x x x
Suhu turun
secara drastis setelah pulang sekolah.
Bahkan di
sekolah, kecuali ruangan kelas yang ada pemanasnya, tidak ditemukan adanya
tanda kehidupan karena udara yang sangat dingin di lorong-lorong sekolah. Dekat
pintu masuk sekolah, ada ruang sekretariat OSIS, juga karena adanya angin yang
bertiup dari arah pintu masuk sekolah, ruangannya juga terasa lebih dingin
daripada yang lain.
Sekolah ini
dibangun dekat dengan pantai, dan tanpa adanya gedung-gedung besar di sekitar,
angin laut langsung menerpa sekolah ini tanpa adanya penghalang. Ditambah lagi,
daerah Chiba memiliki kontur dataran yang datar. Sebuah daerah dimana angin
bisa bertiup dengan bebas. Sementara itu, ini adalah daerah dimana warganya merasa
seperti di rumah sendiri dan punya aktivitas yang cukup padat. Tunggu, kenapa
ini seperti iklan ajakan untuk bergabung dengan perusahaan hitam? Kurasa kita
tidak akan terkejut jika kota satelit Tokyo, yaitu Chiba, menjadi sarang
favorit para budak perusahaan!
Meski
begitu, bagiku yang sudah 17 tahun tinggal disini, warga Chiba sejati pasti
terbiasa dengan angin dingin ini. Karena itu juga, aku sudah terbiasa dengan
kerasnya dunia ini.
Begitulah,
sehabis merasakan ruangan klub yang hangat beberapa waktu lalu, perubahan suhu
yang dialami tubuhku kali ini sedikit ekstrem. Aku ingin kembali ke ruangan
klub yang hangat...Ketika aku hendak mengetuk pintu sekretariat OSIS, tiba-tiba
tanganku dipegang oleh sesuatu.
Ada tangan
kucing yang memegang tanganku yang satunya. Tangan kucing itu mirip tangan
kostum kucing dari karakter anime, berbulu dengan sol berwarna pink.
“Ini
untukmu, kalau kamu tidak keberatan. Ada juga bagian untuk teman-teman
Isshiki-san juga di dalam.”
Setelah
mengatakan itu, tangan kucing satunya memberiku tas plastik yang berisi
beberapa kaleng kopi. Ada apa dengan
tangan kucing ini...Apa kamu ini seperti ibu-ibu yang memberikan oleh-oleh
setiap kali anak temannya berkunjung?
Ketika
kulihat, dia melambai-lambaikan sarung tangan kucing tersebut, Yukinoshita. Begitu ya, tampaknya kau sudah terbiasa
untuk memakai sarung tangan itu...Aku juga ikut senang melihatnya...
Kemudian,
muncul di belakang Yukinoshita, Yuigahama. Entah ketika dia menerima ataupun
memberikan sesuatu, dia selalu memasang ekspresi senang.
Atau
mungkin, karena Max Coffee yang diberikan oleh tangan kucing itu.
“Apa kamu
yakin untuk membawa ini ke dalam? Kita ini hanya menumpang ruangan ini sebentar
saja...”
“Harusnya
bukan masalah. Meski sebentar, kenyataannya kita tetap menggunakan ruangan
mereka. Kupikir akan lebih mudah untuk menunjukkan niat baik kita dengan
membawa ini, bukan begitu?”
“Hmm,
baiklah kalau begitu.”
Sebenarnya,
aku juga tidak tahu berapa lama kita akan berada di dalam sekretariat OSIS.
Agar bisa
berbicara empat mata dengan Hayama, aku ingin bertemu dengannya dengan
mencegatnya di depan ruang sekretariat OSIS ketika pulang dari kegiatan klub.
Meski
begitu, bagian terburuknya adalah dia ketua Klub Sepakbola. Meski ini tidak
begitu efisien, aku tidak punya pilihan lagi kecuali menunggu saat-saat
terakhir sebelum gerbang sekolah ditutup.
Ditambah
lagi, aku juga tidak tahu kapan kegiatan klubnya selesai.
Meski
lapangan sekolah kita tidak begitu besar, dengan adanya klub sepakbola,
baseball, rugby, dan atletik memakai lapangan yang sama, mereka harus membuat
kesepakatan. Artinya, tiap klub memiliki jam latihan dan aktivitas berbeda-beda
tiap harinya.
Kalau
begitu, untuk menjamin aku bisa bertemu Hayama, paling bagus adalah menunggunya
lewat di depan ruang sekretariat OSIS di dekat pintu masuk sekolah. Tidak
peduli selarut apa, mungkin tidak ada yang komplain jika ruangan yang masih
beraktivitas adalah ruangan pengurus OSIS. Woo! Memiliki kekuasaan adalah yang
terbaik! Ngomong-ngomong, kupikir aku akan mengganggu kegiatan ‘klub OSIS’ hari
ini. Tapi Isshiki sering tiba-tiba datang dan mengganggu klubku, jadi ini bisa
dikatakan impas. Keluar dari kebiasaan rutin merupakan aktivitas yang baik bagi
kita.
“...Kalau
begitu, aku akan menunggu disini untuk berbicara dengan Hayama. Kalian berdua
pulang duluan saja.”
“Tapi,
menyerahkan ini ke dirimu sendirian agak...”
Yuigahama
tampaknya kesulitan untuk mencari-cari kata yang tepat dan menatap ke arah
Yukinoshita untuk meminta pendapatnya.
