x x x
Suasana sekolah dimana Festival Budaya akan belangsung kurang dari sebulan lagi, seperti sedang histeris saja.
Hari ini, ijin untuk tinggal di sekolah untuk persiapan Festival Budaya diberikan. Di kelas lain, terlihat orang yang membawa papan daftar berlalu-lalang, menyiapkan peralatan dan sementara orang-orang terlihat tidak sabaran, berlarian memegang snack dan minuman di tangannya, meneriakkan ‘snack!’.
Sama halnya dengan kelas 2F, mengerjakan persiapannya menuju Festival Budaya.
Hayama berdiri di depan kelas dan memanggil siswa yang lain untuk menaruh perhatiannya.
“Oke, mari kita pilih staff dan pemainnya...Untuk penulis naskah, kita serahkan ke Hina, dan yang lainnya...”
Dia lalu menuliskan jenis-jenis pekerjaan yang dianggap perlu di papan tulis.
Hasilnya:
Sutradara – Ebina Hina
Produser – Ebina Hina
Penulis naskah – Ebina Hina
Begitulah, jabatan teratas sudah terisi. Bukannya aku mau mengatakan kalau ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan itu...Entah itu eksekutif produser ataupun super produser...
Mengisi di bawahnya:
Asisten Produksi – Yuigahama Yui
Iklan – Miura Yumiko
Jabatan-jabatan penting kembali diisi. Dengan kurangnya karakter wanita di naskah, kurasa masuk akal kalau pekerjaan-pekerjaan itu diserahkan ke para gadis.
Tapi, masalah sebenarnya datang setelah itu.
Pemerannya, dan yang terpenting, harus laki-laki. Faktanya, semua peran di naskah memang laki-laki. Ini seperti “Sang Pangeran Kecil” ~ Thump! Para laki-laki dimana-mana~.
Awalnya, pemilihan pemeran dilakukan secara terbuka, memeriksa apakah ada yang bersedia mengambil peran dengan kemauan sendiri, tapi tidak ada yang meresponnya. Well, kurasa ini tidaklah mengejutkan karena mustahil ada seseorang mau memainkan itu secara sukarela.
“Uhh, semuanya, kalian jangan terlalu khawatir mengenai karakter yang tertulis di naskah kemarin, oke? Kita sudah sepakat kalau tidak persis seperti itu”.
Meski Hayama mencoba untuk menegaskan hal itu, dia tidak bisa menghapus image tentang drama tersebut, dan para laki-laki disini hanya bisa terdiam.
“Kalau begitu, kurasa kita harus melakukan ini...”
Seorang gadis mengatakannya, kebusukan terlihat jelas dari kacamatanya, dan dia berjalan menuju depan papan tulis.
Dan seseorang yang sedang dirasuki sesuatu dari neraka itu adalah Ebina Hina.
Seakan-akan tidak mempedulikan suasana di kelas, dia menulis beberapa nama di peran yang tertulis di papan tulis. Tampaknya dia memang memanfaatkan jabatannya sebagai pemimpin tim produksi.
“Tidaaak!”
“Kasih apa saja asal jangan Geographer!”
“Aku ambil Matterhorn saja!”
Setiap nama siswa yang dia tulis, si siswa seperti sedang merasakan ajal mendekat.
Setelah itu, tibalah di peran utama.
Sang Pangeran Kecil - Hayama
Hayama terdiam. Wajahnya seperti pucat. Para gadis, tampaknya terlihat antusias melihat hal itu. Well, ini adalah peran utama, jadi memanfaatkan orang yang bisa menarik pelanggan merupakan keputusan yang tepat.
Dengan begitu, peran utama tersisa satu karakter lagi...
Tampaknya nama yang ditulis oleh tangan Ebina merupakan nama yang sangat familiar bagiku.
Sang Narator - Hikigaya
“...Tidak, tidak akan terjadi.”
Aku secara spontan mengatakannya ketika melihat tulisan itu di papan.
Telinga tajam Ebina melihatku dengan ekspresi pura-pura bodoh.
“Eh!? Tapi penggemar Hayama x Hikitani itu banyak sekali loh!? Seperti, pasangan paling gay dari yang pernah ada!”
Apaan sih yang orang ini katakan...?
“Sang Pangeran Kecil mendominasi si pilot dengan kata-katanya yang hangat, dan aura semacam itulah yang laku!”
Tidak kalau dari apa yang kudengar. Kau bisa membuat marah orang Perancis loh.
“Tidak...Aku ini sudah jadi Panitia Festival, jadi...”
“Y-Yeah, benar juga. Hikitani-kun sudah menjadi perwakilan kelas kita untuk menjadi Panitia Festival. Karena kita harus latihan dan semacamnya, itu memang masuk akal.”
Kata-katamu bagus sekali, Hayama.
“Oh...Itu memang sangat disayangkan.”
“Benar, jadi, kenapa kita tidak pikirkan ulang semuanya lagi...? Misalnya pemeran Sang Pangeran Kecil.”
Jadi itu maksudmu, huh? Tapi sebelum Hayama menyelesaikannya, Ebina menulis ulang di papan.
Sang Pangeran Kecil - Totsuka
Sang Narator - Hayama
“Auranya mungkin tidak sekuat yang sebelumnya, tapi kurasa yang ini juga oke...”
“Jadi aku mau kemanapun tetap kau taruh di pemeran, huh...”
Hayama mengatakannya dengan lemas.
“Oh, menyindir ya, tapi ini bagus sekali~”
Ebina menunjukkan jempol jarinya sambil mengatakan “kerja bagus!”.
Bodoh amat dengan Hayama, tapi Totsuka memerankan Sang Pangeran Kecil memang pemeran yang pas. Dia bisa menggambarkan image “Sang Pangeran Kecil”. Hanya saja, dia saat ini terlihat kebingungan. Mungkin dia tidak menyangka kalau akan mendapatkan peran itu.
“Ini kayaknya berat sekali...Apa aku bisa ya?”
“Yeah, kupikir itu cocok denganmu.”
Ebina memang punya mata yang bagus karena memilihnya, meski kedua mataku juga berubah menjadi busuk dengan alasan yang sama...
“Begitu ya...Ada beberapa hal yang aku kurang paham, mungkin aku akan cari-cari info soal peranku nanti...”
“Kupikir kau akan baik-baik saja, tidak perlu segitunya. Malahan kau akan lebih mudah memahaminya jika kau baca naskah aslinya. Naskah yang Ebina tulis sebenarnya pemahaman yang salah soal cerita aslinya.”
Sejujurnya, banyak hal di dunia ini akan terasa lebih baik jika kau tidak tahu. Seperti, Totsuka akan mendapatkan pencerahan jika meneliti karakter itu, aku, juga, tidak mengelak kalau sesuatu dalam diriku juga terbangun, jadi dengan segala cara, aku ingin itu tidak terjadi.
“Apa kau pernah baca itu sebelumnya, Hachiman?”
“...Yeah.”
Ini sebenarnya bukanlah cerita yang kubenci. Kalau harus kukatakan, ini semacam cerita yang kusukai. Tapi ada bagian cerita dimana diriku sendiri merasa berat hati untuk menyukainya. Itu adalah sebuah kepingan dimana aku sendiri sangat sulit untuk menaruh tanganku disana.
[note: Vol 6 chapter 7, ada quote yang selalu menghantui Hachiman dari cerita Sang Pangeran Kecil, “Yang berharga tidak selalu terlihat oleh mata”.]
“Aku bisa meminjamkannya kepadamu kalau kau mau.”
“Benarkah? Terima kasih ya!”
Totsuka tersenyum seperti bunga yang mekar. Aku sangat bersyukur punya hobi membaca...Ini adalah pertama kalinya aku berpikir seperti itu semenjak aku lahir.
Totsuka lalu dipanggil oleh yang lain untuk rapat tentang peran di naskah itu.
“Oke, aku kesana dulu, Hachiman.”
“Baiklah”.
Setelah dia pergi, aku melihat ke sekelilingku di kelas ini.
Di ruangan ini, selain ada rapat pemeran, ada juga rapat orang-orang yang terlibat masalah kostum, ada juga diskusi tentang rencana mengiklankan ini, seperti merencanakan upacara pemakaman bagi para pemeran cerita ini.
Aku pergi meninggalkan kelas sambil melihat mereka dari samping. Suara langkah yang berisik terdengar mengejarku dari belakang. Aku tahu siapa itu meski aku tidak membalikkan badanku. Hanya ada dua orang yang bisa kau kenali dari langkahnya, yaitu Tara-chan dan Yuigahama.
“Hikki, kau akan ke klub?”
Dia memanggilku dari belakang.
Aku menghentikan langkahku dan menjawabnya.
“Yeah, ada waktu luang sebelum rapat Panitia. Aku juga ingin memberitahunya kalau aku tidak bisa menghadiri klub untuk sementara.”
“Begitu ya, masuk akal sih...Aku pergi juga.”
Yuigahama mengatakan itu dan berdiri di sebelahku.
Aku menatapnya dari samping. “Pekerjaanmu bagaimana?”
“Kurasa tidak masalah. Kupikir aku baru benar-benar sibuk ketika dramanya dimainkan nanti.”
Begitu ya, aku menjawabnya dengan singkat dan berjalan menuju ruangan klub.
Karena rapat panitia disepakati jam empat sore, aku memiliki waktu luang sebelum waktu itu tiba.
Bagi diriku yang tidak diberikan satupun pekerjaan, aku akan tampak seperti pengganggu jika aku tetap di kelas. Ditambah fakta kalau aku dilibatkan dalam Panitia Festival Budaya, aku hanya akan membantu sebisaku. Kalau terjadi sesuatu, dalam suatu event dimana aku harus memberikan pekerjaan ke orang lain, butuh usaha ekstra dan itu juga menjadi masalah yang lain. Oleh karena itu, kurasa lebih baik bagiku untuk tidak terlibat apapun sejak awal. Di dunia ini, ada banyak hal dimana tidak bekerja akan menjadi hal yang menguntungkan.
...Kalau mereka memaksaku menjadi Panitia Festival karena mereka mengantisipasi hal itu, yang bisa kukatakan hanyalah “itu masuk akal”. Kalau dipikir sebaliknya, maka orang-orang yang benar-benar memahamiku mungkin teman sekelasku.
Sebuah eksistensi yang tidak tersentuh. Kalau dipikir-pikir, barusan tadi lumayan keren.
Di SMA Sobu, klub hanya boleh menampilkan satu jenis aktivitas di Festival Budaya. Misalnya, klub orkestra menampilkan konser, atau Klub Teh akan menggelar upacara minum teh.
Orang-orang pada dasarnya berpartisipasi di festival untuk memperoleh rekomendasi. Selain itu, mereka hanya bertindak sebagai “sukarelawan”.
Suara bang bang yang terdengar sejak tadi sepertinya berasal dari latihan para sukarelawan band. Suara gitar yang terdengar keren, menghentak seperti disertai energi dari Pocasukajan. Bassnya seperti memunculkan suara pom poko pom poko seperti tanda adanya Tanuki War di depan kita.
Suasana semacam ini terasa ketika berada diantara gedung utama dan annex.
Lorong yang menuju gedung khusus adalah satu-satunya lokasi yang terasa sunyi disini.
Aku bisa merasakan kalau suhunya turun satu hingga dua derajat, mungkin karena lorong ini terasa teduh.
Pintu ruangan klub sudah tidak terkunci. Aku bisa merasakan sebuah sensasi dingin dari dalam seperti sebuah halusinasi yang merangkak keluar.
Ketika pintu dibuka, Yukinoshita ada disana, tidak berbeda dari biasanya.
“Yahallo!” Yuigahama memberikan salamnya.
Yukinoshita secara perlahan menegakkan kepalanya, melihat ke arah pintu, dan secara perlahan membuka mulutnya.
“...Hello.”
“Yo.”
Kami menyapa seperti biasa lalu duduk di tempat masing-masing.
“Jadi kau ada di panitia festival juga ya?”
“Eh? Benarkah?”
“Ya...”
Yukinoshita menjawabnya singkat tanpa memindahkan pandangannya dari buku yang dia pegang.
“Aku agak terkejut mendengar Yukinon melakukan sesuatu seperti itu.”
“Begitu ya...? Well, kurasa begitu...”
Dia bukanlah tipe orang yang mau berdiri di depan banyak orang. Yukinoshita yang kutahu bukanlah seseorang yang tidak punya keberanian tampil di publik, mungkin lebih tepatnya, dia adalah orang yang tidak suka berdiri di depan publik.
“Lagipula, kurasa lebih mengejutkan lagi melihatnya berada di panitia festival.”
“Ah, benar kan? Itu memang tidak cocok dengannya.”
“Hei...Aku ini jadi panitia karena dipaksa...Well, kalau itu artinya tidak ikut dalam drama musikal yang tadi, kurasa melakukan pekerjaan kasar di kepanitiaan tidaklah buruk-buruk amat. Indah pada waktunya.”
“Alasanmu memang mencerminkan dirimu.”
“Aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepadamu.”
Kata-kata barusan seperti mengandung nada yang menyindir.
Itu tidak diarahkan ke Yukinoshita. Itu kuarahkan ke diriku sendiri. Sekali lagi, aku sadar bagaimana diriku ini memaksakan image ke orang lain, membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri.
“.....”
“.....”
Yukinoshita tidak mempedulikan kata-kataku dan tatapannya tidak berpindah dari bukunya. Sebuah kesunyian yang bahkan membuat waktu serasa membeku.
Hanya jam di dinding saja yang terlihat memotong waktu tersebut dan suara dari detik jam tersebut seperti terdengar jelas di telingaku.
Yuigahama mengembuskan napas yang dalam dan melihat ke arah jam.
“Umm...Kau juga ada pertemuan panitia juga hari ini, benar tidak? Sebenarnya, aku juga harus hadir di rapat kelasku...”
Aku lalu menambahkan kata-kata yang kurasa dia akan mengatakan itu selanjutnya.
“Yeah, itu benar. Aku akan sibuk dengan kepanitiaan juga, jadi aku tidak bisa datang ke klub untuk sementara waktu.”
Atau sebaiknya, ‘Aku tidak mau datang’ akan lebih terdengar akurat.
Yukinoshita menutup kedua matanya seperti menyadari hal itu dan dia menutup bukunya. Setelah itu, untuk pertama kalinya hari ini, dia melihat ke arahku.
“...Momen yang tepat. Aku juga ingin membicarakan itu dengan kalian hari ini. Aku berpikir untuk membuat kegiatan klub vakum sampai Festival Budaya berakhir.”
“Kurasa masuk akal.”
“...Mmm, oke, itu cukup masuk akal. Lagian, ini kan Festival Budaya, kupikir itu keputusan terbaik.”
Yuigahama berusaha meyakinkan kata-katanya.
“Baiklah, kupikir kegiatan kita cukupkan untuk hari ini.”
“...Oke. Hikki, pastikan kau datang membantu di kelas ketika punya waktu luang di kepanitiaan.”
Aku berpikir sejenak. Tugas utamaku adalah di kepanitiaan, kalau aku harus membantu penampilan kelasku juga, ini pasti akan cekcok. Unlimited double works...
“...Hanya jika aku ada waktu saja...Baiklah, aku harus pergi.”
Aku meresponnya dengan kata-kata yang senada dengan ‘aku pasti tidak mau’ ke Yuigahama, dan akupun berdiri sambil memegangi tasku. Bahkan tas ringanku ini terasa berat di tanganku.
...Tidak, aku tidak ingin pergi.
Perasaan apa ini? Apakah sangat menyakitkannya pergi bekerja? Perutku serasa sakit luar dalam. Apa karena itu? Sekarang pikiranku sudah melebihi limit dari tubuhku, alam sadarku sedang mempengaruhi realitiku. Marble Phantasm yang sangat menakutkan.
Well, tahulah, ini sekarang sudah jadi pekerjaanku, jadi aku akan tetap melakukannya.
Tapi aku tiba-tiba mengembuskan napasku. Maksudku, aku memang tidak ingin bekerja.
Tepat ketika aku hendak memegangi gagang pintu, ada yang mengetuk pintunya. Ketika telingaku terfokus ke suara itu, aku mendengar suara orang tertawa di seberang.
“Silakan masuk”.
Yukinoshita menjawab itu dan pintu terbuka. Suara tawa yang terdengar seperti daun kering yang terinjak itu mulai terdengar lebih keras dari biasanya.
“Permisiiiiiiii.”
Orang yang masuk ke ruangan ini adalah seorang gadis yang kukenal.
Sagami Minami. Sekelas denganku, panitia festival sama sepertiku, dan dia adalah ketuanya.
Di belakangnya ada dua orang gadis. Keduanya terlihat seperti sedang tersenyum kecil.
Mata Sagami melihat ke arah kami.
“Oh, Yukinoshita-san dan Yui-chan.”
Whoaa hei, kurasa kau melupakan satu orang lagi disini? Tahu tidak, ituloh pria yang sekelas denganmu dan juga berada di panitia festival?
“Sagamin? Ada apa?”
Yuigahama melihatnya dengan ekspresi tanda tanya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Sagami berjalan sambil menoleh ke sekitarnya, seperti melihat ruangan ini.
“Oooh~ jadi Klub Relawan itu berisi Yukinoshita-san dan kalian berdua ya?”
Kedua matanya melihat ke seluruh ruangan, lalu melihat ke arahku dan Yuigahama.
Aku merasakan firasat yang buruk. Kedua matanya seperti penuh dengan kelicikan dari seekor ular. Memberikan rasa aneh dan tidak nyaman seperti pupilmu akan berkontraksi dan condong ke arah vertikal.
“Ada perlu apa kesini?”
Yukinoshita bertanya dengan nada yang terkesan kasar, meskipun di depannya adalah orang yang tidak dia kenal betul. Tapi entah mengapa, ini terkesan lebih dingin daripada biasanya.
“Ah...Maafkan aku, tiba-tiba muncul disini.”
Sagami menunjukkan tata kramanya sambil membetulkan sikap berdirinya.
“Aku kesini sebenarnya hendak berkonsultasi...”
Tanpa membalas tatapan Yukinoshita, Sagami melihat ke arah kedua temannya di samping, lalu dia melanjutkan.
“Seperti, aku sekarang ini menjabat ketua panitia, tapi aku sendiri sangat tidak percaya diri mengenai hal itu...Jadi, aku membutuhkan bantuanmu.”
Apakah ini yang dia diskusikan dengan Hiratsuka-sensei setelah pertemuan kemarin? Jadi begitu ya, sekali lagi, dia merekomendasikan orang yang terlihat punya masalah ke Klub Relawan.
Well, sebenarnya aku sudah menangkap apa maksudnya. Siapapun akan merasa terintimidasi dengan jabatan yang penuh tanggung jawab, terutama jika itu pengalaman pertama mereka. Dari apa yang kuketahui tentang Sagami di kelas, dia bukanlah tipe orang yang akan menerima pekerjaan seperti itu.
Tapi pertanyaannya, apakah Sagami ini adalah orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan?
Yukinoshita memindahkan pandangannya ke Sagami, terdiam sambil berpikir. Karena Yukinoshita dari tadi melihatnya, Sagami memalingkan wajahnya karena tidak nyaman.
“...Aku percaya kalau ini berseberangan dengan tujuanmu untuk tumbuh berkembang, atau tidak?”
Seperti kata Yukinoshita, Sagami adalah orang yang bersedia maju menjadi ketua, dia mengatakan menerima itu demi membuatnya berkembang, dan akhirnya, dia menjabat ketua panitia.
Sagami terkejut, tapi ekspresinya yang kompleks tersebut hilang, dan dia tersenyum lagi.
“Pastinya, tapi, seperti, aku tidak ingin mengganggu yang lain, dan gagal bukanlah hal yang baik, benar tidak? Dan lagipula, kupikir bekerjasama dengan yang lain adalah bagian dari perkembanganku juga, jadi itu adalah hal yang penting.”
Yukinoshita hanya duduk terdiam, mendengarkan kata-kata yang keluar itu tanpa adanya jeda.
“Dan juga, akupun bagian dari kelasku, jadi aku ingin membantu mereka juga. Aku merasa sangat bersalah jika aku mengatakan tidak bisa. Benar tidak?”
Sagami mengatakan itu, lalu dia menatap ke arah Yuigahama.
“...Yeah, kupikir begitu.”
Meskipun Yuigahama awalnya terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu, dia lalu setuju dengan Sagami.
“Oh, akupun begitu. Aku juga suka jika bekerja dengan orang lain...”
“Benar kaaan~ Seperti, aku ingin bisa mengenal baik orang-orang lewat event ini, jadi mari kita membuat ini sukses, benar sekali!”
Kedua gadis di sampingnya juga menganggukkan kepalanya sambil mengatakan “benar, kan?” kepada kata-kata Sagami.
Tapi, ekspresi Yuigahama terlihat suram ketika mengatakannya.
Kurasa aku bisa paham apa yang dirasakannya. Seperti yang dikatakannya, request Sagami yang sebenarnya adalah meminta Yukinoshita untuk membersihkan kekacauan yang akan dia buat.
Ini tidak jauh berbeda dengan Zaimokuza ketika dia berharap sebuah komunitas bernama ‘klub game’ agar dikutuk setelah dia mengamuk di internet.
Apa yang Sagami anggap penting bukanlah pengalaman yang dia peroleh dari menjabat ketua panitia, tapi jabatan itu sendiri. Kalau dia memang berniat agar bisa menjadi ketua yang baik, maka dia harusnya meminta bantuan dari ‘orang dalam’, bukan ‘orang luar’. Misalnya, Meguri-senpai yang berpengalaman dalam mengkoordinir kepanitiaan. Dia mungkin terlihat kurang bisa diandalkan, tapi dia bisa menyatukan pengurus OSIS dan member-membernya, mungkin karena sifatnya begitu, dan bahkan kompetensinya dalam berorganisasi. Meski, ada kemungkinan kalau tampilannya yang tidak bisa diandalkan itulah yang menjadikan alasan member-membernya bisa bersatu.
Tapi Sagami berbeda. Mungkin karena dia malu menunjukkan ketidakmampuannya, tidak, mungkin dia itu karena dia ingin pura-pura menunjukkan keberaniannya sehingga dia mau menerima bantuan dari luar; itulah yang kulihat.
Kurasa ini tidak berbeda jauh dari Zaimokuza beberapa waktu lalu.
Sayangnya, pekerjaan cuci piring semacam itu adalah sesuatu yang kita tolak. Ini adalah momen yang tepat bagi semua orang untuk melihat faktanya dan tidak terbawa suasana. Menunjukkan sisi berani dirimu biasanya tidak akan menghasilkan apapun.
Hanya ketika kau punya memori yang kelam, menyesalinya, dan menekankan kepada dirimu sendiri kalau kau tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi, itulah yang kau sebut berkembang.
Dengan itu di pikiranku, kurasa menolak request Sagami adalah keputusan yang bagus.
Bahkan, kita ini sedang membicarakan dirinya, maka kita harusnya tidak memberikan bantuan kita semudah itu. Akupun tidak berniat untuk punya pekerjaan tambahan saat ini.
Melihat Yukinoshita sejak tadi hanya diam, Sagami menatapnya sambil menundukkan wajahnya.
Seperti sadar kalau jawabannya sedang ditunggu, Yukinoshita secara perlahan membuka mulutnya seperti mengumpulkan pikiran-pikirannya dan mengkonfirmasinya.
“...Jadi kalau sesuatu terjadi, kau sendiri tidak masalah selama ada yang membantumu, benar?”
“Yep, benar, benar.”
Sagami mengangguk, sepertinya dia merasa kalau maksud kata-katanya tersampaikan dengan baik, tapi ekspresi Yukinoshita masih terlihat dingin.
“Begitu ya...Kurasa aku tidak keberatan. Aku sendiri ada di kepanitiaan, selama tidak jauh dari itu, aku bisa membantumu.”
“Benarkah!? Terima kasiiiih!”
Sagami menepuk kedua tangannya untuk menunjukkan rasa gembiranya dan mengambil tiga langkah lebih dekat ke Yukinoshita.
Situasi sebaliknya terlihat di Yuigahama. Dia melihat ke arah Yukinoshita dengan tatapan terkejut.
Jujur saja, akupun terkejut. Aku bahkan berpikir kalau request semacam ini adalah tipe request yang harusnya kita tolak.
“Oke, terima kasih bantuannya!”
Sagami mengatakannya, dia terlihat sangat antusias, lalu dia pergi meninggalkan ruangan bersama kedua temannya. Hanya kita bertiga yang tersisa di ruangan ini, dan suasananya tampak lebih suram dari sebelumnya.
Ketika aku mencoba pergi dari ruangan itu, sesuatu terjadi.
Yuigahama berdiri dan melihat ke arah Yukinoshita.
“...Bukankah kau bilang kegiatan klub vakum?”
Nada suaranya tampak lebih kuat dari biasanya. Menyadari hal itu, bahu Yukinoshita bergetar, meski wajahnya sejenak melihat ke atas, dia langsung memalingkan wajahnya.
“...Ini adalah sesuatu yang kukerjakan secara pribadi. Ini bukanlah sesuatu dimana kalian berdua harus mengkhawatirkan hal tersebut.”
[note: Watari sedikit tricky. Yang komplain disini adalah Yui, tapi Yukino menjawab ‘kalian berdua’ seakan-akan Yukino tahu kalau Hachiman juga komplain. ]
“Tapi biasanya kan...”
“Ini memang seperti biasanya...Ini tidak jauh berbeda.”
Seperti kehilangan tempat berpijak, kata-kata Yuigahama dipotong oleh Yukinoshita. Menyadari kalau keinginannya tidak akan tersampaikan, Yuigahama mengembuskan napasnya seperti menyerah saja.
“...Setidaknya kita lakukan bersama-sama.”
“Tidak apa-apa. Kalau ini masalah rapat panitia festival, maka aku sendiri sudah punya pemahaman soal itu. Jadi ini lebih efisien jika kulakukan sendiri.”
[note: Apa yang dikatakan Yukino ini persis seperti apa yang dikatakan Hachiman di vol 9 chapter 5 kepada Yukino di depan MarinPia.]
“’Efisien’...Mungkin, tapi meski begitu...”
Yuigahama menggumamkan kata-katanya.
Yukinoshita memindahkan tatapan dinginnya ke arah sampul buku di tangannya. Dia memberi tanda kalau dia tidak ingin membahas masalah ini lebih lanjut.
Bagi kami berdua yang pernah melihat kemampuan Yukinoshita Yukino, bahkan bisa kaubilang kalau kami ini mengenalnya dengan baik. Bahkan realitanya, dia mungkin bisa mengerjakan sesuatunya sendirian.
“...Tapi kupikir ini aneh.”
Kata Yuigahama, lalu dia membalikkan badannya. Tidak ada satupun suara yang memanggilnya dari belakang.
“...Aku akan kembali ke kelas.”
Yuigahama berjalan pergi. Aku sejak tadi berdiri dan pura-pura bodoh melihat mereka berdua, setelah kuanggap selesai, aku membetulkan posisi tasku, dan berjalan meninggalkan klub setelah Yuigahama.
Ketika kututup pintunya, aku melihat ke dalam sejenak.
Satu-satunya orang yang duduk di ruangan klub ini hanyalah Yukinoshita sendiri.
Sebuah pemandangan yang luar biasa indah, dan juga sangat melankolis, seperti sebuah gambar dari cahaya matahari yang menyinari reruntuhan dunia yang sudah hancur.
Suara sepatu yang menghentak lantai terdengar dengan jelas.
Sebaliknya, pemilik suara sepatu tersebut berteriak dengan keras.
“Ini seperti! Ini seperti! Ini seperti, yang benar saja!!”
“Hei, tunggu, tenanglah.”
Aku mengatakan itu dan Yuigahama yang berjalan di depanku menghentikan langkahnya.
Suara langkah kaki yang menghentak lantai terhenti dan dia membalikkan badannya dengan suara teriakan.
“Apa?”
Dia jelas-jelas kecewa dari caranya melampiaskan kekesalannya. Kupikir sangat jarang melihatnya seperti ini.
“Ada apa, kenapa tiba-tiba begini?”
“Entahlah! Hanya saja...Uuuurgh.”
Berhentilah menggerutu. Kamu ini anjing atau semacamnya?
Yuigahama lalu menghentak lantainya untuk melampiaskan frustasinya. Setelah melampiaskannya, dia mengatakan sesuatu secara perlahan.
“Ini seperti...Ini berbeda dari dia yang biasanya...Maksudku, Yukinon yang biasanya, dia tidak seperti itu.”
“Well, kurasa begitu...”
“Hikki juga.”
Yuigahama mengatakan itu dengan nada seperti sedang menusukku dengan pisau.
“.....”
Aku sendiri paham. Aku ini sedang berusaha terlihat sama seperti biasanya. Tapi ternyata tetap saja terlihat berbeda dan aku sendiri menyadari itu. ketika aku sadar, aku lalu berusaha memperbaiki diriku sendiri dan berakhir dengan membuatku terlihat bodoh. Aku ini seperti orang yang terperangkap dalam sebuah spiral.
Kurasa itu adalah sesuatu yang kau bisa pahami hanya dengan melihatnya, kah?
Seperti menyimpulkan kalau diriku yang terdiam ini sebagai konfirmasi kalau kata-katanya barusan memiliki kesan terhadapku, Yuigahama tidak meneruskannya lebih lanjut. Akupun sangat berterimakasih karenanya.
“Dan juga...”
Ketika menunggu kata-katanya, Yuigahama tampak ketakutan seperti ragu hendak mengatakannya.
“...Hei. Aku ingin menceritakan sesuatu yang tidak mengenakkan, apa kamu tidak masalah?”
“Huh?”
Aku meresponnya dengan hangat seperti kebingungan apa yang mau dia katakan.
Yuigahama menatap ke arah lantai dengan gusar dan bertanya sekali lagi.
“...Kau tidak akan membenciku, benar?”
“Aku tidak bisa menjanjikan itu kepadamu.”
“Eh, jadi bagaimana...”
Yuigahama terdiam seperti membeku di tempatnya.
Dia ini semacam ranking pertama idiot atau semacam itu, tapi dia tidak seperti orang yang hanya mau menunjukkan sisi manisnya saja. Tiba-tiba menunjukkan sisi gadis yang perhitungan bukanlah sesuatu yang bisa kutangani.
Kalau begini, pembicaraan ini tidak akan kemana-mana. Aku merasa kalau tidak ada satupun yang berubah jika dia mengatakan sesuatu. Aku menggaruk-garuk kepalaku untuk sekedar menghilangkan kesunyian ini.
“...Haaa, kurasa tidak masalah. Aku sudah membenci banyak sekali orang, jadi satu hal disini dan disana tidak akan membuatku membencimu dengan mudah.”
“Alasanmu itu sungguh menyedihkan...”
Dia menatapku dengan simpati yang serius.
“Sesukamulah, apapun tidak masalah. Jadi, pembicaraan tidak menyenangkan apa yang mau kaubicarakan?”
Aku memaksanya untuk meneruskan topiknya.
Yuigahama mengambil napas yang panjang dan membuka mulutnya.
“Benar...Umm, tahu tidak, aku ini kurang bagus dengan Sagamin.”
“Benarkah. Jadi, yang tidak menyenangkannya dimana?”
“I-Itulah yang kumaksud kurang menyenangkan...”
“Haa?”
Aku mengedip-ngedipkan mataku seperti Furby.
“Eh, apaan? Jadi yang tidak menyenangkannya dimana?”
“Umm, tahu tidak, seperti bagaimana kau tidak bisa bersama dengan orang lain, atau ada masalah diantara para gadis, kurasa hal-hal tersebut kurang bagus...”
Jadi sesuatu semacam itu, huh? Kurasa, begitulah. Tidak ada image positif yang muncul di pikiranku.
Aku tidak yakin apa yang dia pikirkan tentang diriku ketika dia terdiam dan berpikir, tapi Yuigahama menyatukan jari-jari tangannya di depan dadanya, dan membentuk semacam pola segitiga.
[note: pola segitiga dalam tangan di buku karangan Pierce menandakan frustasi.]
“...Aku tidak ingin menunjukkan kepadamu sisi menjijikkan dari diriku juga.”
Dia mengatakan itu sambil menatap ke salah satu sudut lorong.
“Jangan bodoh.”
Ini sangat idiot, aku mengatakannya dengan singkat. Tidak akan ada yang berubah dengan mengetahui hal itu, idiot.
“Ini bukannya aku juga punya hubungan yang baik dengannya.”
“Uh huh, kurasa itu sedikit berbeda. Bukannya aku tidak baik dengannya, tapi kupikir, aku sangat tidak menyukai Sagamin. Tapi kami masih berteman, jadi.”
“Be-benar...Jadi kau masih berpikir kalau kau masih berteman dengannya, huh...?”
“Uh huh, sebagian besar, kurasa begitu.”
Seperti biasanya, aku tidak paham apa arti pertemanan dalam sosial para gadis.
“Tapi kupikir dia tidak merasakan hal yang sama. Kurasa dia membenciku.”
“Yeah, mungkin saja. Melihatnya sekilas saja sudah tahu.”
Ini agak menyimpang dari benci, tapi bisa dikatakan sebagai sebuah antagonis dan keramahtamahan. Sepertinya Yuigahama ini hendak membahas topik itu lebih dalam lagi.
Yuigahama terlihat seperti tidak percaya.
“...Eh, ka-kamu melihatnya?”
“Stop, hanya becanda. Aku tidak melihat. Aku tidak melihat apapun. Itu hanya terlintas saja sekilas.”
“Well, bukannya aku mengatakan melihat itu hal yang buruk atau semacamnya...”
Yuigahama menjawabnya sambil memainkan ujung rambutnya.
Umm, maafkan aku, aku kadang melihat, seperti sering dan berniat. Maaf sudah bohong.
Ketika aku meminta maaf dan mengaku dengan diriku sendiri, Yuigahama terlihat seperti sedang melihat sesuatu di kejauhan.
“Waktu kelas satu dulu, aku sekelas dengan Sagamin.”
“Huh, jadi kalian berteman?”
“Well, bisa dikatakan begitu.”
Yuigahama mengatakan itu dengan ekspresi yang tidak biasa seperti berada diantara khawatir dan berpikir.
“...Jadi kau tidak berteman dengannya.”
“Hei, darimana kau menyimpulkan itu!?”
“Kalau begitu, kau berteman?”
“Uh huh, bisa dikatakan begitu.”
Lagi-lagi dia mengatakan itu dengan ekspresi aneh...
“Dengan kata lain, kau ini tidak berteman dengannya.”
Yuigahama seperti menyerah saja. “...Ya ampun terserah kamulah, bisa dikatakan cukup bagus.”
Cukup bagus atau tidak, itulah yang kumaksud. Makna kata-kata sebenarnya dari perkataan seorang gadis memang sebuah misteri.
“Waktu itu, Sagamin dan diriku berada di sebuah grup yang populer. Dan seperti, Sagamin sangat bangga soal itu.”
Sagami dan Yuigahama. Well, mungkin di grupnya ada gadis lain selain mereka berdua, tapi membayangkan keduanya sebagai orang populer di kelas bukanlah sesuatu yang sulit.
Yuigahama punya tampilan itu, selain itu, dia adalah gadis yang membaur dengan semua orang, sangat ahli dalam membaurkan diri ke orang lain. Oleh karena itulah dia bisa menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan.
Di lain pihak, kurasa Sagami adalah seseorang yang, tergantung kombinasi grupnya, adalah orang yang berniat untuk mencapai posisi itu. Bahkan di panitia festival, dia mencari teman, orang-orang yang mau bersamanya, lalu membuat sebuah grup. Dia punya inter-personal skill dan kemampuan memaksimalkan tampilannya sangat bagus.
Tapi menginjak kelas dua SMA, posisi mereka berubah. Jadi mengapa ada jarak diantara Yuigahama dan Sagami? Membayangkan, lingkungan mereka...
Faktor terbesar sepertinya ada di Miura.
Ketika dia menjadi bagian kelas 2F, dia sudah dianggap kasta teratas. Lalu dalam proses seleksi member grupnya, Miura menggunakan kriteria kejam dari ‘manis’ untuk memilih siapa yang dia pikir bisa diajak berteman dengannya.
...Dia memang sesuatu. Dia seperti menghapus begitu saja hubungan pertemanan diantara para gadis dan memutuskan siapa yang mau dia ajak ke grupnya. Entah ini baik atau buruk, dia memang benar-benar seorang Ratu.
Dan kemudian, ada sebuah ketidakcocokan antara Miura dan Sagami. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, tapi posisinya yang berada di grup kedua terpopuler membuat situasinya jauh lebih mudah untuk dipahami.
Fakta itu jelas-jelas mempermalukan Sagami yang mementingkan kedudukan sebuah grup. Bahkan kejadian dirinya sudah tergantikan dari kasta teratas bukanlah sesuatu yang sulit dipahami jika dia tidak mengatakannya, faktanya Yuigahama, yang ada di posisi yang sama, malah berada di kasta teratas, ini jelas-jelas sesuatu yang tidak bisa dia terima.
Secara otomatis, aku mulai memahami tindakan-tindakan dari Sagami.
“Oleh karena itu, aku tidak benar-benar suka dengan apa yang Sagamin lakukan...Juga, bagaimana Yukinon mendengarkan requestnya, dan bagaimana Sagamin berusaha membuatnya dekat dengannya...”
Yuigahama mengatakan itu sambil memiringkan kepalanya. Setelah terlihat yakin akan sesuatu, dia mengangguk.
“...Sebenarnya, kupikir aku juga menyukai Yukinon lebih dari yang kusadari.”
“Apa-apaan yang barusan kaukatakan?”
Yuru Yuri mungkin sudah lewat masa tayangnya, tapi yuri yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang bisa kutangani, tahu tidak.
“Tidak, tidak, aku tidak bermaksud seperti itu...! Kupikir aku tidak menyukai ketika ada gadis lain berusaha dekat dengan Yukinon...Aku terlihat seperti seorang bocah ya?”
Yuigahama terlihat malu-malu dan menggaruk-garuk sanggul rambutnya.
Ini pasti sebuah keinginan menyedihkan untuk memonopoli. Ego semacam ini tidaklah aneh, bahkan sering terjadi di komunitas sosial para gadis semasa kecil. Adikku, Komachi, juga pernah mengalami hal itu. Sifat asli manusia itu bukanlah sesuatu yang bisa terlihat berbeda secara signifikan. Tergantung bagaimana mereka dilatih, ini semudah mengendalikan emosi-emosi semacam itu. Dan ini akan berakhir seperti mereka berlayar di atas wajah kita.
“Para gadis memang menyakitkan, begitulah. Terlalu banyak yang harus dihadapi.”
Kepedulian yang dia tampilkan tersebut membuatnya terlihat frustasi, aku tidak bisa menahan tawaku.
“Hei, hei, para pria juga sama. Kami kadang kompak ketika bersama. Para gadis bukanlah satu-satunya yang spesial disini.”
“Benarkah?”
“Kurang lebih begitu.”
“Begituya...Orang-orang memang menyakitkan, huh?”
Yuigahama tertawa “Tahaha”.
Benar sekali. Mereka benar-benar menyakitkan.
Dan karena aku merasa tidak nyaman selama ini sendirian. Berjuang keras agar tetap eksis, tentunya bukanlah sesuatu yang tulus.
“Janji ya...”
Yuigahama mengatakan itu dan akupun tidak tahu mengatakan apa ketika mendengar kata-kata anehnya. Aku lalu memiringkan kepalaku.
“Kalau kau akan membantu Yukinon kapanpun dia dalam masalah.”
Ngomong-ngomong, ketika perjalanan pulang dari Festival Kembang Api, kami memang pernah membicarakan sesuatu sejenis dengan itu.
[note: Vol 5 chapter 6.]
Mirip dengan waktu itu, kepeduliannya itu seperti memaksa diriku. Oleh karena itu aku menjawab, sesuai dengan kemampuan terbesarku, sejujurnya, dan secara otentik.
“Hanya jika aku bisa melakukannya.”
“Oke, kurasa itu cukup melegakan.”
Yuigahama mengatakan itu dan tersenyum.
Kau menyudutkanku dengan menaruh kepercayaan tak bersyaratmu itu kepadaku.
Tampaknya kata-katanya memang punya efek persuasif yang kuat. Jika dia menambahkan alasan ini dan itu, maka mungkin aku akan mulai hitung-hitungan tentang kontradiksi di belakang kata-katanya, tapi dengan menyelesaikan itu menggunakan senyuman, aku tidak bisa melihatnya lebih jauh.
“Oke kalau begitu, aku akan kembali ke kelas. Lakukan yang terbaik di kepanitiaan.”
Yuigahama melambaikan tangannya dan berlari meninggalkanku.
Aku mengangkat tanganku untuk meresponnya dan mulai berjalan.
Setelah berpisah dengan Yuigahama, aku berjalan menyusuri lorong yang menuju ruang rapat. Berlokasi di ujung tikungan berbentuk L dan tinggal belok kiri. Sebelum itu, ada tangga yang menuju lantai tiga dimana ruang kelas dua berada.
Di depan tangga itu, ada seseorang yang menghalangi jalanku.
Memakai mantel meski cuacanya bisa menyebabkan gerah dan sarung tangan menyelimuti tangannya yang menyilang menampilkan tampilan yang familiar, aku cuek saja dengannya dan berjalan melewatinya.
Orang itu lalu mengambil HP-nya dan memanggil seseorang.
Seketika, HP-ku bergetar.
Fakta bahwa dia sampai segitunya memanggil HP-ku meski sudah tahu sifat masing-masing membuatku jengkel. Bahkan, orang itu melakukan aksi yang membuat kejengkelanku bertambah.
“Fuumu, tampaknya tidak diangkat. Aku tidak mengira kalau dia akan sibuk...? Ha, ha, ha kalau kita membicarakan Hachiman, maka itu mustahil terjadi. Apa kau setuju, Hachiman?”
“Aku tidak ingin mendengar itu darimu...”
Sikapnya itu bukanlah hal dimana aku bisa diam saja. Kalau orang lain, aku bisa saja cuek dengan menertawai mereka, tapi harga diriku yang murah ini tidak akan membiarkan pria ini, Zaimokuza Yoshiteru, mengatakan apapun yang dia sukai.
“Jadi, apa yang kau lakukan disini? Naik-turun tangga untuk diet?”
“Hmm, sungguh nostalgia sekalii. Aku seperitnya pernah mendengar itu sebelumnya. Tapi dulu, lututku ini seperti gemetaran. Terlebih lagi...luka lamaku terbuka lagi. Memang, itulah yang terjadi.”
Se-serius lu...Kupikir kau harus memperhatikan kesehatanmu dengan serius.
Tidak mempedulikan kekhawatiranku, Zaimokuza memberiku tumpukan kertas yang dia ambil entah darimana.
“Ngomong-ngomong Hachiman, tolong lihat ini. Berikan pendapatmu soal ini?”
“Apaan? Aku tidak mau membahas soal Light Novelmu saat ini.”
Kalau ini hari-hari biasanya, aku bisa bersikap lebih sopan, tapi kali ini aku tidak punya waktu. Rapat akan segera dimulai dan aku tidak punya banyak waktu dan ketertarikan untuk meladeninya.
“Nay! Ini bukan soal Light Novel!”
Penolakannya tadi seperti membuatku sedikit tertarik. Kalau ini bukan soal light novel, lalu apa? Aku mencoba melihat ke kertas yang dia berikan kepadaku.
Zaimokuza menggerutu dan berpose.
“Dengar dan terkejutlah! Fokuskan pandanganmu! Lalu kemudian...matilah dan meminta maaf...Apa kau tahu apa yang akan kelasku tampilkan nanti?”
“Tidak, aku tidak tahu...Lagian, kenapa aku harus mati dan minta maaf. Hei, tunggu, tunggu, stop, kau lebih baik diam saja...”
“Kau tahu apa yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah penampilan? Itu adalah, naskah...”
“Tidak, hentikan itu, jangan memutuskannya sepihak.”
Aku mengatakan itu, tapi Zaimokuza tidak mendengarkanku sama sekali. Dia melemparkan kepalannya ke arah surga, seperti menyanyikan lagu pengantar tidur dengan keras, terus berceloteh tentang dirinya. Sejujurnya, dia memang mengganggu.
“Jangan mengatakan itu. Orang-orang bodoh itu membual tentang bagaimana menampilan penampilan yang normal, tahu tidak? Mereka menyarankan untuk menggunakan naskah karya sendiri.”
“Hei, tolong, hentikan.”
Aku tahu apa yang ingin kukatakan. Aku tahu persis kemana pembicaraan ini berujung. Itu karena aku sendiri pernah mengalaminya ketika SMP.
Hanya semasa SD saja naskah buatan sendiri, dimana hanya untuk lucu-lucuan diperbolehkan.
Tidak, sebenarnya, di SD-lah satu-satunya kesempatan itu dimungkinkan untuk ada. Waktu pertunjukan seni dan pesta perpisahan, menulis naskah untuk pertunjukan komedi diperbolehkan. Sial, bahkan sangat direkomendasikan. Tapi ketika kau sudah masuk SMP, kau mulai memikirkan dengan baik isi pertunjukanmu.
“Phew.”
Akupun tertawa.
“Nu? Ada apa, Hachiman?” tanya Zaimokuza.
Aku melihat ke arah langit dari jendela.
“Nah...Aku cuma berpikir bagaimana cepatnya orang-orang menjadi dewasa.”
“Fu, kau memang aneh...Seperti, aku tidak mengerti satupun hal yang kaukatakan tadi. Serius nih, apa kamu gila? Well, yang kau katakan itu itu tidak ada gunanya. Sekarang, naskahku begini...”
Aku merasa kalau aku telah mengatakan sesuatu yang sangat mengganggu di pembicaraan tadi. Aku bahkan tidak memberinya ijin untuk mengatakan itu...
Sayangnya, dia adalah orang yang kukenal. Mengirimnya ke peti mati merupakan mimpi buruk bagiku. Dengan segala kebaikan hatiku, aku memutuskan untuk memberinya peringatan.
“Oke, aku paham ceritamu. Ngomong-ngomong, hindari menjadikan seorang gadis menjadi heroine hanya karena kamu menyukainya. Itu akan melukaimu. Ooh, juga, jangan menjadikan dirimu sendiri bintang utamanya.”
“Gegeh!? Hachiman, mungkinkah kau ini seorang esper!?”
“Bukan. Paham tidak? Aku memperingatkanmu.”
Aku bukanlah seorang esper, hanya seseorang dengan pengalaman. Bahkan setelah itu, aku memutuskan untuk tidak melakukan itu ke siapapun lagi.
“Hapon, memang, memang. Jadi yang ingin kaukatakan hanya itu?”
Zaimokuza mengatakan itu dan dilanjutkan dengan dia pura-pura membersihkan tenggorokannya.
“Belakangan ini, punya musuh yang lebih ortodox dan keren dari protagonis akan membuatnya lebih populer?”
“Kau tidak mengerti sama sekali...”
“Mu? Apa ada yang salah barusan?”
“Tidak, logikamu sendiri yang salah. Generasi pertama dari Precure itu dibintangi oleh yang hitam. Mereka mungkin mengincar warna dari karakter atau semacam itu. Apa-apaan sih dengan eksistensimu?”
Aku ingin sedikit menekankan hal terakhir tadi, tapi Zaimokuza, yang memiliki pendengaran sensitif terhadap hal-hal yang tidak nyaman baginya, mengembalikannya dengan respon “rufun, rufun”.
“Begitu ya, kau ada benarnya. Idemu, “The Cure Black Law”...Bisa jadi, bisa jadi. Fumuu, seperti yang kau harapkan dari pemilik kuasa Precure...”
“Hei, hentikan itu. Jangan panggil aku si pemilik kuasa. Itu terlalu berlebihan bagiku. Lagipula, aku ini sendiri adalah bagian dari fraksi White Cure.”
Memang, ‘pemilik kuasa’ memang terlalu luar biasa. Aku adalah orang yang hanya melihat apa yang kusukai, dan aku sangat tertarik sehiingga aku tidak tahu siapa penulis cerita aslinya, sial, aku sangat ingin punya edisi BDnya. Bahkan, perasaan ingin meminta maaf ini seperti menegaskan kalau diriku ini adalah otaku dan aku ingin mati saja.
“Homu, reaksi ini, mungkinkah pria ini mengatakannya dari pengalamannya sendiri...”
Zaimokuza mengatakan itu sambil menjauhiku.
“Terserahkamulah, lupakan apapun yang pernah kukatakan tadi. Menderita dan menyesallah demi semua yang kupedulikan.”
Ini sia-sia saja. Kalau begitu, satu-satunya hal yang tersisa baginya adalah membuat luka yang lebih dalam di hatinya sehingga itu tidak akan menjadi suatu hal yang terlupakan. Begitulah manusia berkembang. Sekali kau terluka, melihat rendah orang lain, dan mendiskriminasinya, itulah pertamakalinya kau melihat sebuah perkembangan. Orang-orang tidak akan berubah karena cinta, persahabatan, ataupun tindakan yang berani.
Aku mendoakan yang terbaik bagi teman seperjuanganku dari 2C, Zaimokuza Yoshiteru, dari luka yang akan dia terima.
“Ngomong-ngomong, apa kamu mau nonton film di Oktober nanti?”
“Jangan bodoh. Kalau seseorang sepertiku pergi ke bioskop, maka keluarga dan gadis-gadis kecil akan berteriak ketakutan, aku nanti bisa merasa tidak enak...Aku akan membelinya, maksudku edisi blue-raynya saja.”
“Kuh, kau menahan dirimu meski kau sendiri ingin untuk menontonnya...Pria diantara para pria!”.
Entah mengapa, dia mulai menangis.
Akulah disini yang hendak menangis. Kenapa aku harus berurusan dengan pria ini di tempat seperti ini dimana pekerjaan sudah menungguku?
Aku memalingkan pandanganku dari Zaimokuza dan mulai melangkahkan kakiku ke ruang konferensi dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya.
Hari ini, ijin untuk tinggal di sekolah untuk persiapan Festival Budaya diberikan. Di kelas lain, terlihat orang yang membawa papan daftar berlalu-lalang, menyiapkan peralatan dan sementara orang-orang terlihat tidak sabaran, berlarian memegang snack dan minuman di tangannya, meneriakkan ‘snack!’.
Sama halnya dengan kelas 2F, mengerjakan persiapannya menuju Festival Budaya.
Hayama berdiri di depan kelas dan memanggil siswa yang lain untuk menaruh perhatiannya.
“Oke, mari kita pilih staff dan pemainnya...Untuk penulis naskah, kita serahkan ke Hina, dan yang lainnya...”
Dia lalu menuliskan jenis-jenis pekerjaan yang dianggap perlu di papan tulis.
Hasilnya:
Sutradara – Ebina Hina
Produser – Ebina Hina
Penulis naskah – Ebina Hina
Begitulah, jabatan teratas sudah terisi. Bukannya aku mau mengatakan kalau ada orang lain yang bisa mengerjakan pekerjaan itu...Entah itu eksekutif produser ataupun super produser...
Mengisi di bawahnya:
Asisten Produksi – Yuigahama Yui
Iklan – Miura Yumiko
Jabatan-jabatan penting kembali diisi. Dengan kurangnya karakter wanita di naskah, kurasa masuk akal kalau pekerjaan-pekerjaan itu diserahkan ke para gadis.
Tapi, masalah sebenarnya datang setelah itu.
Pemerannya, dan yang terpenting, harus laki-laki. Faktanya, semua peran di naskah memang laki-laki. Ini seperti “Sang Pangeran Kecil” ~ Thump! Para laki-laki dimana-mana~.
Awalnya, pemilihan pemeran dilakukan secara terbuka, memeriksa apakah ada yang bersedia mengambil peran dengan kemauan sendiri, tapi tidak ada yang meresponnya. Well, kurasa ini tidaklah mengejutkan karena mustahil ada seseorang mau memainkan itu secara sukarela.
“Uhh, semuanya, kalian jangan terlalu khawatir mengenai karakter yang tertulis di naskah kemarin, oke? Kita sudah sepakat kalau tidak persis seperti itu”.
Meski Hayama mencoba untuk menegaskan hal itu, dia tidak bisa menghapus image tentang drama tersebut, dan para laki-laki disini hanya bisa terdiam.
“Kalau begitu, kurasa kita harus melakukan ini...”
Seorang gadis mengatakannya, kebusukan terlihat jelas dari kacamatanya, dan dia berjalan menuju depan papan tulis.
Dan seseorang yang sedang dirasuki sesuatu dari neraka itu adalah Ebina Hina.
Seakan-akan tidak mempedulikan suasana di kelas, dia menulis beberapa nama di peran yang tertulis di papan tulis. Tampaknya dia memang memanfaatkan jabatannya sebagai pemimpin tim produksi.
“Tidaaak!”
“Kasih apa saja asal jangan Geographer!”
“Aku ambil Matterhorn saja!”
Setiap nama siswa yang dia tulis, si siswa seperti sedang merasakan ajal mendekat.
Setelah itu, tibalah di peran utama.
Sang Pangeran Kecil - Hayama
Hayama terdiam. Wajahnya seperti pucat. Para gadis, tampaknya terlihat antusias melihat hal itu. Well, ini adalah peran utama, jadi memanfaatkan orang yang bisa menarik pelanggan merupakan keputusan yang tepat.
Dengan begitu, peran utama tersisa satu karakter lagi...
Tampaknya nama yang ditulis oleh tangan Ebina merupakan nama yang sangat familiar bagiku.
Sang Narator - Hikigaya
“...Tidak, tidak akan terjadi.”
Aku secara spontan mengatakannya ketika melihat tulisan itu di papan.
Telinga tajam Ebina melihatku dengan ekspresi pura-pura bodoh.
“Eh!? Tapi penggemar Hayama x Hikitani itu banyak sekali loh!? Seperti, pasangan paling gay dari yang pernah ada!”
Apaan sih yang orang ini katakan...?
“Sang Pangeran Kecil mendominasi si pilot dengan kata-katanya yang hangat, dan aura semacam itulah yang laku!”
Tidak kalau dari apa yang kudengar. Kau bisa membuat marah orang Perancis loh.
“Tidak...Aku ini sudah jadi Panitia Festival, jadi...”
“Y-Yeah, benar juga. Hikitani-kun sudah menjadi perwakilan kelas kita untuk menjadi Panitia Festival. Karena kita harus latihan dan semacamnya, itu memang masuk akal.”
Kata-katamu bagus sekali, Hayama.
“Oh...Itu memang sangat disayangkan.”
“Benar, jadi, kenapa kita tidak pikirkan ulang semuanya lagi...? Misalnya pemeran Sang Pangeran Kecil.”
Jadi itu maksudmu, huh? Tapi sebelum Hayama menyelesaikannya, Ebina menulis ulang di papan.
Sang Pangeran Kecil - Totsuka
Sang Narator - Hayama
“Auranya mungkin tidak sekuat yang sebelumnya, tapi kurasa yang ini juga oke...”
“Jadi aku mau kemanapun tetap kau taruh di pemeran, huh...”
Hayama mengatakannya dengan lemas.
“Oh, menyindir ya, tapi ini bagus sekali~”
Ebina menunjukkan jempol jarinya sambil mengatakan “kerja bagus!”.
Bodoh amat dengan Hayama, tapi Totsuka memerankan Sang Pangeran Kecil memang pemeran yang pas. Dia bisa menggambarkan image “Sang Pangeran Kecil”. Hanya saja, dia saat ini terlihat kebingungan. Mungkin dia tidak menyangka kalau akan mendapatkan peran itu.
“Ini kayaknya berat sekali...Apa aku bisa ya?”
“Yeah, kupikir itu cocok denganmu.”
Ebina memang punya mata yang bagus karena memilihnya, meski kedua mataku juga berubah menjadi busuk dengan alasan yang sama...
“Begitu ya...Ada beberapa hal yang aku kurang paham, mungkin aku akan cari-cari info soal peranku nanti...”
“Kupikir kau akan baik-baik saja, tidak perlu segitunya. Malahan kau akan lebih mudah memahaminya jika kau baca naskah aslinya. Naskah yang Ebina tulis sebenarnya pemahaman yang salah soal cerita aslinya.”
Sejujurnya, banyak hal di dunia ini akan terasa lebih baik jika kau tidak tahu. Seperti, Totsuka akan mendapatkan pencerahan jika meneliti karakter itu, aku, juga, tidak mengelak kalau sesuatu dalam diriku juga terbangun, jadi dengan segala cara, aku ingin itu tidak terjadi.
“Apa kau pernah baca itu sebelumnya, Hachiman?”
“...Yeah.”
Ini sebenarnya bukanlah cerita yang kubenci. Kalau harus kukatakan, ini semacam cerita yang kusukai. Tapi ada bagian cerita dimana diriku sendiri merasa berat hati untuk menyukainya. Itu adalah sebuah kepingan dimana aku sendiri sangat sulit untuk menaruh tanganku disana.
[note: Vol 6 chapter 7, ada quote yang selalu menghantui Hachiman dari cerita Sang Pangeran Kecil, “Yang berharga tidak selalu terlihat oleh mata”.]
“Aku bisa meminjamkannya kepadamu kalau kau mau.”
“Benarkah? Terima kasih ya!”
Totsuka tersenyum seperti bunga yang mekar. Aku sangat bersyukur punya hobi membaca...Ini adalah pertama kalinya aku berpikir seperti itu semenjak aku lahir.
Totsuka lalu dipanggil oleh yang lain untuk rapat tentang peran di naskah itu.
“Oke, aku kesana dulu, Hachiman.”
“Baiklah”.
Setelah dia pergi, aku melihat ke sekelilingku di kelas ini.
Di ruangan ini, selain ada rapat pemeran, ada juga rapat orang-orang yang terlibat masalah kostum, ada juga diskusi tentang rencana mengiklankan ini, seperti merencanakan upacara pemakaman bagi para pemeran cerita ini.
Aku pergi meninggalkan kelas sambil melihat mereka dari samping. Suara langkah yang berisik terdengar mengejarku dari belakang. Aku tahu siapa itu meski aku tidak membalikkan badanku. Hanya ada dua orang yang bisa kau kenali dari langkahnya, yaitu Tara-chan dan Yuigahama.
“Hikki, kau akan ke klub?”
Dia memanggilku dari belakang.
Aku menghentikan langkahku dan menjawabnya.
“Yeah, ada waktu luang sebelum rapat Panitia. Aku juga ingin memberitahunya kalau aku tidak bisa menghadiri klub untuk sementara.”
“Begitu ya, masuk akal sih...Aku pergi juga.”
Yuigahama mengatakan itu dan berdiri di sebelahku.
Aku menatapnya dari samping. “Pekerjaanmu bagaimana?”
“Kurasa tidak masalah. Kupikir aku baru benar-benar sibuk ketika dramanya dimainkan nanti.”
Begitu ya, aku menjawabnya dengan singkat dan berjalan menuju ruangan klub.
x x x
Karena rapat panitia disepakati jam empat sore, aku memiliki waktu luang sebelum waktu itu tiba.
Bagi diriku yang tidak diberikan satupun pekerjaan, aku akan tampak seperti pengganggu jika aku tetap di kelas. Ditambah fakta kalau aku dilibatkan dalam Panitia Festival Budaya, aku hanya akan membantu sebisaku. Kalau terjadi sesuatu, dalam suatu event dimana aku harus memberikan pekerjaan ke orang lain, butuh usaha ekstra dan itu juga menjadi masalah yang lain. Oleh karena itu, kurasa lebih baik bagiku untuk tidak terlibat apapun sejak awal. Di dunia ini, ada banyak hal dimana tidak bekerja akan menjadi hal yang menguntungkan.
...Kalau mereka memaksaku menjadi Panitia Festival karena mereka mengantisipasi hal itu, yang bisa kukatakan hanyalah “itu masuk akal”. Kalau dipikir sebaliknya, maka orang-orang yang benar-benar memahamiku mungkin teman sekelasku.
Sebuah eksistensi yang tidak tersentuh. Kalau dipikir-pikir, barusan tadi lumayan keren.
Di SMA Sobu, klub hanya boleh menampilkan satu jenis aktivitas di Festival Budaya. Misalnya, klub orkestra menampilkan konser, atau Klub Teh akan menggelar upacara minum teh.
Orang-orang pada dasarnya berpartisipasi di festival untuk memperoleh rekomendasi. Selain itu, mereka hanya bertindak sebagai “sukarelawan”.
Suara bang bang yang terdengar sejak tadi sepertinya berasal dari latihan para sukarelawan band. Suara gitar yang terdengar keren, menghentak seperti disertai energi dari Pocasukajan. Bassnya seperti memunculkan suara pom poko pom poko seperti tanda adanya Tanuki War di depan kita.
Suasana semacam ini terasa ketika berada diantara gedung utama dan annex.
Lorong yang menuju gedung khusus adalah satu-satunya lokasi yang terasa sunyi disini.
Aku bisa merasakan kalau suhunya turun satu hingga dua derajat, mungkin karena lorong ini terasa teduh.
Pintu ruangan klub sudah tidak terkunci. Aku bisa merasakan sebuah sensasi dingin dari dalam seperti sebuah halusinasi yang merangkak keluar.
Ketika pintu dibuka, Yukinoshita ada disana, tidak berbeda dari biasanya.
“Yahallo!” Yuigahama memberikan salamnya.
Yukinoshita secara perlahan menegakkan kepalanya, melihat ke arah pintu, dan secara perlahan membuka mulutnya.
“...Hello.”
“Yo.”
Kami menyapa seperti biasa lalu duduk di tempat masing-masing.
“Jadi kau ada di panitia festival juga ya?”
“Eh? Benarkah?”
“Ya...”
Yukinoshita menjawabnya singkat tanpa memindahkan pandangannya dari buku yang dia pegang.
“Aku agak terkejut mendengar Yukinon melakukan sesuatu seperti itu.”
“Begitu ya...? Well, kurasa begitu...”
Dia bukanlah tipe orang yang mau berdiri di depan banyak orang. Yukinoshita yang kutahu bukanlah seseorang yang tidak punya keberanian tampil di publik, mungkin lebih tepatnya, dia adalah orang yang tidak suka berdiri di depan publik.
“Lagipula, kurasa lebih mengejutkan lagi melihatnya berada di panitia festival.”
“Ah, benar kan? Itu memang tidak cocok dengannya.”
“Hei...Aku ini jadi panitia karena dipaksa...Well, kalau itu artinya tidak ikut dalam drama musikal yang tadi, kurasa melakukan pekerjaan kasar di kepanitiaan tidaklah buruk-buruk amat. Indah pada waktunya.”
“Alasanmu memang mencerminkan dirimu.”
“Aku tidak bisa mengatakan hal yang sama kepadamu.”
Kata-kata barusan seperti mengandung nada yang menyindir.
Itu tidak diarahkan ke Yukinoshita. Itu kuarahkan ke diriku sendiri. Sekali lagi, aku sadar bagaimana diriku ini memaksakan image ke orang lain, membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri.
“.....”
“.....”
Yukinoshita tidak mempedulikan kata-kataku dan tatapannya tidak berpindah dari bukunya. Sebuah kesunyian yang bahkan membuat waktu serasa membeku.
Hanya jam di dinding saja yang terlihat memotong waktu tersebut dan suara dari detik jam tersebut seperti terdengar jelas di telingaku.
Yuigahama mengembuskan napas yang dalam dan melihat ke arah jam.
“Umm...Kau juga ada pertemuan panitia juga hari ini, benar tidak? Sebenarnya, aku juga harus hadir di rapat kelasku...”
Aku lalu menambahkan kata-kata yang kurasa dia akan mengatakan itu selanjutnya.
“Yeah, itu benar. Aku akan sibuk dengan kepanitiaan juga, jadi aku tidak bisa datang ke klub untuk sementara waktu.”
Atau sebaiknya, ‘Aku tidak mau datang’ akan lebih terdengar akurat.
Yukinoshita menutup kedua matanya seperti menyadari hal itu dan dia menutup bukunya. Setelah itu, untuk pertama kalinya hari ini, dia melihat ke arahku.
“...Momen yang tepat. Aku juga ingin membicarakan itu dengan kalian hari ini. Aku berpikir untuk membuat kegiatan klub vakum sampai Festival Budaya berakhir.”
“Kurasa masuk akal.”
“...Mmm, oke, itu cukup masuk akal. Lagian, ini kan Festival Budaya, kupikir itu keputusan terbaik.”
Yuigahama berusaha meyakinkan kata-katanya.
“Baiklah, kupikir kegiatan kita cukupkan untuk hari ini.”
“...Oke. Hikki, pastikan kau datang membantu di kelas ketika punya waktu luang di kepanitiaan.”
Aku berpikir sejenak. Tugas utamaku adalah di kepanitiaan, kalau aku harus membantu penampilan kelasku juga, ini pasti akan cekcok. Unlimited double works...
“...Hanya jika aku ada waktu saja...Baiklah, aku harus pergi.”
Aku meresponnya dengan kata-kata yang senada dengan ‘aku pasti tidak mau’ ke Yuigahama, dan akupun berdiri sambil memegangi tasku. Bahkan tas ringanku ini terasa berat di tanganku.
...Tidak, aku tidak ingin pergi.
Perasaan apa ini? Apakah sangat menyakitkannya pergi bekerja? Perutku serasa sakit luar dalam. Apa karena itu? Sekarang pikiranku sudah melebihi limit dari tubuhku, alam sadarku sedang mempengaruhi realitiku. Marble Phantasm yang sangat menakutkan.
Well, tahulah, ini sekarang sudah jadi pekerjaanku, jadi aku akan tetap melakukannya.
Tapi aku tiba-tiba mengembuskan napasku. Maksudku, aku memang tidak ingin bekerja.
Tepat ketika aku hendak memegangi gagang pintu, ada yang mengetuk pintunya. Ketika telingaku terfokus ke suara itu, aku mendengar suara orang tertawa di seberang.
“Silakan masuk”.
Yukinoshita menjawab itu dan pintu terbuka. Suara tawa yang terdengar seperti daun kering yang terinjak itu mulai terdengar lebih keras dari biasanya.
“Permisiiiiiiii.”
Orang yang masuk ke ruangan ini adalah seorang gadis yang kukenal.
Sagami Minami. Sekelas denganku, panitia festival sama sepertiku, dan dia adalah ketuanya.
Di belakangnya ada dua orang gadis. Keduanya terlihat seperti sedang tersenyum kecil.
Mata Sagami melihat ke arah kami.
“Oh, Yukinoshita-san dan Yui-chan.”
Whoaa hei, kurasa kau melupakan satu orang lagi disini? Tahu tidak, ituloh pria yang sekelas denganmu dan juga berada di panitia festival?
“Sagamin? Ada apa?”
Yuigahama melihatnya dengan ekspresi tanda tanya.
Tanpa menjawab pertanyaannya, Sagami berjalan sambil menoleh ke sekitarnya, seperti melihat ruangan ini.
“Oooh~ jadi Klub Relawan itu berisi Yukinoshita-san dan kalian berdua ya?”
Kedua matanya melihat ke seluruh ruangan, lalu melihat ke arahku dan Yuigahama.
Aku merasakan firasat yang buruk. Kedua matanya seperti penuh dengan kelicikan dari seekor ular. Memberikan rasa aneh dan tidak nyaman seperti pupilmu akan berkontraksi dan condong ke arah vertikal.
“Ada perlu apa kesini?”
Yukinoshita bertanya dengan nada yang terkesan kasar, meskipun di depannya adalah orang yang tidak dia kenal betul. Tapi entah mengapa, ini terkesan lebih dingin daripada biasanya.
“Ah...Maafkan aku, tiba-tiba muncul disini.”
Sagami menunjukkan tata kramanya sambil membetulkan sikap berdirinya.
“Aku kesini sebenarnya hendak berkonsultasi...”
Tanpa membalas tatapan Yukinoshita, Sagami melihat ke arah kedua temannya di samping, lalu dia melanjutkan.
“Seperti, aku sekarang ini menjabat ketua panitia, tapi aku sendiri sangat tidak percaya diri mengenai hal itu...Jadi, aku membutuhkan bantuanmu.”
Apakah ini yang dia diskusikan dengan Hiratsuka-sensei setelah pertemuan kemarin? Jadi begitu ya, sekali lagi, dia merekomendasikan orang yang terlihat punya masalah ke Klub Relawan.
Well, sebenarnya aku sudah menangkap apa maksudnya. Siapapun akan merasa terintimidasi dengan jabatan yang penuh tanggung jawab, terutama jika itu pengalaman pertama mereka. Dari apa yang kuketahui tentang Sagami di kelas, dia bukanlah tipe orang yang akan menerima pekerjaan seperti itu.
Tapi pertanyaannya, apakah Sagami ini adalah orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan?
Yukinoshita memindahkan pandangannya ke Sagami, terdiam sambil berpikir. Karena Yukinoshita dari tadi melihatnya, Sagami memalingkan wajahnya karena tidak nyaman.
“...Aku percaya kalau ini berseberangan dengan tujuanmu untuk tumbuh berkembang, atau tidak?”
Seperti kata Yukinoshita, Sagami adalah orang yang bersedia maju menjadi ketua, dia mengatakan menerima itu demi membuatnya berkembang, dan akhirnya, dia menjabat ketua panitia.
Sagami terkejut, tapi ekspresinya yang kompleks tersebut hilang, dan dia tersenyum lagi.
“Pastinya, tapi, seperti, aku tidak ingin mengganggu yang lain, dan gagal bukanlah hal yang baik, benar tidak? Dan lagipula, kupikir bekerjasama dengan yang lain adalah bagian dari perkembanganku juga, jadi itu adalah hal yang penting.”
Yukinoshita hanya duduk terdiam, mendengarkan kata-kata yang keluar itu tanpa adanya jeda.
“Dan juga, akupun bagian dari kelasku, jadi aku ingin membantu mereka juga. Aku merasa sangat bersalah jika aku mengatakan tidak bisa. Benar tidak?”
Sagami mengatakan itu, lalu dia menatap ke arah Yuigahama.
“...Yeah, kupikir begitu.”
Meskipun Yuigahama awalnya terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu, dia lalu setuju dengan Sagami.
“Oh, akupun begitu. Aku juga suka jika bekerja dengan orang lain...”
“Benar kaaan~ Seperti, aku ingin bisa mengenal baik orang-orang lewat event ini, jadi mari kita membuat ini sukses, benar sekali!”
Kedua gadis di sampingnya juga menganggukkan kepalanya sambil mengatakan “benar, kan?” kepada kata-kata Sagami.
Tapi, ekspresi Yuigahama terlihat suram ketika mengatakannya.
Kurasa aku bisa paham apa yang dirasakannya. Seperti yang dikatakannya, request Sagami yang sebenarnya adalah meminta Yukinoshita untuk membersihkan kekacauan yang akan dia buat.
Ini tidak jauh berbeda dengan Zaimokuza ketika dia berharap sebuah komunitas bernama ‘klub game’ agar dikutuk setelah dia mengamuk di internet.
Apa yang Sagami anggap penting bukanlah pengalaman yang dia peroleh dari menjabat ketua panitia, tapi jabatan itu sendiri. Kalau dia memang berniat agar bisa menjadi ketua yang baik, maka dia harusnya meminta bantuan dari ‘orang dalam’, bukan ‘orang luar’. Misalnya, Meguri-senpai yang berpengalaman dalam mengkoordinir kepanitiaan. Dia mungkin terlihat kurang bisa diandalkan, tapi dia bisa menyatukan pengurus OSIS dan member-membernya, mungkin karena sifatnya begitu, dan bahkan kompetensinya dalam berorganisasi. Meski, ada kemungkinan kalau tampilannya yang tidak bisa diandalkan itulah yang menjadikan alasan member-membernya bisa bersatu.
Tapi Sagami berbeda. Mungkin karena dia malu menunjukkan ketidakmampuannya, tidak, mungkin dia itu karena dia ingin pura-pura menunjukkan keberaniannya sehingga dia mau menerima bantuan dari luar; itulah yang kulihat.
Kurasa ini tidak berbeda jauh dari Zaimokuza beberapa waktu lalu.
Sayangnya, pekerjaan cuci piring semacam itu adalah sesuatu yang kita tolak. Ini adalah momen yang tepat bagi semua orang untuk melihat faktanya dan tidak terbawa suasana. Menunjukkan sisi berani dirimu biasanya tidak akan menghasilkan apapun.
Hanya ketika kau punya memori yang kelam, menyesalinya, dan menekankan kepada dirimu sendiri kalau kau tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi, itulah yang kau sebut berkembang.
Dengan itu di pikiranku, kurasa menolak request Sagami adalah keputusan yang bagus.
Bahkan, kita ini sedang membicarakan dirinya, maka kita harusnya tidak memberikan bantuan kita semudah itu. Akupun tidak berniat untuk punya pekerjaan tambahan saat ini.
Melihat Yukinoshita sejak tadi hanya diam, Sagami menatapnya sambil menundukkan wajahnya.
Seperti sadar kalau jawabannya sedang ditunggu, Yukinoshita secara perlahan membuka mulutnya seperti mengumpulkan pikiran-pikirannya dan mengkonfirmasinya.
“...Jadi kalau sesuatu terjadi, kau sendiri tidak masalah selama ada yang membantumu, benar?”
“Yep, benar, benar.”
Sagami mengangguk, sepertinya dia merasa kalau maksud kata-katanya tersampaikan dengan baik, tapi ekspresi Yukinoshita masih terlihat dingin.
“Begitu ya...Kurasa aku tidak keberatan. Aku sendiri ada di kepanitiaan, selama tidak jauh dari itu, aku bisa membantumu.”
“Benarkah!? Terima kasiiiih!”
Sagami menepuk kedua tangannya untuk menunjukkan rasa gembiranya dan mengambil tiga langkah lebih dekat ke Yukinoshita.
Situasi sebaliknya terlihat di Yuigahama. Dia melihat ke arah Yukinoshita dengan tatapan terkejut.
Jujur saja, akupun terkejut. Aku bahkan berpikir kalau request semacam ini adalah tipe request yang harusnya kita tolak.
“Oke, terima kasih bantuannya!”
Sagami mengatakannya, dia terlihat sangat antusias, lalu dia pergi meninggalkan ruangan bersama kedua temannya. Hanya kita bertiga yang tersisa di ruangan ini, dan suasananya tampak lebih suram dari sebelumnya.
Ketika aku mencoba pergi dari ruangan itu, sesuatu terjadi.
Yuigahama berdiri dan melihat ke arah Yukinoshita.
“...Bukankah kau bilang kegiatan klub vakum?”
Nada suaranya tampak lebih kuat dari biasanya. Menyadari hal itu, bahu Yukinoshita bergetar, meski wajahnya sejenak melihat ke atas, dia langsung memalingkan wajahnya.
“...Ini adalah sesuatu yang kukerjakan secara pribadi. Ini bukanlah sesuatu dimana kalian berdua harus mengkhawatirkan hal tersebut.”
[note: Watari sedikit tricky. Yang komplain disini adalah Yui, tapi Yukino menjawab ‘kalian berdua’ seakan-akan Yukino tahu kalau Hachiman juga komplain. ]
“Tapi biasanya kan...”
“Ini memang seperti biasanya...Ini tidak jauh berbeda.”
Seperti kehilangan tempat berpijak, kata-kata Yuigahama dipotong oleh Yukinoshita. Menyadari kalau keinginannya tidak akan tersampaikan, Yuigahama mengembuskan napasnya seperti menyerah saja.
“...Setidaknya kita lakukan bersama-sama.”
“Tidak apa-apa. Kalau ini masalah rapat panitia festival, maka aku sendiri sudah punya pemahaman soal itu. Jadi ini lebih efisien jika kulakukan sendiri.”
[note: Apa yang dikatakan Yukino ini persis seperti apa yang dikatakan Hachiman di vol 9 chapter 5 kepada Yukino di depan MarinPia.]
“’Efisien’...Mungkin, tapi meski begitu...”
Yuigahama menggumamkan kata-katanya.
Yukinoshita memindahkan tatapan dinginnya ke arah sampul buku di tangannya. Dia memberi tanda kalau dia tidak ingin membahas masalah ini lebih lanjut.
Bagi kami berdua yang pernah melihat kemampuan Yukinoshita Yukino, bahkan bisa kaubilang kalau kami ini mengenalnya dengan baik. Bahkan realitanya, dia mungkin bisa mengerjakan sesuatunya sendirian.
“...Tapi kupikir ini aneh.”
Kata Yuigahama, lalu dia membalikkan badannya. Tidak ada satupun suara yang memanggilnya dari belakang.
“...Aku akan kembali ke kelas.”
Yuigahama berjalan pergi. Aku sejak tadi berdiri dan pura-pura bodoh melihat mereka berdua, setelah kuanggap selesai, aku membetulkan posisi tasku, dan berjalan meninggalkan klub setelah Yuigahama.
Ketika kututup pintunya, aku melihat ke dalam sejenak.
Satu-satunya orang yang duduk di ruangan klub ini hanyalah Yukinoshita sendiri.
Sebuah pemandangan yang luar biasa indah, dan juga sangat melankolis, seperti sebuah gambar dari cahaya matahari yang menyinari reruntuhan dunia yang sudah hancur.
x x x
Suara sepatu yang menghentak lantai terdengar dengan jelas.
Sebaliknya, pemilik suara sepatu tersebut berteriak dengan keras.
“Ini seperti! Ini seperti! Ini seperti, yang benar saja!!”
“Hei, tunggu, tenanglah.”
Aku mengatakan itu dan Yuigahama yang berjalan di depanku menghentikan langkahnya.
Suara langkah kaki yang menghentak lantai terhenti dan dia membalikkan badannya dengan suara teriakan.
“Apa?”
Dia jelas-jelas kecewa dari caranya melampiaskan kekesalannya. Kupikir sangat jarang melihatnya seperti ini.
“Ada apa, kenapa tiba-tiba begini?”
“Entahlah! Hanya saja...Uuuurgh.”
Berhentilah menggerutu. Kamu ini anjing atau semacamnya?
Yuigahama lalu menghentak lantainya untuk melampiaskan frustasinya. Setelah melampiaskannya, dia mengatakan sesuatu secara perlahan.
“Ini seperti...Ini berbeda dari dia yang biasanya...Maksudku, Yukinon yang biasanya, dia tidak seperti itu.”
“Well, kurasa begitu...”
“Hikki juga.”
Yuigahama mengatakan itu dengan nada seperti sedang menusukku dengan pisau.
“.....”
Aku sendiri paham. Aku ini sedang berusaha terlihat sama seperti biasanya. Tapi ternyata tetap saja terlihat berbeda dan aku sendiri menyadari itu. ketika aku sadar, aku lalu berusaha memperbaiki diriku sendiri dan berakhir dengan membuatku terlihat bodoh. Aku ini seperti orang yang terperangkap dalam sebuah spiral.
Kurasa itu adalah sesuatu yang kau bisa pahami hanya dengan melihatnya, kah?
Seperti menyimpulkan kalau diriku yang terdiam ini sebagai konfirmasi kalau kata-katanya barusan memiliki kesan terhadapku, Yuigahama tidak meneruskannya lebih lanjut. Akupun sangat berterimakasih karenanya.
“Dan juga...”
Ketika menunggu kata-katanya, Yuigahama tampak ketakutan seperti ragu hendak mengatakannya.
“...Hei. Aku ingin menceritakan sesuatu yang tidak mengenakkan, apa kamu tidak masalah?”
“Huh?”
Aku meresponnya dengan hangat seperti kebingungan apa yang mau dia katakan.
Yuigahama menatap ke arah lantai dengan gusar dan bertanya sekali lagi.
“...Kau tidak akan membenciku, benar?”
“Aku tidak bisa menjanjikan itu kepadamu.”
“Eh, jadi bagaimana...”
Yuigahama terdiam seperti membeku di tempatnya.
Dia ini semacam ranking pertama idiot atau semacam itu, tapi dia tidak seperti orang yang hanya mau menunjukkan sisi manisnya saja. Tiba-tiba menunjukkan sisi gadis yang perhitungan bukanlah sesuatu yang bisa kutangani.
Kalau begini, pembicaraan ini tidak akan kemana-mana. Aku merasa kalau tidak ada satupun yang berubah jika dia mengatakan sesuatu. Aku menggaruk-garuk kepalaku untuk sekedar menghilangkan kesunyian ini.
“...Haaa, kurasa tidak masalah. Aku sudah membenci banyak sekali orang, jadi satu hal disini dan disana tidak akan membuatku membencimu dengan mudah.”
“Alasanmu itu sungguh menyedihkan...”
Dia menatapku dengan simpati yang serius.
“Sesukamulah, apapun tidak masalah. Jadi, pembicaraan tidak menyenangkan apa yang mau kaubicarakan?”
Aku memaksanya untuk meneruskan topiknya.
Yuigahama mengambil napas yang panjang dan membuka mulutnya.
“Benar...Umm, tahu tidak, aku ini kurang bagus dengan Sagamin.”
“Benarkah. Jadi, yang tidak menyenangkannya dimana?”
“I-Itulah yang kumaksud kurang menyenangkan...”
“Haa?”
Aku mengedip-ngedipkan mataku seperti Furby.
“Eh, apaan? Jadi yang tidak menyenangkannya dimana?”
“Umm, tahu tidak, seperti bagaimana kau tidak bisa bersama dengan orang lain, atau ada masalah diantara para gadis, kurasa hal-hal tersebut kurang bagus...”
Jadi sesuatu semacam itu, huh? Kurasa, begitulah. Tidak ada image positif yang muncul di pikiranku.
Aku tidak yakin apa yang dia pikirkan tentang diriku ketika dia terdiam dan berpikir, tapi Yuigahama menyatukan jari-jari tangannya di depan dadanya, dan membentuk semacam pola segitiga.
[note: pola segitiga dalam tangan di buku karangan Pierce menandakan frustasi.]
“...Aku tidak ingin menunjukkan kepadamu sisi menjijikkan dari diriku juga.”
Dia mengatakan itu sambil menatap ke salah satu sudut lorong.
“Jangan bodoh.”
Ini sangat idiot, aku mengatakannya dengan singkat. Tidak akan ada yang berubah dengan mengetahui hal itu, idiot.
“Ini bukannya aku juga punya hubungan yang baik dengannya.”
“Uh huh, kurasa itu sedikit berbeda. Bukannya aku tidak baik dengannya, tapi kupikir, aku sangat tidak menyukai Sagamin. Tapi kami masih berteman, jadi.”
“Be-benar...Jadi kau masih berpikir kalau kau masih berteman dengannya, huh...?”
“Uh huh, sebagian besar, kurasa begitu.”
Seperti biasanya, aku tidak paham apa arti pertemanan dalam sosial para gadis.
“Tapi kupikir dia tidak merasakan hal yang sama. Kurasa dia membenciku.”
“Yeah, mungkin saja. Melihatnya sekilas saja sudah tahu.”
Ini agak menyimpang dari benci, tapi bisa dikatakan sebagai sebuah antagonis dan keramahtamahan. Sepertinya Yuigahama ini hendak membahas topik itu lebih dalam lagi.
Yuigahama terlihat seperti tidak percaya.
“...Eh, ka-kamu melihatnya?”
“Stop, hanya becanda. Aku tidak melihat. Aku tidak melihat apapun. Itu hanya terlintas saja sekilas.”
“Well, bukannya aku mengatakan melihat itu hal yang buruk atau semacamnya...”
Yuigahama menjawabnya sambil memainkan ujung rambutnya.
Umm, maafkan aku, aku kadang melihat, seperti sering dan berniat. Maaf sudah bohong.
Ketika aku meminta maaf dan mengaku dengan diriku sendiri, Yuigahama terlihat seperti sedang melihat sesuatu di kejauhan.
“Waktu kelas satu dulu, aku sekelas dengan Sagamin.”
“Huh, jadi kalian berteman?”
“Well, bisa dikatakan begitu.”
Yuigahama mengatakan itu dengan ekspresi yang tidak biasa seperti berada diantara khawatir dan berpikir.
“...Jadi kau tidak berteman dengannya.”
“Hei, darimana kau menyimpulkan itu!?”
“Kalau begitu, kau berteman?”
“Uh huh, bisa dikatakan begitu.”
Lagi-lagi dia mengatakan itu dengan ekspresi aneh...
“Dengan kata lain, kau ini tidak berteman dengannya.”
Yuigahama seperti menyerah saja. “...Ya ampun terserah kamulah, bisa dikatakan cukup bagus.”
Cukup bagus atau tidak, itulah yang kumaksud. Makna kata-kata sebenarnya dari perkataan seorang gadis memang sebuah misteri.
“Waktu itu, Sagamin dan diriku berada di sebuah grup yang populer. Dan seperti, Sagamin sangat bangga soal itu.”
Sagami dan Yuigahama. Well, mungkin di grupnya ada gadis lain selain mereka berdua, tapi membayangkan keduanya sebagai orang populer di kelas bukanlah sesuatu yang sulit.
Yuigahama punya tampilan itu, selain itu, dia adalah gadis yang membaur dengan semua orang, sangat ahli dalam membaurkan diri ke orang lain. Oleh karena itulah dia bisa menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan.
Di lain pihak, kurasa Sagami adalah seseorang yang, tergantung kombinasi grupnya, adalah orang yang berniat untuk mencapai posisi itu. Bahkan di panitia festival, dia mencari teman, orang-orang yang mau bersamanya, lalu membuat sebuah grup. Dia punya inter-personal skill dan kemampuan memaksimalkan tampilannya sangat bagus.
Tapi menginjak kelas dua SMA, posisi mereka berubah. Jadi mengapa ada jarak diantara Yuigahama dan Sagami? Membayangkan, lingkungan mereka...
Faktor terbesar sepertinya ada di Miura.
Ketika dia menjadi bagian kelas 2F, dia sudah dianggap kasta teratas. Lalu dalam proses seleksi member grupnya, Miura menggunakan kriteria kejam dari ‘manis’ untuk memilih siapa yang dia pikir bisa diajak berteman dengannya.
...Dia memang sesuatu. Dia seperti menghapus begitu saja hubungan pertemanan diantara para gadis dan memutuskan siapa yang mau dia ajak ke grupnya. Entah ini baik atau buruk, dia memang benar-benar seorang Ratu.
Dan kemudian, ada sebuah ketidakcocokan antara Miura dan Sagami. Aku tidak yakin apakah ini hal yang benar, tapi posisinya yang berada di grup kedua terpopuler membuat situasinya jauh lebih mudah untuk dipahami.
Fakta itu jelas-jelas mempermalukan Sagami yang mementingkan kedudukan sebuah grup. Bahkan kejadian dirinya sudah tergantikan dari kasta teratas bukanlah sesuatu yang sulit dipahami jika dia tidak mengatakannya, faktanya Yuigahama, yang ada di posisi yang sama, malah berada di kasta teratas, ini jelas-jelas sesuatu yang tidak bisa dia terima.
Secara otomatis, aku mulai memahami tindakan-tindakan dari Sagami.
“Oleh karena itu, aku tidak benar-benar suka dengan apa yang Sagamin lakukan...Juga, bagaimana Yukinon mendengarkan requestnya, dan bagaimana Sagamin berusaha membuatnya dekat dengannya...”
Yuigahama mengatakan itu sambil memiringkan kepalanya. Setelah terlihat yakin akan sesuatu, dia mengangguk.
“...Sebenarnya, kupikir aku juga menyukai Yukinon lebih dari yang kusadari.”
“Apa-apaan yang barusan kaukatakan?”
Yuru Yuri mungkin sudah lewat masa tayangnya, tapi yuri yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang bisa kutangani, tahu tidak.
“Tidak, tidak, aku tidak bermaksud seperti itu...! Kupikir aku tidak menyukai ketika ada gadis lain berusaha dekat dengan Yukinon...Aku terlihat seperti seorang bocah ya?”
Yuigahama terlihat malu-malu dan menggaruk-garuk sanggul rambutnya.
Ini pasti sebuah keinginan menyedihkan untuk memonopoli. Ego semacam ini tidaklah aneh, bahkan sering terjadi di komunitas sosial para gadis semasa kecil. Adikku, Komachi, juga pernah mengalami hal itu. Sifat asli manusia itu bukanlah sesuatu yang bisa terlihat berbeda secara signifikan. Tergantung bagaimana mereka dilatih, ini semudah mengendalikan emosi-emosi semacam itu. Dan ini akan berakhir seperti mereka berlayar di atas wajah kita.
“Para gadis memang menyakitkan, begitulah. Terlalu banyak yang harus dihadapi.”
Kepedulian yang dia tampilkan tersebut membuatnya terlihat frustasi, aku tidak bisa menahan tawaku.
“Hei, hei, para pria juga sama. Kami kadang kompak ketika bersama. Para gadis bukanlah satu-satunya yang spesial disini.”
“Benarkah?”
“Kurang lebih begitu.”
“Begituya...Orang-orang memang menyakitkan, huh?”
Yuigahama tertawa “Tahaha”.
Benar sekali. Mereka benar-benar menyakitkan.
Dan karena aku merasa tidak nyaman selama ini sendirian. Berjuang keras agar tetap eksis, tentunya bukanlah sesuatu yang tulus.
“Janji ya...”
Yuigahama mengatakan itu dan akupun tidak tahu mengatakan apa ketika mendengar kata-kata anehnya. Aku lalu memiringkan kepalaku.
“Kalau kau akan membantu Yukinon kapanpun dia dalam masalah.”
Ngomong-ngomong, ketika perjalanan pulang dari Festival Kembang Api, kami memang pernah membicarakan sesuatu sejenis dengan itu.
[note: Vol 5 chapter 6.]
Mirip dengan waktu itu, kepeduliannya itu seperti memaksa diriku. Oleh karena itu aku menjawab, sesuai dengan kemampuan terbesarku, sejujurnya, dan secara otentik.
“Hanya jika aku bisa melakukannya.”
“Oke, kurasa itu cukup melegakan.”
Yuigahama mengatakan itu dan tersenyum.
Kau menyudutkanku dengan menaruh kepercayaan tak bersyaratmu itu kepadaku.
Tampaknya kata-katanya memang punya efek persuasif yang kuat. Jika dia menambahkan alasan ini dan itu, maka mungkin aku akan mulai hitung-hitungan tentang kontradiksi di belakang kata-katanya, tapi dengan menyelesaikan itu menggunakan senyuman, aku tidak bisa melihatnya lebih jauh.
“Oke kalau begitu, aku akan kembali ke kelas. Lakukan yang terbaik di kepanitiaan.”
Yuigahama melambaikan tangannya dan berlari meninggalkanku.
Aku mengangkat tanganku untuk meresponnya dan mulai berjalan.
x x x
Setelah berpisah dengan Yuigahama, aku berjalan menyusuri lorong yang menuju ruang rapat. Berlokasi di ujung tikungan berbentuk L dan tinggal belok kiri. Sebelum itu, ada tangga yang menuju lantai tiga dimana ruang kelas dua berada.
Di depan tangga itu, ada seseorang yang menghalangi jalanku.
Memakai mantel meski cuacanya bisa menyebabkan gerah dan sarung tangan menyelimuti tangannya yang menyilang menampilkan tampilan yang familiar, aku cuek saja dengannya dan berjalan melewatinya.
Orang itu lalu mengambil HP-nya dan memanggil seseorang.
Seketika, HP-ku bergetar.
Fakta bahwa dia sampai segitunya memanggil HP-ku meski sudah tahu sifat masing-masing membuatku jengkel. Bahkan, orang itu melakukan aksi yang membuat kejengkelanku bertambah.
“Fuumu, tampaknya tidak diangkat. Aku tidak mengira kalau dia akan sibuk...? Ha, ha, ha kalau kita membicarakan Hachiman, maka itu mustahil terjadi. Apa kau setuju, Hachiman?”
“Aku tidak ingin mendengar itu darimu...”
Sikapnya itu bukanlah hal dimana aku bisa diam saja. Kalau orang lain, aku bisa saja cuek dengan menertawai mereka, tapi harga diriku yang murah ini tidak akan membiarkan pria ini, Zaimokuza Yoshiteru, mengatakan apapun yang dia sukai.
“Jadi, apa yang kau lakukan disini? Naik-turun tangga untuk diet?”
“Hmm, sungguh nostalgia sekalii. Aku seperitnya pernah mendengar itu sebelumnya. Tapi dulu, lututku ini seperti gemetaran. Terlebih lagi...luka lamaku terbuka lagi. Memang, itulah yang terjadi.”
Se-serius lu...Kupikir kau harus memperhatikan kesehatanmu dengan serius.
Tidak mempedulikan kekhawatiranku, Zaimokuza memberiku tumpukan kertas yang dia ambil entah darimana.
“Ngomong-ngomong Hachiman, tolong lihat ini. Berikan pendapatmu soal ini?”
“Apaan? Aku tidak mau membahas soal Light Novelmu saat ini.”
Kalau ini hari-hari biasanya, aku bisa bersikap lebih sopan, tapi kali ini aku tidak punya waktu. Rapat akan segera dimulai dan aku tidak punya banyak waktu dan ketertarikan untuk meladeninya.
“Nay! Ini bukan soal Light Novel!”
Penolakannya tadi seperti membuatku sedikit tertarik. Kalau ini bukan soal light novel, lalu apa? Aku mencoba melihat ke kertas yang dia berikan kepadaku.
Zaimokuza menggerutu dan berpose.
“Dengar dan terkejutlah! Fokuskan pandanganmu! Lalu kemudian...matilah dan meminta maaf...Apa kau tahu apa yang akan kelasku tampilkan nanti?”
“Tidak, aku tidak tahu...Lagian, kenapa aku harus mati dan minta maaf. Hei, tunggu, tunggu, stop, kau lebih baik diam saja...”
“Kau tahu apa yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah penampilan? Itu adalah, naskah...”
“Tidak, hentikan itu, jangan memutuskannya sepihak.”
Aku mengatakan itu, tapi Zaimokuza tidak mendengarkanku sama sekali. Dia melemparkan kepalannya ke arah surga, seperti menyanyikan lagu pengantar tidur dengan keras, terus berceloteh tentang dirinya. Sejujurnya, dia memang mengganggu.
“Jangan mengatakan itu. Orang-orang bodoh itu membual tentang bagaimana menampilan penampilan yang normal, tahu tidak? Mereka menyarankan untuk menggunakan naskah karya sendiri.”
“Hei, tolong, hentikan.”
Aku tahu apa yang ingin kukatakan. Aku tahu persis kemana pembicaraan ini berujung. Itu karena aku sendiri pernah mengalaminya ketika SMP.
Hanya semasa SD saja naskah buatan sendiri, dimana hanya untuk lucu-lucuan diperbolehkan.
Tidak, sebenarnya, di SD-lah satu-satunya kesempatan itu dimungkinkan untuk ada. Waktu pertunjukan seni dan pesta perpisahan, menulis naskah untuk pertunjukan komedi diperbolehkan. Sial, bahkan sangat direkomendasikan. Tapi ketika kau sudah masuk SMP, kau mulai memikirkan dengan baik isi pertunjukanmu.
“Phew.”
Akupun tertawa.
“Nu? Ada apa, Hachiman?” tanya Zaimokuza.
Aku melihat ke arah langit dari jendela.
“Nah...Aku cuma berpikir bagaimana cepatnya orang-orang menjadi dewasa.”
“Fu, kau memang aneh...Seperti, aku tidak mengerti satupun hal yang kaukatakan tadi. Serius nih, apa kamu gila? Well, yang kau katakan itu itu tidak ada gunanya. Sekarang, naskahku begini...”
Aku merasa kalau aku telah mengatakan sesuatu yang sangat mengganggu di pembicaraan tadi. Aku bahkan tidak memberinya ijin untuk mengatakan itu...
Sayangnya, dia adalah orang yang kukenal. Mengirimnya ke peti mati merupakan mimpi buruk bagiku. Dengan segala kebaikan hatiku, aku memutuskan untuk memberinya peringatan.
“Oke, aku paham ceritamu. Ngomong-ngomong, hindari menjadikan seorang gadis menjadi heroine hanya karena kamu menyukainya. Itu akan melukaimu. Ooh, juga, jangan menjadikan dirimu sendiri bintang utamanya.”
“Gegeh!? Hachiman, mungkinkah kau ini seorang esper!?”
“Bukan. Paham tidak? Aku memperingatkanmu.”
Aku bukanlah seorang esper, hanya seseorang dengan pengalaman. Bahkan setelah itu, aku memutuskan untuk tidak melakukan itu ke siapapun lagi.
“Hapon, memang, memang. Jadi yang ingin kaukatakan hanya itu?”
Zaimokuza mengatakan itu dan dilanjutkan dengan dia pura-pura membersihkan tenggorokannya.
“Belakangan ini, punya musuh yang lebih ortodox dan keren dari protagonis akan membuatnya lebih populer?”
“Kau tidak mengerti sama sekali...”
“Mu? Apa ada yang salah barusan?”
“Tidak, logikamu sendiri yang salah. Generasi pertama dari Precure itu dibintangi oleh yang hitam. Mereka mungkin mengincar warna dari karakter atau semacam itu. Apa-apaan sih dengan eksistensimu?”
Aku ingin sedikit menekankan hal terakhir tadi, tapi Zaimokuza, yang memiliki pendengaran sensitif terhadap hal-hal yang tidak nyaman baginya, mengembalikannya dengan respon “rufun, rufun”.
“Begitu ya, kau ada benarnya. Idemu, “The Cure Black Law”...Bisa jadi, bisa jadi. Fumuu, seperti yang kau harapkan dari pemilik kuasa Precure...”
“Hei, hentikan itu. Jangan panggil aku si pemilik kuasa. Itu terlalu berlebihan bagiku. Lagipula, aku ini sendiri adalah bagian dari fraksi White Cure.”
Memang, ‘pemilik kuasa’ memang terlalu luar biasa. Aku adalah orang yang hanya melihat apa yang kusukai, dan aku sangat tertarik sehiingga aku tidak tahu siapa penulis cerita aslinya, sial, aku sangat ingin punya edisi BDnya. Bahkan, perasaan ingin meminta maaf ini seperti menegaskan kalau diriku ini adalah otaku dan aku ingin mati saja.
“Homu, reaksi ini, mungkinkah pria ini mengatakannya dari pengalamannya sendiri...”
Zaimokuza mengatakan itu sambil menjauhiku.
“Terserahkamulah, lupakan apapun yang pernah kukatakan tadi. Menderita dan menyesallah demi semua yang kupedulikan.”
Ini sia-sia saja. Kalau begitu, satu-satunya hal yang tersisa baginya adalah membuat luka yang lebih dalam di hatinya sehingga itu tidak akan menjadi suatu hal yang terlupakan. Begitulah manusia berkembang. Sekali kau terluka, melihat rendah orang lain, dan mendiskriminasinya, itulah pertamakalinya kau melihat sebuah perkembangan. Orang-orang tidak akan berubah karena cinta, persahabatan, ataupun tindakan yang berani.
Aku mendoakan yang terbaik bagi teman seperjuanganku dari 2C, Zaimokuza Yoshiteru, dari luka yang akan dia terima.
“Ngomong-ngomong, apa kamu mau nonton film di Oktober nanti?”
“Jangan bodoh. Kalau seseorang sepertiku pergi ke bioskop, maka keluarga dan gadis-gadis kecil akan berteriak ketakutan, aku nanti bisa merasa tidak enak...Aku akan membelinya, maksudku edisi blue-raynya saja.”
“Kuh, kau menahan dirimu meski kau sendiri ingin untuk menontonnya...Pria diantara para pria!”.
Entah mengapa, dia mulai menangis.
Akulah disini yang hendak menangis. Kenapa aku harus berurusan dengan pria ini di tempat seperti ini dimana pekerjaan sudah menungguku?
Aku memalingkan pandanganku dari Zaimokuza dan mulai melangkahkan kakiku ke ruang konferensi dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya.
x Chapter III | END x
Patut dicurigai mengapa Ebina memasangkan Hachiman x Hayama dalam fantasi gay-nya. Maksud saya, kalau Hayama bisa dimaklumi, dia pria paling populer di sekolah. Sedang Hachiman sendiri?
Ini baru terjawab di volume selanjutnya, Ebina menyukai Hachiman.
...
Yukino sudah menyatakan kegiatan Klub vakum sebelum menerima request Sagami. Artinya, request Sagami diterima sebagai request pribadi.
...
Lucu jika melihat fakta Yukino menjawab permintaan Yui agar request Sagami dilakukan bersama-sama, Yukino menjawab kalian daripada kau. Yukino seolah-olah tahu kalau dalam hati Hachiman, juga menolak hal itu.
...
Sebenarnya, alasan Yukino menerima request Sagami bisa ditebak dari situasi Yukino pada volume 6 chapter 2. Yukino ditempatkan di seksi bidang yang sama dengan Hachiman di kepanitiaan, yaitu Asisten Arsip. Ini artinya, Yukino dan Hachiman akan sering berinteraksi. Sedang hubungan keduanya dalam kondisi yang sangat buruk.
Kata kunci dari Yukino disini yaitu tidak keberatan membantu Sagami asal ditempatkan dalam posisi yang memungkinkan di kepanitiaan, menurut anda posisi apa? Jelas posisi Sagami di kepanitiaan adalah sebagai ketua. Jika Yukino ingin membantu pekerjaan Ketua Panitia secara keseluruhan, maka posisi Wakil Ketua adalah satu-satunya jawaban yang logis.
Dengan berada di posisi Wakil Ketua, Yukino tidak perlu sering-sering berinteraksi dengan Hachiman. Karena dalam rapat, interaksi tiap seksi dengan pimpinan panitia diwakilkan oleh ketua seksi, entah siapa Senpai kelas tiga.
...
Ternyata, Yui ketika kelas 1 SMA satu grup dengan Sagami. Ini menjawab mengapa Yui sangat peduli dan responsif ketika bertemu Sagami di Festival Kembang Api, karena Sagami adalah mantan leader grupnya dulu.
Tapi ini jelas memberitahu sisi brengsek Yui. Di kelas 2F, Yui bergabung dengan grup Miura dimana grup tersebut jelas-jelas grup terpopuler. Padahal, Sagami sekelas dengannya. Fakta kalau Sagami masih memasang senyum yang ramah kepada Yui meski tahu Yui sengaja meninggalkannya demi grup Miura, juga Yui yang masih basa-basi menyapa Sagami meski dia sadar kalau dia meninggalkan grup pertemanan dengan Sagami demi masuk grup Miura, pertemanan antar gadis memang menyeramkan.
...
Hachiman bohong dengan mengatakan pertemanan grup pria sama saja dengan pertemanan grup gadis. Mengapa? Karena Hachiman tidak punya teman sama sekali. Dari mana Hachiman bisa menyimpulkan seperti itu?
...
Monolog Hachiman tentang pemandangan melankolis Yukino di ruangan Klub sebelum menutup pintunya, merupakan sebuah trope terkenal yang menyambung kesan Hachiman di volume 1.
...
Bagian cerita Sang Pangeran Kecil yang terasa ganjil oleh Hachiman itu adalah bagian "Yang berharga tidak bisa dilihat oleh mata".
Hachiman baru menemukan jawabannya di vol 11 chapter 5 dari Hiratsuka-sensei. "Yang berharga tidak bisa dilihat oleh mata, tapi oleh hati."
Hiratsuka-sensei mengatakan itu setelah Hachiman merasa cemburu ketika mendengar cerita coklat valentine Yukino dan Hayama dari Haruno.
...
Percakapan Hachiman kepada Zaimokuza, sebenarnya merupakan petunjuk dari Watari mengenai situasi Hachiman.
"Jangan jadikan seorang gadis heroine hanya karena kau menyukainya".
Pernyataan di atas merupakan kesimpulan Hachiman di ending volume 5, yaitu dirinya mengagumi Yukino selama ini karena itulah image yang ingin Hachiman percayai selama ini.
"Punya musuh yang lebih ortodoks dan keren akan membuat lebih populer."
Siapa musuh yang lebih keren dan ortodoks? Hayama Hayato. Ini baru terjawab di volume 10 chapter 7, Hayama sendiri yang mengatakan kalau Hachiman adalah rivalnya.
...
Apakah monolog "mungkin teman-teman di kelas yang lebih memahamiku" mengisyaratkan bahwa hachiman sudah menganggap seseorang sebagai temannya di kelas? Cukup menarik siapa yang dianggap hachiman teman.
BalasHapus