x Chapter V x
Yo! Gue
Hachiman! Dan Gue akan pergi ke Tokyo!
Dan begitulah, tujuan utamaku kali ini adalah pergi ke Tokyo untuk naik Kereta
Cepat Shinkansen yang menuju Kyoto.
Aku bangun
lebih awal daripada biasanya sehingga bisa berangkat lebih pagi. Ketika
berpamitan dengan kedua orang tuaku, mereka memintaku untuk membeli oleh-oleh
ketika pulang, termasuk daftar oleh-oleh Komachi. Maaf ya ayah, kita berdua ini
kaum minoritas di keluarga sehingga aku tidak bisa membelikanmu oleh-oleh sake
secara diam-diam. Tapi jangan khawatir, aku sangat senang ketika menerima uang
sake darimu dan ketika pulang nanti aku akan mengatakan kalau Komachi dan Ibu
tidak mengizinkanku membelikanmu sake dan uangnya kubelikan hal lain!
[note: Kyoto juga terkenal dengan toko sake yang
berproduksi ratusan tahun, terutama Fushimi-Momoyama. Juga ada museum sake
terkenal, Gekkeikan Okura. Sake di Kyoto terkenal akan pengolahannya yang unik
secara turun-temurun.]
Jarak antara
Chiba ke Tokyo terbilang dekat. Bahkan, kau bisa katakan kalau Chiba adalah
kota satelit terdekat dengan Tokyo. Dengan kata lain, lokasi yang sangat dekat
dengan Ibukota Negara, mungkin lumrah saja jika kau sebut Chiba juga Ibukota
Negara. Chiba memang luar biasa!
Kau bisa
langsung ke Tokyo dengan sekali jalan jika naik Sobu Line. Alternatif lainnya
yaitu Kereta Keiyou Line. Kereta di Chiba memang cepat-cepat.
Tapi, dua
jalur kereta yaitu Sobu dan Keiyou ke arah stasiun Tokyo punya jalur yang
buruk. Misalnya Sobu Line, ketika kau melewati terowongan, kamu akan berpikir
“Apa-apaan ini, apa kita akan menggali minyak apa semacam itu?”. Kalau Keiyou
Line, kau berpikir “Kita ini sudah di stasiun Tokyo atau belum?”.
[note: Oke, mungkin banyak yang kurang ‘ngeh’ dengan
guyonan ini. Saya mencoba menelusuri website Stasiun Tokyo dan menemukan maksud
guyonannya. Sobu Line mayoritas jalurnya adalah terowongan bawah tanah, bahkan
Sobu Line berhenti di Stasiun Tokyo di lantai 5 bawah tanah! Keiyou Line ini
seperti jalur ‘memutar Tokyo’. Mungkin ini jalur yang dipakai warga Chiba jika
ingin jalan-jalan di Tokyo dengan Stasiun Tokyo menjadi stasiun terakhirnya.]
Kalau
begitu, Shinagawa mungkin alternatif yang lebih nyaman meskipun merupakan jalur
terjauh untuk menuju Stasiun Tokyo.
Aku akhirnya
naik kereta lokal di stasiun terdekat dan pindah ke Sobu Line dari stasiun
Tsudanuma.
Aku berhasil
masuk ke gerbong tepat sebelum pintu keberangkatan tertutup. Aku sangat lega
bisa naik tepat waktu, dan tepat ketika wajahku mengekspresikan itu, pandangan
mataku bertemu dengan sepasang mata berwarna biru yang familiar.
“...”
“...”
Kami berdua
terdiam.
Gadis itu kemudian melihat ke arah pemandangan
dari jendela gerbong sambil mengibaskan rambut ponytailnya.
Kawasaki
Saki.
Benar juga,
kalau tidak salah rumahnya tidak jauh dari rumahku. SMP kami berbeda
kemungkinan karena tempat tinggalnya berada di kompleks perumahan sebelah yang
dibatasi jalan raya di dekat komplek rumahku. Meski begitu, bagi kedua kompleks
perumahan, stasiun ini memang yang terdekat bagi keduanya. Karena tujuan kita
sama, tampaknya kita akan turun di stasiun yang sama dan naik kereta yang sama.
“...”
Kawasaki
lalu mencoba melirik ke arahku lagi. Ketika kedua mata kami bertemu, dia lalu
langsung memalingkan pandangannya ke arah jendela gerbong.
Sial.
Aku
melewatkan peluang untuk menyapanya yang bisa kumanfaatkan untuk keluar dari
situasi aneh ini, mungkin dia menyadari diriku tidak berguna karena melewatkan
peluang tadi untuk membuka pembicaraan. Sekarang, posisiku tidak menguntungkan
dan terjepit dalam keramaian kereta.
Pada
akhirnya, Kawasaki dan diriku hanya bersandar di pintu keluar selama 45 menit
sampai Stasiun Tokyo.
Ketika aku
keluar dari kereta, banyak sekali siswa SMA Sobu yang memakai seragam mereka
bertebaran di Stasiun Tokyo.
Aku langsung
bercampur dengan lautan manusia di Stasiun ini, tujuanku adalah Kereta
Shinkansen. Ketika berjalan memasuki bagian keberangkatan Kereta Shinkansen,
terlihat kerumunan massa dari siswa SMA Sobu. Tidak lupa juga, kita berada di
Stasiun Tokyo, sebuah tempat lalu lalang ratusan ribu manusia perhari, jadi
wajar saja kalau disini sangat berisik.
“Hachiman!”
Dari para
grup yang sedang berkumpul itu, terdengar seseorang memanggil namaku. Aku tidak
punya banyak teman sekelas yang memanggilku dengan nama Hachiman, aku memang
sengaja membiarkan mereka memanggilku Hikigaya.
Dan orang
yang rela membuang semua masa pertemanan mereka demi memanggil namaku adalah...
“Hachiman...Ibukota dari timur memang sangat nostalgia sekali. Tempat
dimana jiwaku dilahirkan.”
...Ah benar
juga, pria ini memanggilku dengan Hachiman.
Zaimokuza
sengaja batuk dengan suara yang aneh dan berjalan mendekatiku.
“Kamu perlu
sesuatu?”
“Humu, tidak
ada. Aku pura-pura menginvestigasi sesuatu hanya untuk menghabiskan waktu
saja.”
“Yeah, oke.
Tapi, apa-apaan dengan tasmu itu? Kamu berencana hendak bertapa di gunung?”
Coba lihat
lagi, Zaimokuza ini sedang membawa tas duffel yang terlihat sangat berat. Apa
yang dia taruh di dalamnya?
[note: Tas Duffel ini seperti tas gym, tas
peralatan, dll.]
Zaimokuza
memindahkan tasnya di punggung dan menekan tengah lensa kacamatanya dengan jari
tengahnya.
“Memang. Aku
berencana untuk melatih skill berpedangku di Kuramayama.”
“Kuramayama
ya? Kau memilih tempat yang cukup jauh.”
Tentu saja,
Kuramayama adalah salah satu dari banyak tempat populer, dan karena berada di
perbatasan Kyoto, bisa dikatakan itu adalah tempat yang cukup jauh untuk
dikunjungi.
“Memang,
memang betul. Itu bukanlah sebuah keputusan yang kuambil sendiri, tapi
melewatkan peluang untuk berlatih dengan Tuan Tengu cukup disayangkan.”
“Jadi kau
berencana ke Kibune juga? Lagipula, memang terasa lebih nyaman jika lokasi
kunjungannya itu disepakati oleh grup dan merupakan lokasi yang kita inginkan,
benar?”
“Bukan,
bukan begitu. Aku memang bersikeras kepada grupku untuk pergi kesana. Di dunia
ini, ada sesuatu yang kau sebut dengan ‘tempat yang ingin kau singgahi’.
Lupakan saja soal itu, kurasa kau lebih baik menjawabku dengan becanda hal-hal
yang kukatakan tadi. Disini aku agak kesepian.”
Sayangnya,
aku tidak bisa menemanimu terlalu sering di darmawisata ini.
“Kalau kau
ingin pergi ke suatu tempat, pergi saja. Sudah sampai sejauh ini, rugi kalau
kau tidak senang-senang.”
“Humu. Kalau
kau sendiri, mau ikut enggak, Hachiman?”
“Entah ya,
aku ada pekerjaan klub di darmawisata ini. Lagian, kami belum tahu apakah
pekerjaan itu akan menyita waktu sampai hari ketiga nanti atau tidak.”
“Kedengarannya kau punya kesibukan yang menarik, tapi...”
Jalan-jalan
bersama Zaimokuza, tahulah seperti apa. Tapi bukannya aku enggak suka jalan
bareng dengannya. Masalahnya, selain pekerjaan request Tobe ini, masih ada satu
request yang sedang antri dan mungkin saja diputuskan akan dikerjakan di hari
ketiga. Jadi kupikir tidak membuat rencana di hari ketiga merupakan keputusan
terbaik.
“Kupikir ini
saatnya untuk berkumpul dengan grup masing-masing.”
“Kalau
begitu Hachiman, ayo kita ketemu lagi di Kyoto nanti.”
“Tidak,
kupikir kita tidak akan bertemu...”
Setelah
berpisah, aku mencari tempat dimana siswa-siswa kelas 2F berkumpul.
Aku mencoba
melihat ke sekitarku, harusnya ada tanda yang menunjukkan ini grup apa dan
seterusnya. Ketika kutelusuri baik-baik, aku melihat sebuah suara berisik yang
cukup familiar.
Itu adalah
Hayama dan gerombolannya.
Oh sial!
Ternyata sumber berisik terbesar di tempat ini berasal dari kelasku.
Beberapa
grup kecil berkumpul di sekitar grup Hayama. Aku lalu mengaktifkan skill
‘menjadi tidak terlihat’. Ketika kupakai, sekitarku tampak tidak menyadari
kehadiranku yang mulai membaur dan berjalan menuju grup Hayama. Kurasa, jika
kehadiranku sering disadari, ini berarti auraku meningkat.
Tidak lama
kemudian, waktunya tiba.
Para grup
yang bertebaran di berbagai tempat mulai berkumpul dan berbaris.
Setelah
diabsen satu-persatu, ditutup dengan yel-yel masing-masing kelas. Apa ini
semacam festival olahraga atau bagaimana?
Setelah itu
kami mulai berkumpul dengan grup masing-masing. Disana, aku bertemu dengan
Totsuka.
“Hachiman!”
Panggilan
kali ini, ini baru memanggil namaku...sangat menyegarkan...
“Pagi,
Totsuka.”
“Yeah,
selamat pagi juga, Hachiman.”
Aku menyapa
Totsuka, dan ternyata di sampingnya ada grupku yang sudah menunggu di belakang
garis tunggu Shinkansen. Akhirnya, kereta yang kami tunggu-tunggu sudah tiba.
Setiap kelas
masuk ke gerbong yang sudah ditentukan.
Tempat duduk
di Shinkansen terasa agak aneh bagi kami.
Setiap baris
tempat duduk, ternyata berisi 5 kursi. Baris tersebut dipotong menjadi 3 kursi
dan 2 kursi untuk jalur jalan. Ini menyulitkan grup yang berisi empat orang
untuk duduk bersama. Sebenarnya kau bisa memecah grupnya menjadi dua orang,
tapi jika situasi di grupmu ada seorang penyendiri, maka sudah bisa dipastikan
kalau kursi berisi 3 orang akan diisi oleh siapa. Kalau tidak ada penyendiri,
maka satu orang akan dikorbankan. Dalam kasus pertama, seorang penyendiri yang
dipisah akan terasa normal dan nyaman bagi semuanya. Tapi jika kasus kedua yang
terjadi, maka situasinya akan tidak nyaman bagi semuanya.
Shinkansen
ini seperti sebuah kendaraan yang memunculkan tragedi. Jadi memang ada benarnya
kita harus menyikapi ini dengan bijak.
Totsuka
bersamaku sementara Hayama akan bersama Tobe.
Kalau
kucamkan itu baik-baik, kurasa itu bisa menjadi solusi yang paling nyaman bagi
semuanya.
Tapi jangan
lupa, satu gerbong ini diisi seluruh siswa 2F, ini berarti akan ada variasi dan
kompleksitas faktor luar yang akan bergabung dengan skenario ini. Pertama, kita
harus survei dahulu pengaturan kursinya sebelum mengatur orangnya. Kami semua
sudah masuk ke gerbong tetapi orang-orang masih menatap serius kepada posisi
kursi di gerbong. Ini seperti “Aku akan kalah dalam pertempuran ini jika aku
tidak selangkah lebih dulu daripada yang lainnya...”.
“Oooh sial.
Baik Shinkansen ataupun pesawat terbang, keduanya bikin kamu antusias!”
Suara
berisik ini mengisi keberangkatan kita, suara Tobe mencairkan suasana di
gerbong ini.
“Gue juga
belum pernah naik pesawat terbang.”
“Gue malahan
pertama kali naik Shinkansen.”
Mengikuti
omong kosong Tobe barusan adalah Ooka dan Yamato. Tampaknya mereka ingin
berkumpul di dekatnya selama perjalanan. Di belakang Ooka dan Yamato tampak 2
pria sedang berkumpul, mungkin itu kelompok mereka dan mereka sendiri setuju
untuk memecah grupnya menjadi dua untuk masalah tempat duduk.
Di
sekitarnya, ada grup yang sedang mencari kursi juga. Itu adalah grup yang
terdiri dari tiga gadis yang tampak sehidup semati dan seorang penyendiri:
Miura, Yuigahama, Ebina, dan Kawasaki.
“Aku
terbiasa duduk dekat jendela.”
Kata-kata
pertama tersebut keluar dari mulut gadis yang berambut pirang dan mengatakan
perintahnya secara terselubung. Mengetahui maksudnya itu, si gadis yang
berambut coklat-sebahu mulai mengkoordinasi grupnya.
“Oke, kalau
begitu aku duduk di dekat lorong. Kalau Hina dan yang lain gimana?”
Ketika dia
menanyakan itu, si gadis yang berambut hitam-sebahu, menoleh ke gadis yang
memiliki rambut ponytail tersebut.
“Hmm...Saki,
kamu mau duduk di dekat jendela atau lorong...kamu mau pilih yang mana?”
“Kurasa aku
tidak masalah mau duduk dimana.”
Tampaknya
aku juga cukup senang melihat Kawasaki terlihat berteman baik dengan Ebina-san.
Adik laki-lakimu bisa menangis jika melihat adegan ini.
Entah apa
dia sadar kalau pengaturan tempat duduknya masih belum selesai juga atau tidak,
Hayama lewat di grup itu dan mengatakan sesuatu.
“Kenapa kita
tidak duduk di tempat yang kita sukai? Lagipula kita bisa berpindah tempat
duduk sesuka kita ketika keretanya sudah berjalan.”
Setelah
mengatakan itu, dia lalu membalikkan deretan kursi di depan grup Miura sehingga
menjadi berseberangan dan duduk di dekat jendela.
“Oh, kau
benar sekali!”
Yang
menjawab kata-kata tersebut adalah Tobe. Dia lalu duduk di sebelah Hayama.
“Oke, aku di
dekat jendela juga.”
Ketika
mengatakannya, Miura langsung duduk di dekat jendela, seberang Hayama. Mungkin
adegan ini lumrah saja: karena pada dasarnya dia mau duduk dimanapun, dia bisa
pindah ke tempat manapun dia suka tanpa adanya protes dari penonton.
“Ayo. Yui,
Ebina.”
Kemudian,
dia menyilangkan kakinya yang panjang, memberikan kesan cantik. Lalu dia
menepuk-nepuk kursi di sebelahnya seperti memberi tanda untuk segera bergabung.
Apa-apaan caranya mengundang itu? Itu keren sekali!
“Yumiko
disana, Tobecchi disana, dan...”
Yuigahama
menggumamkan itu seperti memikirkan banyak hal. Tapi, Ebina-san tampak
mendorong Yuigahama dari belakang.
“Oke, oke,
Yui disana ya. Aku bagian sini.”
“Wa....Hina!”
Tanpa
mempedulikan komplain Yuigahama, Ebina menarik tangan Kawasaki dan memintanya
duduk di seberangnya.
“Kawasaki
disana ya.”
“Tunggu
dulu, aku bisa duduk dimanapun...”
Meski
Kawasaki mengatakan sebaliknya, Ebina tetap memegangi tangannya. Akhirnya,
Kawasaki duduk dan tidak bisa menolaknya. Ooh, ternyata dia cukup lemah kalau
ditekan.
“Santai saja, santai! ♪”
Ebina-san yang tampak senyum-senyum, memaksa
pengaturan tempat duduk yang tersisa. Hasilnya, Miura, Yuigahama, dan Ebina-san
duduk satu baris sedangkan baris depan yang arah kursinya dibalik berisi
Hayama, Tobe, dan Kawasaki.
Tidak bisa menolak untuk duduk disamping
Tobe, Kawasaki terlihat kurang senang dan menaruh tangannya di dagu, seperti
siap menerkam siapapun yang mengganggu. Eeeh, hmm, Tobe tampak ketakutan duduk
di dekatnya, tolong kau bersikaplah lebih bersahabat! Kalau tidak, genre cerita
ini sudah bukan lagi rom-com!
Setelah memastikan lokasi Hayama dan grupnya,
Ooka dan Yamato bersama dua orang di grupnya, duduk di baris kursi yang berisi
dua kursi.
Setelah itu, tampaknya para siswa sudah
menemukan lokasi tempat duduknya masing-masing.
Setelah melihat situasinya, sesuatu menarik
lenganku. Totsuka menatap ke sekitarku dahulu, setelah itu dia menatapku.
“Hachiman, bagaimana dengan kita?”
“Well...”
Karena Hayama memutuskan untuk duduk di kursi
yang berada di tengah-tengah gerbong, area di depan dan belakang gerbong terasa
sepi.
“...Di depan kelihatannya ada yang kosong,
ayo duduk disana saja.”
“Yeah, ayo.”
Setelah memutuskan, aku berjalan ke depan,
Totsuka mengikutiku dari belakang. Mungkin tidak begitu aneh jika sebuah
tindakan kriminal terjadi kepadanya di kereta karena wajahnya yang manis ini.
Aku harus melindunginya!
Karena aku tidak bawa banyak barang bawaan,
tempat tas di atas kursi terasa banyak ruang kosongnya. Well, banyaknya barang
bawaan tidak berpengaruh dalam kualitas darmawisata itu sendiri.
“Sini.”
Aku menjulurkan tanganku ke Totsuka untuk
menawarkan bantuan, menaruhkan tasnya di tempat tas. Tapi Totsuka memiringkan
kepalanya penuh dengan tanda tanya, lalu dia memegangi tanganku juga.
Ya ampun, tangannya sangat kecil dan
mulussssss...
“Err, maksudku bukan begini, maksudku ini
tasmu...”
Jangan dibuat lecet ya, ini bukan jabat
tangan! Ya ampun, tangannya mulus dan terasa menyegarkan.