Meski
begitu, Yukinoshita hanya terdiam. Aku juga setuju dengan Yukinoshita. Daripada
mereka datang membantu, aku sebenarnya ingin mereka tidak ada di lokasi ketika
aku berbicara empat mata dengan Hayama.
“Akan
menjadi masalah besar kalau kalian berdua terlihat bersama dengan Hayama, itu
akan menciptakan gosip yang baru. Jangan khawatir. Kalian bisa ke Marinpia,
atau Chiba, atau pergi bersama teman-temanmu untuk mengisi waktunya.”
Yukinoshita
menaruh tangannya di depan mulutnya dan berpikir sebentar.
“Itu ada
benarnya. Kalau begitu maafkan kami karena akan pulang lebih dulu.”
“Umm. Aku
merasa tidak enak membiarkan Hikki melakukan semua pekerjaannya...”
“Jangan
khawatir. Ini sudah menjadi pekerjaanku.”
Aku
membalasnya dengan lembut kepada keduanya yang melihatku dengan khawatir. Lalu,
Yukinoshita tersenyum.
“Aku serasa
tidak percaya kalau aku mendengar kata-kata itu darimu.”
Benar kan? Secara spontan, aku
menganggukkan kepalaku sambil memasang senyum di wajahku. Yuigahama tampaknya
bisa menerima itu dan membetulkan posisi tas sekolah yang dibawanya.
“Kalau
begitu, sampai jumpa besok.”
“Ah, sampai
jumpa.”
Akupun
melambaikan tanganku kepada keduanya dan mereka mulai berjalan menuju pintu keluar. Sekarang, aku menghadap ke arah pintu ruang
OSIS.
Kuketuk
pintu tersebut beberapa kali, lalu menunggu responnya.
“Sebentar.”
Suara
tersebut terdengar sedikit terkejut dan diikuti oleh suara langkah kaki yang
terburu-buru. Lalu, knop pintu bergerak perlahan, dengan suara ‘creak’, pintu
terbuka beberapa cm. Lalu, aku bisa melihat seorang gadis manis dengan kacamata
dan rambut bermodel pigtail mengintip dari balik pintu.
“Ah, umm,
ada yang bisa dibantu?”
Gadis ini
adalah Sekretaris-chan. Diantara rasa ragunya, dia menanyakan keperluanku
datang kesana. Kedua matanya seperti mengatakan “Fuee, aku tidak kenal orang
ini...menakutkan sekali...” perasaan semacam itulah, tapi itu mungkin hanya
imajinasiku saja.
Meski
begitu, orang yang memiliki mental baja disini adalah diriku. Aku disini,
mengumpulkan seluruh keberanianku dan pura-pura kenal dirinya. Dia membuka
pintunya dan akupun memberinya plastik belanjaannya.
“Halo. Ini,
untukmu dan Ibu Ketua.”
“Ah, erm,
terima kasih banyak atas kebaikanmu.”
Aku tidak
tahu apa yang harus kukatakan lagi, akupun memberikan plastik belanjaan itu
kepadanya. Oleh karena itu, si Sekretaris-chan yang ragu itu tidak menerima
plastik belanjaannya, malahan dia hanya membungkuk dan mengatakan terima kasih.
Tidak, tidak, tidak, kau memang tidak boleh
menerima apapun dengan mudah dari orang tidak dikenal!
“Umm, umm Bu Ketua, ada
yang mengirimkanmu minuman.”
Begitulah,
si Sekretaris-chan tampak bingung karena ditawari sekantong minuman dan
memanggil Isshiki yang ada di ruangan lain. Mendengar kata minuman, Isshiki
keluar dari ruangan Ketua OSIS. Dia lalu melihat isi plastik belanjaannya,
kedua matanya tampak berkilauan.
“Waa, kau
ini ternyata sangat perhatian, Senpai? Terima kasih banyak~”
“Huh?
Apa-apaan dengan kata ‘ternyata’? Juga, kau hendak kembali lagi ke ruanganmu
setelah mengambil ini?”
Mendengarku
mengatakan itu, Isshiki seperti dipenuhi tanda tanya.
“Huh? Apa
kau ada keperluan disini? Kupikir aku tidak bisa membantu banyak.”
Aku ini sebenarnya dianggap apa, Irohasu~.
Kalau aku tidak ada perlu, aku tidak akan mampir kesini, tahu tidak? Well,
memang ada benarnya, kalau tidak ada keperluan maka tidak akan datang. Kalau
begitu, aku akan katakan keperluanku.
“Isshiki,
aku pinjam dulu ruangan ini.”
“Hah?”
Kali ini,
Isshiki memiringkan kepalanya ke arah lain.
x x x
Pemandangan
halaman sekolah yang kulihat dari jendela ruang OSIS, tampak disinari oleh
cahaya senja dan lampu penerangan jalan.
Para siswa
yang pulang dari aktivitas klubnya pasti akan lewat halaman ini. Karena itulah,
dari jendela ruang OSIS ini aku bisa melihat para member Klub Sepakbola yang
pulang ke rumah.
Terlebih
lagi, karena investasi hebat diriku yang menjadi kenalan ketua OSIS, Isshiki,
tempat ini menjadi tempat yang sempurna untuk tinggal dalam waktu yang lama
demi menunggu Hayama lewat.
Sekarang
ini, pemanas halogen ruangan ini menimbulkan suara ‘Myon Myon’ dan radiasi
inframerahnya membuat kakiku bergetar, membuatnya terasa hangat. Ini adalah
tempat yang sempurna untuk menunggu orang.
Sambil
meminum Max Coffee-ku, aku berjalan ke arah jendela dan melihat keluar.
Isshiki
berdiri di sampingku, melakukan hal yang sama. Hanya ujung jarinya saja yang
terlihat dari lengan cardigan panjangnya yang memegang kaleng minuman cocoa dan
mulai meminumnya.
“Tampaknya
Hayama-senpai masih belum lewat.”
“Ya.”
Aku sudah
memberitahu Isshiki tentang tujuanku kesini. Ketika dia mendengarkan requestku,
dia mengatakan, “Apa ini artinya aku akan pulang terlambat ke rumah?” dan
menatapku dengan kesal. Hanya ketika kukatakan kalau aku hendak menunggu Hayama
saja dia memperbolehkanku tetap di ruangannya.
Para
pengurus OSIS lainnya sudah pulang ke rumah masing-masing.
Tapi aku
sangat terkesan melihat si Wakil Ketua OSIS dan Sekretaris-chan pulang
bersama-sama. Bajingan kau, Wakil Ketua!
Kerjakan tugas dan pekerjaanmu, sialan! Well, sebenarnya aku juga sedang
mengganggu pekerjaan mereka...
Ngomong-ngomong soal kerjaan,
aku teringat sesuatu.
“Eh, kalau
tidak salah kamu kan masih manajer Klub Sepakbola? Apa kegiatan klubmu akan
berakhir sebentar lagi?”
“Entahlah?”
Isshiki
menjawabnya dengan santai.
“Entah...?”
Ini bukanlah
‘Guardian Angel Getten’, tahu tidak... Tolong lakukan pekerjaanmu sebagai
manajer dengan baik...
“Bukannya
saat ini dingin sekali?”
Dia
mengatakannya sambil tertawa malu-malu. Tidak hanya super licik, dia juga punya
tawa yang manis! Ada apa dengan gadis ini, dia benar-benar super manis...
Meski
begitu, apakah ini benar...? Tapi kalau dipikir-pikir, akulah orang yang
memintanya menjadi Ketua OSIS, orang yang meyakinkannya kalau dia punya
kemampuan untuk berada di posisi ini.
Bisa
berenang mengikuti ombak adalah salah satu pesona dari Isshiki Iroha, atau kau
bisa bilang kalau itu memang salah satu kemampuannya.
Sebaliknya,
aku ini buruk sekali dalam mengikuti aliran arus. Aku merasa yang kulakukan
selama ini hanya menyakitkan diriku saja. Seperti sekarang, misalnya, aku ada
disini di ruang OSIS. Andai saja waktu Hayama meminta nomorku tempo hari, aku
juga punya nomornya, harusnya ini tidak perlu terjadi. Tapi kalau
dipikir-pikir, meminta nomornya juga terkesan aneh.
Yang
kupikirkan barusan seperti debat kusir saja...
Jika Hayama
dan diriku adalah teman baik...Dia akan mengundangku ke suatu tempat seperti “Yo bro! Sup! Mampir ke rumah gue bro!”
semacam itu. Mustahil aku mau diajaknya. Aku tidak suka Hayama yang seperti
itu.
Dan
begitulah, yang bisa kulakukan hari ini adalah menunggu Hayama lewat.
Kuputuskan
untuk menatap ke arah halaman sekolah, dan akupun melihat kedua mata Isshiki
lewat pantulan imagenya di kaca jendela. Isshiki menyadari ini juga dan dia
tertawa kecil.
“Tapi ini
memang tidak diduga-duga. Biasanya Senpai tidak akan mau sampai sejauh ini.”
“Memang
begitu kah?”
Ketika aku
menatap ke arah Isshiki, dia terlihat mengangguk.
“Ya, kupikir
kau akan mengatakan sesuatu seperti ini: Jangan
libatkan aku dengan urusan yang melibatkan kumpulan idiot ini atau semacamnya.”
Uwaaaa~, itu memang terdengar seperti
diriku! Maksudku, Irohasu memang memahami diriku. Tampaknya kau sudah mencapai
level 3 dalam memahami Hikigaya! Yosh, aku akan memberimu 80000 Pa Pa poin!
Meski begitu, yang dia
katakan memang benar. Biasanya, aku akan mencari-cari alasan dan mengatakan
kata-kata Isshiki barusan tidak masuk akal. Tapi Isshiki memang cukup tajam
dalam menilai perubahan diriku.
“Maksudku,
kau sampai segitunya datang kesini dan menunggunya...”
Ketika
Isshiki melihatku, dia menggumamkan sesuatu, seperti sedang berpikir. Meski
kedua matanya terlihat manis, dia bisa melihat maksud dan motifku, dan ini
terasa menakutkan. Oleh karena itu, aku memalingkan pandanganku darinya.
Isshiki
sepertinya menyadari sesuatu, dan dia melompat ke belakang, membuat jarak
denganku.
“...Ha, apa
kau ini sebenarnya hendak membuat gosip kita berpacaran karena di ruangan ini
hanya ada kita berdua? Lalu ketika gosip itu terjadi, apa kamu berharap itu
bisa menjadi kenyataan dan mulai mendekatiku? Memang kuakui aku bisa belajar
banyak dari rencana ini. Aku juga sempat berpikir kalau ide ini bisa kugunakan
dengan Hayama-senpai. Tapi jika hasil gosip ini kurang bagus, aku akan
menolakmu juga, maafkan aku.”
Dia
mengatakan itu tanpa mengambil jeda untuk bernapas dan tanpa ragu. Lalu, dia
melihatku rendah.
“Ah, umm,
masuk akal juga. Maksudku, aku cukup suka teorimu tadi.”
Aku
menjawabnya juga, seperti tidak peduli tentang kata-kata awalnya. Isshiki seperti
tidak menyukai jawabanku dan mengatakan “Responmu kurang sesuatu, Senpai...” sambil mengembungkan pipinya.
Meski
begitu, waktu yang bisa dibilang cukup lama ini ketika menunggu Hayama, Isshiki
memang sangat membantuku untuk menghilangkan kebosanan karena menunggu. Ketika
kulihat lagi ke halaman sekolah, aku bisa melihat beberapa member Klub
Sepakbola berjalan keluar dari halaman sekolah. Diantara mereka, aku bisa
melihat Hayama.
“Isshiki,
terima kasih ya.”
“Jangan
khawatirkan itu, setidaknya aku bisa menolongmu.”
Mendengarkan
kata-kata terimakasihku, Isshiki tersenyum. Sebagai terima kasih atas
senyumnya, aku membalas “Sampai nanti”. Ketika dia mengantarkanku keluar dari
ruang OSIS, sebuah suara yang lembut terdengar olehku.
“Senpai,
lakukan yang terbaik~”
Ketika
kulihat, Isshiki sedang menaruh kepalan tangannya di depan dadanya untuk
menyemangatiku. Ekspresinya terlihat ramah dan tatapannya terlihat lembut.
Apa maksudmu berikan yang terbaik? Aku ini
cuma ingin mengobrol dengan seseorang, tidak kurang tidak lebih. Meski jika
kubalas kata-katanya tadi akan terdengar bagus, aku memilih untuk tidak
melakukannya.
Daripada
mengatakan sesuatu, aku memilih untuk melambaikan tanganku dan meninggalkan
ruang OSIS dengan segera.
x x x
Suara
langkah kakiku ini bisa terdengar dari pintu masuk hingga halaman sekolah.
Mungkin karena kehangatan ruangan OSIS yang baru saja kutinggalkan dan kali ini
aku diterpa oleh angin dingin.
Sambil
membetulkan mantel dan menutup mulutku dengan syal, akupun bergegas.
Karena
Hayama Hayato ada di depanku.
Tobe,
Hayama, dan yang lain terlihat berjalan dengan pelan sambil sesekali bergurau.
Meski jika melihat ada beberapa siswa melewati mereka terlihat normal saja,
tapi melihat orang yang datang bergegas dari arah sebaliknya pasti dengan mudah
akan menarik perhatian. Misalnya, Tobe yang pertama menyadariku.
“Oh,
Hikitani-kun!”
Tobe
melambaikan tangannya, dan Hayama yang melihatku juga mengatakan “Ya” dan
menaikkan tangannya.
“Kalian hendak
pulang ke rumah?”
Akupun
berhenti di depan mereka, sehingga mereka tidak punya pilihan kecuali ikut
berhenti juga.
Dengan
alasan tertentu aku hanya berdiri saja disana dan mengatakan satu kalimat tadi,
tapi mau bagaimana lagi. Tobe, berusaha membaca suasananya, membetulkan syal
Burberry-nya dan melanjutkan pembicaraan.
“Yea.
Hikitani-kun juga?”
“Begitulah....Ah,
aku ingat sekarang. Hayama, apa kau ada waktu?”
Sambil
mengatakan itu, aku menatap ke Hayama.
Aku ingin
mengesankan kalau aku tiba-tiba ingat sesuatu dan butuh bantuan Hayama. Bahkan
menurutku sendiri, kupikir aktingku barusan itu bisa dibilang gagal. Meski
begitu, mengingat fakta kalau aku normalnya tidak berbicara ke orang, mereka
tampaknya tidak begitu sadar kalau sikapku ini diluar kewajaran.
Tentunya,
Hayama adalah pengecualian.
Seperti
menyadari kalau ada sesuatu, dia menatapku dengan tatapan penasaran, meski
hanya sebentar.
Well, aku
memang sudah menduganya.
Hayama
adalah idola banyak orang, seorang pria populer yang sudah berbicara ke banyak
orang. Dari sudut pandang orang luar, tampaknya tidak ada keanehan dari situasi
ini.
Meski
begitu, Hayama tahu apa tujuanku.
Berbicara
dengan Hayama karena kepentinganku sendiri; Aku bukanlah orang yang punya
hubungan dekat dengannya hingga terlihat wajar pulang bersama ataupun
mengajaknya jalan-jalan ke suatu tempat. Satu-satunya waktu ketika dia punya
urusan denganku adalah waktu itu, membicarakan sesuatu yang buruk. Dia pasti
tahu itu.
[note: Volume 7 chapter 8, pembicaraan Hayama dan
Hachiman di samping jembatan Kyoto tentang Hayama yang tidak kooperatif di
penembakan Ebina.]
Tatapan ragu
Hayama itu menghilang ketika dia mencondongkan kepalanya, dan memasang senyum
yang selalu dia tampilkan ke semua orang.
“Oh baiklah.
Kalau begitu, aku duluan dulu, Tobe.”
“O, Oh.
Kalau begitu, sampai jumpa lagi!”
Hayama
menatap sejenak ke Tobe dan Tobe-pun mengangguk. Lalu, Tobe dan member klub
lainnya juga mulai berjalan meninggalkan kami.
Setelah
melihat Tobe dan yang lain pergi, Hayama menatapku. Lalu, dengan aba-aba
gerakan dagunya, dia seperti memintaku untuk ikut dengannya ke parkir sepeda.
Akupun mengikuti sarannya dan mulai berjalan.
Mayoritas
siswa sudah pulang ke rumah, sehingga area parkir sepeda terlihat sepi. Masih
ada beberapa siswa di klubnya, atau beberapa lagi bisa terlihat disini sedang
berjalan pulang, menyisakan kesunyian. Ketika angin bertiup, suara atap yang
terbuat dari seng mulai menimbulkan bunyi dan disertai bunyi besi-besi sepeda yang diparkir.
Suara ban
sepeda yang digeser mulai terdengar ketika aku melepas kuncian sepedaku.
Sementara itu, Hayama hanya berdiri di sampingku. Dia tidak melakukan apapun,
hanya melihatku begitu saja dan menunggu.
“Sepedamu
mana?”
“Aku akan
pulang naik kereta.”
“Ah, begitu
ya.”
Jadi, kau sengaja menemaniku kesini?
Apa-apaan dengan kebaikanmu itu...Tunggu
dulu, itu artinya pria ini tahu kalau aku datang ke sekolah hari ini dengan naik sepeda.
Ini sangat menakutkan...
“Jadi, apa
yang akan kau lakukan?”
Hayama
menanyakan itu kepadaku.
Well, akulah
yang mengatakan kalau aku ada perlu. “Kita akan kemana?”, mungkin itulah yang
dia tanyakan.
“Kupikir aku
ingin membicarakan sesuatu.”
Begitulah,
ini adalah pembicaraan dimana orang lain tidak boleh tahu. Aku tidak ingin kita
terlihat mencolok. Lagipula, tempat ini anginnya dingin sekali. Dimana kita tahu
tempat yang bagus untuk bicara. Rumahku? Atau mungkin rumah Hayama...Nah,
mustahil.
“Ada ide mau
kemana?”
“Memang,
kemana ya...”
Jawaban
Hayama ini seperti...Dan dia mengarahkan pandangannya ke gerbang sekolah.
Akupun menyetujuinya dan menuntun sepedaku.
Suara
langkah kaki dan suara sepeda yang dituntun menggema di lingkungan sekolah.
Sekolah ini sangat berisik seperti kebun binatang ketika siang hari, tapi
ketika petang seperti kuburan.
Ini adalah
suasana yang awkward...
Kesunyian
melanda kami, tapi, lagipula, dan yang terpenting, komposisi orang ini. Ini
memang adegan yang aneh bagi kami berdua. Meski akulah yang memintanya untuk
berbicara di suatu tempat, kurasa agak aneh berjalan dengannya karena aku
membawa sepeda...
Eh, apa yang
harus kulakukan? Apa terasa aneh jika aku menuntun sepeda dan berjalan
dengannya?
Atau begini,
kita sepakat untuk bertemu di suatu tempat dan bertemu di jam yang ditentukan?
Seseorang
tolong beri tahu aku! Melody atau Goo tidak apa-apa! Atau mungkin Yahoo Answer!
Tolong aku Yahoo Answer!
Setelah
berteriak-teriak karena putus asa ke Yahoo Answer!, kupikir aku menemukan
solusinya. Oke! GOOGLE!
Akupun
pura-pura batuk untuk memperoleh perhatian Hayama yang beberapa langkah di
depanku.
“Ah, kau mau
naik?”
“Eh?”
Hayama
melihatku dengan tatapan kosongnya. Dia seperti kesulitan hendak menjawab apa.
Mungkin dia tidak mendengar jawabanku karena angin yang kencang...
Kamu ini apa
sih, protanogis yang keras kepala? Jangan membuatku mengulangi kata-kataku,
karena itu terdengar memalukan. Aku melihatnya berdiri saja disana, seperti
orang bodoh. Itu adalah jawaban untuk menolak ajakan naik sepeda bersama-sama
dengan level paling tinggi. Dengan penolakan semacam itu, orang mungkin tidak
akan punya keberanian untuk menanyakan pertanyaannya lagi. Jangan bermain-main
dengan hati wanita, mereka sangat rapuh...
Setelah
mendebatkan itu dalam pikiranku, akupun menarik napas dalam-dalam. Akupun
membetulkan tasku dan menanyakannya lagi...Hachiman! Kamu bisa! Kumpulkan
seluruh keberanianmu!
“...Bukan,
maksudku, ayo kita naik sepeda ini saja bersama-sama.”
“Ah, itu ya.
Kupikir aku salah dengar tadi.”
Dia
mengatakan itu dengan memasang senyum yang lembut.
“Kalau
begitu, kuterima tawaranmu.”
“Oke.”
Akupun naik
ke sepeda dan Hayama duduk di belakang. Ketika dia duduk di belakang, aku bisa
merasakan kalau sepedaku terasa lebih berat. Well, saatnya pergi. Dan akupun
bersiap-siap untuk mengayuh sepedaku.
Tiba-tiba,
aku merasakan kalau sesuatu memegang bahuku dan akupun terkaget-kaget.
“Eh, ada
apa?”
Aku menoleh
kebelakang karena takut, aku melihat Hayama memiringkan kepalanya ke samping.
Dia melihat ke depan lewat samping bahuku.
“Ah,
maaf...Aku coba menyeimbangkan tubuhku tadi.”
Setelah
mengatakan itu, dia memindahkan tangannya dari bahuku, lalu dia berpegangan ke
pegangan besi di belakang sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Fumu. Well, kurasa itulah yang terjadi
jika ada dua orang berboncengan. Jika kau menaruh beratmu di depan, maka kau
harus berpegangan ke bahu atau pinggang si pengayuh, atau juga sadelnya. Sebaliknya, jika kau
menaruh beratmu di belakang, kau akan memilih sikap seperti yang Hayama lakukan
saat ini. Ngomong-ngomong, Komachi melakukan yang pertama! Dia menaruh kedua
tangannya di pinggangku! Manisnya!
Dengan
begini, persiapannya selesai. Akupun menaruh kakiku di pedal satunya dan
bertanya ke Hayama.
“Kau siap?”
“Kapan saja.”
Mendengarnya
menjawab dengan lembut, akupun mulai mengayuh sepedaku.
Tetapi,
mungkin karena berat kita berdua, setir sepeda ini bergerak diluar kontrolku,
dan sepedanya bergerak tidak karuan seperti membentuk motif zig-zag.
Oh, oh...Memang
berat bagi dua pria untuk naik sepeda bersama...Tidak ada yang berboncengan
denganku selama ini kecuali Komachi. Karena Komachi sangat ringan...Kau manis
sekali, Komachi...
Di lain
pihak, pria yang ada di belakangku ini tidak ada manis-manisnya.
“Umm, mau
gantian?”
Akupun
melihat ke belakang untuk mengetahui asal suara tersebut dan Hayama memasang
wajah khawatir bercampur senyum.
“Nah, aku
baik-baik saja. Tenang saja.”
Setelah
menjawabnya dengan singkat, akupun fokus untuk mengayuh sepeda ini. Aku tidak
bisa membiarkannya menyetir, akan sangat memalukan karena aku akan terlihat
tidak bisa mengayuh sepeda untuk dua orang! Seorang pria juga punya sesuatu
untuk dibanggakan!
Karena sifat
keras kepalaku, atau juga karena aku mulai terbiasa, sepeda ini mulai terlihat
berjalan sebagaimana mestinya. Secara perlahan pula, sepeda ini mulai
meningkatkan lajunya.
Tidak lupa
fakta kalau Chiba adalah dataran yang cukup datar, jalanan ini cukup lurus dan
tidak ada tanjakan, membuatnya nyaman untuk bersepeda.
Anginnya
memang dingin seperti biasanya, tapi karena tubuhku mulai terasa panas, aku
tidak merasakan itu sama sekali. Melihat sepeda ini mulai stabil, aku merasa
Hayama menepuk-nepuk punggungku.
Bisa kau hentikan itu? Karena yang kau
lakukan itu membuatku ketakutan...
“Jadi ada perlu apa
denganku?”
Akupun tidak
mempedulikannya dan terus mengayuh tanpa melihat ke belakang.
“Jadi kita
akan kemana?”
Setelah dia
mengatakan itu, aku baru sadar kalau sejak awal, kita tidak memutuskan akan
hendak kemana. Well, terserah saja, bahkan di waktu seperti ini, tempat-tempat
yang bisa kita datangi sudah terbatas.
“...Bagaimana
kalau Saize?”
“Kau
benar-benar menyukai Saize, ya?”
Hayama
bertanya kepadaku dengan nada yang terkejut. Apaan, memangnya salah kalau milih Saize!? Karena itulah, aku
mengatakannya secara tidak sengaja.
“Ada apa,
apa kau tidak suka kesana? Aku akan mentraktirmu kopi disana.”
“Di Saize
ada bar minumannya kan?”
Aku
mendengar kata-katanya itu disertai suara tawa darinya. Itu memang sesuatu yang
mengejutkan. Apa dia tahu kalau Saize punya bar minuman?
...Jangan bilang kalau dia ini juga menyukai
Saize?
x x x
Aku membeli
dua kaleng kopi dari mesin penjual minuman yang ada di pinggir jalan.
Sambil
menatap ke arah jalanan, aku bisa melihat lampu dari mobil-mobil yang lewat.
Cahaya berwarna orange dicampur dengan cahaya dari lampu penerangan jalan menerangi
daerah ini meskipun sudah malam.
Mesin
penjual minumannya mengeluarkan dua kaleng yang kubeli, dan masih terasa hangat
di tanganku, lalu aku berjalan menuju taman yang tidak jauh dari jalan raya.
Mungkin karena apartemen sebelah terlihat terang benderang, taman ini terlihat
sangat gelap.
Kegelapan
taman ini hanya diterangi oleh lampu-lampu penerangan yang cahayanya terlihat
sudah mulai pudar. Biasanya, lampu-lampu itu mengeluarkan suara. Cahaya itu
menerangi dua bangku taman yang berdampingan.
Hayama duduk
di bangku tersebut seperti hendak melihat sesuatu.
Matanya
seperti melihat sesuatu, tapi satu-satunya gedung yang terlihat jelas dari
posisinya adalah gedung Saize, jalan raya, dan jembatan layang. Kalau
dibandingkan dengan perumahan, gedung-gedung di sekitar taman ini, kesunyian
ini seperti pertanda akan adanya gempa bumi.
Karena
banyaknya gedung-gedung tinggi di sekitar sini, aku tidak merasakan adanya
angin dingin yang bertiup.
Aku
sebenarnya ingin pergi ke Saize, tapi aku melihat ada beberapa siswa sekolah
kami memarkirkan sepedanya di parkiran Saize. Juga ada beberapa sticker yang
dibagikan ke setiap siswa untuk ditempelkan ke sepeda yang biasa dipakai ke
sekolah. Penempatan sticker itu diwajibkan ditaruh di tempat yang mudah dilihat
di sepeda. Masalahnya, sticker tersebut secara jelas bertuliskan ‘milik siswa
kelas 2 SMA Sobu’.
Saat ini,
aku tidak ingin siapapun mendengar pembicaraan kami. Normalnya, jika kita menghapuskan
Saize dari opsi, maka satu-satunya tempat tersisa adalah taman di dekat Saize.
Jika kita berbicara di tempat terbuka seperti ini, kita akan langsung tahu
siapa yang datang kesini. Jika kita hendak membicarakan sesuatu yang rahasia,
tempat dimana kita bisa melihat siapa saja yang mendekat akan menjadi pilihan
yang bagus.
Ketika aku mendekati bangku taman tersebut, Hayama
menyadari kehadiranku.
Dia
menaikkan tangannya untuk memberitahu kehadirannya. Akupun melemparkan kaleng
kopi tersebut ke tangannya dan dia menangkap itu dengan mudah.
Setelah
memastikan dia menerimanya, akupun duduk di bangku satunya. Setelah membuka
penutup kaleng hangat tersebut, akupun mulai meminumnya sedikit.
Hayama juga
melakukan hal yang sama denganku.
Kemudian,
dia mulai berbicara.
“...Katamu
kau hendak membicarakan sesuatu. Apa ini soal gosip itu?”
“Ya.”
Aku
menjawabnya singkat, dia hanya tersenyum dan mengatakan “begitu ya” dengan suara
pelan.
“Gosip itu
mungkin sudah mengganggu Yui dan Yukinoshita-san. Maaf ya, nanti tolong
sampaikan maafku kepada mereka.”
“Katakan
saja sendiri...’
“Meski
ingin, tapi melakukannya secara langsung saat ini agak...Itu bisa menimbulkan
gosip yang lain lagi. Tampaknya kita tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas,
huh.”
Dari caranya
mengatakan itu, membuktikan kalau ini bukanlah pengalaman pertamanya. Ada
semacam kebenaran yang berasal dari kejadian di masa lalu.
Ini
mirip sekali dengan sikap bertahan yang Yukinoshita lakukan selama ini.
“Well, kupikir
begitu...”
Kalau aku
berada dalam posisi Hayama atau Yukinoshita, mungkin aku juga akan memilih
sikap yang sama.
Gosip ini
sebenarnya tidak perlu klarifikasi atau semacamnya, jika kau berusaha
menyangkalnya, mungkin mereka akan bilang “reaksimu itu adalah bukti kalau
gosip ini ada benarnya!”.
Kalau
begitu, cara termudah untuk meminimalisir efeknya adalah tidak melakukan apapun
hingga mereka bosan.
Meski
begitu, meski kau mendiamkannya, kau juga memikul penderitaan itu sendirian.
Entah apapun
isi gosipnya, si korban akan sangat stress jika banyak sekali orang yang
membicarakan itu di sekitarnya.
‘Diamkan
saja mereka’, itu sangat mudah sekali untuk dikatakan. Tapi, sudah kodratnya
manusia untuk melihat sendiri asal bunyi tersebut jika mendengar suara dari
tempat yang tidak diduga-duga. Di dunia ini, akan selalu ada manusia yang
membicarakan sesuatu yang tidak perlu didengar oleh orang lain.
Setahuku,
cara untuk melindungi dirimu sendiri adalah tidak berhubungan dengan orang yang
digosipkan. Meski begitu, orang yang bisa melakukan itu sangat sedikit sekali.
Apa kamu ini Budha? Serius ini, apa kamu ini Budha?!
Yukinoshita
Yukino sudah melakukan ini sejak lama sementara Yuigahama Yui terjebak dalam
komunitas sosialnya.
Akupun
mencoba meremas kaleng kopiku. Tampaknya tanganku ini terlihat sedikit memerah.
“Maaf ya.”
Sebuah kata
maaf yang tidak terduga berasal dari Hayama. Dia tidak punya alasan untuk
meminta maaf, akupun melirik ke arahnya karena penasaran.
“Aku tidak
bisa melakukan sesuatu soal itu.”
Hayama
mengatakan itu dengan senyum yang pucat. Lampu taman ini menerangi wajahnya,
memberitahu kalau alisnya telah sedikit turun seperti menunjukkan rasa
penyesalannya.
Meski
begitu, berbeda dengan ekspresinya, kaleng kopi yang ada di tangan Hayama sedikit
bergetar. Meski kadang ada angin dingin yang bertiup, aku tidak yakin kalau
angin tersebut penyebab kaleng itu bergetar.
Aku memang
setengah berharap Hayama akan mengatakan kata-kata itu. Selain itu, aku tidak
punya alasan untuk menyalahkan Hayama.
Tapi, meski
begitu.
“Baiklah,
aku paham. Meski begitu, aku tidak bisa diam saja. Lagipula, aku sudah berjanji
untuk menyelesaikannya.”
Akupun
menoleh kepadanya untuk memberitahu itu, aku bisa melihat dirinya sedang
menatapku.
“Janji?”
“Ya...Well,
itu, erm, pekerjaanku di klub.”
Kata-kata
tersebut keluar begitu saja dari mulutku dan akupun memalingkan wajahku secara
spontan.
Seperti yang
kuduga, aku tidak bisa mengatakan alasan
yang sebenarnya. Aku tidak bisa memberitahu orang lain apa yang kurasakan
sementara aku sendiri tidak bisa menjelaskan itu ke diriku sendiri.
Oleh karena
itu, aku mengatakan kata-kata yang biasa keluar dari mulutku. Frase klise yang
sama.
Karena itu,
Hayama terlihat sedang mendesah dan menaruh kaleng kopinya di bangku.
“...Jadi
sekali lagi, kau berbicara denganku karena kau sedang mengerjakan pekerjaanmu,
huh?”
Responnya
sangat dingin, dan entah mengapa, aku merasakan rasa kecewa datang darinya. Aku
tidak tahu ekspresi Hayama seperti apa, tapi yang terlihat jelas adalah dia
sedang mengepalkan tangannya.
“Kau tidak
berubah sedikitpun.”
Kata-kata
yang dia ucapkan mencapai telingaku.
Suara-suara
dedaunan yang jatuh seperti suara monster yang tidak terlihat sedang
mengawasiku, memberiku rasa yang tidak nyaman.
Karena itu,
aku menjawabnya dengan tajam pula.
“Kan sudah kukatakan sebelumnya, ini
hanya pekerjaanku di klub. Pekerjaan klub relawan.”
“...Begitu
ya.”
Responnya
terkesan spontan, atau mungkin hanya aku saja yang berpikir kalau jawabannya
tadi sangat dingin.
Aku ingat
kalau aku memang pernah mengobrol dengannya dengan situasi seperti ini. Kalau
tidak salah ketika mendekati Natal.
[note: Percakapan Hayama dan Hachiman setelah Hayama
menolak Isshiki di Disney Land.]
Tapi, angin
waktu itu jauh lebih dingin, dan langitnya jauh lebih gelap dari sekarang.
Lalu
terdengar suara batuk dari Hayama.
“Kabur dari
masalahnya, huh?...Tapi manusia tidak bisa selamanya melarikan diri.”
Suara yang
terdengar di telingaku ini sangat tipis dan pelan. Suara itu seperti tidak
memiliki energi ataupun intonasi. Tanpa sadar, tanganku yang mengepal tiba-tiba
merasa lebih tenang.
Meski
begitu, suara Hayama masih terus menggema di taman ini.
Aku tidak bisa menjawabnya dan dia tidak
melanjutkannya lagi. Suasana taman ini menjadi sunyi lagi.
Apa maksud Hayama tadi, dan siapa yang dia
bicarakan?
Yang bisa
kulakukan adalah menanyakan maksudnya, kepada siapa kata-katanya ditujukan itu,
tapi aku tidak bisa mengatakan itu.
Tapi aku
harus meminta kejelasannya, atau aku tidak akan pernah punya kesempatan itu!
Akupun
membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanyalah napas yang
kering.
“Apa urusan
kita sudah selesai?”
Suara Hayama
mencapai telingaku, akupun menoleh ke arahnya.
“Ah...belum,
oleh karena itu, kau harusnya berpikir tentang apa yang harus kau lakukan untuk
mengatasi gosip itu.”
Entah
mengapa, aku bisa mengatakan kata-kata itu sedikit demi sedikit. Setelah
mendengarkanku, dia menganggukkan kepalanya dan memotong kata-kataku
selanjutnya dengan senyum.
“Kupikir
pekerjaanmu hari ini sudah selesai.”
Hayama
berdiri, seperti memberitahu kalau percakapan ini telah selesai. Wajahnya yang
sedari tadi menunduk dan bersembunyi dibalik bayangan cahaya lampu, terlihat
sedih.
“...Aku akan
melakukan sesuatu soal gosip itu.”
“...Sesuatu
katamu?”
Aku hendak
menanyakannya lebih jauh soal rencananya, tapi dia memotongku sebelum aku
sempat bertanya.
“Pada
akhirnya, yang terpengaruh cuma aku saja....Oleh karena itu, kamu tidak perlu
mengkhawatirkannya.”
Nada yang
lembut, tegas, dan menenangkan.
Meski
begitu, kenapa aku masih merasakan
kebekuan di nada suaranya?
“Terima
kasih atas kopinya ya.”
Hayama
melambaikan tangannya yang memegang kaleng ketika mengatakan terima kasih.
Tampaknya itu pengganti kata-kata perpisahan darinya. Hanya itu saja, dia lalu
mulai berjalan meninggalkan bangku taman.
Dalam
kegelapan taman, dimana cahaya lampu tidak mencapai tempat tersebut.
Meski aku
tahu dia akan menuju arah keluar dari taman, tapi aku tidak tahu dia akan kemana
setelah ini.
Aku melihat
Hayama menghilang dalam kegelapan malam.
Kabur dari masalah sebenarnya...
Kepada siapa dia mengatakan kata-kata itu?
Aku tidak perlu memikirkan lama-lama kepada
siapa dia mengatakan itu.
Karena aku sendiri tahu.
Itu
ditujukan kepada diriku, dan juga dirimu.
x Volume H | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar