudian, kau tahu apa yang dia katakan?”
“Apaan?”
Aku jelas sekali tidak mau ikut-ikutan permainan tebak kata ini jika tidak diberi petunjuk. Miura lalu menaikkan bahunya dan memiringkan kepalanya.
“ ‘Ah, silakan, sesukamulah’ dia mengatakannya sambil tertawa. Dia menganggapku seperti orang yang baru kenal saja.”
Setelah Miura menceritakannya, aku membayangkannya seperti sebuah rekaman yang diulang-ulang di kepalaku. Suaranya, ekspresinya, dan dia menatapku dengan dingin seperti tidak memaafkan orang yang mencampuri urusan pribadinya.
“Ebina tidak pernah membicarakan tentang dirinya dan akupun tidak menanyakan itu kepadanya. Tapi, aku sangat yakin dia membenci itu.”
Mungkin kau agak salah. Kalau dia akan kehilangan sesuatu, maka dia akan memilih untuk menghancurkan dirinya sendiri. Jika melindungi sesuatu bisa membawa korban baru, maka dia akan memilih untuk menyerah saja dan melemparkan semua itu.
Bahkan dengan hubungan yang dia miliki saat ini; dia pasti memilih untuk membuang itu.
“Tahu tidak, sekarang ini, aku sangat menikmati grup kami. Tapi kalau Ebina meninggalkan grupku, maka kami semua tidak bisa seperti sebelumnya lagi. Kami tidak bisa melakukan banyak hal-hal bodoh lagi.”
Nada suara Miura terdengar seperti terguncang berat.
“Jadi, bisakah kau membatalkan request itu dan jangan berusaha mendekati dia lagi?”
Mungkin, inilah pertama kalinya di dunia ini, pertama kali baginya memandangku sebagai manusia yang sederajat.
Apa yang ingin dia pertahankan jelas terlihat dari tatapannya.
Oleh karena itu, aku menjawabnya dengan jujur sesuai dengan apa yang kudengar.
“Kalau cuma itu masalahnya, kurasa kau tidak perlu khawatir.”
“Kenapa kau mengatakan seperti itu?”
Miura bertanya kepadaku. Memang, itu adalah respon yang sudah kuduga. Miura memang tidak punya alasan kuat harus mempercayai kata-kataku. Entah itu semacam saling percaya atau sejenisnya, langkah awal semua itu bisa tercipta adalah membangun sebuah kesepahaman antara dua pihak.
Sedangkan level kepercayaan antara Miura dan diriku bisa dikatakan tidak ada.
Oleh karena itu, aku bisa menjawabnya dengan memberinya jawaban dari orang yang dia percayai.
“Tidak masalah. Hayama bilang kalau dia akan melakukan sesuatu tentang itu.”
“Apa-apaan itu. Tapi, kalau Hayato mengatakan begitu, kurasa tidak masalah.”
Miura mengatakan itu sambil tertawa kecil.
x Chapter VII | END x
Menuju Chapter VIII
Menuju Chapter VIII
Alasan Hachiman yang diberikannya ke Yui soal efek taksi yang berdempetan, bisa berlaku sebaliknya. Yaitu ke dirinya sendiri semalam dengan Yukino di taksi.
...
Hachiman membawa contoh Disney Land berdasarkan vol 7.5 special, dimana Yui menjawab kalau Disney Land adalah spot kencan paling populer.
...
Hayama jelas-jelas berusaha sabotase rencana Klub Relawan.
Monolog Hachiman tentang permainan Hayama.
Pertama, ketika taksi datang, Hayama membuka pintu kursi penumpang. Disitu tertulis kalau Miura duduk di kursi penumpang. Lalu setelah itu Tobe duduk, tidak dijelaskan dimana. Lalu setelah Tobe duduk, giliran Ebina, tapi tidak dijelaskan Ebina duduk di kursi penumpang atau sebelah supir taksi. Terakhir, Hayama, dijelaskan kalau Hayama duduk di kursi penumpang.
Kursi penumpang hanya cukup untuk tiga orang. Karena Miura dan Hayama dijelaskan duduk di kursi penumpang, maka satu spot tersisa di kursi penumpang adalah Tobe atau Ebina. Jelas, Hayama tidak memainkan kartunya sebagai sahabat Tobe.
Setelah Miura duduk di kursi penumpang, ada 2 spot tersisa di kursi penumpang. Jika anda menjadi Tobe, jelas akan memilih duduk di kursi penumpang, lalu menyisakan satu spot. Jika Hayama berniat menolong Tobe, maka Hayama akan langsung duduk di kursi sebelah supir taksi, menyisakan satu spot tersisa di kursi penumpang alias sebelah Tobe untuk Ebina. Tapi, Hayama tidak melakukan itu, membiarkan Ebina duduk di kursi samping supir.
Laki-laki biasanya duduk di kursi samping supir taksi. Tobe jelas awalnya mengira Hayama akan duduk di samping supir taksi tersebut, tapi Hayama malah memberi pilihan kepada Ebina untuk duduk di samping supir atau samping Tobe. Jelas, Ebina akan memilih duduk di samping supir.
...
Jika Yukino konsisten dengan ucapannya semalam kalau berjalan berdua dengan Hachiman akan menimbulkan gosip, maka harusnya Yukino tidak berbicara banyak ke Hachiman ketika mengamati taman kuil. Apalagi, Yukino sedang bersama 3 orang teman satu grupnya.
Kenyataannya, Yukino menggeser tempat duduknya agar Hachiman bisa duduk, lalu mengobrol dengan Hachiman. Jelas, Yukino tidak keberatan dengan gosip tersebut.
...
Filosofi kebun batu itu sebenarnya sebuah penjabaran dari quote di Oregairu.
Manusia hanya ingin melihat apa yang ingin mereka lihat.
...
Miura mengatakan mustahil Yui dan Hachiman berpacaran.
Ini diperkuat kata-kata Miura di vol 10 chapter 4 yang mengatakan Yukino memiliki Hachiman yang memahaminya.
Tapi, kata-kata Miura ini sendiri masih dipertanyakan kejujurannya. Maksud saya, Miura sendiri memiliki kepentingan jika Yukino benar berpacaran dengan Hachiman. Jika Yukino menyukai Hachiman, maka HayamaxYukino mustahil terjadi. Artinya, itu akan meningkatkan peluang Miura untuk mendapatkan Hayama.
Apakah Miura mengatakan HachimanxYukino itu benar-benar jujur berdasarkan apa yang dia rasakan? Ataukah karena Miura punya kepentingan, karena bisa mengeliminasi Yukino dalam perebutan Hayama? Entahlah...
...
Kata-kata Miura dalam pembicaraannya dengan Hachiman, soal bagaimana dia peduli Ebina, bagaimana Ebina tidak suka dijodoh-jodohkan, adalah bullshit alias omong kosong belaka.
Miura sebenarnya tahu kalau Tobe ditolak Ebina, maka Tobe akan mulai sungkan untuk berkumpul dengan grupnya. Sedang yang membawa Hayama ke grup mereka adalah Tobe. Jika Tobe nantinya tidak mau berkumpul bersamanya lagi, maka situasi antara Hayama dan dirinya akan terasa awkward.
Miura butuh Tobe untuk mendekati Hayama, karena Miura menyukai Hayama.
Sedang Hayama sendiri, butuh Tobe untuk mendekati Miura, karena Hayama hendak memanfaatkan Miura.
Saya bersimpati kepada Tobe dimana teman-temannya bermuka dua...
...
Jika Hachiman mengatakan 'ini semua karena request seseorang' mudah saja Miura menebak kalau itu request Tobe. Karena di vol 4 chapter 5, Tobe bercerita kalau dia sudah konsultasi dengan Miura soal dirinya yang menyukai Ebina.
...
Melihat bagaimana Hayama bersikap di pembagian tempat duduk taksi dan kereta Shinkansen, mudah saja menebak Hayama punya kepentingan yang sama dengan Miura, yaitu tidak ingin penembakan Ebina terjadi.
...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKasihan gw ama tobe temen temennya pada bermuka dua semua
BalasHapus