x x x
Kawasaki
Taishi. Adik dari teman sekelasku yang bernama Kawa-sesuatu, Kawasaki Saki. Dia
seumuran dengan Komachi dan ikut kelas bimbingan belajar yang sama. Menurut
hukum Layman, sepertinya seluruh siswa SMP juga ikut kelas tambahan. Kota ini
punya banyak sekali bimbingan belajar yang berkualitas. Tentunya, baik dirinya
dan Komachi ikut bimbingan belajar yang terdekat dari rumah masing-masing, ini
berarti kalau rumah keluarga Kawasaki tidak jauh dari sini juga. Kalau begitu,
lokasi bimbingan belajarnya berada diantara rumahnya dan rumahku. Ini artinya: Apapun jalan yang dipilih oleh Taishi ketika
hendak pulang ke rumah dari bimbingan belajarnya, mustahil dia beralasan mampir
kesini ‘kebetulan lewat karena memang
lewat jalur ini kalau pulang ke rumah’. Bukannya aku mau mempermasalahkan
dia yang mampir ke rumah kami ataupun jalur yang dia pilih untuk pulang.
Kawasaki
Taishi ada disini bukanlah hal yang mengejutkan: Si anak SMP berusaha agar punya alasan mampir ke rumah gadis yang dia
sukai. Sumbernya: diriku sendiri. Kalau dipikir lagi, ini memang
menyedihkan. Aku merasa ingin menghajar sampai babak belur diriku yang ada di masa
lalu itu.
Akupun
melihat ke arah Taishi. Dia membicarakan sesuatu dengan Komachi, dan Komachi
juga terlihat tidak membenci itu. Itu artinya, Komachi memang membiarkan dia
datang kesini. Akupun menunggu momen diantara percakapan mereka dan menanyakan
sesuatu.
“Jadi kalian
pulang bersama-sama?”
“Ya, kami
telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru pembimbing dan kebetulan kami pulang di waktu yang
bersamaan.”
Aku tahu
maksudnya. Jadi dia sengaja menunggu Komachi menyelesaikan tugasnya. Sekarang
sudah malam, jadi dia tampaknya menunggu sangat lama hingga Komachi selesai. Kuakui usahamu, nak. Bahkan The Amin
tidak akan mau menunggu selama itu. Atau mungkin saja mereka mau.
[https://www.youtube.com/watch?v=cG2N38Eq2IM] lagu ini. Sebenarnya, sampah-sampah jaman dulu apa yang si Hikki ini dengar sih?
Kuakui kalau aku menyukai bagaimana Taishi merencanakan penyergapan ala Yumin terhadap Komachi, tapi di sisi lain akupun
merasa sedih. Komachi lalu menarik-narik lenganku.
“Taishi
katanya ingin ngobrol denganmu.”
“Huh.”
Jadi dia
tidak kesini demi Komachi saja? Akupun melihat ke arah Taishi. Dia lalu
pura-pura terbatuk dan melihatku dengan sangat serius.
“Onii-san,
bolehkah aku mengobrol denganmu sebentar?”
“Ogah. Jangan panggil aku kakakmu. Lagian, siapa sih kamu?”
“Aku tidak
akan menyerah! Namaku Kawasaki Taishi.”
Diapun
membalasku sambil berjalan ke arahku. Ya
ampun, dia sangat serius, bagaimana aku bisa menolakmu? Tidak, tidak ada
waktu untuk memikirkan adegan dalam manga Shoujo. Dia sangat serius hingga
membuatku memalingkan pandanganku. Aku pasti akan kalah jika kita berada di
dunia hewan.
“Jadi, apa
maumu?” kuputuskan untuk mendengarkannya.
“Membicarakan soal ujian masuk SMA Sobu. Katanya akan ada sesi
wawancara.”
“Ah. Yeah,
setahuku memang akan ada sesi wawancara dalam ujiannya.”
Akupun agak lupa-lupa ingat tentang wawancara itu.
Ya, hari pertama ujian masuk akan berisi ujian tulis. Dan hari kedua ujian
berisi ujian wawancara. Karena aku mengingat soal itu, akupun teringat tentang
suatu hal.
“Komachi,
kau sudah siap dengan ujian wawancaranya?”
“Yep. Dulu
aku pernah mencoba masuk SMA Sobu lewat jalur rekomendasi sekolah, jadi aku
ikut program latihan wawancara di bimbingan belajar.”
“Hmm,
latihan wawancara...”
Di bimbingan
belajar, memang ada program untuk membantu siswa dalam sesi wawancara sekolah.
Mereka bahkan punya program kerjasama dengan beberapa SMA lewat program
rekomendasi. Meski, Komachi akhirnya gagal dalam ujian rekomendasi itu, dengan
nilai yang cukup tipis. Lagipula, mustahil orang paling komunikatif di keluarga
Hikigaya bisa gagal di sesi wawancara. Cukup fokus di ujian tulisnya, maka
semuanya akan berjalan dengan lancar. Kakakmu ini percaya denganmu!
Ngomong-ngomong, dulu ketika aku ikut ujian masuk SMA Sobu, aku tidak
menganggap serius ujian wawancara dan fokus ke ujian tulisnya saja. Di hari
kedua, sesi wawancara, kalau tidak salah aku hanya duduk dan tidak melakukan
apapun. Mungkin karena aku pikir jika ujian tulis lancar, harusnya aku akan
baik-baik saja, jadi aku menanggapi sesi wawancara dengan tenang. Sayangnya,
aku lupa apa saja yang ditanyakan waktu sesi wawancara. Tapi aku hanya bisa
mengingat kalau wawancaranya berlangsung hangat dan akrab, sehingga itu bukan
masalah serius. Tapi bagi mereka yang belum pernah ikut ujian, pasti akan
mengkhawatirkan hal tersebut.
“Aku belum
pernah ikut ujian dengan wawancara, jadi aku khawatir.”
Taishi
mengatakan itu dengan nada yang terdengar depresi. Kupikir dia tidak perlu
khawatir. Entah itu tes rekomendasi ataupun ujian-ujian lainnya, asal kamu
yakin dengan jawabanmu, maka kau bisa lulus wawancaranya. Tes tulis adalah yang
terpenting. Tapi, itu hanya pendapatku saja. Meski kau terlihat bagus di
wawancara tapi nilai ujian tulismu rendah, kau bisa mengucapkan selamat tinggal
ke SMA Sobu dan ujian masuk SMA lainnya.
Oleh karena
itu, aku ingin menjelaskan itu kepadanya.
“Wawancaranya gampang sekali. Kau bisa tanya itu ke kakakmu.”
“Mustahil!
Dia terlihat tidak tahu apapun soal wawancara!”
Dia baru
saja menjelekkan kakaknya dan menertawakan itu. Kau bisa dipukul olehnya nanti, tahu tidak! Meski aku tidak bisa
mengatakan kalau yang barusan dia ucapkan adalah salah. Lihat saja sekilas
kakak perempuannya itu, maka kau akan langsung tahu kalau wawancara merupakan
hal buruk baginya. Dia mungkin terlihat seperti anak muda yang tidak peduli
dengan kehidupan sosial, tapi faktanya, dia adalah gadis yang normal.
Siapa sih yang menciptakan tentang “siapa yang
keren” dan “siapa yang benar” ketika melabeli para anak muda ini? Hal-hal
tersebut hanya dipakai untuk memperkuat status sosial dalam komunitas. Jadi
orang-orang yang dianggap kelas bawah akan mengibas-ngibaskan ekornya dan
merasa bahagia setiap ada orang dengan status sosial di atasnya mengatakan
“ini, ini, manis” lalu melempar makanan ke mereka. Aku ini orang yang serius,
dan aku hidup dalam dunia yang serius. Meski, hanya kriminal rendahan saja yang
mengatakan hal itu. Mereka bukanlah tandingan para preman di Chiba. Mereka
pernah memerasku 500Yen sewaktu SMP dulu. Sampai sekarang akupun masih emosi
dengan hal itu.
“Kakakku itu
ya seperti itu. Hanya kepadamu saja aku bisa menanyakan itu, Onii-san.”
“Hmm.”
Aku masih
berpikir kalau Taishi menjelek-jelekkan kakaknya. Tapi dia masih sayang
kepadanya, sampai sejauh itu meminta bantuan Klub Relawan tempo hari. Itu
artinya dia tidak ingin melihat kakaknya sedih, oleh karena itu dia bertanya ke
orang lain. Ini artinya aku harus menanggapi pertanyaannya dengan serius.
Taishi lalu pura-pura terbatuk lagi.
“Ini mungkin
akan memakan waktu, jadi bisakah kita membicarakan ini di tempat lain?”
Dia mengatakan
itu sambil menatap ke arah pintu rumah kami. Jadi dia memberiku kode agar mengajaknya masuk ke dalam? Setidaknya, aku tidak akan membiarkan orang
yang tidak dikenal masuk ke kamar Komachi.
“Baiklah.”
Akupun
menjawabnya sambil membuka pagar rumahku. Tapi dia masih terlihat menatap ke
arah pintu rumahku dan terdiam. Komachi lalu melihat kami berdua dan dia
memasang senyum yang licik.
“Well,
rumahku masih berantakan saat ini. Bagaimana kalau kita pergi ke McDonalds
dekat stasiun? Tapi aku tidak bisa ikut, aku merasa sangat kedinginan saat
ini.”
Wajah Taishi
terlihat kecewa.
“Benar juga,
memang dingin.”
Dia
mengatakan itu sambil tersenyum. Yep, licik sekali. Komachi, aku sekarang
benar-benar takut denganmu. Kasihan
sekali dirimu, nak Taishi. Tapi, sebagai kakak, aku harusnya menendang jauh
musuh-musuh yang ada selagi ada kesempatan.
“Well,
karena memang sangat dingin, kita bisa bertemu lagi di lain waktu.”
“Ti-tidak,
kalau kupikir-pikir, ini tidak begitu dingin. Ayo kita lakukan disini saja,
Onii-san!”
Taishi
menggaruk-garuk hidungnya dan tersenyum. Huh,
serangga kecil ini ternyata tidak buruk juga. Jika dia setuju kalau ini
cukup dingin, maka artinya dia harus pergi. Hati dari seorang pria harusnya
memang sekuat baja, tidak begitu saja pulang ke rumah hanya karena dingin.
Kurasa aku harus menaruh hormat atas keberanianmu itu dan tidak akan berperan
sebagai ‘kakak Komachi’ untuk hari ini. Ya sudahlah, ayo kita bicara.
“Kalau cuma
sebentar, kurasa aku bisa mengujimu dan memberikan beberapa saran untuk
wawancara.”
“Ya, terima
kasih.”
Taishi
terlihat senang ketika menjawabnya. Kurasa keceriaannya barusan sudah
memberinya cukup poin untuk lulus tes wawancara. Ngomong-ngomong, kalau dia
memang mencari jawaban, maka aku akan memberikannya yang banyak. Akupun
membetulkan kerahku dan memasang ekspresi wajah yang serius.
“Kenapa kau
memilih sekolah kami ini?”
Akupun
menanyakan itu sambil menatap Taishi dengan serius. Dia tampak ketakutan dengan
tatapanku dan berkali-kali terlihat gugup.
“Well...Kakak perempuan saya adalah siswa sekolah anda, dan menurutnya,
sekolah ini punya sejarah akademis yang bagus dalam IPA maupun IPS. Juga,
lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Oleh karena itu, saya memilih sekolah
anda sebagai tujuan saya.”
Taishi
mengatakan itu dengan sopan dan hati-hati tanpa kehilangan tempo. Akupun
mengangguk kepadanya, tersenyum dan mengatakan apa yang harusnya dikatakan
pewawancara.
“Bagus dan
cukup jelas. Apa yang kau katakan tadi adalah jawaban yang kau hapalkan selama
ini?” jawabku. Setelahnya, aku merasakan angin yang dingin menembus pakaianku.
Taishi hanya berdiri saja dengan mulut yang terbuka. Komachi yang berada di
sebelahnya, hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Aww...Onii-san, barusan tadi sangat menakutkan.”
“Hei, bukan
aku yang terlihat buruk disini. Aku hanya menirukan kata-kata orang yang biasa
mewawancaraiku.”
Jujur saja,
itu memang kata-kata yang sering diucapkan pewawancara kepadaku. Aku pernah
mengalami wawancara kerja yang membuatku sangat stress dan membuatku patah hati
sehingga aku tidak bekerja dengan maksimal. Tapi, Taishi tidak menyerah.
“Bi-bisakah
kau ulang lagi wawancaranya?” dia mengatakan itu sambil menggumamkan
“tolong...”. Oh hentikan itu, kau tidak perlu menganggap itu dengan serius. Aku
hampir saja mengagumi sikapnya itu, tapi dia tidak boleh larut dalam pujian.
Aku harus menekannya lebih jauh!
“Baiklah.
Ahem...Kenapa kau memilih sekolah kami?”
Taishi lalu
menarik napas dalam-dalam dan akupun menanyakan lagi pertanyaanku tadi.
“Ketika
memilih SMA, saya melihat bagaimana program-program SMA tersebut menyiapkan
jenjang lanjutan bagi siswanya di universitas nanti. Setelah membaca
pamflet-pamflet mengenai SMA anda, juga berkonsultasi dengan kakak saya yang
bersekolah di SMA ini, saya menyimpulkan kalau sekolah anda ini sangat cocok
dengan tempat pendidikan yang saya inginkan.”
Apaan dengan kata-kata “sekolah anda?” Apa
kamu seorang bangsawan? Kau tidak akan mengatakan “bunuh tuan itu!”, benar
tidak? Akupun menutup kedua mataku dan mendengarkan jawaban Taishi tadi.
Akhirnya aku bisa mendengarkan embusan napas yang menyatakan kalau dia telah
selesai menjawabnya. Akupun membuka kedua mataku dan menatapnya dengan curiga.
Melihat tatapanku itu, Taishi mulai gugup. Akupun memasang senyum sehingga dia
terlihat lega, menyilangkan lenganku dan mengangguk.
“Dengan
mengatakan jenjang selanjutnya, berarti kau menginginkan dirimu berkembang.
Tapi tugasmu disini nanti adalah bekerja. Tidak ada seorangpun yang akan
membantumu untuk berkembang.”
Aku
mengatakan itu dan melihat ke arah Taishi. Hanya embusan angin dingin yang
menghancurkan kesunyian ini. Tidak lama kemudian, Taishi menjawabku.
“Tapi ini
bukan wawancara untuk kerja...”
“Ini
Wawancara sekolah! Onii-chan, jangan lupa kalau ini adalah wawancara untuk
masuk ke sekolah! Sekolah itu memang bertugas untuk membantu siswa untuk
berkembang, tahu tidak!”
Komachi
melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku seperti memeriksa apakah aku
masih waras atau tidak. Akupun memikirkan kata-kataku tadi: Apa yang barusan kukatakan salah?
“Ah, yeah.
Aku terbiasa mendengarkan itu dari orang yang mewawancaraiku ketika aku melamar
kerja part time. Tampaknya, wawancara sekolah agak berbeda dengan wawancara
kerja.”
“Onii-san,
bagaimana dulu kau bisa lulus tes wawancara sekolah?”
Taishi
mengatakannya sambil mengangguk. Serius, memang benar-benar ada orang di bagian
penerimaan lamaran kerja yang mengatakan hal-hal semacam itu. Sebenarnya, aku
punya alasan bagus untuk membahas memori-memori kelam itu.
“Well...Kurasa demi kebaikanmu, kau harus selalu siap untuk kemungkinan
yang terburuk.” akupun mengatakan itu. Komachi terlihat kurang senang dengan
sikapku ini.
“Gak gak gak gak gak, itu bukan yang
terburuk, tapi pewawancaranya yang jahat sekali. Kupikir Komachi sekarang tahu
mengapa Onii-chan tidak mau bekerja. Mendengarkan hal itu memang terasa sangat
buruk sekali.”
Dia
mengatakan itu dengan nada yang menyedihkan. Hei...tega benar kamu? Kau bilang apa yang kakakmu ini alami
benar-benar buruk? Kau tidak serius
dengan itu, benar tidak? Serius? Karena takut dia tidak suka denganku,
akupun melihat ke arah Komachi. Taishi lalu mengatakan sesuatu.
“Kupikir aku
mulai kehilangan rasa percaya diriku...” bahunya terlihat turun. Dia memang
terlihat down sekali setelah latihan
wawancara ini.
“Jangan
khawatir. Wawancara sekolah biasanya ditangani orang-orang yang ramah.” kataku.
Kupikir aku sudah menakut-nakutinya dari tadi.
“Be-benarkah?” Taishi menanyakan itu seperti mencari pencerahan dariku.
Tapi aku
bukanlah orang jahat dan tidak akan menendang orang yang sudah jatuh.
Kekurangan Taishi adalah si serangga
beracun ini mulai dekat dengan Komachi, tapi selain itu dia adalah orang
yang baik. Juga, kakak perempuannya sangat menakutkan. Apakah berarti itu hal
yang bagus? Nah, adik perempuan yang manis adalah hal yang bagus, tapi tidak
dengan ini. Ngomong-ngomong, aku sebaiknya menyemangatinya. Kakak perempuannya
sangat menakutkan, jika dia tahu kalau aku menakut-nakuti adiknya, aku tidak
tahu akan ada kejadian buruk apa yang menimpaku kelak.
“Well, yeah.
Kalau si pewawancara menyebabkan stress kepada calon siswa, dewan pengawas
sekolah akan menegur dengan keras. Jadi, pewawancaranya nanti pasti akan sangat
ramah.”
“Alasan yang
ribet sekali...” Komachi menggumamkan
itu seperti komplain dengan dunia ini yang tidak terlihat sempurna. Yeah, dunia
ini memang jauh dari kata sempurna. Orang-orang yang bekerja itu tidak suka
berurusan dengan komplain.
“Ngomong-ngomong, katakan saja dengan jelas dan tegas ketika wawancara,
maka kau akan lulus.”
Taishi
terlihat lega dan melihat ke arahku seperti tidak percaya.
“Benarkah?
Hanya perlu seperti itu?”
“Yeah. Yang terpenting
adalah katakan dengan tegas dan tidak lupa siap mengambil lembur kapan saja.”
“Di sekolah
tidak ada lembur, Onii-chan!” Komachi mengingatkanku lagi dengan nada yang
kecewa.
Sialan, kebiasaanku yang berasal dari
“Warrior-Skipper” kumat lagi. Biar kujelaskan. Ketika kau bermulut besar dengan
mengatakan siap lembur kapan saja, maka kau harus belajar untuk mengingat betul
kata-katamu. Setelah kau sudah terbiasa bekerja, belajar di sana-sini dan
terlihat bisa diandalkan, mengambil lembur akan terlihat melelahkan, jadi
akhirnya kau akan bolos kerja secara diam-diam dan menjadi orang yang hanya
menunggu gaji untuk dibayarkan.
Akupun mulai
berpikir apakah aku sudah terlalu banyak bicara. Tapi tampaknya kata-kataku
tadi memberikan efek yang bagus bagi Taishi. Matanya yang sempat terlihat
seperti mata orang mati mulai bercahaya lagi.
“Yeah, aku
merasa lebih baik sekarang.”
Taishi
mengatakan itu dengan singkat, sepertinya dia jujur, dan tersenyum kecil.
Sekedar kalian tahu ya, aku sangat jarang untuk memotivasi seseorang.
“Berhentilah
khawatir akan wawancaranya. Itu bukan bertujuan untuk menjatuhkanmu, tapi ingin
mengenal dirimu lebih jauh.”
Semua
pertanyaan dan jawaban yang akan dilakukan dalam wawancara sepertinya sudah
banyak yang tahu. Kalau ditanya mengapa memilih sekolah ini, jawab saja kau
suka suasananya. Kalau ditanya kamu ini seperti apa orangnya, jawab saja kau
ingin berteman akrab dengan siapa saja dan lembut selembut mentega. Meski, akan
terkesan tidak normal jika semua calon siswa menjawab hal yang sama jika
ditanya tentang dirinya. Mereka harusnya belajar kalau yang mempekerjakan
mereka sedang mencari buruh kasar; jika mereka selembut mentega dan disuruh
bekerja menangani mesin, maka tidak akan bisa bekerja. Para buruh kasar akan
selalu ditaruh di berbagai tempat. Misalnya ayahku itu. Jadi banzai bagi semua
budak perusahaan!
Biasanya,
jawaban wawancara yang disiapkan dengan baik mengandung banyak sekali
kebohongan, dan kau mengatakan itu dengan lancar tanpa perlu berpikir. Meskipun
itu bukan sekedar wawancara biasa. Kupikir bahkan si pewawancara tahu kalau
mereka tidak bisa mengevaluasi orang yang diwawancarai dari jawabannya. Yang
bisa mereka evaluasi adalah cara mereka berbicara dan terutama kebiasaannya.
Oleh karena itu aku bilang untuk mengatakannya dengan tegas. Meskipun itu
adalah kegiatan berbicara, tapi yang dinilai adalah non verbal. Ada yang bilang
kalau berbicara itu sebesar 30% dari komunikasi.
Jika
seseorang dalam proses wawancara akan menjawab pertanyaan dengan benar tapi
dengan malu-malu dan gugup, dalam skala 1 hingga 100 mereka hanya akan mendapat
poin maksimal 30. Atau begitu-kah? Aku sendiri tidak begitu bagus dalam
matematika.
Ngomong-ngomong, aku tidak melihat adanya alasan mengapa pria tanggung
dan ceria di depanku ini harus khawatir tentang wawancara itu. Tapi ada satu
hal yang menarik. Akupun pura-pura terbatuk dan menunjuk ke arahnya.
“Kecuali,
kau harus berbicara dengan sopan. Tidak seperti saat ini.”
“Jangan
khawatir, Onii-san. Aku berbicara seperti itu hanya kepadamu saja.”
Taishi
mengatakan itu sambil tersenyum dan menaikkan kepalan tangannya. Eh, apa begitu caramu memperlakukanku? Tiba-tiba
aku kehilangan semangatku untuk menasehatinya dan ingin segera mengusirnya
saja.
“Ok, kurasa
sudah cukup untuk hari ini. Pulang sana.”
“Yeah. Terima kasih!”
Taishi
tampaknya tidak menyadari perubahan sikapku. Dia lalu membungkuk dan
berterimakasih kepadaku. Baiklah, kalau dia sudah berterimakasih, biasanya aku
tidak akan mempermasalahkan lagi caranya berbicara kepadaku. Aku ini orang yang
simple. Hachiman si manusia simple, heh.
Tapi
tiba-tiba Taishi menaikkan kepalan tangannya dan mengatakan sesuatu.
“Sebenarnya,
aku punya satu pertanyaan lagi untukmu.”
“Apaan?”
Kamu ini siapa sih, Ukyou? Ketika kupikir
aku sudah selesai denganmu, sekarang kau masih mau yang lain? Tidak ada
lemparan dadu untukmu, aku tidak akan menurutimu.
“Kalau ini
soal SMA Sobu, kau bisa tanya ke kakakmu.”
Aku
mengatakan itu sambil selangkah ke belakang. Tapi ekspresi Taishi terlihat
lebih serius dari sebelumnya.
“Aku tidak bisa menanyakan itu ke kakakku...”
Dia
menjawabnya begitu saja. Oh, aku tahu!
Ini pasti sesuatu yang sangat serius. Komachi tampaknya menangkap hal itu dan
memutuskan untuk tidak ikut campur, atau mungkin tidak ingin mengganggu. Dia
lalu mengatakan “hmm” dan mengangguk.
“Baiklah,
aku sudah kedinginan, jadi aku akan masuk ke dalam. Taishi-kun, terima kasih
sudah menemaniku pulang. Onii-chan, bicaralah dengannya, itu permintaanku,
oke?”
Komachi
mengatakan itu, memutar pegangan pintu dan mulai berjalan masuk ke dalam rumah.
“Taishi-kun,
lakukan yang terbaik.”
Dia
melambaikan tangannya sekali lagi sebelum menutup pintunya. Senyum yang lebar
dan bahasa tubuh yang genit...Ya Tuhan,
adik perempuanku memang manis. Tapi ini juga mencurigakan. Dia mungkin
sengaja kabur karena tidak ingin terganggu dengan semua ini. Selain diriku,
pria yang telah terbuai di sebelahku ini mulai berbicara.
“Hikigaya-san sangat baik.”
Taishi mengatakannya setelah Komachi menutup
pintunya. Entah mengapa, dia terus melihat ke arah pintu tersebut seperti
terhipnotis dengan sesuatu. Nah, dia bukannya mau bersikap baik: dia hanya
lelah berurusan dengan kita dan menyerahkan sisanya kepadaku. Ya Tuhan, adikku
ini memang sangat mengganggu.
x x x
Kami
berjalan secara perlahan dalam dinginnya malam. Komachi sudah masuk ke dalam
rumah sehingga aku tidak perlu memaksakan diriku untuk mengobrol dengan Taishi.
Tapi dia bilang mau bertanya sesuatu kepadaku dengan ekspresi yang serius
sehingga aku tidak bisa mengusirnya begitu saja. Aku tidak ingin membuat para
tetangga terbangun dengan keributan di depan rumahku, juga akupun tidak tahu
apakah normal jika pergi ke kafe dengan anak SMP. Jadi kuputuskan untuk mampir
ke minimarket yang ada di pinggir jalan ketika menemaninya keluar dari kompleks
perumahan.
Langit malam
yang cerah, tiang-tiang lampu penerangan jalan berjejer di sepanjang jalan ini,
ditemani oleh cahaya lampu mobil yang lewat, dan cahaya lampu dari jendela
apartemen-apartemen di sekitar sini. Kami berdua mulai mengisi jalanan yang
memantulkan berbagai cahaya tersebut. Akhirnya aku melihat sebuah minimarket.
Minimarket ini letaknya agak jauh dari rumahku. Meski, aku sebenarnya tidak
tahu dimana letak rumah Kawasaki. Akupun masuk ke dalam, membeli dua kaleng
kopi dan keluar dari minimarket.
“Ini.”
Akupun
melempar satu kaleng ke Taishi. “Ini
bukan permainan menghindar dari bola, tangkap itu! Bagus.”
“Berapa ini?” dia
bertanya kepadaku dan mulai meraba-raba dompetnya.
“Tidak
perlu.” akupun melambaikan tanganku.
“Beneran?
Terima kasih!”
Dia
mengucapkan itu sambil membuka kalengnya. Akupun membuka kaleng kopiku. Kami
tidak melihat adanya tempat duduk kecuali besi panjang di parkiran sepeda
minimarket, jadi akhirnya kami duduk disana. Lalu segera kuminum sekaleng kopi
hangat tersebut yang sudah berada di tanganku. Kenikmatan ini tidak bisa kau
beli dengan harga 100Yen. Taishi lalu mengembuskan napasnya yang terlihat berwarna
putih di udara.
“Soal yang
ingin kutanyakan tadi...” dia mulai berkata.
Karena
tertarik dengan apa yang hendak dia katakan, akupun menolehkan kepalaku ke
arahnya. Wajahnya benar-benar terlihat serius.
“Onii-san,
bisakah kau beritahu aku bagaimana caranya agar bisa menjadi populer di mata
para gadis?” tanya Taishi.
Aku hampir
tersedak oleh kopi yang kuminum dan batuk tidak karuan. Taishi lalu
menepuk-nepuk punggungku, mengkhawatirkanku apakah aku akan baik-baik saja. Maafkan
aku, Taishi harusnya tidak perlu meminta maaf. Beberapa saat setelahnya, akupun
merasa baikan. Taishi lalu melihat ke arahku lagi.
“Kau ini
bertanya ke orang yang salah. Aku tidaklah populer.”
“Itu tidak
benar! Kau hari ini pulang bersama seorang gadis!” dia protes dengan wajah yang
memerah. Ah, maksudnya si Orimoto.
“Aku hanya
kebetulan saja bertemu dia waktu pulang ke rumah. Apa kau pikir kalau kami
berdua sepasang kekasih, hanya karena aku terlihat berjalan bersamanya?”
Kalau
memakai logika tersebut, berarti aku dan Taishi adalah sepasang kekasih. Akupun
tersenyum jijik, merasakan aura-Ebina, meski Ebina-san berada jauh dari sini.
“Kupikir
tidak seperti itu.”
Taishi
mengatakannya dengan wajah yang serius. Yeah, kurasa begitulah proses seorang
anak laki-laki berubah menjadi seorang pria. Mungkin dia harus kuberitahu
secara kasar soal hal ini? Akupun menoleh kepadanya.
“Tepat
sekali. Lagipula, jika ada pria yang mengatakan kepadaku kalau dia menyukai
Komachi, aku akan menghajarnya.”
Aku
mengatakan itu sambil meremas kaleng kopiku, sehingga terlihat sedikit penyok.
“Onii-san,
kau membuatku takut.”
Dia masih berani memanggilku ‘kakak’ setelah
kukatakan itu? Kau menantang ya? Aku tidak kesal kepadamu, malah aku akui
dirimu. Meski kau menanyakan sesuatu seperti – bagaimana menjadi populer – kau
harus punya keberanian. Di lain pihak, kupikir jika hendak menghadapi
ujian, bukanlah hal yang bijak jika memikirkan hal yang diluar ujian. Bukan
momen yang tepat untuk kabur dari kenyataan. Aku ingat dulu, punya jadwal yang
padat dan masih saja memikirkan cita-cita untuk menjadi artis atau pemain
baseball profesional. Oh tidak! Kuharap Taishi tidak seperti itu!
“Ngomong-ngomong, kenapa kau menanyakan hal seperti itu?” kuputuskan
untuk menanyakan itu.
Tapi
kecurigaanku itu tidaklah beralasan, itu hanya jauh dari realita. Taishi
memiringkan kepalanya sambil membayangkan sesuatu.
“Entahlah...Untuk motivasi? Akan menjadi alasan yang bagus untuk belajar
dengan keras jika ada sesuatu yang menarik di SMA.”
Tahu tidak? Dia ada benarnya juga. Tapi
jika kau terlalu berharap, kau akan berakhir dengan situasi seperti
mengembalikan uang pinjaman: kau harus memberikan apa yang kaupunya untuk
sesuatu yang tidak ada. Aku harus menghancurkan ilusi itu! Ini adalah bentuk
lain dari sebuah kebaikan hati!
“Sejujurnya,
apa yang kuimpi-impikan ketika nanti masuk SMA, tidak ada satupun yang menjadi
kenyataan.”
Taishi
menatapku seakan-akan tidak percaya dengan yang barusan dia dengar.
“Serius?”
“Yep.
Semuanya tidak seperti yang kubayangkan.” kataku.
Aku
merasakan sebuah realita dari caraku berbicara. Tapi apa yang sudah kukatakan
tidak bisa kutarik kembali, jadi kulanjutkan lagi kata-kataku tadi.
“Tapi, apa
yang kudapatkan ternyata tidak buruk-buruk
amat.” akupun menyelesaikan kalimatku, dan kami berdua terdiam.
Satu-satunya
suara hanyalah suara musik dari minimarket dan suara orang yang mengayuh sepeda
di pinggir jalan. Tiba-tiba aku mendengar suara napasnya yang terdengar sangat
puas.
“Aku
sekarang menjadi sangat termotivasi.”
“Huh?
Kenapa?”
Taishi lalu
berdiri, membetulkan jaketnya dan melihat ke arahku.
“Entahlah.
Tiba-tiba aku merasa begitu.”
Dia
mengatakan itu, membetulkan tas dan kerah jaketnya.
“Nanti kalau
aku sudah diterima, aku akan datang kepadamu dan membicarakannya lebih jauh.
Kalau begitu, aku pulang dulu.”
Dia jujur
seperti biasanya. Akupun tersenyum kecil. April tahun depan, siswa baru, tahun
ajaran baru...Dan ini berarti sebuah hubungan yang baru, berbeda dengan apa
yang sedang ada saat ini. Tapi ini baru akan terjadi dalam 3-4 bulan lagi.
Semuanya pasti akan berubah, dan apa yang terjadi saat ini akan berubah.
“Tentu,
kalau itu terjadi.”
“Apa
maksudmu?”
Taishi
menanyakan itu. Akupun terdiam sebentar untuk mengingat jawaban yang telah
kusiapkan sejak tadi.
“Kalau
kakakmu mengijinkan. Dia akan marah kalau tahu aku mengajarkanmu hal-hal aneh.”
Setelah aku
mengatakannya, Taishi-pun tertawa.
“Yeah.”
“Ya sudah,
datang saja jika kau sudah diterima.”
“Akan
kulakukan yang terbaik. Terima kasih, Onii-san.”
“Berhenti
memanggilku Onii-san. Setidaknya kau belajar untuk memanggilku senpai.” kataku.
Taishi
seperti mematung. Tapi tidak lama kemudian matanya bersinar cerah.
“Wow! Keren
sekali! Aku akan membiasakannya segera! Bolehkah kuberitahu kakakku soal ini?
Dia pasti akan memperbolehkanku!”
“Diamlah,
jangan becanda. Serius, jangan cerita ke dia. Cepatlah kau pulang.”
Aku berusaha
menutupi rasa maluku. Taishi-pun tersenyum. Aku malah bertambah malu, dan
berusaha mengusirnya pergi. Taishi-pun segera membalikkan badannya dan mulai
pergi. Setelah menyeberang jalan, dia berbalik dan membungkukkan badannya ke
arahku.
“Terima
kasih banyak, Hikigaya-senpai!” dia mengatakan itu dengan keras dan segera
pulang ke rumah.
Itu cepat sekali, itulah yang
terpikirkan olehku ketika melihatnya pergi.
x Chapter II | END x
You are so lucky Hikiagaya Senpai..
BalasHapus