x x x
Kabar pergantian posisi dari Yukinoshita menjadi wakil ketua panitia festival mulai terdengar beberapa hari setelah kunjungan Sagami ke Klub Relawan.
Sebelum rapat dimulai, Sagami memberitahu pengumuman resminya.
Dengan persetujuan Pak Atsugi, guru penanggungjawab festival, juga pengakuan dari Meguri-senpai mengenai kemampuan Yukinoshita, para peserta rapat menyambut hal itu dengan positif.
Ini mungkin sesuai skenario yang diinginkan semua orang.
Kepanitiaan ‘asisten arsip’ dimana dia berada mungkin akan kehilangan anggota, tapi itu adalah pekerjaan dimana kerjanya sendiri tidak banyak. Jadi perpindahan posisinya tidak akan menimbulkan masalah sama sekali. Kalau begitu, bisa tidak aku juga tidak perlu hadir untuk seterusnya...? Akupun sempat memikirkan itu, tapi karena pekerjaan inilah aku bisa menghindari partisipasi drama musikal di kelasku. Aku tidak bisa bilang ini peluang yang bagus.
Setelah diperkenalkan, Yukinoshita langsung bekerja.
Setelah membuat jadwal baru dan membagikannya ke kepanitiaan, dia juga meminta semua bagian untuk melaporkan perkembangannya setiap hari.
Pekerjaan terus berjalan tanpa adanya hambatan.
Di bagian timur dimana bagian humas sedang mendiskusikan penempatan poster, mereka juga diinstruksikan untuk memperkirakan kepadatan lalu lintas di peta. Sementara di sisi barat terdapat bagian managemen sukarelawan yang sedang kesulitan mengorganisir organisasi-organisasi yang berpartisipasi, penghargaan lokal, dan semacam itu.
Seorang ‘kuli’ sepertiku tidak punya gambaran bagaimana para eksekutifnya bekerja, tapi aku tahu dan yakin kalau Yukinoshita sedang berusaha sangat keras untuk mengerjakannya.
Begitu juga dengan Sagami Minami, yang hanya menjadi ketua sebatas nama saja, tapi tidaklah sulit untuk membayangkan kalau semua pekerjaannya itu dikerjakan oleh Yukinoshita.
Situasinya terus berkembang.
Sementara itu, rapat berikutnya sebentar lagi akan dimulai.
Sesuai jadwal, sekarang jam 4 sore.
Sagami melihat ke arah semua peserta rapat dan membukanya.
“Sekarang, mari kita mulai rapatnya.”
Semua orang mengatakan “berikan yang terbaik” dan membungkuk.
Pertama-tama, perkembangan dari berbagai seksi kepanitiaan.
“Oke, humas, kalian duluan.”
Pimpinan humas berdiri, seperti siap memberikan laporan perkembangannya.
“Kami sudah menyelesaikan 70% dari pengumuman jadwal festival, untuk posternya sendiri, sudah 50% jalan.”
“Benarkah? Tampaknya kita sudah sesuai target.”
Sagami mengatakan itu sambil mengangguk puas.
Tapi kata-kata yang keluar berikutnya seperti menghapus kehangatan itu, nada suara yang dingin.
“Tidak. Itu sebenarnya agak terlambat.”
Ruang rapat mulai ramai mendengar suara yang tidak diduga tersebut. Meski begitu, pemilik suara tersebut, Yukinoshita Yukino, tidak mempedulikan itu dan melanjutkan kata-katanya.
“Festival budaya akan berlangsung tiga minggu lagi. Kalau kita mempertimbangkan para pengunjung itu butuh waktu untuk menyesuaikan jadwalnya, maka akan menjadi masalah kalau kita tidak menyelesaikannya. Apa kalian juga sudah bernegosiasi tentang lokasi poster selanjutnya dan juga apa sudah mengupload info festival ke website sekolah?”
“Belum...”
“Tolong disegerakan. Kalau mengesampingkan pengunjung yang sudah bekerja, para siswa SMP yang berminat untuk ikut ujian masuk kesini dan orang tua mereka biasanya sering membuka website sekolah untuk melihat pengumuman-pengumuman.”
“Y-Ya.”
Merasa ditekan olehnya, pimpinan dari humas langsung tenggelam di tempat duduknya.
Kesunyian melanda ruang rapat. Sagami, duduk di dekatnya, tampak tidak menangkap apa yang barusan terjadi. Mulutnya seperti ragu-ragu mau mengatakan apa, lalu dia menatap ke arah Yukinoshita.
“Sagami-san, tolong dilanjutkan.”
Yukinoshita memintanya untuk melanjutkan agenda rapat.
“Ah, oke. Lalu, managemen sukarelawan, tolong laporannya.”
“...Ya. Sampai sekarang, ada sepuluh organisasi yang sudah mendaftarkan diri.”
Pimpinan seksi managemen sukarelawan melaporkan pemesanan slot festivalnya.
Sagami mengangguk seperti keheranan.
“Jumlahnya meningkat, ya? Mungkin karena ada penghargaan lokal untuk tahun ini. Selanjutnya...”
“Apakah mereka semua berhubungan dengan sekolah? Apa kau sudah mengkonfirmasi itu? Tolong juga periksa daftar sukarelawan festival tahun lalu dan coba menghubungi mereka. Selama mereka mewakili komunitas lokal setempat, kita tidak boleh terlihat mengurangi slot mereka. Juga, sudahkah kau mengalokasikan waktu penampilan mereka? Bagaimana dengan koordinasi antara jumlah pengunjung dengan staff panggung mereka? Tolong hitung semuanya dalam sebuah tabel dan kirimkan ke kami.”
Momen dimana situasinya hendak bergerak maju, beberapa pertanyaan keluar. Ini memang diniatkan untuk tidak maju ke depan dengan separuh-separuh.
Begitu pula selanjutnya, dari awal sampai akhir, rapat berlanjut, menuju ke divisi kesehatan dan keuangan. Ketika itu terjadi, Yukinoshita mereview beberapa hal dan memberikan beberapa instruksi.
“Selanjutnya, asisten arsip.”
Ketika kusadari, Yukinoshita sudah memimpin rapatnya.
“Tidak ada yang dilaporkan.”
Pimpinan asisten arsip menjawabnya dengan sederhana. Sebenarnya, bagi kami asisten arsip, pekerjaan terbanyak adalah ketika hari-H. Jadi untuk saat ini, tidak ada pekerjaan untuk dilakukan.
Itu adalah sesuatu yang bahkan ketua Sagami sendiri paham, setelah melihat ke seluruh ruangan, dia memutuskan untuk mengakhiri rapat.
“Oke, untuk hari ini, kita cukupk.....”
“Asisten arsip, tolong kirimkan jadwal di hari festival beserta perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk rekaman videonya, perlengkapan yang diperbolehkan di panggung terbatas, jadi kalau organisasi yang menjadi sukarelawan berencana untuk merekamnya juga, tolong pertimbangkan juga kalau nanti mungkin ada bentrokan jadwal, jadi tolong diskusikan dengan mereka sampai perlengkapannya tiba.”
“Baik...”
Yukinoshita memberi instruksi tanpa melihat kalau yang diajaknya berbicara adalah kelas tiga. Suasana di ruangan ini menjadi sensitif karenanya.
Itu harusnya menjadi akhir dari rapat. Laporan dari berbagai seksi sudah selesai. Semuanya terlihat lega, tapi ibu wakil ketua tidak berniat untuk mengakhirinya dengan segera.
“Lebih jauh lagi...Apakah tidak masalah kalau Pengurus OSIS mengurusi tentang tamu undangan?”
“Uh huh, tentu.”
Terlihat fokus, Meguri-senpai menjawabnya dengan segera.
“Kalau begitu, kami serahkan itu kepada anda. Kalau senpai punya data tamu undangan tahun lalu, itu akan sangat membantu. Untuk daftar tamu undangannya, itu berhubungan dengan divisi kesehatan...Tolong nanti berikan daftar tamu undangannya kepada mereka juga.”
“Oke, siap bu.”
Meguri-senpai mengangguk gembira. Dia lalu berkata “Ya ampun, kau sangat mengagumkan Yukinoshita-san...Kau memang benar-benar adik dari Haru-san.”
“...Tidak, aku tidaklah seperti itu.”
Yukinoshita berusaha menunjukkan kerendahan dirinya terhadap pujian Meguri-senpai.
Itu memang benar adanya. Kemampuan Yukinoshita memang luar biasa. Aku sempat berpikir kalau dia seperti orang lain saja. Tapi caranya melakukan hal ini entah mengapa, aku sendiri meragukan itu.
Setelah menerima laporan, mencari permasalahannya dan memberikan solusinya, mungkin itulah jadwal kegiatan rapat kita seterusnya. Kalau begitu, tidak ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut.
Semua orang disini berpikir kalau rapat sudah berakhir dan suasananya menjadi lebih rileks. Beberapa orang terlihat melemaskan badannya.
Seperti menyadari kalau dia sudah mengambil tugas dari pimpinan rapat, Yukinoshita menatap ke arah Sagami.
“Ibu ketua.”
“Ah, benar. umm, kami mengandalkan kalian besok. Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Setelah memberikan pernyataan penutup, para panitia meninggalkan kursinya sambil mengatakan “kerja bagus, kerja bagus”.
Aku capek, sangat lelah, hari yang panjang, tapi tadi kurasa sangat luar biasa, benar sekali, untuk kali ini aku benar-benar merasa sedang bekerja.
Suara-suara itu terdengar di berbagai sudut.
Semua orang memuji Yukinoshita.
Dia terlihat sangat dominan sekali, dan gosip-gosip mengenai siapa ketua yang sebenarnya mulai merebak.
Bahkan ada seseorang pengurus OSIS yang menyebutkan namanya sebagai kandidat potensial di pemilihan ketua OSIS mendatang.
Memang, itulah Yukinoshita Yukino.
Tanpa ragu, diantara mereka semua, orang yang terpukul pastilah Sagami.
Harusnya dia mendapatkan pujian yang sama.
Tapi seorang siswi yang seangkatan dengannya tiba-tiba mengambil kontrol rapat.
Ada yang jatuh tertinggalkan di belakang sementara ada yang berusaha berjuang agar jarak mereka tidak sejauh itu.
Kalau Yukinoshita menampilkan kapasitasnya sendiri, kurasa itu adalah cerita yang berbeda.
Tapi, ada Sagami dan Yukinoshita. Perbedaan kesan yang diperoleh dari mereka membuat sebuah jurang pemisah diantara mereka. Sangat jelas dilihat oleh siapapun. Memuji Yukinoshita berarti meludahi Sagami.
Sementara Yukinoshita memutuskan untuk tetap di ruangan ini dan bekerja, Sagami bersama grupnya meninggalkan ruangan seperti kabur dari TKP.
Sekarang kegiatan di kepanitaan sudah sangat jelas, pekerjaan kami menjadi lebih optimal. Pekerjaan Yukinoshita memang pantas untuk mendapatkan pujian.
Tapi, mungkinkah Yukinoshita menyadari itu?
Kalau yang dia lakukan itu tidaklah mampu untuk menyelamatkan seseorang, tidak juga siapapun.
Setelah pulang sekolah, sehari setelah Yukinoshita mengamuk, eh tolong dihapus, Yukinoshita menjadi sangat aktif dalam rapat harian, di kelas 2F, dimana Ebina Hina menjadi sangat aktif, maksudku, Ebina Hina mulai mengamuk.
“Salaaaaah! Ketika kau menarik dasi si pebisnis, kau harus berakting lebih sensual! Kaupikir untuk apa ‘pakaian itu’ ada, huh!?”
Memangnya ‘pakaian’ apaan?
Seperti terkena instruksi keras Ebina, para laki-laki mulai terlihat menangis.
Tapi, tidak semua laki-laki terlihat menyedihkan seperti mereka.
Diantara mereka, ada satu orang yang terlihat hangat dan ramah.
“Umm, bukankah ini sudah cukup...?”
Hayama mengatakannya seperti kerepotan dikelilingi para gadis.
“Belum, belum selesai!”
“Ini baru permulaan!”
Para gadis di sekitarnya mulai terlihat antusias.
Tampaknya, para pemeran sedang menjalani sesi make-up. Agar di hari pertunjukan lancar, mereka mengadakan latihan. Sagami juga ada di grup itu...Well, memang ada waktu senggang sebelum rapat panitia dimulai.
Dan, Totsuka, bersama tiga gadis sedang memoles make-up di rambutnya, tampaknya mereka terlihat kagum.
“Totsuka-kun, kulitmu bagus bangeeet.”
“Yeah, kurasa sayang sekali kalau tidak membuatmu terlihat manis dengan make-up.”
“U-umm...Ini cuma latihan, jadi kupikir aku tidak butuh make-up.”
Totsuka menolak tawaran itu, tapi wajah manisnya itu seperti senjata makan tuan.
“Memasang make-up juga butuh latihan!”
“Benar!”
Malahan, dia membuat motivasi para gadis tersebut semakin menjadi-jadi. Tubuh Totsuka terlihat menyerah mendengar hal itu.
“O-Oke...Ku-kurasa begitu. Latihan itu penting, benar.”
Melihat Totsuka yang tidak bisa menolak membuatnya terlihat kasihan, tapi dengan pikiranku terbayang kalau dia akan terlihat lebih manis, membuatku mengurungkan niatku untuk menghentikan para gadis ini, kelemahan dari hatiku.
Ngomong-ngomong, perbedaan perlakuan diantara grup tukang make-up disini sangat buruk sekali.
Maksudku, di arah Tobe dan Ooka, para gadis hanya memberi mereka make-up selama 5 menit. Parahnya lagi, si ketua kelas harus memasang sendiri make-upnya karena tidak ada yang mau membantunya. Mungkin ya, dia memang punya skill dalam make up, tapi kemungkinan barusan malah membuatku merasa ketakutan juga...
Tapi aku bukanlah satu-satunya orang yang menonton sesi latihan make-up ini.
Miura melihat ke arah grup Hayama dan berbicara seperti dia hendak membicarakan sesuatu.
“Jadiii, bagaimana dengan gambar ini? Bukankah kita, seperti, butuh poster?”
Mendengarkan hal itu, Ebina berjalan ke arahnya dengan enerjik dan menunjukkan jempol jarinya.
“Yumiko, itu bagus! Benar! Kalau kita ingin membuat drama musikal kita terdengar heboh, maka kita harus mengupload gambar-gambar tokohnya. Dalam kasus ini, kita perlu mengumumkan detail para pemerannya. Bagi LittleMusical, kita hanya perlu menjiplak beberapa poin pentingnya saja, dan sisanya biarkan itu berjalan menurut kekuatan karakter para pemerannya!”
Apaan dengan singkatan LittleMusical? Lagian, kamu dari industri mana sih?
Dengan diskusi antara Miura dan Ebina sebagai pemicu, diskusi kelas mulai berkembang.
“Kalau kostumnya bagaimana? Menyewa?”
“Kostumnya nanti pasti bakal kotor loh.”
Para gadis mulai ramai, seperti sebelumnya, Ebina berjalan ke arah mereka.
“Tidak, tidak, Sang Pangeran Kecil setidaknya harus punya image yang solid, jadi kostum-kostum yang sudah ada itu tidak boleh digunakan. Kalau karakter yang lain, kostum sewaan tidak masalah.”
“Apa itu benar-benar penting? Lagipula tidak semua orang pernah melihat kostum-kostum sewaan seperti apa...”
“Apa kamu terlalu meremehkan!? Apa kamu mau kita hancur lebur di internet nanti!?”
Ebina menyatakan itu dengan berapi-api. Kali ini, ada suara berasal dari arah yang berbeda.
“Mmm, kalau kita menyewa kostum, kurasa kalau memang benar-benar perlu saja. Keuangan kita ini sedang tidak bagus. Sejujurnya aku memilih untuk menggunakan uang tersebut untuk hal lainnya, mungkin...”
Ketika Yuigahama menggaruk-garuk kepalanya dengan bolpen, dia menekan-nekan kalkulator lalu menulis sesuatu di kertas. Kau ini bersikap seperti Ibu rumah tangga saja.
“Bisakah kalau kita membuatnya sendiri?”
Ratu mengatakan itu, mendengarkan dan memberi solusi. Para rakyat jelata mulai mempertimbangkannya.
“Adakah yang bisa menjahit?”
“Aku cuma melakukan itu di pelajaran menjahit saja.”
Haa, mereka ternyata memperhatikan itu dengan baik, huh? Aku berdiri di dekat jendela, terkesan, dan kulihat ada rambut ponitail biru mondar-mandir di depan mataku.
Itu si Kawagoe. Mungkin. Kawashima tampaknya memperhatikan diskusi para gadis, seperti sedikit tertarik.
Kupikir itu agak aneh, tampaknya kata “buat sendiri”, “pakaian”, dan “menjahit” menarik perhatiannya.
Meskipun karakter tersebut cocok dengan Okazaki, aku memanggilnya.
“Hei, kalau kau mau melakukannya, bilang saja ke mereka.”
“A-Apaan sih yang kau katakan!? Seperti aku yang kayaknya mau aja!”
Kawasaki menggeser kursi di sebelahku dan menjawab kata-kataku tadi...Jackpot? Jadi jawabannya adalah Kawasaki. Oke, mungkin nama Okazaki terlalu melenceng.
Meski dugaanku itu betul, dia mungkin menolak apa yang kukatakan tadi. Kalau begini, aku harus memilih pintu belakang.
“Hei, Yuigahama.”
“Waaah! Hei!”
Kawasaki menarik lenganku, memintaku untuk berhenti. Kupikir dia harus berhenti bereaksi seperti itu, karena itu menstimulasi sisi sadisku.
“Ada apa?”
Yuigahama mendatangiku dan menaruh bolpen hitam di telinganya. Apa kamu ini pak tua di pacuan kuda?
“Kawasaki bilang dia mau mencobanya.”
“H-Huuuh!? A-Apa yang kau katakan!? Aku ini tidak bisa membuat sesuatu seperti itu. Apapun yang berbau kostum itu mustahil! Maksudku, aku belum pernah buat pakaian sebelumnya...Umm, jadi kupikir aku hanya akan mengganggu saja...”
Jadi kau pernah membuat sesuatu selain pakaian?
Yuigahama melihat ke arah Kawasaki seperti memikirkan sesuatu. Kawasaki merasa tidak nyaman dan memalingkan badannya. Tatapan Yuigahama lalu terhenti di suatu titik.
“Hei, apa kamu buat sendiri scrunchie itu?”
Yuigahama bertanya dan Kawasaki mengangguk.
“Boleh kulihat sebentar?”
Setelah dia mengatakan itu, dia menaruh tangannya di rambut Kawasaki. Rambut panjangnya terurai dengan scrunchie lepas dari rambutnya.
Yuigahama, dengan scrunchie di tangannya, tampak kagum. Scrunchie bergelombang di tangannya itu mengingatkanku dengan pakaian dalam, jadi itu membuat jantungku berdetak kencang meski sebentar.
“Hina. Coba kesini deh.”
“Okeeee.”
Ebina datang karena dipanggil. Lalu dia mengamati scrunchie itu dengan antusias.
“Itu buatan tangan...Tapi, aku juga membuat satu lagi dengan mesin.”
Kawasaki mengatakan itu sambil mengambil scrunchie lainnya dari kantong blazernya. Itu juga sama, terlihat seperti pakaian dalam bagiku.
“Hoh, hoh...Jahitannya rapi, dan warnanya sangat manis...Kau bisa membuatnya sendiri dan juga bisa menggunakan mesin jahit...Hebat! Kawasaki-san, aku sudah menjatuhkan pilihanku kepadamu! Kami akan mengandalkanmu untuk kostum~”.
“Eh, tung...Kamu tidak bisa langsung...”
Kawasaki mengikat rambutnya kembali dan memasang ekspresi gusar, diminta mengisi suatu posisi secara tiba-tiba.
Mengatakan “sekarang begini”, Yuigahama mencoba menenangkannya.
“Ini bukannya Hina memutuskannya sepihak. Kawasaki-san, kau membetulkan sendiri blazer dan blusmu, benar tidak? Kurasa dia memintamu karena dia tahu itu.”
...Itulah Yuigahama. Dia punya mata yang bagus ketika memperhatikan orang.
“Ahh, oke, eh?”
Kawasaki menjawabnya separuh-separuh, seperti dengan pikiran kosong, juga ekspresi seperti orang bodoh. Dia mungkin kaget dan gembira karena sesuatu yang kecil seperti itu dipahami oleh mereka.
“Memang! Dengan keterbatasan sumber daya yang kita punya, kita harus mencari cara agar menggunakan mereka secara efektif sebisa kita, dan kita juga punya teknologinya. Oleh karena itu kupercayakan itu kepadamu. Jangan khawatir! Jika sesuatu terjadi, aku akan bertanggung jawab!”
Ebina mengatakannya sambil menepuk dadanya seperti memberitahunya untuk menyerahkan itu kepadanya.
Ini agak aneh karena dia mengatakan itu, mempertimbangkan kalau itu adalah dirinya. Karena biasanya dia akan membungkus dengan rapi sisinya yang bijak itu, aku sendiri ragu apakah ini memang karakter dari dirinya yang asli ataukah hanya basa-basi.
“Kalau begitu, kurasa aku bisa melakukannya...”
Ebina memegangi bahu Kawasaki yang wajahnya terlihat memerah.
“Uh huh, tidak sabar menunggu itu. Oh dan juga, kami juga sedang mengukur kostum untuk pemeran narator. Kita butuh kostum yang terkesan lusuh. Nanti kita akan menodainya, noda yang tidak akan hilang.”
Sebelum rapat dimulai, Sagami memberitahu pengumuman resminya.
Dengan persetujuan Pak Atsugi, guru penanggungjawab festival, juga pengakuan dari Meguri-senpai mengenai kemampuan Yukinoshita, para peserta rapat menyambut hal itu dengan positif.
Ini mungkin sesuai skenario yang diinginkan semua orang.
Kepanitiaan ‘asisten arsip’ dimana dia berada mungkin akan kehilangan anggota, tapi itu adalah pekerjaan dimana kerjanya sendiri tidak banyak. Jadi perpindahan posisinya tidak akan menimbulkan masalah sama sekali. Kalau begitu, bisa tidak aku juga tidak perlu hadir untuk seterusnya...? Akupun sempat memikirkan itu, tapi karena pekerjaan inilah aku bisa menghindari partisipasi drama musikal di kelasku. Aku tidak bisa bilang ini peluang yang bagus.
Setelah diperkenalkan, Yukinoshita langsung bekerja.
Setelah membuat jadwal baru dan membagikannya ke kepanitiaan, dia juga meminta semua bagian untuk melaporkan perkembangannya setiap hari.
Pekerjaan terus berjalan tanpa adanya hambatan.
Di bagian timur dimana bagian humas sedang mendiskusikan penempatan poster, mereka juga diinstruksikan untuk memperkirakan kepadatan lalu lintas di peta. Sementara di sisi barat terdapat bagian managemen sukarelawan yang sedang kesulitan mengorganisir organisasi-organisasi yang berpartisipasi, penghargaan lokal, dan semacam itu.
Seorang ‘kuli’ sepertiku tidak punya gambaran bagaimana para eksekutifnya bekerja, tapi aku tahu dan yakin kalau Yukinoshita sedang berusaha sangat keras untuk mengerjakannya.
Begitu juga dengan Sagami Minami, yang hanya menjadi ketua sebatas nama saja, tapi tidaklah sulit untuk membayangkan kalau semua pekerjaannya itu dikerjakan oleh Yukinoshita.
Situasinya terus berkembang.
Sementara itu, rapat berikutnya sebentar lagi akan dimulai.
Sesuai jadwal, sekarang jam 4 sore.
Sagami melihat ke arah semua peserta rapat dan membukanya.
“Sekarang, mari kita mulai rapatnya.”
Semua orang mengatakan “berikan yang terbaik” dan membungkuk.
Pertama-tama, perkembangan dari berbagai seksi kepanitiaan.
“Oke, humas, kalian duluan.”
Pimpinan humas berdiri, seperti siap memberikan laporan perkembangannya.
“Kami sudah menyelesaikan 70% dari pengumuman jadwal festival, untuk posternya sendiri, sudah 50% jalan.”
“Benarkah? Tampaknya kita sudah sesuai target.”
Sagami mengatakan itu sambil mengangguk puas.
Tapi kata-kata yang keluar berikutnya seperti menghapus kehangatan itu, nada suara yang dingin.
“Tidak. Itu sebenarnya agak terlambat.”
Ruang rapat mulai ramai mendengar suara yang tidak diduga tersebut. Meski begitu, pemilik suara tersebut, Yukinoshita Yukino, tidak mempedulikan itu dan melanjutkan kata-katanya.
“Festival budaya akan berlangsung tiga minggu lagi. Kalau kita mempertimbangkan para pengunjung itu butuh waktu untuk menyesuaikan jadwalnya, maka akan menjadi masalah kalau kita tidak menyelesaikannya. Apa kalian juga sudah bernegosiasi tentang lokasi poster selanjutnya dan juga apa sudah mengupload info festival ke website sekolah?”
“Belum...”
“Tolong disegerakan. Kalau mengesampingkan pengunjung yang sudah bekerja, para siswa SMP yang berminat untuk ikut ujian masuk kesini dan orang tua mereka biasanya sering membuka website sekolah untuk melihat pengumuman-pengumuman.”
“Y-Ya.”
Merasa ditekan olehnya, pimpinan dari humas langsung tenggelam di tempat duduknya.
Kesunyian melanda ruang rapat. Sagami, duduk di dekatnya, tampak tidak menangkap apa yang barusan terjadi. Mulutnya seperti ragu-ragu mau mengatakan apa, lalu dia menatap ke arah Yukinoshita.
“Sagami-san, tolong dilanjutkan.”
Yukinoshita memintanya untuk melanjutkan agenda rapat.
“Ah, oke. Lalu, managemen sukarelawan, tolong laporannya.”
“...Ya. Sampai sekarang, ada sepuluh organisasi yang sudah mendaftarkan diri.”
Pimpinan seksi managemen sukarelawan melaporkan pemesanan slot festivalnya.
Sagami mengangguk seperti keheranan.
“Jumlahnya meningkat, ya? Mungkin karena ada penghargaan lokal untuk tahun ini. Selanjutnya...”
“Apakah mereka semua berhubungan dengan sekolah? Apa kau sudah mengkonfirmasi itu? Tolong juga periksa daftar sukarelawan festival tahun lalu dan coba menghubungi mereka. Selama mereka mewakili komunitas lokal setempat, kita tidak boleh terlihat mengurangi slot mereka. Juga, sudahkah kau mengalokasikan waktu penampilan mereka? Bagaimana dengan koordinasi antara jumlah pengunjung dengan staff panggung mereka? Tolong hitung semuanya dalam sebuah tabel dan kirimkan ke kami.”
Momen dimana situasinya hendak bergerak maju, beberapa pertanyaan keluar. Ini memang diniatkan untuk tidak maju ke depan dengan separuh-separuh.
Begitu pula selanjutnya, dari awal sampai akhir, rapat berlanjut, menuju ke divisi kesehatan dan keuangan. Ketika itu terjadi, Yukinoshita mereview beberapa hal dan memberikan beberapa instruksi.
“Selanjutnya, asisten arsip.”
Ketika kusadari, Yukinoshita sudah memimpin rapatnya.
“Tidak ada yang dilaporkan.”
Pimpinan asisten arsip menjawabnya dengan sederhana. Sebenarnya, bagi kami asisten arsip, pekerjaan terbanyak adalah ketika hari-H. Jadi untuk saat ini, tidak ada pekerjaan untuk dilakukan.
Itu adalah sesuatu yang bahkan ketua Sagami sendiri paham, setelah melihat ke seluruh ruangan, dia memutuskan untuk mengakhiri rapat.
“Oke, untuk hari ini, kita cukupk.....”
“Asisten arsip, tolong kirimkan jadwal di hari festival beserta perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk rekaman videonya, perlengkapan yang diperbolehkan di panggung terbatas, jadi kalau organisasi yang menjadi sukarelawan berencana untuk merekamnya juga, tolong pertimbangkan juga kalau nanti mungkin ada bentrokan jadwal, jadi tolong diskusikan dengan mereka sampai perlengkapannya tiba.”
“Baik...”
Yukinoshita memberi instruksi tanpa melihat kalau yang diajaknya berbicara adalah kelas tiga. Suasana di ruangan ini menjadi sensitif karenanya.
Itu harusnya menjadi akhir dari rapat. Laporan dari berbagai seksi sudah selesai. Semuanya terlihat lega, tapi ibu wakil ketua tidak berniat untuk mengakhirinya dengan segera.
“Lebih jauh lagi...Apakah tidak masalah kalau Pengurus OSIS mengurusi tentang tamu undangan?”
“Uh huh, tentu.”
Terlihat fokus, Meguri-senpai menjawabnya dengan segera.
“Kalau begitu, kami serahkan itu kepada anda. Kalau senpai punya data tamu undangan tahun lalu, itu akan sangat membantu. Untuk daftar tamu undangannya, itu berhubungan dengan divisi kesehatan...Tolong nanti berikan daftar tamu undangannya kepada mereka juga.”
“Oke, siap bu.”
Meguri-senpai mengangguk gembira. Dia lalu berkata “Ya ampun, kau sangat mengagumkan Yukinoshita-san...Kau memang benar-benar adik dari Haru-san.”
“...Tidak, aku tidaklah seperti itu.”
Yukinoshita berusaha menunjukkan kerendahan dirinya terhadap pujian Meguri-senpai.
Itu memang benar adanya. Kemampuan Yukinoshita memang luar biasa. Aku sempat berpikir kalau dia seperti orang lain saja. Tapi caranya melakukan hal ini entah mengapa, aku sendiri meragukan itu.
Setelah menerima laporan, mencari permasalahannya dan memberikan solusinya, mungkin itulah jadwal kegiatan rapat kita seterusnya. Kalau begitu, tidak ada yang perlu didiskusikan lebih lanjut.
Semua orang disini berpikir kalau rapat sudah berakhir dan suasananya menjadi lebih rileks. Beberapa orang terlihat melemaskan badannya.
Seperti menyadari kalau dia sudah mengambil tugas dari pimpinan rapat, Yukinoshita menatap ke arah Sagami.
“Ibu ketua.”
“Ah, benar. umm, kami mengandalkan kalian besok. Terima kasih atas kerja kerasnya.”
Setelah memberikan pernyataan penutup, para panitia meninggalkan kursinya sambil mengatakan “kerja bagus, kerja bagus”.
Aku capek, sangat lelah, hari yang panjang, tapi tadi kurasa sangat luar biasa, benar sekali, untuk kali ini aku benar-benar merasa sedang bekerja.
Suara-suara itu terdengar di berbagai sudut.
Semua orang memuji Yukinoshita.
Dia terlihat sangat dominan sekali, dan gosip-gosip mengenai siapa ketua yang sebenarnya mulai merebak.
Bahkan ada seseorang pengurus OSIS yang menyebutkan namanya sebagai kandidat potensial di pemilihan ketua OSIS mendatang.
Memang, itulah Yukinoshita Yukino.
Tanpa ragu, diantara mereka semua, orang yang terpukul pastilah Sagami.
Harusnya dia mendapatkan pujian yang sama.
Tapi seorang siswi yang seangkatan dengannya tiba-tiba mengambil kontrol rapat.
Ada yang jatuh tertinggalkan di belakang sementara ada yang berusaha berjuang agar jarak mereka tidak sejauh itu.
Kalau Yukinoshita menampilkan kapasitasnya sendiri, kurasa itu adalah cerita yang berbeda.
Tapi, ada Sagami dan Yukinoshita. Perbedaan kesan yang diperoleh dari mereka membuat sebuah jurang pemisah diantara mereka. Sangat jelas dilihat oleh siapapun. Memuji Yukinoshita berarti meludahi Sagami.
Sementara Yukinoshita memutuskan untuk tetap di ruangan ini dan bekerja, Sagami bersama grupnya meninggalkan ruangan seperti kabur dari TKP.
Sekarang kegiatan di kepanitaan sudah sangat jelas, pekerjaan kami menjadi lebih optimal. Pekerjaan Yukinoshita memang pantas untuk mendapatkan pujian.
Tapi, mungkinkah Yukinoshita menyadari itu?
Kalau yang dia lakukan itu tidaklah mampu untuk menyelamatkan seseorang, tidak juga siapapun.
x x x
Setelah pulang sekolah, sehari setelah Yukinoshita mengamuk, eh tolong dihapus, Yukinoshita menjadi sangat aktif dalam rapat harian, di kelas 2F, dimana Ebina Hina menjadi sangat aktif, maksudku, Ebina Hina mulai mengamuk.
“Salaaaaah! Ketika kau menarik dasi si pebisnis, kau harus berakting lebih sensual! Kaupikir untuk apa ‘pakaian itu’ ada, huh!?”
Memangnya ‘pakaian’ apaan?
Seperti terkena instruksi keras Ebina, para laki-laki mulai terlihat menangis.
Tapi, tidak semua laki-laki terlihat menyedihkan seperti mereka.
Diantara mereka, ada satu orang yang terlihat hangat dan ramah.
“Umm, bukankah ini sudah cukup...?”
Hayama mengatakannya seperti kerepotan dikelilingi para gadis.
“Belum, belum selesai!”
“Ini baru permulaan!”
Para gadis di sekitarnya mulai terlihat antusias.
Tampaknya, para pemeran sedang menjalani sesi make-up. Agar di hari pertunjukan lancar, mereka mengadakan latihan. Sagami juga ada di grup itu...Well, memang ada waktu senggang sebelum rapat panitia dimulai.
Dan, Totsuka, bersama tiga gadis sedang memoles make-up di rambutnya, tampaknya mereka terlihat kagum.
“Totsuka-kun, kulitmu bagus bangeeet.”
“Yeah, kurasa sayang sekali kalau tidak membuatmu terlihat manis dengan make-up.”
“U-umm...Ini cuma latihan, jadi kupikir aku tidak butuh make-up.”
Totsuka menolak tawaran itu, tapi wajah manisnya itu seperti senjata makan tuan.
“Memasang make-up juga butuh latihan!”
“Benar!”
Malahan, dia membuat motivasi para gadis tersebut semakin menjadi-jadi. Tubuh Totsuka terlihat menyerah mendengar hal itu.
“O-Oke...Ku-kurasa begitu. Latihan itu penting, benar.”
Melihat Totsuka yang tidak bisa menolak membuatnya terlihat kasihan, tapi dengan pikiranku terbayang kalau dia akan terlihat lebih manis, membuatku mengurungkan niatku untuk menghentikan para gadis ini, kelemahan dari hatiku.
Ngomong-ngomong, perbedaan perlakuan diantara grup tukang make-up disini sangat buruk sekali.
Maksudku, di arah Tobe dan Ooka, para gadis hanya memberi mereka make-up selama 5 menit. Parahnya lagi, si ketua kelas harus memasang sendiri make-upnya karena tidak ada yang mau membantunya. Mungkin ya, dia memang punya skill dalam make up, tapi kemungkinan barusan malah membuatku merasa ketakutan juga...
Tapi aku bukanlah satu-satunya orang yang menonton sesi latihan make-up ini.
Miura melihat ke arah grup Hayama dan berbicara seperti dia hendak membicarakan sesuatu.
“Jadiii, bagaimana dengan gambar ini? Bukankah kita, seperti, butuh poster?”
Mendengarkan hal itu, Ebina berjalan ke arahnya dengan enerjik dan menunjukkan jempol jarinya.
“Yumiko, itu bagus! Benar! Kalau kita ingin membuat drama musikal kita terdengar heboh, maka kita harus mengupload gambar-gambar tokohnya. Dalam kasus ini, kita perlu mengumumkan detail para pemerannya. Bagi LittleMusical, kita hanya perlu menjiplak beberapa poin pentingnya saja, dan sisanya biarkan itu berjalan menurut kekuatan karakter para pemerannya!”
Apaan dengan singkatan LittleMusical? Lagian, kamu dari industri mana sih?
Dengan diskusi antara Miura dan Ebina sebagai pemicu, diskusi kelas mulai berkembang.
“Kalau kostumnya bagaimana? Menyewa?”
“Kostumnya nanti pasti bakal kotor loh.”
Para gadis mulai ramai, seperti sebelumnya, Ebina berjalan ke arah mereka.
“Tidak, tidak, Sang Pangeran Kecil setidaknya harus punya image yang solid, jadi kostum-kostum yang sudah ada itu tidak boleh digunakan. Kalau karakter yang lain, kostum sewaan tidak masalah.”
“Apa itu benar-benar penting? Lagipula tidak semua orang pernah melihat kostum-kostum sewaan seperti apa...”
“Apa kamu terlalu meremehkan!? Apa kamu mau kita hancur lebur di internet nanti!?”
Ebina menyatakan itu dengan berapi-api. Kali ini, ada suara berasal dari arah yang berbeda.
“Mmm, kalau kita menyewa kostum, kurasa kalau memang benar-benar perlu saja. Keuangan kita ini sedang tidak bagus. Sejujurnya aku memilih untuk menggunakan uang tersebut untuk hal lainnya, mungkin...”
Ketika Yuigahama menggaruk-garuk kepalanya dengan bolpen, dia menekan-nekan kalkulator lalu menulis sesuatu di kertas. Kau ini bersikap seperti Ibu rumah tangga saja.
“Bisakah kalau kita membuatnya sendiri?”
Ratu mengatakan itu, mendengarkan dan memberi solusi. Para rakyat jelata mulai mempertimbangkannya.
“Adakah yang bisa menjahit?”
“Aku cuma melakukan itu di pelajaran menjahit saja.”
Haa, mereka ternyata memperhatikan itu dengan baik, huh? Aku berdiri di dekat jendela, terkesan, dan kulihat ada rambut ponitail biru mondar-mandir di depan mataku.
Itu si Kawagoe. Mungkin. Kawashima tampaknya memperhatikan diskusi para gadis, seperti sedikit tertarik.
Kupikir itu agak aneh, tampaknya kata “buat sendiri”, “pakaian”, dan “menjahit” menarik perhatiannya.
Meskipun karakter tersebut cocok dengan Okazaki, aku memanggilnya.
“Hei, kalau kau mau melakukannya, bilang saja ke mereka.”
“A-Apaan sih yang kau katakan!? Seperti aku yang kayaknya mau aja!”
Kawasaki menggeser kursi di sebelahku dan menjawab kata-kataku tadi...Jackpot? Jadi jawabannya adalah Kawasaki. Oke, mungkin nama Okazaki terlalu melenceng.
Meski dugaanku itu betul, dia mungkin menolak apa yang kukatakan tadi. Kalau begini, aku harus memilih pintu belakang.
“Hei, Yuigahama.”
“Waaah! Hei!”
Kawasaki menarik lenganku, memintaku untuk berhenti. Kupikir dia harus berhenti bereaksi seperti itu, karena itu menstimulasi sisi sadisku.
“Ada apa?”
Yuigahama mendatangiku dan menaruh bolpen hitam di telinganya. Apa kamu ini pak tua di pacuan kuda?
“Kawasaki bilang dia mau mencobanya.”
“H-Huuuh!? A-Apa yang kau katakan!? Aku ini tidak bisa membuat sesuatu seperti itu. Apapun yang berbau kostum itu mustahil! Maksudku, aku belum pernah buat pakaian sebelumnya...Umm, jadi kupikir aku hanya akan mengganggu saja...”
Jadi kau pernah membuat sesuatu selain pakaian?
Yuigahama melihat ke arah Kawasaki seperti memikirkan sesuatu. Kawasaki merasa tidak nyaman dan memalingkan badannya. Tatapan Yuigahama lalu terhenti di suatu titik.
“Hei, apa kamu buat sendiri scrunchie itu?”
Yuigahama bertanya dan Kawasaki mengangguk.
“Boleh kulihat sebentar?”
Setelah dia mengatakan itu, dia menaruh tangannya di rambut Kawasaki. Rambut panjangnya terurai dengan scrunchie lepas dari rambutnya.
Yuigahama, dengan scrunchie di tangannya, tampak kagum. Scrunchie bergelombang di tangannya itu mengingatkanku dengan pakaian dalam, jadi itu membuat jantungku berdetak kencang meski sebentar.
“Hina. Coba kesini deh.”
“Okeeee.”
Ebina datang karena dipanggil. Lalu dia mengamati scrunchie itu dengan antusias.
“Itu buatan tangan...Tapi, aku juga membuat satu lagi dengan mesin.”
Kawasaki mengatakan itu sambil mengambil scrunchie lainnya dari kantong blazernya. Itu juga sama, terlihat seperti pakaian dalam bagiku.
“Hoh, hoh...Jahitannya rapi, dan warnanya sangat manis...Kau bisa membuatnya sendiri dan juga bisa menggunakan mesin jahit...Hebat! Kawasaki-san, aku sudah menjatuhkan pilihanku kepadamu! Kami akan mengandalkanmu untuk kostum~”.
“Eh, tung...Kamu tidak bisa langsung...”
Kawasaki mengikat rambutnya kembali dan memasang ekspresi gusar, diminta mengisi suatu posisi secara tiba-tiba.
Mengatakan “sekarang begini”, Yuigahama mencoba menenangkannya.
“Ini bukannya Hina memutuskannya sepihak. Kawasaki-san, kau membetulkan sendiri blazer dan blusmu, benar tidak? Kurasa dia memintamu karena dia tahu itu.”
...Itulah Yuigahama. Dia punya mata yang bagus ketika memperhatikan orang.
“Ahh, oke, eh?”
Kawasaki menjawabnya separuh-separuh, seperti dengan pikiran kosong, juga ekspresi seperti orang bodoh. Dia mungkin kaget dan gembira karena sesuatu yang kecil seperti itu dipahami oleh mereka.
“Memang! Dengan keterbatasan sumber daya yang kita punya, kita harus mencari cara agar menggunakan mereka secara efektif sebisa kita, dan kita juga punya teknologinya. Oleh karena itu kupercayakan itu kepadamu. Jangan khawatir! Jika sesuatu terjadi, aku akan bertanggung jawab!”
Ebina mengatakannya sambil menepuk dadanya seperti memberitahunya untuk menyerahkan itu kepadanya.
Ini agak aneh karena dia mengatakan itu, mempertimbangkan kalau itu adalah dirinya. Karena biasanya dia akan membungkus dengan rapi sisinya yang bijak itu, aku sendiri ragu apakah ini memang karakter dari dirinya yang asli ataukah hanya basa-basi.
“Kalau begitu, kurasa aku bisa melakukannya...”
Ebina memegangi bahu Kawasaki yang wajahnya terlihat memerah.
“Uh huh, tidak sabar menunggu itu. Oh dan juga, kami juga sedang mengukur kostum untuk pemeran narator. Kita butuh kostum yang terkesan lusuh. Nanti kita akan menodainya, noda yang tidak akan hilang.”
Dalam tawa
busuk “gufufu”, tidak ada satupun kebijaksanaan yang tersisa. Kalau kupikir lagi, aku tidak paham gadis
ini sama sekali...
Setelah
memastikan masalah mengenai kostum teratasi, akhirnya, tidak ada hal lain yang
perlu diselesaikan. Setiap orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Akupun,
juga, punya pekerjaan ‘tumbal’ dimana tidak ada seorangpun mau mengerjakannya,
yaitu di kepanitiaan festival.
Akupun
melangkahkan kakiku untuk mengerjakan tugas itu.
Seperti
melihatku hendak meninggalkan ruangan kelas, Yuigahama melihat ke sudut ruangan
dan memanggil Sagami.
“Sagamin,
bagaimana dengan pekerjaanmu di panitia?”
“Eh? Oh,
tentu, kurasa hari ini akan baik-baik saja.”
“Tapi...”
“...Ah,
begitu ya, aku memang tidak bisa bantu banyak jadi aku ini terasa mengganggu?”
“Itu tidak
benar. Kau sangat membantu. Tapi pekerjaanmu sendiri kan banyak, jadi lebih
baik kau membagikan beban kerjamu disini, kupikir begitu.”
“Itu tidak
masalah. Yukinoshita-san sangat bisa diandalkan~ Lagipula, aku harus menuliskan
formulir penampilan kelas kita di festival, begitu~”
Mendengarkan
pembicaraan itu di belakangku, aku mulai menutup pintu kelasku.
Ketika aku
keluar dari kelas, aku bertemu Hayama.
“Menuju ke ruang
panitia?”
Hayama
sedang mengolesi wajahnya dengan pembersih make-up. Dia sepertinya habis dari
kamar mandi untuk membersihkannya.
“...Yeah.”
“Begitu ya,
tidak keberatan kalau aku pergi denganmu?”
“...?”
Aku
menanyakan itu dengan ekspresiku. Seperti berkata ‘Apaan? Apaan sih yang kamu
katakan? Maksudku kau pasti bisa pergi kesana, tapi kita tidak perlu kesana
berdua, benar tidak? Lagipula, kamu tidak perlu kesana, serius ini. Terserahlah, apa sih keperluanmu?’
Hayama
tersenyum.
“Formulir
untuk pendaftaran organisasi sukarelawan. Aku perlu mengambil dokumen-dokumen
tersebut.”
“Ah, begitu
ya.”
Jawaban yang
Hayama-banget. Dia sadar kalau dia adalah orang yang mencolok di sekolah ini.
Festival Budaya ini menampilkan individu-individu semacam itu.
Aku tidak
menanyakannya lebih jauh, dengan itu sebagai alasannya, kami meninggalkan
ruangan kelas bersama. Aku merasakan ada
sebuah tatapan dengan penuh hasrat seperti sedang menusuk punggungku, tapi bisa
saja aku salah. Benar tidak? Ebina?
x x x
Kami meninggalkan ruang kelas dan berjalan menuju ruang rapat. Meskipun tidak ada jadwal rapat, tapi ada pekerjaan bagi asisten arsip, malang sekali nasibku.
Dan kemalangan itu bertambah lagi dengan perjalanan kesana ditemani Hayama.
“.....”
“.....”
Kami tidak mengobrolkan sesuatu.
Dia mungkin memahami ‘aura jangan bicara denganku’ dan mematuhinya. Aku melirik ke arahnya, dia tampak tidak terganggu atau khawatir. Normal-normal saja. Dia sedang bernyanyi kecil dan tersenyum, tidak terlalu peduli dengan keberadaanku.
Dia terlihat sedang senang sekali.
Sayangnya, aku tidak punya hal itu di diriku.
Ketika aku mulai memikirkan hanya ada Hayama dan diriku, memori di perkemahan musim panas di desa Chiba mulai muncul.
Note: Ini tidak ada di LN vol 6, tapi saya potong dari LN vol 4 chapter 7. Percakapan Hayama dan Hachiman di kabin sebelum tidur.
Hayama : “Hikitani-kun...”
Hikitani : “Hayama, huh. Apa aku membangunkanmu?
Hayama: “Nah, aku hanya kesulitan tidur, itu saja.”
Hikitani: “Maaf ya memberikan peran penjahat kepadamu.”
Hayama: “Aku tidak masalah, serius nih. Aku sendiri tidak sulit tidur gara-gara itu. Aku hanya teringat tentang memori masa laluku...Dulu kala, aku tidak melakukan apapun ketika adegan yang sama terjadi di depanku. Mungkin situasinya sekarang akan lebih baik jika seandainya Yukinoshita-san punya sifat yang mirip dengan kakaknya.”
Hikitani: “Nah, kau tidak perlu mengatakan itu. Diriku membayangkan Yukinoshita punya skill sosial yang bagus sudah membuatku ketakutan.”
Hayama: “Haha, kau ada benarnya juga. Hei, aku membayangkan bagaimana jika kau berada di SD yang sama denganku, Hikitani-kun.”
Hikitani: “Sudah jelas. Sekolahmu akan bertambah satu penyendiri.”
Hayama: “Kau pikir begitu?”
Hikitani: “Kupikir begitu.”
Hayama: “Kupikir akan ada banyak hal yang berubah. Hanya saja...meski begitu...Mungkin pada akhirnya aku tidak akan bisa berteman denganmu, Hikigaya-kun.”
Hikitani: “...Kampret lu. Ujung-ujungnya malah begitu.”
Hayama: “Hanya becanda. Oke, selamat malam.”
Hikitani: “Yeah, selamat malam.”
Kata-kata dinginnya yang dia ucapkan malam itu, dalam ruangan yang gelap. Memikirkan kalau emosi sejenis itu juga dipunyai oleh Hayama Hayato membuat bulu kudukku berdiri. Bukannya aku mau bilang kalau Hayama menakutkan.
Fakta bahwa Hayama yang itu juga punya emosi-emosi seperti itu sementara dirinya hidup dalam dunia yang menakutkan.
Pria yang sempurna, melakukan segalanya dengan baik, dan pria yang keren di mata semua orang, itulah Hayama.
Tanpa adanya obrolan dari awal hingga akhir, kami berbelok dari tikungan lorong di depan kami.
Ketika kami masuk ke ruang rapat, banyak sekali orang di pintu masuk yang mengintip ke dalam ruangan. Apa ada kecelakaan?
“Apa terjadi sesuatu?” Hayama menanyakannya secara spontan.
Gadis yang ditanya menoleh dengan perasaan tidak senang karena terganggu, tapi ketika sadar yang bertanya adalah Hayama, dia menjawabnya dengan gugup. “Um...” dia sepertinya kesulitan menjelaskannya. Tunggu dulu, kenapa kamu tiba-tiba berubah menjadi malu-malu?
Si gadis tampaknya hendak berbicara namun malu-malu, ini sepertinya akan memakan waktu yang lama. Kalau aku hendak mendengarkannya, mungkin akan lebih hemat waktu kalau aku langsung menuju TKPnya saja. Ketika aku taruh tanganku di pintu, orang-orang di sekitarku membuka jalan.
Penyesalan menyelimuti diriku ketika membuka pintunya. Aku harusnya bisa menyimpulkan itu dari kerumunan massa disini.
Sebuah suasana menyelimuti ruang rapat.
Beberapa orang berdiri di pojokan seperti melihat sebuah galeri.
Di tengah-tengah ruangan, ada tiga orang.
Yukinoshita Yukino.
Shiromeguri Meguri.
Dan terakhir, Yukinoshita Haruno.
Yukinoshita dan Haruno-san berdiri saling menatap satu sama lain, berjarak tiga langkah. Meguri-senpai berdiri di belakang Haruno-san seperti malu-malu.
“Nee-san, kenapa kau datang kesini?”
Yukinoshita bertanya dengan nada yang dalam.
“Oh, ayolah, aku kesini karena ada pemberitahuan soal pendaftaran grup sukarelawan festival. Aku juga sebagai OG dari klub orkestra disini.”
OG...Kupikir dia sedang membicarakan Super Robot, tapi kemungkinan bukan itu. Mungkin dia merujuk ke nama daging di Australia, tentunya, pasti bukan itu. Kupikir itu berarti Old Girl? Eh, berhenti menjelek-jelekkan Hiratsuka-sensei!
[note: OG itu istilah organisasi di amerika dan eropa yang merujuk ke Old Girl, alias member veteran wanita. Sebaliknya, juga ada OB yaitu Old Boys alias member veteran pria. Dalam organisasi sekolah, seperti klub orkestra, meski telah lulus, biasanya para alumni tetap terdaftar sebagai bagian dari klub. Karena Yukinoshita pindahan dari luar jepang, maka istilah OG memang relevan kalau diucapkan oleh Haruno.]
Meguri-senpai lalu berdiri diantara keduanya.
“Ma-maaf ya, akulah yang mengundangnya kesini. Kami secara tidak sengaja bertemu di kota, dan kemudian karena sudah lama, kami mengobrol sebentar, dan waktu itu aku berpikir kalau kita kekurangan sukarelawan pengisi acara, jadi...”
Bertemu Yukinoshita Haruno, dari sekian banyak orang di kota ini, menyebutnya kebetulan adalah absurb. Berpikir seperti itu saja sudah membuatku ketakutan.
“Yukinoshita-san, aku yakin kau tidak tahu karena waktu itu kamu belum disini, tapi Haru-san waktu kelas tiga dulu tampil bersama bandnya sebagai sukarelawan. Dia waktu itu sangat luar biasa! Jadi kupikir aku bisa mengundangnya...”
Meguri-senpai melihat Yukinoshita dengan lembut, dan melanjutnya sambil bertanya, “Bagaimana?”.
“Aku juga tahu soal itu...Aku juga disana dan melihatnya. Tapi...”
Yukinoshita mengatakan itu sambil menatap ke lantai, seperti menahan gigi-giginya untuk bergerak. Dia tidak membalas tatapan Meguri-senpai. Hasilnya, kesunyian melanda mereka.
Haruno-san tersenyum malu-malu dan memotongnya.
“Ahaha, Meguri. Bukan itu. Yang kemarin itu hanya untuk senang-senang saja. Tapi aku memang merencanakan sesuatu yang serius tahun ini. Aku hanya membayangkan apakah aku bisa berlatih di sekolah ini...Apakah itu tidak apa-apa? Yukino-chan. Maksudku, kau sendiri kan kekurangan sukarelawan~”
Seperti sedang memberikan dorongan terakhir, Haruno-san memegang pundak Yukinoshita. “Aku ini hanya ingin memberikan apa yang kubisa untuk adikku yang manis, Yukino-chan, begitulah~”
“Jangan becanda...Lagipula, nee-san, kamu...”
Yukinoshita melepaskan tangan Haruno-san dari bahunya, mengambil langkah ke belakang dan menatapnya.
“Aku? Memangnya aku kenapa?”
Haruno-san terus menatap Yukinoshita tanpa merubah pandangannya. Senyumnya terlihat sangat manis, melihatnya saja sudah membuat lututku serasa meleleh.
“...Seperti itu, lagi...”
Yukinoshita seperti frustasi dan menggigit bibirnya sambil memalingkan pandangannya. Tatapannya itu lalu bertemu dengan kedua mataku.
“...!” Dia lalu memalingkan pandangannya dariku. Dia mungkin menatap ke arah lantai lagi.
“Oh? Itu Hikigaya-kun! Hayahallo!”
Menyadari kehadiranku, Haruno-san memberi salam yang sangat antusias. Apa-apaan salammu tadi, kamu berasal dari Century End?
“Haruno-san...”
Hayama, yang masuk terakhir ke ruangan ini, berdiri di sebelahku.
“Hi, Hayato.”
Haruno-san melambai-lambaikan tangannya.
Hayama lalu mengangguk kecil dan meresponnya. “Ada apa nih?”
“Aku cuma berpikir apakah aku bisa menjadi sukarelawan dari Klub Orkestra. Sepertinya menarik sekali kan kalau kita mengumpulkan para OB dan OG atau semacamnya. Kedengarannya seru, benar tidak?”
“Kau melakukan apapun yang kausuka lagi ya...”
Hayama mengatakan itu seperti menyerah saja.
Aku tahu kalau mereka berdua punya hubungan, tapi ada sebuah ketidaknyamanan menyelimuti itu. Mungkinkah karena nada suaranya?
Nada suara yang akrab, kah...? Aku melihat ke arah Hayama dan Haruno-san.
Haruno-san tersenyum kecil ketika menyadari rasa penasaranku.
“Hmm? Aah, Hayato ini seperti adik bagiku. Kami ini sudah kenal sejak lama. Kau bisa bersikap akrab juga denganku, Hikigaya-kun, tahu tidak? Kalau begitu, apakah aku perlu memanggilmu Hachiman? Hachiman?”
“Ahaha.”
Aku menolaknya dengan tertawa kering. Aku memerintahkanmu untuk tidak melakukannya lagi. Yang boleh memanggilku Hachiman hanyalah orang tuaku dan Totsuka.
Setelah puas dengan hiburan sampingan, Haruno kembali menatap ke arah Yukinoshita.
“Hei, Yukino-chan, aku boleh ikut kan?”
“Terserah kamu saja...Aku bukanlah orang yang bisa memutuskan itu.”
“Huh? Benarkah? Kupikir kau ini ketuanya. Apa tidak ada yang mengusulkanmu jadi ketua?”
Malahan, dia direkomendasikan untuk itu, dan alasannya karena dia adalah adik dari Yukinoshita Haruno.
Haruno-san tertawa kecil dan tersenyum, dia seperti tahu semuanya. Yukinoshita memalingkan pandangannya.
“Jadi siapa ketuanya? Meguri...Atau bukan karena dia sendiri sudah kelas tiga. Hikigaya-kun?”
Ini bukanlah lelucon yang lucu.
Dengan suasana abnormal menyelimuti ruangan, pintu ruangan rapat terbuka tanpa adanya pemberitahuan.
“Maaaaf, aku masih ke kelas dulu dan terlambat!”
Masuk ke ruangan tanpa menunjukkan rasa malunya, Sagami Minami.
Well, memang tidak ada jadwal rapat untuk hari ini, dan sekarang, kita hanya bekerja seperti biasa sesuai jadwal. Aku bisa mengerti mengapa kita tidak begitu ketat soal itu.
“Haru-san, gadis ini adalah ketuanya.”
Meguri-senpai mengatakan itu. Haruno-san menatap Sagami dengan keheranan.
Mata itu lagi. Mata dari Iblis yang sedang mengevaluasi nilai dirimu.
[note: Hachiman pernah mendapatkan tatapan serupa dari Haruno di vol 3 chapter 4.]
“...Ah, saya Sagami Minami.”
Sagami mengatakannya dengan kaku, seperti ditekan oleh tatapan mata Haruno-san.
“Hmmm...”
Haruno-san tidak terlihat tertarik, tapi dia sempat mengembuskan napas kecilnya dan mendekatinya.
“Ketua panita festival budaya telat? Dan yang utama, kau masih mampir ke kelasmu? Uh huuuh...”
Nada suaranya sangat menakutkan. Tekanan nadanya seperti menggema di sekujur badan karena Sagami seperti bergetar ketakutan. Tidak hanya ada perbedaan dalam cara mengintimidasi Haruno-san dan Yukinoshita, dia juga memasang ekspresi menyeramkan di wajahnya tanpa berusaha menutupinya.
Dia menunjukkan sifatnya yang sebenarnya, dimana ketika dia menunjukkan sikapnya yang ramah agar bisa dekat denganmu, tapi ketika dia memutuskan untuk menyerang balik, dia akan mencekikmu tanpa ampun.
“Ah, um...”
Sagami mengatakan itu seperti sudah putus asa mencari alasan.
Kemudian, Haruno-san tersenyum. “Yeah, ketua itu harusnya memang begitu, benar tidak!? Sebagai seseorang yang menikmati Festival Budaya sepenuhnya, itu pasti hal yang sempurna bagi seorang ketua! Kedengarannya bagus bagiku! Um, Sesuatu-gami-chan kupikir? Amagami? Oh, atau begini saja. Ketua-chan kurasa oke.”
“Te-terima kasih banyak...”
Penjelasan tidak jelas Haruno-san tadi membuat bibir Sagami seperti kebingungan, tiba-tiba dia mendapat dukungan.
Itu mungkin dukungan pertama yang pernah diterima Sagami semenjak dia ada disini.
Ketika pipi Sagami terlihat memerah, Haruno-san melanjutkan kata-katanya.
“Ngomong-ngomong, aku ini ingin minta tolong, ketua-chan. Seperti, aku ingin berpartisipasi sebagai sukarelawan. Jadi, aku membicarakan itu dengan Yukino-chan, tapi dia enggan menyetujuinya. Itu karena dia tidak menyukaiku...”
Dia mencoba merayunya. Aku tidak bisa mengkomentarinya karena adegan ini sangat manis untuk dilihat.
“Eh...”
Sagami lalu menatap ke arah Yukinoshita. Sikap Yukinoshita tidak berubah sedikitpun, termasuk tidak menatap ke siapapun.
“...Aku tidak melihat alasan untuk menolaknya. Kami ini juga sedang kekurangan sukarelawan, dan jika OG klub sekolah ini berpartisipasi, itu juga termasuk, um, terhubung dengan komunitas lokal? Atau sejenisnya.”
Kata-katanya tadi mirip dengan kata-kata seseorang, tapi kesimpulannya Sagami memberitahu Haruno-san kalau dirinya diperbolehkan.
“Kyaaa, terima kasih!”
Haruno-san memeluk Sagami, tapi tidak lama kemudian dia melepaskannya sambil mengatakan sesuatu.
“Yep, yep, sangat luar biasa rasanya bisa kembali ke almamatermu setelah lulus. Lebih baik aku segera menceritakannya ke teman-temanku, mereka pasti akan cemburu!”
“Begitukah?”
“Uh huh, itu sering terjadi kepadaku. Banyak yang menceritakan itu ketika kami bertemu dan berkunjung...”
Kata-kata Haruno-san membuat Sagami berpikir sejenak.
Hanya Hayama dan Yukinoshita yang terlihat mengembuskan napas kecilnya, seperti sedang mengalami kekalahan.
Seperti tidak mempedulikan itu, Sagami menepuk kedua tangannya.
“...Oh begitu ya. Ah, bagaimana kalau kaupanggil juga teman-temanmu untuk berpartisipasi?”
“Oh, ide bagus! Apa tidak masalah kalau kupanggil mereka sekarang?”
“Tentu, tentu.”
Setelah itu, Haruno-san langsung menelpon teman-temannya.
Yukinoshita, mencoba menghentikan Sagami. “Tunggu, Sagami-san.”
Tapi Sagami mengatakan sesuatu dengan ekspresi wajah yang letih.
“Ada masalah apa? Kita sendiri kan kekurangan sukarelawan. Ini juga menyelesaikan masalah hubungan denggan komunitas lokal, benar tidak?”
Sagami terlihat puas ketika mengatakannya, tapi apakah dia sadar? Kalau Yukinoshita Haruno adalah orang yang menyetirnya agar berjalan sesuai skenarionya.
“Lagipula, aku tidak tahu apa yang terjadi antara dirimu dan kakakmu itu, tapi kurasa ini dan itu adalah dua hal yang berbeda, benar tidak?”
“!...”
Melihat sekilas interaksi Yukinoshita dan Haruno-san saja sudah menjelaskan kalau hubungan mereka tidak akrab. Dengan menyebut itu, kata-kata Sagami membuat Yukinoshita terdiam.
Sagami tersenyum seperti memenangkan sesuatu, akhirnya dia bisa berdiri di atas Yukinoshita, untuk pertamakalinya.
“Jadi, pada akhirnya juga akan begini...”
Hayama menggumamkan itu. Aku melihat ke arah Hayama, aku menarik kesimpulan dari nadanya itu kalau dia tahu kalau sandiwara ini akan berujung kemana. Aku ingin mendapatkan penjelasan yang lebih lanjut darinya, tapi Hayama terlihat tidak ingin membahasnya lebih lanjut.
“Oke, aku akan mengambil beberapa dokumen dan kembali ke kelas.”
Setelah itu Hayama pergi meninggalkan ruangan.
Sekarang, satu-satunya abnormalitas di ruangan panitia ini adalah Yukinoshita Haruno.
Setelah Haruno-san menyelesaikan panggilan telponnya, dia mengambil formulir sambil mengobrol denggan Meguri-senpai, Sagami, dan yang lain.
Dia sebenarnya tidak terlihat seperti pengganggu, tapi sebagai orang yang menarik perhatian mata, para panitia seperti tertarik kepadanya. Tampilan dan sikapnya itu secara otomatis menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Hanya Yukinoshita yang tidak terlihat tertarik dengannya.
Sagami dan teman-temannya tampak antusias terhadap sesuatu. Karena heran, aku melihat ke arah mereka, dan Sagami terlihat mengobrol dengan teman-temannya, sementara Meguri-senpai menganggukkan kepalanya. Kemudian, Yukinoshita Haruno menatap ke arahku dan berdiri.
Haruno-san berjalan ke arahku dan duduk tepat di sampingku.
“Apa kau sedang pura-pura agar terlihat bekerja serius, anak muda?”
“...Ya, sepertinya begitu.”
“Aku agak terkejut loh, Hikigaya-kun. Kakak iparmu ini berpikir kalau kau ini bukanlah pria yang melakukan pekerjaan semacam ini.”
“Haa, aku juga berpikir hal yang sama.”
“Uh huuh...Dipaksa oleh Shizuka-chan ya?”
Haruno-san mengangguk, seperti memahami situasinya. Meski begitu, harusnya ada satu orang lagi dimana dia harus terkejut karena berada dalam kepanitiaan.
“Kalau ada hal yang diluar dugaan, bukankah itu juga berlaku ke adikmu juga?”
“Benarkah? Kupikir malah dia akan melakukannya.”
Aku memiringkan kepalaku seperti tidak paham maksudnya. Haruno-san lalu melihat ke arahku dan menambahkan.
“Maksudku, aku berani bertaruh kalau sulit baginya untuk terus tinggal di klub, juga tambahan lagi, aku, kakaknya, dulu adalah ketua panitia festival budaya. Itu saja sudah cukup untuk menjadikannya alasan melakukan itu.”
Nada suaranya seperti mengejek dan aku berusaha mencari maksudnya yang sebenarnya secara perlahan. Aku ragu kalau situasi di klub yang mendorongnya. Lagipula, bagi Yukinoshita, apa sih arti eksistensi Haruno-san baginya? Aku rasa aku mulai paham sedikit demi sedikit mengenai itu.
“Kalau begitu, panitia-panitia terdahulu berarti tidak begitu sukses mengadakan festivalnya ya?”
Haruno-san menambahkan, dia tertawa seperti menertawakan sesuatu yang mempesona.
Hubungan antar saudara perempuan tampaknya jauh lebih kompleks kalau melihatnya dari sudut pandang orang ketiga.
Ada kalanya dimana saudara saling dibandingkan satu sama lain. Biasanya, yang dibandingkan adalah pencapaian keduanya. Aku sendiri, punya adik perempuan. Apakah itu karena ada jarak diantara kami berdua ataukah membandingkan kesalahan-kesalahan kami selama ini, tapi merasa kalau kami ini dibanding-bandingkan kurasa tidak pernah terlintas sedikitpun.
Tapi, dalam kasus Yukinoshita bersaudara, mereka bisa dikatakan kembar.
Sang kakak yang super sempurna.
Dan yang bertalenta, tapi harus membuktikannya, adiknya yang sempurna.
Jika setidaknya ada salah satu dari mereka terlahir bodoh, maka akan lebih mudah untuk membedakannya. Meski, satu sama lain mungkin akan memilih jalan yang berbeda.
Yukinoshita masih terperangkap dalam perjuangannya melawan ilusi dari kakaknya yang terlihat bisa dia lampaui padahal tidak. Dia harusnya bisa membuat ini menjadi lebih mudah baginya jika dia melangkah di jalan yang berbeda dengan Haruno-san. Tapi harga diri dan keyakinannya tidak memperbolehkan itu untuk terjadi.
Kalau dia mengerti itu, melihatnya sendiri, mungkinkah Haruno-san melakukan sesuatu untuk itu? Seperti terlibat bersama dalam kegiatan adiknya?
“Umm...Apa yang sebenarnya kau rencanakan?”
Aku mencoba bertanya dengan jujur.
Yang membuat Haruno-san menakutkan adalah, di atas segalanya, tidak memahami apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin agak janggal mendengarnya dariku, tapi bagi orang sepertiku, yang selama ini hidup dengan mengamati orang-orang, bahkan aku sendiri kesulitan menyembunyikan diriku darinya.
“Apa kamu akan percaya denganku jika aku mengatakan sesuatu?”
“.....”
Aku tidak akan percaya. Aku sudah punya image yang fix mengenai Yukinoshita Haruno. Meskipun dia mengatakan alasan yang logis sekalipun, aku tidak akan mempercayainya begitu saja.
Tampaknya dia memahami maksud kesunyianku ini.
“Kurasa, itu bukanlah sesuatu untuk ditanyakan, hmm?”
Suaranya seperti membeku. Bahkan jika dia berusaha untuk menyembunyikannya atau membuatnya bahan becandaan, kurasa ini adalah ekspresi dingin yang asli dari Yukinoshita Haruno.
Setelah itu, Haruno-san terdiam.
Haruno-san punya image yang ceria, tapi ketika dia diam seperti itu, dia memang benar-benar mirip Yukinoshita.
Ketika dia terdiam, suara-suara sekitarnya mulai ramai.
Karena itulah, pembicaraan orang-orang di sekitarku terdengar di telingaku. Sagami dan teman-temannya seperti antusias akan sesuatu, tertawa lalu mengobrol sana-sini.
Menemani suasana itu, Sagami mengatakan sesuatu dengan keras.
“Semuanya, apa kalian ada waktu?”
Ruangan yang ramai ini terdiam untuk sejenak.
Sagami berdiri di depan papan tulis. Dia lalu pura-pura terbatuk seperti menyiapkan sesuatu dan mengatakan dengan agak gugup.
“Umm, aku ada sesuatu yang terpikirkan tadi, tapi...Mengenai bagaimana panitia festival harusnya juga menikmati ini dan semacam itu. Maksudku, kalau kita sendiri tidak menikmatinya, maka mustahil kita sendiri bisa membuat orang lain menikmatinya, atau semacam itu...”
Itu adalah sesuatu yang kudengar tadi...
“Dan untuk menikmati festival budaya sepenuhnya, kurasa kelas juga penting. Jadwal kita sudah berjalan dengan baik, jadi kita bisa menurunkan tempo kita sejenak. Bagaimana?”
Semua orang tampak terdiam dan memikirkan saran Sagami. Memang, perkembangan pekerjaan kita tidak buruk-buruk amat. Karena Yukinoshita yang terus menyelesaikan masalahnya, kita bisa berjalan sesuai jadwal.
Tapi Yukinoshita keberatan dengan saran tersebut.
“Sagami-san, kau salah. Kita harusnya menjaga tempo pekerjaan kita agar terus seperti ini, jadi menurunkan tempo...”
Sebuah suara yang enerjik memotongnya.
“Oooh, kau mengatakan hal-hal yang bagus. Dulu ketika aku menjabat ketua, semua orang juga memberikan yang terbaik bagi kelasnya masing-masing~”
Yukinoshita mengirimkan tatapan menyeramkan menanggapi kata-kata Haruno-san yang menceritakan masa-masanya menjadi ketua. Sagami seperti mendapatkan dukungan.
“Tahu tidak, dulu juga ada masalah disana-sini. Lagipula...Festival waktu itu juga sangat luar biasa, benar tidak?”
Seperti sedang ditanya, Yukinoshita tidak menjawabnya sama sekali. Menganggap itu sebagai konfirmasi, Sagami berkata lebih jauh.
“Kita harusnya juga meniru bagian baiknya, begitu looh? Belajar dari pendahulumu, atau begitu kata mereka? Kau harus memikirkan perasaan yang lainnya tanpa mencampuradukkan dengan perasaan pribadimu.”
Meguri-senpai melihat percakapan itu dengan ekspresi yang kompleks.
Di lain pihak, para panitia terlihat saling menatap satu sama lain dan menepuk kedua tangannya seperti yakin dengan saran Sagami. Tampaknya usulnya disetujui.
Setelah sepakat, Sagami menyatakan kegiatan panitia hari ini selesai.
Kalau semua orang mengikuti saran Sagami, maka Yukinoshita tidak akan bisa menghentikannya sendiri. Sagami tersenyum puas sementara Yukinoshita melanjutkan pekerjaannya dengan ekspresi yang dingin.
Bagi Sagami, apakah dia sendiri pernah berpikir kalau dia sendiri sudah melakukan pekerjaannya sebagai ketua panitia?
“Kau bisa katakan kalau ini adalah hal yang bagus~ Benar tidak, Hikigaya-kun?”.
Haruno-san yang duduk di sebelahku mengatakan itu kepadaku.
Apa dia punya rencana di pikirannya soal ini? Meski, ini mungkin bukanlah ide yang bagus untuk menduga-duga hal tersebut.
Orang ini memang sangat sulit untuk ditangani.
x x x
Perubahan langsung terasa sesudahnya.
Beberapa hari berlalu semenjak Yukinoshita Haruno muncul di ruang rapat, para panitia yang absen rapat mulai menjadi kebiasaan. Ini adalah hasil dari keputusan Sagami yang diumumkan pada rapat sebelumnya.
Begitulah, orang-orang terlambat 30 menit dan yang absen memberikan pemberitahuan. Sebenarnya, itu tidak memberikan efek apapun.
Sementara jumlah pekerjaan meningkat, tinggal menunggu waktu saja ini mencapai puncaknya.
Tapi dengan bertambahnya sukarelawan yang berpartisipasi, bertambahnya lokasi untuk iklan, dan kalkulasi ulang dana, pekerjaan terasa menjadi lebih berat dari biasanya, dan perbedaan pekerjaan tiap seksi secara signifikan mulai terasa.
Bagi divisi kesehatan dan asisten arsip yang pekerjaannya terkonsentrasi di hari-H, banyaknya member yang absen bukanlah masalah.
Tapi bagi managemen sukarelawan, humas, dan keuangan, mereka sangat kekurangan personel.
Untuk menambal lubang itu, disitulah peran eksekutifnya.
Mereka yang berusaha menutupi kekurangan personel tersebut adalah para pengurus OSIS dan Yukinoshita.
Campur tangan Yukinoshita merupakan aset berharga bagi penyelesaian pekerjaan, tapi jumlah pekerjaan yang terus datang terus menumpuk.
Tugasku sebagai asisten arsip juga meningkat. Aneh sekali...Aku cukup yakin kalau pekerjaan ini tidaklah banyak...
“Umm...Kau ada waktu?”
Pimpinan dari suatu seksi berbicara denganku.
“Kau ada waktu?” adalah alarm panggilan yang tiada henti ditujukan kepadaku. Alarmku saja seperti mau copot kalau menghitung banyaknya panggilan itu.
Tapi di saat-saat seperti inilah aku harus menyiapkan pendekatan yang tepat untuk menghindari pekerjaan tambahan yang datang kepadaku. Hasilnya, ada ‘empat strategi untuk mengurangi pekerjaan ketika ada yang menawarkannya kepadamu’.
“Um, bisakah kuserahkan pekerjaan ini padamu?”
[nomor 1]: “Cuekin saja sampai mereka mengatakan namamu.”
“Kau dengar tidak?”
Bahuku ditepuk. Sial, gagal kah?
“Ah, siapa, aku? Fuheh.”
“Aku ingin meminta tolong kepadamu, bisakah kau lakukan ini?”
[nomor 2]: “Kalau diminta tolong melakukan sesuatu, pasang ekspresi tidak menyenangkan.”
Tapi si pimpinan seksi tersebut tidak punya hati, dia membalasku dengan ekspresi menyeramkan.
“...Terima kasih ya.”
Karena pihak lain punya ekspresi yang lebih menyeramkan dariku, aku menjadi kalah dalam pertempuran itu. Kampret, ini juga gagal! Okelah, strategi selanjutnya.
“...Haaa....Haa~~a...”
[nomor 3]: “Mengeluhlah sambil mengembuskan napasmu sepanjang waktu”!
Dengan begini, aku akan terlihat sangat mengganggu sehingga mereka tidak mau memberikan pekerjaan lagi, bahkan mereka memberikan kartu asnya “Kalau kau tidak termotivasi, kau pulang saja ke rumah”.
Pada prakteknya, ketika aku kerja part time dulu, aku pernah disuruh pulang ke rumah karena itu. Aku punya rekor yang baik soal ini.
Tapi si pimpinan seksi tidak mempedulikannya. Kalaupun ada, dia hanya mengangkat frame kacamatanya dan berkata “Apa kau sudah selesai?”.
Kau tidak bisa mengharapkanku kerja secepat itu...Kalaupun aku serajin itu, aku tidak akan bekerja dengan atasan sepertimu...
Akhirnya aku gunakan jurus pamungkasku.
[nomor 4]: “Menggebrak-gebrak keyboardmu hingga mereka menginginkanmu pulang saja karena kau sangat mengganggu.”
Beberapa PC dipinjamkan ke kepanitiaan dari pengurus OSIS untuk sementara waktu. Dengan begitu, pekerjaan menulis menjadi lebih efisien, dan juga konspirasiku untuk membuat suara tidak menyenangkan dari itu.
Tap tap tap. Putaaaaap (menuliskan sesuatu).
Bagaimana? Kalau aku menunjukkan gairah untuk tidak mau bekerja seperti ini, kau pastinya tidak mau memberikanku pekerjaan lagi, benar tidak?
“Kerja bagus, aku akan pulang duluan. Kau pulang saja ketika sudah selesai. Kalau ada yang tidak paham, tanya ke pimpinan panitianya.”
“Mph, hssh.” (terjemahan: Ah, siap, kerja bagus juga untukmu.)
Fufu, tampaknya aku sudah sukses mencegahnya memberikan pekerjaan tambahan...Sekarang pekerjaanku berkurang!
Aku melihat tumpukan pekerjaan yang menumpuk di mejaku....
Dia ternyata memberikanku pekerjaan yang banyak!
Sial, aku hanya berakhir dengan memberinya kesan yang buruk, hanya bocah berandal dengan kelakuan yang buruk. Juga, ‘kau bisa pulang ketika selesai’ itu sebenarnya ‘kau sebaiknya tidak pulang kalau belum selesai’, benar tidak!? TIDAAAAK!
Menjadi budak perusahaan memang berat. Ini lebih dari imajinasiku.
Tampaknya, gelar ‘asisten’ disalahartikan dengan berbagai cara dan bermacam-macam pekerjaan mulai mendatangiku kali ini.
“Umm...Kau ini asisten arsip, benar tidak? Bisakah aku minta tolong kepadamu untuk mengerjakan ini?”
“Haaa, tapi ini...”
“Festival Budaya itu adalah festival dimana semua orang bekerjasama! Dan itulah yang kita lakukan! Kita harus saling membantu!”
Orang ini memaksa sekali.
Hei, membuat salinan poster bukanlah bagian dari pekerjaanku...Lagipula, kau mau bantu aku juga?
Tapi request dari kakak kelas bukanlah sesuatu yang bisa kutolak. Insting dari warga Jepang tulen masih ada di dalam diriku, tidak pernah sedikitpun aku mengutuk sistem senioritas dalam masyarakat Jepang di hidupku.
Juga ada orang-orang yang memanfaatkan statusnya sebagai senior dengan mengangkat gelas tehnya tinggi-tinggi.
“Tolong tehnya!”
“Haa...”
Apaan, apa gue yang harus ngisi tehmu...? Lihat ya, bisakah kau sekali saja berpikir kalau hanya karena orang itu ada di bawahmu, bukan berarti kau bisa mengatakan apapun yang kau suka? Jangan lupa, bawahan itu juga manusia, tahu tidak?
Hei, hei, kalau begini, lama-kelamaan aku akan menjadi budak perusahaan yang sempurna.
Sialan...Tahu begini aku pulang saja lebih dulu.
Ini adalah momen dimana orang-orang yang rajin menarik undian yang berisi ‘kurang beruntung’. Pekerjaan itu sekarang bertumpuk di depanku, dan ini bukanlah sesuatu yang bisa kau selesaikan dalam satu atau dua hari.
Secara spontan, aku mengembuskan napas beratku.
Ternyata, di saat yang bersamaan, sebuah embusan napas yang sangat dalam terdengar.
Ketika kulihat, Yukinoshita seperti menekan-nekan alisnya, dengan mata tertutup. Apa dia sedang sakit kepala?
Tampaknya penyebabnya ada di depan Yukinoshita.
Si pelaku, duduk, memutar penanya sambil mengobrol dengan Meguri-senpai, dia adalah Yukinoshita Haruno.
Haruno-san tampaknya sering datang ke sekolah untuk berlatih ataupun semacam itu sebagai sukarelawan yang terdiri dari OG dan OB dari mantan klubnya. Sementara itu, dia juga mampir di ruang panitia, duduk dengan nyaman dan santai.
“Hikigaya-kun, teh juga untukku doong~”
“Umm, seorang asisten arsip tugasnya tidak mencakup itu, kupikir...”
Aku mengakhir kalimatku dengan lemah, seperti kurang percaya diri. Kesedihan itu semakin parah ketika aku terjatuh ke lubang ‘budak perusahaan’ dengan menuangkan teh sambil mengatakan itu. Setelah gelasnya terisi teh dari teko, Yukinoshita menaruh bolpennya di meja.
Dia tampak berniat untuk melakukan sesuatu.
“Nee-san, kalau kau kesini cuma untuk mengganggu, lebih baik pulang saja.”
Semua orang menanggapi kata-katanya kecuali Haruno-san. Haruno-san tidak membeli kata-katanya itu, dia seperti seorang Joker yang memegang kartu As.
“Kau tidak perlu dingin begitu. Ayolah, kubantu deh.”
“Tidak perlu, kau pulang saja.”
Tapi, sambil meminum tehnya, Haruno-san tidak mempedulikan kata-kata Yukinoshita dan mengambil tumpukan pekerjaan di dekatnya.
“Biar kulihat, aku akan membantumu sebagai rasa terima kasih atas tehnya.”
“Ah, tunggu, jangan seenakny...”
Bergerak lebih cepat dari kata-kata Yukinoshita, Haruno-san memulai pekerjaannya, menekan-nekan kalkulator di tangan satunya. Setelah mengisi kertas-kertas tersebut dengan spidol merah yang menandakan selesai, dia menaruhnya.
“Neracanya tidak seimbang disini.”
“...Aku merencanakan untuk memeriksanya nanti.”
Yukinoshita merendahkan tatapan matanya dan juga menerima kata-kata itu.
“Haru-san, kau ternyata tidak berubah ya?”
Meguri-senpai melihat kedua Yukinoshita bersaudara dengan senyum, menebarkan suasana nyaman.
Karena efek nyaman darinya, akupun mulai merasa nyaman.
“Well, ini belum seberapa. Aku sudah terbiasa mengerjakannya. Kenapa tidak sekalian kita selesaikan yang lain?”
Haruno-san mengatakannya dan dia mengambil tumpukan dokumen di dekatnya lalu memprosesnya.
Kali ini, Yukinoshita tidak berusaha menghentikannya.
Hanya saja, dengan bibir tertutup, dia melanjutkan pekerjaannya lagi di kursinya.
x Chapter IV | END x
Jangankan Hachiman, saya sendiri merasa ketakutan membayangkan Oda atau Tahara bisa memakai make-up dengan handal...
...
Hachiman teringat dengan pembicaraannya bersama Hayama di kabin perkemahan, musim panas lalu, vol 4 chapter 7. Memangnya, ada relevansinya dengan situasi saat ini? Ada...
Yukino kali ini menjadi korban dua masalah kompleks yang saling crash. Pertama, antara dirinya dan Hachiman. Yukino sulit untuk berkomunikasi secara normal dengan Hachiman karena Yukino merasa Hachiman membencinya. Oleh karena itu, Yukino memilih lari dengan menjadi wakil Sagami, karena dengan menjadi wakilnya, maka Yukino tidak lagi satu seksi bidang dengan Hachiman di kepanitiaan. Ternyata, situasinya tidak bertambah baik, hanya bertambah buruk saja.
Dengan kata lain, situasi Yukino kali ini secara tidak langsung ada kaitannya dengan Hachiman. Dimana, situasi ini mirip dengan situasi Yukino dan Hayama waktu SD dulu. Siswi di kelasnya merasa Yukino saingan mereka untuk mendapatkan Hayama, oleh karena itu mereka membully-nya. Yukino kini terjebak di posisi wakil ketua, dan sekarang mulai dibenci oleh Sagami, secara tidak langsung karena Hachiman.
Lucunya, kedua pria baik Hachiman dan Hayama, menyukai Hachiman.
Ini merupakan adegan yang baik untuk menjawab pertanyaan Hayama di vol 4 chapter 7, "Apa yang akan Hachiman lakukan jika mereka satu sekolah...".
Pertanyaan tersebut baru terjawab di volume 6 chapter 6. Hachiman akan mengatakan kebenarannya secara langsung ke wajah Sagami, dimana Hayama sendiri memilih diam dan tidak melakukan apapun ketika terjadi kejadian yang mirip dengan itu sewaktu SD dengan Yukino.
...
Haruno merupakan gadis pertama yang memanggil Hachiman dengan nama depannya. Kedua, adalah Yukino di vol 10 chapter 1.
Juga, sedikit mencurigakan karena Haruno di vol 3 chapter 4 hanya tahu nama Hikigaya saja. Mengetahui nama lengkap Hachiman jelas membutuhkan usaha level stalker. Tapi ini bisa dipahami merupakan trade-mark Haruno, karena di vol 4 chapter 8 Haruno mencari tahu posisi Yukino melalui GPS.
...
Haruno bertanya kepada Hachiman apakah Hachiman akan percaya jika dia mengatakan alasan sebenarnya memprovokasi Sagami, tentu saja Hachiman hanya diam saja. Mudah saja, itu jawaban tidak.
Dasar adegan ini yang membuat memorandum ketiga vol 10, dimana kemungkinan besar itu monolog Haruno, dan dua Raja Tiran di cerita Run Melos! tersebut salah satunya adalah Hachiman. Raja Tiran yang tidak percaya siapapun, meski si Raja Tiran tersebut bertanya apa maksud Haruno...
...
Jawaban Haruno mengenai hubungan Hayama dengannya hanya dianggap sebagai adik kandung, sedang Hachiman sebagai adik iparnya, sebenarnya konsisten...
Karena di vol 8 chapter 5 Haruno kemudian mengulangi hal yang serupa, menyebut Hayama dianggap adik sendiri, sedang Hachiman dianggap adik ipar.
Tentunya, di vol 5 chapter 6 Haruno juga mengatakan kalau Hachiman itu adalah adik iparnya, dan ayah mereka yang anggota DPRD sebagai mertuanya.
Dalam percakapan ini
BalasHapus“Yukinoshita-san, aku yakin kau tidak tahu karena waktu itu kamu belum disini, tapi Haru-san waktu kelas tiga dulu tampil bersama bandnya sebagai sukarelawan. Dia waktu itu sangat luar biasa! Jadi kupikir aku bisa mengundangnya...”
Meguri-senpai melihat Yukinoshita dengan lembut, dan melanjutnya sambil bertanya, “Bagaimana?”.
“Aku juga tahu soal itu...Aku juga disana dan melihatnya. Tapi...”
Waktu haruno kls 3 yukino kan kls 3smp di luar negeri . apa ada petunjuk kalo yukinon pindah lagi di jepang kls 3smp yah min
Bantu bales deh, Yukino pernah bilang dia balik ke Jepang pas lagi kelas 3 SMP ga tau volume berapa, tapi ada di volume sebelum volume ini.
HapusMin, ada yang typo pembahasannya
BalasHapusLucunya, kedua pria baik Hachiman dan Hayama, menyukai Hachiman
Terpengaruh Ebina nih kayaknya mimin ;D
"Lucunya, kedua pria baik Hachiman dan Hayama, menyukai Hachiman."
BalasHapusGa tau maksudnya apa, ataukah ini typo atau tidak?
Mimin mulai ikutan gaib nih
Hapus