x Chapter VI x
Ketika
terbangun, tahu-tahu tubuhku sedang terbaring di kasur lipat sebuah ruangan.
“Dimana ini,
kok langit-langit ruangannya serasa asing...”
Aku mencoba
mengingat-ingat apa yang terjadi. Hari ini adalah hari pertama darmawisata.
Hari
pertama, kami pergi ke Kuil Kiyomizu. Setelah itu ke Kuil Nanzen. Entah
mengapa, setelahnya kami jalan kaki ke Kuil Ginkaku. Suasana musim gugur
tampaknya tidak mengendurkan niat kami untuk melakukan ‘jalan-jalan filosofi’
yang pernah dikatakan Yukinoshita. Dan disana suasana yang terjadi antara Tobe
dan Ebina juga bagus.
Setelah
selesai, kami pulang ke penginapan, makan malam, dan itulah yang bisa kuingat.
Kalau begitu, ngapain gue tidur disini?
“Ah,
Hachiman, kamu bangun ya?”
Totsuka,
yang duduk di sampingku sambil memegangi lututnya, berdiri lalu melihat wajahku
dari atas.
“Ah, ya.
Tunggu, bukan itu. Maksudku apa yang terjadi disini...?”
Tapi,
masalah utamanya bukan itu saja. Aku juga mendengar suara berisik berasal dari
suatu tempat di ruangan ini.
“Arrrgh. Dia ngasih gue yang
bagus!”
“Hayato jago
banget!”
Ketika aku
melihat ke asal suara itu, ternyata berasal dari siswa di kelasku yang sedang
memainkan sesuatu, tertawa dan mengobrol kesana-kemari.
Oke,
tampaknya aku tahu apa yang terjadi disini.
Tampaknya
kebiasaanku ketika pertama kali masuk kamar di rumah, mengganggu jadwal
darmawisata ini. Berjalan seharian, masuk penginapan dan makan malam, tiba
dikamar dan langsung tertidur.
“Jam
penggunaan pemandian umum sudah lewat, tapi pak guru bilang kamar mandi di
dalam ruangan boleh dipakai.”
“A-apa!?”
Sialan, ini artinya gue udah lewatin peluang
besar untuk mandi bersama Totsuka!?
Karena terkejut, aku
seperti hendak melompat saja dari kasurku. Tampaknya Dewa Rom-com minta
dihajar...
Totsuka lalu
menunjuk ke arah sebuah ruangan.
Apa
maksudnya?
“Kamar mandi
di sebelah sana.”
“Oh begitu ya,
terima kasih.”
Aku sangat
mengharapkan bisa mandi bersama Totsuka, tapi tenang saja karena peluang itu
akan datang lagi besok. Maksudku darmawisatanya kan empat hari tiga malam. Jadi
satu malam terlewatkan dan masih ada peluang dua malam lagi untuk mandi
bersama. Lagipula, malam selanjutnya kita akan menginap di penginapan
Arashiyama yang berarti pemandian air panas. Pemandian terbuka, ini pasti
menarik.
Aku lalu
mandi dengan dipenuhi imajinasi yang membuatku bersemangat.
Setelah
keluar dari kamar mandi, aku bertemu Tobe yang sedang rebahan di lantai.
Kupikir dia sudah mulai berpikir untuk menyerah setelah apa yang terjadi hari
ini. Tapi, dia lalu berdiri dengan gerakan salto dan memanggilku.
“Oh,
Hikitani. Masih bangun ya? Mau main mahjong gak? Ayo kita kalahkan pria-pria
congkak itu!”
Apa-apaan?
Kau mengajakku main karena kau pikir bisa mengalahkanku dengan mudah?
“Maaf ya.
Aku tidak begitu paham permainan seperti itu.”
Tobe tidak
memaksa lebih jauh setelah aku menolak tawarannya. Dia lalu berkata “serius
nih?” dan kembali berjalan ke meja mahjong dan teman-temannya.
Aku tidak
tahu bagaimana mengkalkulasi poin di mahjong. Aku biasanya main di komputer
sehingga tidak repot-repot menghitungnya.
Totsuka
terlihat sedang bergabung dengan grup mahjong tersebut seperti sedang diajari
cara bermainnya, tapi setelah dia melihatku, dia melambaikan tangannya.
Sekarang,
aku harus bagaimana? Mungkin ada baiknya tidur saja, tapi rencanaku ini
dipotong oleh suara pintu yang terbuka.
“Hachimaaan,
ayo kita main UNO!”
Zaimokuza
tiba-tiba muncul dan mengajakku.
“...Ngapain
kesini? Kenapa kau tidak bermain saja dengan teman sekelasmu?”
“Dengar dulu
Hachiemon. Pria-pria di kelasku pecundang semua. Mereka bilang ini permainan
untuk empat orang sehingga aku harus tunggu giliran.”
Bukannya
main UNO memang tunggu giliran? Lagipula itu artinya mereka menerimamu. Coba
kau mencoba lebih bersahabat dengan mereka.
“Oh, kau mau
main apa?”
Totsuka
datang kesini dan bertanya ke Zaimokuza.
“Ayo main
UNO saja.”
“Ah,
kedengarannya seru. Mereka mengajariku aturan mahjong tapi aku tidak paham
maksudnya.”
Zaimokuza
lalu mengeluarkan kartu UNO dari sakunya dan membagikan kartunya seperti tukang
sulap.
“Aku duluan
yang mulai!”
Setelah itu,
dia mengeluarkan kartu R.
“Riba, riba,
riba, riba!”
Oi diam lu! Mengganggu banget.
Lalu giliran berpindah
ke arah yang berbeda karena Zaimokuza mengeluarkan kartu reverse, membuatnya
menjadi giliranku dari seharusnya Totsuka. Setelahnya, permainan berlanjut
seperti sebuah game UNO.
Ketika
permainan sudah hampir klimaks, kartuku hanya tersisa dua. Zaimokuza dan
Totsuka masih memiliki lima kartu, jadi aku punya posisi superior saat ini.
“Ngomong-ngomong, Hachiman, kau mau kemana besok?”
“Huh? Jangan
coba-coba untuk mengalihkan perhatianku ketika pertandingan sudah mencapai
babak penting.”
Sial, orang
ini memang mengganggu.
“Okelah.
Kalau Tuan Totsuka sendiri bagaimana?”
“Hmm,
kupikir kita akan pergi ke Eigamura dan Kuil Ryouanji. Setelah itu...”
Totsuka lalu
menaruh kartunya di pahanya dan mencoba mengingat-ingat jadwal grup kami.
Karena dia tampak sangat manis, aku lalu mencoba menimpali.
“Setelah itu
kita ke Kuil Ninnaji dan Kinkakuji.”
“Ah, benar.”
Setelah itu,
Totsuka mengambil kembali kartunya.
Tiba-tiba,
Zaimokuza melompat dan mengejutkanku.
“Oke
Hachiman. Kau tidak bilang UNOOOOOOOOOOOOO!”
Ketika aku
menyadarinya, ini sudah terlambat. Totsuka langsung melempar beberapa kartu
sekaligus dan menghabiskan sisa kartunya.
“Yayyyy!”
“Yeaaaaay!”
Zaimokuza
berteriak gembira dan ketika dia menaikkan tangannya, Totsuka melakukannya juga
sehingga mereka melakukan high five.
Sial,
apa-apaan ini, mereka bersekongkol? Tidak, tunggu dulu, aku juga ingin
high-five dengan Totsuka...
Kau jahat
sekali, Zaimokuza, benar-benar kotor.
Dia
mengalihkan perhatianku ketika aku melemparkan kartu sebelum kartu terakhir.
Ini tidak adil...
Tapi, aku
tidak menyesal kalah begini karena Totsuka terlihat manis...
“Hachiman,
hukuman, hukumannya!”
“Memang,
Hachiman! Ini adalah game dengan hukuman! Berlututlah sementara sambil menunggu
vonis hukumanmu!”
Keduanya
tampak bersemangat, mungkin ini adalah efek dari suasana malam dari
darmawisata.
Keduanya
tampak kompak dan grup mahjong sebelah juga tampak terinspirasi dan menerapkan
hukuman bagi yang kalah.
“Oke, yang
kalah harus...”
Yamato
mengatakan dengan keras, lalu melirik sejenak ke Ooka.
“Pergi ke
ruangan para gadis dan ambil permen dari mereka!”
“Oh, serius
nih? Jangan laaaah!”
Datang
juga...Tobe dihukum pergi ke ruangan para gadis kurasa adalah hal yang wajar
bagi grup mereka. Tapi, tampaknya Hayama berusaha menegaskan sesuatu yang
berkaitan dengan hukuman tersebut.
“Ah,
ngomong-ngomong, Pak Atsugi sedang patroli di tangga lantai atas tuh.”
[note: Pak Atsugi adalah guru olahraga SMA Sobu,
guru pembina Festival Budaya, terkenal berbadan besar dan tegas. Tampaknya dia
sengaja berjaga di tangga agar tidak ada pria yang coba-coba ke ruangan para
gadis di lantai atas.]
“Wah, dia
serius amat jaganya...”
Yamato lalu
berusaha menutup mulutnya.
Guru
olahraga, Pak Atsugi, punya aura penuh intimidasi dan karena logat
Hiroshimanya, kau akan ketakutan ketika mendengarnya bicara. Selain dia guru
olahraga, dia sering dilibatkan dalam berbagai event yang diadakan klub
olahraga. Jadi, berurusan dengannya bukanlah ide yang baik. Meski klubku bukan
klub olahraga, itu juga masih termasuk dalam ide yang buruk.
“Ayolah,
bapak gondrong yang lusa mau nembak, ayo segera laksanakan!”
“Oi,
daripada kau nganggur disini, pergi sana panjat tembok. Tembak dia sekarang!”
“Kubunuh
kau! Cepat pergi sana dan tembak dia, dasar pecundang!”
“Oi, oi,
ayolah jangan perlakukan gue kayak gini!”
Tobe
berusaha membalas sementara Hayama tertawa lepas sambil menepuk-nepuk lantai
ruangan ini.
“Mau
bagaimana lagi, Tobe, kau kan yang kalah. Kalau begitu, kenapa kau tidak
membelikan kami jus sebagai ganti hukumannya?”
“Lagipula,
meski aku tidak kalah, kupikir aku akan pergi membeli sesuatu karena aku juga
merasa haus!”
Oh, jadi kau
memang berniat pergi...jujur sekali dirimu ini...tapi hukuman tadi memang bisa
terbilang ringan dari Hayama.
Ketika
Totsuka melihat Tobe keluar ruangan, dia berkata.
“Ah, kami
tampaknya sedikit haus?”
“Memang,
kalau begitu, Hachiman, hukuman dariku persis seperti dia. Belikan kami minum!”
“Baiklah.
Kamu mau apa? Zaimokuza ramen, lalu?”
“Hmmh, itu
tawaran yang cukup menggoda...”
“Ngimpi lu!”
Tampaknya
Zaimokuza akan memakan waktu yang cukup lama untuk menjawabnya, jadi aku bertanya ke Totsuka
saja.
“Aku
terserah kau saja, Hachiman.”
“Baiklah.”
Aku lalu
berdiri dan meninggalkan ruangan.
x x x
Suara
langkah kaki mulai menggema ketika aku menuruni tangga menuju lantai dasar.
Lantai di
atas kamar kami, merupakan tempat para gadis menginap. Menurut yang kudengar,
Pak Atsugi menjaga di ujung tangga tersebut sehingga para pria tidak bisa ke
tempat para gadis. Gila aja gue mau
habisin waktu cuma pergi ke tangga itu dan memastikan Pak Atsugi ada disana...
Mesin penjual minuman
ada di lobi penginapan di lantai dasar.
Kalau cuma
ke lantai dasar, kita tidak memerlukan ijin dari siapapun. Tidak ada seorangpun
di lantai dasar ini, mungkin karena mereka semua sedang sibuk dengan
kegiatannya masing-masing di kamar mereka. Sederhananya, hanya orang-orang
terhukum seperti aku dan Tobe yang terpaksa turun ke lantai satu untuk beli
minuman karena hukuman game.
Di salah
satu sudut lobi dimana ada mesin penjual minuman, ada Tobe disana.
Dia
mengambil satu kaleng, dan membeli lagi beberapa kaleng. Tobe melihat
kedatanganku.
“Oh,
Hikitani, kerja bagus hari ini~.”
“Yeah.”
Salamnya
selalu “kerja bagus~”, entah malam atau siang. Ini sejenis dengan “Yahallo”
dari Yuigahama. Setelah menyapanya balik, aku berdiri di depan mesin penjual
minuman dan melihat daftar minuman disana. Sementara itu, Tobe sudah terlihat
meninggalkan tempat ini.
Entah
mengapa, aku merasa ada yang sedang mengawasiku, jadi aku membalikkan badanku.
Ternyata,
Tobe masih ada di belakangku.
“Ada apa?”
Ketika aku
bertanya, Tobe yang masih berdiri disana tertawa kecil.
“Naaah,
Hikitani, kau sudah bekerja sangat keras hari ini, dan itu semua hanya demi
diriku. Aku sebenarnya ingin mengatakan terima kasih atau semacam itu? Seperti,
terima kasih atas supportnya.”
Sekedar info
saja, kalau di sepakbola, support atau assist tidak akan dihitung kalau tidak
tercipta gol.
“Aku tidak
benar-benar banyak membantu. Kebanyakan itu si Yuigahama yang bantu kamu.
Berterimakasihlah kepadanya.”
“Aah, tenang
saja, aku memang berencana mau melakukan itu. Tapi kupikir aku harus
berterimakasih kepadamu dahulu. Berkat kalian berdua, aku mulai memantapkan
diriku untuk menembaknya. Kuharap, besok kita bisa membuat sebuah progress yang
bagus!”
Setelah
mengatakannya, dia meninggalkan tempat ini.
Hmm,
ternyata dia pria yang baik juga. Entah hal itu baik atau buruk, dia adalah
tipe orang yang mengikuti arus. Dengan kata lain, dia adalah budak dari suasana
sekitarnya...
Kerjasama
kami ini tampaknya akan menjadi jalan yang sangat terjal...
Menembaknya,
kah? Kurasa ini tidak akan mudah, tapi kuharap dia mendapatkan yang terbaik.
Karena aku
mulai dihinggapi rasa haus, aku putuskan untuk membeli MAX COFFEE untuk
mengusir rasa hausku.
Aku mulai
mengamati daftar minuman yang ada di mesin penjual minuman, satu persatu.
...?
Sekali lagi,
aku coba menelitinya dengan baik.
Semakin
kuteliti, aku tidak menemukan satupun kaleng bertuliskan MAX COFFEE.
Eh...apa-apaan ini?
Aku terus
mencari, yang namanya mendekati hanyalah kopi bernama PACHIMON MAX.
Ini
Kyoto...Tampaknya memang begitulah situasinya, ini kan daerah dengan tradisi
kuno ratusan tahun.
Aku akhirnya
mengalah dan memilih cafe au lait.
Aku lalu
membuka kalengnya dan duduk santai di sofa yang berada di ujung lobi.
Meskipun aku
dipercaya untuk membelikan mereka minuman karena kalah, tapi aku tidak
mengatakan akan segera kembali secepatnya.
Jadi aku
mulai meminum kopiku ini pelan-pelan, dan mulai melihat sosok yang familiar
muncul di ujung lobi.
Gadis yang
muncul dengan gaya berjalan yang penuh tata krama ini adalah Yukinoshita
Yukino.
Dia tampak
berpenampilan sedikit berbeda karena rambutnya yang diikat seperti sehabis
mandi saja, ini pemandangan yang langka.
Yukinoshita
berjalan menuju tempat cinderamata yang berada di salah satu sudut lobi hotel
ini.
Ketika
berada disana, dia menatap dengan serius salah satu deretan rak...Well, kalau Yukinoshita sudah mulai
mengamati dengan serius sebuah benda, itu artinya dia akan membelinya.
Yukinoshita
menaruh tangannya di bibir, berpikir sebentar, dan memutuskan sesuatu. Ketika
dia menjulurkan tangannya ke cinderamata tersebut, dia seperti menyadari
sesuatu.
Tentunya,
kedua matanya bertemu pandang denganku karena aku sejak tadi mengamatinya dari
jauh.
Yukinoshita
mengurungkan tangannya kembali dan berbalik ke arah dimana dia muncul.
...Ini lagu lama. Aku menggumamkan “selamat
malam” kepada Yukinoshita dan meminum kembali cafe au laitku.
Tapi,
tiba-tiba dia berbalik arah dan berjalan ke arahku.
Dia lalu
berdiri di depanku dengan melipat kedua lengannya, dia melihat ke arah bawah
dimana aku duduk di depannya.
“Kebetulan
sekali bisa melihatmu selarut ini.”
“Kau
harusnya mengatakan itu sejak tadi...”
Lebih
tepatnya, aku sendiri terkejut dia sampai berbalik arah dan sekedar mengatakan
itu kepadaku. Lagian, apa-apaan gadis ini dan sifatnya yang tiba-tiba berbalik
tadi?
“Memangnya
ada apa kau disini? Apa kamu kabur dari kamarmu karena tidak bisa membaur
dengan teman grupmu?”
“Justru aku
kesini karena mereka mempercayakanku sebuah misi. Itu saja. Kalau kamu?”
Yukinoshita
terlihat sedikit kesal ketika menjawabnya.
“...Teman-teman sekelasku berusaha menarikku untuk terlibat dalam
obrolan mereka. Kenapa sih mereka suka membicarakan hal-hal semacam itu?”
Me-memangnya
pembicaraan yang seperti apa...Ini
bukannya aku ingin tahu atau semacamnya, tapi kurasa dia akan marah jika aku
bertanya lebih lanjut. Jadi, aku berpikir untuk tidak menanyakannya lebih jauh.
Mungkin, saat ini adalah saat paling baik untuk menegaskan keberadaanku sebagai
manusia.
“Well, itu kan artinya
mereka menganggapmu kalau mereka sering tanya-tanya soal dirimu. Itu bukanlah
hal yang buruk, benar tidak?”
“Kamu bicara
begitu seperti kamu tidak terlibat apapun. Ini gara-gara Festival Budaya
kemarin, kamu...”
[note: Ini masalah gosip kedekatan mereka.
Jadi teman-teman sekelas Yukino diliputi gosip Yukino dan Hachiman ada sesuatu
yang spesial setelah kejadian di festival budaya.]
Tatapannya
yang menatapku dari atas seperti menusukku.
“Eh,
a-aku...? Tidak, tunggu dulu. Aku tidak salah apapun.”
Aku tidak
tahu apa maksudnya, tapi setidaknya, aku yakin seyakin-yakinnya kalau aku tidak
berbuat sesuatu yang aneh di festival budaya. Ketika aku merasa begitu, Yukinoshita
menyentuh keningnya dan menutup kedua matanya. Dia lalu berkata.
“...Tidak
ada apa-apa. Jadi, apa yang sebenarnya kau lakukan disini?”
“Bisa
kaukatakan sedang istirahat dari sebuah permainan. Kalau kau sendiri? Bukannya
kamu harusnya beli sovenir tadi?”
“Tidak
apa-apa. Itu hanya sesuatu yang menarik perhatianku saja.”
Yukinoshita
lalu memalingkan matanya.
Begitu ya? Kupikir dia pasti akan membeli itu karena
melihatnya dengan serius, kupikir dia melihat ke arah Pan-san edisi spesial
Kyoto.
“Kau
sendiri, tidak beli oleh-oleh?”
“Hanya akan
merepotkanku saja kalau kubeli sekarang. Aku akan membelinya ketika pulang
nanti.”
“Begitu ya.
Jadi kau sudah punya daftar oleh-olehnya?”
“Ya seperti
itulah. Itu sebenarnya hanya beberapa barang yang Komachi inginkan.
Ngomong-ngomong soal Komachi, apakah ada tempat yang bagus untuk berdoa kepada
Dewa Ilmu di sekitar sini?”
“Mendoakan
kesuksesan ujian Komachi?”
“Yep.”
Ketika
kujawab, Yukinoshita tersenyum. Sebagai kakak tertua, aku sangat bahagia jika
mendengar adik perempuanku ini sangat dicintai oleh banyak orang.
“...Hmm,
biar kupikir sebentar.”
Yukinoshita
lalu duduk di sebelahku sambil berpikir. Memang sih, mengobrol sambil berdiri
memang terasa melelahkan. Aku menggeser posisi dudukku untuk memberikannya
ruang.
“Kuil Kitano
Tenman-gu cukup terkenal.”
“Tenman-gu
ya, aku akan mengingatnya.”
Aku akan
pergi kesana nantinya di hari ketiga. Juga aku ingin membeli jimat
keberuntungan, tapi berdoa disana pasti akan mengeluarkan uang yang tidak
sedikit. Membawa Hamaya juga akan terasa repot...Lagipula, apakah orang itu
masih diberkati jika dia tidak menuliskannya di sebuah papan kayu?
[note: Hayama eh Hamaya itu semacam jimat keberuntungan yang
biasa dijual di kuil tertentu. Berupa anak panah yang diberkati dan ada
kertas-kertas doa terikat di anak panah tersebut. Anak panah tersebut dipercaya
bisa mengusir iblis pembawa musibah dan menarik keberuntungan untuk datang.]
“...Selain
memikirkan Komachi, bagaimana dengan perkembangan requestnya?”
Ah, sial,
aku malah lupa dengan masalah terbesarnya.
“Masih
sesuai skenario, tapi situasinya tidak buruk, tapi juga tidak bagus.”
Ketika
kujawab, Yukinoshita memalingkan pandangannya dan terlihat seperti ingin
meminta maaf.
“Maaf ya,
aku tidak bisa membantu banyak karena berada di kelas lain.”
“Jangan
khawatir soal itu. Aku sendiri yang sekelas dengan mereka tidak bisa bantu
banyak.”
“Kupikir
justru kaulah yang harusnya khawatir karena tidak bisa bantu banyak meski
sekelas...”
Ketika
obrolan kami berlanjut, Hiratsuka-sensei lewat di depan kami. Dia memakai
mantel, dan entah mengapa, dia memakai kacamata hitam meskipun ini sudah larut
malam.
Ketika dia menyadari
kami berdua, dia menatap kami dengan curiga.
“Kalian
ada apa disini?”
“Well, saya
kesini membeli minuman. Sedang Sensei sendiri ada apa keluar selarut ini?”
“M-mmm...Ja-jangan beri tahu siapa-siapa ya, oke? Rahasiakan ini, oke?”
Sensei
tampaknya hendak mengatakan sesuatu yang penting, sehingga jantungku berdetak
kencang. Aku merasa agak malu-malu ketika huruf “Shizuka-cute” mulai
berterbangan di kepalaku, tapi kata-katanya selanjutnya membuyarkan impianku
itu.
“U-umm...A-aku hendak pergi...Untuk beli ramen...”
Dia tampak
tidak manis sama sekali. Tolong kembalikan kekagumanku tadi.
Baik
Yukinoshita dan diriku tampak menyerah dengan sikapnya, tapi Sensei tampak
sedang memikirkan sesuatu.
“Hmm. Tapi,
kalau cuma kalian berdua, kurasa ini bukan masalah.”
“Maaf, bisa
anda ulangi?”
Setelah
beberapa saat berusaha mendeskripsikan kata-katanya, Yukinoshita bertanya
langsung ke Sensei.
Sensei
tersenyum ketika menatap Yukinoshita dan ketika dia menatapku, dia malah
menggerutu.
“Aku sangat yakin Yukinoshita bisa menyimpan
ini dengan rahasia, tapi aku tidak begitu yakin dengan Hikigaya...”
“Itu
terdengar kejam sekali...”
Kuberitahu
ya, aku tidak punya seorangpun yang bisa kuberitahu!
“Begini
saja, kutraktir ramen sebagai gantinya. Jadi bagaimana, ramen?”
...Ramen
katamu? Jadi cuma menemanimu dan aku ditraktir ramen?
Ramen Kyoto,
ini adalah peluangku untuk mencicipinya pertama kali. Perutku tampak siap
tempur kalau soal ramen, mungkin ini efek samping dari masa muda. Mendengar
kata ramen saja membuatku merasa lapar secara otomatis.
“Ya mau
bagaimana lagi, kalau Sensei memaksa begitu.”
Ketika
kujawab, Sensei mengangguk.
Aaah, aku
tidak sabar untuk mencicipi ramen Kyoto. Ketika pikiran itu mulai berkeliaran
di kepalaku, Yukinoshita yang duduk di sebelahku, tiba-tiba berdiri.
“Kalau
begitu, saya kembali saja ke kamar.”
Dia
membungkuk dengan cantiknya ke Sensei dan berbalik ke arah lain. Lalu
Hiratsuka-sensei memanggil Yukinoshita dari belakang.
“Yukinoshita, kau juga ikut.”
“Tidak,
itu...”
Yukinoshita
membalikkan badannya dan menjawabnya. Sensei terlihat tersenyum ketika
melihatnya.
“Oh, kau
bisa menganggapnya sebuah kegiatan klub. Lagipula malam masih belum begitu
larut.”
“Tapi,
pakaianku tidak memungkinkan untuk keluar.”
Dia meremas
lengan pakaiannya ketika mengatakannya. Sensei lalu melepas mantelnya dan
memberikannya ke Yukinoshita.
“Kau bisa
pakai ini.”
Ya ampun,
ada apa dengannya? Ini adegan yang keren! Aku mulai mengaguminya kali ini.
Memang, ini adalah momen yang tepat untuk “Shizuka-cool”, dan bukan
“Shizuka-cute”.
“Tampaknya Sensei tidak berniat untuk mendengar sebuah penolakan, ya?”
“Tampaknya
begitu.”
Yukinoshita
akhirnya menyerah dan memakai mantel tersebut.
“Kalau begitu,
ayo kita pergi!”
Membawa kami
berdua dalam sebuah perjalanan, Hiratsuka-sensei berjalan dengan highheelsnya
dan membuat suara gaduh di lobi. Tibalah saatnya kami melihat wajah malam dari
Kyoto.
x x x
Suasana
malam yang dingin mulai menyelimuti ketika kami meninggalkan hotel tempat kami
menginap. Harusnya aku sadar kalau daritadi kalau aku ini keluar dengan memakai
pakaian rumahan saja.
“Kyoto
memang sangat dingin.”
Hiratsuka-sensei melihat pakaianku dan mencoba membuatnya menjadi bahan
candaan.
Ketika kami
tiba di pinggir jalan, Sensei menaikkan tangannya. Tiba-tiba, sebuah taksi
kecil muncul dan berhenti di depan kami.
“Masuklah
dulu, Yukinoshita.”
Setelah dia
membetulkan mantelnya, dia mengangguk mendengar kata-kata Sensei dan mulai
masuk ke mobil.
Setelah itu,
Sensei menggunakan isyarat tangannya untuk mengatakan kalau itu giliranku.
“Selanjutnya, Hikigaya.”
“Oh saya
belakangan saja Sensei, anda silakan duduk terlebih dahulu.”
Ketika
mendengar sikapku yang menolak tersebut, Sensei terkejut dan meresponku balik.
“Oh, jadi
kau adalah tipe pria yang ‘ladies first’? Ternyata kau sudah dewasa ya. Tapi,
kau salah jika mengkhawatirkanku.”
“Eh..Ti-tidak masalah berapapun umur anda, anda tetaplah seorang wanita!
Jadi tolong agar anda lebih percaya diri!”
Dengan
ekspresi yang hendak menerkamku, Sensei menunjuk kepalaku dengan jari
telunjuknya.
“Itu karena
menurut statistik, penumpang sedan yang duduk di tengah punya peluang tewas
lebih tinggi, tahu tidak...”
“Ouch...”
Dengan cakar
besinya yang menuntun kepalaku, aku akhirnya dilempar begitu saja masuk ke
dalam taksi. Tampaknya dia sudah mulai mengembangkan variasi dari serangannya.
Serangan langsung ke tubuh tampaknya merupakan cara kuno. Ini mungkin salah
satu bukti kalau hubungan kami mulai berkembang.
“...Ini
konyol sekali.”
“Diamlah.
Aku ini sedang berbaik hati loh.”
“Tampaknya
definisi baik anda berbeda dengan definisi saya...”
Kami berada
di kursi penumpang taksi dimana diisi tiga orang. Harusnya ini terasa sesak,
tapi karena Yukinoshita dan Sensei memiliki tubuh yang kurus, ternyata ruangan
yang tersisa cukup banyak. Phew...Lagian
aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan jika benar-benar terjebak
diantara mereka berdua di ruangan kecil ini.
“Tolong ke
Ichijouji.”
Sensei
memberitahu supir taksinya dan taksi mulai berjalan menuju tempat yang
diinstruksikan.
Ichijouji
adalah tempat yang terkenal karena memiliki hubungan dengan Miyamoto Musashi.
Di Ichouji ada area bernama sagarimatsu, terkenal karena ada duel maut antara
Musashi melawan Perguruan Yoshioka. Sebenarnya, tidak ada bukti sejarah yang
menguatkan hal itu. Itu adalah cerita yang dikatakan oleh tetua warga sekitar
secara turun-temurun.
[note: Miyamoto Mushashi adalah seorang ahli pedang
yang tercatat memenangkan lebih dari 60 duel pedang. Ada rumor yang mengatakan
kalau jumlah sebenarnya lebih dari seratus duel. Itu termasuk melawan Yoshioka
Ryu, pimpinan sekolah Yoshioka.]
Selain
terkenal dengan tempat duel berdarah, tempat itu juga terkenal karena restoran
ramennya, bahkan banyak restoran ramen yang enak berdiri dalam satu kompleks.
Entah
mengapa, taksi sampai lebih cepat dari dugaanku.
Ketika kami
keluar dari taksi, pemandangan di depanku ini benar-benar mengejutkanku.
“I-ini
adalah Tenka Ippin...”
Memang,
Tenka Ippin, merupakan restoran yang dibuat oleh surga itu sendiri. Bukannya
mau melebih-lebihkan sih. Aku sebenarnya hanya mendengar rumor-rumor mengenai
tempat ini. Sup ramennya menyelimuti mi dengan sempurna, bahkan terasa gurihnya
sampai ke sumpitnya.
Ketika
diriku diliputi rasa senang, Yukinoshita berbisik kepadaku dari belakang.
“Apa
restoran ini sebegitu terkenalnya?”
“Yeah,
malahan terkenal sampai seluruh Jepang.”
“Kalau
terkenal sampai seluruh Jepang, bukanlah kita tidak harus sampai segitunya
makan disini, di Chiba bisa juga kan...?”
Ah, karena
dia baru mengatakan itu, mungkin ada benarnya.
“Begini...dengan alasan tertentu, tidak ada satupun restoran Tenka Ippin
yang buka cabang di Chiba. Di seluruh propinsi Kanto, Chiba cuma satu-satunya
kota dimana tidak ada cabang restoran ini...”
Menurut
pengalamanku yang sudah ahli dalam sejarah Chiba (tujuh belas tahun), Chiba
memang merupakan tempat yang menjanjikan (menurutku), tapi karena satu hal, aku
tidak bisa menyematkan Chiba sebuah gelar ‘kota sempurna’. Satu-satunya hal
tersebut adalah tidak adanya restoran Tenka Ippin.
“Well, entah
apa kau belum tahu atau bagaimana, sebenarnya di Chiba ada cabangnya satu.”
Dia
mengatakan itu sambil mematikan rokoknya, dia melempar rokoknya di trotoar dan
menginjaknya.
“Eh, benar
ada ya! Anda memang satu-satunya ramenpedia di Chiba! Tidak, maksudku
satu-satunya dan masih single!”
“Kau
mengganti kalimatmu dengan kata-kata yang salah, Hikigaya.”
“Ouch, ouch,
ouch...”
Suaranya
sangat manis, tapi kepalaku terasa sakit dibuatnya.
“Restoran
ini buka cabang di seluruh kota di Jepang. Tapi memang rasanya akan berbeda
jika kita makan di restoran pusatnya. Bukannya aku mau mengatakan rasa ramennya di
restoran cabang ada kurangnya, tapi aku memang ingin mencoba memakan ramennya
disini sesekali.”
Setelah
melepaskan kepalaku, Sensei menatap papan nama restoran tersebut dengan penuh
emosi.
“Sekarang,
ayo kita masuk.”
Untungnya,
banyak sekali kursi kosong di restoran ini.
Kami duduk
di pojokan dengan urutan Sensei, Yukinoshita, dan kemudian diriku.
“Kotteri.”
Sensei
memesannya begitu saja tanpa melirik sedikitpun ke menunya. Sebenarnya, aku
juga ingin mencoba kotterinya, apa benar sesuai rumor yang kudengar atau tidak.
“Saya juga
sama.”
“...”
Aku tidak
mendengar satupun pesanan Yukinoshita, jadi aku melihat ke arahnya. Dia tampak
kebingungan dengan melihat kesana-kemari.
Lalu dia
menarik lenganku.
“...Hei,
apakah itu sup?”
Ekspresinya
seperti sedang ketakutan. Tapi tahu tidak, bagaimana kau bisa memakan itu jika
kau takut? Dan yang kau tunjuk itu adalah naritake, itu sebenarnya bukanlah
sup, itu cuma tumpukan lemak. Dan itu sangat lezat.
Sensei tidak
bisa menahan tawanya melihat sikap Yukinoshita dan membuka menu untuknya.
“Disini juga
ada sup assari. Kupikir kau akan menyukainya.”
“Ah, tidak
usah. Melihatnya saja sudah membuatku kenyang...”
Yukinoshita
terkejut seperti seekor kucing yang ketakutan.
“Oh? Begini
saja, kenapa kita tidak minta mangkuk kecil dan kau coba saja dahulu.”
Meski Sensei
menyarankan itu, Yukinoshita masih terlihat ketakutan, tapi tidak lama kemudian
dia mengangguk.
Setelah
mengatakan pesanan kami, tidak lama kemudian pesanan kami datang.
Aku lalu
mengambil sumpit dan menaruhnya di kedua tanganku.
“Terima
kasih atas makanannya.”
Hoo boy!
Rasa lengket yang terasa di sumpit ini! Aku sudah merasa tidak sabar!
Warna supnya seperti memenuhi permukaan mie.
Ketebalan dan rasa yang tajam dari supnya seperti sesuatu yang bisa kau rasakan
di tempat Tora no Ana di Chiba.
Apa-apaan
ini, ini enak sekaliiiii!
“Yukinoshita, ini.”
Sensei
menaruh porsi kecil di depan Yukinoshita. Yukinoshita tampak ragu, tapi karena
sudah disiapkan sebuah porsi di depannya, dia mulai mengambil sumpit dan
sendok. Dia lalu merapikan rambutnya di belakang telinganya dan meniup sebentar
kuah di sendoknya. Cara dia meminum dan
menelan kuah tersebut sangat menarik perhatian mataku sehingga aku harus
memalingkan pandanganku, tapi ini sia-sia.
Setelah membersihkan
sup di sekitar bibirnya, dia lalu memasang ekspresi yang serius.
“...Rasanya
sungguh radikal.”
Horee, dia sangat akurat menggambarkannya!
Selamat datang di dunia ramen, meskipun agak
telat, akupun mulai berpikir kalau ini adalah hal yang benar atau tidak.
Lalu aku mengatakan apa yang ada di pikiranku.
“Tapi,
apakah ini kegiatan yang benar, guru mengajak muridnya keluar dari hotel?”
Begitulah
yang ingin kukatakan, tapi Sensei terlihat tenang-tenang saja.
“Tentu saja
tidak boleh. Oleh karena itu, aku menyuapmu agar diam.”
“Bukankah
kegiatan ini membuat anda serasa menjadi guru yang buruk...?”
Yukinoshita meresponnya
dengan nada yang terkejut, tapi Sensei terus melanjutkan makannya tanpa
terganggu.
“Guru juga
manusia, juga orang dewasa. Kami juga melakukan kesalahan seperti orang lain, secara
sadar atau tidak.”
“Bukankah
anda akan dapat hukuman jika ketahuan?”
Dan kabar
buruknya, aku mungkin akan terseret juga.
“Itu tidak
akan terjadi. Paling aku hanya dipanggil dan dinasehati, ya semacam itulah.”
“Saya rasa
anda tidak akan dinasehati, lebih tepatnya dimarahi. Benar tidak...?"
Aku setuju
dengan Yukinoshita. Sensei lalu meminum habis kuah yang tersisa dan
membersihkan mulutnya dengan tisu. Dia lalu melihat ke arah kami.
“Itu
berbeda. Diberitahu untuk tidak menyebabkan masalah dan diminta untuk
membersihkan masalah adalah hal yang berbeda.”
“Saya tidak
paham.”
“...Apa itu?
Mungkinkah karena kami sendiri tidak punya pengalaman dimarahi?”
Yukinoshita
menaruh tangannya di dagu seperti berusaha mengingat-ingat masa lalunya. Sensei
lalu menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Yukinoshita.
“Kalau
begitu, biar kumarahi dirimu. Sebenarnya aku tidak berencana untuk memarahi
orang tapi kupikir aku sendiri ini juga naif.”
“Tidak,
lebih baik tidak usah.”
Aku
melambai-lambaikan tanganku menolak tawarannya. Kalau dia melakukan lebih dari
ini, maka penderitaanku lengkap. Luka fisik dan psikis. Aku nantinya hanya akan
menjadi alat bagimu dan akhirnya kau harus bertanggung jawab dengan menikahiku.
Eh tunggu dulu, bukankah itu akan menjadi impianku...
Ketika aku
memikirkan banyak hal, Yukinoshita tampak tenang.
“Aku sendiri
tidak keberatan karena tidak tahu rasanya dimarahi.”
“Yukinoshita, dimarahi itu bukanlah hal yang buruk. Itu artinya orang itu
benar-benar memperhatikanmu.”
[note: Vol 6.25 Chapter 2 Hachiman memarahi Yukino
ketika Yukino mengatakan akan menjadi wakil ketua panitia festival olahraga.
Hachiman memarahi Yukino karena ini berpotensi membuatnya over-work dan jatuh
sakit lagi seperti festival budaya.]
Bahu
Yukinoshita tiba-tiba terlihat turun ketika mendengar kata-kata Sensei. Dia
lalu menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya.
Hiratsuka-sensei lalu menepuk pundak Yukinoshita.
“Aku
memperhatikanmu, jadi kau jangan khawatir dan lakukanlah segala yang kau
inginkan tanpa peduli apakah itu salah atau benar.”
................................
Kami lalu
keluar dari taksi yang mengantarkan kami kembali dan Sensei berjalan ke arah
yang berlawanan dari arah ke hotel.
“Aku akan
pergi ke restoran sake untuk minum-minum. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”
Eh, apa yang
akan kau lakukan itu benar-benar oke?
Sensei
melambaikan tangannya dan kamipun membalasnya. Yukinoshita dan diriku mulai
berjalan menuju hotel. Meski kami berdua hanya berjalan sambil terdiam, tapi
kami merasa nyaman dengan ini.
“.....”
“.....”
Yukinoshita berjalan
beberapa langkah di depanku.
Tapi,
tiba-tiba dia terhenti. Dia lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.
...Kurasa
inilah saatnya dimana pengalaman membuatmu bisa memahami sesuatu. Jadi aku bisa
paham kesulitan apa yang dialami oleh Yukinoshita saat ini.
[note: Vol 3 chapter 4, Yukino tersesat di LalaPort
Mall ketika kencan dengan Hachiman. Tampaknya Yukino sangat buruk dalam
mengingat arah.]
“Belok
kanan.”
“...Be-begitu ya.”
Dia lalu
membetulkan posisi kerah mantel yang belum dia kembalikan itu ke Sensei.
Aku
tersenyum kecil melihatnya, lalu aku berjalan mendahului Yukinoshita. Aku
setidaknya akan menunjukkan jalan ke hotel kepadanya.
Suara
langkahnya yang melambat seperti memberitahuku kalau dia sudah paham maksudku.
Tapi suara
langkah kakinya terdengar semakin menjauh.
Merasakan
keanehan tersebut, aku membalikkan badanku dan melihat jarak antara diriku dan
Yukinoshita semakin menjauh.
“Kalau kau
jauh dariku, nanti kau tersesat...”
“Bukan
begitu...umm...”
Aku bertanya
tapi jawaban yang kuperoleh adalah jawaban yang tidak jelas. Dia lalu
membetulkan posisi kerah mantelnya yang mengubur sebagian wajahnya dan suaranya
terdengar samar-samar.
Aku tidak
tahu apa yang dia katakan, tapi akan bermasalah jika kita terpisah disini dan
dia akhirnya tersesat. Dengan itu di pikiranku, aku menunggunya untuk berjalan
kembali.
Kami berdiri
di posisi yang berbeda, Yukinoshita dan diriku hanya terdiam menatap satu sama
lain. Tapi, apa yang sebenarnya akan kita lakukan disini...?
Tidak lama
kemudian, Yukinoshita berkata.
“Aku sebenarnya tidak keberatan kalau kau berjalan lebih dulu...”
Dia
menggumamkannya sambil berjalan dan berhenti tepat disampingku. Ini seperti
pertarungan antara kucing liar.
“Nah,
kupikir tidak masalah apakah aku pergi duluan atau tidak. Lagipula, hotelnya ada
di depan kita.”
“...Mungkin
bagimu tidak, tapi bagiku itu bisa menimbulkan masalah.”
[note:Kelas 2J lagi ramai gosip Hachiman dan Yukino,
jelas terlihat berjalan berdua di malam hari akan membuat suasananya heboh.]
Aku tidak
tahu harus menjawab apa.
“Memangnya akan menimbulkan masalah apa?”
“Umm...Ini
kan sudah larut malam...Jadi kalau ada yang melihat kita jalan berduaan, nanti bisa...”
Kurasa
cuacanya tidak sedingin itu, tapi Yukinoshita sejak tadi berusaha
menyembunyikan wajahnya dengan kerah mantel tersebut.
“...Be-begitu ya.”
Sekarang dia
mengatakan itu, aku lalu berpikir tentang situasi kita. Pada dasarnya, yang
terjadi adalah kita tidak sengaja bertemu di malam hari.
Ini adalah
sesuatu yang tidak perlu dikhawatirkan, bahkan tidak terasa aneh sedikitpun.
Tapi, ini pertamakalinya bagiku melihat
Yukinoshita seperti ini.
Dia menghindari tatapanku dan melihat ke arah
kakiku saja sehingga dia tidak takut akan tersesat.
Caranya menyembunyikan wajahnya yang
malu-malu, menyembunyikan tatapan matanya, dan tangannya yang memegangi
pakaianku hanya sekedar agar aku tidak begitu jauh darinya...Adalah sesuatu
yang belum pernah kulihat darinya selama ini.
Karena posisi kami berdua dalam situasi yang
cukup aneh, jadi aku mulai berjalan dengan tangan kanan dan kaki kanan maju
bersamaan, begitu pula bagian kiriku. Karena itu, hotel yang harusnya sudah
dekat malah terasa sangat jauh.
Baik Yukinoshita dan diriku memang tidak ada
niatan untuk berjalan bersama, tapi entah mengapa kita bergerak bersama-sama
ketika aku mulai berjalan. Bisa dikatakan situasi kami ini tidak dekat dan juga tidak jauh.
Ketika sampai di lobi
hotel, rasa lelah yang luar biasa melanda diriku.
Kurasa jika
berjalan lebih dari ini, akan ada siswa yang akan melihat kita berdua seperti
ini. Kalau yang Yukinoshita takutkan itu benar, maka yang terbaik adalah
berpisah disini.
Aku
menghentikan langkahku dan Yukinoshita melepaskanku sambil berjalan terus. Lalu, aku melambaikan tanganku.
“Sampai
jumpa.”
“...Kau
juga, selamat malam...Umm, terima kasih sudah mengantarkanku pulang.”
Setelah
menjawabnya, dia mulai pergi dari lobi. Meskipun kami sudah berada dalam
ruangan, dia masih memakai mantel itu. Karena dia berjalan dengan terburu-buru,
mantelnya tampak berkibar-kibar.
Aku mulai
memikirkan banyak hal-hal tidak penting tentang dirinya seperti bagaimana dia
mengembalikan mantel tersebut atau tidak ketika berjalan menuju kamarku.
Ketika aku
kembali ke kamarku, ruangannya masih dipakai untuk pertandingan mahjong.
“Ah,
Hachiman, selamat datang.”
Totsuka dan
Zaimokuza terlihat sedang memainkan “Old Maid”.
“Darimana
saja kau? Lama sekali.”
“Eh, masa
selama itu?”
Well,
ternyata aku sudah pergi selama 2 jam lebih.
“Jadi,
dimana minuman dan ramenku?”
“Ah.”
Benar juga,
aku kan masih dihukum mentraktir mereka minum.
“Jangan
bilang kau lupa?”
Aku tidak
mempedulikan Zaimokuza yang melihatku seperti idiot.
“...Hmph,
seperti pesananmu. Semua yang kaupesan ada disini...Disini.”
Aku lalu
menunjuk ke arah perutku dan Zaimokuza melihatku dengan terkejut.
“A-apa!? Kau
pergi makan diluar...Kau sangat menakutkan...”
Zaimokuza
terlihat menyeka keringatnya dan melihatku dengan penuh rasa hormat. Hmph, ini
terlalu mudah bagiku.
Tapi, ada
satu orang yang tidak seperti Zaimokuza.
“Kalau
begitu, itu artinya kau tetap harus turun ke bawah dan beli minuman, ya?”
Totsuka
tersenyum dan tetap memintaku melaksanakan hukumannya. Phew, Totsuka memang
sangat menyeramkan..
x Chapter VI | END x
Jadi sebenarnya ada gosip apa di kelas 2J antara Yukino dan Hachiman?
Pertama, kepanitiaan festival, vol 6 chapter 7. Setiap kelas mengirimkan 2 perwakilan, pria dan wanita. Kelas 2J diwakili Yukino untuk gadis, jelas ada perwakilan untuk pria disana untuk 2J. Dalam interkom kepanitiaan, Yukino mengobrol dengan santainya ke Hachiman. Ini berlawanan dengan image Yukino di kelas 2J sebagai siswi pendiam dan tertutup. Jika anda menjadi orang luar dan mendengar percakapan itu, anda pasti akan menganggap kalau Hachiman dan Yukino dekat.
Kedua, kepanitiaan festival di hari kedua. Yukino sejak pagi jalan berdua dengan Hachiman. Memeriksa tiap kelas, yep...Tiap kelas dan itu berarti mereka berdua juga mampir ke kelas 2J. Lalu di 3B, Yukino keluar dari kelas dengan memegangi lengan Hachiman. Juga di gimnasium ketika menonton konser penutupan festival, Yukino menempel berduaan dengan Hachiman disana.
Mudah saja, ada gosip kalau Yukino dan Hachiman berpacaran di 2J.
...
Kalau anda jeli, adegan lobi hotel...
Jika Yukino mengatakan terganggu dengan gosip HachimanxYukino di kelasnya, mengapa dia masih mau duduk di sofa bersama Hachiman. Maksud saya, jika nanti ada siswa, entah siapa, turun ke bawah dan membeli minuman, lalu melihat Yukino duduk berdua di sofa dengan Hachiman, bukankah itu akan membuat gosipnya bertambah ramai?
Tentunya, karena itu adalah gosip yang Hachiman dan Yukino inginkan.
Kebalikan dengan pengakuan Hayama di vol 4 chapter 7, Hayama mengatakan hanya diam saja dan tidak melakukan apapun dengan Yukino yang dibully gara-gara gosip itu. Hayama jelas menginginkan gosip itu ada, tapi Yukino tidak.
Ironisnya, Hachiman merasa gosip pacaran itu mengganggu, di vol 10 chapter 3 dan seterusnya ketika ada gosip YukinoxHayama. Hachiman disini benar-benar tidak merasa terganggu, tentunya karena itulah gosip yang dia inginkan.
Manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar - Hikigaya Hachiman, vol 5 chapter 7.
...
Buat yang belum tahu, ramen adalah makanan favorit Hachiman, vol 5 chapter 4.
...
Yukino adalah gadis kedua yang mencicipi ramen bersama Hachiman. Pertama adalahh Hiratsuka-sensei di vol 5 chapter 4, ketiga adalah Isshiki Iroha di vol 10.5 chapter 2. Tapi kalau anda tidak memasukkan Sensei dalam klarifikasi gadis, maka Yukino adalah gadis pertama.
...
Yukino jelas tidak tahu apapun soal ramen karena dia dibesarkan di luar negeri. Keluarganya pindah ke Jepang waktu kecil, lalu terjadi bully di kelas 6 SD. Lalu Yukino pergi lagi keluar negeri menghabiskan waktunya 2 tahun sebagai siswi pertukaran pelajar, kembali lagi ke Jepang waktu kelas 3 SMP.
...
Sayangnya, versi anime tidak menayangkan utuh adegan di restoran ramen, padahal ada beberapa monolog penting dari Hachiman.
Anime juga melakukan kesalahan dalam adegan sepulang dari restoran ramen. Yukino harusnya memegang lengan Hachiman dan jalan bersama-sama ke hotel. Versi anime menampilkan Yukino dan Hachiman jalan berjauhan.
Kesalahan anime ini sebenarnya sudah disindir oleh Watari dalam afterword seri [A].
...
Hachiman dalam adegan rom-com dengan Yukino sepulang dari restoran ramen, mengatakan dia melihat sisi lain dari Yukino dan menyukai itu.
Dalam vol 7 chapter 2, Tobe mengatakan hal serupa, kalau dia melihat sisi lain dari Ebina dan menyukai itu. Terlebih lagi, Hachiman mengakui pendapat Tobe tersebut.
Saya tidak tahu apakah ini disengaja atau tidak oleh Watari, disini terjadi adegan serupa dengan apa yang dirasakan Tobe, bedanya...Kali ini Hachiman terhadap Yukino. Jika ini terencana dengan baik, maka Watari memang memiliki skill menulis yang baik.
Lebih dari itu, ini seperti menunjukkan kalau Hachiman mau tidak mau harus menerima fakta kalau dia tertarik dengan Yukino, tentunya jika ini mengacu ke pembenaran Hachiman terhadap alasan Tobe tempo hari.
...
Yukino jelas terkejut dengan kata-kata Sensei yang mengatakan kalau orang itu marah karena memperhatikannya selama ini. Itu mengingatkan Yukino dengan kejadian vol 6.25 dimana Hachiman sendiri marah ke Yukino yang menjadi Wakil Sagami di kepanitaan Festival Olahraga.
...
Kemungkinan besar, Yukino menurut dengan saran Hachiman soal jalan di dekatnya karena teringat kata-kata Sensei, yaitu Hachiman peduli dengannya. Juga, fakta kalau Yukino sendiri kesulitan dalam mencari arah.
Ini jelas lucu, karena Yukino sendiri takut momen mereka berduaan itu bisa menimbulkan gosip.
Tapi melihat perkembangan ke depannya, di vol 10 chapter 1 Yukino dengan santainya memegangi lengan Hachiman ketika masuk ke kereta tanpa memikirkan pandangan orang-orang disana, sepertinya situasi ini akan berkembang jauh ke depannya.
...
Maaf min, bagian mana ya yang menunjukan bahwa yukino megang lengan hachiman ? :v
BalasHapusPas mau ke hotel, abis dari restoran ramen
Hapusironis sekali..
BalasHapusdi animenya hachiman hanya terlihat lebih dekat ke yuigahama, sebliknya d LN-nya lebih dekat ke Yukinoshita
Sudah saya ulangi beberala kali membacanya, tp tidak ada dlm novel di atas yg menunjukkan Yukino memegangi tangan 8man. Yang ada hanya memegangi pakaiannya. Apa saya yg kurang bisa menafsirkan?
BalasHapusCome on that the same thing. Kan hachiman pake baju lengan panjang, otomatis yg dipemang itu lengan bajunya. Sama aja kan.
Hapusemang kampret sihh pas tau di anime nya malah gitu kan itu harusnya adegan penting karna memperlihatkan yukino jadi lebih dekat dengan hachiman,tapi sebenarnya bukan adegan ini saja sih scene "mesra" dengan yukino di cut di anime nya,contoh nya season 1 eps 8 menit ke 11:38 disitu ada adegan yukino kaget karna ada yg bergerak di semak-semak karna itu yukino jadi memgang baju hachiman dengan erat (manga chapter 17 page 19) dan adegan itu di cut di anime......
BalasHapus