“...Ah. Ma-maaf!”
Totsuka menyadari kesalahpahaman itu dan
melepaskan tangannya dariku. Dengan wajah yang memerah, dia lalu menyerahkan
tasnya kepadaku.
Aku ambil tasnya dan kumasukkan ke rak tas
yang ada di atas tempat duduk. Saat ini, aku serasa ingin menyentuhnya lagi.
Aku ingin membawa ini sebagai oleh-oleh!
Setelah itu, suara pengumuman kalau kereta
akan berangkat mulai terdengar.
Tampaknya, aku melewati proses keberangkatan
ini dengan pertanda baik!
x x x
Aku
terbangun dari tidur abadiku.
Mungkin
karena aku berangkat lebih awal dari rumah sehingga agak capek, tapi aku merasa diserang kantuk
yang luar biasa.
Ketika aku
berusaha merenggangkan badanku, sebuah suara datang dari arah lorong dekat
kursiku.
“Kau terlalu
banyak tidur.”
“Blueeaah!
Kau mengejutkanku...”
Aku tidak
tahu lagi harus bagaimana karena suara tadi memang mengejutkanku.
“Apa-apaan
reaksimu itu...kasar sekali...”
Yuigahama
menatapku dengan kesal.
“Maksudku
begini, semua orang pasti akan kaget kalau ketika baru saja bangun dan namanya
dipanggil...”
Memperlihatkan wajahmu yang tertidur ke orang lain memang memalukan,
jadi tolong hentikan itu! Aku lalu berusaha menyeka mulutku untuk memastikan
tidak ada air liur yang keluar selama tidur tadi.
Ketika
melakukannya, Yuigahama tertawa.
“Jangan
khawatir. Kau tidur dengan damai dengan mulut tertutup.”
Untung saja.
Yeah benar. Itu sangat memalukan!
Lagian,
ngapain dia disini...? Takdir sudah memutuskan kalau satu-satunya orang yang
boleh duduk di sampingku adalah Totsuka...Ketika aku melihat sebelahku, Totsuka
terlihat tertidur dengan menghadap arah jendela.
Tapi,
Totsuka terlihat terbangun karena mendengar suaraku, lalu dia menggosok-gosok
matanya.
Menggunakan tangannya untuk menutup mulutnya sehingga menutupi dirinya yang ingin menguap sehabis bangun tidur, Totsuka mengintip ke
arah sekitarnya untuk mengetahui situasinya.
“...Maaf,
aku tertidur.”
“Nah, tidak
masalah. Kau bisa tidur sesukamu. Ketika kita sampai disana, aku bisa
membangunkanmu, mau gunakan bahuku sebagai bantal?”
Paha dan
lenganku juga siap sedia jika kau mau...
“Eh, tidak
lah! Kenapa kamu tidak tidur saja Hachiman, aku akan membangunkanmu!”
Ha ha ha,
manis sekali, aku malah merasa kalau akan ada hal-hal lainnya yang terbangun
nantinya...
Daripada
bingung siapa yang mau tidur atau bagaimana, kenapa kita tidak perang bantal
saja? Dan suasana semacam itulah yang membuat Yuigahama terlihat kesal ke
arahku.
“Tidak,
tidak, kalian berdua, kalian tidur terlalu banyak. Darmawisatanya baru dimulai
dan kalian sudah terlihat seperti ini, memangnya kalian mau ngapain nantinya?”
“Benar juga,
kita harusnya bersenang-senang.”
Totsuka
menjawab Yuigahama dengan nada yang penuh motivasi. Benar sekali, ini masih
hari pertama. Terlalu dini untuk
membuang-buang energi.
Meski
begitu, orang yang bertanya itu, Yuigahama, tampak lelah.
“Sebenarnya,
ada apa denganmu? Apa terjadi sesuatu disana?”
Ditanya
seperti itu, Yuigahama terlihat mengeluh.
“Tahu
tidak...Yumiko dan Hayato bersikap seperti biasanya...Tapi karena Kawasaki
terlihat tidak senang, Tobe ketakutan dan tidak bisa seaktif biasanya dalam
percakapan.”
“Begitu
ya...Kalau Ebina-san sendiri?”
“Ya dia
seperti biasanya...Bahkan, dia terlihat lebih enerjik dari biasanya. Mungkin
karena darmawisata, jadi dia menjadi lebih buruk dari biasanya...”
Oke, dari
nadamu, aku sebagian besar paham ceritanya.
Tobe sendiri
merupakan bencana bagi kemanusiaan. Mungkin lebih tepatnya Kawasaki sendiri
tidak begitu suka dengan Tobe yang ‘banyak bacot’, sedang bagi Tobe dia tidak
tahu harus bersikap bagaimana dengan orang semacam Kawasaki. Dan juga,
Ebina-san seperti berada di sebuah benteng, selevel dengan Death Star. Mustahil
Tobe bisa menembus benteng itu, apalagi dia tidak bisa menggunakan force.
[note: Death Star adalah sebuah benteng angkasa di
Star Wars. Force adalah sebuah kekuatan unik yang dimiliki oleh para Jedi, dari
Star Wars juga.]
Kalau
begini terus, maka bisa dipastikan tidak akan ada perkembangan sama sekali
ketika di Shinkansen. Tampaknya kau sudah dikutuk semenjak memilih tempat di
gerbong ini.
Bagi
seseorang untuk menjadi dirinya, kalau kita kesampingkan situasinya, sebenarnya
sifat orang itu tidak akan berubah. Yang perlu diperbaiki bukanlah
lingkungannya, tapi hubungannya dengan sesama manusia.
“Seandainya
keduanya bisa berduaan tanpa ada yang mengganggu...”
“Aku ragu
itu akan terjadi.”
“Benar...”
Totsuka,
yang mendengarkan pembicaraan kita, menepuk kedua tangannya.
“Ah, Tobe
ya...”
“Huh? Kau
tahu sesuatu Sai-chan?”
“Uh huh. Aku
pernah mendengar soal itu di perkemahan Chiba waktu musim panas lalu.”
[note: Vol 4 chapter 5.]
“Oh, begitu
ya. Maksudku, aku sendiri baru mendengarnya belakangan ini. Kuharap keduanya
bisa bersama. Kalau Sai-chan tahu juga, kenapa tidak ikut membantu juga?”
“Selama aku
bisa membantu, kuharap aku bisa membantu mereka agar cepat ‘jadian’.”
Meskipun
Totsuka mengatakan akan membantu, masalah ini masih terlihat sulit.
Mungkin kau
melihatku tidak pernah mengharapkan orang lain bisa berbahagia, tapi bukan
berarti aku ini suka mendoakan mereka kena musibah. Ini seperti begini, aku
tidak menemukan adanya motivasi di diriku yang membuatku merasa kasihan melihat
si pria ditolak. Meski begitu, aku tidak ingin terlalu jauh soal ini.
Ketika
menyilangkan lengannya dan menganggukkan kepalanya, Totsuka mengatakan “ah”.
“Menemukan
sesuatu?”
Ketika
kutanya, Totsuka menunjuk ke arah jendela.
“Hachiman,
lihat. Itu Gunung Fuji!”
“Oh, kurasa
kita hampir sampai.”
“Di Kyoto
bisa melihat Gunung Fuji, benar tidak?”
Totsuka mendekati jendela tersebut dan
menarik-narik lenganku. Tampaknya dia ingin aku juga melihat ke jendela
tersebut. Aku mengiyakannya dan berusaha melihat pemandangan tersebut lebih
dekat.
Wajah
Totsuka super dekat. Ketika aku semakin
dekat ke jendela, wajah Totsuka yang baru bangun tidur itu berjarak
sangat dekat denganku. Matanya terus memandang ke arah Gunung Fuji, seperti
berusaha membimbingku.
Hooh, jadi
ini Gunung Fuji...
Ketika aku
sedang memikirkan apakah Gunung Fuji akan meletus atau tidak, sesuatu ‘memeluk’
bahuku.
“A-Aku ingin
lihat juga!”
Yuigahama
menekan punggungku menggunakan lengannya yang bersandar di bahuku.
Aku bisa
merasakan kalau bulu kudukku serasa berdiri. Ada sentuhan semacam ini
benar-benar mengejutkanku. Aroma parfum mulai menyebar di udara seperti
menemani gerakannya.
Sentuhan
semacam ini memang tidak adil.
Tapi,
posisiku saat ini sangat menyulitkanku untuk menggoyang-goyangkan tubuhku dan
menjauh darinya, jadi aku tidak punya pilihan lain selain diam saja disini.
“...”
Yuigahama
terdiam ketika melihat pemandangan tersebut. Napasnya yang pendek mulai
terdengar di telingaku.
“Oooh~.
Gunung Fuji sangat cantik~. Yah, sudah habis.”
Setelah
puas, Yuigahama memindahkan dirinya dari punggungku dan duduk di kursi kosong
samping lorong kereta.
“Terima
kasih, Hikki.”
“...Yeah.”
Meski aku
berusaha meresponnya dengan normal, sebenarnya jantungku ini sudah ‘dag dig
dug’. Kenapa dia tega melakukan ini kepadaku, sial! Dengar tidak? Sikap yang
seperti itulah yang membuat para pria menjadi salah paham, dan itu membuat
mereka menggali kuburnya sendiri, tahu tidak? Kalau kau paham, lain kali,
tolong pertimbangkan dengan baik ketika hendak melakukan ‘sentuhan’, ‘duduk di
kursi milik laki-laki ketika jam istirahat atau pulang sekolah’, ‘meminjam
sesuatu dari para pria ketika lupa membawa’, dan hal-hal lainnya.
[note: Jika anda bandingkan dengan respon Hachiman terhadap Yukino, monolog di atas bisa dikatakan ironis!]
Ketika aku
mencoba menyembunyikan rasa maluku dan berusaha menceramahinya, dia malah kabur
begitu saja.
“Kamu
ini...”
“A-Aku akan
pergi kesana, oke!”
Setelah
mengatakan itu, dia berdiri dengan panik dan berlari kecil ke tempat duduk
grupnya.
Dia
kabur...sial, ini malah membuatku tambah frustasi, kesal, merasa terganggu,
tapi juga sangat menyayangkan. Mungkin lebih tepatnya merasa lega.
Tapi, ada
sebuah suara kecil terdengar diantara lenganku.
“U-um...Hachiman, apa kamu sudah selesai?”
Ketika
kulihat, ternyata aku seperti sedang menekan Totsuka. Totsuka mengatakan itu
dengan ekspresi malu-malu sehingga suasana ini agak aneh.
“Ma-maaf.”
Ketika aku
terburu-buru membetulkan posisi dudukku, punggungku tidak sengaja menabrak
sandaran tangan kursi kereta.
“Ughh...”
“Ha-Hachiman, kau tidak apa-apa?”
“Yeah,
jangan khawatir, jangan khawatir.”
Ketika aku
melambaikan tanganku dan memberitahu Totsuka kalau aku baik-baik saja, aku
menyentuh punggungku. Punggungku tidak terluka, tapi sebuah kehangatan yang
tadi kurasakan ternyata tidak hilang begitu saja.
x x x
Perjalanan
menggunakan Shinkansen memakan waktu 2 jam.
Kami turun
di Stasiun Kyoto dan menuju Bus yang menjemput kami sambil ditemani udara musim
gugur yang dingin.
Mendekati
akhir musim gugur, Kyoto terasa sangat dingin.
Tampaknya
musim ini adalah musim paling dingin disini.
Karena letak
Kyoto yang dikelilingi pegunungan, ketika musim panas terasa sangat panas,
sedang musim dingin sangat dingin. Uniknya, perbedaan suhu yang drastis ini
juga menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Kyoto.
Di musim
semi, bunga Sakura mulai mekar di sepanjang area lembah. Dan di musim panas,
pemandangan menyegarkan tersebut menjadikan tepi sungai Kamogawa terlihat
indah. Di musim gugur, pegunungan terlihat berwarna merah karena daun yang
gugur. Akhirnya, di musim dingin saljunya seperti berdansa dan menciptakan
selimut bagi pegunungan disini.
Tampaknya,
jadwal pertama kita hari ini adalah mengunjungi Kuil Kiyomizu.
Setiap kelas
masuk ke busnya masing-masing.
Interior bus
memiliki pengaturan kursi yang sama seperti Shinkansen. Hayama dan Tobe
terlihat duduk berdua dan Miura duduk dengan Yuigahama. Di depannya lagi ada
Ooka dan Yamato, dan didepannya lagi ada Kawasaki dan Ebina-san. Tentunya, yang
terpenting dan mahapenting, aku dan Totsuka duduk bersama.
Tapi,
tampaknya tidak akan ada sebuah kemajuan dalam hubungan Tobe dan Ebina di bus
ini. Tidak seperti Shinkansen, di dalam bus kau tidak bisa duduk dan seenaknya
berpindah ke tempat lain. Lagipula, Kuil Kiyomizu sangat dekat. Mungkin dengan
berjalan kaki akan jauh lebih cepat daripada naik bus.
Bus berjalan
melewati jalan raya yang berada di pinggiran Kyoto, belok kesana-kemari, dan
mendekati sebuah tanjakan di bukit.
Bus kami
berhenti di sebuah tempat parkir besar, tampak banyak sekali bus pariwisata
terparkir disana. Dari sini, kami akan berjalan menaiki bukit dan menuju Kuil
Kiyomizu.
Meskipun sudah lewat tengah musim gugur, masih
banyak sekali turis yang datang. Mau bagaimana lagi, Kuil Kiyomizu memang ramai
terus karena sudah menjadi tujuan wisata utama di berbagai agen wisata.
Banyak yang
berfoto bersama ketika berada di Gerbang Deva Kuil Kiyomizu. Sayangnya, ini
adalah adegan yang tidak bisa aku ‘skip’. Orang yang punya teman akan terlihat
solid sedangkan serigala kesepian seperti diriku akan mempertanyakan arti
keberadaanku disini.
Ada 3 jurus
dalam situasi ini.
Jurus pertama
: menjaga jarak.
Kau bisa
katakan kalau ini adalah jurus untuk pemula. Meski sederhana, efeknya sangat
luar biasa. Ambillah jarak seperlunya ketika hendak difoto dengan teman
sekelasmu. Masalah yang perlu kau hadapi hanyalah tanda tanya dari orang tuamu
ketika melihat album kelulusanmu kelak. Juga, ini bagus bagi dirimu jika hendak
mengingat seperti apa dirimu di masa lalu. Sangat direkomendasikan untuk segera
membuang album sekolahmu dan foto-foto yang terkait.
Jurus kedua:
gerilya
Ketika
hendak difoto, kau pura-pura membaur seolah-olah mereka ini teman baikmu semua.
Jangan lupa pasang senyum palsu, dan sedikit terlihat tertawa ketika difoto.
Metode ini sangat sukses untuk menghilangkan tanda tanya di album kelulusan,
tapi memberikan tanda tanya besar ketika foto diambil. Orang-orang akan berkata
“Orang ini tiba-tiba ‘gaul’ ketika mau difoto, benar tidak?(ahaha)” dan hatimu
mulai terbakar secara perlahan.
Jurus
ketiga: bertarung.
Kau berusaha
membuat tubuhmu sangat dekat, bahkan ‘mepet’ dengan orang-orang di sekitarmu.
Dan akhirnya, kau hanya akan berada di bawah bayang-bayang seseorang, terutama
ditutup oleh orang yang ada di depanmu. Tentunya, tubuhmu tidak akan terlihat
sepenuhnya, setidaknya fotomu ada disana. Itu akan menjadi sebuah kenang-kenangan
dimana Ibumu sendiri tidak akan bertanya lebih jauh tentang gambar itu.
Gambarnya mungkin tidak sempurna dalam menampilkan dirimu, tapi ada sebuah
keindahan dalam gambar tersebut. Tapi kendala jurus ini, adalah si kameraman.
Jika dia mengatakan “aah, kau yang di depannya, tolong geser sedikit karena
orang di belakangnya tidak kelihatan”, maka ini bisa mengacaukan rencanamu.
Aku putuskan
untuk memakai jurus ketiga dan mencari posisi yang bagus. Hmm, pria dengan
tubuh besar akan berguna, seperti Yamato.
Aku lalu
menerobos barisan, dan berdiri di belakang Yamato.
Suara kamera
berbunyi beberapa kali. Dengan begitu sesi pengambilan gambar siswa sekelas
selesai, dan menuju kegiatan pertama kita.
Kami menaiki
tangga batu ini. Ketika melewati gerbang, kami terpesona dengan lima pagoda
besar yang terlihat selama perjalanan. Karena kita juga sedang mendaki bukit,
kami bisa melihat pemandangan Kyoto yang membuat kami kagum.
Banyak
sekali turis dan siswa sekolahan semenjak melewati gerbang masuk. Kami akhirnya
tiba di pintu masuk kuil. Tapi, tampaknya akan memakan sedikit waktu...Saat
ini, ada beberapa kelas di depan kita tampak mengantri di pintu masuk.
Aku menunggu
di tempat kosong, dan ada sebuah suara memanggilku.
“Hikki!”
Yuigahama keluar
dari barisan dan mendekatiku.
“Ada apa?
Pergilah mengantri atau kau akan ditendang dari antrian. Begitulah cara kita
hidup selama ini.”
“Kau terlalu
membesar-besarkan...Ngomong-ngomong, kita tampaknya tidak akan mendapatkan
sebuah kemajuan dalam waktu dekat. Aku sepertinya menemukan sesuatu yang
menarik, ayo kesana!”
“Nanti ya.”
Aku tidak
bisa multitasking. Aku hanyalah manusia yang ingin melakukan apa yang ada di
depanku sebelum melakukan hal yang lain.
Yuigahama
tampak tidak menyukai kata-kataku
“...Apa kamu
lupa pekerjaan kita?”
“Aku ingin
melupakan pekerjaan ketika darmawisata, itulah keinginanku...”
Meski
begitu, sikapku yang jujur itu tidak mampu mempengaruhinya. Yuigahama lalu
menarik blazerku.
“Aku sudah
memanggil Tobecchi dan Hina, jadi ayo buruan!”
Aku ditarik
begitu saja dan kami tiba di sebuah kuil kecil yang berada di samping pintu
masuk bagi turis.
Ketika kau
jalan ke samping, kuil ini mulai terlihat. Tapi kalau dibandingkan dengan kuil
utama, memang terlihat agak jauh sehingga banyak turis tidak mempedulikan kuil
ini. Kurasa, ini bukanlah hal yang langka disini.
Biksu tua di
depan kuil itu berkata: ‘Kau akan diberkati oleh Tuhan ketika menyusuri lorong
gelap kuil dan kembali lagi’.
Ketika
Yuigahama mengatakan itu, Ebina-san dan Tobe sudah bertanya dahulu tentang
manfaat yang diperoleh dari masuk ke kuil itu ke Biksu tua tadi.
Ngomong-ngomong, ternyata Miura dan Hayama ada disini juga.
“Ngapain
mereka disini?”
Aku mencoba
bertanya kepada Yuigahama dengan nada yang rendah. Lalu, dia berbisik kepadaku.
“Kalau aku
cuma mengundang mereka berdua, mereka akan curiga.”
“Hmm, masuk
akal...”
Memang,
kalau cuma mereka berdua, mereka akan bersikap abnormal tanpa ‘penjaganya’.
Tobe akan menjadi gugup dan Ebina-san akan menjadi lebih waspada.
“Ayo, ayo
kita pergi.”
Yuigahama
terus memaksa dan setelah kami melepas sepatu kami, kami membayar 100 yen per
orang. Eh, lu serius kita harus bayar
buat ginian?
Aku mencoba
mengintip ke ujung tangga yang mengarah ke bawah tanah ini, gelap banget! Kalau di game RPG ada
semacam dungeon bawah tanah, mungkin rasanya ya seperti ini.
“Hmm Oke,
Yumiko dan Hayato pergi duluan. Kami akan mengikuti di belakangmu.”
“Kita tidak
punya banyak waktu, jadi ada baiknya kita buat jeda antar grupnya pendek-pendek
saja.”
Merespon
saran Yuigahama, Hayama menjawabnya dengan logis. Karena kita kabur dari
antrian dan kesini, mungkin itu terdengar masuk akal. Yeah, tapi bukankah
harusnya dia bilang “kalian ikuti kami secara perlahan dari belakang”. Entah
mengapa...jawaban Hayama tadi terkesan setengah hati, tapi tidak ada satupun
yang keberatan.
“Yeah, kau
benar.”
Ebina-san
tampak setuju dengan pendapat Hayama. Kampreeet,
sekarang gue terlihat seperti pria yang dari tadi memikirkan Hayama,
malu-maluin banget!
“Yeaa,
kupikir ini enggak akan makan banyak waktu, jadi kita enggak usah buru-buru.
Benar tidak, Ebina. Hayato juga.”
Ebina-san
menyilangkan lengannya dan memirinkan kepalanya, tapi Tobe terlihat tertawa dan
memegangi rambut panjangnya.
“Benar.
Tapi, mungkin ada bagusnya kita cepat-cepat selesaikan ini. Hanya untuk
jaga-jaga.”
Setelah
Hayama menjawabnya dengan senyum, Miura memeluk lengannya.
“Kalau
begitu, ayo kita pergi Hayato. Tampaknya sangat menarik. Kami akan pergi
duluan.”
Begitulah
kata Miura dan dia bersama Hayama berjalan menuruni tangga.
“Oh sial,
kalau gelap kek gitu, aku harus tetap semangat!”
“Uhmm...Hah,
sebuah lorong gelap...Hayato dan Hikitani harusnya masuk berdua tadi...”
Meninggalkan
kata-kata tersebut, Tobe dan Ebina-san mulai masuk ke bawah tanah. Amin, untungnya Hayama sudah masuk duluan
dan ada jarak yang jauh antara Hayama dan diriku...
“Oke Hikki,
ayo kita masuk.”
“Yeah.”
Kami mulai
berjalan menuruni tangga dan ketika berbelok di tikungan, kegelapan mulai
menyelimuti kami. Selangkah dari itu, cahaya sudah terasa tidak ada lagi di
depan kami.
Entah kita
membuka mata kita atau menutup mata kita, kegelapan yang pekat ini tidak akan
berubah. Ini seperti sebuah perpanjangan tangan dari neraka. Kita berjalan
seperti meraba-raba depan kita menggunakan kaki kita. Kalau kau melihat kita
dari samping, mungkin kau akan serasa melihat pinguin.
Kehilangan
indra penglihatan, membuat indra yang lain menjadi lebih tajam.
Suara Miura
dan yang lainnya terdengar beberapa langkah di depan kita.
Celotehan
Miura terdengar seperti biksu yang berdoa dengan nada yang tidak teratur, ini
malah membuat suasana disini tambah menakutkan.
“...Ya
ampun. Gelapnya, sangat gelap, gelaaaap.”
“Ini luar
biasa.”
Hayama
berusaha meresponnya.
“Whoaaa, ini
super gelap, ini buruk sekali, ini benar-benar terjadi, kegelapan ini menjadi
maksimal...”
Tobe membuat
suara berisik seperti berusaha membuatnya berani. Di dekatnya terdengar suara
yang meresponnya “benar kan...”.
Mungkin
tidak hanya pendengaranku saja yang terkesan lebih tajam dari biasanya.
Indra
perabaku juga menjadi lebih sensitif.
Udaranya...Karena
kita telanjang kaki, lantainya terasa sangat dingin. Rasa dingin ini seperti
menjalar ke kulit kami dan ini tampaknya bukanlah sebuah kedinginan. Ini adalah
sebuah ketakutan. Hal-hal yang tidak bisa
kita lihat, hal-hal yang tidak bisa kita pahami, hal-hal yang tidak bisa kita
gambarkan, dan hal-hal yang tidak bisa kita kenali akan membuat kita merasa
ketakutan dan tidak nyaman.
Tiba-tiba,
tanganku yang meraba-raba pinggir lorong terkesan menyentuh dinding yang
hangat. Karena terkejut, aku berhenti mendadak. Dan setelahnya, sesuatu
menabrakku dari belakang.
“Waah! Ah,
maaf. Aku tidak bisa melihat depanku.”
Pemilik
suara itu adalah Yuigahama. Dia tidak bisa melihat apapun, jadi dia meraba-raba
belakang punggungku hanya untuk memastikan aku ada disana.
“Nah, ini
salahku juga. Aku tidak benar-benar bisa melihat dalam kegelapan ini...”
Mau
bagaimana lagi, ini sangat gelap sekali.
“Hikki, kau
sangat pendiam sekali...Kupikir kau hilang atau bagaimana.”
“Aku memang
harusnya terlihat menghilang sepanjang waktu.”
Setelah
berjalan beberapa langkah, ada sesuatu seperti batu hitam terlihat di depan
kami.
Batu itu,
mendapatkan sedikit cahaya dari langit-langit. Tampaknya batu ini seperti habis
berubah posisi.
Setelah
mendekati batu tersebut, akhirnya aku bisa melihat wajah Yuigahama secara
jelas.
“Kalau tidak
salah, kita harusnya membuat sebuah permohonan sambil memutar batu ini.”
“Hmm.”
Sebenarnya
tidak ada yang kuinginkan. Penghasilan
stabil, rumah tangga yang harmonis dan kesehatan yang baik tampaknya sudah
semuanya bagiku. Oh, itu banyak sekali!
[note:Ini pernah diucapkan Hachiman di vol 5 chapter
6 tentang rumah tangganya kelak: Punya istri yang bisa bayar tagihan, istri
pintar memasak, dan istri pintar mengurus anak.]
Tapi,
memohon sesuatu ke Tuhan untuk hal-hal yang bisa diperoleh dengan usaha sendiri, terdengar seperti sesuatu yang tidak benar untuk dilakukan. Biasanya, hal-hal semacam itu sudah bisa kaudapatkan
dengan bekerja keras. Kalau berdoa seperti saat ini, kurasa lebih baik memohon kepada Tuhan sesuatu hal yang
tidak bisa kau dapatkan dengan bekerja keras.
[note: Monolog Hachiman ini menyindir kebiasaan
manusia yang selalu meminta ke Tuhan apa yang bisa didapatkan mereka dengan
bekerja keras.]
“Sudah
putuskan mau berdoa apa?”
“Yeah.”
Aku
menjawabnya begitu, tetapi aku tidak benar-benar memutuskan sesuatu...Apa ya,
kurasa mendoakan kesuksesan Komachi di ujian masuk SMA.
“Oke, ayo
kita putar batunya.”
Aku memutar
batu yang mirip meja rumah makan masakan China. Yuigahama terlihat menutup
kedua matanya, oi...serius amat.
Setelah
memutar batu tersebut, dia menepuk kedua tangannya dua kali. Bodoh, kau kira
kita sedang berdoa di kuil?
“Oke, ayo
pergi!”
Yuigahama
tiba-tiba termotivasi, dia lalu mendorongku dari belakang dan kita kembali
masuk menyusuri kegelapan lorong.
Tapi, tidak
lama kemudian kita bisa melihat sebuah tanda ‘Keluar’. Tampaknya batu tadi
adalah ujung dari perjalanan.
Ketika
menaiki tangga, cahaya yang menyinari kita mulai terasa sangat nostalgia.
Bersama
dengan mereka yang berjalan lebih dulu, melihat cahaya matahari merupakan
sebuah kelegaan.
“Bagaimana?
Rasanya seperti terlahir kembali, ya?”
Pak tua yang
berada di resepsionis itu bertanya dengan logat Kansai.
“Maaan, aku
serasa berjalan melewati cakrawala, tahu tidak...Jadi ini ya rasanya terlahir
kembali?”
Luar biasa,
dia tampak tidak ada bedanya seperti sebelum masuk ke kuil.
Aku lalu
menatap ke arah arlojiku. Kurasa kita sudah masuk selama 5 menit.
Aku tidak
cukup bodoh untuk yakin 5 menit adalah waktu yang cukup bagiku untuk terlahir
kembali. Aku tidak akan begitu saja terlahir kembali jika aku berjalan ke India
atau mendaki Gunung Fuji. Meski aku terlahir kembali, bukan berarti aku bisa
merubah hal-hal yang sudah kulakukan hingga saat ini. Tidak peduli bagaimana
hatiku selama ini berubah, pandangan orang-orang sekitarku kepadaku,
kegagalanku di masa lalu, dan hal-hal yang tidak bisa kuperbaiki tidak akan
berubah.
Ada sebuah
hal yang disebut sejarah manusia. Manusia bertambah kuat dengan belajar dari
kesalahan masa lalu. Oleh karenanya, yang bisa kau lakukan adalah terus
berusaha untuk hidup, membawa luka itu dalam tubuhmu dan membebani punggungmu
dengan dosa-dosa yang sudah kau lakukan, tanpa berharap akan reinkarnasi
kembali.
Keinginanmu
untuk merestart kembali kehidupanmu tidak akan terdengar oleh siapapun.
Namun, Tobe
sendiri sudah berapa kali gagal dalam kehidupannya? Jika dia sudah banyak
mengalami kegagalan seperti diriku dan masih punya sifat optimis serta mau
melangkah maju, maka aku harusnya menaruh respek yang tinggi terhadapnya.
Mungkin, itu
bukanlah masalah yang sebenarnya.
Sebenarnya,
aku menginginkan itu terjadi...Aku tidak ingin tugas ‘mensupportnya’, membantu
pria yang punya trauma masa lalu ini sukses menghilangkan kutukannya. Aku tidak
mau dia menjadi pria yang menghancurkan masa lalu kelamnya dan dia bisa
tertawa, dan nantinya terlihat keren...
“Ah, tunggu,
ini buruk sekali! Yang lain mungkin sudah masuk duluan!”
Yuigahama
mengatakan itu sambil menatap ke arah pintu masuk.
“Whaa, kita
punya banyak waktu.”
Mungkin ada
benarnya. Dari kejauhan, kau masih bisa melihat antrian siswa kelas 2F mulai
berjalan mendekati pintu masuk.
“Ayo,
cepat!”
Dengan
Yuigahama berusaha membujuk kita untuk bergabung dengan kelas, kami mulai
berjalan dengan terburu-buru untuk bergabung dengan barisan antrian.
x x x
Kami berhasil bergabung dengan kelas kami
sebelum mereka masuk ke kuil utama. Kami lalu masuk lewat pintu utama. Benda-benda sejarah seperti patung Dewa
Kesehatan, dan Sandal Besi dengan Tongkat Sihir, dipajang disana. Tempat ini
sangat ramai sekali, jadi sangat sulit sekali untuk mendekati objek yang
dipamerkan itu.
Banyak
sekali turis yang diam dan mengambil foto.
“Waah, luar
biasa...”
Yuigahama
menaruh kedua tangannya di pagar dan melihat pemandangan di samping kuil utama.
Pemandangan musim gugur di pegunungan sekitar Kyoto. Sebenarnya, bagaimana
pemandangan ini terlihat beberapa ratus tahun lalu? Meski bentuk kota Kyoto
sendiri berubah, sensasi yang kau dapatkan dari menatap pemandangan dari tempat
setinggi ini tampaknya tidak akan berubah.
Kyoto adalah kota dimana hal-hal yang berubah
dan tidak berubah bisa terlihat dengan harmonis.
Aku bisa
melihat alasan utama turis disini menjadikan kota ini tempat wisata utama,
meskipun sedikit.
Aku menatap
pemandangan ini dengan kagum hingga Yuigahama memanggilku.
“Hikki, ayo
ambil foto!”
Dia
mengambil kamera digital dari kantongnya. Kamera kecil dan berwarna pink, ini
memang Yuigahama-banget.
“Gambar?
Oke, kasih kepadaku.”
“Huh?”
Dengan penuh
tanda tanya, Yuigahama memberikanku kameranya. Aku lalu mengambil jarak
beberapa langkah dan mengarahkan kameranya.
“Oke,
kacaaaang!”
Ketika aku
menekan tombolnya, Yuigahama membentuk tanpa ‘peace’ dengan tangannya.
“Lihat ini,
untung saja aku punya ‘tangan kamera’ yang handal, aku bisa dapat gambar yang
bagus.”
Ketika aku
mengatakan itu, aku memberikan kameranya ke Yuigahama dan dia langsung melihat
gambarnya. Kamera digital memang nyaman karena kamu langsung bisa lihat
hasilnya setelah mengambil gambar. Tapi tidak enaknya: kalau terlihat jelek,
maka akan diulang lagi.
“Benarkah?
Ah, gambarnya memang bagus, tunggu dulu! Maksudku, apa-apaan yang kau katakan
tadi!?”
“Eh, masa
enggak tahu? Warga asli kota Chiba biasanya mengatakan itu ketika mengambil
gambar.”
[note: Chiba terkenal akan produksi
kacang-kacangannya. Jadi Hachiman berpikir lumrah kacang>cheese bagi warga
Chiba.]
“Maksudku
bukan itu...Maksudku, ini kan kesempatan langka, jadi ayo kita ambil gambar
berdua.”
Alasan
semacam itu memang sangat sulit ditolak. Lagipula, kalau aku katakan alasanku
menolak karena takut jiwaku disedot masuk ke gambar di kamera akan terasa aneh.
Ya sudahlah, ini juga kegiatan yang jarang-jarang. Karena aku sendiri tidak
bawa kamera, kurasa yang paling logis adalah memakai kamera orang lain.
“Ya sudah,
aku sendiri tidak masalah. Aku akan cari orang untuk memintanya mengambil
gambar kita.”
“Tidak
perlulah, karena kita bisa mensiasatinya.”
Ketika dia
mengatakan itu, Yuigahama berdiri disampingku. Lalu dia menaikkan kameranya
menggunakan tangannya.
“Kupikir
kita harus lebih dekat lagi atau gambar kita tidak akan masuk sepenuhnya...”
Secara
perlahan, jarak antara Yuigahama dan diriku menjadi tidak ada. Kedua lengan
kami bersentuhan agar menghemat layarnya.
“Oke.
Cheese!”
Lalu disertai
suara yang berisik dan lensa kamera yang aktif.
Mataku
terasa pusing terkena flashlightnya. Tampaknya mataku akan terlihat lebih busuk
daripada biasanya.
Lalu,
Yuigahama menjauh dariku.
Setelah
beberapa langkah, dia lalu membalikkan badannya.
“Terima
kasih ya.”
“Kau tidak
perlu berterima kasih atau semacam itu.”
Mengambil
gambar bukanlah hal yang luar biasa.
Bahkan, aku
bisa melihat banyak sekali siswa disini yang berpose dan mengambil gambar.
Berfoto ria merupakan hal yang wajar bagi bocah-bocah SMA saat ini. Ini untuk
foto kenang-kenangan, jadi bukan masalah besar. Siswa dan siswi tampak
mengambil gambar bersama-sama, kurasa cukup lumrah.
Mungkin aku
terlalu memikirkan yang macam-macam.
[note: pikiran serupa ada di vol 10.5 dimana Iroha
memaksa Hachiman berfoto dengannya di kafe. Sebenarnya kalau jeli, darmawisata
ini dimanfaatkan Yukino, Yui, dan Ebina untuk ‘aji mumpung’ berdekatan dengan
Hachiman.]
“Hei,
Yumiko, Hina, ayo kita ambil gambar!”
Yuigahama
menarik Miura dan Ebina-san sehingga mereka bisa mengambil gambar. Gambar
ketiganya yang sedang bergembira.
“Hayato dan
yang lainnya, ayo kita berfoto!”
Ketika dia
memanggil Hayama dan disekitarnya untuk mendekat, semuanya ikut bergabung.
Tobe, Ooka, dan Yamato bergabung juga.
“Oooh, yea,
ayo kita berfoto!”
“Aah, benar
juga...tapi, ini agak ramai.”
Hayama
melihat ke sekitarnya dan tertawa.
“Ah, kalau
begitu kita foto-foto antar grup dulu...”
Yuigahama
memberikan saran itu, tapi tampaknya tidak terdengar oleh Hayama. Lalu Hayama
berjalan menuju ke arahku, dan memberikanku kameranya.
“Bisakah aku
minta tolong untuk mengambilkan gambar kami?”
“...Ah,
tentu.”
Setelah aku
mengambil kameranya, tiba-tiba di samping Hayama sudah berkumpul beberapa siswa.
“Eh, bisakah
kau lakukan juga untukku?”
“Hikitani,
ambilkan fotoku juga doong~”
“Aku juga
lah!”
“Aaah, aku
juga ya!”
Woi woi, tunggu sebentar. Aku tadi bilang
untuk mengambilkan foto Hayama saja! Miura, Tobe, Ebina, ooka, hei, hei...kenapa
malah tambah banyak?
Dipercaya untuk
memegang banyak sekali kamera, aku tidak punya banyak pilihan kecuali
menerimanya.
“Maaf.
Hachiman, bisakah kau ambil fotoku?”
“Oh yeah,
serahkan padaku!”
Kalau
Totsuka sih, tidak masalah. Sebuah foto yang membangkitkan semangatku!
“...Ah,
Hikki, maaf. Bisa ambilkan juga lewat kameraku?”
Yuigahama
datang kepadaku dan memberikan kameranya.
Hmm, mungkin
ini adalah strateginya agar Tobe dan Ebina punya gambar berdua. Maka dari itu
dia membuat foto-foto ini agak lama...Masuk akal juga jika ini disebut sebagai
keuntungan datang ke lokasi yang sama untuk siswa sekelas. Tidak lupa jika
seseorang meminta untuk mengambil gambar grup bersama dengan semua orang, maka
itu sebuah permintaan yang sulit untuk ditolak.
Ketika aku
mengambil kameranya, aku mengatakan dengan pelan kepadanya.
“Baiklah.
Besok, rencanakan yang lebih baik dari ini.”
“Yeah...”
Setelah
menjawabku dengan singkat, Yuigahama kembali ke barisan grupnya yang sudah
menunggu di dekat pagar. Aku sendiri menyiapkan diriku untuk mengambil foto
mereka.
Meski begitu, kamera yang ada di tanganku
ini sangat banyak. Jumlah kamera ini kalau dihitung-hitung, hampir dua digit!
Yaay, aku seperti
menjadi super populer disini.
Lagian,
setelah satu foto diambil, kenapa kalian tidak share saja di facebook atau
semacamnya, sial! Hal-hal semacam inilah harusnya kalian manfaatkan untuk
mempelajari guna sosial media di internet.
“Baiklah,
siap-siap ya, aku akan mengambil gambarnya...Oke, kacaaang!”
Oke, oke,
kacang, kacang...Aku mulai mengambil gambarnya satu persatu.
Ketika aku
mulai mengambil foto dengan kamera yang berbeda-beda, aku melihat ekspresi
Yuigahama tampak berubah-ubah di tiap gambarnya. Tampaknya dia berusaha
menikmati setiap momen ini dengan berganti ekspresi ataupun bahasa tubuh.
Untungnya kamera modern jaman sekarang ada fungsi auto fokus sehingga aku tidak
repot-repot mencari fokusnya.
Miura
berpose seperti dia sangat familiar dengan sesi pengambilan foto, ekspresi di wajahnya
tidak pernah berubah meskipun pose tiap gambarnya berbeda.
Hayama
bersikap seperti biasanya, tidak membuat pose yang aneh-aneh. Dia tampak cukup
bagus.
Tobe tampak
natural, sedangkan Ebina-san hanya tersenyum saja. Senyuman yang belakangan ini
sering kulihat. Dia seperti bintang
utama di gambar ini, tapi entah mengapa aku melihat sebuah ketakutan terpancar
di wajahnya.
Setelahnya,
kami lanjut ke kegiatan selanjutnya yaitu mengobservasi kompleks kuil.
Para siswa
terus berjalan menuju Kuil Jishu.
Kuil Jishu
berlokasi di belakang Kuil Utama Kiyomizu. Terkenal karena mitos ‘bisa
melancarkan jodoh’, menjadikannya tempat populer bagi para turis. Kalau kau
lihat ada turis muda datang ke Kuil Kiyomizu, 99.99% mereka pasti akan
mengunjungi tempat ini.
Dalam kasus
kita, karena kita adalah anak muda yang sedang darmawisata, maka sudah bisa
dipastikan kalau tempat itulah yang akan kita tuju dan akan menjadi tempat yang
sangat berisik.
Setelah
selesai melakukan kegiatan di kuil, biasanya mereka akan membeli jimat
keberuntungan ataupun ramalan.
Karena aku
tidak menginginkan apapun, jadi aku mengaktifkan skill spesialku “Skill Spesial
– Mengikuti tanpa diketahui”. Maksudku, aku sebenarnya tidak masalah beli
beberapa kertas ramalan, tapi biasanya hal-hal semacam itu akan seru jika kau
punya teman untuk ditunjukkan. Jadi, hal-hal semacam itu tidak berlaku untuk
penyendiri sepertiku.
Aku lalu
keluar dari barisan siswa secara diam-diam dan mengamati siswa di kelasku.
Atraksi yang paling menarik perhatian jelas “batu peramal percintaan”.
Ketika
kulihat baik-baik, banyak sekali gadis yang mencoba atraksi itu. Teman-teman si
gadis seperti menjadi bodyguard agar tidak ada yang mengganggu prosesnya.
Sebenarnya
itu semacam mitos dimana jika kau bisa berjalan ke batu yang lain dengan mata
tertutup, maka kisah asmaramu akan menjadi kenyataan.
[note: Di kuil Jishu ada 2 buah batu besar yang
berbeda bentuk dan berjarak agak jauh. Mitosnya, jika kamu bisa berjalan dari
batu yang satu ke batu yang lainnya dengan mata tertutup, maka urusan jodohmu
akan dilancarkan.]
Logikanya
begini, ini seperti permainan menghancurkan semangka di pantai. Untuk bisa
berjalan dengan lancar, kau butuh arahan dari pacarmu sehingga itu bisa membuat
hubunganmu menjadi lebih dekat.
Tapi setelah
kulihat lebih dekat, ada seorang wanita dengan jubah lab berwarna putih
berhasil berjalan dengan menutup matanya, dan penonton di sekitarnya tanpa
henti bertepuk tangan kepadanya. Guru BK kami tampaknya sangat menarik...
Setelahnya,
para gadis satu-persatu mencoba atraksi itu dan para pria mengintip mereka.
Jika ada gadis yang mencoba atraksi itu, para pria pasti akan berpikir “Sial,
ternyata cewek ini sudah punya orang yang dia suka! Eh, mungkinkah itu aku?”
dengan disertai galau yang luar biasa. Tunggu dulu, bukankah aku juga pernah
merasa seperti itu? Punya ekspektasi bukankah hal yang buruk. Selama kau tidak
mengatakannya ke orang itu, maka tidak ada yang akan merasa terbebani.
Dan
begitulah yang kupikirkan hingga aku melihat Tobe, dia mengantri untuk
mencobanya juga.
“Wah bro,
serius ini, gue akan kelarin sekali jalan!”
Dengan
sebuah pernyataan seperti itu, Oooka dan Yamato yang berada di dekatnya
berusaha menyemangatinya, keduanya bertepuk tangan membuat suasananya menjadi
gaduh. Merespon sikap mereka, Tobe yang sudah tiba gilirannya untuk berjalan
mulai menutup matanya menuju batu selanjutnya.
“Sial nih,
gue kemana? Eh? Lurus terus apa belok dikit?”
Dia meminta
saran ke Ooka dan Yamato, tapi mereka malah mempermainkannya.
“Lurus aja
terus.”
“Tobe,
belakangmu!”
“Serius?
Belakang gue!?”
Dia lalu
membalikkan badannya.
“Tidak perlu
membalikkan badanmu, matamu yang tertutup itu membuat posisimu semakin
amburadul...”
Hayama sudah
pesimis ketika mengatakannya. Suasana kuil ini menjadi dipenuhi gelak tawa,
suasana yang menyenangkan.
Memang
menyenangkan jika bisa bersenang-senang. Kurasa Ebina-san tidak perlu
mengkhawatirkan soal requestnya.
Ketika
memandangi ketiga idiot itu, Yuigahama tampaknya memiliki pemikiran yang sama
denganku ketika menepuk pundak Ebina-san.
“Hina,
mereka tampaknya bersahabat dengan baik, bukankah itu lebih dari cukup?”
“Yeah,
kupikir begitu...Tapi aku tidak akan percaya begitu saja.”
Ebina-san
meresponnya sambil menatap ke arah bawah. Pada akhirnya, aku tidak bisa melihat
seperti apa hal yang dia sembunyikan dibalik lensa kacamatanya. Yang bisa
kuyakini hanyalah nada suaranya yang berbeda dari biasanya.
Yuigahama
melihat ke Ebina-san, yang sangat jarang terlihat tidak bersemangat.
“Eh? Apa
maksudmu?”
Seperti
hendak memotong kata-katanya, Ebina-san menegakkan pandangannya , dan menaikkan
kepalan tangannya.
“Ayolah!
Kita harusnya bisa melihat yang lebih dari ini di darmawisata!”
Memangnya
apa yang ‘lebih dari ini’?
Pada
akhirnya, tampaknya Tobe menerima bantuan Hayama ketika dia hendak terjatuh.
Ketika semua
antusiasme ‘batu cinta’ selesai, siswa-siswa 2F tampak membeli kertas ramalan.
“Yes, aku
dapat!”
Miura
berpose ‘sukses’ dengan seluruh keceriaan ada di wajahnya. Ketika Yuigahama
mencoba mengintip apa yang didapat Miura, dia juga terkejut.
“Whoa! Itu
luar biasa, Yumiko!”
“Kau dapat
‘keberuntungan besar’ ya~”
Ebina-san
tampak berada di sampingnya dan menepuk pundaknya.
“Ya Tuhan,
entah aku harus mengatakan ini apa? Tapi, ini cuma kertas ramalan. Harusnya
tidak perlu ditanggapi serius.”
Miura
mencoba merendahkan diri, tapi ekspresinya terus diliputi rasa senang. Dia lalu
melipat kertas ramalan itu dan menaruhnya di dompetnya seperti sebuah hal yang
penting. Hal-hal semacam inilah yang membuat seorang gadis terlihat manis.
“Tapi
tahulah, ini kan begini. Kalau ada diantara kita yang mendapatkan keberuntungan
besar, bukankah itu artinya akan ada yang dapat ‘apes’ diantara kita?”
“Ah?”
Tobe mencoba
mengatakan itu tapi yang dia dapatkan hanyalah ‘tatapan kematian’ dari Miura. Oi oi, dia sangat menakutkan, serius ini!
Lalu Tobe mencoba untuk
mencairkan suasananya dengan berkata “Oh iya, keberuntungan besar itu juga
sangat langka”.
Tobe
berusaha membuat dirinya ‘aman’.
Kadang
banyak sekali orang seperti itu. Orang-orang yang merusak kegembiraan orang
lain.
Tapi yang
dia katakan tadi yaitu ketika ada orang yang sudah mengambil jatah
‘keberuntungan besar’ maka itu berarti akan ada orang yang kebetulan
mendapatkan kebalikan dari itu. Dan yang dia katakan mulai terlihat ada
benarnya.
“Aww, aku
dapat kesialan yang besar!”
Ebina-san
mengatakannya dengan suara yang sedih.
“Oh mungkin
begini. ‘Sial’ itu ya pas dapat ramalan ini. Selanjutnya, yang kau dapat ya
hal-hal yang bagus, begitu kan?”
Setelah
mencandai Miura soal ramalan keberuntungannya, tanpa memakai logika, Tobe
berusaha menghibur ramalan sial yang diterima Ebina-san.
Hmm,
meskipun aku tidak membantu, tampaknya dia memang berusaha keras.
...Kupikir
ada baiknya aku memberinya bantuan.
“Kenapa
kalian tidak ikat saja kertas ramalan sial itu dengan yang dapat ramalan
beruntung, lalu taruh ramalannya di tempat tinggi.”
Aku lalu
menatap ke arah Tobe dan dia tampaknya mengerti maksudku. Dia lalu menjulurkan
tangannya ke Ebina-san.
“Oh,
be-benar juga. Sini kasih aku kertasnya.”
“Te-Terima
kasih. Wah untungnya ada anak cowok yang mau.”
Ebina-san
memberikan kertas sialnya itu ke Tobe. Tapi jika arti ‘untung ada anak cowok’
adalah ‘dia pria baik’, maka ini akan berujung buruk bagi Tobe.
Setelah ini,
kegiatan kita hanyalah mengikuti jalur wisata di kompleks kuil ini hingga
selesai.
Ketika aku
berjalan, aku melihat ada sebuah jalan kecil yang menuju areal suci di kuil
utama dan punya pemandangan air terjun Otowa yang indah.
Air terjun
ini merupakan inspirasi nama dari kuil Kiyomizu, atau bisa dikatakan namanya
adalah ‘air ajaib’.
[note: Kiyo = murni, mizu = air.]
Ada antrian
panjang turis yang hendak menuju air terjun, antrian terbagi menjadi 3 baris.
Ini mirip
seperti Disney Land saja.
Tiba-tiba
ada yang memukul kepalaku.
“Jangan
keluyuran saja!”
“Apaan sih?
Kita kan enggak diwajibkan bergerak dalam grup di hari pertama, jadi tidak
masalah...”
Ketika aku
mengelus-elus kepalaku yang habis dipukulnya, aku melihat ke arahnya dan di
belakangnya ada Miura dan teman-temannya.
“Oh, ini
aliran dari sungainya ya? Tampaknya sungainya bercabang tiga.”
Ya
begitulah, komentar dari Tobe.
“Sungai itu
asalnya dari Air Terjun Otowa.”
Ketika
Hayama menjawabnya, Yuigahama membuka buku panduan wisatanya dan mulai membaca.
“Umm,
mitosnya nilai akademismu, percintaanmu, dan panjang umur akan diberikan
keberkahan oleh air itu.”
...Begitu ya, ini menjelaskan dengan jelas
mengapa aku bisa melihat Hiratsuka-sensei ikut berbaris di depan dengan membawa
galon air yang kosong. Kau ingin membawanya pulang ke rumah?
Tapi apakah
memang benar-benar begitu khasiatnya? Aku tidak melihat tulisan semacam itu di
sekitar sini. Yang kulihat hanyalah ada tulisan ‘Ketiga aliran sungai ini
sumbernya sama’.
Setelah 15
menit mengantri, tibalah giliran kami. Guru pembimbing kelas kami mengatakan
jangan terlalu banyak mengambil airnya.
Semuanya terlihat
mengobrol gembira ketika mencicipi airnya dari sendok besar.
Yuigahama
yang berada di depanku, tampaknya mencoba mengambil air yang mengalir di tengah
air terjun. Dia menjulurkan sendok airnya dan mengambil beberapa air dari air
terjun. Dia lalu mencicipi airnya secara perlahan dan memindahkan rambut di
telinganya ke belakang agar tidak kena ke air.
“Ah, ini
luar biasa. Sangat menyenangkan...”
Setelah dia
selesai meminum, dia merasa sangat lega. Ini memang air yang mitosnya sudah
dipercaya dari generasi ke generasi. Rasa airnya memang biasa, tapi dibumbui
mitos itu yang membuatnya berbeda. Tapi kalau dipikir logis, ini cuma air
pegunungan biasa yang sedang berada dalam musim gugur. Jadi rasa dingin airnya
membuat tenggorokan serasa lebih segar.
Aku lalu
mengambil sendok air dari rak yang tertulis ‘sudah disterilkan’.
“Ini,
Hikki.”
Yuigahama
mencoba menghentikan usahaku untuk mengambil sendok air yang steril dari raknya
dan berusaha memberikan sendok yang baru saja dia gunakan.
“Tidak, itu
agak...uh, sesuatu semacam itu...”
Dari dulu
dan sampai saat ini, dia selalu menunjukkan wajah yang girly dan pura-pura
dungu. Dan akhirnya, yang keluar dari mulutku adalah kata-kata semacam itu.
Tapi,
tampaknya dia memang hanya ingin memberikanku sendoknya tanpa berpikiran
aneh-aneh.
Ketika
Yuigahama paham maksudku, pipinya memerah.
“Aaah...”
“Yeah,
begitulah...”
Untunglah
kau paham.
[note: Hachiman standar ganda. Vol 11 chapter 5
Hachiman tidak merasa marah atau emosi sedikitpun ketika Iroha menyuapinya
coklat dari sendok yang sama dengan Iroha.]
Setelah aku
mengambil sendok yang steril, aku mengambil air yang turun dari air terjun ini
dan meminumnya dalam sekali teguk. Sangat dingin dan menyegarkan.
“Ka-kau
harusnya tidak perlu mempermasalahkan itu sampai segitunya...”
...Itu
memang masalah bagiku. Lagipula, jika aku meminumnya dari sendok bekasmu,
tampaknya yang kurasakan nantinya akan berbeda.
Mari kita telaah timing Watari menempatkan adegan Yui yang menempelkan dadanya ke bahu Hachiman. Waktu itu, mereka melewati Gunung Fuji.
Ini adalah lelucon gunung. 'Gunung' yang sebenarnya adalah 'gunung' milik Yui. Tapi Watari menjadikannya lebih lucu dengan menambahkan Totsuka. Maksudnya, 'gunung' yang sebenarnya kalah oleh orang yang benar-benar tidak punya 'gunung'.
...
Jika anda melihat posisi kursi ketika mereka duduk di kereta Shinkansen. Hayama harusnya bisa melakukan sesuatu, tentunya jika dia benar-benar berniat membantu Tobe, tidak mensabotase. Yaitu dengan meminta Miura yang duduk di dekat jendela untuk duduk di sampingnya.
Hayama bergeser ke tengah, meminta Miura duduk di dekat jendela tepat disampingnya. Miura yang menyukai Hayama, pasti tidak akan menolak peluang itu. Lalu, Tobe disuruh pindah ke tempat Miura sebelumnya. Karena Yui adalah member Klub Relawan, dimana mereka support Tobe, Yui pasti bergeser ke arah jendela. Dan akhirnya Tobe bisa bersebelahan dengan Ebina.
Sayangnya, Miura juga hendak sabotase ini. Posisi akan menjadi benar-benar sulit karena ada musuh dalam selimut.
...
Yui benar-benar memaksimalkan fakta kalau dia dan Hachiman akan terus berduaan selama darmawisata, karena request Tobe.
Ini jelas mencurigakan, karena di vol 7 chapter 3, Yui sendiri mengatakan kalau yang Ebina lihat dari Tobe adalah pria baik. Dimana, Yui sendiri sudah ditegaskan oleh Hachiman di vol 3 chapter 6, kalau Hachiman tidak mau menerima perasaan semacam itu. Yui sendiri tahu peluang Tobe kecil, tapi ini jelas menguntungkan dirinya, untuk mendekati Hachiman secara wajar.
...
Ironisnya, saran Hachiman-lah yang benar-benar efektif dalam mendekatkan Ebina dan Tobe, soal kertas ramalan.
Ini berkebalikan dengan Yui yang terlihat sangat bersemangat, tapi tidak efektif. Patut dicurigai juga, saran Yui yang masuk ke lorong bawah tanah kuil, ada motif untuk bisa berduaan dengan Hachiman.
...
Adegan menolak sendok minuman Yui (ciuman tidak langsung) dari Yui merupakan standar ganda. Di vol 11 chapter 5, Hachiman tidak sedikitpun komplain ketika Iroha menyuapinya adonan coklat di mejanya.
Bedanya, Hachiman tahu Yui ini menyukainya, tapi Hachiman merasa kalau Iroha ini memang menyukai Hayama, sehingga tidak ada salah paham mengenai adegan menyuap adonan coklat tersebut.
...
Mungkin dua galon air berkhasiat untuk asmara yang Sensei bawa itu, akan dipakai untuk mandi agar dia memiliki pesona yang luar biasa terhadap lawan jenis...
Siapa saja, tolong nikahi Sensei...
May the force be with you
BalasHapusKalau Hiratsuka sensei nyata... saya akan menikahinya. Sungguh
BalasHapusAneh sekali rasanya Seorang wanita dewasa yang cantik dan "terkadang" terkesan berwibawa seperti hiratsuka-sensei belum mendapatkan pasangan kalo di dunia nyata mungkin orang seperti dia sudah dapat pasangan saat awal karir nya.
BalasHapus