x x x
Suara dari TV yang sedang menyala terdengar dari
ruang keluarga. Mungkin Komachi yang sedang menyalakan itu dan menontonnya
dengan berbaring di bawah kotatsu sambil memegangi es krimnya dengan tangan.
Aku tidak sadar kalau suara siaran TV-nya sangat berisik, jadi akupun berjalan
sedikit menjauh.
[Hei,
Hikki!]
Aku
mendengar suara Yuigahama dari telepon. Tampaknya dia khawatir karena aku tidak
mengatakan apapun dari tadi.
“Yeah, aku
bisa mendengarmu,” kataku sambil menjauh dari tembok tempatku bersandar dan
berjalan menuju kamarku. Tanpa sadar akupun berjalan dengan perlahan seperti
berusaha tidak membuat suara apapun. Mungkin, karena aku sedang berbicara di
telepon. Penelpon di seberang sana harusnya tidak terganggu oleh suara-suara
lain.
Lorong ini
terasa lebih dingin daripada ruang keluarga. Lantainya, tentunya, sangat
dingin. Akupun merasa sangat dingin setiap melangkahkan kakiku untuk berjalan
di lorong ini.
[Aku
mencurigai sesuatu ketika kau diam dan tidak mengatakan apapun.]
“Tidak,
tidak terjadi apapun.”
Aku hanya
perlu waktu sesaat untuk menguatkan diriku. Ketika ada sebuah panggilan telepon
yang tidak terduga terjadi, hal pertama yang terjadi di pikiranku adalah “Sial,
apa salahku kali ini?!”, jadi aku paham mengapa aku ragu-ragu ketika hendak
mengangkat telepon itu. Lagipula, jika aku bisa tahu mengapa aku ditelpon, aku
bisa mencari alasan untuk tidak mempedulikan panggilan itu. Lalu, jika aku bisa
menaruh mesin penjawab telepon, aku tinggal memutar rekamannya dan memutuskan apakah
ini penting atau tidak, dan aku bisa berpikir “Aku tidak perlu menelponnya
balik, benar tidak?”. Jadi aku akan tetap tidak mempedulikannya. Karena itulah,
orang-orang yang menghubungiku sering malas untuk menghubungiku kembali.
Itu juga
alasan mengapa panggilan telepon tidak begitu membuatku gugup: karena kau tidak
bisa melihat wajah yang menelponmu, kau bisa juga pura-pura memberikan alasan
sehingga tidak mengangkatnya, meskipun efeknya bisa akan terasa dalam
hubunganmu kelak. Aku tidak paham apa yang ada di pikiran orang-orang, dan
dengan panggilan telepon aku hanya bisa mendapatkan sedikit informasi. Peluang
untuk salah paham akan bertambah tinggi. Sebuah hubungan yang dibangun dari
beberapa tombol yang ditekan bisa dihancurkan dengan mudah. Ini juga berlaku
dengan Yuigahama. Lebih tepatnya, karena yang menelpon ini adalah Yuigahama,
maka aku tidak mau ada salah paham diantara kita. Akupun mengambil waktu
sejenak untuk menenangkan nada suaraku.
“Jadi, apa
keperluanmu?” Tanyaku.
Rumahku ini cukup
kecil. Itulah yang kukatakan sebelum masuk ke kamarku. Kamarku gelap
sekali...Akupun menyalakan lampunya, mengunci pintunya dan tiduran di kasurku.
Cahaya lampu kamarku ini memperlihatkanku beberapa debu yang berterbangan
disini. Akupun melihat itu sambil berpikir kalau aku harusnya membersihkan
tempat ini.
[Umm...]
Yuigahama
terlihat gugup dan mencari kata-kata yang tepat. Suaranya yang tidak jelas itu
terdengar keras di kamarku yang sunyi ini.
[H-Hikki...Apa kamu ada waktu luang...Di hari terakhir tahun ini?]
Dia
mengatakannya dengan pelan, kata demi kata. Dan secara perlahan, kata demi
kata, akhirnya mencapai telingaku.
“Hmm, aku
ada waktu luang,” jawabku. Kenapa
tanya-tanya? Aku bebas setahun ini. Apa lagi, aku juga tidak dibayar tahun ini.
Terima kasih kepada Klub Relawan, aku terbiasa untuk bekerja ke perusahaan
hitam. Ini artinya aku punya masa depan yang cerah sebagai budak perusahaan.
Meski belakangan ini aku takut untuk memikirkan bisnis-bisnis perusahaan hitam
itu dengan alasan yang berbeda.
Tapi
kemudian Yuigahama mengatakan sesuatu yang tidak terduga. Beberapa waktu lalu
dia diam saja seperti menarik napas yang dalam dan sekarang suaranya sangat
enerjik.
[Kalau
begitu ayo kita mengunjungi kuil!]
“Ah,
mengawal tahun ini pergi?”
[Mengawal
tahun untuk pergi?]
Yuigahama
mengulangi kata-kataku. Artinya dia tidak paham maksudku. Aku bisa merasakan
kalau dia kebingungan. Aku bisa membayangkan kalau dia sedang memiringkan
kepalanya dan berpikir dengan keras.
“Maksudnya
kita mengawal tahun ini pergi dan menyambut datangnya tahun baru.”
Orang-orang
biasanya berencana untuk datang ke kuil sebelum tengah malam. Banyak variasi
dalam melakukan hal ini, tapi secara garis besar, ini adalah sebuah budaya
disini.
[Huh...]
Yuigahama
mengatakan itu dengan ragu-ragu. Entah apa dia paham atau tidak. Kemungkinan
besar tidak. Ah, awal tahun diisi mengunjungi kuil...Sebenarnya itu pertanda
yang baik. Kata orang rambutmu akan tumbul lebih bagus. Well, ya, jujur saja
aku mulai khawatir tentang rambutku ketika melihat kepala ayahku yang botak.
Kupikir adanya mitos kalau mengunjungi kuil akan membuat rambutmu tumbuh dengan
baik kurasa tidak buruk-buruk amat. Jadi aku bisa selamat dari kebotakan di
kemudian hari. Sementara itu, Yuigahama menanyakan sesuatu.
[Kalau
begitu...Ayo kita lepas tahun ini bersama-sama, mau tidak?]
“Ya sudah,
kenapa tidak.” Akupun membalasnya dengan spontan.
Tapi...ada
yang mengganjal...Aku sebagai penerima telepon ini tidak mempunyai cukup info.
Yang kutahu saat ini adalah aku akan mengunjungi kuil bersama Yuigahama di
akhir tahun, itu saja. Aku ingin tahu detail soal ini. Misalnya...Apa ini cuma
kita berdua? Yuigahama tidak menyebutkan siapapun barusan, kalau menilai nada
suaranya, maka peluang kegiatan ini hanya ada kami berdua sangat tinggi.
Ini adalah
hal yang beresiko: hanya berdua, bersama-sama. Aku sangat takut akan resikonya.
Pergi kesana, misalnya, membeli sesuatu, seperti mencari data, kalau itu tidak masalah.
Kalau ada alasan jelas untuk pergi, aku punya alasan jika ada orang kebetulan
melihat kami berdua dan menggosipkan yang tidak-tidak. Apa ada yang berani
menggosipiku jika aku punya alasan yang jelas?
Urusan
pribadi adalah hal yang berbeda dengan kasus ini. Kalau untuk kasus ini, aku
harus melakukan apa? Apa maksudnya dengan mengunjungi kuil bersama? Berjalan
bersama-sama, mengobrol bersama-sama, mengunjungi kuil seperti biasa? Apa arti
dari kata ‘seperti biasa’? Agh, persetan dengan itu semua, ini terlalu
filosofi. Akupun terus memikirkan itu tanpa menemukan jawabannya. Lagipula, ada
beberapa pertanyaan lain menungguku.
Kuil mana
yang akan kita kunjungi? Mungkin Inage Sengen karena itu kuil terbesar di dekat
sini. Maksudku, nanti disana pasti banyak orang. Aku ingat ketika festival
kembang api di musim panas lalu. Ada sebuah kemungkinan kalau Yuigahama akan
tidak nyaman denganku. Kami bisa bertemu seseorang yang merupakan temannya
seperti, katakanlah, Sagami Minami. Dan tentunya banyak lagi orang lain yang
akan aku lupakan. Sistem kasta dalam komunitas sosial memang tidak akan bisa
hilang begitu saja. Sekali aku salah melangkah dan Yuigahama akan mendapatkan
masalah. Ya, tidak boleh ada salah langkah kali ini.
Hidup ini
sudah menunjukkanku berkali-kali kalau kau tidak bisa membuat kesalahan ketika
berkumpul, dengan orang sekitarmu, dan perasaan mereka. Membuat kesalahan itu
adalah hal yang mudah, oleh karena itu aku harus membuat batasan
yang jelas soal ini.
“Umm...Oke. Tapi bagaimana dengan yang lain?”
Kau
mengatakan sesuatu yang bagus, Hachiman. Akupun bertanya kepadanya apakah dia
akan mengundang orang lain. Seperti sebuah pertanyaan : ‘Apa, kita, akan pergi
hanya pergi berduaan kesana?’. Tapi tidak lama kemudian aku menyesali hal ini.
[Ah?
Well...yang lain...]
Yuigahama
mengatakan itu, lalu terdiam. Nada suaranya terkesan sedih sehingga membuatku
hatiku tidak nyaman. Dia tidak bisa menjawabnya dengan cepat. Itu bisa berarti
banyak hal, dan Yuigahama mungkin paham hal itu. Oleh karena itu anda suaranya
kembali enerjik lagi.
[Kurasa
Yukinon bisa datang! Dia bilang kalau dia ada waktu luang!]
Akupun
berusaha untuk membalasnya dengan nada yang enerjik juga. Entah apa itu sudah
kulakukan dengan benar atau tidak.
[Oke...Umm...Kalau Komachi, dia mau ikut tidak?]
Yuigahama
menanyakan itu, suaranya masih terdengar enerjik. Akupun menatap ke arah pintu
sambil memegang HP-ku dengan bahu.
“Komachi?
Tunggu dulu.”
Aku
membalasnya dan segera keluar dari kamarku sambil membiarkan telponnya
tersambung.
x x x
Akupun masuk
ke ruang keluarga dan melihat Komachi disana. Dia sedang duduk di bawah
kotatsu, memakan es krim dan menonton TV. Ada secangkir kopi susu di dekatnya,
dan di kakinya berbaring Kamakura, seperti menjadi penghangat kakinya. Mode
istirahat:ON. Sayang sekali tidak dalam mode nekomimi. Itulah Himouto-ku,
Komachi-chan.
Karena aku
tiba-tiba masuk ke ruangan itu, Komachi menatapku dengan curiga.
“Komachi,
kau mau mengunjungi kuil ketika tahun baru?” tanyaku.
“Tahun
baru?”
“Yep.”
“Kenapa
tiba-tiba?” Komachi menanyakan itu dan melihat ke arahku dengan tatapan mata
yang penuh curiga. Karena itu akupun mundur selangkah. Komachi mengatakan “Hmm”
dan melihat aku sedang memegangi HP.
“Apa itu
ajakan dari Yui-san lewat telepon?”
“Yeah...”
jawabku. Komachi lalu mendesah kesal.
“Onii-chan...”
“A-Apa?”
Bahu Komachi
lalu meninggi, dan menaruh jari-jemarinya setinggi kepalanya dan mulai berkata.
“Komachi
ingin tidur. Komachi tidak akan meninggalkan rumah. Jadi Komachi tidak akan
ikut.”
“Ya sudah
kalau begitu...”
Aku tidak
mengerti pilihan kata-katanya, entah mengapa aku merasa ada sesuatu di
baliknya. Aku harusnya berhenti mengandalkan Komachi. Aku harusnya berhenti
menggunakan Komachi sebagai alasan atau menilai tindakanku. Itu sangat rendahan
dan pengecut.
“Komachi
tidak akan ikut, dan Onii-chan harus berpikir dengan hati-hati kalau ingin
pergi. Putuskanlah sendiri. Setuju?”
Dia
mengatakannya dengan nada yang memerintah, tatapannya sangat tajam, tetapi
menggugah hatiku. Aku tidak bisa mengatakan apapun, hanya bisa menggumamkan “mmhm”.
Kupikir
tindakanku barusan adalah rendahan dan pengecut. Selain itu, yang kukatakan
tadi ke Yuigahama juga sikap pengecut. Sikapku yang bermain dengan kata-kata. Aku merasa malu
dengan diriku sendiri. Aku menyadari kalau aku menggunakan kata seperti “yang
lain” dan “semuanya” seperti alasan untuk menghindar. Akupun merasa kecewa
dengan diriku sendiri.
“Ya sudah
aku paham maksudmu, aku akan melakukannya.”
“Baguslah.”
Komachi
menjawabku, mengangguk. Meski aku paham sendiri tanpa bantuan Komachi. Meski
begitu, aku masih memilih untuk tidak
menengok kebenaran yang tidak menyenangkan itu. Akupun mengangguk ke
Komachi dan meninggalkan ruang keluarga.
Setiap
manusia pasti menghadapi masalah dan harus melakukan apa yang mereka anggap
perlu. Meski yang kulakukan sekarang adalah menyesali kata-kata yang kukatakan
tadi.
x x x
Kakiku menjadi dingin kembali ketika menginjak
lantai dingin itu, seperti memberitahuku untuk cepat-cepat. Jadi aku secara
tidak sadar mempercepat langkahku dan masuk ke kamarku. Tanganku masih memegang
telepon yang belum diputus itu. Aku melihat ke HP tersebut dan mengembuskan
napasku.
“Halo?”
Akupun
memanggil Yuigahama.
[Hello!]
Jawaban dari
Yuigahama terkesan buru-buru. Mendengar itu akupun merasa lega. Kupikir jawaban
sebelumnya hingga barusan ada jeda yang sangat lama. Dia mungkin sudah menunggu
lama dengan HP menempel di telinganya. Maafkan aku. Akupun membungkukkan
kepalaku untuk meminta maaf, meskipun dia tidak bisa melihatku.
“Maaf sudah
membuatmu menunggu. Komachi bilang dia tidak mau ikut.”
[Yeah, aku
dengar tadi]
Yuigahama
tertawa ketika mengatakannya. Tunggu, dia
dengar semuanya? Ya Tuhan, sangat memalukan!
[Hikki,
kalau kamu sendiri...mau datang?]
Pertanyaan
yang Yuigahama katakan dengan hati-hati tadi menggelitik telingaku. Bulu
kudukku serasa berdiri. Bahkan suara dari telepon bisa mempengaruhi telingaku,
titik lemahku. Untungnya ini bukan Skype atau FaceTime. Mungkin telingaku
terlihat terbakar saat ini. Akupun terbatuk dan memaksakan diriku untuk
mengganti topik yang ada di pikiranku ini. Mempertimbangkan percakapanku
sebelumnya, aku memutuskan untuk mengatakannya dengan jelas, tanpa kebohongan
dan alasan apapun.
“Aku...well,
aku akan datang. Kuserahkan pengaturannya kepadamu.”
[Eh?...Umm...Yeah,
tentu!]
Yuigahama
membalasnya, seperti bingung bercampur terkejut terdengar dari nada suaranya.
Mungkin aku terlalu terang-terangan ketika menjawabnya. Apa aku salah? Akupun
segera menambahkan.
“Yeah,
well...Aku sedang berada dalam liburan musim dingin, jadi aku sendiri tidak ada
rencana apapun. Aku akan melakukannya.”
[Yeah.
Tapi...yang lainnya mungkin punya rencana masing-masing, tahu tidak...]
“Mau
bagaimana lagi. Yang penting datang saja dulu dan selesaikan masalahnya ketika
disana.”
Sial. Aku
mengatakan alasan dan menjawab ajakannya dengan konyol. Aku harusnya memikirkan
lebih dulu jawabanku. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, tanganku yang
sedang memegang HP sedang berkeringat saat ini. Aku bisa merasakan keringat
yang sedang mengalir dari kepalaku. Mengapa sangat sulit untuk berbicara tanpa
adanya persiapan? Akupun mendesah kecil, tapi telepon di seberang terlihat diam
saja.
“A-Ada apa?”
tanyaku.
[Ah?
Ti-tidak ada apa-apa...]
Yuigahama
mengatakannya dan mulai terbatuk, seperti memeriksa suaranya.
[Ya sudah,
aku akan SMS nanti soal waktu dan tempat berkumpulnya.]
“Oke”.
[Hmm.]
Yuigahama
mengatakan itu, harusnya pembicaraan ini selesai. Tapi...entah mengapa tidak
ada yang menutup teleponnya.
Akupun bisa
mendengar suara napasnya. Beberapa saat kemudian, Yuigahama terbatuk.
“Apaan?”
[Ah, tidak,
maaf. Kupikir ini aneh sekali.]
Apa ada yang
aneh soal ini? Meskipun aku memang merasakan itu juga. Percakapannya sudah
selesai dan aku harus mengakhiri panggilan ini, tapi aku tidak bisa
melakukannya. Setahuku, menurut tata krama, pihak yang menelpon yang harus
mengakhiri itu. Mungkinkah aku tidak mengakhiri ini karena pengetahuan ini?
Meski hubungan kami berdua tidak pernah sesuai tata krama. Kurasa tidak masalah
jika aku memutus teleponnya dahulu, akupun mengatakannya dengan jelas.
“Oke,
kuputus teleponnya."
[Yeah,
bye...]
Yuigahama
mengatakan itu tapi tetap tidak menutup teleponnya. Akupun mendengar suara
napasnya dan senyumnya yang terlihat idiot.
“Sudah putus
saja teleponnya.”
[Y-Yeah.]
Yuigahama
mengatakan itu. Dia sepertinya sedang tersenyum malu sambil bermain dengan
sanggul rambutnya. Ketika aku membayangkan itu, Yuigahama sepertinya punya ide.
“Bagaimana
kalau kita hitung sampai dua dan putus teleponnya?”
Dia
mengatakan itu dengan awkward. Mendengar tawanya itu bisa kubayangkan seperti
apa ekspresinya. Menyadari apa yang dia tawarkan barusan, aku merasa leherku
menjadi terbakar tidak karuan.
“Eh?
Apa-apaan itu? Aku putus saja sekarang.”
[Hei,
tungg...]
“Oke,
selamat tinggal.”
Akupun
mengatakan itu dan menekan tombol “Akhiri panggilan” secepatnya. Akupun melihat
ke HP-ku dan bernapas lega. Percakapan
macam apa tadi? Ini seperti percakapan antar bocah-bocah yang membuatku
malu. Akupun tiduran di kamarku untuk menghilangkan semua itu. Beberapa saat
kemudian akupun mengembuskan napasku. Aku merasa kalau tenggorokanku ini kering
dan segera berdiri dari kasurku dengan wajahku yang sudah mulai lelah.
x x x
Sambil memasang wajah lelah, akupun datang ke ruang
keluarga dan melihat Komachi. Setelah melihat wajahku, dia seperti merasa puas.
“Jadi kau
akan datang ke kuil?”
“Yeah,
mungkin saja.”
Akupun
membalasnya sambil berjalan ke dapur dan mencari air untuk diminum. Komachi
lalu tersenyum licik.
“Hehehe,
benar, benar.”
“Wajahmu
sangat menjengkelkan, hentikan itu.”
“Nah,
kupikir Onii-chan tidak sebodoh yang kupikirkan.”
Komachi
mengatakan itu sambil tersenyum, meskipun kupikir yang dia katakan bukanlah
pendapatnya. Aku harusnya menjawab telepon tadi dengan sesuatu yang lebih baik.
Dengan semua penyesalan itu, aku duduk di kotatsu. Komachi lalu berdiri seperti
menyerahkan tugas menjaga kotatsu kepadaku.
“Ini artinya
aku harus memikirkan kuil mana yang akan kudatangi nanti.”
“Well, ayah
bilang ingin mengunjungi kuil Kameido Tenjin. Kau bisa ikut dengannya.”
Akupun
menjawabnya, tapi wajah Komachi menunjukkan ekspresi yang jijik.
“Eh?”
Apa-apaan
dengan jawabannya itu? Ayah sudah melakukan yang terbaik agar dicintai Komachi.
Aku paham dengan yang dia rasakan, tapi tampaknya Komachi tidak peduli
sedikitpun.
“Lupakan
saja. Aku akan pergi ke tempat lain nantinya...selamat malam.”
Dia menjawab
itu dan meninggalkan ruang keluarga.
Yang tersisa
disini hanya diriku dan Kamakura. Kamakura pun mendesah kesal, tiba-tiba
berdiri dengan mood yang buruk,
merenggangkan badannya dan merangkak di bawah kotatsu. Akupun mengikutinya
masuk ke kotatsu dengan menyisakan kepalaku saja yang keluar dari kotatsu.
Tidak lama lagi akhir dari tahun ini. Tampaknya tahun baru ini akan menjadi
lebih bermasalah dari pada tahun sebelumnya.
x Chapter I | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar