x x x
Aku menolehkan kepalaku ke atas, melihat langit
musim dingin yang kosong. Suara dari kereta monorel terdengar menggema di
kepalaku. Akupun mengikuti gerakan kereta tersebut dengan mataku dan mendesah;
angin secara cepat menangkap uap tersebut dan menghancurkannya seketika.
Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya adalah sulit, jadi akupun
mengembuskan napasku berulang-ulang. Sejujurnya, aku tidak harus memikirkan ini
seharian. Kupikir suatu saat hari seperti ini akan tiba. Aku paham kalau kesempatan
itu pasti akan datang. Itu tidak akan terjadi jika aku tidak menjanjikan itu
tempo hari, tapi karena janji telah dibuat, maka peluang itu terjadi.
Masalahnya sekarang adalah kata-kata apa yang harus kukatakan. Aku hanya punya
sedikit pengalaman dalam hal berkomunikasi, dan momen semacam ini adalah momen
yang sulit bagiku. Bagaimana sih cara
orang untuk mengajak orang lain keluar?
Oke, kita cukupkan soal
itu. Mari kita berpikir tentang hari ini. Kemarin, ketika aku pulang ke rumah
dari mengunjungi kuil, aku dapat SMS dari Yuigahama tentang rencana belanja
kami. Lokasi pertemuannya adalah di depan pintu masuk stasiun Chiba. Mudah
sekali untuk ditemukan. Dia bisa langsung melihatku ketika keluar dari stasiun.
Atau mungkin saja tidak. Aku seperti terus memikirkan itu, uap panas dari
desahan napasku langsung menghilang begitu saja di langit sore. Dan akhirnya
aku melihat Yuigahama keluar dari pintu stasiun Chiba. Dia melihatku sambil
melambai-lambaikan tangannya.
“Yahallo!”
“Hei.”
“Maaf
telat,” Yuigahama mengatakan itu dan berlari kecil ke arahku. Sepatunya
menimbulkan suara langkah disertai mantel beigenya yang berkibar-kibar. Dia
memakai dress selutut dengan tampilan semacam rok dibaliknya.
“Jadi kita
akan kemana?”
“Kusarankan
kita lihat-lihat dulu sekitar dan memilih sesuatu.” Yuigahama menunjuk ke arah
kompleks perbelanjaan di dekat stasiun dan mulai berjalan.
“Oke,
kuserahkan kepadamu.”
Aku tidak
tahu apapun tentang memilih hadiah untuk gadis; aku lebih suka menyerahkan itu
ke orang lain yang lebih ahli soal ini. Seperti kata orang...Serahkan memasak
mochi kepada chef mochi, seekor ular akan selalu mengikuti cara hidup ular,
menurut kepada caesar...Tunggu, yang terakhir itu tidak cocok. Ngomong-ngomong,
kupercayakan ini kepada selera Yuigahama. Jadi kuputuskan untuk mengikutinya.
Chiba adalah
surga bagi penggemar belanja. Jaringan perbelanjaan PARCO bahkan menyasar pasar anak muda. Menjadikan tempat
yang tepat bagi anak muda yang trendi. Terlebih lagi, banyak sekali siswa SMA
yang terbagi menjadi beberapa grup tergantung dari toko mana yang mereka sukai.
Mereka bahkan bisa berdebat tentang toko-toko tersebut. Tolong jangan! Mari kita semua menjadi teman! Kita semua adalah warga
Chiba! Kecuali daerah Tsudanuma, itu sudah masuk Narashino.
“Oh lihat,
C-ONE! Ayo kita mulai dari sana, oke?”
Yuigahama
mengusulkan itu. Ah, C-ONE, aku tahu itu. Itu lokasi dimana ada restoran ramen
Ichiran. Mereka menyediakan tirai terpisah jika duduk di depan, yang membuatmu
berkonsentrasi dengan makananmu ketika memakannya. Aku menggunakan fasilitas
itu setiap ada kesempatan. Kalau memisahkan pelanggan membuat mereka bisa
menikmati makanannya, maka memisahkan manusia harusnya membuat mereka bisa
menikmati hidup mereka. Aku sangat ingin mematenkannya!
C dalam
C-ONE mungkin kepanjangan dari Chiba. Atau bisa juga pahlawan lokal Chiba,
Captain C. Tolong jangan menganggap itu Chibatman, berhati-hatilah.
Kami lalu
masuk ke dalam. Tempat tersebut memiliki banyak sekali toko dengan papan nama
menggunakan dekorasi tahun baru. Formasi toko-toko tersebut berjejer lurus
hingga ujung, jadi yang terlihat di depanku seperti deretan toko yang tanpa
ujung. Tempat ini terlihat lebih ramai dari biasanya, mungkin karena adanya
Sale Natal. Juga lebih berisik dari biasanya: para gadis berbelanja, para
karyawan toko memberitahu sesuatu, membantu memilihkan baju dan mendiskusikan
tren yang terkini. Aku sendiri, sebagai seorang pria, tidak bisa masuk kesana,
jadi aku berdiri saja dengan jarak tiga langkah seperti seekor ikan baru keluar
dari air.
“Hikki,
lihat, ini cantik sekali!”
“Tidak
buruk,” akupun setuju. “Pilih saja sesukamu, aku tidak peduli,” itulah yang ada
di pikiranku.
“Kau bisa
memakai ini ketika musim semi juga...” Yuigahama mengambil satu buah baju, menaruhnya
lagi dan mengambil yang lain, seperti kebingungan. Ini bukan urusanku,
tentunya, tapi kami kesini mencari hadiah untuk Yukinoshita, bukan wisata
belanja, benar tidak? Yuigahama sedang membalik-balikkan badannya di depan kaca
sambil menempelkan baju-baju tersebut.
Aku sangat
malu, karena aku seorang pria, jadi aku melihatnya saja dari kejauhan. Yep,
Yuigahama memang seorang gadis dalam hal ini. Kalau masalah ini, dia berlawanan
dengan Yukinoshita. Aku ingat, dulu dia dan Komachi membeli hadiah untuk
Yuigahama. Aku sangat terkejut dengan bagaimana berbedanya dirinya dibandingkan
para siswi kebanyakan. Meski, kalau dipikir-pikir, aku sendiri tidak berbeda.
Tapi membandingkan diriku dan Yukinoshita sangatlah tidak sopan. Dia masih
berusaha untuk memilih hadiah bagi Yuigahama. Apa dia tidak suka membelikan
sesuatu untuk orang lain? Sifat yang serius dan konyol dalam
berbelanja...memang sifat dari Yukinoshita. Pertanyaannya disini, apa yang
harus kubelikan untuknya?
“Aku akan
lihat-lihat ke sana sebentar,” akupun mengatakan itu ke Yuigahama dan pergi
melihat sekitarku.
Mungkin aku
bisa memikirkan sesuatu ketika melihat-lihat barang disini. Sebuah hadiah untuk
Yukinoshita...apakah itu? Bagi Yukinoshita-san kami yang Clumsy, atau Clumsynoshita jika disingkat...Arg, mengapa dirimu sangat rumit, Clumsynon yang
kami kasihi. Selain hobinya, dia sangat suka hal yang praktis dan
pragmatis. Jadi buku dan sejenis itu adalah tidak: dia akan lebih nyaman
memilihnya sendiri. Dia juga tinggal sendirian, jadi peralatan memasak juga
bukanlah ide yang baik.
Jadi aku
harus memilih apa?...Aku lalu masuk ke toko yang menjual suvenir Disney Land.
Pan-san...Dia tahu itu lebih baik daripada aku, jadi ‘tidak’. Selanjutnya
adalah toko aksesoris binatang peliharaan. Kucing...Dia tidak punya, dengan
suatu alasan atau hal yang lain. Mungkin apartemennya punya aturan “tidak boleh
memelihara binatang”. Foto album tentang kucing juga ‘tidak’: Dia mungkin punya
banyak sekali benda itu. Apa mungkin sesuatu yang lain dari toko aksesoris?
Hmm, hmm. Setelah berkeliling toko itu, akupun kembali ke posisi asalku.
Yuigahama masih berdiri disana dengan beberapa pakaian di tangannya dan menoleh
kesana-kemari, mencari sesuatu.
“Ah, Hikki!
Jangan menghilang dariku tanpa mengatakan satupun kata!” dia memberikan tanda
kepadaku untuk mendekatinya dengan tatapan yang serius.
“Sebenarnya
aku sudah bilang tadi. Lagipula, aku merasa tidak nyaman di toko seperti ini.”
“Kenapa
begitu?” Yuigahama menanyakan itu dengan penuh tanda tanya.
“Well...Tahulah,
agak memalukan bagiku.”
“Kenapa
memalukan?”
Apaan sih dengan mengapa dan kenapa, seperti
lagunya Black Bisquit? Aku tidak tahu. Aku juga tidak bisa menjelaskannya.
Well, mungkin dia akan paham nantinya jika sampai di level emotiona...
“Coba pikir
sendiri...Kalau ada dua orang melakukan kegiatan bersama-sama...”
“Memangnya
ada apa dengan...” dan Yuigahama menghentikan kata-katanya. Dia kemudian
memiringkan kepalanya, pipinya terlihat memerah.
“Entah
mengapa aku tampaknya mulai paham.”
“Sudah
kubilang kan.”
Bagus sekali nona Gahama. Skillmu dalam
mengenali emosi memang sangat bagus. Kau bahkan paham dari kata-kataku yang
kurang jelas. Masalahnya, karena dia sekarang paham, kita ini sungguh memalukan
berada di tempat ini bersama-sama.
“Kurasa kita
harusnya mengajak Komachi-chan” dia menggumamkan itu.
“Itu lebih
sulit dari yang kau bayangkan.”
Dia akan
melakukan triknya yang biasa dan meninggalkan kita di tengah-tengah kegiatan
belanja. Seperti sebuah petunjuk yang datang tiba-tiba kepadaku. Itulah yang
terjadi ketika kami berbelanja bersama Yukinoshita. Ngomong-ngomong,
kesimpulannya adalah dia tidak bisa diandalkan dalam situasi seperti ini.
“Yeah, dia
sedang bersiap-siap dengan ujiannya.” kata Yuigahama.
Tidak, bukan
itu, itulah mengapa aku mengatakan “Lebih sulit dari yang kau bayangkan”. Tapi
Yuigahama menaikkan wajahnya, mengepakan tangannya dan seperti hendak
mengatakan sesuatu.
“Aku akan
lakukan yang terbaik!”
“Melakukan
yang terbaik untuk apa?” tanyaku, tapi Yuigahama tidak mempedulikannya dan
mengangguk ke dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, dia tampaknya sudah
memutuskan sesuatu, mengumpulkan baju-baju yang dia pegang dan menatapku dengan
tanda tanya.
“Kupikir...Hikki, bisakah kau bantu?”
“Jangan
mengharapkan diriku akan berguna.”
“Yeah...Tunggu apa maksudmu kau tidak berguna? Kau harusnya berguna!”
“Akan
kuusahakan,” kataku dan Yuigahama menuju cermin besar yang berada di toko; aku
lalu mengikutinya.
“Aku sempat
berpikir kalau sweater atau cardigan bisa dipakai bersamaan dengan blus, jadi
kau bisa memakainya ke sekolah,” Yuigahama mengatakan itu sambil menaruh
mantelnya dan melepas baju rajutan yang dia pakai. Ini harusnya adegan yang
tidak boleh kulihat, jadi akupun membalikkan badanku. Ngomong-ngomong, ada
kamar pas untuk yang dia lakukan ini. Atau
kau pikir asal masih memakai baju kau rasa cukup untuk melepas bajumu?
Mungkin normal untukmu, tapi tidak untukku. Jadi
hentikan itu. Meski toko ini diiringi oleh musik latar, aku masih bisa
mendengar suara baju-baju yang dipakainya beserta suara napas dari Yuigahama.
“Ini...Bagaimana?” Yuigahama memanggilku dan akupun membalikkan badanku.
Dia memakai sebuah cardigan yang terlihat hangat.
“Entahlah.
Kelihatannya oke.”
Tidak bagus
dan tidak jelek, tapi tentunya terlihat bagus untukmu. Masalahnya adalah, itu
harusnya menjadi hadiah untuk Yukinoshita. Itu akan terlalu lebar baginya...di beberapa tempat. Tapi aku tidak akan mau
mengatakan dimana ‘tempatnya’.
“Apa kau sudah mempertimbangkan
ukuran Yukinoshita?”
Hal
terpenting dari memilih baju adalah ukuran, apakah pas dengan badan atau
sejenisnya. Itulah yang pernah kudengar dari Komachi. Ngomong-ngomong, baju
yang kupakai hari ini sudah lulus uji klinis oleh Komachi. Apapun yang kupilih,
Komachi menolaknya dan mengatakan “aku akan pilihkan untukmu!”. Seperti main
Osugi. Atau Piko?
“Ukuran?”
Yuigahama mencurigaiku dan dia menekan-nekan perutnya dengan jarinya.
“Mungkin ini
terlalu besar...” dia mengatakan itu dengan putus asa. Dia lalu memindahkan
tangannya dari perut ke lengannya, lalu ke wajahnya dengan ekspresi putus asa. Tidak, jangan khawatir, kau tidak sebesar
itu? Well, tidak bisa dikatakan kecil sih, tapi tidak juga besar!
“Kurasa kau tidak
apa-apa.” Akupun mengatakan itu meskipun aku tahu kalau ini tidak akan cukup
untuk mengembalikan suasana hatinya. Yuigahama melihatku dengan curiga. Aagh,
sialan! Memangnya apa yang harus kulakukan dalam momen seperti ini?!
“Kupikir itu
cocok denganmu, jadi kurasa tidak masalah,” aku akhirnya mengatakan itu.
“Hehe,
terima kasih,” Yuigahama mengatakan itu dan mulai melepas cardigannya. Adegan
ganti baju ini terlalu memalukan untuk dilihat, jadi aku membalikkan badanku.
Lalu aku teringat sesuatu.
“Tapi
Yukinoshita itu mengikuti aturan sekolah soal seragam, jadi dia tidak akan
memakai itu ke sekolah,” kataku.
Meskipun
hanya sekedar formalitas, aturan tetaplah aturan. Tentunya ada aturan tentang
seragam sekolah, termasuk sweater, cardigans, dan lainnya. Kebanyakan siswa
tidak mempedulikan itu, tapi ada beberapa, termasuk Yukinoshita, yang
mengikutinya dengan persis.
“Yeah. Kalau
begitu...” Dia lalu melipat cardigan itu dan menuju ke bagian sarung tangan dan
benda-benda kecil lainnya.
“Manisnya!
Akan sangat manis kalau bisa bermain dengan benda-benda ini,” Yuigahama
mengatakan itu dan mengambil sarung tangan motif kucing dan anjing tersebut.
Satunya berbentuk cakar kucing, sedang yang anjing agak berbeda. Sarung tangan
itu menggambarkan wajah anjing dimana bagian kaki belakang dan telinga anjing
itu tempat dimana jempol dan jari-jarinya masuk. Yuigahama mengambil itu dan
menaruhnya di tangannya.
“Sepertinya
agak sulit untuk memegang apapun dengan ini.”
“Ya
begitulah kalau pakai sarung tangan yang seperti itu.”
Yuigahama
menggumamkan kesetujuannya, melihat-lihat tempat lain, lalu tiba-tiba dia
melihat ke arahku.
“Terima ini!
Woof!” dia mengatakan itu, tiba-tiba sarung tangan anjing tersebut menggigit
tanganku.
“Ha-hanya
becanda,” dia menambahkan itu untuk memperbaiki situasinya, pipinya terlihat
memerah. Kalau tahu bakal malu, ya jangan
lakukan itu. Akupun melepaskan tanganku darinya dan mulai mengipas-ngipasi
wajahku. Ruangan ini ternyata terlalu panas.
“Siapa
peduli soal itu, dia bisa memakai itu di apartemennya.”
“Mungkin,”
Yuigahama mengangguk.
Yukinoshita
biasanya tidak memakai sesuatu yang terlihat manis, setidaknya di tempat umum.
Meskipun itu adalah hasil pemberian orang lain, dia mungkin tidak akan
memakainya. Meski itu adalah hadiah dari Yuigahama, dia akan menerimanya dengan
ekspresi wajah yang dipenuhi kematian sedangkan dalam dirinya seperti melompat
kegirangan.
“Kalau
begitu, kita coba yang lainnya...”
Yuigahama
mengembalikan sarung tangan itu ke tempatnya.
“Hmm,
bagaimana kalau yang ini?” Dia menunjukkan kaos kaki bermotif kucing dari rak
terdekat.
“Kalau yang
itu mungkin tidak akan dipakainya.”
“Ya dipakai
di apartemennya! Tentu saja kau tidak akan memakai kaos kaki semacam itu
keluar,” kata Yuigahama.
Well, kalau
mengikuti logikamu, berarti sarung tangan yang tadi juga harusnya tidak dipakai
di luar ruangan juga. Akupun melihat kaos kaki itu memiliki karet berwarna pink
dengan motif kaki kucing di dasarnya.
“Dia kan bisa memakai ini di dalam
apartemennya, dan tidak terganggu dengan opini orang luar, benar tidak?
Bagaimana menurutmu?”
“Kupikir dia
akan senang.”
Kurasa
Yukinoshita akan senang dengan apapun pemberian Yuigahama. Ini bukan masalah
hadiahnya apa, tapi siapa yang memberikannya. Kadang, orang yang mengatakan
kata-kata itu jauh lebih penting daripada isi dari kata-katanya.
“Kalau
begitu yang ini saja,” kata Yuigahama. Dia lalu mengumpulkan beberapa barang
dan membawanya ke kasir. Apaan, dia beli
sarung tangan kucing itu juga?...Hmm, kaki kucing, tangan kucing...Apa mereka
juga jual ekor kucing disini ya?
x x x
Baiklah,
sekarang aku juga harus membeli hadiah untuknya juga. Lagipula, ternyata toko
tadi tidak menjual ekor kucing. Jadi kita pindah ke Sogo Chiba Sencity. Seperti
yang kau baca dari namanya, pertokoan ini memang dikenal karena barang-barang yang
sedang trend. Tidak, kalau dipikir-pikir, aku harusnya tidak terlalu sensitif
seperti itu. Biasanya aku pergi ke toko pakaian pria, tapi hari ini aku harus
membeli hadiah untuk Yukinoshita dan mengikuti kemana Yuigahama, si wanita,
pergi. Karena aku tidak tahu sedikitpun soal aksesoris wanita, jadi kuserahkan
itu ke Yuigahama. Dia lalu memilih sebuah toko yang menjual pakaian wanita dan
beberapa aksesoris.
“Mau
memeriksa semuanya? Sarung tangan, aksesoris, syal, dan yang lain?” Yuigahama
menawarkan itu. Akupun masuk ke toko tersebut dan mulai melihat-lihat rak
barang yang dijual. Yuigahama menawarkan apapun yang dia lihat kepadaku. Akupun
berusaha tidak jauh darinya, jadi karyawan toko tidak akan menelpon polisi
karena aku terlihat terlalu mencurigakan. Dulu aku pernah masuk ke toko
sendirian dan karyawannya terus menanyaiku “Sedang mencari sesuatu?”, dan aku
merasakan seseorang seperti sedang mengawasiku dari kasir sepanjang waktu. Begitulah
yang terjadi denganku ketika terakhir kalinya aku masuk ke toko seperti ini.
Aku tahu, pria yang datang sendirian adalah pelanggan yang langka, meski
begitu, aku ingin para staff di toko ini tidak mengawasiku terus-terusan
seperti itu.
Sambil
mengkhawatirkan bagaimana para karyawan toko akan bereaksi kepadaku, aku
mengikuti Yuigahama dari tempat ini ke tempat itu. Dia lalu berhenti di suatu
toko bernama “OPTICS”. Tempat apa ini? Kenapa mereka tidak tulis saja “KACAMATA”
daripada menulis seperti itu? Lagipula yang kau jual cuma itu saja. Lalu
mengapa mereka menulisnya seperti itu, agar terlihat pintar? Kenapa meminjam
kata-kata asing? Ini seperti beberapa orang menyebut saus daging BOLOGNESE,
atau memanggil spaghetti PASTA. Tunggu, kata-kata tadi juga kata-kata yang
meminjam kata asing...Apa mereka tidak punya nama Jepang untuk itu? Sambil
memikirkan itu, Yuigahama menepuk pundakku. Akupun melihatnya sedang memakai
kacamata, ekspresinya terlihat bangga dan puas.
“Hehe. Jadi,
apa aku terlihat pintar?”
“Kalau kau
pikir kacamata bisa membuatmu bertambah pintar, maka ada sesuatu yang salah di
kepalamu.”
“Kamu
ini...Dasar tolol!” Yuigahama mengatakan itu dengan kesal dan berbalik
memeriksa kacamata yang lain. Akupun mengambil satu kacamata yang terpajang
disana. Banyak sekali kacamata disini. Mereka tidak hanya berbeda di desainnya,
tapi fungsinya berbeda-beda juga. Ada tulisan di depan kacamata tersebut yang
menjelaskannya, misalnya “anti-gores”, “blue-light cut”, dan lain-lain.
Tampaknya kacamata di jaman sekarang tidak hanya untuk membantu penglihatan
saja, dan harganya tidak murah.
Yuigahama
lalu menawariku kacamata.
“Kamu coba
pakai ini.”
“Eh?”
Dia
jelas-jelas ingin mengisengiku.
Akupun ragu, tapi Yuigahama memaksaku untuk memegang kacamata itu.
“Sudah pakai
saja.”
Akupun
memberanikan diriku untuk memakainya. Per...sona! Ngomong-ngomong, aku suka
yang persona 3 daripada persona 4, jadi aku lebih suka yang memakai senjata.
“Oke, sudah,”
kataku sambil membetulkan posisi kacamata tersebut dengan jariku. Yuigahama-pun
tertawa.
“Jelas-jelas
tidak cocok!”
“Sial,”
jawabku. Itulah mengapa aku tidak mau memakainya. Yuigahama malah memaksaku
untuk memakai kacamata yang lain, dengan desain yang berbeda.
“Coba pakai
yang ini.”
“Ogah.”
“Kenapa
tidak? Ayolah!” Yuigahama memaksaku lagi. Sungguh
mengganggu. Akupun memakai kacamata itu dan menunjukkan itu kepadanya
sambil bersiap mendengarkan ejekannya. Yang terjadi, dia malah menatapku dengan
mulut terbuka dan tidak mengatakan apapun.
“Kenapa
tiba-tiba diam?”
Kau menyuruhku memakai ini dan sekarang kamu
mendiamkanku? Akupun melihat ke arahnya dengan penuh tanda tanya,
menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Akupun melambai-lambaikan tanganku di
depan wajahnya.
“Enggak,
enggak, enggak ada apa-apa. Aku hanya terkejut karena itu cocok denganmu.”
“Oh, terima
kasih,” aku sendiri tidak tahu bagaimana merespon pujian. Jadi dia terkejut,
huh. Ada beberapa hal juga yang tidak kuduga. Misalnya, Yuigahama yang biasanya
tidak memakai kacamata, ternyata terlihat bagus dengan itu. Aku ingat kata-kata
Yukinoshita kalau dia tidak tahu sedikitpun soal Yuigahama. Sama juga denganku.
Bahkan, aku
tidak sedikitpun mencoba untuk mengenal gadis-gadis tersebut lebih jauh. Sangat
jauh dari kata memahami mereka, tapi kami menghabiskan banyak waktu untuk
bersama. Meskipun kurang lebih setengah tahun bisa dikatakan tidak begitu
banyak, setidaknya aku tahu lebih baik daripada waktu pertamakali masuk ke
klub.
Apa yang aku
tahu tentang Yukinoshita? Dia biasanya lemah terhadap Yuigahama, dia menyukai
kucing, dia menghabiskan akhir pekannya dengan menonton video-video kucing
sambil memeluk boneka Pan-san. Kurasa itu cukup dasar. Jika Yuigahama ingin
memberikannya kaos kaki kucing, kurasa aku akan memberikannya sesuatu yang bisa
melengkapi itu. Hanya agar dirinya merasa hangat dan nyaman ketika menghabiskan
akhir pekannya sendirian.
x x x
Setelah menyelesaikan kegiatan belanja kami,
kami mencari tempat untuk makan. Kami bisa saja ke Starbucks, tapi tampaknya
terlalu dingin untuk itu. Lagipula, aku sendiri tidak tahu caranya memesan
disana. Kami akhirnya memutuskan untuk mampir di kafe yang pernah kami singgahi
beberapa kali.
“Bagaimana
kalau disini?” tanya Yuigahama.
“Ya sudah,”
jawabku dan kami lalu masuk ke dalam.
Suasana di
dalam kafe ini tidak terpengaruh oleh suasana ramai di luar kafe, jadi terasa
damai dan sunyi.
“Untuk dua
orang,” kataku ke pelayan, dan kami diantar ke meja yang berada di dekat
jendela. Aku bisa melihat seluruh stasiun Chiba dari sana. Setelah membiarkan
Yuigahama duduk terlebih dahulu, akupun duduk dan melihat pemandangan yang
berada di belakangnya. Aku bisa melihat kereta monorel dan berpikir kalau Chiba
memang kota masa depan yang canggih. Ketika mataku berusaha mengikuti gerakan
kereta tersebut, aku melihat seseorang duduk di sofa yang berseberangan
denganku.
“Oh, itu
Hikigaya-kun!” orang yang mengatakan itu sedang bersandar ke jendela. Gadis itu
memakai T-Shirt yang bertuliskan kata-kata tertentu, pita sutra dengan dekorasi
berwarna emas di dadanya...Dekorasinya itu bersinar lebih terang daripada
matahari. Dan senyumnya yang lebih pekat dari gelapnya langit malam. Setelah
merapikan bajunya yang berwarna merah tersebut, Yukinoshita Haruno memanggilku.
Yuigahama
tiba-tiba menoleh ke asal suara itu dan menyebut namanya dengan terkejut.
“Haruno-san!
Dan...” Yuigahama melihat ke arah pria muda yang duduk di dekatnya. Dia memakai
baju hitam, atau putih...berwarna abu-abu dengan jaket hitam. Rambutnya yang
berwarna coklat gelap menggambarkan wajah yang sangat familiar, Hayama Hayato.
“Hayato-kun!”
“Hei,” dia
membalasnya dan menaikkan tangannya untuk memberi salam, arlojinya terlihat
mengkilat. Melihat mereka berdua mengingatkanku tentang pepatah “Seperti apa tahun yang akan kau habiskan
kurang lebih seperti bagaimana kau mengawali tahunmu”. Kepalaku mulai sakit
tidak karuan melihat pertanda buruk itu: tahun
ini menjanjikan masalah yang bertambah banyak dan kesengsaraan yang akan
kujalani.
x Volume O | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar