x x x
“Kaulah yang
sampah disini.”
...Itu
terjadi sebelum aku mengedipkan mataku.
Tanganku
menjadi panas luar biasa seperti sedang dijepit sesuatu. Punggung tanganku
terasa sakit, seperti kulitnya sedang melepuh, membengkak dan dipenuhi rasa
sakit.
Aku
menyadari kalau ternyata hanya tanganku saja yang merasakan sakit tersebut.
Aku pertama
kali menangis karena kekerasan seorang pria ketika balita dulu, dokter memukul
pantatku. Waktu itu, well, ada alasan untuk itu, bisa dikatakan aku menerima
hal itu, tapi kali ini, aku mendapatkan kekerasan karena menghampiri seorang
pria. Sebuah tindakan yang sangat kasar. Tindakan seperti ini bisa memicu
tuntutan hukum.
Aku
mengedipkan mataku. Air mata menyebar dengan cepat dari mataku. Ketika aku
mulai meninggalkan keadaan diriku yang menyedihkan ini, yang bahkan tidak
sanggup untuk menaikkan satupun jariku untuk menghentikannya, aku menatap
langsung ke arah Kusaoka-san, yang hanya membalasku dengan senyumannya yang
santai. Pura-pura bodoh, aku menatap diantara tanganku yang sudah gerah dan
wajah pria muda yang telah mengakibatkannya.
Meminta bantuan
ke orang lain bukanlah hal yang perlu dilakukan dengan meminta maaf. Dari
berbagai sudut pandang, orang ini adalah yang terburuk dari semua yang
terburuk.
“...Baiklah.”
Aku mengatakannya dengan nada yang agak tegang. Aku putuskan untuk memberikannya
hukuman yang terberat. “Baiklah kalau begitu. Aku kurangi Johannes poinku.
Silakan kau pulang ke rumah.”
“Wh-Whoa.
Kamu serius?”
“Cepatlah!”
“Wah...Coba
sejak awal aku tahu kalau akan berakhir begini...”
Kusaoka-san
terlihat pergi dengan lesu tanpa berusaha memprotes apapun. Meskipun
punggungnya terlihat rendah seperti diselimuti kesedihan, aku paham yang
terjadi.
Aku
memutuskan untuk membubarkan waktu dimana kita harusnya bisa menghabiskannya
bersama, tapi itu harus kulakukan agar dia memikirkan dengan baik segala
tindakannya hari ini. Dia sudah membuat Chigusa yang lemah dan penakut ini
sebagai musuhnya.
Ketika
membahas hubungan antar manusia, ketiga hal tersebut sangat penting. Dia sudah
membuatku kagum dan menakutkanku. Dan yang tersisa adalah mematuhiku. Memang,
yang akan dilakukan Kusaoka-san setelah ini hanyalah mematuhiku.
Setelah ada
pasangan terpisah, mereka akan bertemu lagi setelah merasakan penyesalan yang
mendalam dan perasaan ingin dimaafkan dalam sebuah adegan dimana seluruh
pemirsa bioskop di Amerika rasanya ingin menangis saja ketika melihat itu.
Bahkan termasuk Kusaoka-san, yang kurang dalam skill komunikasi, akan merasakan
kesendirian dan terisolasi setelah diusir seketika seperti tadi. Dia akan
merasa malu karena melakukan kesalahan. Berapa detik yang diperlukan baginya
untuk membalikkan badannya dan berlari kembali ke arahku?
Aku berpikir
bagaimana aku harus menerimanya kembali. Haruskah aku tersenyum dan menaruh
tanganku di bahunya? Atau haruskah aku membuat jari-jari kakinya untuk
menyentuh keningnya sendiri? Aku mungkin akan membiarkannya menunggu di tengah
salju dan hujan, a la ‘Walk to Canossa’. Insiden ini akan tertulis
dalam buku resmi ‘Pekerjaan Chigusa’, dan akan dikenal luas ke seluruh negeri
sebagai bukti akan adanya eksistensi dari keadilan.
Entah
mengapa, ini membuatku antusias. Mungkin sangat klise ketika mengatakan kalau
waktu berlalu dengan cepat ketika kau sedang bersenang-senang, tapi itulah yang
terjadi denganku. Ketika kulihat aplikasi stopwatch di smartphoneku, satu menit
sudah lewat begitu saja, dan kemudian tiga menit, lima menit, dan kemudian...hmm?
Tidak peduli
seberapa lama aku menunggu, Kusaoka-san tidak kembali. Meski aku fokuskan
pendengaranku, yang terdengar hanyalah suara helikopter dan tangisan
kesendirian para burung yang hidup di malam hari. Seperti orang bodoh, aku
berdiri sendiri di lorong, sendirian.
Ketika aku
melihat jendela terdekat, aku terkejut.
Di gerbang
hitam yang menjulang tinggi dalam kegelapan malam. Disana, di pintu samping,
ada seseorang.
Dari
bayangannya, itu jelas Kusaoka-san. Entah apa dia tahu kalau aku sedang
melihatnya atau tidak, dia melambai-lambaikan tangannya dengan gembira ke
arahku, setelah itu dia pergi ke arah perumahan
dekat sekolah dan menghilang dalam kegelapan malam. Kalau aku
memanggilnya dengan tergesa-gesa pada saat ini, maka aku hanya akan mendengar
suara mesin penjawab. Apa dia sedang bermain-main denganku? Dia harusnya ada
disini, di sisiku.
Aku bisa
mendengarkan suara kertakan gigiku yang berada dalam mulutku. Kedua kakiku
menghentak lantai untuk melampiaskan rasa frustasiku. Berpikir kalau dia telah
membodohiku. Kalau sudah begini, aku akan berubah menjadi Super Saiyan Johannes
untuk mengawali kejadian buruk ini, sebuah konflik yang serius...
“...Ya
ampun.”
Aku
keluarkan kekesalanku. Aku memutar badanku dari arah jendela secara perlahan.
“Ini konyol
sekali...”
Ini adalah
hal terkonyol yang pernah kualami. Kalau akhirnya memang akan menjadi begini,
baiklah. Aku akan bermain seperti permainannya. Aku tidak akan mau lagi membagi
sumber daya diriku yang berharga dengannya.
Tak
terbayangkan rasanya kalau sekarang akulah yang mengikutinya, aku akhirnya memutuskan untuk meninggalkan gedung sekolah. Di luar, angin malam seperti menyelimutiku. Tidak
ada satupun yang melindungiku dari angin ini. Tentunya, aku juga tidak
membutuhkan siapapun sejak awal.
Tanganku masih diselimuti rasa sakit. Entah
apa itu karena kata-katanya sudah mengenaiku ataupun hal-hal lainnya,
memikirkan itu saja sudah menggangguku, jadi aku putuskan untuk tidak
membahasnya lagi. Aku kepalkan tanganku. Jadi rasa sakit itu akan pergi dengan
lebih cepat. Dengan begitu, aku bisa tidak mempedulikan rasa aneh di hatiku ini.
Orang yang
menyedihkan.
Orang yang
benar-benar menyedihkan.
- Chapter V | END -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar