x x x
Lampu bioskop
dinyalakan kembali. Aku mendengar suara orang-orang yang bernapas lega. Para
penonton berdiri dari kursinya dan berjalan ke pintu keluar sambil mengobrolkan
kesan mereka terhadap film yang baru saja mereka tonton. Beberapa orang
berbicara seperti sedang berbicara dengan temannya, sementara yang lain seperti
berbicara dengan pacarnya. Akupun mendesah kesal ketika menatap layar bioskop
yang sudah kosong tersebut. Setelah menghabiskan cola milikku, akupun ikut
berdiri juga. Orang-orang keluar dari bioskop dan pergi entah kemana. Aku
melihat seseorang berdiri dekat mesin penjual minuman dan melambaikan tangannya
kepadaku.
“Heei, Hikki! Heeei!”
Yuigahama dan Yukinoshita sudah keluar lebih
dulu dari bioskop. Yuigahama terlihat melambaikan tangannya, menjulurkan
tangannya seperti berusaha membuat itu terlihat lebih panjang. Ini agak
memalukan, mendapat lambaian tangan seperti itu. Aku bisa melihat “zettai
ryouki” yang berada diantara sepatu boots dan rok katunnya. Hei, aku hampir
melihat pakaian dalammu, tolong hentikan itu.
Akupun berjalan ke arah mereka tanpa membalas
lambaiannya.
Kita memang bertemu kembali setelah menonton
film, tapi kalau membahas tentang apa yang harus kukatakan, aku tidak tahu.
Terlebih lagi, aku tidak tahu harus bersikap apa dalam situasi seperti itu.
Jadi hal pertama yang kulakukan adalah mengangguk untuk menyapa mereka. Kami
tidak merencanakan akan ada pertemuan apa sesudah ini ataupun berjanji sesuatu.
Mengatakan “maaf” atau “terima kasih” bukanlah respon yang benar, begitu pula
jika hanya diam saja. Setelah mengangguk kepadaku, Yuigahama lalu berjalan,
memimpin kami berdua. Aku tidak berpikir kalau ini akan mengakibatkan kesunyian
diantara kita.
Keluar ke arah jalan raya, kami disambut oleh
angin malam. Tanpa sadar leherku seperti berusaha tenggelam dalam kerahku
secara otomatis. Akupun memasang lagi syal yang kupegang sedari tadi, dan
memakai mantelku lagi. Yuigahama lalu berdiri di samping Yukinoshita yang
sedari tadi berdiri di atas tangga.
“Tadi keren sekali, seperti ‘Boom!’, benar
tidak?”
Memangnya tadi apaan, Slayers? Yuigahama
biasanya tidak mau berpikir panjang tentang kata yang tepat untuk diucapkan,
kadang aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Meski, biasanya Yukinoshita
bisa mengerti maksudnya. Dia lalu tersenyum dengan lembut, seperti seorang ibu
yang tersenyum ke anaknya.
“Kurasa begitu. Efeknya memang bagus, dan
jalan ceritanya memang rumit. Juga akting pemainnya sangat bagus sehingga
terbawa emosi.”
“Mmm, yeah…Tadi memang sangat bagus!”
Begitulah kedua gadis di dekatku ini
mendiskusikan film yang barusan mereka tonton. Dan pendapat mereka seperti
saling melengkapi, dimana ini adalah sesuatu yang baru bagiku. Jadi Yuigahama
ternyata memang menyimak filmnya dengan serius?...Aku sangat terkesan. Well,
meski itu tidak penting. Mendengar para gadis mengobrolkan film yang baru saja
mereka tonton adalah pengalaman pertama bagiku dan ini memang sangat menarik.
Biasanya, ketika aku dan Zaimokuza mengobrolkan tentang film, pendapat kami
berdua biasanya negatif. Mungkin inilah
perbedaan mencolok diantara para pria dan wanita. Semuanya terlihat buruk dari
sudut pandang pria: ceritanya, setting kameranya, aktingnya, penulis
skenarionya goblok, penulis bukunya bajingan, dan yang sejenisnya…Para pria,
serius ini! Tolong berikan pujian untuk karya yang medioker, mereka akan
berusaha membuat yang lebih baik di karya selanjutnya!
Ngomong-ngomong, filmnya telah selesai dan
aku sendiri tidak tahu apakah akan langsung pulang ke rumah atau pergi ke suatu
tempat lagi. Jadi, untuk saat ini aku hanya mengikuti Yuigahama dan
Yukinoshita.
Yuigahama melompat balik dan menatap ke arah
kami berdua.
“Mau makan sesuatu?”
Aku melihat ke arah langit, di sebelah barat
masih terlihat warna merah dari cahaya matahari senja. Belum waktunya untuk
makan malam, tapi kalau untuk makanan ringan kurasa tidak masalah. Aku hanya
minum cola di bioskop, jadi perutku masih kosong. Jadi sekarang terserah
Yukinoshita yang memakan popcorn rasa karamel di bioskop tadi. Akupun menatap
ke arahnya: oke, dia sedang memikirkan sesuatu sambil menyentuh dagunya.
“Aku tidak keberatan kalau minum teh.”
“Oh, keren! Apa ada usulan mau kemana?”
Yuigahama mengatakannya sambil melihat ke
arahku. Jangan! Kurasa aku tidak punya hak untuk mengarahkan situasi ini.
Hachiman-kun, apa kamu ingat kalau semua orang menertawakanmu ketika kamu
memilih kafe yang salah? Ingat tidak ketika ada Kaori Orimoto-chan dan temannya
Sesuatu-Machi-chan? Jadi aku melihat ke sampingku, ke Yukinoshita. Dia, seperti
biasanya, tidak mengatakan pilihannya, dan menatap kembali ke arah Yuigahama.
“Aku...Tidak keberatan dengan apapun
tempatnya.”
Dia lalu tersenyum dan melihat ke arahku. Dan
begitulah ceritanya...Kita tidak akan bisa memutuskan apapun kalau begini
caranya! Oh baiklah, kalau mereka tidak peduli, aku akan memilih sesuatu.
Bahkan jika mereka menolak, setidaknya mereka mengatakan alasannya dan itu
membuat kita bisa memilih kafe yang tepat. Jadi aku putuskan untuk memilih sesuatu.
“Bagaimana kalau Saize?” Aku mengatakan itu
sambil melihat ke Yuigahama, diapun segera membalasnya.
“Oke.”
Eh? Serius? ‘Oke’?! Itu tidak diduga sama
sekali. Akupun menoleh ke Yukinoshita. Dia tampak tidak keberatan karena hanya
diam saja. Yang benar, kita akan pergi ke Saize? Maksudku, aku memang menyukai
Saize, jadi aku tidak keberatan juga, tapi karena Orimoto dan sesuatu-Machi,
kupikir para gadis tidak suka restoran yang menyajikan menu masakan Itali.
Tunggu, kita membicarakan Yuigahama disini! Dia mungkin mengatakan itu karena
tidak paham maksud makanan Itali dan menyimpulkan sesuatu yang salah. Meski
sejujurnya mereka tidak membuat masakan ala Itali, tapi masakan dengan citarasa
Chiba. Panjang umur Chiba! Mereka bisa bekerjasama dengan produser anime dan
memasak sesuatu yang mengerikan dengan menyamarkan itu sebagai masakan Itali.
Bagaimana dengan rencanaku tadi, huh? Serius nih, tolong pertimbangkan!
Jadi aku sendiri tidak yakin meski dia bilang
mau ke Saize. Kupikir dia suka dengan Saize! Tapi mungkin Saize terdengar
seperti semacam sesuatu yang enak baginya! Aku tidak tahu, Saz-Elize, atau
Shanzelion!
“Apa kau yakin mau ke Saize?”
“Eh? Kenapa, kita tidak bisa kesana?”
Yuigahama mengatakan itu dengan ekspresi bingung.
“Tentu bisa. Aku suka Saize, disana adalah
tempat terbaik.”
Oke. Sekarang mari kita tanya Yukinoshita.
“Itu sebenarnya hanya opinimu saja yang
mengatakan Saize adalah yang terbaik. Aku belum pernah kesana, tapi aku juga
tidak punya alasan untuk tidak kesana.”
Dia mengatakan itu sambil menyisir rambutnya
keluar dari bahu. Jadi, tidak ada yang keberatan, baiklah.
Sesuatu lalu menepuk dadaku, akupun terbatuk
dibuatnya.
“Tunggu, tunggu, tunggu dulu. Kalau
dipikir-pikir, kita tidak ingin ke tempat dimana ada bar untuk minum. Kita
sudah minum banyak sekali ketika menonton film tadi. Kurasa kita mampir ke kafe
daripada restoran akan terdengar lebih baik...”
“Mampir ke kafe?...”
Wajah Yuigahama terlihat aneh. Seperti
mengatakan sebuah kesedihan dan ketidaknyamanan. Ketika aku membicarakan Saize
di depannya, wajahnya berubah menjadi aneh. Tampaknya dia sangat menyukainya.
Sial, aku harus memperbaiki situasi ini dengan cepat.
[note: Sebenarnya Yui
baru ingat Saize seperti apa, dia “ogah” kesana seperti Nakamachi dan Kaori.]
“Oh maaf ya. Setahuku tidak ada kafe untuk
mampir-mampir di Chiba.”
“Kau terlalu meremehkan
Chiba, Hikki! Banyak kok kafe yang
bagus disini!”
“Aku tidak mengerti. Kau bilang kau suka
Chiba, tapi kau mengatakan hal buruk tentang itu.”
Maaf dech! Aku ingin meminta maaf, tapi
kamu...Suka Chiba, bukan? Aku suka sisi gelap dan terang dari Chiba. Ini adalah
sebuah cinta yang buta. Aku ingin memberitahu seberapa besar cintaku ke Chiba,
tapi tampaknya itu tidak dibutuhkan lagi.
Yukinoshita tampaknya memahami sikapku dan
mulai memikirkan sesuatu dengan menaruh tangannya di dagu lagi.
“Kalau begitu...Aku punya ide.”
“Kau merekomendasikan sesuatu? Whoaa, kau ini
manis sekali!”
Yukinoshita mengambil selangkah ke belakang melihat
reaksi Yuigahama itu.
“Umm, bukan begitu, aku sendiri belum pernah
kesana, hanya kebetulan lewat. Jadi aku ingin kesana hanya karena penasaran.”
“Baiklah, ayo kita kesana!”
Yuigahama lalu menatapku dengan penuh tanda
tanya. Well, kalau ini ide Yukinoshita, akupun tidak keberatan. Akupun tidak
keberatan meski pergi ke Saize. Meski, di lain pihak, hmm...Pergi ke suatu
tempat yang baru sebenarnya tidak merugikanku.
“Kenapa tidak?”
Yukinoshita lalu menyetujuinya.
“Tentu. Ayo kita pergi.”
“Yep!”
“Yuigahama-san, aku kesulitan untuk
berjalan...”
Dan begitulah mereka berdua berjalan dengan
Yukinoshita berusaha menjauhkan tangan Yuigahama darinya. Tapi
Winter-Gahama-san sangat menyukai kehangatan, jadi itu adalah usaha yang
sia-sia. Tampaknya dia sudah terbiasa untuk berjalan seperti itu. Akupun tidak yakin soal ini, aku sendiri
tidak punya pengalaman itu.
Dan begitulah para gadis ini berjalan dengan
situasi seperti itu. Aku mengikuti mereka dari belakang. Pakaian mereka yang
menarik dibalut dengan situasi “Yuri” ini memancing perhatian orang di sekitar.
Aku sangat malu untuk terlihat berjalan bersama mereka. Pura-pura tidak kenal
merupakan skill terbaikku. Aku sudah terbiasa untuk pura-pura tidak kenal
dengan teman sekelasku. Yay! Tampaknya aku masih memiliki skill itu di diriku!
x x x
Di belakang stasiun,
adalah kompleks apartemen elit. Pemukiman ini dibangun baru-baru ini. Karena
itulah, kafe lokal dan sejenisnya menjadi populer, dan ini bukanlah hal yang
sementara. Ngomong-ngomong, Yukinoshita tinggal di kompleks apartemen itu.
Gosipnya itu dibangun setelah ada sengketa lahan dari pengusaha properti
melawan warga kelas menengah dan kelas bawah; kadang ada konflik yang terjadi.
Meski ini hanya gosip yang kudengar dari orangtuaku, akupun tidak tahu detail
tentang masalah itu. Itu hanya gosip! Semua warga Chiba adalah teman!
Tapi kompleks ini sangat bagus, banyak sekali
toko-toko dan kafe yang menarik. Dan tampaknya Yukinoshita hendak menuju ke
salah satu diantaranya, dengan yakin dan tanpa ragu.
“Huh, jadi kau ternyata kenal betul daerah
ini.”
“Sarkasmemu barusan sangat buruk.”
Dia terlihat tersenyum kepadaku. Jadi kemana
kebiasaanmu yang suka tersesat itu? Hehe...err, tidak, senyummu tadi itu
terlalu dingin, jadi jangan tertawa.
“Hikki...”
Yuigahama melihat ke arahku seperti tidak
setuju dan menarik-narik baju lenganku, seperti memintaku untuk meminta maaf.
“Umm, bukan begitu, itu sebenarnya bukan
sarkasme. Aku itu kagum dengannya, serius ini.”
Aku putuskan untuk tersenyum ketika
mengatakan itu, tapi tatapan tajam Yukinoshita belum berubah sedikitpun. Kau
tidak mau mengendurkan seranganmu...
Aku sebenarnya bisa dibilang familiar dengan
daerah ini, tahu tidak? Aku dulu pernah datang kesini dengan keluargaku untuk
makan di restoran yang menjual masakan pasta. Restorannya punya tema “sepeda”.
Aku ingat kalau dulu aku suka wanita yang memasak masakan pasta. Jadi aku
menyukai restoran itu. Bahkan hingga saat ini aku punya cita-cita untuk jadi
suami rumahan yang bisa memasak pasta seenak itu. Akhirnya, restoran itu sudah
tutup dan akupun tidak sempat belajar resep masakan enak mereka.
Akupun berjalan di sepanjang Jl.Valentine ini
sambil memikirkan berbagai hal. Laut akan terlihat tidak jauh dari ujung jalan
ini dimana Yukinoshita menghentikan langkahnya dan menatap ke arah kami.
“Kita sudah sampai.”
“Hmm...”
Inilah tempatnya! Kafe yang direkomendasikan
gadis ini! Kafe ini bertempat di lantai satu sebuah gedung yang besar. Dekorasi
interior yang sederhana, aroma kopi hitam yang tercium dimana-mana, sofa
pelanggan yang berwarna-warni, meja yang berbentuk lingkaran, pot-pot tanaman
dan pernak-pernik warna girly.
[Aku
sangat yakin kalau ini adalah Kafe Iris, beberapa blok arah barat daya dari
Stasiun Kaihin Makuhari. Berlokasi di Jalan Valentine, dekat perempatan jalan
yang mengarah ke laut, situasi ruangannya persis seperti di foto. Lokasi
35.638648, 140.040702]
[note: Fvck Off!
Hachiman suka memata-matai lewat Google Earth!]
Yuigahama mendekati jendela besar kafe
tersebut dan mengintip suasana di dalamnya.
“Cantik sekali!”
“Baiklah. Ayo kita masuk?”
Yukinoshita terlihat lega, lalu pergi ke
pintu kafe. Kami disambut oleh para pelayan dan diantar ke meja di tengah. Aku
biarkan para gadis menduduki sofa yang empuk dekat dinding sementara aku di
kursi yang agak keras. Jendelanya menunjukkan pemandangan langit musim dingin
dengan matahari yang sedang bersembunyi di balik cakrawala. Udaranya sangat
nyaman dan hangat. Ada beberapa grup pengunjung di kafe ini selain kami.
Suasana yang tenang dan nyaman. Mungkin karena sedikit banyak ada pengaruh
suasana tahun baru. Kebanyakan, pelanggannya adalah wanita muda. Aku sangat
jarang melihat beberapa gadis tanggung berbicara sambil mengetik sesuatu di
MacBook Air mereka. Oh, aku paham itu. Yukinoshita tidak akan mengunjungi
tempat ini terlalu sering karena grup-grup semacam itu. Kalau aku sendirian,
akupun pasti tidak akan mau kesini.
[note: Hachiman dan
Yukino benci kumpulan Hipster. Di
volume 8 Hachiman mengatakan tidak suka kumpulan hipster tanggung, terutama
yang mangkal di starbuck.]
Yukinoshita, yang duduk tidak jauh dari
Yuigahama, tidak terlihat seperti orang tersesat. Tempat ini seperti familiar
dengannya, jadi dia bersikap lebih dewasa. Mungkin dia akan berbeda jika datang
kesini sendirian. Yuigahama juga terlihat nyaman disini dan bersikap seperti
gadis normal di sebuah kafe. Bahkan terlihat lebih nyaman dari di sekolah.
Mungkin begitu...
“Oh!” Dia lalu mengatakan sesuatu, berdiri dari
sofa dan berjalan ke pintu keluar. Setelah kulihat dengan baik, dia mengambil
salah satu majalah dari rak majalah di dekat pintu.
“Ada apa?” aku mencoba bertanya sambil
melihat lebih dekat majalah yang Yuigahama ambil itu. Dia hanya tersenyum saja.
“Lowongan kerja paruh waktu” dia membalasku,
sambil menggerutu.
“Ah, aku paham. Majalah itu sangat menarik
perhatianmu karena banyaknya toko buka di sekitar sini.”
“Yeah, benar sekali.”
“Hikigaya-kun, bukankah itu artinya kau juga
membaca majalah tentang lowongan kerja? Itu cukup aneh.” Yukinoshita
memiringkan kepalanya dengan penuh tanda tanya.
“Tentulah aku juga begitu. Maksudku, mereka
kan ada dimana-mana. Juga tentang lamaran kerja, riwayat hidup, dan hal-hal
sejenis itu.”
“Yeah, akupun pernah melihat yang semacam
itu!”
Huh, jadi kau juga membaca majalah semacam
ini, Yuigahama. Gadis yang baik!
“Yeah. Aku membacanya ketika aku punya waktu
luang saat bekerja paruh waktu.”
“Kau membacanya ketika sedang bekerja?!”
“Kau harusnya fokus bekerja daripada
membacanya, tahu tidak...”
Yuigahama terlihat menjauh dariku yang sedang
terkejut sedangkan Yukinoshita mulai memegangi keningnya. Tidak, serius ini,
memangnya aku harus ngapain kalau
tidak ada kerjaan? Aku tidak bisa membaca buku yang kusuka ataupun bermain
dengan HP, tidak juga mengobrol dengan karyawan yang lain. Yang masuk akal ya
membaca majalah tentang pekerjaan. Aku hampir mempertimbangkan untuk kerja di
tempat lain juga, tapi karyawati-karyawati di tempatku bekerja tampaknya punya
pendapat yang berbeda. Mereka hanya melihatku dengan tatapan kosong. Aku yakin
kalau setiap pekerja paruh-waktu melakukan itu. Apa cuma aku yang melakukan itu
di tempatku bekerja?
[note: Jangan
sekali-kali membaca lowongan kerja di tempat lain pada saat anda bekerja di
tempat anda sekarang. Ini memberikan kesan buruk kepada anda kalau anda tidak
serius bekerja.]
“Ok, ngomong-ngomong, ayo kita memesan.”
Yuigahama menaruh menunya di atas majalah
tersebut. Dalam situasi semacam ini, aku memesan kopi olahan, jadi aku tidak
perlu memilih terlalu lama. Para gadis, masih sibuk melihat menunya. Terutama
Yuigahama.
“Kamu mau pesan teh hitam yang mana?”
Yuigahama tampaknya kagum dengan banyaknya
jenis teh hitam yang dijual. Dia lalu menarik-narik lengan Yukinoshita.
“Well..Teh Assam, Ceylon, atau mungkin Earl
Grey. Kamu bisa memilih teh Chamomile jika ingin teh herbal, ditambah dog-rose
atau mint. Teh bunga sakura juga bagus, meskipun rasanya akan sedikit aneh.”
Yukinoshita dengan sabar menjelaskannya.
Kalau melihat ekspresi Yuigahama, dia terlihat seperti habis melihat etalase
museum. Setelah Yukinoshita menjelaskannya, dia terlihat mengangguk seperti
berusaha menahan sebuah sakit kepala.
“Tadi kau menyebutkan apa sich?”
“Yang kusebutkan tadi itu jenis-jenis
tehnya.” Yukinoshita terlihat mendesah kesal.
Hei, Yuigahama, satu-satunya sebutan yang
familiar untukmu adalah “Elohim, Essaim” yang terdengar seperti Assam.
Gahama-chan, kau tidak harus menyerah dulu, tahu tidak?
“Kalau begitu aku terserah Yukinon saja. Kita
bisa memesan teh yang berbeda lalu nanti saling cicip.”
“Aku tidak keberatan. Kau ingin teh yang
bagaimana?”
Yukinoshita yang sebelumnya bersantai kini
menggerutu lagi karena harus memperhatikan menunya lagi. Yep, para gadis akan
menjadi bisa diandalkan ketika diminta tolong oleh Gahama-chan.
“Aku akan memanggil pelayannya.”
Kupikir kita akan memilih hingga kiamat, jadi
aku menaikkan tanganku dan memanggil pelayannya. Lagipula, tampaknya tidak ada
yang menyadari aku daritadi menaikkan tanganku, tampaknya aku harus datang
sendiri ke kasirnya.
Tapi ada yang menyadariku dengan cepat. Gadis
yang berdiri di belakang meja kasir melihat tanganku dan berjalan ke arah kami.
“Maaf sudah membuat anda menunggu...Oh...”
Dia menyambut kami sambil menaruh 3 gelas air
putih di meja dan tiba-tiba terdiam. Begitu pula diriku. Berkemeja putih dan
rok hitam pendek. Celemek sederhana tampak menempel di pinggangnya, rambut
keriting hitam terlihat diatur rapi ke belekang. Dibalik rambut tersebut
terlihat sepasang mata yang terkejut diiringi senyum selamat datang.
“Hei, Hikigaya ya?! Lama tidak bertemu! Apa
yang kau lakukan disini?”
“Aku hanya pelanggan saja disini.”
“Huh, jadi kau datang ke tempat semacam
ini...”
Dia tersenyum dan mengambil tablet di kantong
celemeknya. Dia memang tidak berubah sedikitpun. Dia mungkin juga tidak
bermaksud apapun tapi entah mengapa yang kudengar hanya “wow, jadi Hikigaya
juga mengunjungi kafe yang keren! Luar biasa!”
“Oh, aku juga kebetulan kerja paruh waktu
disini.”
Dia lalu mulai mengetik sesuatu di tabletnya,
seperti bersiap menulis pesanan dan menatap ke arah para gadis. Mereka
jelas-jelas mengenalnya meski sebentar. Terlebih lagi, mereka mengenalnya dalam
situasi yang tidak menyenangkan. Mereka pertamakali bertemu dengannya ketika
acara double date dengan Hayama. Kami
sedang dalam momen pemilihan ketua OSIS dan situasi di klub sedang tidak bagus.
Pertemuan kedua di event kolaborasi Natal yang diorganisir oleh SMA Sobu dan
Kaihin. Mungkin lebih tepat menyebut itu medan pertempuran daripada sebuah
event. Oleh karena itu, pertemuan kali ini sangat sulit kalau dibilang sekedar
kebetulan.
Mereka bertiga saling melihat satu sama lain
tanpa mengatakan apapun. Yuigahama hanya tersenyum, meskipun senyumnya hanya
dibuat-buat. Yukinoshita menatapnya dengan tajam dan dingin. Udara di sekitar
sini terlihat mulai dingin secara tiba-tiba. Kecuali Orimoto yang melihat
keduanya dengan curiga. Aku merasa tidak nyaman. Jika saja kita bertemu dalam
situasi yang berbeda...Kesunyian ini seperti mencekikku.
Orimoto mengembuskan napasnya.
“Ah, yeah, kita belum pernah berbicara
sebelumnya. Namaku Kaori Orimoto. Aku teman sekelas Hikigaya ketika SMP.
Sekarang aku ada di SMA Kaihin. Kita pernah bertemu waktu Natal kemarin.”
Dia berusaha mengatakan itu agar terkesan
sopan dan ramah, tapi jelas-jelas tidak sedang bermaksud seperti itu. Orimoto
memang begini. Meskipun apa yang dia lakukan: membuat jalan bagi mereka agar
bisa membalasnya.
“Hmm...Hi. Aku Yuigahama Yui. Aku
adalah...Hikki...Teman sekelasnya Hikki..., dan...”
Meski menjelaskannya dengan gagap, Yuigahama
bisa membalasnya dan mengenalkan dirinya. Orimoto terlihat terkejut.
“Hikki? Ahaha...”
Dia memalingkan tubuhnya dan mulai tertawa. Hei, apa itu benar-benar lucu? Apa aku
melewatkan sesuatu?
“Hehehe...”
Melihat tawa Orimoto, Yuigahama juga terlihat
tertawa. Orimoto melihat itu dan berhenti tertawa, lalu dia menyeka air matanya
dan menjelaskan apa yang terjadi.
“Maaf, maaf. Aku tidak pernah mendengar
seseorang memanggil Hikigaya dengan Hikki. Bukannya mau bermaksud buruk.”
Aku tidak berpikir kalau Orimoto berbohong.
Kata-katanya tidak ada makna tersembunyi. Tapi memang kuakui itu agak kasar.
Bukannya aku peduli dengan apa yang dipikirkannya, sich. Dia hanya mencoba jujur dan tidak membaca situasinya. Tapi
Orimoto memang tipe orang yang seperti itu.
Hanya sedikit siswa di SMP yang masih ingat
namaku. Mereka biasanya memanggilku “Hikkifrog” atau sejenis itu yang bersifat
menghina, oleh karena itulah mendengar “Hikki” akan sangat mengejutkan dan akan
membuatmu ingin tertawa. Apa masalah sebutan itu menghina atau tidak, itu
adalah masalah yang berbeda.
Nama sebutan adalah hal lumrah dalam
komunitas sosial, tapi Yuigahama tampaknya tidak memahami itu.
“Well, dia memang kadang-kadang lucu...”
“Yeah...”
Yuigahama terlihat setuju. Aku bukannya tidak
mau untuk melanjutkan obrolan ini, tapi suasananya salah paham ini juga kurang
bagus. Kalau Yuigahama mengenal Orimoto lebih baik, dia tidak akan terlihat
sesedih saat ini. Mereka akan mengobrol dengan senang dan tertawa bersama-sama.
Bahkan Miura, teman dari Yuigahama, kadang bersikap kasar. Atau bisa jadi
mereka menjadi dekat karena itu? Mungkin begitu: Orimoto yang sebelumnya
tertawa, kini tersenyum seperti orang idiot, menyesali apa yang dia katakan.
Kau membutuhkan sebuah skill komunikasi jika
ingin memperpendek jarak. Aku tidak tahu apakah mereka akan bertemu lagi di
kemudian hari, tapi aku cukup yakin mereka bisa berteman baik. Oke, sekarang
tinggal satu orang lagi.
“Kalau kamu...”
Orimoto mencoba bersikap ramah dan melihat ke
arah Yukinoshita. Dia hanya duduk terdiam, sama seperti sebelumnya, dan menatap
dengan dingin Orimoto. Ada apa dengan warna pupilnya yang berbahaya ini?
Hentikan itu, aku takut, tahu!
Orimoto seperti berusaha mencari kata yang
tepat, tapi yang keluar hanyalah suaranya yang menggerutu. Mendengar itu,
Yukinoshita mendesah kesal. Ada apa ini? Ini seperti dua hewan buas sedang bertemu
dan siapa yang memalingkan matanya lebih dulu adalah yang kalah. Yukinoshita
mencoba menenangkan dirinya, terbatuk dan melihat ke arah Orimoto.
“Yukinoshita Yukino. Hi...Hiki. Hiki...”
Yukinoshita terlihat gugup. Yukinon, apa kau
lupa namaku? Dia lalu memalingkan pandangannya dan menggumam.
“Hikki itu… member klubku. Aku ketuanya.”
Tiba-tiba wajah dan lehernya memerah. Kami
membuka mulut kami karena terkejut mendengarnya. Sejak kapan kau memanggilku seperti itu? Yuigahama memeluknya, seperti
hendak membelanya.
“Maaf, Yukinon! Kau tidak perlu memaksa
sebegitu jauhnya kalau kau sebegitu malunya!”
“Bukannya aku memaksakan diriku...”
Meskipun dia berada dalam pelukan Yuigahama,
wajah Yukinoshita masih memerah. Ngomong-ngomong, itu adalah sebutan Yuigahama
terhadap diriku. Yukinoshita entah sedang mempermainkanku atau bisa juga sedang
membelaku. Apapun pilihannya, hasilnya tetap konyol. Begitulah Yukinoshita.
Ngomong-ngomong, aku bahkan tidak sadar kalau ini semua tentang masalah namaku,
jadi maaf saja kalau aku tidak sadar. Well, jika Yukinon dan Gahama-san senang
dan akrab, maka biarkanlah begitu! Orimoto melihat ke arahku ketika mereka
meminum air dan berbisik.
“Mereka berteman akrab, huh...”
“Ya seperti yang kau lihat.”
Aku mengatakan itu sambil menatapnya. Dia
tampak terlihat asing seperti itu, melihat kedua gadis dan tersenyum sedih. Aku
sudah sering melihat adegan seperti itu, tapi bagi orang asing melihat dua
gadis cantik berpelukan bukanlah hal “akrab”, tapi hal yang menarik.
Setahuku, Orimoto dekat dengan beberapa
gadis, tapi memeluknya...kurasa tidak pernah terjadi. Meski, aku sebenarnya
tidak kenal begitu dekat untuk memastikan itu. Meskipun mereka semua berteman,
budaya komunikasi diantara mereka mungkin berbeda. Entah apa yang ada di benak
Orimoto tentang mereka. Akupun terus
melihat ke arahnya, menunggu reaksinya. Dia lalu merendahkan tatapannya dan
mengembuskan napasnya.
“Kuharap tadi aku tidak bilang seperti itu.”
[note: Yui dan Yukino
tidak paham ‘candaan’ kalau Hikki-sesuatu adalah candaan populer ketika mereka
SMP.]
Membuka tabletnya lagi dan matanya terlihat
ceria, wajah Orimoto kini kembali seperti biasanya.
“Aku akan membuat diskon spesial untukmu.”
Dia menulis sesuatu dan melihat ke arah Yuigahama.
“Umm...Kenapa begitu?”
Tentunya itu pertanyaan dari Yuigahama. Dia
dan Yukinoshita menatap Orimoto dengan curiga sambil berpelukan. Jawaban yang
mereka terima cukup datar.
“Kenapa tidak? Kita kan habis berkenalan.”
“Oh, kalau begitu kami tentunya
berterimakasih...”
Aku melihat ke arah para gadis. Yukinoshita
terus menatap Orimoto dengan curiga, lalu memindahkan pandangannya kepadaku dan
ke Orimoto secara bergantian.
“Apa itu memang bagian dari standar pelayanan
disini, benarkah begitu?”
Kemudian dia memalingkan pandangannya lagi.
Seperti kucing liar. Well, melihat Yuigahama kemudian juga melihat ke arahku
dan Orimoto, orang-orang akan berpikir kalau dia juga anjing jalanan.
“Kalian khan
teman-teman Hikki. Tidak apa-apa, kami memang memberikan diskon kepada
teman-teman kami disini.”
Orimoto melambai-lambaikan tangannya sambil
melihat ke arah kucing liar dan anjing jalanan. Aku sebenarnya senang-senang
saja sich diberi diskon, tapi apa dia
memang benar-benar diperbolehkan? Well, ada pepatah “Kalau di Roma, maka
lakukan apa yang orang Roma lakukan”.
Kalau Orimoto memang ingin memberikan diskon,
biarkanlah begitu. Kalau memang nanti ada masalah, maka yang disalahkan
hanyalah Orimoto! Tidak! Bukan begitu! Hachiman, kau ini buruk sekali!
Bajingan! Meski, kalau tahu bagaimana Orimoto yang tidak bisa melihat suasana
dan cara komunikasinya, dia tampaknya tahu “aturan main” di tempat ini.
Memang ada gadis sejenis ini di tempat kerja.
Aku tidak begitu tahu mengapa mereka sangat populer, tapi kalau kau
terus-terusan mengobrol dengannya jika ada waktu senggang, lama-kelamaan kau
akan mencintainya. Tapi pada dasarnya gadis-gadis semacam itu hanya berbicara
denganmu untuk menghabiskan waktunya, jadi peluang “terjadi sesuatu” diantara
kalian berdua adalah nol besar. Tidak, serius ini, berhenti mengajakku mengobrol jika kamu tidak punya perasaan apapun
kepadaku! Lakukan saja pekerjaanmu! Aku ingat pernah punya pengalaman tidak
enak dari tempatku bekerja dulu, dimana aku sering menerima perlakuan yang
ramah sebagai pekerja baru, tapi mereka tidak pernah menganggapku sebagai teman
mereka. Tidak pernah!
Jadi jika Orimoto sudah memutuskan untuk
bersikap baik, maka kita sebaiknya menerimanya, untuk amannya saja.
“Terima kasih! Kalau begitu, tolong, satu
kopi olahan untukku. Kalau mereka...” Akupun melihat ke arah para gadis.
“Umm...Terima kasih...banyak.”
Yuigahama mencoba berterimakasih ke Orimoto,
tapi tampak gugup mengatakannya. Yukinoshita terlihat hanya mengangguk saja.
“Kalau begitu, montblanc dan canele, lalu...”
“Bolehkah aku memesan teh?”
“Ya, silakan.”
Dia mulai melihat-lihat menunya, sedangkan
Orimoto menunggu jawabannya.
“Sachertorte kafe kami terkenal karena rasanya,”
katanya.
“Itu boleh juga.”
Aku melihat kalau Yukinoshita sudah kembali
normal lagi. Dia tidak berubah sama sekali...Kalau dipikir-pikir, Orimoto tidak
berubah sedikitpun sejak SMP. Begitu pula Hayama sejak aku bertemu dengannya,
begitu juga dengan sikap “blak-blakan” Yukinoshita. Bahkan ketika aku
berkomunikasi dengan Entah-siapa-namanya-Machi masih sama.
Tapi yang membuatku terkejut hanya Yuigahama.
Dia bersikap terlalu sopan ke Orimoto. Aku merasakan kalau mereka sudah membuat
jarak yang dekat. Meski, mereka hanya bertemu beberapa kali, dimana itu
bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan terlalu sering. Kalau dipikir-pikir, dari
semua orang disini, aku paling sering bertemu dengan Yuigahama, dan jarak
diantara kami berdua tidak ada yang berubah. Kecuali kalau diantara kita tidak
ada kecocokan sama sekali! Sial, aku
harusnya mencampakkan dia lebih dulu! Oh well, mari kita lupakan saja
perkataanku yang tadi.
Kupikir Yuigahama memang punya skill
komunikasi yang bagus. Bahkan Orimoto terlihat akrab dengannya saat ini.
Yuigahama terlihat berusaha ramah dan akrab seperti dia yang biasanya, berusaha
membuat percakapan dengan seseorang seperti Orimoto. Meski, di lain pihak,
komunikasi antara manusia itu masih menjadi sebuah misteri. Kau tidak akan pernah
tahu kapan orang akan menjadi dekat dan berubah menjadi musuh. Sering ketika
kau ingin berbicara ke seseorang, semuanya terlihat baik-baik saja, lalu kau
menginjak ke sebuah ranjau dan tiba-tiba kau tidak ingin melihatnya lagi.
Kupikir Yuigahama dan Orimoto bisa menjadi
teman yang baik. Tapi, peluang besar mereka berdua tidak akan bertemu lagi.
Yuigahama lalu menatapku dan bertanya.
“Hikki, apa kau mau memesan yang lain?”
“Tidak.”
Aku membalasnya, lalu Orimoto menutup
tabletnya.
“Oke. Kalau begitu, mohon ditunggu.”
Dia menaruh tablet itu di kantongnya dan
mengambil kembali menunya. Majalah lowongan kerja masih terlihat di bawah menu
tersebut. Orimoto menyadarinya.
“Hikigaya, kau lagi cari pekerjaan? Kau bisa
bekerja disini, kami sedang mencari staff bagian dapur dan pelayan kafe.”
“Nah, aku tidak membutuhkannya.”
“Mengapa tidak? Kurasa akan baik-baik saja."
Orimoto terlihat kecewa, entah mengapa.
Kenapa kau kecewa? Ini seperti kau ingin sekali bekerja denganku. Aku tidak
paham itu. Aku sedang memikirkan itu ketika aku mendengar suara tawa di
dekatku. Ternyata itu Yukinoshita.
“Hikigaya-kun tidak akan mau bekerja, apapun
pekerjaannya. Dia punya sifat untuk tidak mau bekerja.”
Yukinoshita tersenyum ketika mengatakannya
dan Yuigahama mengangguk. Yeah, itu benar, tapi memberitahu orang lain tentang
keinginanku untuk tidak ingin bekerja membuatmu berpikir kalau aku ini
bajingan. Memang sulit jika berada di posisiku. Ngomong-ngomong, aku tidak ada
rencana untuk kerja disini. Orimoto kemudian merapikan rambutnya dan terlihat
sedih.
“Sangat mudah sekali bekerja disini, apalagi
jika punya seseorang yang bisa bertukar shift. Hanya saja sangat sulit untuk
menemukan orang seperti itu.”
“Ah, begitu ya.”
Jadi itu alasanmu terlihat sedih.
Pertanyaannya adalah mengapa ada orang yang seharusnya dia sedang istirahat mau
bertukar jam kerja untuk pergi kerja? Apa dia manajer atau sesuatu? Memang ada
bagusnya untuk mempercayakan itu ke karyawan, tapi kalau begitu, buat apa ada manajer?
“Oh baiklah. Beritahu saja jika kau berubah
pikiran.” Orimoto mengatakannya sambil menepuk-nepuk pundaknya dengan menu.
Yuigahama tersenyum dan membalasnya.
“Nah, Hikki tidak akan bekerja disini. Akulah
yang tadi mengambil majalah ini.”
“Oh. Beritahu aku saja jika kau ingin bekerja
disini, aku akan menunjukkanmu caranya.”
“Bagaimana dia setuju mau bekerja disini
setelah ceritamu tadi?”
“Oh, benar juga sich. Aku setuju.”
Kali ini Orimoto tersenyum. Yeah, cara
bicaranya masih sama seperti waktu SMP. Aneh memang, tapi aku tidak merasakan
satupun perasaan nostalgia atau tidak senang. Orimoto lalu berbalik.
“Nah, serius ini, pelanggan disini tidak
begitu banyak, kenapa tidak melamar ke sini?”
Sampai
kapan kau mau berdiri disini? Aku menunggu kopiku. Membicarakan pekerjaan
itu masalah lain, tapi aku ini pelanggan dan harusnya dilayani. Meskipun aku
sebenarnya tidak keberatan bekerja disini, dengan pengunjung yang tidak banyak
dan lainnya...
x x x
Tidak lama kemudian, teh dan kopi kami tiba.
Disertai dengan montblanc dan canele sebagai makanan penutup.
“Terima kasih sudah menunggu!”
Orimoto menaruh piring-piring tersebut dengan
gerakan yang cekatan, menaruh nampannya, membungkuk dan pergi. Meja ini
sekarang penuh dengan makanan manis. Bagi penggemar makanan manis sepertiku,
ini adalah pemandangan yang menggoda. Aku terus menatap dan menatap, memikirkan
kalau aku akan mencicipi apa. Yuigahama menaruh garpu di atas makanan tersebut.
“Ini, Hikki!”
Dia mengatakan itu sambil memberiku piring
yang berisi berbagai makanan. Seperti melihat saus coklat dan krim meleleh di
tiap makanan itu. Montblanc tampak benar-benar meleleh dari pemandangan itu,
seperti teknik dari Hokuto Shinken. Hmm...Aku selalu berpikir kalau makanan
penutup seperti ini adalah hal yang enak, tapi kali ini kuakui cukup
menakutkanku. Aku tahu kalau ini sudah dipotong dengan sepenuh hati dan niat
yang baik, jadi aku tidak bisa komplain.
“A, yeah. Terima kasih!”
Aku mengatakan itu sambil melihat ke
piringnya...Mustahil makanan penutup seperti ini tidak enak. Tidak perlu
khawatir. Sebaliknya, mungkin saja ini rasanya lebih enak karena dibuat dengan
sepenuh hati. Biasanya begitu.
“Ini, Yukinon.”
“Terima kasih. Kau jangan lupa untuk
mengambilnya juga.”
Yukinoshita menaruh beberapa makanan penutup
juga di piring Yuigahama. Kecuali tampilan potongan Sacher miliknya masih
tampak menggugah selera, bahkan setelah dipotong. Apa kau benar-benar memotongnya
dengan garpu yang sama?
“Hikigaya-kun suka makanan manis, benar?”
Yukinoshita mengatakan itu sambil memberiku potongan kecil sachetorte miliknya.
Aku sangat menyukai sachetorte. Tentunya, aku juga suka makanan manis lainnya.
“Yeah, terima kasih.”
“Sama-sama. Selamat makan.”
Dia membalasku sambil menuangkan teh ke
cangkirnya dan cangkir Yuigahama. Kuambil garpuku dan mulai memakan makanan
penutup ini, sambil sesekali kuminum kopiku. Mereka semua sangat lezat. Ini
adalah kafe yang bagus. Yukinoshita tampak menyukai teh dan makanan penutupnya
juga. Dia memakannya tanpa mengatakan satupun kata. Yuigahama melihatnya dengan
gembira, lalu membolak-balik halaman majalah lowongan kerja itu.
“Ngomong-ngomong, kau memang lagi mencari
pekerjaan?”
Yuigahama jelas-jelas tidak akan membaca
majalah hanya karena bosan. Dia menghentikan kue yang hendak dia makan dan
melihat ke arahku.
“Tidak sekarang sich, mungkin untuk kapan-kapan. Soalnya ini khan sudah mau masuk Januari dan aku sendiri tidak ada rencana
kegiatan di musim panas.”
“Hmm...”
Apaan,
apa kau tidak merasa nyaman karena tidak punya uang untuk jalan-jalan? Well,
dia memang teman dari Miura, jadi mereka punya banyak rencana untuk musim
dingin ini. Snowboard, skateboard, pemandian air panas...Kegiatan yang sangat
manis bagi para gadis. Itu harusnya menjadi adegan di anime dan menjadi sebuah
bagian dari lirik lagunya.
Dulu, ada sebuah tempat ski di Chiba yang
sering dikunjungi anak muda, tapi sekarang sudah lama tutup. Sekarang, para
anak muda harus berjalan jauh hanya untuk sekedar menikmati snowboard, tentunya
itu butuh uang yang banyak. Bagi orang biasa, itu terasa berat sekali, hanya
demi sebuah kesenangan saja.
Yukinoshita melirik ke majalah yang Yuigahama
baca sambil memakan kuenya.
“Menemukan yang menarik?”
“Aku masih tidak tahu.” Yuigahama menjawabnya
sambil menopang dagunya.
“Sulit untuk menemukan sesuatu dari majalah
lowongan kerja. Cari kerja yang terbaik itu ya dengan kaki sendiri.”
“Kurasa kau salah paham. Sangat sulit untuk
melihat situasi tempat kerja yang sebenarnya hanya dengan membacanya dari
majalah.”
“Yeah. Kau harusnya memutuskan akan mengambil
pekerjaan dengan langsung ke tempatnya. Disana kau bisa tahu apakah mereka
kelebihan karyawan atau gajinya terlalu rendah.”
Mendengarkan diriku dan Yukinoshita,
Yuigahama melihat kami berdua dengan mata yang berbinar-binar, seperti
menunjukkan rasa hormat dan kekagumannya.
“Hikki, kamu ini seperti sangat berpengalaman
dalam hal ini?”
“Aku sering pindah-pindah tempat kerja. Aku
juga punya banyak pengalaman. Jadi aku cukup yakin kalau aku tahu satu hingga
dua hal mengenai kerja paruh waktu.”
“Kupikir kau tidak akan dipecat di berbagai
tempat kerja hanya karena tahu satu dua hal. Benar tidak?”
Yukinoshita mengatakan itu sambil memasang
ekspresi yang menyedihkan. Kasar sekali!
Itu karena aku sering bolos di tempat kerja, makanya aku punya banyak sekali
pengalaman, dan kau bisa mengatakan itu sebagai alasan utama mengapa aku memilih
menganggur untuk saat ini.
Orang-orang terus jatuh ke sebuah jebakan
setelah menilai buku hanya dari sampulnya, ilustrasi atau fakta-fakta tersebut
dibuat menjadi anime. Dengan begitu mereka mendapatkan pengalaman, sehingga
mereka bisa belajar. Oleh karena itu, aku yang sekarang ini bisa dikatakan ahli
dalam jebakan. Tahukah kamu berapa banyak waktu yang kuhabiskan hanya untuk
bisa menjadi ahli dalam bidang ini?
“Aku baru saja ingat tentang beberapa hal
yang harus kau cari tahu tentang calon tempat kerjamu.”
Aku mengatakannya dengan ekspresi kalau ini
adalah hal terpenting. Yukinoshita mengangguk dan terlihat ingin mendengarku
lebih jauh.
“Pertama-tama, kau cari tahu dulu apa
karyawan-karyawannya itu saling mengobrol satu sama lain.”
Yukinoshita tampak terkejut.
“Itu adalah saran yang tidak terduga darimu.
Memang, kalau para karyawan tidak mengikuti aturan kerja, semangat kerja akan
menghilang.” Dia mengatakan itu sambil mengangguk. Logika macam apa itu? Apa
kamu ini pimpinan divisi disiplin buruh perusahaan apa bagaimana?
“Aku bukan mau mengkomentari tentang semangat
kerja mereka, tapi yang kumaksud adalah akan ada beberapa masalah tertentu soal
itu.”
Yuigahama lalu melihat ke arah kami berdua.
“Eh yang benar? Apa benar-benar buruk jika
mereka saling mengobrol satu sama lain dengan akrab?”
“Nah, itu masalahnya. Itu berarti hubungan
pertemanan antar karyawan sudah terjalin. Oleh karena itu, karyawan baru
dijamin pasti akan punya masalah jika
bergabung. Bagiku, mustahil aku bisa membaur.”
Aku mengatakan kebenarannya begitu saja.
Yukinoshita menaruh cangkir tehnya dan mengangguk dengan wajah yang serius.
“Bagiku juga begitu.”
“Yukinon, kau juga?!”
Tidak buruk, nona Yukinoshita! Kadangkala aku
berpikir kalau punya skill interaksi dengan manusia yang lebih buruk dariku!
Terima kasih atas supportmu, karena dengan itu kenangan-kenangan burukku ketika
kerja paruh waktu di masa lalu mulai bermunculan.
“Mereka kadang meminta kita untuk
menceritakan pengalaman kerja mereka di tempat sebelumnya atau membuat pesta selamat
datang yang tidak aku minta.”
“Loh memangnya kenapa? Itu kan keren! Seperti
merasa di rumah dan semacam itu!”
“Merasa ‘di rumah’ itu hanya berarti jika
mereka menerimamu sebagai komunitas mereka. Tapi kenyataannya karyawan baru itu
hanya menikmati dunianya sendiri.”
Aku lalu berhenti untuk batuk sebentar, lalu
melanjutkan lagi.
“Coba bayangkan semua kesedihan yang terjadi
jika ada karyawan senior mendekatimu di pesta tersebut dan memintamu untuk
menceritakan sesuatu yang menarik. Kalau kau menolak, kau akan dianggap orang
yang membosankan. Kalau kau setuju, kau dianggap sedang cari muka. Apa yang
harus kau lakukan di posisi itu? Dan besoknya kau akan berangkat kerja dengan
suasana seperti neraka. Apa kau bisa memahami itu?”
Aku mengatakan “bayangkan” seperti sedang
menjadi John Lennon. Yuigahama lalu terlihat sedih.
“Aku sepertinya hendak merubah pikiranku
tentang bekerja...”
Dia memahami situasi itu dan bahunya terlihat
turun. Kau paham maksudku? Bagus sekali!
Yukinoshita lalu menepuk punggungnya beberapa kali untuk menguatkannya.
“Hikigaya-kun itu hanya ahli dalam
membesar-besarkan ketakutannya, dia yang terbaik diantara semua pria kalau
masalah itu. Tapi kau harus benar-benar mempelajari tentang tempat kerjamu.”
Aku sangat senang Yukinoshita setuju
denganku. Meski sebenarnya dia tidak setuju denganku, tapi dengan dirinya
sendiri. Bukannya aku hendak mengatakan itu kepadanya.
Setelah mendengar pendapat dari dua orang,
Yuigahama seperti mendapatkan sesuatu.
“Aku paham kalau begitu...Aku akan cari yang
dekat dengan rumahku saja.”
“Lebih baik tidak.”
“Eh? Kenapa?”
“Kalau kamu misalnya kerja di kafe, dan kamu
mulai bermalas-malasan, kau mungkin akan dilarang untuk datang ke kafe itu. Aku
tidak bisa mampir ke beberapa kafe dekat rumahku gara-gara itu.”
Malas adalah cara terburuk untuk berhenti
bekerja. Tentunya itu buruk untuk para karyawan lainnya, tapi itu juga buruk
untukku. Rak dan lemari pakaianku berisi seragam-seragam tempat kerja dimana aku
sendiri sudah tidak diperbolehkan untuk kerja disana lagi. Setiap kali kubuka
lemariku, aku merasa kagum dengan seragam-seragam itu.
Malas adalah sebuah kata tidak untukku.
Mengembalikan seragam dengan memakai jasa pengiriman adalah sebuah ‘tidak’
bagiku. Lu bayar sendiri biaya kurirnya!
Yukinoshita mulai
memijat-mijat kepalanya.
“Aku mulai sakit kepala setiap kali aku
mendengar cerita hidup dari Hikigaya-kun.”
“Ahaha...Kadangkala aku berpikir seperti ‘Oh
Hikki’ juga...”
Aku tidak paham apa yang Yuigahama bicarakan,
tapi entah mengapa aku cuma bisa bilang ‘Ya begitulah Gahama-san’. Kau harus
merasakan kata-katanya daripada mendengarkannya. Skill bicaranya sangat jauh
dari sempurna. Yukinon juga bersikap seperti Yukinon yang biasanya.
“Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan ini,
tapi kurasa kau tidak perlu mencari kerja paruh waktu.”
Dia menyerah.
Kadang, ‘menyerah’ dengan ‘mengakui’ itu
maknanya tipis. Yuigahama menatap ke arahku sambil memainkan garpunya di
tangannya.
“Hikki, kau mengatakan banyak hal buruk soal
kerja tapi kau sendiri melakukan semua pekerjaanmu yang diberikan di sekolah.”
“Mmm, yeah. Kau bisa berhenti kerja tapi kamu
tidak bisa berhenti sekolah. Oleh karena itu aku harus melakukan sesuatu.”
Aku mencari-cari alasan untuk membenarkan
tindakanku. Kupikir aku tidak tahu harus mengatakan hal semacam apa. Aku mungkin
punya alasan tertentu untuk melakukannya; Kurasa itu tidak akan terasa benar
jika merubahnya dalam kata-kata.
Sejujurnya, aku sendiri belum menemukan
kata-kata yang tepat untuk perasaan dan emosiku sendiri. Semuanya terlihat
salah sejak awal. Oleh karena itu aku mencoba untk mencari sebuah jawaban yang
tidak akan membohongi diriku. Tapi Yuigahama-san, mengapa kau terus menatapku
seperti hendak melubangi tengkorak kepalaku?
“Kurasa kau tidak bisa berhenti begitu saja
dari pekerjaanmu.”
Dia akhirnya mengatakan itu sambil
melambaikan tangannya. Yukinoshita, yang sedari tadi hanya melihat kita,
tersenyum.
“Klub itu hal yang berbeda, tapi aku tidak
akan bekerja denganmu.”
“Kalau kau mau, aku bisa membungkus kedua
tanganmu dengan pita dan menghadiahkannya untukmu.”
Benar, sebuah pemberian yang dibungkus juga,
lupakan saja tadi. Yukinoshita adalah orang yang bisa diandalkan; dia akan
menjadi karyawan yang bagus. Dia bisa merencanakan sesuatu dan mengerjakannya,
dan juga menyelesaikan permasalahan yang datang. Tapi cara hidupnya sangat
konyol. Dia mungkin akan menjadi seorang manajer, lalu tidak lama kemudian akan
dipromosikan, tapi kata-katanya masih akan tetap tajam setajam pisau, membunuh
semua yang di sekitarnya. Itu akan menjadi sangat buruk. Yukinoshita juga
mengerti maksudku, dan dia memalingkan pandangannya dariku.
“Lagipula kita tidak bisa bekerja, karena
kerja paruh waktu itu melawan peraturan sekolah.”
“Siapa peduli dengan aturan sekolah.”
Aku pernah kerja paruh waktu dan aku cukup
yakin banyak siswa yang melakukannya juga. Meski suatu saat ketahuan, tidak ada
hukumannya, dan sekolah tidak akan repot-repot untuk mengurusi siswa semacam
itu. Itu disebut membiarkannya lewat. Sebuah contoh klasik dari “Itu tidak akan menjadi masalah hingga kita
membuatnya menjadi masalah”.
“Tapi bukan alasan yang logis untuk melanggar
peraturan.”
Pendapat yang bagus dari Yukinoshita. Mungkin
karena dia meminum teh Ceylon. Tapi dia mengatakannya karena sedang berdebat
denganku. Jadi aku tidak mempedulikannya. Kalau kita sedang diluar, aku akan
berteriak kepadanya kalau aku tidak peduli dengan peraturan sekolah. Yuigahama,
tampaknya memilih untuk menerima itu. Dia memakan potongan terakhir kuenya dan
menatap kami berdua.
“Tapi kau bisa meminta ijin ke sekolah untuk
diperbolehkan kerja, benar tidak?”
“Kalau itu, ya bisa saja.”
Akhirnya! Respon yang “normal” dari
Yuigahama. Yukinoshita mulai terlihat gugup.
“Ta-tapi...Umm...Yuigahama-san, kau tidak
punya alasan kuat untuk bekerja, jadi memperoleh ijin tersebut tidaklah mudah.
Lagipula, kau ini juga member dari sebuah klub, jadi Hiratsuka-sensei, yang
menjadi pembina klub, tidak akan mengijinkanmu.”
Yukinoshita mengatakan itu sambil memegang
dagunya. Yuigahama, tidak mampu untuk menyanggahnya lagi, lalu dia memeluk
Yukinoshita.
“Jangan khawatir, Yukinon! Klub masih penting
untukku! Aku tidak akan merahasiakannya darimu jika aku mendapatkan pekerjaan.”
“Bukan itu maksudku...”
Wajah Yukinoshita tiba-tibe memerah ketika
Yuigahama memeluknya. Ya ampun, mereka dekat sekali. Well, aku paham apa yang
dirasakan Yuigahama, karena aku merasakan hal yang sama, meski yang kita
pikirkan adalah sesuatu yang tidak sama.
Aku tidak berpikir kalau baik diriku atau
Yuigahama ingin bekerja. Sama halnya dengan Yukinoshita: dia terlihat sangat
menikmati waktu yang dihabiskan di klub bersama-sama, jadi dia tidak ingin
meninggalkannya hanya untuk pekerjaan. Akupun punya perasaan yang sama seperti
itu, tapi dengan alasan yang berbeda. Aku sangat ingin agar tidak menambah banyaknya
variabel dalam persamaan ini. Tentunya itu adalah hal yang buruk. Mengetahui
semua kebenarannya? Sungguh buruk sekali.
Melihat gadis-gadis ini memang terlihat lebih
manis daripada semua makanan penutup yang ada. Duduk di sofa yang lembut,
ditemani kehangatan suasana kafe, dan menonton mereka, aku merasa kalau kantuk
mulai menyerangku. Oleh karena itu aku meminum kopi hitamku yang mulai dingin
ini dengan sekali teguk.
x Chapter II | END x
Untuk yang ke sekian kalinya yukinon mau merangkul beban jachiman. Jadi gimana menurut mimin reaksi kaori soal itu?
BalasHapusKalau yang di seri spin-off begini, saya engga bisa comment banyak karena memang dasar sumbernya jika ditarik ke cerita original akan terasa aneh.
Hapus