x x x
Ketika kami sampai di eskalator, aku mencoba
melepaskan tanganku dari Haruno-san yangg memegangi tanganku sejak tadi.
“Jadi kita
akan kemana?” tanyaku.
Meski
pertanyaannya sangat sederhana, tetap membuatku merasakan perasaan yang aneh.
Mungkin karena dia menarikku sejak tadi sehingga kata-kata yang dia bisikkan
tadi masih terdengar di telingaku. Oleh karena itu, aku tidak bisa melihat ke
arah wajahnya sambil menanyakan pertanyaan itu. Aku hanya mengikuti kemana
suara dari hentakan sepatunya. Haruno-san kemudian berhenti berjalan dan
menoleh ke arahku. Melihatku dengan serius lalu tersenyum.
“Hmm?
Bukankah sudah kukatakan tadi kalau kita akan pergi berbelanja.”
“Tidak, kau
belum memberitahuku sama sekali.”
Kau hanya bilang kita akan berkencan!
Kencan! Para gadis, tolong jangan mempermainkan hati pria sederhana sepertiku. Meski,
apapun yang Haruno-san katakan sebelumnya, tidak akan mengubah apapun. Bahkan
sekarang dia tidak mendengarkanku sama sekali, berjalan terus ke depan sambil
menggumamkan nada-nada lagu dan akhirnya ke eskalator. Lalu dia membalikkan
badannya; lipatan roknya terlihat sedikit berkibar. Akupun bisa menahan diriku
dan Haruno-san mengatakan sesuatu kepadaku.
“Tokonya ada
di bawah lantai ini. Aku sudah memutuskan akan membeli apa, jadi tidak akan
memakan banyak waktu,” Haruno-san memberitahuku dengan senyum yang misterius.
Kalau melihat tampilan dan sifatnya, aku tidak pernah berpikir kalau gadis ini
berumur lebih tua dariku. Yang kutahu dia adalah tipe gadis dimana kau harusnya
tidak boleh lengah sedikitpun, tapi kalau terus melihat senyumnya itu, aku
merasa kalau kewaspadaanku terus berkurang sedikit demi sedikit.
“Well,
sebenarnya aku tidak ada masalah dengan itu...” jawabku, sambil berdiri di
belakang Haruno-san. Kami kemudian turun ke lantai bawah. Haruno-san keluar
dari eskalator dan langsung berjalan lurus ke depan. Tempat ini sangat ramai
karena ada Sale Tahun Baru, tapi Haruno-san bisa berjalan dengan lega melewati
keramaian ini. Dia ini sebenarnya siapa,
Nabi Musa? Meski sebenarnya aku paham mengapa mereka memberinya jalan. Jika
aku bertemu gadis seperti itu, aku akan membukakan jalan untuknya. Atau mungkin
mereka terpesona oleh auranya. Tapi tidak dengan diriku: Aku pernah melihat
kegelapan dalam dirinya. Kecantikan adalah salah satu metode untuk mempengaruhi
orang, atau lebih tepatnya mengintimidasi. Tambahkan sedikit rasa percaya diri,
dan kau akan punya cambuk iblis yang berasal dari sayap harimau. Semua orang
akan langsung menyingkir dari jalannya.
Mungkin ini
alasan mengapa Yukinoshita Haruno terlihat selalu sendirian. Meski dia memang
punya teman. Yeah, aku baru ingat kalau ketika pertemuan pertama kami, dia
sedang berjalan-jalan dengan temannya, dan ketika kami bertemu di kafe donat,
dia sedang menunggu temannya. Hiratsuka-sensei, mantan gurunya di SMA, juga
pernah memberitahuku kalau dia punya banyak teman di sekolah. Meski begitu...
Aku ingin
menyimpulkan dirinya lebih dalam lagi. Dia punya wajah yang cantik, otak yang
pintar, tidak lupa juga tentang status keluarganya...Dia bisa memperoleh apapun
yang diinginkan oleh manusia meskipun sendirian...Itu seperti impianku selama
ini. Hal yang sama terlihat dari gaya hidup Yukinoshita Yukino yang pernah
kulihat beberapa waktu lalu. Karena itulah, mungkin, Haruno-san yang kulihat
selama ini hanyalah ilusi belaka. Karena ketika dia merasa sendirian, dia tidak
bisa dengan bebas lari dari kesendiriannya. Sikapnya terhadap Yukinoshita
Yukino adalah bukti dari hal itu. Aku bisa ingat dirinya yang dengan keras
kepala menekan redial nomor Yukinoshita, atau bagaimana dirinya hanya
mempermainkan Yukinoshita selama ini. Tidak ada keraguan soal itu: Haruno-san
tidak bisa melewatkan begitu saja eksistensi dari Yukinoshita. Buktinya, dia
selalu ingin dekat dengan Yukinoshita, meski, dia tidak bisa kabur dari
kesendiriannya. Tentunya, aku tidak tahu apa alasan dia yang sebenarnya. Sikapnya ini terlalu kuat untuk bisa
dikatakan hanya sekedar cinta kepada saudara sendiri ataupun kerabat dekat.
Aku punya
adik perempuan juga, tapi aku tidak akan sebegitu jauhnya untuk menjahilinya
atau menunjukkan betapa aku mencintainya...Hmm...Sebenarnya aku bersedia sih. Aku sering melakukannya. Aku sering
mengganggunya ketika berada di rumah, mengawasi betul proses belajarnya hingga
ujian dan menyingkirkan serangga-serangga yang berusaha mendekatinya. Itu
adalah sikap yang normal bagi seorang kakak laki-laki kepada adiknya. Tapi,
apakah itu juga berlaku ke kakak perempuan juga? Apakah itu artinya sikap
Haruno-san itu normal-normal saja? Itulah yang terpikirkan olehku sambil
mengikuti Haruno-san. Tiba-tiba dia berhenti.
“Yang ini,”
Haruno-san
menunjuk ke salah satu toko. Barang-barang di toko itu terlihat imut dan berwarna ceria...Toko ini
terlihat mencolok meskipun di lantai ini memang dikhususkan untuk barang-barang
wanita. Aku mencoba melihat dari luar, disana ada pakaian rumahan dan aksesoris
untuk berenang. Kulihat lebih jauh ada kaos kaki, selimut, peralatan mandi dan
gaun, bandana...Desain mereka seperti es krim dan manisan-manisan. Hanya
pelanggan wanita yang terlihat di dalamnya. Melihat hal itu, tampaknya pria
sepertiku harusnya tidak masuk ke dalam.
“Umm, aku
akan menunggu disini saja,” kataku sambil menyeka keringat di keningku.
Haruno-san tersenyum.
“Hei!” dia
mendorongku masuk.
Dua langkah
berlalu dan aku sudah masuk di dalam. Aaagh! Sebentar lagi akan ada karyawan
yang datang kepadaku dan bertanya dengan wajah serius, “apa anda mencari sesuatu?”, dan menakut-nakutiku dengan senyumnya
yang dipaksakan. Aku akan membalasnya dengan “tidak, tidak ada” dengan meniru
gaya dari beberapa aktor film, aku mulai berkeringat dan membenci diriku
sendiri. Lalu si karyawan akan menyadari keningku yang berkeringat dan berkata “Ya
Tuhan, kau sangat basah sekali! Apakah ruangannya terlalu panas?”; kata-kata
tersebut dibuat dari 80% jijik dan 20%peduli, dia akan memberiku tissu. Aku
bahkan mulai berkeringat memikirkan hal tersebut. Kuharap si karyawan langsung
saja memberiku Bufferin (semacam obat penahan sakit) daripada rasa pedulinya.
Tapi itu
hanya berlaku kepada pria, lebih spesifik lagi adalah pria yang hidup dalam
bayang-bayang. Kalau wanita, masalahnya berbeda. Ini adalah lantai mereka, jadi
tidak perlu malu berada disini. Pria yang punya pacar dan terbiasa dengan
benda-benda disini tidak akan merasa asing juga.
Haruno-san
dengan percaya diri mulai berjalan lebih jauh ke dalam toko tersebut, seperti
tahu harus kemana. Aku hanya mengikutinya dengan mataku sambil mengeluarkan
suara seperti singa laut. Atau mungkin suara-suara manusia jaman dahulu kala,
dimana aku harus belajar lagi tentang tata bahasa dan penulisan kata yang lebih
baik.
Haruno-san
mungkin menyadari keanehan diriku yang masih ragu untuk mengikutinya. Dia lalu
membalikkan badannya kepadaku seperti paham apa yang terjadi.
“Jangan
khawatir, mereka disini juga menjual pakaian pria,” katanya, setelah itu dia
berdiri di sampingku dan menyeretku lebih jauh. Well, kalau dia sampai
segitunya, aku tidak bisa terlihat menjadi penakut seperti ini. Tidak lupa
kalau bersentuhan tangan dengan Haruno-san terlihat sangat memalukan bagiku.
Kuusir semua keraguan itu dan mengikuti arah langkahnya.
Pengunjung
disini hanya wanita...Ya Tuhan. Aku lalu menyalakan mode tidak terlihat.
Haruno-san tampaknya mencari sesuatu yang spesifik sambil menggumamkan nada
lagu. Mengambil beberapa baju dan menaruhnya di depan dadanya, lalu dia menoleh
ke arahku.
“Hei, lihat
ini, kainnya sangat tebal,” dia mengatakan itu sambil tersenyum. Itu membuatku
terkejut: Haruno-san terlihat sangat childish dan lugu.
“Well,
bahannya memang begitu.”
Kami
berkeliling di toko tersebut dan bertukar kata-kata seperti tadi. Aku masih
belum terbiasa di toko ini, jadi aku bergerak secara pelan dan perlahan. Tapi
Haruno-san yang berjarak setengah langkah ada di belakangku terdengar terus
berbicara. Jadi aku tidak merasakan ketidaknyamanan. Asal tahu saja ya, aku
masih merasa tidak nyaman bersama Haruno-san! Meskipun aku sangat senang karena
para karyawan toko dan pelanggan disini tidak memperhatikanku dengan tatapan
mereka.
Kami
akhirnya tiba di sudut toko yang menjual aneka barang. Haruno-san tiba-tiba
mengambil salah satu dari barang tersebut.
“Hei, lihat,
ini untuk pria.”
Di tangannya
terdapat seperti piyama abu-abu bergaris dengan tudung. Ujung dari tudung
piyama tersebut ada semacam pompons, jadi piyama ini terlihat seperti sangat imut. Akupun mencoba melihatnya lebih
dekat. Aku tidak sengaja melihat tulisan harganya, dan mengejutkanku.
“Whoah,
mahalnya!”
Akupun
memeriksa harganya sekali lagi. Lalu, kuperiksa sekali lagi. Ini hanya piyama,
mengapa harganya bisa lima digit begini? Di musim panas, kau bisa tidur hanya
memakai celana pendek dan kaos oblong, dan di musim dingin kau bisa memakai
sweater dan dotera (kimono lipat untuk pria)...Aku hanya terdiam disana,
terkejut oleh yang namanya ‘Dunia Fashion’; Haruno-san lalu tertawa melihatku.
“Yeah, kau kan pria, para pria memang tidak
tertarik kepada hal-hal semacam ini. Tapi review tentang toko ini memang bagus.
Bagaimana kalau kau mencobanya sebentar?”
“Well...”
Aku
mengatakannya dengan nada kurang senang setelah membayangkan diriku berada
dalam piyama imut ini. Mustahil aku
akan cocok memakainya. Meski itu hanya piyama, itu adalah pakaian yang harusnya
tidak ditunjukkan ke orang lain, jadi cocok atau tidak kepada diriku bukanlah
masalahnya. Ada satu masalah lagi, yang ini benar-benar serius.
Aku bisa
merasakan kalau kesadaran dari seseorang yang berasal dari kelas 2 SMA sedang
berteriak di dalam diriku. Jika begini terus, para gadis akan mulai melirikku,
dan aku akan terlihat sebagai pria populer! Buruk sekali! Ini sangat buruk!
Para gadis pasti punya pengetahuan mumpuni tentang merk baju-baju ini. Kurasa
ekspresi tidak menyenangkan dariku ini tertangkap oleh Haruno-san, karena dia
terlihat sedang tersenyum ke arahku.
“Hikigaya-kun,
kau tidak berusaha menyembunyikan rasa jijikmu di momen seperti ini. Aku sangat
terkesan.”
“Aku ini
orangnya jujur.”
“Kalau
begitu, sama denganku.”
Haruno-san
menyerang balik kata-kataku tanpa memberiku waktu untuk bernapas. Akupun
melihat ke arahnya: Senyum yang mempesona terlihat di wajahnya.
“Pakaian
yang berpasangan terlihat menarik, bagaimana pendapatmu?” dia membisikkan itu
dengan gaya yang menggoda ke telingaku.
Napasnya
yang hangat mulai merayap di telingaku. Aku paham kalau dia hanya sekedar
menggodaku, tapi pipiku ini masih terasa panas. Aku bahkan tidak berani untuk
melihat ke wajahnya. Merasa puas dengan reaksiku, dia lalu berjalan di
belakangku.
“Aku akan
ambil pakaian yang berpasangan untuk Yukino-chan dan diriku,” dia menambahkan
itu sambil menyanyikan lagu. Akupun bernapas lega.
“Kupikir kau
sebagai kakaknya akan terlihat cocok memakai pakaian yang berpasangan itu
daripada diriku.”
“Kalau
terlalu menarik itu juga tidak bagus, efeknya bisa menjadi terbalik. Aku ini
sudah menarik dari sananya,”
Haruno-san
menjawabnya dengan ironis, seperti sudah menduga seperti apa reaksiku. Ini
hanyalah percakapan basa-basi, tapi Haruno-san tampak menikmati itu. Melihat
kedua matanya, aku merasakan tatapan mata yang sadis. Tidak-tidak, aku tidak
menyukainya sedikitpun. Tapi tatapannya memang terlihat lebih gelap daripada
biasanya.
“Dulu kita
terbiasa untuk memakai pakaian yang berpasangan,” dia mengatakan itu dengan
pelan, seperti mengingat sebuah kenangan di masa lalu.
“Aku tidak
menduganya sama sekali,” aku mengatakannya dengan jujur.
“Kenapa?
Kurasa itu sangat sederhana. Tidak ada yang mengejutkan karena orang tua kami
membelikan kami baju yang berpasangan,” Haruno-san mengatakan itu tanpa
tersenyum, hanya melihat-lihat ke baju tersebut di rak. Bukannya aku terkejut
karena mengetahui fakta kalau Yukinoshita bersaudara dulunya sering memakai
baju yang berpasangan. Bahkan diriku kadang sering memakai pakaian yang mirip
dengan Komachi untuk memuaskan kedua orang tuaku. Keluarganya juga punya
kebiasaan yang sama. Terlebih lagi, keinginan untuk melihat adiknya yang cantik
memakai pakaian yang sama adalah normal.
Yang
mengejutkanku bukanlah itu. Tapi bagaimana Haruno-san mengatakannya. Bukanlah
perasaan semacam mengagumi atau nostalgia ketika dia mengingat memori itu. Aku
merasakan perasaan yang berbeda. Semacam kesendirian, seperti merasakan sesuatu
yang sangat jauh, kehilangan untuk selamanya. Entah mengapa aku bisa merasakan
semacam keputusasaan dari nada suaranya. Aku hanya merasakannya begitu. Untuk
saat ini, Haruno-san berada di luar pemahamanku. Aku bahkan tidak akan pernah
bisa memahaminya sama sekali.
Aku sendiri
bahkan tidak bisa memahami orang-orang yang berada di sekitarku. Haruno-san
bisa mendekatiku kapanpun dia mau, tapi dia tidak membiarkan diriku untuk
memahami dirinya. Untuk saat ini, dia terlihat sedang mencari-cari pakaian,
seperti pura-pura tidak memahami semua maksudku.
“Yup,
tampaknya yang ini,”
Haruno-san
mengatakan itu dan menempelkannya di
depan blus putihnya. Sebuah kostum berwarna abu-abu dengan motif polkadot
berwarna pink. Haruno-san lalu menaikkan pakaian itu setinggi hidungnya dan
melihatku.
“Bagaimana
pendapatmu?”
“Kurasa itu
bukan selera adikmu, meski begitu kurasa dia akan baik-baik saja.”
Haruno-san
tampak menggerutu dan menatapku dengan tajam. Eh? Apa ada yang salah? Apa dia
punya metode tertentu dalam persenjataannya? Pos keamanan yang dibangunnya
sudah terlalu sempurna. Seandainya aku tahu seperti apa dirinya yang
sebenarnya, aku mungkin akan kalah seketika. Dan akupun tidak akan menyesalinya
sedikitpun. Begitulah Yukinoshita Haruno.
“Maksudnya
itu cocok denganku. Bahkan ukuran baju ini tidak akan cocok dengan Yukino-chan,”
Haruno-san mengatakannya dan menyentuh dadanya.
Yukinoshita
bersaudara punya satu persamaan kuat: mereka bisa berbicara tanpa mengatakan
satupun kata. Mengatakan sesuatu yang kejam sekali...begitulah Harunon. Hei, adikmu juga mengkhawatirkan itu! Jangan
pernah mengatakan itu kepadanya! Berjanjilah! Oke, baik, karena dia meminta
komentarku, maka aku akan memberinya. Mungkin itulah alasannya mengapa dia
mengajakku kemari.
“Well...Soal
itu kurasa kau yang lebih tahu,” itulah yang bisa kukatakan.
Haruno-san
punya tampilan yang mempesona. Mungkin karena itulah apapun yang dia pakai akan
terlihat cantik. Masalahnya...Tampaknya kata-kataku tidak cukup, tatapan
matanya itu menunjukkan determinasi tinggi dan memintaku untuk terus
melanjutkannya.
“Tampak
sangat cantik denganmu,” akupun mengatakan itu sambil memalingkan pandanganku
yang sedang berada dalam pengawasan Haruno-san. Dia lalu mengangguk puas.
“Oh bagus. Kalau
begitu kubeli yang ini,” kata Haruno-san.
Dia lalu
melipat baju yang dicobanya itu, dan menambahkan baju serupa dengan warna putih
salju.
“Aku akan ke
kasir dulu,” dia mengatakan itu dan pergi.
Aku
ditinggalkan sendirian tanpa adanya Harunon-barrier yang melindungiku dari para
pelanggan dan karyawan toko, jadi akupun dengan cepat pindah ke bagian pakaian
pria di toko ini. Mungkin kalau disini aku tidak akan terlihat mengganggu.
Kemudian aku
melihat kostum yang memiliki desain sama dengan yang Haruno-san rekomendasikan.
Warna hitam, huh. Baiklah, oke, hmm...Hanya berbeda warna dan kesannya langsung
berubah. Mungkin yang ini akan terlihat bagus untukku. Hmm, hmm...ketika aku
hendak menggapai kostum itu...
“Maaf sudah
membuatmu menunggu,”
Aku
mendengar suara yang ceria dari belakangku.
“Cepat
sekali,” kataku; Haruno-san melihatku dengan tatapannya yang terlihat sedang
meminta maaf.
“Membungkus
pakaian tadi katanya akan memakan sedikit waktu, maaf ya kita harus menunggu
dulu,” dia mengatakan itu sambil menunjuk ke kursi-kursi yang ada di tengah
ruangan ini. Tampaknya itu area istirahat. Dia menyarankanku untuk menunggu
disana sambil menunggu proses membungkusnya selesai. Haruno-san lalu berjalan
menuju kursi tersebut. Tanpa Haruno-san disini, aku merasa tidak nyaman, jadi
kuputuskan untuk mengikutinya. Aku lalu duduk di sebelah Haruno-san. Sementara
itu dia membuka tas belanjaannya dan memeriksa sesuatu.
“Bagaimana
denganmu? Apa kamu sudah memilih?” dia mengatakan itu tanpa menoleh dari tas
belanjaannya.
“Ah? Oh,
kalau itu aku sudah membelinya tadi.”
Pertanyaannya tadi tampaknya tidak sesuai dengan situasinya. Kalau
dilihat dari maknanya, yang ditanya pasti hadiah untuk Yukinoshita. Tapi
Haruno-san mencondongkan kepalanya tanpa tersenyum, lalu secara perlahan dia
menoleh ke arahku. Beginilah cara ular
menoleh ketika mengejar mangsanya.
“Aku tidak
membahas soal itu. Yang kumaksud adalah kalian bertiga,” dia menjelaskan itu
dan akupun terdiam.
Matanya yang
hitam terlihat terang dan jelas, tapi aku tidak bisa melihat dasarnya; seperti
menjebak jiwaku. Jika aku mencoba memahami motifnya, menjelaskan apa
pertanyaannya, maka aku akan berakhir dalam kondisi harus menjawabnya. Ini
berarti aku hanya bisa melakukan satu hal. Akupun membuka mulutku dan
mengatakannya tanpa jeda.
“Kami
bertiga? Aku biasanya tidak mau mengkomentari soal grup kami. Begitulah yang
terjadi di musim panas dan darmawisata. Kurasa lebih sopan begitu.”
“Aku suka
sifatmu itu,” Haruno-san menjawabnya dengan senyum yang mempesona. Tekanannya
sekarang sudah menghilang, tapi kedua matanya masih terlihat gelap, dan aku
tahu yang tadi itu hanya pemanasan saja.
“Aku tidak
peduli siapa yang kau pilih. Tapi kau tidak berpikir kalau itu akan berakhir
seperti yang kau inginkan, benar? Yang kau lakukan ini tidaklah wajar.”
Dia tidak
mengatakan sesuatu yang konkrit tapi aku paham apa maksudnya. Yukinoshita
Haruno telah mengatakan sebuah kebenaran yang tidak bisa kusangkal lagi ke
wajahku. Aku sendiri mengetahui
tentang kebenarannya. Sebuah kebenaran yang tidak begitu luar biasa, tapi
kebenaran yang pernah kualami. Tapi jika kau melihatnya sebatas pengamat,
kau tidak akan bisa melihatnya sama sekali. Jadi aku akan pura-pura tidak tahu
apapun.
“Tidak wajar
memiliki padanan kata dengan dibuat-buat. Semua yang kita hadapi ini adalah
buatan manusia dan semuanya dibuat-buat. Jadi kita harus menerima semua ini
adalah sesuatu yang dibuat-buat, seperti itu...”
Pengamat itu
sedang tersenyum.
“Katamu
tempo hari, kau tidak mau menyebut itu genuine, benar tidak? Jadi, apa genuine?”
[note: Vol 8 chapter 5, panggilan telepon Haruno.]
Suara yang
lembut. Tatapan yang dingin. Mata yang basah. Tarikan napas yang terasa kasar.
Dia mengatakan itu seperti bukan pertanyaan yang penting. Tapi tidak ada
satupun orang yang bisa menjawab itu. Beberapa detik kemudian, atau mungkin
menit; akhirnya situasi mulai kembali
normal dan aku bisa mendengar musik dimainkan di lantai ini. Kami terus terdiam
dari tadi. Tiba-tiba aku mendengar seseorang mendekati kami dari pinggir. Itu
adalah karyawan toko yang membawakan bingkisan. Melihat hal itu, Haruno-san
berdiri dan tersenyum.
“Waktu telah
habis. Kencan ini berakhir. Ayo kita kembali,” Haruno-san mengatakan itu dan
berjalan menuju karyawan tersebut. Dan aku sendiri masih duduk terdiam disini.
x x x
Kami kembali
ke kafe tanpa satupun dari kami mengatakan kata-kata. Dia mungkin sudah
mengatakan apa yang ingin dia katakan. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu,
jadi pertanyaan itu dibiarkan tergantung. Malahan...tidak, tidak ‘malahan’.
Kita kembali ke tempat duduk semula di kafe dan Haruno-san kembali ke dirinya yang
enerjik.
“Ini,
Yukino-chan, selamat ulang tahun. Kakakmu ini sudah memilihkan itu dengan
sangat hati-hati loh,” Haruno-san
mendekati Yukinoshita dan memberinya hadiah.
“Nee-san...Ada
apa ini tiba-tiba?”
Yukinoshita
tidak punya alasan untuk menolak hadiah ulang tahun, tapi dia masih terlihat
bingung. Yuigahama yang melihat bungkusan tersebut, matanya berbinar-binar.
“Aah, itu
pasti dari toko itu! Barang-barang disana memang terlihat manis!”
“Yep! Gahama-chan
memang gadis pintar, seperti dugaanku. Barang yang manis untuk adikku yang
manis! Biarkan dia merasakan cintaku,” Haruno-san mengatakan itu dengan bangga
sambil menunjuk ke Yuigahama. Yukinoshita yang mengikuti pembicaraan mereka,
melihat sebentar ke hadiah tersebut.
“Cinta?...Tapi
kalau melihat hadiah ini, memang terlihat manis...” Yukinoshita mengatakan itu
dan mengangguk. Tampaknya dia menyukai itu. Dia lalu membuka bungkusan itu.
“Terima
kasih.”
“Sama-sama.”
Haruno-san
melihat ke wajah Yukinoshita yang memerah dan tersenyum puas. Aku mencoba untuk
menduga ini, tapi dunia ini berubah menjadi pink dengan dipenuhi segala
kebaikan dan rasa saling peduli. Yurinoshita bersaudara, aku sangat suka jika
kalian tetap seperti ini. Aku bukanlah satu-satunya orang yang menikmati momen
ini. Hayama juga melihat mereka dengan tatapan mata yang lembut. Lalu dia
seperti mencari-cari sesuatu di bawah meja, mengambil HP-nya dan memeriksanya.
Tampaknya dia mendapat SMS.
“Haruno-san,
ini sudah waktunya,” dia mengatakan itu dengan pelan.
“Oh, sudah
waktunya ya?”
Haruno-san
menarik lengan blusnya dan melihat arloji kecil yang berada di pergelangan
tangannya yang terlihat pucat tersebut. Tampaknya sudah waktunya bagi mereka
untuk menemui orang tua mereka. Ini berarti saatnya bagi kami untuk pamit. Aku
tidak akan selamat jika ditanya “ayo ikut dengan kami”. Aku belum siap untuk
bertemu orang tua Hayama. Peluang untuk kabur!
“Well,
saatnya kami untuk pulang.”
“Yep,”
Yuigahama setuju.
Haruno-san
dan Hayama juga memutuskan kalau itu adalah waktu yang tepat untuk berpisah dan
mengangguk.
“Oh...”
Yukinoshita menggumamkan itu.
Diriku dan
Yuigahama ada di satu sisi dan Haruno-san beserta Hayama di sisi yang lain
melihatnya seperti membayangkan sesuatu. Haruno-san lalu menatapnya.
“Yukino-chan,
apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Apa
maksudmu?”
“Pertemuan
itu. Kau ikut atau tidak? Kita juga akan merayakan ulang tahunmu. Meski aku
sudah melakukannya barusan, jadi aku tidak begitu peduli soal itu,” kata
Haruno-san, suaranya terkesan sangat dingin. Meski begitu, dia sangat ingin Yukinoshita
hadir kesini satu jam yang lalu. Kupikir memberikan hadiah bukanlah
satu-satunya hal yang Haruno-san ingin lakukan, tapi Yukinoshita memang punya
pilihan dalam hal ini.
“Well...”
Yukinoshita
mengatakan itu, tidak bisa memilih, dan dengan ragu melihat Yuigahama dan diriku.
Yuigahama lalu tersenyum.
“Ah, jangan
khawatirkan kami.”
“Yeah. Kami
ini sudah mau pulang.”
“Baiklah,”
Yukinoshita menjawabnya dengan ragu dan merendahkan tatapan matanya.
Yuigahama
lalu teringat sesuatu dan mengambil sesuatu dari tas yang ada di lengannya.
“Oh, benar!
Ini, tolong terima. Meskipun agak awal karena ulang tahunmu besok,” Yuigahama
mengatakan itu dan memberikan Yukinoshita tas yang berisi hadiahnya. Well,
kalau Yuigahama melakukannya, maka aku harusnya juga begitu.
“Selamat
ulang tahun.” kataku.
“Te-Terima
kasih,”
Yukinoshita
terdiam sejenak, lalu berterima kasih kepada kami sambil memegangi hadiahnya
dan tersenyum. Melihat dirinya yang seperti ini, Yuigahama tidak bisa menahan
dirinya untuk tersenyum juga.
“Aku akan
membeli sesuatu yang manis besok, jadi kita akan merayakannya di sekolah, oke?”
Yuigahama
menambahkan itu, mungkin tidak sekedar basa-basi; dia mungkin berpikir
mengatakan selamat tinggal ke temannya di situasi semacam ini terasa seperti
mengusirnya saja. Kupikir aku harus melakukan sesuatu juga.
“Sampai
jumpa,” kataku sambil menaikkan tanganku; Yukinoshita tersenyum lagi.
Tampaknya
sikap Yuigahama tadi sudah cukup karena Yukinoshita terlihat menaikkan
tangannya untuk meresponnya.
“Ya, sampai
jumpa besok.”
“Besok ya!”
Yuigahama melambaikan tangannya juga.
“Selamat
jalan,” Haruno-san mengatakan itu ke Yuigahama sambil berdiri dari kursinya.
“Sampai
jumpa lagi!”
“Sampai
jumpa di sekolah lagi.”
Haruno-san
melambaikan tangannya kepada kami, Hayama-pun terlihat tersenyum; aku dan
Yuigahama lalu keluar dari kafe tersebut.
Liftnya
tidak begitu jauh dari sini. Setelah masuk ke lift, tidak ada seorangpun di
lift tersebut, jadi kesunyian itu hanya terisi oleh suara langkah kaki kami.
“Hei, apa
yang harus kubeli untuk besok? Cake coklat? Atau mungkin cupcakes?” Yuigahama
mengatakan itu sambil menekan tombol ‘buka pintu’ di lift tersebut.
“Terserah
kamulah,” kataku; Yuigahama terlihat
tidak menyukainya.
“Hikki, kau
harusnya memikirkan itu dengan baik. Aku menyukai keduanya, jadi aku tidak bisa
memutuskan. Hmm, bagaimana kalau separuh dari tiap kue?”
“Memangnya
cake itu pizza? Kau tidak bisa membagi-bagi hal semacam itu.”
Ngomong-ngomong, apa dia pikir kami bisa memakan satu cake utuh? Serius?
Well, kalau enak ya sudahlah. Meskipun kami harus memilih sebelum pulang ke rumah.
Akupun
hendak menekan tombol lift. Tombol segitiga ke atas dan segitiga ke bawah.
Tanganku berhenti, ragu untuk menekan tombol manapun.
Memilih
tombol yang akan mengantarkanku ke jalan yang seharusnya...Oleh karena itu aku
akan menekan salah satu tombol tersebut.
x Chapter II | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar