Jumat, 22 Juli 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol R Chapter 8 : Mungkin seperti yang sudah diketahui, ini tentang mereka berdua, dan juga cerita lain tentang gadis tersebut -1


x x x







  Hari ini, hal yang jarang sekali muncul di Chiba terjadi. Hujan salju. Awan lembab yang bertiup dari Laut Jepang terhalang oleh pegunungan di dekat daerah Honshu.

  Meski begitu, ketika salju turun, angin kering yang berasal dari Pasifik biasanya akan menemani daratan Chiba. Tapi, turun salju dalam cuaca seperti ini memang terasa janggal di Chiba. Dalam 17 tahun pengalamanku, aku pernah menghadapi badai salju ketika awal tahun, yaitu tanggal 1 Januari, dan pernah pula di akhir Maret. Timing munculnya salju tampaknya sudah tidak bisa diprediksi lagi, seperti mengikuti jadwal ujian masuk Komachi saja. Sayangnya, hari ini tidak terasa ada angin bertiup sedikitpun.

  Kelopak bunga terlihat semakin merunduk dalam balutan salju yang menari ini.

  Memakai seragam sekolah bersama dengan mantel dan syal, dia juga memakai sarung tangan beserta sepatu boots kulit. Dia tampaknya memang sudah bersiap-siap ketika hendak meninggalkan rumah. Meski jadwal ujiannya masih lama, menghindari kemacetan tampaknya adalah pilihan terbaik.

  "Tanda pengenal peserta ujian? Penghapus? Sapu tangan dan pensil pentagonal?" Pensil tersebut adalah pensil pemberian Ayah yang katanya dia beli dari kuil dimana dia berdoa untuk kelulusan ujian Komachi.

  Komachi lalu menarik napas dalam-dalam dan menatap tasnya, lalu dia mengangguk dengan penuh semangat. Setelah itu, dia membuka payungnya dan memberi salam.

  "Aku sudah siap! Aku pergi dulu, Oni-chan!"

  "Oh, selamat jalan. Hati-hati di jalan."

  "Oke. Brrrr... dinginnya. Sin, cosinus, tangen...ah, harusnya bukan begitu."

  Sambil menggigil kedinginan, dia tampak menggumamkan rumus-rumus yang perlu dihapalkannya. Melihatnya pergi seperti itu, aku mulai tersenyum. Dia mungkin akan baik-baik saja. Apa mungkin karena terlalu banyak belajar-lah yang membuatnya memiliki semangat setinggi itu?

  Ngomong-ngomong soal kegiatanku, tidak ada kegiatan yang bisa kulakukan hari ini kecuali berdoa untuk Komachi, dan menyerahkan segala keputusannya kepada 'pemilik surga'.

  Awan-awan padat yang berada di ketinggian yang cukup rendah seperti mengatakan kalau cuaca cerah tidak akan terjadi dalam waktu dekat, seperti yang dikatakan butiran salju padat yang jatuh dari langit ini. Tampaknya akan turun salju seharian...

  Sambil menggigil kedinginan, aku berjalan kembali ke rumah. Ketika itu, ada sesuatu yang juga sedang menggigil di tubuhku.

  Aku mencari ke sudut kantongku untuk mengetahui sumber getaran itu, ternyata ada sebuah panggilan telpon masuk. Tulisan di layar tertulis panggilan dari [★✰Yui✰★]. Ini dari Yuigahama. Dulu, ketika pertama kali dia menuliskan nama kontaknya di HP-ku, sampai sekarang belum berubah, dan terus begitu saja sampai saat ini.

  Aku sempat ragu apakah harus kuangkat atau kubiarkan saja panggilan ini. Tapi, panggilannya terus berbunyi dan HP-ku bergetar terus-menerus. Aku menyerah, aku tekan bagian 'jawab' dan mengangkat telpon darinya.

  "...Halo."

  Ketika aku mengatakannya, langsung muncul suara ceria dari seberang sana.

  "Hikki, ayo kita pergi kencan!"

  "...Hah?"

  Hal pertama yang dia katakan bukanlah salam atau semacamnya, tetapi kata-kata yang tidak terduga. Aku seperti menjadi batu saja mendengar perkataannya, dan hanya terdengar suara "pssshh-tsuuu" dari mulutku.







x x x






  Karena menerima panggilan semacam itu, aku mulai mempersiapkan diriku untuk pergi. Tepat ketika hendak pergi, aku memeriksa dahulu tentang titik kemacetan dari aplikasi HP-ku untuk berjaga-jaga. Tampaknya rute yang kupilih tidak akan terlalu ramai. Setidaknya, tidak perlu khawatir telat berada di sana.

  Tumpukan salju ini masih belum begitu tebal sehingga aku masih bisa berjalan dengan lancar. Aku berjalan dengan perlahan menuju pemberhentian bus, sambil berjalan di belakang bekas ban mobil yang sudah menghancurkan salju yang mulai padat. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk naik bis dan berpindah ke kereta. Kau bisa juga melihat pemandangan laut dari jendela kereta. Dari jendela itu, aku bisa melihat salju mulai berjatuhan, bergerak dari kanan ke kiri. Posisi matahari kali ini memang cukup tinggi, dengan sinarnya yang berusaha untuk menembus kumpulan awan hitam, memberinya warna putih yang diiringi sebuah bayang-bayang hitam.

  Rute sepanjang bibir pantai adalah rute yang padat. Bukan karena cuaca kali ini. Rute itu biasanya padat jika ada event. Misalnya, Makuhari Messe, Game Show atau Pameran Kendaraan, atau ada Comic Market (Comiket), atau ada pertunjukan musik di Stasiun Shin-Kiba. Jika ada kegiatan itu, kemungkinan besar jalur ini akan padat luar biasa.

  Tapi alasan paling utama, adalah Stasiun akhir rute ini, adalah Stasiun terdekat dengan rumah atraksi terkenal se-antero Jepang. Orang-orang mengenalnya dengan Tokyo Disney Resort, atau TDR.

  Terutama, karena hari ini adalah Hari Valentine.

  Meski bersalju, tampaknya banyak sekali penumpang kereta untuk hari ini. Aku mencoba menguping pembicaraan sebuah pasangan yang berada di dekatku. "Apa salahnya menjadi romantis? Bahkan hujan salju ini tidak akan bisa menghentikan kami!"

  Memang, bagi kencan di Hari Valentine, mereka bisa menjadikannya alasan yang kuat untuk keluar meski turun salju.

  Tidak lama kemudian, asap putih dari atraksi Volcano terlihat. Ada pengumuman di kereta yang memberitahukan bahwa kereta akan segera berhenti di Stasiun berikutnya, lalu kereta mulai memperlambat lajunya.

  Ketika berhenti, pintu terbuka dengan suara 'pshhh-tsuuu'. Udara dingin langsung menerjang gerbong kereta, termasuk pasangan yang baru saja aku dengar pembicaraannya. Ketika berhenti di spot ini, ada sebuah alunan musik khas Disney yang dipakai sebagai melody tanda kereta akan berangkat.

  Sambil mendengar alunan musik tersebut, akupun keluar dari gerbong kereta.

  Aku pernah mengingat sekilas, kalau entah kapan dan dimana, aku pernah diajak untuk mengunjungi tempat ini bersama-sama. Janji yang tidak terucap tersebut akhirnya dilaksanakan juga.

  Kalau diingat-ingat kembali, aku menerima telepon pagi ini. Aku tidak terkejut jika aku tidak menolak ajakannya di telpon. Yang paling utama, karena yang pertama kali menjanjikan untuk mengajaknya keluar adalah aku. Jadi, ini hanyalah sebagai pemenuhan janji yang pernah kuucapkan.

  Ada sebuah monumen baru yang sengaja dibuat di dekat Stasiun Maihama, monumen yang berbentuk hati dimana tidak cocok dengan musim salju yang sedang terjadi saat ini. Tapi, tampilan monumen ini memang menimbulkan suasana yang terasa hidup tentang hari Valentine. Sambil memikirkan itu, aku mulai mencari-cari tempat pertemuan kami.

  "Hikki!"

  Dia mungkin berada di kereta yang lebih awal dariku. Yuigahama, yang melihatku berjalan dari kejauhan, memanggil namaku, dan secara perlahan melambai-lambaikan payung pink yang dia bawa ke arahku. Akupun mengangguk untuk membalasnya, dan mulai berjalan perlahan ke arahnya.

  "Maaf, apa aku terlambat?"

  "Tidak sama sekali...Aku saja yang datang lebih dulu, itu saja."

  Dia mengatakan itu sambil tertawa dengan malu-malu, membuat topi wol yang dia pakai bergerak-gerak mengikuti gerakan kepalanya. Dia memakai mantel berwarna beige dengan sweater panjang di baliknya. Sebuah syal panjang terlihat menyelimuti lehernya dan dia juga memakai sarung tangan. Sepertinya, dia benar-benar mempersiapkan dirinya dengan baik dengan cuaca dingin ini. Tapi, dia tampak tidak memakai legging, dan rok pendek yang dia pakai terlihat akan membuat tubuhnya menjadi dingin. Tambahan lagi, dia memakai semacam sepatu boots berbulu yang pendek, mungkin dia hendak menyeimbangkan antara dingin dan hangat di cuaca yang seperti ini.

  Ngomong-ngomong, kita akhirnya bertemu tanpa adanya masalah apapun. Yang tersisa hanyalah berbicara kepadanya. Ketika kulihat, dia hanya menggoyang-goyangkan tubuhnya, seperti gelisah karena menunggu sejak lama. Dia tampak gugup sekali.

  Jika dipikir kembali, fakta kalau hanya kami berdua yang datang kesini hari ini, akan sangat masuk akal kalau kesunyian yang melanda kami ini karena sesuatu seperti, "Hei, kau ini jelas-jelas sedang memasuki suasana Valentine Day!". Maksudku, aku sendiri sudah tidak bisa lebih dari ini lagi.

  Tapi, akulah yang menjanjikan untuk mengajaknya pergi keluar sebagai rasa terimakasihku. Itu artinya, akulah yang harusnya mengatakan sesuatu dalam situasi ini.

  Seperti sudah memutuskannya, akupun melihat wajah Yuigahama, merasa sedikit ragu, dan entah mengapa aku memalingkan pandanganku. Kupikir jika aku mengatakan apa yang ingin kukatakan saat ini, situasinya akan berubah menjadi aneh, dan tidak akan ada satupun kata-kata yang wajar akan keluar dari mulutku. Entah mengapa, setelah beberapa kali aku berusaha pura-pura batuk, aku akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata itu dari mulutku.

  "...Ya sudah, ayo kita pergi."

  "Oke!"

  Dengan jawaban yang terdengar bodoh tersebut dan disertai nada yang ceria, kegiatan 'terima-kasih' yang dulu pernah kuucapkan ini, dan kencan yang dia pernah bicarakan dulu, akhirnya dimulai.




x x x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar