x Chapter VIII x
Pagi hari di
hari ketiga darmawisata.
Ini adalah
hari dimana setiap siswa diberi kebebasan untuk pergi kemanapun mereka suka.
Karena tidak diwajibkan harus bersama teman sekelas ataupun grup, kau bisa
menghabiskan waktumu dengan klubmu. Para pasangan juga bisa memakai hari ketiga
ini untuk berkencan juga. Ini juga berarti kau bisa pergi ke Osaka atau Nara
karena tidak ada aturan yang menyebutkan kau harus pergi di daerah sekitar
Kyoto. Selama tertulis bebas kemana saja dan bersama siapa saja, ini artinya
kemanapun oke. Dan ini juga berarti sendirian kemanapun juga oke.
Kegembiraan
semacam itu membuatku merasa bisa tidur dengan cepat dan lelap.
Seingatku,
Totsuka barusan mencoba membangunkanku untuk sarapan, tapi karena aku masih
linglung karena sehabis bangun, aku berkata “duluan saja, nanti aku susul”. Aku
juga bahkan mengingat kalau aku membalasnya dengan gaya yang keren.
Dan
hasilnya, Hayama, Tobe, dan Totsuka pergi duluan dan sarapan bersama. Aku
sendiri akhirnya memutuskan untuk segera bangun dan sarapan secepatnya sebelum
jam makan pagi lewat.
Tapi, aku
tidak bisa tidur terus untuk saat ini. Bukannya aku takut ketinggalan untuk
sarapan, tapi karena kita akan berganti penginapan malam ini. Dan itu berarti
aku harus mengemas barang-barangku disini ke dalam tas dan menaruhnya di lobi
secepatnya sehingga bisa dipindahkan oleh kurir.
Aku mengucapkan
selamat tinggal kepada futon yang selalu menemani diriku. Menyiapkan baju,
menyelesaikan urusanku di kamar mandi, lalu mengganti bajuku serta menyiapkan
tasku.
...Oke,
tampaknya selesai, sekarang tinggal sarapan, lalu kembali ke kamar dan siap pergi.
Ketika keluar ruangan, seseorang memanggilku.
“Pagi,
Hikki!”
“Yo.”
Otakku masih
dalam status ‘booting’ karena statusku masih setengah mengantuk. Jadi, aku lupa
bertanya mengapa dia ada di depan pintu kamar ini.
“Oke, ayo
pergi!”
Dia terlihat
sangat enerjik pagi ini.
“Ah, aku mau
makan dulu...kalau enggak salah ada di aula. Lantai dua kalau gak salah?”
“Tidak,
tidak, batalkan saja sarapannya.”
“Batal? Ada
apaan nih?”
Mendengar
kata-kata yang tidak familiar, aku akhirnya mencoba berpikir. Apa maksudmu
dengan membatalkan sarapan?
“Batalkan katamu?
Tahu tidak, sebuah hari penuh energi itu berasal dari sarapannya. Tidak sarapan
itu akan sangat buruk buatmu.”
“Serius
banget dengan hal-hal aneh...”
Yuigahama
tampaknya tidak mau memakai logikanya. Malahan, dia mendorongku dari belakang
untuk masuk kembali ke ruanganku.
“Yeah, yeah,
cepat ambil tasmu dan taruh di lobi sehingga kita bisa langsung pergi.”
“Tunggu, aku
bingung ini! Ada apa ini...?”
Mungkin ini
keuntungan dari bawa barang sedikit, jadi aku cepat ketika menyiapkan tasku.
Aku mulai malas untuk berdebat, jadi aku kembali saja ke ruanganku dan membawa
tasku keluar.
“Oke,
sekarang taruh itu di lobi dan ayo kita pergi!”
“Baiklah,
tapi sebelum itu aku mau makan...”
Aku bertanya
itu kepadanya tapi Yuigahama hanya menggumam dan bernyanyi ceria seperti
antusias untuk jalan-jalan di kota tanpa mempedulikan komplainku. Dia lalu
berjalan di depanku seperti tidak pernah terjadi apapun.
Oi...gimana sarapanku...?
x
x
x
Belakangan
ini, hotel terlihat semakin nyaman, terutama area dimana disitu banyak
turisnya. Mereka menawarkan pengiriman tas dan barang bawaan ke tempat yang
diinginkan para tamu. Service ini dimanfaatkan oleh peserta darmawisata. Kami
gunakan service itu untuk mengirimkan tas kami ke penginapan yang akan kami
gunakan malam ini.
Penginapan
yang akan kami gunakan nanti ada di Arashiyama, sebuah daerah yang terkenal di
Kyoto, terutama karena keindahannya.
Karena
sistem service yang nyaman ini, siswa darmawisata di hari ketiga benar-benar
merasakan sebuah arti dari kebebasan.
Harusnya
kutambahkan juga kalau kebebasan itu sudah merambah ke perutku; dan ini
gara-gara tidak sarapan.
Setelah
keluar dari hotel, kami memutuskan untuk jalan kaki.
Diriku dan
Yuigahama melihat sebuah kafe berwarna putih diantara deretan pertokoan disini.
Di sebelah kafe tersebut ada toko dengan corak Jepang Kuno. Dari papan tokonya,
tertulis kalau kafe dan toko tersebut berada di management yang sama.
“Ah,
sepertinya itu deh.”
“Apaan...?”
“Tempat
dimana kita akan sarapan.”
“Eh,
bukankah kita akan sarapan di aula hotel lantai dua?”
“Aku sudah
bilang ke guru kalau kita membatalkan sarapannya.”
Setelah
mengatakan itu, dia masuk ke kafe tersebut. Eh, kau diperbolehkan untuk
membatalkan? Maksudku, tentu, sekolah memang memberikan kita kebebasan untuk
melakukan apapun yang kita mau, tapi itu terlalu berlebihan!
Interior
kafe ini memiliki motif Jepang jaman dulu, juga memiliki sebuah kebun di
dalamnya. Kami harus melewati kebun tersebut untuk menuju tempat duduk
pelanggan yang berada di teras. Di teras tersebut, ada seorang gadis yang terlihat elegan sedang meminum kopinya, Yukinoshita.
“Oh, kau
telat sekali.”
“Tunggu
dulu, ada apa ini?”
Pikiranku tidak bisa diajak untuk berpikir
logis karena di kepalaku sejak tadi terbayang Yukinoshita yang meminum kopinya
di teras ini, dan pemandangan tersebut sangat cocok dengan dirinya.
“Ya, ‘morning’.”
“Eh, yeah
benar, ‘good morning’ juga.”
Yukinoshita
terlihat tenang dan memulai percakapan ini dengan sebuah pelajaran bahasa Inggris.
“Maksudku
bukan begitu. Maksudku, ini adalah ‘morning cafe’ dan punya ‘special morning
service’.”
“Ah,
kafe-kafe seperti itu juga lagi ramai di Nagoya.”
“...Well,
kalau kamu tahu itu, berarti tidak masalah.”
“Kupikir
Kyoto juga punya banyak kafe seperti itu?”
“Uh huh.
Kudengar tempat ini sangat terkenal juga.”
Yuigahama
memanggil pelayan kafe dan membuat pesanan.
Memang
betul, kafe semacam ini memang memiliki tampilan yang menarik, dan aku yakin
ini sangat populer di kalangan para gadis. Oh, ini mungkin maksud Yukinoshita
dengan melihat tempat-tempat rekomendasi yang disukai para gadis.
“Aku tadi
melihat Ebina-san jalan-jalan di kompleks pertokoan ini, kurasa mereka akan
mampir kesini sebentar lagi.”
“Ah, berarti
Tobecchi benar-benar mengikuti rute yang kita sarankan.”
Begitu ya. Setelah
mendengarkan percakapan ini, aku sadar sepenuhnya maksud semua ini. Tampaknya
ini yang dimaksud Yukinoshita kemarin dengan tempat-tempat yang bisa membuat
nyaman para gadis.
Jadi, dia
memberitahu Yuigahama soal rutenya, lalu dia memberitahukan itu ke Tobe. Setelah
itu, Tobe menawarkan Ebina untuk datang ke tempat menarik dan terkenal seperti
ini. Hmph, kurasa Tobe benar-benar sedang berjuang keras.
Ketika aku
memikirkan itu sambil duduk santai, tampaknya piring pesananku sudah sampai.
Menunya
terdiri dari daging sapi dan roti, telur dadar dengan salad, kopi, dan jus
jeruk. Meskipun ini menu sarapan yang standar, tapi cara mereka menyajikannya
memang menggugah selera makanku.
“Kalau
begitu, ayo kita berdoa dahulu sebelum makan.”
“Benar,
terima kasih atas makanannya.”
“Terima
kasih atas makanannya.”
Kami mengucapkannya
sambil menepuk kedua tangan kami. Tapi, memang cukup janggal jika kita berdoa
dengan gaya Jepang tapi menunya makanan barat.
Ketika kami
memakan sarapan kami, Yukinoshita menjelaskan rencana kita selanjutnya.
“Pertama,
kita akan kunjungi Fushimi Inari Taisha.”
“Koridor
Tori ya?”
“Oh, aku sering
melihatnya di TV.”
Ketika
Yuigahama menjawabnya, Yukinoshita mengangguk. Bukan hanya terkenal,
pemandangan koridornya juga sangat sempurna. Kurasa itu sangat terkenal di
kalangan para gadis.
[note:Koridor Tori di Inari sangat terkenal, ada
semacam jalur dimana ada gerbang merah tersusun di sepanjang jalan. Ada dewa
rubah yang terkenal, mitosnya menghuni kuil ini dan sebagai lambang dewa dari
pangan (beras).]
“Setelah itu
kuil Tofukuji. Kita bisa mampir kesana setelah pulang dari Fushimi Inari.”
“Aku baru
kali ini mendengarnya.”
Aku ini nol
besar dalam ilmu sejarah Jepang. Kurasa tempat itu tidak termasuk dalam cagar
budaya dunia. Yukinoshita secara perlahan menaruh cangkir kopinya dan berpikir
sambil menaruh jarinya di bibirnya.
“Well, itu
bukan hal yang mengejutkan. Memang banyak agen-agen perjalanan wisata tidak
menaruh rute itu dalam rute wisata mereka.”
Memang
benar, dalam darmawisata, kau biasanya mengunjungi tempat-tempat mainstream.
Kuil Kiyomizu merupakan pilihan umum untuk hari pertama, dan pilihan
selanjutnya dipilih berdasarkan tempat yang paling banyak memiliki sejarah kota
Kyoto.
“Memangnya
Tofukuji terkenal karena apa?”
[note: Agar pembaca tidak mati penasaran, Tofukuji
terkenal karena pemandangan musim gugurnya yang indah. Berbeda dengan Ninnaji
yang terkenal dengan kebun batunya, Tofukuji terkenal karena memiliki banyak
sekali kebun bunga yang indah.]
“Kau akan
tahu sendiri ketika sudah sampai.”
Yukinoshita
tersenyum. Kau pintar membuat orang
penasaran, ya?
“Setelah itu
kita ke Kitano Tenman-gu.”
...Kau ternyata masih ingat obrolan
basa-basi kita waktu itu?
[note: Kitano tenman-gu adalah kuil
yang disarankan Yukino ke Hachiman di lobi vol 7 chapter 6 ketika Hachiman
bertanya kuil untuk berdoa mengenai ujian Komachi.]
“Maaf, bisa
diulang?”
“Itu untuk
Komachi, benar begitu?”
“Apa, eh?
Bagaimana ini bisa berhubungan dengan Komachi?”
Yuigahama
bertanya sambil mengunyah rotinya.
“Dia ingin
berdoa agar Komachi sukses dalam ujiannya nanti.”
“Apa itu berarti kita akan
menemani tugasnya si ‘Siscon’...?”
Tolong sebut siscon itu ‘sister-consideration’...
x
x
x
Cuaca yang
cerah menemani kota Kyoto ketika kami tiba di Yotsu-Tsuji, kompleks dari kuil
Fushimi Inari. Kami tampaknya mendapatkan cuaca yang bersahabat dalam 3 hari
belakangan ini.
“Ooh, ini
luar biasa!”
Yuigahama
terlihat kagum dengan pemandangannya.
Di lain
pihak, Yukinoshita, yang duduk di bangku terdekat terlihat kelelahan.
Ini bisa
dimaklumi. Ketika melewati gerbang tori, jalurnya menanjak. Dan panjang
jalurnya sudah seperti mendaki sebuah gunung saja.
Tapi ini
hanya awalnya saja. Masih banyak gerbang tori yang menunggu kita. Tapi memang
lumrah melihat banyak orang yang mulai malas untuk terus melanjutkan
perjalanannya karena capek. Kebanyakan hanya sampai di spot sini dan mereka
sudah kembali lagi ke bawah.
Kita juga
punya rencana sesudah ini. Jadi karena itulah mungkin kita tidak akan pergi
lebih jauh ke puncaknya.
Jangan lupa
kalau disini ada seseorang yang tidak punya stamina tinggi untuk perjalanan
jauh.
“Kenapa kita
tidak istirahat saja dulu disini?”
“Benar...”
Aku lalu
duduk di bangku dan mengambil teh. Tubuhku yang terasa panas karena naik tangga
ini, merasakan nyaman yang luar biasa karena tertiup angin musim gugur.
Sementara
kami beristirahat, jumlah turis yang datang mulai ramai.
Setelah
menatap sebentar ke para turis yang lewat, Yukinoshita berkata.
“Bagaimana
kalau kita mulai turun ke bawah saja?”
“Kau
baik-baik saja?”
“Aku sudah
menormalkan napasku kembali, kurasa aku baik-baik saja.”
Setelah
mengatakannya, kami mulai menuruni tangga. Mendekati siang hari, turis mulai
terlihat menaiki tangga dan berlawanan arah dengan kami.
“Ramai
sekali disini...”
Yukinoshita
mengatakan itu dengan nada yang kurang nyaman. Tidak seperti ketika kita naik
tadi, saat ini situasinya sangat ramai dan sesak.
“Kupikir
tempat yang akan kita tuju selanjutnya juga tidak akan jauh-jauh dari ini
situasinya.”
“.....”
Dia tidak
mengatakan apapun tapi kalau dari ekspresinya, dia tampak tidak menyukai
situasi semacam ini.
Seperti yang
kuduga, Tofukuji juga sangat ramai dengan orang-orang.
Kuil
Tofukuji adalah salah satu spot di Tokyo yang ramai ketika musim gugur.
Meskipun
menjadi tempat yang terkenal, kuilnya sendiri berlokasi di pinggiran kota
Kyoto. Jadi butuh usaha ekstra agar bisa ke tempat ini.
Tidak hanya
pemandangannya ketika musim gugur, tempat ini juga populer karena punya
jembatan Tsutenkyo.
Jembatan itu
menyeberangi sungai kecil, dan pemandangan indah kuil Tofukuji tersaji dari
jembatan tersebut. Karena pemandangan yang menentramkan hati tersebut,
membuatmu berpikir kalau pemandangan seperti itu adalah pemandangan yang sangat
elegan.
Meski sudah
lewat dari puncak musim gugur, harusnya turis yang kesini sudah mulai
berkurang. Tapi, ternyata banyak sekali turis yang datang ke tempat ini,
terutama jembatan tersebut.
“Ah, itu
Tobecchi.”
Di dalam
keramaian tersebut, terdapat pula Tobe dan Ebina.
Mereka
sedang mengambil gambar dengan latar pemandangan musim gugur. Orang yang
mengambil gambar mereka adalah Hayama Hayato. Meskipun sangat ramai dengan
orang-orang, dirinya terlihat nyaman dipandang oleh mata. Malahan, aku sempat
berpikir kalau flashlight kamera yang dipegangnya berasal dari giginya yang
bercahaya.
“Hayama dan
yang lainnya ada disana...”
“Karena kita
tidak melihat mereka ketika sarapan tadi, kurasa mereka memutuskan untuk
jalan-jalan bersama.”
“Yeah,
memang kalau cuma Tobe dan Hina, mereka berdua akan terlihat aneh, jadi Hayato
dan yang lainnya ada disana akan terlihat lebih lumrah.”
“...Kalau
begitu, tidak akan terjadi sesuatu.”
Jika elemen
tidak tentu seperti diriku tiba-tiba bergabung dengan mereka ataupun Yuigahama
tiba-tiba datang dan mengatur ini-itu, mungkin bisa membuat skenario Tobe dan
Ebina terjadi, tapi...
“Tapi, kita
tidak bisa datang begitu saja ke mereka dan memisahkan mereka berdua, benar
tidak?”
Kata-kata
Yukinoshita memotongnya. Tepat seperti yang tuan putri barusan katakan.
“Tampaknya
begitu. Akan sangat buruk jika Ebina tidak nyaman dan menyadari usaha kita.”
Dirinya yang
lepas kontrol ke fujoshi mode bukanlah satu-satunya masalah. Kita juga tidak
mau Ebina mengkhawatirkan sikap kita yang berusaha memecah Tobe dan Hayama. Kita
ingin melakukan yang tidak ingin dia lihat di requestnya. Ini semacam melakukan
pertunjukan yang harus menghibur semua penonton.
“Ketika
seseorang berpikir kalau akan ada seseorang yang akan menembaknya, kau bisa
melihat itu dari suasana berisik dari orang-orang yang ada di sekitarmu. Yang
bisa kau dengar dari sekitarmu hanyalah orang-orang yang menjahilimu disertai
tawa yang cukup keras. Itulah yang dirasakan orang yang akan ditembak.”
“Pengalaman
pribadimu...?”
Eh, sekarang aku baru sadar. Meski dia
terlihat seperti ini, Yukinoshita Yukino adalah gadis cantik yang sangat
populer di kalangan pria.
“Perasaan semacam itu
sangat tidak menyenangkan.”
“Ooh.”
“Rasanya
seperti dipermalukan diam-diam di depan publik. Sangat mengganggu.”
Yukinoshita
melanjutkan kata-kata tersebut seakan-akan keluar dari lubuk hatinya yang
terdalam.
Aku sangat
yakin kalau Ebina juga mengalami hal seperti itu. Lagipula, dia adalah gadis
cantik berambut hitam dengan tubuh oke yang membuat semua pria menyukainya.
Kalau begitu, kurasa tidak begitu aneh jika dia sangat sensitif terhadap pria
yang lain.
“Tampaknya
rencana kita hari ini akan berakhir tanpa hasil...”
Hayama dan
yang lainnya tampaknya menyadari kehadiran kami dan dia melambaikan tangannya.
Yukinoshita
dan diriku cuek saja dengan sikapnya itu, tapi Yuigahama melambaikan tangannya
dan berkata “heeei!”
Mereka
berempat mendekati kita seperti menggunakan simbol lambaian tangan tadi semacam
sinyal untuk berkumpul.
“Hei.”
Sapaan
pendek Hayama tampaknya diarahkan ke Yukinoshita dan diriku. Tapi Yukinoshita
malah melirik ke arahku. Tunggu dulu, gue
ini bukan penerjemahmu, tahu tidak!
“Kebetulan sekali
melihatmu ada disini. Kalian rencananya mau kemana?”
Ketika aku
mengucapkan pertanyaan basa-basi tadi, Tobe berbicara menggantikan Hayama.
“Kami nih
berencana ke Arashiyama, bro.”
“Ah, gitu
ya. Kebetulan sekali, kami juga mau kesana setelah beristirahat sebentar disini.”
Yuigahama
lalu berbicara seperti itu agar pembicaraan tetap berjalan normal. Gadis ini...pura-pura bicara seolah-olah
tujuan kita dan mereka kebetulan saja, bukankah kamu sendiri yang membuat
rencananya? Kau tidak boleh lengah terhadap kekuatan para gadis semacam ini!
Dibandingkan dengan
suasana harmonis antara Hayama, Tobe, dan Yuigahama, tampaknya musim dingin
sudah datang lebih dulu di depan mereka.
“.....”
“.....”
Miura dan
Yukinoshita saling menatap dingin dan terdiam.
Aku ingin pulang saja...mereka sangat
menakutkanku...
Ketika aku memalingkan
pandangan mataku, aku bertemu pandang dengan seseorang.
“Hikitani.”
Suara yang
ringan dan nada yang menyenangkan. Meskipun kadang fals, tapi terdengar ceria.
Itu adalah Ebina. Tidak, lebih tepatnya kau bisa katakan kalau aku tahu itu
dirinya dari caranya memanggilku dengan suara seperti itu.
Jika itu
adalah Ebina Hina yang kukenal, aku harusnya tidak tahu suara itu adalah
suaranya, dan dia menatapku dengan pandangan matanya yang terlihat sedih.
Dia lalu
berjalan begitu saja setelah memanggil namaku.
Dia
tampaknya berjalan ke arah jembatan Tsutenkyo melewati kebun bunga. Dia masuk
begitu saja ke kerumunan turis tanpa melihat ke belakang dan menghilang begitu
saja.
Sepertinya,
dia memberitahuku untuk mengikutinya.
Kalau sudah
begini, yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti kemana dia pergi.
Kebun ini
memiliki pemandangan yang sangat indah dari ragam warna bunga musim gugur, dan
banyak sekali kerumunan turis yang sedang mengambil gambar pemandangan.
Bagi diriku
yang sudah terlatih untuk menghindari keramaian orang, level ramai yang seperti
ini bukanlah masalah. Tapi, punya skill ini bukan berarti aku tahu dimana Ebina
berada.
Ketika
keluar dari ujung keramaian ini, aku bisa melihat Ebina berdiri disana dan
melihat orang yang lalu-lalang. Dia menungguku dan senyumannya menghiasi
wajahnya.
Aku lalu
berdiri di sebelahnya dan mencoba bergabung dengannya untuk memperhatikan orang
yang sedang lalu-lalang ini.
“Kau tidak
lupa requestku, bukan?”
Dia lalu
membalikkan badannya dan melangkah maju sehingga dia tepat berada di depanku.
Itu adalah langkah kaki yang menutup jarak diantara kita.
Aku tidak
tahu harus bereaksi apa sehingga aku mundur selangkah. Ebina lalu berbicara
seperti tidak tidak nyaman dengan kesunyian yang terjadi diantara kita.
“Well well?
Bagaimana dengan hubungan para pria disana? Apakah kalian semua super akrab??”
Ah, begitu
ya. Ini adalah Ebina. Ebina Hina yang kutahu dan Ebina Hina yang semua orang
tahu.
“...Tentu,
kami sangat akrab. Kami bermain mahjong sampai larut malam dan hal-hal semacam
itu.”
Apa yang dia
ingin dengar tampaknya berbeda dengan yang kukatakan. Dan kemudian, Ebina
mengatakan itu di depanku dengan kesal.
“Tapi aku
tidak melihatnya, jadi bagaimana aku bisa menikmatinya!? Maksudku, seperti
kalian para pria bersama-sama di suatu tempat yang bisa kulihat!”
Jadi begini ya, aku tampaknya benar-benar
tahu apa yang ingin kau katakan sebenarnya.
Dan kamu datang ke Klub Relawan sebenarnya
menginginkan itu.
Meski aku sekarang tahu apa maksudmu yang
sebenarnya, aku masih tidak punya ide mengenai solusi masalahmu itu. Lebih
tepatnya, belum dapat idenya.
“Well, kami akan pergi
ke Arashiyama juga, mungkin nanti...”
Aku
mengatakan itu untuk menghindari kesan kalau aku sedang mengulur-ulur waktu. Setidaknya, aku masih punya beberapa jam
sebelum deadline requestnya.
“Aku sangat
mengandalkanmu.”
Kata-kata yang baru saja dia ucapkan mulai
berdengung di telingaku.
x
x
x
Grup Hayama
meninggalkan Tofukuji dan menuju ke Arashiyama, sementara kita memakai rute
yang berbeda. Ini terjadi karena kita berhenti di Kitano Tenman-gu dahulu
gara-gara ‘urusanku’.
Kami
menunjukkan rasa hormat kami kepada Kitano Tenman-gu, membeli jimat
keberuntangan dan menuliskan doa di papan kayu.
Aku tahu
kalau mereka akan menyebutku siscon jika melihatku menulis di papan kayu
tersebut dengan ekspresi aneh. Jadi, aku meminta mereka menunggu di kejauhan.
“Maaf sudah
membuat kalian menunggu.”
“Tidak
masalah.”
“Kalau
begitu, sekarang menuju Arashiyama?”
Arashiyama
adalah salah satu tempat terindah di Kyoto.
Tempat yang
menunjukkan keindahan empat musim di Jepang: Mekarnya Sakura di musim semi,
segarnya udara panas di musim panas, warna warni musim gugur, dan musim salju
yang menyelimuti pegunungan seperti selimut putih. Harusnya, disebutkan juga
pemandian air panasnya, tapi tanpa itupun Arashiyama sudah bisa disebut sebagai
titik pusat semua keindahan negeri ini.
Kami
menggunakan kereta Keifuku untuk menuju Arashiyama. Suasana gerbong yang
disetting seperti sebuah suasana antik membuat perasaan para turis menjadi
antusias.
Kami
berganti kereta di stasiun Katabiranotsuji dan naik kereta yang lain.
Ketika kami
turun di stasiun selanjutnya, sebuah pemandangan musim gugur yang menunjukkan
perubahan warna pegunungan menghiasi latar stasiun ini.
Oh, begitu ya. Jadi ini alasannya mengapa
orang dewasa sangat ingin datang kesini. Aku lalu menarik napas yang panjang
dan melepaskannya secara perlahan.
“.....”
Bahkan
Yukinoshita seperti kehabisan kata-kata melihatnya.
Kami lalu
berjalan menuju sekitar jembatan Togetsukyo. Setelah mengunjungi musem orgel,
kami menuju Sagano.
Selama
perjalanan, kami menjumpai becak yang ditarik sedang berlalu-lalang. Banyak
sekali pertokoan berdiri di samping jalan raya.
Jalanan
terlihat sangat menarik dan bersih, dan deretan pertokoan ini kebanyakan
menjual makanan cepat saji. Ketika kami berjalan di trotoar, aroma makanan yang
khas mulai menarik perhatian kami.
Sebenarnya,
bukan kami. Lebih tepatnya, Yuigahama.
Dia membeli
croquettes, ayam goreng, dan manju daging sapi. Auk dah, mungkin dia kelaparan karena sore ini belum makan. Anggap saja
ini sebagai ‘makan sore’.
Yukinoshita melihat ke
arah Yuigahama dengan wajah penuh rasa takut, dia tampaknya ingin mengatakan
sesuatu.
“Kau tidak
akan bisa makan apapun ketika makan malam nanti.”
Yukinoshita
mengingatkan dia seperti seorang Ibu, Yuigahama lalu terkejut mendengarnya.
Karena itu, Yuigahama menjulurkan makanan yang sudah digigitnya itu kepadaku.
“Eh...Kalau
begitu ini kuberikan ke Hikki saja.”
“Ogah ah....”
Apa-apaan gadis ini? Memberiku makanan yang
sudah digigitnya sedikit? Kalau separuh sih gak masalah.
Yuigahama lalu menatap
ke arah croquette dan manju di kedua tangannya dan melihat ke arah Yukinoshita
dengan ekspresi memelas.
“Umm, lalu
aku harus apakan ini, Yukinon?”
“Haa...sedikit
saja tidak apa-apa.”
Melihat Yukinoshita memakan makanan itu
adalah sesuatu yang tidak akan bisa kau lihat sebulan sekali sehingga aku
secara otomatis terus menatap dirinya. Perasaan ini setara rasanya dengan
berhasil menjinakkan seekor rubah yang tidak nyaman berada di sekitar manusia.
Ketika aku ketahuan kalau sedang
memperhatikan dirinya, Yukinoshita menatapku kembali dengan tatapan tajamnya.
“Kau juga bantu.”
“Ha, apa ada
yang bisa kumakan?”
“Ah, kalau
begitu yang ini.”
Yuigahama
membagi manju daging tersebut menjadi dua dan memberikannya kepadaku. Hmm,
kalau begini tidak masalah. Aku menerimanya tanpa mengeluh dan memasukkannya
begitu saja ke mulutku. Melihatku mengunyah makanan itu, Yuigahama seperti
bernapas dengan lega.
Setelah itu,
Yuigahama memotong croquettenya separuh dan memberikannya kepadaku lagi. Aku
seperti peliharaan yang sedang diberi makan disini. Kurasa, ini tidak begitu
buruk. Makanan yang didapat tanpa perlu bekerja adalah makanan yang paling
enak.
Kami
berjalan ke Arashiyama sambil makan di jalan.
Kalau
berjalan terus, lurus ke depan, maka akan menuju kuil Tenryuji.
Suara angin
yang bertiup terdengar dari sebelah kanan kami.
Ketika aku
melihat asal angin tersebut, ada sebuah kebun bambu yang tumbuh tinggi. Daun-daun
bambu di pepohonan tersebut membuat embusan angin tersebut menjadi bersuara
aneh.
Aku tidak
tahu bagaimana mereka membuat kebun semacam ini, tapi jalan ini tampaknya
berhiaskan bambu dan serasa berada di terowongan bambu. Kami lalu mencoba
berjalan ke tempat tersebut.
Cahaya
matahari seperti berusaha menembus pepohonan bambu ini. Dengan suara angin yang
natural, jalan setapak ini seperti memberikan suasana yang nyaman.
Kalau
berjalan terus ke depan, ini seperti berjalan ke hutan bambu dan membuat kita
terus masuk ke dalamnya. Karena aku tidak bisa melihat ujung dari jalan ini,
aku merasa seperti berada dalam sebuah labirin.
“Wow, ini
luar biasa...”
Yuigahama
menghentikan langkahnya dan melihat ke sekitarnya. Cahaya matahari seperti
berusaha menembus pepohonan ini, dan Yuigahama kemudian menutup matanya secara
perlahan.
“Memang. Hati-hati
dengan kakimu.”
Dia menunjuk
ke area di sekitar kaki Yuigahama.
“Lampion,
ya?”
“Ya. Ketika
malam tiba, jalan setapak ini menjadi bercahaya.”
Hutan bambu
yang gelap dan cahaya lampion. Karena kontras, malam di Arashiyama tampaknya
merupakan tempat yang sangat indah. Ini mengingatkanku dengan sebuah majalah
wisata yang biasanya kubaca.
Yuigahama
tampaknya merasakan hal yang sama dan dia melirik kesana-kemari seperti
menemukan sesuatu.
“Ini dia
tempatnya! Kupikir ini akan menjadi tempat yang bagus! Mungkin begitu!”
“Untuk apa?”
Aku tidak
tahu gadis ini ngomong apa. Tidak hanya dia tidak menyebut ini untuk apa, tapi
dia menambahkan ‘mungkin’ di akhir kalimatnya.
“Se-seperti,
tempat penembakan.”
Ngapain ngomongmu malu-malu dan pelan?
Yukinoshita
tersenyum merespon sikap Yuigahama yang lucu tersebut.
“Suasana
disini cukup bagus. Dari semua tempat yang kita lewati, mungkin ini tempat
terbaiknya.”
“Be-benar
kan!”
“Jadi, Tobe
akan menembak Ebina disini, ya?”
Matahari
sudah mulai tenggelam. Jika apa yang Yukinoshita katakan benar, maka jalan
setapak ini akan bermandikan cahaya dari lampion-lampion yang berjejer di
pinggir jalan.
Angin musim
gugur yang dingin ini mulai bertiup ke arahku.
x
x
x
Setelah
menyelesaikan makan malam terakhir di darmawisata, aku kembali ke ruanganku.
Tampaknya,
sebentar lagi adalah jadwal kelasku untuk memakai pemandiannya. Tapi, kita
tidak punya momen untuk kabur keluar penginapan untuk pergi ke hutan bambu tadi.
Jika kita memang ingin kesana, maka satu-satunya momen yang tepat untuk
melakukan itu adalah menyelinap keluar penginapan ketika waktu pemandian tiba.
Tobe
terlihat sangat galau di ruangan ini.
“Uaagh,
sial. Aku jadi sangat gugup ini. Sial!”
Yamato
menepuk punggung Tobe sambil mengatakan sesuatu dengan nada yang dalam.
“Kau akan
baik-baik saja.”
“Tobe bakal
punya pacar kah? Kita tidak akan bisa kumpul-kumpul seperti biasanya lagi nih.”
Ooka menatap
ke arah Tobe sambil mengatakan itu. Tobe lalu meresponnya.
“Itu enggak
benar. Ah sudahlah, ini bukan saatnya membahas begituan, siaaaal!”
Dia mulai
gugup kembali. Yamato lalu menepuk punggungnya untuk kedua kalinya.
“Santai aja
bos, kau akan baik-baik saja.”
Ini
sepertinya akan menjadi sebuah adegan ‘infinite loop’. Tampaknya mereka bertiga
memang berniat untuk membuatnya menjadi bahan becandaan.
“Aku juga
mulai merasa gugup loh.”
Totsuka
memang anak yang baik. Aku juga mulai merasa gugup seperti aku bisa menepuk
sebuah nyamuk tanpa melihatnya sedikitpun.
Hayama, yang
dari tadi hanya diam saja, berdiri.
“...Hei
Tobe.”
“Ada apa
Hayato? Hatiku ini sudah gak karuan sekarang, tahu tidak?”
“Enggak jadi
deh, lupakan saja...”
Percakapan
yang tidak tuntas itu mulai mencuri perhatiannya.
“Ada apa
bro?”
“Aku tadinya
mau bilang ‘beri yang terbaik’, tapi setelah lihat wajahmu yang seperti itu,
aku mulai mengurungkan niatku.”
“Bukankah
itu kejam!? Ah, tunggu dulu, aku sudah mulai enggak gugup nih!”
Hayama
berusaha menyembunyikan ekspresinya yang sedih itu dari Tobe dan meninggalkan
ruangan ini.
...Kau ada disini atau tidak, sikap Hayama
tidak berubah.
Ketika darmawisata, sejak awal, sikap Hayama
memang sudah mencurigakan. Hayama, yang sejak awal bermain di dua kaki,
mustahil dia tidak bisa melihat sikapnya yang berbeda dari biasanya. Tetapi
barusan, sikapnya jelas-jelas sangat janggal. Sangat janggal sehingga seseorang
sepertiku bisa menyadarinya.
Aku keluar dari ruangan
yang berisik ini dan mengikuti kemana Hayama pergi.
Ketika dia
berjalan di pinggir sungai, aku mulai memanggil namanya dari belakang. Membuatku memanggil namamu ini sudah bisa kau anggap
sebuah service dariku, jadi kau harusnya bangga!
“Kau berkali-kali
sangat tidak kooperatif dengan kami.”
“Masa
begitu?”
Hayama
menjawabku tanpa menoleh ke belakang. Dia tampaknya memang mengharapkanku untuk
mengikutinya dan karena dia menjawabku dengan diam tanpa membalikkan badannya,
aku mulai kesal dengan sikapnya ini.
“Benar.
Sikapmu itu seperti berniat untuk menggagalkan semua rencana kami.”
Yang kutahu,
Hayama Hayato yang kutahu adalah manusia yang tidak peduli tempat, waktu, akan
selalu memilih yang terbaik.
Oleh karena
itu aku bisa melihat kalau ada yang salah darinya ketika Hayama memilih untuk
tidak mendukung temannya sendiri.
“Aku
sebenarnya tidak bermaksud begitu kok.”
Hayama
membalikkan badannya ke arahku dan mengatakan itu sambil tertawa. Kau sangat buruk sekali dalam berbohong.
“Jujur saja, apa maumu dengan mensabotase kami?”
“...Aku
sudah bahagia dengan situasi kami sekarang. Aku benar-benar menyukai
waktu-waktu yang kami habiskan bersama Tobe, Hina, dan semuanya.”
Hayama
mengatakan itu dengan santainya dan tanpa malu-malu kalau dia sudah berbohong.
“Oleh karena
itu...”
Hayama lalu
terhenti.
Aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan
bahkan jika dia tidak berencana untuk menyelesaikan kalimatnya itu. Apa
yang ingin kukatakan sudah kusiapkan sejak tadi.
“...Kalau
hanya dengan masalah begini saja hubungan grupmu akan hancur, maka itu
membuktikan kalau hubungan di grupmu itu tidak benar-benar tulus.”
“Kau mungkin
benar. Tapi...Apa yang sudah hilang darimu tidak akan pernah bisa kaudapatkan
kembali.”
Dia
berbicara seperti sedang melihat masa lalunya. Aku bukanlah orang yang suka
melihat masa lalu orang lain. Apapun yang terjadi dengan Hayama di masa lalu,
itu bukan urusanku.
[note:Hachiman berbohong, ketika terjadi gosip
pacaran dengan Yukino di vol 10, Hachiman galau dan ingin tahu apa yang terjadi
dengan HayamaxYukino di masa lalu.]
Hayama
terlihat tidak ingin membahas itu lebih jauh. Lalu dia berusaha menutupinya
dengan suara tawanya.
“Bisa jadi
kita akan berpura-pura kalau tidak pernah terjadi sesuatu. Lagipula, grup kami ini
sangat bagus dalam hal itu.”
“Itu tidak
berarti kau akan kehilangan semuanya.”
Aku
membalasnya dengan cepat. Aku tidak menyadari kalau kata-kataku sendiri
mengandung pengalaman masa laluku.
[note: Merujuk vol 6 chapter 6, Hachiman kembali lagi bersama Yukino.]
Di dunia
ini, ada waktu dimana kau tidak bisa melupakan sesuatu yang kau sesali dengan
mudah.
Bahkan ada
frase “Kau tidak bisa menghapus begitu saja apa yang sudah kau lakukan”.
Hayama
menutup kedua matanya dan mulai berbicara.
“Seperti
katamu tadi. Aku yakin Hina mungkin akan memikirkan hal yang sama.”
“Jelas dia
akan begitu. Apapun yang terjadi, jelas ada yang aneh dengan grup kalian jika
kalian tetap ingin terus bersama meskipun kalian akan bersandiwara dalam grup
itu.”
Aku lalu
menendang kerikil di dekat kakiku untuk mengusir emosiku. Kerikil tersebut
terlempar ke kaki Hayama. Dia lalu mengambil kerikil tersebut dan menatapnya.
Dia seperti berusaha menghindari tatapanku.
“Entahlah...Aku
tidak berpikir kalau grupku seburuk itu. Bagiku, hubungan kami di grup adalah
segalanya.”
“Tidak, grup
kalian memang seperti itu. Coba kau pikir, bagaimana perasaan Tobe kalau tahu
soal ini? Dia dari kemarin terus berusaha dengan keras untuk mewujudkannya. Apa kau tidak
punya rasa kasihan sedikitpun kepadanya?”
Aku terus
menekannya dengan kata-kataku tadi dan dia tampak meremas kerikil tersebut.
“Aku sudah
membujuknya beberapa kali untuk menyerah. Itu karena kupikir Hina belum siap
untuk membuka dirinya kepada Tobe...Meski sudah kulakukan, ternyata kami tidak
bisa memprediksi apa yang terjadi di ujung jalan tersebut. Oleh karena itu,
setidaknya aku tidak menginginkan ini berakhir secepat ini. Itu saja.”
Hayama
menatap ke arah sungai dan melempar kerikilnya. Kerikil tersebut memantul
beberapa kali di permukaan sebelum akhirnya tenggelam.
“Hal-hal
yang tidak ingin hilang darimu adalah hal yang lebih penting daripada hal-hal
yang bisa kauperoleh.”
Hayama terus
menatap ke permukaan sungai tersebut seperti hendak mencari kemana kerikil yang
barusan dia lempar.
Akhirnya,
Hayama dan diriku mulai mendiskusikan hal-hal yang bisa hilang darimu.
Hayama ini
sadar betul kalau dia akan kehilangan hubungan itu. Entah itu hubungan teman
atau semacamnya, semua pasti akan berakhir. Jika itu adalah hal yang sangat
berarti, maka kau akan melakukan yang terbaik agar tidak kehilangan itu.
Tapi, itu
hanyalah sebuah kepalsuan.
“Kau ini
hanya alasan sana-sini dan isinya hanya omong kosong saja. Yang kulihat di
lapangan, yang kau lakukan selama ini hanyalah demi kepentinganmu saja.”
“Ya biarlah
seperti itu!”
Hayama
mengatakan itu dengan suara tajam yang menggema. Dia menatapku dengan penuh
emosi. Lalu aku menatapnya juga dengan serius.
Ketika
kubalas, dia tampaknya berusaha menyimpan rasa malunya tersebut dan menarik
napas yang dalam. Lalu dia berkata.
“Kalau
begitu, apa yang akan kaulakukan? Kalau kau menjadi aku, apa yang akan
kaulakukan?”
“Jangan coba
mengalihkan subjeknya kepadaku...”
Kalau itu
aku, maka...tentunya tidak. Memikirkan itu adalah sia-sia. Aku ini berbeda
dengan Hayama. Tentunya, Tobe juga berbeda darinya.
Melemparkan
bola masalahnya dengan bertanya apa yang akan kulakukan hanyalah usaha yang
sia-sia. Oleh karena itu, aku tidak ingin membahasnya.
“Jadi
intinya, kau tidak ingin ada yang berubah dari grupmu?”
“...Ya, itu
saja.”
Suaranya
bercampur dengan emosi dan ketidaksabaran, tidak seperti image Hayama selama
ini.
Kalau cuma
itu...
Perasaan
agar tidak ada satupun yang berubah.
Setidaknya,
aku paham itu.
Maksudku,
itulah yang kulakukan selama ini.
Sebuah
hubungan dimana kau tidak melangkah lebih jauh dari garis itu. Sebuah hubungan
dimana kau tidak akan memaafkan orang lain yang sudah melangkahi garismu.
Sebuah hubungan yang tidak memaafkan orang yang ikut campur urusanmu.
Di sinetron
dan manga, akan selalu ada happy ending yang menunggu kedua orang tersebut.
Tapi realita tidak sebaik itu. Bahkan lebih kejam dan menyedihkan.
Tidak ada
hal yang lebih penting. Kau akan kehilangan hal yang paling penting dan tidak
tergantikan dalam hatimu, ketika kau sadar kalau kau tidak akan mampu
memperolehnya lagi.
Dan akupun,
tidak bisa menyebut Hayama seorang pengecut, ataupun menertawakannya.
Kau bisa
menyebut kalau ketidakmampuannya untuk maju dari garis itu adalah keputusan
yang tepat. Kalau itu demi sebuah kebahagiaan, maka itu sudah benar.
Aku tidak
bisa menemukan satupun jawaban untuk menolak hal itu.
Aku tidak
bisa menemukan satupun hal yang salah.
Ketika aku
hanya diam berdiri saja disini tanpa menolak argumennya, lalu dia berkata.
“Kau benar
sekali...Ini semua hanya cerminan dari sikapku yang sedang menuruti egoku.”
Hayama
mengatakan itu sambil tertawa. Tawa yang penuh dengan perasaan kesepian.
Tawa itu
seperti membuatku berada di tempat yang berbeda.
“Jangan
membuat ekspresi yang menyedihkan itu, Hayama. Aku bukanlah orang yang dengan
mudahnya berubah pikiran hanya karena kata-kata dan sikap orang lain.”
Aku adalah
tipe pria yang melihat makna dibalik kata-kata tersebut. Pemilik dari sifat
tidak berguna itu adalah aku.
“Tapi aku
tidak percaya begitu saja ketika kau katakan kalau kau hanya menuruti egomu.”
“...Hikigaya.”
Ekspresi
Hayama terlihat sangat terkejut. Sebenarnya, tidak ada yang perlu terkejut
dengan hal semacam itu.
Aku juga
tahu kalau diluar sana ada orang yang menginginkan hal yang sama.
Dan dengan
kata lain, orang-orang yang sepertiku.
Orang itu
adalah seorang gadis yang sedang berusaha melindungi sesuatu yang berharga
baginya.
Hayama
Hayato tidak ingin seorangpun terluka. Karenanya, Hayama tidak bisa bertindak
karena dia tahu akan ada seseorang yang terluka.
Dan orang
yang terluka itu bisa menghancurkan sesuatu yang dia dan mereka miliki.
Lagipula, siapa
yang berhak untuk menghakimi orang-orang yang berjuang sampai mati untuk
melindungi apa yang mereka anggap berharga?
Kita semua hanya
hidup di dunia yang begitu sempit, dunia yang dipenuhi oleh para badut, dan dengan waktu yang sedikit.
Tidak perlu
kujelaskan kalau masa SMA kita juga tidak akan berlangsung selamanya.
Siapa yang
berhak mengkritisi keinginanmu agar memiliki kenangan berharga dengan waktu
yang sedikit itu?
Aku sangat
paham sekali bagaimana rasanya agar tidak ada orang yang terluka.
Apa yang
akan kulakukan sudah diputuskan.
Hayama
Hayato tidak punya satupun pilihan. Banyak sekali hal yang harus dia
pertahankan dan dia anggap berharga dalam hidupnya.
Hikigaya
Hachiman memang tidak bisa memilih. Mungkin lebih tepatnya, jalan yang tersedia
baginya hanya ada satu.
Ironisnya,
Hayama dan diriku sama karena “tidak punya pilihan”, selebihnya adalah hal yang
berbeda dariku.
Jujur saja,
aku tidak paham apa yang ingin Hayama pertahankan dan lindungi.
Mungkin ada
baiknya aku tidak tahu. Dan karena itulah hanya aku yang bisa melakukannya.
Ketika aku
mulai membalikkan badanku untuk meninggalkan tempat ini, Hayama memanggilku.
“Sejujurnya,
aku tidak ingin mengandalkanmu untuk masalah ini...”
Akupun begitu, dasar bajingan.
Cinta dan pertemanan
adalah hal yang diagung-agungkan oleh banyak orang. Tapi itu adalah hak yang
hanya bisa diperoleh oleh para pemenang.
Sedang isak
tangis para pecundangnya hanya didengar oleh kumpulan orang-orang tuli.
Kalau
begitu, kutampung saja para pecundang itu. Kuubah tangisan mereka menjadi suara
nyanyian yang sangat keras.
Nyanyian
balada dari para pecundang yang tersiksa dalam diamnya.
Ini adalah
tindakan yang suci dan hanya bisa dilakukan oleh para pemberani. Bahkan jika sang pemberani tersebut sudah
memiliki seseorang yang berarti di hatinya.
Kata-kata Yukino yang ingat dengan ujian Komachi, ini ada relevansi dengan monolog Hachiman di vol 7 chapter 6, dimana Hachiman juga bahagia jika ada orang lain yang perhatian ke Komachi.
Lucu, karena Hachiman awalnya mengira obrolan Yukino dengannya di lobi hotel, tentang Komachi adalah basa-basi. Sekarang, Hachiman tahu kalau itu tidaklah basa-basi karena Yukino ingat betul keinginan Hachiman tentang Komachi.
...
Dengan Miura tahu kalau request tersebut berasal dari Tobe, maka Miura dan Hayama juga bisa menebak kalau rencana Tobe untuk mampir ke kafe yang disarankan Yukino merupakan usaha Klub Relawan untuk membuat TobexEbina dekat. Mereka mensabotase lagi dengan mengalihkan rutenya.
...
Tebakan Hachiman soal kata-kata Yukino mengenai suasana orang yang akan menembak. "Pengalaman pribadimu...?"
Kalau kita menilik vol 3 chapter 4, Haruno mengatakan kalau itu pertamakalinya Yukino berkencan. Juga, vol 1 chapter 2, Hachiman menganggap Yukino kutu buku. Artinya, harusnya lebih logis jika Hachiman berpikir kalau Yukino mengutip komentar tersebut dari buku, bukan dengan mengatakan kalau itu pengalaman pribadi.
Lalu apa yang membuat Hachiman berpikir itu dari pengalaman pribadi?
Hachiman pernah menjadi pria yang hendak menembak gadis, yaitu Kaori.
Juga, Hachiman pernah menjadi pria yang hendak ditembak seorang gadis, yaitu Yui.
Merujuk vol 3 chapter 6, dimana Hachiman tahu kalau Yui mencintainya, mudah saja menebak kalau vol 5 chapter 6 dimana Hachiman dengan sengaja menggagalkan Yui yang hendak mengatakan sesuatu, karena Yui hendak menembaknya.
...
Kesimpulan Hachiman mengenai request Ebina, adegan dekat jembatan Togetsukyo.
Ebina ingin melihat Ooka, Yamato, Tobe, dan Hayama kembali akrab. Tapi Ebina ingin melihat hal tersebut di tempat yang jelas baginya. Disini, ini adalah hari terakhir darmawisata. Artinya, jika Ebina menginginkan Hachiman bertindak, maka Ebina ingin melihat hasilnya di kelas nanti. Sederhananya, yang ingin Ebina lihat di kelas nanti adalah grup Hayama, tetap berkumpul dengan grupnya, grup Miura, setelah darmawisata nanti.
Lalu kita lihat kata-kata penutup Ebina, aku mengandalkanmu. Jelas tidak relevan jika dikatakan request tersebut ke Klub Relawan. Harusnya, aku mengandalkan kalian. Sederhananya, ini adalah request pribadi Ebina, dimana Ebina berpikir hanya Hachiman yang bisa melakukannya. Ebina dan Hayama sudah berbicara empat mata di vol 7 chapter 1, artinya...Request ini hanya bisa dilakukan oleh Hachiman, Hayama tidak bisa.
Lalu kembali ke vol 7 chapter 2, Hachiman mengatakan resiko jika Tobe ditolak, yaitu hubungan pertemanan menjadi renggang. Lalu ke vol 7 chapter 7, Miura mengatakan orang luar yang sekali lihat sikap Klub Relawan dan Tobe, pasti tahu kalau hendak mendekati Ebina. Jelas, dalam pikiran Hachiman saat ini, Ebina tahu kalau Tobe akan menembaknya.
Jika Ebina hendak menerima Tobe, maka kekhawatiran hubungan grup renggang tidak akan terjadi. Tapi karena disini Ebina meminta bantuan Hachiman agar grup mereka tidak pecah, maka Ebina sejak awal sudah punya jawaban tentang Tobe, yaitu menolaknya.
Lalu, Ebina menganggap Hayama tidak bisa mengatasi requestnya. Jika kita telaah baik-baik, apa yang membedakan Hayama dan Hachiman? Yaitu Hayama adalah teman satu grup Ebina, sedang Hachiman orang luar grup. Jika Ebina menganggap dia butuh bantuan orang luar grup untuk menyelesaikannya, kenapa Ebina juga tidak meminta bantuan Yukino? Baik Hachiman dan Yukino adalah orang asing bagi Ebina.
Lalu apa beda Yukino dan Hachiman? Dari sudut pandang orang luar, dua-duanya sama saja. Penyendiri dan anti-sosial. Tapi ada satu perbedaan jelas, yaitu Yukino seorang gadis, dan Hachiman seorang pria. Artinya, Ebina meminta tolong ke Hachiman, dimana solusinya hanya bisa dilakukan oleh seorang pria yang berada di luar grupnya.
Kita lihat kesamaan misi dari Miura, Ebina, dan Hayama : Tobe mengurungkan niatnya untuk menembak Ebina.
Jika anda menjadi Tobe, anda akan mengurungkan niat anda menembak Ebina, dalam situasi apa? Pertama, jika Ebina sudah punya pacar. Tapi ini dieliminasi karena Tobe tahu Ebina single. Kedua, jika Ebina tidak mau berpacaran untuk saat ini, dengan siapapun juga. Memang ada opsi ketiga, yaitu punya orang lain yang disukai. Tapi opsi ini akan muncul di chapter terakhir. Untuk memudahkan, opsi ketiga bisa kita hapus terlebih dahulu.
Jika opsi kedua dianggap lebih masuk akal, lalu dari mana Tobe akan tahu kalau Ebina sedang tidak berniat untuk berpacaran? Jika tidak ada yang memberitahu Tobe, maka Tobe akan tahu dari mendengarnya secara langsung. Tentunya, di chapter ini Hayama memberitahu Hachiman kalau dia sudah membujuk Tobe, tapi gagal. Artinya, Tobe harus mendengar secara langsung dari Ebina kalau dia memang tidak ingin berpacaran.
Sederhananya, Ebina meminta Hachiman untuk menembaknya di depan Tobe, sehingga Tobe mendengarkan jawaban Ebina.
Disini sedikit tricky. Mengapa harus Hachiman? Bisa saja Ebina meminta tolong orang yang pernah bekerja dekat dengannya dan memiliki hobi otaku, misalnya Zaimokuza, mereka rekan kerja di Festival Olahraga. Atau misalnya Oda atau Tahara (entah siapa namanya) ketua kelas 2F. Itu mudah terjawab dengan quote populer LN ini, manusia hanya ingin melihat apa yang ingin mereka lihat. Ebina ingin melihat Hachiman menembaknya.
...
Pura-pura tidak terjadi sesuatu, lalu tidak benar-benar kehilangan semuanya.
Kata-kata Hachiman ketika konfrontasi dengan Hayama. Itu mengingatkan Hachiman dengan apa yang terjadi di volume 6. Hachiman dan Yukino pura-pura tidak tahu soal kecelakaan itu. Tapi, sikap Hachiman di vol 6 chapter 6 berhasil mengembalikan hubungan mereka kembali.
...
Monolog Hachiman, Hayama Hayato tidak bisa bertindak, karena akan ada orang yang terluka.
Itu terjawab di vol 10 chapter 7, Hayama tidak bisa menembak Ebina karena Hayama butuh kestabilan dalam hubungannya dengan Miura.
...
Bahkan Hayama sendiri mengakui kalau grupnya sendiri kumpulan orang yang pandai berpura-pura.
Harusnya, Hachiman disini menyadari kalau ini bertentangan dengan idealismenya di vol 1 chapter 1. Dalam chapter tersebut, Hachiman mengatakan tidak mau menjadi orang yang berpura-pura. Kalau Hachiman menjadi pelindung kumpulan orang yang suka pura-pura, bukankah itu sama saja dengan mengatakan Hachiman adalah raja pembohong?
Yang Hachiman tidak sadar disini, adalah ada seorang gadis yang bernama Yukino, mempercayai kata-kata Hachiman tentang idealismenya, dan menjadikan Hachiman sebagai contoh baginya dalam menghadapi masalah keluarganya. Tentu situasi ini akan menjadi rumit jika sang gadis tahu kalau idealisme Hachiman hanyalah basa-basi belaka.
kurasa pesan moral nya perubahan sikap agar tidak terlalu jd penyendiri,karna memang idealisme hachiman harus dipikir lbh jauh lagi,belum jd suatu pembenaran.
BalasHapusSampai bicara ke masa depan Yukino. Spoiler ya nggak enak sekali
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus"Itu terjawab di vol 10 chapter 7, Hayama tidak bisa menembak Ebina karena Hayama butuh kestabilan dalam hubungannya dengan Miura."
BalasHapusGa paham sama pembahasan yg ini, jadi Hayama suka sama Ebina? Dan bukannya Hayama sukanya sama Yukino? Ga tau ini typo adminnya atau gua yg kurang paham.
Supaya tobe nyerah nembak ebina maka mesti ada orang lain yg nembak dia. Nah disini admin mengumpamakan kalo hayama yang nembak. Tapi kan hayama nggak mungkin. Hayami dipaksa oleh lingkungannya untuk tidak melakukan apa2.
Hapusintinya hachiman itu pembohong dah itu aja
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus