x x x
Petang secara perlahan
berubah menjadi malam, dan arah tiupan angin ini mulai berubah. Kamipun
melewati dam yang berada di pinggir jalan raya dan terus melanjutkan perjalanan
kami.
...Apa
kau mencintai salah satu dari mereka?
Kita tidak mengobrolkan hal lain setelah dia
menanyakan itu, dan yang kami lakukan sedari tadi hanyalah terus berjalan
mengikuti jalan di depan kami. Tentunya Orimoto tadi memberitahuku untuk
melupakan pertanyaan itu setelahnya, tapi aku berpikir apakah dia melakukan itu
karena tidak tertarik atau mempertimbangkan perasaanku. Ataukah dia merasa
menyesal ketika menanyakan itu setelah melihat ekspresi wajahhku? Meski begitu,
momen untuk menjawab pertanyaan itu sudah lewat. Aku mungkin tidak akan
mengobrolkan itu lagi dengannya.
Meski sebenarnya, situasi semacam ini tidak
akan berbeda jika yang bertanya adalah orang lain. Hanya saja, selama ini tidak
ada satupun orang yang menanyakan itu kepadaku. Ada satu pengecualian soal itu,
yaitu seekor monster yang hidup di dalam diriku dan terus membisikiku tentang
pertanyaan itu dari waktu ke waktu. Berbeda dengan kata-kata dari manusia,
kata-kata dari seekor monster tidaklah penting. Ketika kesadaran dalam diriku
mulai memikirkan pertanyaan itu dan mengumpulkan kata-kata untuk menjawabnya,
aku tidak sanggup untuk melakukannya. Itulah alasan sebenarnya mengapa aku
tidak pernah menjawabnya kepada diriku sendiri. Aku merasa sangat bersalah
untuk menjawab sebuah pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan kepada diriku.
Bahkan
jika suatu hari nanti, seseorang, entah dimana menanyakan hal yang sama, aku
tidak mau menjawabnya; karena memang tidak ada. Yang bisa kulakukan hanyalah
menjawab dengan kata-kata tidak jelas, suara yang pelan, dan ekspresi wajah
tanpa senyum ataupun kesal; itu saja. Sederhananya, aku tidak punya jawaban
untuk pertanyaan tadi, jadi aku putuskan untuk menutup mulutku.
Wajahku terus diterpa angin yang dingin.
Akupun terus berjalan, seperti berusaha
melarikan diri dari tempat dimana aku harusnya pulang. Suara dari sepeda
yang dituntun seperti bercampur dengan suara bisikan dari angin. Aku lalu
menatap ke sampingku dan melihat wajah dari gadis yang diterangi cahaya dari
mobil yang baru saja lewat. Dia tampak menyesal dan menggigit lidahnya.
Kupikir, ini pertamakalinya aku melihatnya seperti ini, Orimoto yang kukenal
sangat peduli dan suka berbicara dengan orang lain memasang wajah seperti itu.
Dia memang gadis yang peduli dengan orang lain. Ketika aku memikirkannya,
terbayang sebuah image seorang pria sedang memotong pohon dengan berjingkrak,
seperti Yosaku.
Jadi, aku tahu seperti apa sifat Kaori
Orimoto, tapi di lain pihak, hubungan kami tidak sedekat itu. Hanya sebatas
teman sekelas ketika SMP. Hubungan kami hanya sebatas itu, kita tidak ada
jadwal rutin bertemu, dan kami tidak akan pernah bertemu. Atau mungkin bisa
juga, misalnya bertemu di reuni kelas 3 SMP. Meski, peluangku untuk hadir di
reuni itu memang sangat kecil, jadi kita mungkin tidak akan bertemu lagi
setelah ini. Dan jika kita bertemu di jalan, kita harusnya tidak terlihat
berjalan bersama seperti ini.
Lalu tiba-tiba aku merasa tidak mengerti
dengan apa yang terjadi saat ini. Apa yang barusan kupikirkan itu hanyalah guyonan takdir? Tentunya, jika Orimoto
Kaori bukanlah orang yang peduli dengan orang lain, pertemuan ini pastinya akan
berakhir dengan cerita yang berbeda. Siapa lagi yang mau sebegitu pedulinya
dengan mantan teman sekelas semacam
diriku? Tidak lupa juga kalau aku pernah menembaknya dulu! Dan sekarang dia
berada di dekatku tanpa sedikitpun ada keragu-raguan. Dia pastinya bukan
manusia yang normal.
Karena kenangan yang tiba-tiba menghampiriku
itu, aku mulai menatap ke arahnya. Dia menyadari tatapanku tersebut, menoleh ke
arahku dan menggumam.
“Ada apa?”
“Nah,
tidak ada apa-apa. Hanya saja aku sempat berpikir kalau kau harusnya tidak
terlihat berjalan bersamaku.”
Aku tiba-tiba mengatakan hal konyol itu untuk
menjelaskan maksud diriku menatapnya dari tadi. Orimoto lalu berhenti sejenak,
melihat ke arahku, lalu melihat ke kemudi sepedanya sambil tertawa.
“Hikigaya mengatakan itu? Luar biasa! Apa
kamu sehari-harinya memang seperti itu?”
Dia terus tertawa sambil menutup mulutnya.
Akupun memaksakan diriku untuk tersenyum meresponnya. Dia benar: kata-kataku
tadi memang tidak seperti diriku, bahkan jika aku mengatakan itu agar terlihat
sopan. Aku mulai ragu apakah Orimoto memahami diriku atau tidak, tapi
kata-kataku tadi kuakui memang terasa aneh. Diriku versi SMP jelas-jelas tidak
akan mengatakan hal semacam itu. Bahkan mungkin aku tidak akan peduli apakah
kata-kataku cukup sopan atau tidak, hanya untuk sekedar mengusir kesunyian ini.
Pastinya, aku tadi diam bukan karena aku tidak tahu harus memulai obrolan
dengan apa. Kalau dipikir-pikir, aku pernah memiliki teori: “Kalau aku diam,
aku akan terlihat keren, kalau tidak maka tidak akan terlihat keren”. Meski
begitu, aku tetap melakukan kebiasaanku dengan memikirkan makna dibalik
kata-katanya itu dan tidak bisa mengatakan kata-kata yang tepat.
“Bagaimana kalau kita berdua naik sepeda
saja?”
Orimoto memberiku pegangan sepedanya, mencoba
mengubur kesunyian ini.
“Nah, kurasa lain kali saja.”
“Tapi kamu akan kedinginan.”
“Aku tidak paham maksudmu.”
Orimoto menggosok-gosok tangannya di depan
dadanya dan tersenyum kepadaku.
“Tapi kau akan menjadi hangat jika mulai
mengayuh sepedanya.”
“Tapi yang merasa hangat hanya diriku saja,
kamu tidak. Terima kasih atas kebaikanmu.”
Suaraku untuk kalimat yang terakhir terdengar
samar-samar. Tapi kalau melihat dirinya yang menyodorkan kemudi sepedanya dan
dia pindah ke belakang, tampaknya dia tidak mendengarkanku sama sekali.
Orimoto lalu duduk di kursi penumpang sepeda
dengan kedua kakinya berusaha menyeimbangkan sepeda tersebut. Hei, hentikan itu. Rokmu secara perlahan
mulai tersingkap. Ya sudah, kulihat saja nich. Tidak-tidak, kaki-kaki orimoto
yang terlihat cantik itu memang menarik perhatianku, tapi hanya sebentar saja;
lalu aku memalingkan pandanganku. Aku tidak sempat melihat pahanya, sumpah
beneran!
Aku akhirnya menatap ke
arah kursi sepeda dan menerima tawarannya. Kurasa, angin yang dingin ini adalah
kambing hitam untuk semua kejadian ini. Well, dia sudah menemaniku berjalan
dalam cuaca yang dingin ini...
“Baiklah”.
Aku membalasnya dan naik ke sepeda. Ada yang
salah disini. Ah, kursinya terlalu tinggi. Aku tidak memperhatikan itu ketika
Orimoto menyerahkan sepedanya tadi. Sekarang aku sadar kalau letak sadel
sepedanya lebih tinggi dari sepeda yang biasa kupakai ke kota. Kurasa ini tidak
benar. Aku melihat ke arah Orimoto. Dia seperti mengingat-ingat sesuatu, lalu
menepuk kedua tangannya.
“Oh, maaf, aku menaikkan sadelnya persis
seperti posisi sadel sepeda balapku. Kau bisa merendahkannya jika kau mau.”
“Sepeda balap?”
Aneh betul. Detail yang benar-benar aneh,
tapi entah mengapa aku merasa senang. Sadel yang tinggi ini mengingatkanku
dengan To Love-Ru...Akupun mulai mengayuh sepedanya. Aku sebenarnya senang saja
menerima saran Orimoto untuk merendahkan sadelnya, tapi aku ini kan laki-laki.
Akan sangat menyakitkan bagiku jika nanti dia mengatakan “Kakimu pendek sekali!
Luar biasa!”. Akupun mulai mempercepat akselerasi sepeda ini. Kaki dan tanganku
mulai panas, dan menjalar ke punggungku. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara
yang berasal dari belakangku.
“Aku biasa jalan-jalan dengan sepeda balap
ketika akhir pekan. Tapi aku tidak ingin menggunakannya ketika berangkat ke
sekolah ataupun ke tempat kerja. Aku takut kalau ada yang mencurinya,
begitulah.”
Aku
tidak menanyakan apapun. Tampaknya Orimoto hanya melanjutkan topik yang ada
ketika kita berangkat tadi. Sepeda balap, huh...Jadi kalau akhir pekan dia
pakai sepeda balap, bukan sepeda yang sekarang dia pakai, membawa kamera DSLR
dan hanya memakan sayuran disertai jus Asai untuk makan siang.
[note: Hachiman masih
berpikir anti-hipster dan anak muda galau.]
Ya Tuhan, kenapa aku selalu menaruh
stereotipe ke orang-orang...sayuran dan jus Asai adalah makanan orang-orang
intelektual. Kalau melihat diriku adalah kebalikan dari orang-orang itu, aku
harusnya memakan kroket daging dengan sosis, ditemani kopi susu atau soda
Omikujira.
Aku tidak pernah berpikir kalau dia punya
hobi semacam itu ketika SMP. Serius ini, jika ada seseorang yang bertanya
kepadaku tentang apa yang kuketahui tentangnya, kurasa aku sendiri bingung
harus mengatakan apa.
“Memangnya kau tidak ada kegiatan lain?”
Akupun mengatakan itu sambil menoleh sejenak
ke belakang. Dia tidak menyentuh punggung dan bahuku, hanya berpegangan di
pegangan kursi. Ketika kulihat, dia juga menatapku dan berkata.
“Yeah. Aku tidak ikut satupun klub, jadi aku
punya banyak waktu luang.”
“Jadi karena itu kamu kerja sambilan?”
Aku tiba-tiba ingat kalau kafe tempat
bekerjanya tadi memang dekat dengan SMA Kaihin, akupun menatap kembali ke arah
depan dan mengayuh lebih kencang sepedanya.
“Sebenarnya aku kerja sambilan untuk cari
uang. Tapi, aku juga ingin bisa menambah teman dari sekolah lain. Banyak yang
dari SMA lain bekerja di kafe itu.”
Aku merasakan kegembiraan kehidupan SMA dari
kata-kata Orimoto. Yeah, akan ada orang-orang sejenis itu; mereka ingin
menambah teman dari sekolah lain, kadang-kadang dengan cara yang absurd. Mereka
tidak hanya mendatangi sekolah lain, tapi mereka mendatangi setiap sekolah di
kotanya, kadang juga universitas disana. Kurasa itu memang berlebihan.
Mereka sering memakai sampul buku dari
sekolah lain. Kuduga mereka sangat menjunjung tinggi benda tersebut sebagai
sebuah simbol; mungkin mereka menganggap teman mereka itu sebagai sebuah simbol
status. Orang-orang sejenis itu sangat bangga ketika memakai pakaian tertentu,
meski faktanya mereka tidak jauh berbeda dengan orang lain yang memakai bahasa
Inggris untuk menunjukkan kepintaran mereka. Mungkin dia mendapatkan
INTELLECTUALITY dari Tamanawa? Seperti kata-kata favoritnya: CONNECTING,
SYNERGY, STIMULATION.
Lalu, Orimoto mengatakan sesuatu dengan nada
sedih.
“Aku pikir, aku bisa berteman dengan mereka.”
Meski bercampur dengan suara angin, aku bisa
mendengar jelas nada suaranya yang terdengar depresi. Akupun menoleh ke
belakang dan melihat ke kedua matanya. Dia sedang menatap ke arah rumah-rumah
dan toko-toko yang ada di pinggir jalan, tapi ketika menyadari kalau aku
melihatnya sejak tadi, dia tersenyum.
“Mungkin mereka tidak menyukaiku.”
Dia mengatakan itu sambil membetulkan rambut
keritingnya untuk menyembunyikan rasa malunya. Aku mengingat kembali kejadian
antara kami bertiga dengannya di kafe hari ini, dan kurasa aku mengerti apa
maksudnya. Dia terus berusaha agar bisa akrab dengan semua orang, sifatnya yang
suka akrab dengan siapa saja...Hanya agar bisa punya teman. Tidak, teman pasti
lebih dari sekedar simbol status baginya. Lagipula, Orimoto adalah jenis gadis
yang mau berbicara ke orang yang sepertiku. Orang yang hidup hanya mengejar
status tidak akan melakukan itu. Oleh karena itu, mungkin dia hanya ingin
menunjukkan sebaik apa dirinya (“hey, lihat aku, aku bisa mengobrol dengan
mereka meskipun mereka terlihat tidak menyukaiku”).
Tapi
kalau melihat senyumnya yang sedih itu, aku pikir itu karena hal yang lain.
“Mereka berdua tadi hanya tidak terbiasa saja
denganmu.”
Aku mengatakan itu sambil memalingkan
pandanganku dari ekspresinya yang kesepian itu. Ah, kuharap aku punya skill komunikasi yang baik; aku mungkin bisa
membantunya keluar dari situasi tadi. Sayangnya, aku tidak punya. Tampaknya,
maksudku ini bisa terbaca dari nada suaraku karena Orimoto sedang melihat ke
arahku dengan ekspresi yang aneh. Dia lalu bersandar ke punggungku dan
membisiku sesuatu.
“Kau pikir begitu?”
Dia mengatakan itu dengan pelan seperti
berbagi sebuah rahasia denganku. Dia semakin bersandar dengan punggungku dan
menaruh kedua tangannya di bahuku.
“Kupikir, mereka begitu karenamu, Hikigaya.”
Tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan dan
menginjak kerikil kecil. Sepeda mengalami goncangan. Orimoto berteriak kecil,
menggosok-gosok pantatnya dan menoleh ke arahku.
“Hei, tadi sakit! Apa yang kau lakukan?! Luar
biasa...”
“Tidak ada yang luar biasa soal tadi. Maaf ya.”
Aku secara spontan meminta maaf kepadanya.
Yep, tadi 100% salahku. Jantungku berdetak kencang karena wajah kita sangat
dekat. Tapi kata-katanya barusan malah membuat jantungku berdetak lebih kencang
lagi.
Aku mulai mengayuh sepedanya lagi, memikirkan
makna kata-katanya tadi. Mungkin sama seperti pertanyaan tadi: seberapa keras
aku berusaha, aku tidak akan menemukan jawabannya. Tapi, aku bisa memilih
kata-kata yang kurasa paling tepat dan mengatakannya.
“Entah mengapa, aku merasa mereka melihatmu
dengan kesan kurang bersahabat karena ulah Tamanawa tempo hari. Dia membuat
kesan yang buruk ke mereka.”
“Ah, itu benar juga sich. Waktu itu benar-benar mengerikan.”
Ingatan kami tentang Event Kolaborasi Natal
masih terasa segar. Seperti sebuah misi yang sulit bagiku; dan itu juga sama
dengan Orimoto. Tapi kau harusnya belajar dari kesalahan, dan Orimoto yang
duduk di belakangku terlihat sedang tersenyum. Ngomong-ngomong, aku sekarang
mengayuh sepedanya dengan perlahan sehingga tidak akan menabrak kerikil lagi,
jadi tolong, jangan ayunkan kakimu ke
depan dan memegangi punggungku, aku bisa kehilangan keseimbangan! Meski
Orimoto tidak menertawakan itu, aku merasa lega.
“Kurasa,
dia lama-lama akan terbiasa sebagai ketua OSIS. Semuanya akan berjalan dengan
baik. Lagipula, dia adalah pria yang baik.”
Orimoto mengatakan itu tiba-tiba, nadanya
terasa sangat lembut. Kata-kata itu lagi!
Dia mengatakan frase “pria baik” lagi! Kalau seorang gadis mengatakan itu,
artinya “NO”, pria itu bukanlah pria yang benar-benar baik. Tahu tidak, kau
harusnya menceritakan saja sejujurnya. Karena tidak semua orang paham, “Hikigaya, aku sebenarnya
menyukaimu...sungguh. Tapi kamu terlalu baik untukku, maaf, aku tidak bisa
berpacaran denganmu”.
“Hikigaya, kau mau lewat jalan mana?”
“Lurus terus jalan ini.”
Aku membalas begitu saja pertanyaannya.
Orimoto lalu menepuk bahuku dengan jarinya, akupun kaget. Itu mungkin karena punggungku
sudah “dihuni” olehnya. Ketika aku menoleh ke dirinya, dia menunjuk ke arah
persimpangan jalan di depan.
“Kalau begitu, belok saja di depan.”
Orimoto menunjuk dengan jarinya ke arah
belokan yang mengarah ke rumahku. Kupikir akulah yang harusnya mengantarkannya
pulang, jadi akupun memiringkan kepalaku karena kaget.
“Tapi rumahmu khan bukan lewat situ?”
“Eh? Kamu tahu dari mana arah rumahku?! Luar
biasa!”
Dia meresponnya dengan senyum. Tapi, aku
tidak melihat itu sebagai hal yang lucu. Sekarang sudah masuk tengah musim
dingin dan punggungku basah karena keringat. Aku hampir mengumpat “Kampret, gue
dikutuk!”, tapi aku bisa menahan diriku dan membuat sebuah alasan yang konyol.
“Ah? Well...Khan biasanya orang-orang mengucapkan itu kadang-kadang, benar
tidak? Yah tidak sengaja...Kadang-kadang kebetulan ngomong begitu, ya begitulah...”
“Oh. Bisa jadi yah...”
Orimoto mengatakan itu sambil merendahkan
kepalanya, seperti meragukan sesuatu. Kalau
dia terus membahas topik itu...Mampus dah gue!
“Yeah, begitulah. Enggak usah dipikirkan ribet-ribet.”
kataku.
Orimoto mengangguk dan tampaknya dia
membiarkan itu lewat begitu saja.
“Oke deh
kalau begitu.”
Dia menggumamkan itu.
Horeee!
Satu hal yang bagus dari gadis-gadis yang berpikiran terbuka adalah dia dengan
mudahnya mencairkan suasana. Coba kau beritahu gadis yang seperti itu untuk
menganggap santai topik itu, dan dia akan mengganti topiknya dengan yang lain.
Cobalah itu di rumah. Huh...Sekarang aku sudah menyelesaikan satu masalah,
malah kemudian muncul masalah lagi.
“Oh, benar juga. Bagaimana kalau kuantar ke
rumahmu? Aku bisa pulang sendiri dengan sepedaku setelah itu.”
“Kau tidak perlu segitunya, biar aku saja
yang mengayuh sepedanya.”
“Oh, ya sudah. Ayo kita pergi ke rumahmu!”
Orimoto mengatakan itu sambil menepuk
punggungku. Aku jelas tidak mau mengayuh sepeda ini sampai ke rumahku, tapi
karena aku sudah berada dalam jebakannya, jika tidak menurutinya aku bisa
ditanyakan lagi soal bagaimana aku tahu alamat rumahnya. Akhirnya, nanti aku
akan melanggar keyakinanku tentang idealisme untuk tidak mengganggu orang lain.
Aku harus secepatnya sampai di rumah sebelum dia membahas topik itu lagi.
“Oke, ayo kita pergi.”
Aku menjawab itu sambil membelokkan sepedanya
di persimpangan itu.
Masa
laluku ini memang brengsek sekali...Kalau dipikir-pikir, mengetahui kalau
dirimu tahu dimana rumahnya saja sudah membuat diriku jijik dengan masa laluku.
Buat para pria, kenapa sich lo sampai
cari tahu rumah dari gadis yang lo suka? Misalnya, ketika SMP kau bisa
dengan mudahnya pergi belanja dan jalan bersama setelah kegiatan klub sepulang
sekolah selesai. Dan jika beruntung, kau bisa mengantarkannya pulang. Gampang kan! Atau, waktu SD, mengajak
jalan-jalan anjingmu dekat rumah gadis yang kau sukai dan bertemu dengannya “secara
tidak sengaja”. Luar biasa! Kecuali, si gadis bisa membaca semua ini dan
menyebutku menjijikkan atau stalkygaya.
Benar tidak? Benar kan?
Setelah lewat persimpangan, beberapa saat
kemudian kami akhirnya sampai di depan rumahku dan aku menghentikan sepedanya
tepat di depan pagar rumahku. Orimoto lalu melihat ke arah rumahku.
“Huh, jadi kau tinggal disini, Hikigaya...”
“Ya begitulah.”
Akupun turun dari sepeda dan
menyerahkannya ke Orimoto. Dia lalu berpindah tempat duduk dengan mudahnya dari
kursi penumpang ke sadelnya. Ngomong-ngomong, adegan ini menjamin sebuah
gerakan yang membuat roknya tersingkap...Untungnya, ini sudah gelap. Kalau
tidak, aku akan langsung melirik ke arah itu. Serius ini, ini sudah malam.
Malam memang tiba lebih cepat karena siang ketika musim dingin terasa lebih
pendek.
Akupun menatap ke arah Orimoto, menunggunya
pergi, menghilang dalam kegelapan dan seterusnya. Tapi dia tetap duduk di sadel
sepedanya seperti tidak sedang buru-buru. Tampaknya dia menyadari sepedaku yang
kuparkir dekat pagar.
“Hikigaya, jadi kau pergi ke sekolah naik
sepeda? Berapa lama dari sini ke SMA Sobu?”
“Tidak lama kalau kau sudah terbiasa.
Lagipula, di sepanjang jalan tidak banyak lampu merahnya.” jawabku, Orimoto-pun
mengangguk.
“Ah, benar, kau pasti lewat jalur sepeda yang
itu ya. Aku sering lewat sana di akhir pekan.”
Dia memang sangat familiar dengan daerah sini
dan tahu betul jalan-jalan sekitar sini. Memang ada jalur khusus sepeda di
sepanjang pinggiran sungai, hampir sepanjang jalan ke SMA Sobu. Naik sepeda
dengan aman tanpa adanya mobil di sekitarmu. Kalau kau ikuti jalan di sepanjang
pinggir sungai itu, kau akhirnya akan sampai ke laut; berakhir di Inbanuma dan
jalan menuju daerah Sakura.
[Jadi orang yang
bernama Hikki ini tinggal di sekitar 3539’57.3”N 14004’01.4”E]
Belakangan ini, aku memang menyadari kalau
orang-orang yang naik sepeda bertambah banyak; mungkin lagi populer atau
semacamnya. Tampaknya, Orimoto adalah orang yang sejenis itu. Dia lalu menepuk kedua
tangannya.
“Hikigaya, bagaimana kalau kau beli sepeda
balap juga?”
“Nah, harganya terlalu mahal. Lagipula kau
sendiri yang memberitahuku kalau itu rawan dicuri, jadi tidak bisa kupakai ke
sekolah.”
“Memang benar sich.”
Dia lalu tertawa sambil menutup mulutnya
dengan tangan. Apaan, emangnya lucu?
Suasana malam di kota yang sunyi ditambah suara tawa dari seorang gadis memang
bisa membuatmu bersemangat. Ini mirip mengobrol di malam hari ketika naik
gunung atau berjalan di taman ketika senja. Akupun tidak bisa menolak suasana
seperti itu dan tersenyum kepada diriku sendiri.
Pada bulan April atau Mei, ketika awal-awal
aku masuk ke SMA Sobu, terjadi sebuah adegan yang mirip dengan itu. Waktu itu
sore hari, dengan matahari senja yang hampir terbenam sepenuhnya; aku melihat teman-teman
sekelasku semasa SMP, berdiri di dekat minimarket sambil menuntun sepedanya,
mereka membicarakan tentang berita-berita terbaru atau sebuah event. Bagiku,
orang diluar komunitas mereka, mereka seperti satu orang dari mereka punya masa
depan cerah, dan yang lain masih tidak terbiasa dengan tempat barunya sambil
terjebak dengan masa lalu mereka. Persis seperti reuni kelas. Mereka berada di
tempat yang berbeda saat ini, tidak seperti semasa SMP. Mungkin, suasana tempat
yang baru dan kenangan-kenangan masa lalu adalah kambing hitamnya. Mayoritas
yang diobrolkan mereka adalah “Kenalkan aku dengan teman-teman barumu” atau “Ayo
kita kapan-kapan jalan bersama” atau sejenis itu. Orang-orang goblok! Pulang aja lo semua!
Kau menyebut itu sebuah kehidupan yang baru, terjadi kepada orang yang baru masuk
SMA. Setiap kali aku melihat mereka, aku mengayuh sepedaku dengan lebih cepat
atau berpindah rute pulang. Aku tidak pernah punya keinginan untuk melakukan
hal yang sama dengan mereka dalam 2 tahun masuk SMA. Akupun mulai khawatir
untuk tidak bertemu dengan mantan teman sekelas atau semacam itu. Tapi,
faktanya Orimoto adalah satu-satunya orang yang mudah akrab dari sekian banyak,
yang mau berbicara denganku. Orang-orang yang lain memang berbeda darinya. Aku
sebenarnya tidak ada masalah mengobrol dengan mereka hingga larut malam, bahkan
jika diantara mereka ada orang-orang yang sekedar basa-basi “Gimana kabarmu?”
hanya karena kasihan denganku. Ketika mereka bertanya seperti itu...Ya Tuhan.
Aku tentunya akan kehilangan kata-kata, suasana di sekitarku akan menjadi
sunyi, dunia akan kehilangan senyumnya, para burung akan lupa bagaimana mereka
bernyanyi, dan dunia akan tenggelam dalam kegelapan...Sebenarnya tidak begitu,
yang terakhir itu kurasa agak berlebihan. Tapi aku bisa membayangkan kalau itu
akhirnya akan terjadi juga. Yang lainnya akan menggerutu ke orang yang
basa-basi tadi, mengatakan “Kamu ngapain mengajak bicara dia? Dia orangnya asik ya?” dan sejenisnya. Hatiku saja
sudah terluka kalau membayangkan ini. Kalau akhirnya akan menjadi seperti itu,
aku tidak punya pilihan lain kecuali menjadi patung Jizo. Aku mungkin sangat
ahli dalam hal ini sehingga orang-orang akhirnya akan menaruh sesajen di
depanku. Sebuah topi jerami jika beruntung.
Dan meskipun aku mengobrol dengan Orimoto
sambil diserbu kenangan-kenangan gelap dari masa lalu, tiba-tiba aku merasakan
kalau ada seseorang yang sedang menatapku. Takut kalau itu adalah mantan teman
sekelasku dulu, akupun melihat ke arah tersebut. Sebuah sosok muncul. Setelah
beberapa langkah, aku mengenali sosok itu dari gaya rambutnya. Potongan rambut
seperti itu pastilah adik perempuanku.
“Komachi?” akupun memanggilnya dengan pelan.
Dia mendengarkan suaraku dan mulai mendekatiku, sikapnya seperti ragu-ragu dan
takut akan sesuatu.
“Oh, Onii-chan. Kukira siapa.”
Kami akhirnya mengenali satu sama lain di
bawah sinar lampu jalanan. Komachi menyentuh dadanya dan bernapas lega. Dadanya
kurasa tidak ada masalah. Sialan, jahat
banget dia mengenaliku dengan sikap seperti itu.
“Oh, adikmu...benar
tidak?”
Orimoto mengatakan itu. Tapi dia merasa
kurang yakin, jadi dia melihat ke arahku untuk mengkonfirmasi itu.
“Ya.”
“Sudah kuduga. Tapi mengapa kalian berdua
tidak mirip? Luar biasa!”
Bukan
urusan lo! Lagian, memangnya ada yang
lucu? Meski Komachi terlihat manis memang hal yang lain, tidak ada yang
perlu dipermasalahkan dari hal itu.
“Halo! Terima kasih sudah menemani kakakku!”
“Ah, yeah, kau juga.”
Orimoto menjadi Orimoto, membalasnya dengan
sesuatu yang sinkron. Sekarang mereka berdua berdiri di depanku dan tersenyum
tanpa satupun kata keluar setelahnya. Terutama Komachi. Aku melihat ke arahnya
dengan curiga. Biasanya Komachi akan langsung mengobrol dengan gadis yang
ditemuinya, tapi ada yang aneh hari ini. Aku
sempat berpikir kalau Komachi tidak suka melihatku dengan gadis lain karena
akan membuatnya berpisah dengan kakaknya yang tercinta. Kalau memang itu
alasannya, kau mendapat poin yang sangat besar, Komachi.
Orimoto
harusnya menjadi senior Komachi sewaktu SMP, tapi tampaknya mereka tidak pernah
bertemu sebelumnya. Kalau dipikir-pikir, memang sulit untuk bisa bertemu
kecuali mereka ada di klub yang sama. Oleh karena itu, sekarang ini seperti ada
sebuah tembok diantara mereka. Siapa yang mau mengobrol dengan senior perempuan
yang baru saja mereka kenal? Ngomong-ngomong, ini adalah contoh yang bagus
mengenai teoriku tentang mantan siswa SMP yang bertemu lagi karena suatu
alasan.
“Selamat
malam, Onii-san!”
Dia menyapaku dengan suara yang keras, sangat
tidak cocok dengan suasana sunyi malam di kota ini. Aku melihat rambut biru
pendek yang diterangi cahaya lampu jalanan. Ciri wajahnya ini sepertinya familiar
bagiku, persis seperti kakak perempuannya. Yep, dia ini adik laki-laki si
Kawa-sesuatu. Dia ini kenalan Komachi di SMP, tapi aku sendiri tidak punya
sesuatu untuk kukatakan kepadanya. Sama juga dengan Komachi: dia juga tidak
punya topik yang bisa dibahas dengan Orimoto.
“Berhenti memanggilku Onii-san. Lagian, kamu
ini siapa?”
“Ah benar, Onii-san! Aku Kawasaki Taishi!”
Taishi menjawabnya sambil menaikkan
tangannya. Apaan, apa dia ingin menjadi
Kiyoshi Nakahata? Apaan “ah benar”
jika kamu masih memanggilku seperti itu? Aku baru saja melihatmu semenit dan
mataku sudah capek bukan main! Orimoto, yang mengikuti percakapan kami,
tertawa dan melihat ke arah Komachi.
“Dia itu pacarmu ya?”
“Tidak kok,
hanya teman saja.”
Komachi menjawabnya dengan santai, sambil
tersenyum. Di salah satu sudut mataku, aku menyadari kalau bahu dari Taishi
seperti terguncang hebat. Benar...Sekarang
kita ada dua pasangan yang sudah kehabisan bahan obrolan. Full House! Dan
begitulah kami semua hanya berdiri di bawah kegelapan malam dan hanya terdiam.
Pertanyaan tentang “apa yang akan kita lakukan” tersebar di udara sekitar kami.
Orimoto tampaknya menyadari itu dan menaruh satu kakinya di pedal sepeda.
“Oke, kalau begitu aku pulang dulu.”
Dia mengatakan itu dengan nada yang santai.
Karena itulah aku tidak bisa membalasnya tepat waktu. Kau bisa menilainya dari
sikapnya, dia jelas hendak pulang karena situasi tersebut.
“Ah, ya, terima kasih ya!”
Karena semua kejadian yang terjadi ketika aku
mengayuh sepeda, aku tidak langsung sadar kalau dia sebelumnya sudah menemaniku
jalan kaki ke rumah. Dia tampaknya belum menerima ucapan terima kasihku
sebelumnya dan melihatku dengan tatapan kosong, lalu dia tersenyum.
“Aah. Tidak, sama-sama. Tolong beritahu aku
kalau kau berubah pikiran soal kerja sambilan, aku akan mengenalkanmu kepada
orang-orang yang ramah.”
“Kurasa itu tidak perlu.”
“Heh, baiklah, selamat tinggal.”
“Ya. Hati-hati di jalan.”
Yang terakhir tadi sebenarnya tidak perlu.
Orimoto melambaikan tangannya dan mulai mengayuh. Akupun melambaikan tanganku,
Komachi-pun membungkuk. Akupun terus
menatap ke arahnya sampai dia menghilang dalam kegelapan malam, lalu melihat ke
arah Komachi. Ayo kita masuk ke rumah,
oke? Lalu aku menyadari kalau ada anak laki-laki dengan mata berbinar-binar
yang sedang berdiri dan melihat ke arahku.
“Onii-san, apa dia pacarmu?”
“Lu ini
siapa sih? Kamu kok bisa ada disini? Kamu ngomong apaan sih?”
“Aku sedari tadi ada disini. Aku Kawasaki
Taishi.”
Suaranya yang keras itu seperti menusuk
keheningan malam kota ini. Kuharap itu tidak membangunkan para tetangga. Lagian, siapa sih dia?
x Chapter I | END x
Kalo di buat vn rute kaori mungkin ceritanya gini
BalasHapusHachiman nerima ajakan baito dari kaori terus mereka pulang bareng sambil boncengan terus. Kalo emang ceritanya seperti itu pasti kaori selangkah lebih dari yukinon dan gahama
Yep, mungkin seperti itu. Pulang bersama terus.
Hapus