x x x
“Ini Romeo 1, menuju pertempuran.”
“Romeo 2, copy.”
“Romeo 3, roger.”
“Sudah lama semenjak pertempuran terakhir
kita.”
“Jangan nangis ke ibumu ya.”
“Bukankah ini terlalu dini untuk ayam kalkun
Thanksgiving?”
“Musuh terlihat di radar.”
“Persiapan untuk penyerbuan.”
“Dimana mereka? Aku tidak bisa melihat
mereka...Ya Tuhan.”
“Di atas! Di atas kita!”
“Monster!”
“Tangkap dia!”
“Jangan terlalu dekat!”
“Dekat kemana?!”
“Semuanya!”
“Mayday, mayday!”
“Hotel 4, meminta bantuan, meminta
bantuan...”
“Charlie 3, komunikasi terputus!”
“Oscar 2, jatuh dan terbakar!”
“Wingman hilang, hilang!”
“Ya Tuhan...”
“Tidaaaaaak.....”
“Canaria, aku mencintaimu.”
x x x
Beberapa
hari kemudian, Kusaoka-san dan diriku menyelidiki hilangnya teman-temanku yang
berharga itu.
Meski kita
akhirnya bisa memperoleh info penting dari Anna-san, yang terpenting adalah
waktu. Lintah darat yang lain pasti sudah memberikan uang kepada pelangganku yang
terdaftar. Akupun tidak ragu kalau Shia-san sendiri sudah terkontaminasi oleh
cakar beracunnya.
Sekolah kami
berada di daerah pinggiran yang sunyi, bisa dikatakan pelosok. Tempat tersebut
tampaknya merupakan panggung akhir dari petualangan kita. Ketika kami tiba,
suasananya sudah cukup gelap. Hanya pesawat terbang yang terbang di udara yang
memperhatikan kita.
Seorang anak
laki-laki dan gadis bersama-sama pada jam seperti ini akan menciptakan masalah
bagi BK. Aku mendekatkan diriku pada anak laki-laki di sampingku.
“Ini sungguh
memalukan, Haruma-san.”
“Apaan?”
“Mari kita
tidak melakukan sesuatu yang membuat kita malu ketika melihat cahaya matahari
lagi.”
“Oke,
contohnya?”
Tampaknya
Kusaoka-san berusaha keras untuk menghindari topiknya, tidak ada seorangpun
anak laki-laki yang tidak suka disentuh oleh gadis yang disukainya. Diluar
ekspresinya yang menyedihkan itu, hidungnya tumbuh seperti pinokio.
Beberapa
hari ini, dia seperti memberitahuku sesuatu. Seolah-olah kita ini sedang berkencan?
Bagaimana aku mengatakannya ya? Kegembiraan terpancar darinya dengan jelas. Dan
tentunya kita juga membuat sebuah kemajuan pada hari ini.
Sekarang,
kembali ke masalahnya. Apa guru yang memegang kunci masih ada di sekolah?
Gerbang
sekolah terlihat tertutup rapat, seperti dibuat dari tirai besi. Aku bisa
melihat gedung sekolah yang cukup familiar di sebelahnya, seperti berusaha
bersembunyi dengan memanfaatkan kegelapan ini. Ketika siang hari, banyak sekali
siswa berada di dalam gedung, membuat gedung tersebut rusak seperti tanaman
yang layu. Sayangnya, saat ini adalah satu-satunya momen dimana ada sesuatu
yang penting harus kulakukan disini. Aku berjalan di pinggir pagar, membaur
dengan kegelapan yang tumbuh diantara lampu-lampu jalanan.
Ada sebuah
rumah di sebelah sekolah kami. Rumah yang memiliki atap berwarna merah, dua
lantai, dan ditinggali satu keluarga per rumah. Kupikir itu adalah rumah yang
sangat nyaman bagi siapapun yang sudah bekerja keras untuk membelinya. Dari
balik tirainya, terdengar suara-suara kecil tawa orang-orang.
Aku
mengambil batu yang dekat dengan kakiku.
Ada sesuatu
yang kusembunyikan selama ini: Ketika SD dulu, aku dipanggil dengan nama
Cyclone Ace di tim baseball. Sekali lagi, waktunya telah tiba untuk
membangkitkan feeling bola yang sudah
mati dari tanganku, sebuah aura yang membuat tenggorokan dari batter musuh
menangis. Aku membidik ke arah beranda dekat pintu, hendak melempar batu tersebut
dengan segenap kekuatanku.
“...Apa yang
kau lakukan?”
Seseorang
memegangi tanganku dari pinggir. Itu adalah Kusaoka-san. Aku yang hendak
mengambil pose untuk melempar, digagalkan! Pelanggaran dalam peraturan tiga
strike!
Mungkin aku
disebut Cyclone Ace, tapi aku tidak pernah belajar tentang aturan baseball. Kau
harusnya menang jika memukul bolanya sejauh mungkin! Kurasa hal itu terlalu
primitif dan bukan sebuah objek yang menarik perhatian orang.
“Tolong
lepaskan tanganku. Aku harus menjadi Ace untuk sekali lagi.”
“Aku tidak
paham maksudmu. Seperti, apa kau mau memecahkan kaca itu? Kebut-kebutan dengan
motor curian dan terluka kena serpihan kaca jendela?”
“Kau
mengambil quote dari a night at fifteen dan Sotsugyo, begitu ya. Sangat antik
sekali, Haruma-san. Anak muda jaman sekarang tidak mendengarkan lagu seperti
itu.”
“Aku
menyukai mereka, kupikir...Oke, jadi lagu apa yang kau dengarkan?”
“Jukensei Blues dan semacam itu.”
“Itu bahkan
lebih tua dari Ozaki, benar tidak?”
Tangan Kusaoka-san seperti sedang memotong
udara. Mengesampingkan kalau dia hendak memukul kepalaku dan itu termasuk dalam
pelanggaran kekerasan, aku terkagum. Ini pertamakalinya bagiku mengambil quote
dari judul lagi. Johannes Poinku naik lagi! Malam ini, aku tidak keberatan
memasakkannya makan malam dan mungkin memberinya manisan!
“Haruma-san,
kau ini unik.”
Aku
mengatakannya begitu saja. Kusaoka-kun sangat memperhatikan detil kecil. Dia
memang punya beberapa keunggulan.
“Aku tidak
paham kenapa kau malah senyum-senyum...”
“Yang
terpenting, apa tidak melanggar aturan bagi siswa untuk masuk ke gedung sekolah
untuk kepentingan pribadi setelah gerbang sekolah ditutup?”
“Bisakah
kau beritahu dulu apa hubungannya dengan memecahkan kaca jendela rumah orang?”
Memecahkan
kaca jendela adalah masalah serius. Polisi bahkan bisa saja datang. Bukankah
mungkin nanti ada guru yang masih di sekolah akan merasa terganggu dengan
suaranya dan pergi keluar melihat situasinya? Kita membuat suasananya sebagai
pancingan agar guru tersebut kesini.”
“Memancing
keluar tidaklah diperlukan, meski itu memungkinkan. Hanya teoriku saja...”
Lalu dia
menggaruk-garuk kepalanya.
“Um, aku
ingin bertanya kepadamu sesuatu yang sederhana.”
“Apa itu?”
“...Bukankah
itu bertentangan dengan nuranimu jika melakukan hal seperti itu?”
“Satu
kebaikan untuk satu hari, kupikir begitu.” akupun tersenyum.
“Apa sih
yang gadis ini katakan?”
Aku
mendengar Kusaoka-san mengatakan sesuatu yang aneh. Kalau dipikir-pikir,
kata-kataku tadi memang sesuatu yang sulit untuk dipahami.
“Hmm begini,
satu kebaikan untuk satu hari adalah pepatah. Itu berasal dari ajaran Budha.”
“Bukan itu
maksudku...”
Kusaoka-san
melihat ke arah langit. Dia terlihat sangat ‘macho’ ketika terharu mendengar
kata-kataku.
Satu
kebaikan untuk satu hari.
Ketika itu
dijelaskan kepadaku di kelas budaya SD, aku terkesan dengan itu. Kata-kata itu
muncul dan memotivasiku untuk melakukan satu kebaikan untuk satu hari.
Mengapa
harus satu kebaikan? Kenapa tidak sepuluh atau ratusan kebaikan?
Setiap orang
yang mempertanyakan itu selalu bertemu dengan jawaban yang sudah disiapkan.
Sederhananya, kebaikan hati manusia itu adalah sebuah komoditas yang
terbatas. Kebaikan yang terus diberikan terus-menerus akan membuat manusia
menjadi ketergantungan. Dalam mahakarya Akutagawa Ryuunosuka ‘The Spider
Thread’, palu keadilan Budha menaklukkan arogansi Kandata.
Itu benar
sekali. Orang-orang dengan pikiran yang logis akan menampilkan satu kebaikan
dalam sehari.
Aku sudah
memberikan Kusaoka-san kebaikan dengan sukarela berkencan dengannya. Dengan
begitu, kebaikanku untuk hari ini sudah habis. Sekarang, hatiku sudah berubah
menjadi iblis dan hendak untuk memecahkan kaca sebuah jendela.
“Hyaa!”
“Ahh!”
Mengambil
momen dimana Kusaoka-san melepaskan tangannya, aku melemparkan batu tersebut
dan ternyata meleset, sang Cyclone Ace
telah gagal.
Sekali lagi. Aku
mencari batu yang lain, aku merasakan ada yang menahan lenganku dari belakang.
Oh? Tangan Kusaoka-san menyentuh bagian aneh dari dadaku, apa bukan?
Aku sebut
ini pelanggaran! Ini pantas dihadiahi kartu kuning! Kartu kuning! Harusnya,
kartu hitam! Menyentuhku adalah hal premium yang sangat mahal! Semua kartu
hitam yang turun dari langit tidak akan cukup! Sejujurnya, aku tidak pernah
tahu aturan dari sepakbola.
“Aku sudah
paham. Aku paham. Tunggu disini sebentar,” Kusaoka-san mengembuskan napasnya
ketika aku berusaha melepaskan diriku darinya.
Dia berjalan
ke depan pintu gerbang sekolah. Lalu...tahu tidak? Dia bisa memanjatnya, yang
seharusnya menjadi tirai besi, seperti tembok berlin.
“Kesini,
berikan tanganmu.”
Setelah
berjuang memanjat pagar itu, Kusaoka-san menawarkan tangannya untuk membantuku.
Ketika aku
memegangi tangannya, dia menarikku dengan kuat, diluar yang kubayangkan. Ada
sebuah rasa aman dalam tangan laki-laki, dimana membuatku sedikit ragu.
Pergelanganku agak merinding dan aku bisa merasakan kalau pipiku sendiri serasa
terbakar.
Aku berhasil
memanjat pagar itu dengan blusku yang tertekan. Karena itu membuat dadaku
terlihat datar, aku berusaha membuatnya lebih menonjol sedikit. Oke, kurasa ini
sudah cukup.
“...Tadi itu
hanya becanda. Apa kau pikir aku akan memecahkan jendela dan melanggar hukum di
rumah orang?”
Aku
mengatakannya dengan pelan, sambil memegangi tangannya dan menuruni gerbang
sekolah.
“Tapi kamu
sudah separuh jalan untuk melempar batu itu ketika kuhentikan, benar tidak?”
“Tahu tidak,
aku memang menaruh kepercayaan kepadamu, Haruma-san. Itu adalah bukti dari rasa
saling percaya kita.”
“...Oh,
oke.”
Kusaoka-san
lalu melepaskan tanganku sambil mengganguk, lalu dia menaruh kedua tangannya di
kantongnya seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
...Ya.
Dalam waktu
yang singkat, hubungan simbiosis kita semakin kuat. Aku berterima kasih untuk
itu. Hatiku telah berubah menjadi iblis, seperti sudah tersesat. Aku tidak
keberatan jika harus memberi fee nantinya.
x x x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar