x x x
Malam biasanya tenang dan sunyi, tapi suara
keramaian ini tidak sedikitpun mengecil ketika hendak menuju tengah malam.
Malam sudah selarut ini, tapi aku masih bisa melihat keramaian orang dari
jendela kereta. Suasana gerbong kereta sangat hidup. Setelah bertahan dengan suasana
gerbong yang ramai untuk melewati beberapa stasiun, akhirnya akupun keluar dari
kereta bersama dengan keramaian orang-orang. Setelah berjalan sebentar, akupun sudah
sampai di gerbang kuil Inage Sengen.
Infonya,
gerbang yang berada di Jalan Raya 14 ini dulunya pernah tenggelam oleh
ketinggian air laut. Itu tertulis di twitter resmi milik Chiba-kun, jadi pasti
info itu benar adanya. Mungkin di Chiba pernah dibangun kuil yang sangat besar
di masa lampau, seperti kuil Itsukushima yang termasuk dalam daftar cagar
budaya UNESCO. Kalau begitu, kuil Inage Sengen harusnya ada di daftar tersebut.
Setidaknya, itu menurut pendapatku.
Kuilnya sangat
ramai. Kurasa memang benar-benar layak masuk cagar budaya internasional,
menurutku. Kuil yang sangat populer! Akupun berjalan bersama keramaian ini dan
sampai di gerbang. Di bawah gerbang tersebut, aku bertemu orang yang sudah
sepakat untuk bertemu denganku. Dia melihatku juga dan mulai melambai-lambaikan
tangannya, rambutnya yang berwarna coklat muda terlihat melambai-lambai juga.
“Hikki!
Hi-yahallo!”
“Salam macam
apa itu?”
Aku
mengatakannya tanpa menunjukkan ekspresi kesalku. Yuigahama memakai tight model
jaring, mantel beige dengan syal panjang. Tangannya juga memakai sarung tangan.
Di sampingnya berdiri seseorang yang tidak kusangka-sangka. Mantel hitam, rok
model plaid dengan tight hitam membalut kakinya. Yukinoshita Yukino. Tampaknya
dia diajak oleh Yuigahama. Yukinoshita menatapku dan mengangguk.
[note: rok model plaid itu model rok yang biasa
dipakai petenis wanita. Grup-grup idol juga sering memakai rok ini di
panggung.]
“Halo.”
“Hi.”
balasku.
Lalu kami
mendengar suara keras dari lonceng kuil, menandakan tahun ini akan segera
berakhir. Orang-orang di sekitar kami mulai melihat jam di HP mereka
masing-masing untuk memastikan kalau mereka tidak melewatkan momen itu.
Suara-suara
hitung mundur mulai terdengar. Lima, empat, tiga, dua satu, dan keramaian ini
mulai berteriak. Diantara mereka ada pula yang melompat tinggi seperti
mengatakan kalau dia tidak sedang ada di bumi selama setahun. Selama ini kalian
ada di mana? Kau sendiri juga masih belum keluar dari lapisan atmosfer bumi.
Akupun memasang tatapan dingin ketika melihat ke arah mereka. Sedang mata
Yuigahama, kontras, dia malah terlihat bersemangat.
“Selamat
Yahallo!” dia mengatakan itu sambil berbalik ke arah kami berdua.
“Ucapan
selamat macam apa itu? Selamat tahun baru.”
Aku
menjawabnya dengan memasang senyum yang ironis. Aku mendengar seseorang sedang
batuk di sebelahku, dan aku melihat ke arahnya.
“Selamat
tahun baru!”
Yukinoshita
mengatakan itu sambil menyembunyikan senyumnya di balik syal. Yeah, memang
terlihat memalukan berkumpul dan mengatakan selamat tahun baru. Aku sendiri
juga sambil memegangi ujung syalku juga.
“Yeah,
umm...Selamat tahun baru.”
Akupun
mengatakan itu dengan nada yang normal. Setelah kami mengucapkan selamat,
Yukinoshita menunjuk ke suatu tempat.
“Kalau
begitu, ayo kita masuk ke area kuilnya.”
Cahaya dari
lampion menerangi jalan setapak ini menuju kuil. Kami mulai berjalan menyusuri
jalan kuil. Pepohonan tumbuh di sisi jalan ini. Pengunjung kuil ini juga
terlihat sedang berjalan ke arah yang sama dengan kami. Kuil ini adalah kuil
terbesar di daerah sini, jadi wajar jika banyak pengunjungnya. Bahkan ketika
lewat tengah malam, pengunjungnya terlihat bertambah banyak.
Yuigahama
menoleh kesana-kemari, melihat pemandangan tersebut. Ah, dia mungkin tertarik
ke stand yang ada di ujung sana.
“Suasananya
seperti sebuah festival,” kata Yuigahama.
“Begitulah.
Banyak sekali orang di sekitar sini. Momen yang tepat untuk mendapatkan uang.
Aku ingin pulang saja.” Akupun membalasnya, dan Yuigahama terlihat kesal.
“Kenapa sih kamu selalu mengatakan hal itu? Ayo
kita makan sesuatu, kita sudah terlanjur ada disini.”
Yuigahama
mengusulkan sesuatu dan keluar dari rombongan. Yukinoshita menghentikannya
dengan menarik syalnya.
“Kita ke
kuil dahulu.” Yukinoshita menolaknya, memegangi bahu Yuigahama dan memalingkan
kepalanya. Akupun memalingkan kepalaku juga ke ujung antrian. Antriannya
ternyata panjang sekali, kita tidak akan sampai ke kuil dalam waktu dekat.
Kuharap aku bisa melakukan sesuatu dengan keramaian ini, ini semakin membuatku
gugup.
Aku ingin pulang saja...
Kuharap area
tangganya akan terdapat lebih sedikit orang-orang setelah kita melewatinya. Apa
disana ada juga stand penjualan? Semua orang melihat ke arah kuil utama dan
berjalan dengan lambat. Kami akhirnya tiba di bagian kuil utama; sebentar lagi
akan tiba waktunya bagi kami untuk berdoa.
“Apa yang
ingin kau minta?” tanya Yuigahama.
“Ini bukan
momennya. Sekarang ini bukan tanabata.”
“Memang
benar. Tidak ada yang membuat permohonan disini.”
Yukinoshita
terlihat sedang menatapnya. Yuigahama lalu memasang ekspresi serius dan
menggerutu.
“Tapi
katanya orang-orang, mengandalkan Dewa jika sedang mendapati kesulitan atau
semacam itu. Seperti, berdoa dan semuanya akan berjalan dengan baik...”
Itu seperti
logika impian semua orang. Jika Dewa adalah makhluk yang seperti itu, dunia
kita ini pastinya lebih damai dari saat ini.
“Aku pernah
dengar kata-kata ini dari orang Atheis. Seperti hanya orang lemah yang
mengandalkan Dewa jika tertimpa masalah.”
Yukinoshita
menjawabnya sambil menyentuh keningnya. Tampaknya dia tidak begitu setuju
dengan Yuigahama soal itu.
“Tapi kau
harusnya mengandalkan Dewa. Minta kepadanya dan kau akan menerimanya...”
Yuigahama
mengatakan itu sambil melebarkan matanya. Tampaknya, dia sendiri bingung.
Rombongan di depan kami tampaknya sudah selesai berdoa dan berjalan ke arah
keluar.
“Ya sudah,
percayai saja apa yang kau percayai. Tapi setahuku, momen seperti ini jika membuat
janji kepada Dewa, kurasa itu akan menjadi sebuah keuntungan.” Dia mengatakan
itu sambil tersenyum.
“Ah, oke aku
paham maksudmu...Kalau begitu, aku akan membuat sebuah janji yang kuat.”
Yuigahama mengatakan itu sambil mendekati Yukinoshita.
“Baiklah.”
Yukinoshita membalasnya dengan lembut, dan mereka berdua berjalan ke arah altar
kuil. Setelah melempar koin ke kotak, mereka membunyikan loncengnya, membungkuk
dua kali, menepuk tangannya dua kali, dan menutup mata mereka.
Sebuah janji
kepada Dewa...Tampak mistis sekali. Akupun mengikuti kedua gadis tersebut dan
menepuk tanganku dua kali.
Apakah aku akan membuat sebuah permohonan,
ataukah aku akan membuat sebuah janji kepada Dewa...
Akupun
melihat ke arah Yukinoshita dan Yuigahama yang ada di depanku. Yukinoshita
tampak berdiri dengan diam, menutup ekdua matanya; Yuigahama seperti sedang
menggumamkan sesuatu, kalau melihat kerutan di dahinya, dia sepertinya sedang
gugup. Aku tidak tahu permohonan atau janji apa yang mereka buat. Akupun
menutup mataku; aku sendiri tidak punya satupun hal yang ingin kuminta kepada
Dewa. Semua keinginan yang kumiliki ini bisa kudapatkan dengan usahaku sendiri.
Jadi aku
memohon kepada Dewa agar Komachi lulus ujian. Itu adalah sesuatu dimana usahaku
tidak memberikan efek apapun dalam hal itu.
x x x
Kami
akhirnya selesai melakukan ritual dan meninggalkan altar. Ketika kulihat
sekitarku... WOW, banyak sekali gadis kuil disini! Hanya ada para gadis kuil
dan suster. Becanda, tidak ada suster disini. Akupun melewati surga para gadis
kuil ini dan masuk ke area stand resmi milik kuil. Banyak sekali dijual jimat
keberuntungan, anak panah suci, kertas-kertas doa dan banyak lagi yang lainnya.
Setelah membeli jimat keberuntungan, aku memutuskan untuk menarik ramalan
keberuntungan tahun baru di salah satu stand. Akupun mengambil kotak kayu
tersebut, dan memberikan kertas yang jatuh dari kotak tersebut ke gadis penjaga
kuil. Karena tempat menukarkan ramalan ada di stand lain, akupun bergegas ke
stand tersebut untuk menukarkan ramalanku.
Stand
tersebut ada di salah satu ujung area kuil. Yuigahama tampak tersenyum di
samping Yukinoshita yang melihat sesuatu di telapak tangannya dengan kecewa. Apa terjadi sesuatu? Akupun pergi ke
arah mereka.
“Maaf ya,
tadi agak lama.” kataku. Yuigahama lalu menoleh ke arahku.
“Tidak
masalah, lagipula kami juga baru saja menarik ramalan Omikuji juga.”
Dia
membalasku sambil menunjukkan ramalan yang didapatkannya. “Keberuntungan besar”
tertulis di kertas tersebut. Kalau begitu, senyumnya tadi pasti karena hal ini.
Akupun memalingkan pandanganku ke Yukinoshita. Dia menahan sesuatu di bibirnya
dan menatapku dengan berat.
“Kau tadi
dapat ramalan apa? Kalau tidak salah kau juga menarik ramalan Omokuji juga,
bukan?”
“Yeah.”
Akupun mengatakan itu sambil menunjukkan kertasku. Kedua gadis tersebut melihat
ke kertas tersebut.
“Keberuntungan
kecil...”
Ini terlalu
aneh jika dibilang suka dengan hasil
ramalannya. Meski, apa sih yang kau
harapkan dari ramalan seharga 100Yen? Akupun melihat setiap baris tulisan
ramalan yang ada di kertas itu, tapi tidak bisa memahami satupun maksudnya.
Misalnya, ada tulisan untuk memperhatikan kesehatanku. Yang tertulis tidak buruk-buruk amat, jadi aku masih pikir-pikir dulu untuk mengikatnya atau
tidak.
Sekarang
saatnya bagi Yukinoshita untuk menunjukkan ramalan miliknya.
“Keberuntungan
sedang.”
Dia
mengatakan itu sambil tersenyum, terdengar sebuah kebanggaan dari nada
bicaranya tersebut. Syukurlah “moodnya”
berubah menjadi baik. Dia terlihat puas dan merapikan rambutnya yang bersandar
di bahunya. Yuigahama melihatnya dengan tersenyum.
“Untung saja
tidak ada yang dapat kertas bertuliskan ‘Sial’.” Yuigahama mengatakan itu
sambil tersenyum.
“Memang.”
Yukinoshita
setuju dan memalingkan matanya, wajahnya memerah. Tampaknya dia menganggap
ramalan ini seperti sebuah kompetisi. Lalu, kedua matanya bertemu denganku.
“Oh,
bukankah itu paket jimat keberuntungan?”
Dia
menanyakan itu sambil melihat ke arah paket tersebut dengan penuh ketertarikan.
Aku memang memegang itu sejak tadi. Akupun menunjukkan kepadanya sebuah paket
kertas jimat keberuntungan yang tertulis “Kuil Inage Sengen” di atasnya.
“Oh, yang
ini? Yeah. Aku membelinya untuk Komachi agar dia bisa lulus ujiannya.”
“Oh,” kata
Yukinoshita, dia lalu memiringkan kepalanya dan melihat ke arahku.
“Kalau kau
mau, kita bisa menuliskan harapan itu di papan kayu disana...”
“Yeah, demi
keberuntungan Komachi!” Yuigahama menambahkan.
“...Tapi
antriannya terlihat panjang,” kataku sambil melihat antrian yang menuju tempat
untuk menuliskan itu. Aku tidak bisa begitu saja menerima tawaran mereka.
“Ya sudah,
terima kasih.” akupun langsung mengatakannya. Para gadis terlihat seperti tidak
percaya ketika mendengarkannya dariku.
“Apaan?”
tanyaku melihat tatapan mereka.
“Tidak ada.
Aku hanya terkejut saja.” Yukinoshita pura-pura terbatuk ketika mengatakannya.
“Aku jarang
mendengarmu mengatakan terima kasih. Lagipula, kau ini tidak suka mengantri.”
Yuigahama menambahkan itu dan tersenyum. Hei,
memangnya lucu? Aku memang terbiasa berterima kasih ke orang.
“Aku
putuskan untuk membuang semua harga diriku demi adik perempuanku. Jika tidak
demi Komachi, aku sudah santai-santai di rumah saat ini.”
“Tampaknya
yang kau buang itu adalah akal sehatmu, bukan harga dirimu.” Yukinoshita
mengatakan itu dengan kecewa, setelah itu dia mulai berjalan.
“Kalau
begitu, ayo?” Yukinoshita berjalan beberapa langkah di depan. Yuigahama
melihatnya dari belakang dan mendorong punggungku. Akupun mulai berjalan dan
masuk ke antrian tersebut.
x x x
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama, akhirnya
kami bisa menuliskan harapan kami di papan kayu tersebut. Tulisan tangan
Yukinoshita sangat cantik sekali, seperti diluar level tulisan buku-buku yang
pernah kau baca, sedang tulisanku dan Yuigahama seperti sebuah coretan tidak
teratur di papan ini. Setidaknya, harapanku sudah ditulis di papan ini. Aku
merasa tidak enak kepada Dewa yang harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan
orang sepertiku. Di sisi lain, sekarang papan kayu ini menjadi semacam jimat
keberuntungan, jadi bisa memperoleh perhatian para Dewa kurasa hal yang sangat
bagus.
Setelah itu
akupun memeluk papan kayu tersebut dan menepuk tanganku. Kumohon, sang papan kayu kecil, biarkanlah Komachi lulus ujiannya.
Akupun menggumamkan ‘namu-namu’.
“Kurasa
semuanya sudah selesai.” Kataku.
Para gadis
mengangguk. Well, aku sendiri tidak merencanakan kegiatan ini, tapi setidaknya tujuan
ke kuil telah terpenuhi. Akupun coba mengingat apakah kita melewatkan sesuatu.
“Jadi
sekarang mau kemana? Pulang ke rumah?” tanyaku.
“Tidak!
Kenapa kau selalu mengatakan itu?” Yuigahama menatapku dengan kesal dan dingin.
Aku ingin mengatakan kalau ‘urusan kita disini sudah selesai’, tapi Yukinoshita
memotongku.
“Kalau tidak
salah, tadi katanya mau mampir di beberapa stand disini?” tanya Yukinoshita.
Dia mungkin ingat kalau tadi Yuigahama ingin beli sesuatu. Yuigahama dengan
enerjik terlihat mengangguk.
Well,
setidaknya lokasinya ‘berada dalam perjalanan pulang’, jadi aku tidak
keberatan. Tanpa mengatakan hal yang lain, para gadis mulai berjalan. Kami
mulai berjalan balik melewaati jalan yang kami lalui tadi. Akhirnya, kami
melihat stand-stand. Kebanyakan berisi Takoyaki dan Okonomiyaki, tapi ada
minuman musiman, seperti amazake, dijual disana juga. Diantara stand itu aku
melihat adanya stand permainan menembak. Aku sering melihatnya di festival
musim panas, tapi di musim gugur...Seseorang terdengar membicarakan sesuatu di
dekatku.
“Kenapa ada
permainan menembak di akhir tahun?”
Yukinoshita
membayangkan itu dan mendekati stand itu untuk melihatnya dari dekat.
“Yeah,
memang aneh. Well, banyak pengunjung kuil ini datang membawa anak mereka,
mungkin ada beberapa orang yang punya pikiran untuk membuat stand ini agar bisa
menghibur mereka.”
“Meski
begitu, kenapa ada disini...”
Yukinoshita
tampaknya tidak mendengarkan kata-kataku dan terus menatap ke arah stand
menembak tersebut dengan antusias. Diantara hadiah permainan itu, ternyata ada
boneka yang mirip dengan Pan-san. Ah,
tampaknya aku tahu.
“Mau coba
permainan menembaknya?”
“Tidak,
ke-kenapa aku harus...”
Dia
mengatakan itu, seperti tidak yakin. Tidak, dia mungkin memang ingin
mencobanya. Yuigahama yang melihat hal itu juga sekarang mulai melihat
perilakunya yang mencurigakan.
“Yukinon
suka sama Pan-san ya?” dia mengatakan
itu sambil tersenyum.
Biasanya,
Yukinoshita langsung sadar dan memberikan berbagai alasan, tapi kali ini dia
tidak mendengarkan kata-kata Yuigahama. Apa dia segitunya berkonsentrasi ke
Pan-san? Yukinoshita terus menatap ke arah itu dan mengatakan sesuatu ke
dirinya sendiri. Tampaknya kita tidak akan bisa bergerak hingga adegan ini
selesai. Apa yang harus kulakukan? Akupun tidak yakin, tapi kurasa aku harus
mencoba atraksinya? Akupun mulai memikirkan untuk mengambil dompetku ketika
Yuigahama mendekatiku.
“Ngomong-ngomong,”
dia menarik lenganku.
“Apa maumu?”
“Umm...” dia
menarik lenganku lagi. Tampaknya dia ingin aku untuk mendekat. Akupun
mengangguk dan Yuigahama mulai membisikiku seperti hendak memberitahu rahasia.
Tentunya
kita harus mendekat untuk bisa seperti itu. Ini bukanlah sesuatu dimana aku
akan kaget atau bereaksi berlebihan. Tapi aroma citrus dari parfumnya dan
melihat wajahnya yang memerah di cuaca dingin ini, kurasa ini bisa dikatakan
sebuah cobaan. Meski begitu, aku memberitahunya untuk terus melanjutkan
kata-katanya.
“Hei,
bagaimana soal hadiah ulang tahun Yukinon?”
“Ah,”
Ulang tahun
Yukinoshita tinggal beberapa hari lagi, seingatku begitu. Dan aku sudah
berjanji dengannya untuk membelikannya hadiah, waktu Natal kemarin. Tidak, aku
masih ingat soal janji itu. Sebaliknya, aku mulai berpikir tentang apa yang
harus kulakukan tentang itu. Kapan, dimana, dengan siapa, apa yang dilakukan
dan mau membeli apa. Ini seperti sistem 5W1H. Kalau aku disuruh menentukan
kapan, jawabanku mungkin membuat orang lain tidak nyaman. Sebaliknya, kalau aku
yang mengatakan biar orang lain yang memutuskan, mereka akan menyerahkannya ke
orang lain tanggung jawab itu. Kita tidak akan memutuskan apapun dengan cara
itu...Oleh karena itu, aku berterimakasih karena dia menyinggung masalah ini.
Kalau tidak, aku akan mengulur-ngulur itu terus dan berakhir dengan mengatakan “Hachichika
ingin pulang saja”. Oleh karena itu aku memutuskan untuk memilih harinya saat
ini.
“Kalau besok
bagaimana, kau bisa?”
“Ah, yeah,
bisa.” Dia menjawabnya dengan terkejut dan mulai memainkan sanggul rambutnya.
“Ya sudah
besok saja.”
Dia
mengatakan itu dan terdiam. Akupun terdiam juga. Kesunyian ini mungkin karena
situasi yang aneh ini. Akupun mulai melihat ke sekitarku untuk menyembunyikan
rasa maluku dan melihat Yukinoshita mendatangi kita dengan bahunya yang
terlihat tidak bersemangat.
“Kau sudah
selesai?” tanyaku.
“Ya, ayo
kita pergi,” dia mengatakan itu sambil tersenyum.
“Ada apa sih?”
Ada apa
disana? Akupun melihat ke arah stand menembak. Ah, aku paham itu. Itu ternyata bukan Pan-san, tapi Panta-san.
Well, ini memang sering terjadi.
“Ah, maksudmu
boneka Pachimon itu?” Akupun mengatakan itu seperti paham akan sesuatu.
Yukinoshita lalu menyentuh dagunya dan memiringkan kepalanya.
“Pachimon?
Kalau tidak salah aku pernah dengar itu entah dimana. Kalau tidak salah nama
akhirnya Hi...Hiki...”
[note : Pachimon = Hachimon.]
“Hei! Aku
ini tidak sedang membicarakan diriku. Kau bahkan tidak mengingat nama
terakhirku sama sekali?” Kataku. Yukinoshita lalu menggeser rambutnya dari bahu
karena terkejut.
“Itu cukup
kasar sekali. Aku ingat persis nama lengkapmu.”
“Yang kasar
itu kamu.”
Well, kalau
dia ingat namaku, kurasa tidak masalah. Lagipula, di dunia ini memang ada
orang-orang yang memanggil nama orang dengan Kawa-sesuatu dan mulai melupakan
nama aslinya. Si Kawa-sesuatu lagi
ngapain ya sekarang?
x x x
Melewati
jalan setapak yang tadi kami lewati, kami keluar dari gerbang kuil dan lewat
jalan raya. Angin dingin terus menerpa kami. Tubuhku mulai menggigil, baik
diriku dan Yuigahama menaikkan kerah mantel kami. Yukinoshita, tampaknya tidak
terpengaruh oleh cuaca dingin ini. Dia hanya membetulkan syalnya saja. Wajahnya
terlihat sangat lelah. Embusan napasnya terlihat berwarna putih, dan seketika
hilang di udara. Yeah, dia tidak terbiasa
berada dalam keramaian. Sama dengan diriku.
Akupun melihat ke arah
jalan ke kuil, keramaiannya tampak lebih padat dari sebelumnya.
“Kereta
Narita mungkin akan padat dengan penumpang juga,” kataku.
“Kalau
begitu kita naik Kereta Chiba saja!” Yuigahama mengatakan itu dan menepuk dua
tangannya. Dia melihat ke arah pinggir jalan raya dimana hanya ada pemandangan
laut dan gedung sekolah kami. Kereta Chiba berangkat dari stasiun yang jauh
dari area kuil, jadi harusnya orang yang naik kereta tersebut jauh lebih
sedikit. Lagipula, jalan menuju stasiun tersebut melewati sekolah kami, dimana
kami sudah familiar dengan itu, jadi ini tidak begitu jauh bagi kami.
“Kenapa
tidak. Bagaimana denganmu?” Tanyaku. Yukinoshita-pun mengangguk.
“Kalau begitu,
ayo pergi!”
Yuigahama
mengatakan itu dan mendorong punggung Yukinoshita. Si korban tampaknya tidak
menunjukkan tanda-tanda penolakan.
Banyak
sekali lampu penerangan jalan yang berjejer di jalan raya ini, ditambah lagi
dengan lampu dari mobil-mobil yang lewat. Di taman dekat jalan raya, terlihat
banyak sekali anak muda menyalakan kembang api, tampak hendak melanjutkan
kegembiraan tahun baru mereka.
Suara
langkah kaki kami seperti menggema di langit malam kota ini. Ini memang bukan
malam yang biasa bagi kota ini. Suara terdengar dari arah ini dan itu. Dua
bayangan diantara dunia yang berisik dan cerah ini seperti fatamorgana bagiku.
Akupun mendengungkan lagu untuk menemani langkah kakiku ini, mencoba
mempertahankan jarak ini. Syalku melambai-lambai karena tiupan angin ini.
Para gadis terlihat sesekali melirik ke arah belakang mereka dan kemudian tersenyum. Aku disini, aku disini, berhentilah memeriksaku.
Ada beberapa orang
terlihat di stasiun tersebut. Keretanya memang beroperasi 24 jam. Beberapa
orang masih ingin merayakan tahun baru, sedang yang lainnya terlihat ingin
pulang saja. Kamipun membaur dengan keramaian tersebut dan masuk ke stasiun.
Aku dan
Yukinoshita akan naik ke kereta dan pergi pulang, tapi rumah Yuigahama dekat
sini. Akupun menanyakan itu kepadanya.
“Yuigahama,
apa yang akan kau lakukan?”
“Eh?
Aku...Entahlah...” Dia menjawab itu dan melihat ke arah Yukinoshita.
“Aku tidak
keberatan kalau kau menginap di apartemenku.”
“Eh,
serius?!”
“Ya,”
Yukinoshita menjawabnya dan terlihat sedikit menguap seperti anak kucing.
“Ya sudah,
kau menginap saja di tempat Yukinoshita,” Akupun menyimpulkan itu dengan cepat
dan melewati pembatas ke ruang tunggu kereta. Aku tidak ingin meninggalkan para
gadis sendirian ketika malam sudah selarut ini. Tata krama bagi para pria
adalah harus menemani mereka hingga pulang ke rumahnya. Orang-orang terlihat
mulai berdiri. Ternyata keretanya baru saja tiba. Meski begitu, penumpang yang
di gerbong terlihat lebih sedikit kalau dibandingkan rombongan orang yang
berjalan ke kuil tadi. Jalur kereta ini melewati pinggir pantai dan tidak ada
kuil di dekatnya, jadi orang-orang yang menumpang kereta ini jauh lebih
sedikit.
Kami bertiga
duduk di dalam gerbong; kereta lalu mulai berjalan. Lantai kereta yang hangat
mulai menghangatkan kakiku yang kedinginan ini. Akupun bernapas lega. Yuigahama
tampaknya melihat sikapku itu dan tersenyum.
“Di luar
masih dingin,” kata Yuigahama.
“Yeah. Malam
di musim dingin memang bukan waktu yang tepat untuk keluyuran.”
“Tapi justru
karena itulah lebih menyenangkan! Bahkan lebih menyenangkan daripada siang
hari!” kata Yuigahama sambil menunjukkan matanya yang berbinar-binar. Apa-apaan itu? Kau suka kelayapan ketika
malam? Apa kamu Pelacur-tan?
Meskipun setidaknya aku bisa menghubungkan keseruan belanja malam hari di
swalayan terdekat.
Aku yang
melihat Yuigahama sedang duduk di kursi seberangku menyadari kalau Yukinoshita
hanya diam saja sejak tadi. Ya ampun, dia
sudah mendapatkan mimpi pertama tahun ini. Kurasa itu pertanda yang bagus, hehe. Tunggu,
harusnya mimpi pertama adalah malam nanti, bukan? Maka ini bukanlah mimpi
pertama...
Yukinoshita lalu kehilangan keseimbangan dan
bersandar di bahuku. Aku bisa merasakan berat tubuhnya dan aroma dari shampo
yang dia pakai. Kehangatan tubuhnya seperti menembus mantel yang dia pakai. Dia
juga sedikit mendengus dalam tidurnya, seperti melihatnya tidur sehari-hari.
Gerbong kereta terasa sedikit berguncang,
ditemani suara angin yang menabrak jendela dan suara-suara obrolan penumpang.
Meski begitu, yang kudengar hanyalah suara napas dari Yukinoshita yang tepat
berada di sampingku karena kereta yang bergoyang. Tubuhku terasa panas seketika
karena kontak yang tiba-tiba ini. Kalau aku bergerak, Yukinoshita akan
terbangun. Meski aku sendiri sebenarnya tidak menginginkannya untuk bersandar
kepadaku. Adegan ini cukup memalukan bagiku.
“H-hey...” kataku, tapi
Yuigahama menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya, memberitahuku untuk tetap
diam.
“Yukinon
sedang kelelahan,” dia membisikkan itu dari jauh.
Bagaimana
aku bisa membantahnya? Biasanya, aku langsung pindah tempat saja, tapi saat ini
aku bisa pindah tempat jika Yukinoshita tersadar dari tidurnya. Yuigahama lalu berjalan beberapa langkah ke depan, menaruh tangannya di pipinya dan melihat ke wajah
Yukinoshita sambil tersenyum. Kedua mataku bertemu dengannya, dan akupun
memalingkan wajahku.
Meski kita
sudah melewati beberapa stasiun. Beberapa...Eh
apa Chiba seluas itu? Rute ini serasa rute yang sangat panjang bagiku.
x x x
Suara yang berasal dari speaker pengumuman gerbong
kereta memberitahukan kalau kita akan sampai di stasiun berikutnya, dan kereta
mulai berjalan melambat. Tapi bibir Yukinoshita yang berkilauan ini masih
mendengus, dan dadanya terlihat membesar dan mengecil karena tarikan napasnya.
Aku jelas terpesona oleh gerakan ini, tapi
aku tidak boleh membuat mataku terus menatap tempat itu terlalu lama. Aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan, dan kita sudah sampai di stasiun.
Yuigahama
lalu berdiri dan pergi ke samping Yukinoshita.
“Yukinon,
kita sudah sampai,” Yuigahama mengatakan itu sambil menggoyang-goyang tubuhnya.
Yukinoshita
membuat suara seperti orang yang baru bangun tidur, dia membuka matanya dan
butuh beberapa detik untuk membuatnya benar-benar sadar. Dia lalu menyadari
posisinya itu dan menegakkan posisi duduknya.
“Ma-Maaf.”
“Tidak
masalah.” Aku membalasnya sambil memalingkan pandanganku. Akupun juga
membetulkan bahu dan leherku. Berat dari
tubuhnya sudah tidak terasa lagi, tapi aku masih bisa merasakan kehangatan
tubuhnya yang masih menempel di tubuhku.
Kami lalu keluar dari
kereta, disambut angin dingin yang menerpa wajah kami. Dengan cepat, sambil
menghindari itu, kami pergi ke arah tangga dan keluar dari stasiun. Stasiun ini
ini memang hanya terisi separuh dari kapasitas maksimal penumpang di hari-hari
biasa, dan yang terlihat saat ini hanyalah kami bertiga. Kesunyian ini ditambah
dengan tiupan angin yang dingin ini membuat suasana yang tenang.
Kota yang
sunyi di musim dingin. Kami lalu berjalan menuju apartemen Yukinoshita. Kedua
gadis di depanku, sedang aku sendiri beberapa langkah di belakang mereka. Kami
melewati taman yang berada di depan stasiun. Yukinoshita tampaknya sengaja membuat jarak denganku. Akupun juga
melakukan hal yang sama karena suasananya akan terasa sangat ‘awkward’ jika
kami saling menatap satu sama lain, meski begitu...
Bayangan yang
terlihat dari kedua gadis ini berasal dari lampu jalanan. Dari situ aku bisa
melihat kalau Yukinoshita sedang mendesah dan menyentuh keningnya. Mungkin dia
sedang menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian tadi. Yuigahama, sebaliknya,
tersenyum dan mengatakan sesuatu.
“Yukinon,
kau cantik sekali waktu tidur.”
Bahu
Yukinoshita tergetar. Dia melihat ke arah Yuigahama sejenak dan memalingkan
pandangannya. Yuigahama tersenyum: Tampaknya
kata-katanya tadi mendapatkan ‘jackpot’ dan Yukinoshita tersipu malu saat ini.
“Ah, sungguh
menyenangkan!” kata Yuigahama.
“Menyenangkan?”
Yukinoshita terlihat menggerutu.
“Yep,
menyenangkan!” Yuigahama menjawabnya dengan hangat hingga bisa melelehkan
kata-kata dingin dari Yukinoshita.
Setelah kata-katanya itu, aku dan
Yukinoshita hanya bisa terdiam.
Sejujurnya, kita ini diam bukan karena
sedih.
Yuigahama lalu
melangkah ke depan dan berbalik ke arah kami berdua.
“Oh, benar!
Pertamakalinya matahari terbit tahun ini! Laut kan dekat sini, ayo kita lihat!” datanglah ajakan tolol dari Yuigahama. Senyumku tiba-tiba
menyusut karenanya.
[note: jadi Hachiman bilang dia dan Yukino tidak
sedih, ternyata mereka berdua lagi senyum-senyum.]
“Eh?...”
Akupun menggerutu karena kesal.
“Jangan
menjawabku dengan sindiran itu,” Yuigahama menatapku dengan serius. Gua sengaja bangun jam 6 pagi hanya demi
melihat matahari terbit? OGAH.
“Pelabuhan
Tokyo ada di sebelah barat Chiba, jadi kita tidak bisa melihat matahari terbit
di laut...” Yukinoshita mengatakan itu, seperti kebingungan dengan sikap
Yuigahama. Yuigahama lalu terkejut.
“Be-benarkah?”
Tanyanya. Yukinoshita-pun tersenyum.
“Ya.
Matahari bersinar dari arah timur.”
“Aku tahu
kalau itu!”
Sepertinya
Yukinoshita berhasil balas dendam kepadanya soal tidur di kereta. Para gadis ini tampaknya bersenang-senang di
awal tahun ini...
“Memang
benar kalau kau tidak akan bisa melihat matahari terbit di kota Chiba, tapi di
Chousi ada tempat terkenal untuk melihat matahari terbit.”
Ada satu
tempat, di Gunung Inubosaki, lokasinya ada di ujung timur daratan Jepang.
Tempat itu ramai ketika tahun baru, dan macet merupakan hal yang biasa. Saat
ini tampaknya orang-orang pergi kesana semua. Pelajaran singkat tentang Chiba
telah berakhir.
Akupun
memberitahu itu kepada para gadis. Hasilnya, mereka hanya bisa terdiam.
“Hikki, kau
ini benar-benar Maniak Chiba,” Yuigahama menyadari hal itu.
Yang benar saja. Aku sudah lama dijuluki itu
disini.
Setelah kami
bertiga sampai di depan apartemen Yukinoshita, melewati pintu kaca otomatis,
dia berhenti dan menoleh ke arahku.
“Sampai
jumpa lagi. Terima kasih karena telah mengantarkanku pulang,”
Dia mengucapkan terima kasih kepadaku dengan
ekspresi malu-malu. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi aku hanya bisa
mengangguk, seperti pura-pura tidak ada apa-apa.
“Oke, selamat tinggal,”
kataku.
“Yeah,”
Yuigahama membalasku.
“Selamat
malam.”
Akupun
melambaikan tanganku, melewati pintu kaca otomatis tersebut lagi dan disambut
suasana malam. Akupun berhenti sejenak dan melihat jendela-jendela apartemen di
sekitarku, merenungi tentang tanggal 1 Januari ini. Kata orang, sepanjang tahun
situasinya tidak akan berbeda dengan apa yang kualami di tanggal 1 Januari.
Jadi ini artinya sepanjang tahun yang kualami adalah kekacauan-kekacauan ini?
Meski... aku tidak bisa mengatakan kalau aku
tidak menyukai ini.
Jalan terakhir bagi si
orang tua itu kalau tidak jalan yang sedih, pasti jalan yang menggembirakan.
Kurasa barusan itu kata-kata dari Ikkyu Sojun. Menggunakan logika itu, berarti
apapun yang kualami bisa diartikan sesuatu yang buruk, bisa juga sesuatu yang
bagus.
Kebiasaan
burukku adalah aku terbiasa melihat sesuatu dengan persepsi negatif, selalu mencari
hal-hal yang buruk tentang itu. Dengan pikiran-pikiran itu, akupun mulai
melangkahkan kakiku pergi dari apartemen ini. Tapi terdengar bunyi pintu kaca
otomatis tersebut terbuka, bersamaan dengan suara langkah kaki. Akupun berbalik
dan melihat Yuigahama.
“Hikki.”
“Apa?”
Tanyaku. Dia memegangi sanggul rambutnya dan terlihat agak ragu.
“Umm...Sampai
jumpa besok.” dia mengatakan itu sambil menatapku dengan penuh tanda tanya.
“Yeah,
sampai jumpa besok.” Akupun membalasnya sambil menatap ke arahnya. Yuigahama
lalu melambaikan tangannya sambil kembali masuk ke apartemen. Akupun melihatnya
pergi, dan membalikkan badanku untuk memulai langkahku di tahun yang baru ini.
Tahun dimana tidak ada satupun hal baru yang akan menantiku.
x Chapter II | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar