x Chapter VII x
Memasuki akhir dari bulan November, malam terasa lebih dingin dari
biasanya.
Meski begitu, aku tetap bermandikan keringat karena mengayuh sepeda
sekuat tenaga untuk pulang ke rumah.
Dengan
napas tersengal-sengal, aku masuk ke rumahku.
Aku
langsung menuju ke kamar mandi, melepas semua seragamku, dan membiarkan air
menyirami kepala hingga kakiku.
Airnya ternyata terlalu panas sehingga membuat tubuhku yang dingin ini
kesakitan.
Meski
begitu, suasana hatiku tidak berubah. Jadi aku sudahi mandiku ini dan mematikan
airnya.
Yang terlihat dari cermin di depanku ini adalah diriku yang basah dari
atas hingga bawah. Dan seperti biasanya, wajahku yang terlihat suram.
Kukeringkan diriku dengan handuk, dan memakai baju rumahan.
Ketika aku membuka pintu ruang keluarga, hanya ada kucingku, Kamakura
disana. Dia sedang tertidur di sofa.
Kurasa, tidak ada yang lebih baik daripada ‘terapi hewan peliharaan’
ketika kau sedang kelelahan. Aku mengayuh sepedaku terlalu keras sehingga
menciptakan banyak sekali asam laktat, aku merasakan lelah yang luar biasa.
[note: Asam Laktat adalah semacam
penguraian akhir bentuk-bentuk energi dalam tubuh yang berasal dari
karbohidrat, lemak, protein. Terlalu banyak asam laktat menumpuk akan
menyebabkan kelelahan. Terima kasih Captain
Obvious!]
Ketika aku duduk di sofa, aku membalikkan tubuh Kamakura, bermain-main
dengan telinganya, meremas cakarnya, dan mengubur wajahku di perutnya. Sial,
ini ternyata sangat menyenangkan!
Kamakura menatapku dengan ekspresi yang terganggu karena diajak bermain.
Yang kupikir dari tatapannya adalah ‘Ada apa dengan bajingan ini, meow...?’.
Kamu tidak suka itu ya? Ahahaha kamu temanku yang lucu.
“Hahahaha...Haha...”
Mendengar tawaku yang seperti itu, membuatku merasa sedih.
“Maaf soal itu ya.”
Aku
meminta maaf ke Kamakura sambil mencoleknya sekali, tapi dia langsung
memalingkan wajahnya dariku dan melompat keluar dari sofa. Dia lalu menuju
pintu depan yang sedikit terbuka dan membukanya dengan cakar-cakarnya. Dia lalu
meninggalkanku di ruang keluarga. Hoi,
tutup pintunya dong! Ini sudah musim dingin dan anginnya super dingin!
Dengan
perginya Kamakura, aku sekarang sendirian disini.
Biasanya, ini adalah waktu berharga yang bisa kugunakan untuk bersantai
dan menghabiskan waktu.
Tapi, dengan suasana sunyi ini, kepalaku dari tadi terus memikirkan hal
yang sama.
Tidak lain adalah tentang pemilihan Ketua OSIS.
Yukinoshita dan Yuigahama. Jika salah satunya terpilih menjadi Ketua
OSIS, apa yang mungkin terjadi? Hilangnya Klub Relawan. Bagiku, itu tidak
masalah. Mau bagaimana lagi. Itu akan terjadi cepat atau lambat. Bahkan jika
tidak ada apapun, klub akan bubar dengan sendirinya ketika kita lulus.
Itukah masalahnya? Aku sudah tahu kalau klub itu akan bubar cepat atau
lambat. Jadi, masalahnya dimana?
Tunggu dulu, bukan begini, pertama-tama ‘kenapa aku malah mencari
masalah?’.
Faktanya, sikap mencari masalah itu sendirilah yang akan menjadi
masalah.
Entah aku sedang berpikir serius atau bodoh, tidak ada jawaban yang
muncul di kepalaku.
Aku
menatap ke arah langit-langit dan melepaskan napas beratku yang sedari tadi
kutahan.
Kalau aku tidak paham masalahnya, maka tidak akan ada jawabannya.
Yang menjadi dasar itu adalah aku tidak punya alasan yang membuatku
melakukannya.
Alasan
yang membuatku bertindak. Alasan yang bisa menangkap masalahnya.
Kalau tidak ada alasannya, maka tidak ada masalahnya.
Request Isshiki adalah hal yang sudah pasti terselesaikan dengan majunya
Yukinoshita dan Yuigahama. Bahkan bisa kaukatakan rencana itu akan sukses
dengan peluang yang sangat besar.
Kalau begitu, tidak ada yang perlu kulakukan.
Oleh karena itu, kalau kita memang bertujuan untuk menyelesaikan kasus
Isshiki, maka aku tidak punya alasan untuk menolak alasan mereka berdua.
Tapi
entah mengapa, ada perasaan tidak nyaman di pikiranku. Pertanyaan ‘apakah kamu
tidak masalah dengan ini?’ terus berputar-putar di pikiranku.
Sial, ada apa ini? Menyadari hal itupun membuatku mendapatkan masalah
juga.
Meski begitu, kebanyakan semua masalah hingga saat ini selesai
karena...Yang terpenting, aku tidak punya seorangpun yang bisa kuajak bicara
mengenai masalahku. Meski ada seseorang, akupun ragu kalau aku sendiri mampu
menceritakannya kepada dia.
Manusia hanya bisa berbicara mengenai masalahnya kepada orang
terdekatnya ataupun orang yang selama ini mendukungnya.
Jika kamu berusaha melewati batasmu dan bergantung kepada mereka, kalian
berdua akan menemui akhir. Sederhananya, ini seperti meminta tolong ke teman
yang selama ini kau kenal baik dan akhirnya kamu merasa berhutang budi.
Dengan begitu saja, daftar orang yang bisa kumintai tolong sudah terlalu
sedikit.
Jika kamu tidak bisa mensupport seseorang, maka kamu tidak layak untuk
meminta tolong kepadanya.
Jika kami berdua bertemu kata ‘akhir’, maka aku akan terjebak hutang
kebaikan kepada orang yang menolongku. Dan kemudian, aku akan terpaksa
mempercayai orang itu sampai hutangku lunas.
Hidup tanpa mengganggu orang lain adalah jalan hidup seorang penyendiri.
Tidak menjadi beban adalah kehormatan dan harga diri mereka. Oleh karena itu,
cukup normal jika aku mempertahankan harga diriku hingga saat ini.
Oleh karena itu, aku tidak meminta tolong ke orang lain dan tidak
membiarkan orang lain menggantungkan diri kepadaku.
Tapi akan ada satu pengecualian, yaitu ‘keluarga sendiri’.
Kamu bisa meminta tolong ke keluargamu. Akupun juga tidak keberatan jika
keluargaku meminta tolong kepadaku.
Meski Ayahku terlihat seperti orang yang tidak berguna, meski Ibuku
terlihat ceria dan kadang mengganggu, bahkan jika diriku seperti tidak ada
manfaatnya, bahkan jika adikku yang manis itu kadang kejam kepadaku.
Jenis hubungan seperti itu tidak perlu alasan.
Bahkan, kalau ditanya alasannya, cukup mengatakan ‘karena mereka
keluarga saya’ sudah dirasa logis.
Jadi jika saat ini aku ingin meminta tolong...Apakah itu berarti
seseorang dari keluargaku?
Hmm, tapi ini bukanlah topik yang bisa dibicarakan dengan Orang
Tuaku...Hmm, tugas mereka hanya membesarkanku, kadang membuatku sebal, dan
memberiku cinta, benar tidak? Biarkan mereka mengkhawatirkan umur dan kesehatan
mereka saja daripada mengkhawatirkan masalahku, oke? Lalu pintu ruang keluarga
terbuka.
Apa
Kamakura? Ternyata yang masuk ke ruang keluarga adalah Komachi yang memakai
kaos yang berukuran besar.
Dia
tampaknya habis belajar dan hendak mencari minum di kulkas sambil tidak
mempedulikanku. Tapi tampaknya dia tidak menemukan satupun minuman yang
disukainya dan dia menutup pintu kulkas tersebut.
Aku
lalu memanggilnya.
“Komachi.”
“...Apa?”
Dia
memalingkan wajahnya ke arahku. Dia masih marah rupanya...Mungkin ini bukan
waktu yang tepat. Tapi jika aku bilang ‘tidak ada apa-apa’ mungkin akan
membuatnya bertambah marah.
“Aah...Kamu mau kopi?”
Aku
agak khawatir akan responnya, tapi dia mengangguk.
“...Oke.”
“...Oke kubuatkan.”
Aku
berdiri dan bersiap membuat kopi. Aku menuangkan air ke teko dan menaruhnya di
kompor. Sambil menunggu airnya mendidih, aku ambil dua mug dan kopi instan.
Komachi menopang dagunya di meja dapur, menunggu airnya mendidih.
Akupun hanya berdiri terdiam.
Setelah itu, airnya mendidih dan kutuangkan ke mug. Lalu aku memberikan
mugnya ke Komachi.
“Ini.”
“Hmm.”
Komachi mengambilnya dan berjalan lagi ke pintu. Tampaknya dia hendak
kembali ke kamarnya.
Sikapnya itu sepertinya mengatakan tidak akan mau berbicara denganku hingga
ada kata ‘damai’. Tapi aku tidak mau menunggu itu dan memanggilnya.
“Hei, Komachi...”
“....”
Komachi berhenti di depan pintu. Dia diam saja disana tanpa memalingkan
wajahnya kepadaku.
“...Aku ingin membicarakan sesuatu.”
“Hmm. Baik, akan kudengarkan.”
Dia
meresponnya seperti itu dan menyandarkan tubuhnya di tembok.
Setelah ‘perang dingin’ selama seminggu, kami kemudian saling menatap
satu sama lain dan tertawa.
Komachi lalu menghentikan tawanya.
“Tapi, tampaknya ada yang harus kau katakan dahulu, benar tidak?”
Seperti katanya, meminta tolong kepadanya pertama kali memang terdengar
egois.
“...Hmm, bagaimana ya, terakhir kali. Maaf ya sudah berbicara seperti
itu.”
Lalu dia masih terlihat kecewa.
“Tidak hanya itu. Kelakuanmu, sikapmu, dan juga matamu itu.”
“Yeah... begitulah.”
Mau
bagaimana lagi, akupun tidak punya satupun pembelaan.
“Lagipula, aku berani bertaruh kalau masalahmu itu pasti gara-gara
ulahmu.”
“Aah, kau benar soal itu.”
“Juga, kau belum benar-benar minta maaf.”
“Hmm...Oke itu juga benar.”
Memang, kata-kataku tadi tidak bisa dibilang minta maaf.
Sebelum aku mengatakan ulang, Komachi memotongku.
“Tapi, karena ini Oni-chan, kurasa itu cukup, selama Komachi masih
peduli. Tapi, karena Komachi ini masih adikmu, jadi kumaafkan.”
“Terima kasih...”
Memang benar aku yang membuatnya marah, tapi sikapnya bukankah terlalu
sombong...? Komachi tampaknya bisa membaca pikiranku barusan, jadi aku
memalingkan wajahku darinya.
“Juga...Komachi minta maaf yaaa.”
Komachi lalu menunduk ketika mengatakannya. Melihatnya begitu, aku
tersenyum ke arahnya.
“Nah, tidak perlu khawatir soal itu. Aku akan memaafkanmu, aku kan
kakakmu.”
“Whoaa, orang ini arogan sekali!”
Kami tersenyum kecil ketika mengatakannya. Lalu aku meminum sedikit
kopiku ini. Kopinya terasa nikmat meskipun tidak ada susu, gula, ataupun krimer
di dalamnya.
Komachi menaruh mugnya di meja dan bertanya kepadaku.
“Jadi, apa yang terjadi?”
“Panjang ceritanya.”
“...Tidak masalah.”
Ketika kujawab, Komachi lalu berjalan ke sofa dan duduk di sebelahku.
x x x
Menceritakan cerita yang super, super panjang ke Komachi akhirnya
selesai. Aku memberitahukan kepadanya dari darmawisata hingga pemilihan Ketua
OSIS kali ini.
“Begitu ya...Tapi itu memang terdengar seperti hal yang akan kau
lakukan. Tapi tahu tidak? Mungkin yang bisa memakluminya hanyalah aku. Karena
kita sudah hidup bersama sejak lama, jadi aku bisa mengerti.”
Dia
lalu duduk di sebelahku dan meminum kopi di mugnya.
“Aku bahkan berpikir orang ini sangat bodoh dan menertawakannya. Orang
ini sudah tidak tertolong lagi...tapi, aku juga merasa sedih melihatnya.”
Komachi menaikkan kakinya ke sofa dan memeluk kakinya.
“Tapi orang lain tidak akan bisa memahaminya. Mereka tidak akan paham
dan mereka juga merasakan sakit yang luar biasa.”
Aku
tidak berharap orang lain akan memahamiku. Itu mungkin adalah sesuatu yang
kausebut ‘memuaskan diri sendiri’. Sebenarnya, aksiku kemarin bukan untuk
siapapun. Mustahil mereka bisa mengerti atau bersimpati.
Kecuali adikku, Komachi. Meski begitu, Komachi terlihat sedih.
“Kamu baik begitu kepadaku karena aku adalah adikmu...Jika bukan adikmu,
aku yakin kamu tidak akan berminat untuk dekat denganku.”
“Nah, entah kalau itu.”
Aku
menjawabnya begitu saja sesuai pikiranku.
Komachi yang bukan adikku? Whoaa, gadis ini sangat cantik dan ber-spec
tinggi! Aku tampaknya bisa melihat kalau aku akan bunuh diri jika lamaranku
ditolaknya, jadi aku pasti akan berhenti untuk dekat dengannya.
Tapi, itu tidak akan terjadi. Aku sendiri bahkan tidak bisa membayangkan
Komachi bukanlah adikku. Meski begitu, ini tidak ada hubungannya dengan
siapapun. Apakah dia adikku atau tidak, aku memang tidak berminat untuk dekat
dengan siapapun sejak awal.
Komachi tetaplah Komachi. Dia tetaplah adikku.
“Kita kesampingkan hal itu, dan aku bersyukur karena kau adalah adikku.
Whoa, tadi itu sangat tinggi dalam Poin Hachiman!”
“O-Oni-chan!”
Komachi terlihat seperti hendak menangis saja, tapi berikutnya dia
mengatakan sebuah sarkasme lagi.
“Tapi bagi Komachi, kalau kamu bukanlah Oni-chan, aku pasti tidak mau
dekat-dekat denganmu.”
...Eh tunggu dulu, apa gadis ini masih marah kepadaku?
“Tunggu dulu, meski begitu aku masih punya beberapa hal yang kamu sukai
bukan?”
“Tidak, tidak ada sama sekali.”
Kamu tidak perlu sampai segitunya...Kakakmu sangat sedih sekarang. Tidak
lupa kalau ketika mengatakannya dia memasang ekspresi serius.
Dia
memang tidak manis sama sekali...
“Tapi bukankah ini semacam perasaan cinta yang terbentuk karena 15 tahun
bersama-sama? Ah..barusan itu sangat tinggi di Poin Komachi!”
Uh
uh, barusan itu sangat rendah di poin Komachi.
Tapi memang, kata-katanya cukup meyakinkanku.
“...Hmm,
jadi begitukah yang terjadi jika kita hidup bersama selama 15 tahun?”
Tiba-tiba, bahuku terasa berat. Ketika kulihat, Komachi sedang bersandar
disana.
“Lima belas tahun dari sekarang. Tidak, bukan itu. Pasti akan ada yang
bersedia menemani Oni-chan ke depannya.”
Memang, itu hanyalah sebuah kemungkinan.
Kalau Komachi saja mau bersamaku selama 15 tahun sampai saat ini, mungkin saja
ada diluar sana seseorang yang memang bersedia bersamaku.
Tapi untuk situasi saat ini, kurasa itu
masih kurang logis.
“Baiklah, cukup basa-basinya.”
“Kamu pikir aku sudah berapa lama mendengar basa-basimu dari tadi?”
Ketika aku membalasnya, Komachi malah mengatakan sarkasme lagi. Lalu dia
mencolek pipiku dengan jarinya.
“Ada hal yang lebih penting untuk dibahas saat ini dan ada hal yang bisa
dibahas belakangan! Oke?!”
“Benar...”
Setelah itu, Komachi menarik jarinya dan melanjutkan kata-katanya.
“...Bukan hanya bagimu, tapi juga Komachi. Komachi kan mau ke SMA Sobu.
Aku juga menyukai Yukino-san dan Yui-san. Oleh karena itu, aku tidak suka jika
klub bubar. Maksudku, jika bubar, maka kita semua akan berpisah.”
Sambil menyandarkan kepalanya di bahuku, Komachi mengatakannya dengan lembut.
“Oleh karena itu, demi Komachi, demi teman-teman Komachi, apakah ada
yang Oni-chan bisa lakukan?”
“...Kalau adikku yang meminta, bagaimana aku bisa bilang tidak?”
Aku
adalah kakak yang akan melakukan apapun untuk adiknya.
Itulah jawaban yang Komachi berikan untukku.
Jika dia tidak pernah mengatakannya, maka aku mungkin tidak akan
bertindak sama sekali.
Alasan yang selama ini kucari.
Sebuah alasan yang sempurna bagiku agar melindungi tempat itu dan waktu
itu.
“Uh
huh, ini demi Komachi. Komachi yang super egois. Kamu tidak boleh mengatakan
tidak!”
“Serius nih.”
Aku
lalu menggosok-gosok rambut kepalanya. Ketika dia bilang ‘kyaaa’, dia lalu
berkata.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Komachi menjawabku dengan senang. Aku lalu memindahkan tanganku dari
kepalanya dan melihat ke arah jam.
“Kupikir ini sudah larut malam.”
“Oke, selamat malam.”
“Yeah, selamat malam.”
Komachi berdiri dan pergi ke ruangannya.
Aku
melihatnya pergi, dan berbaring di sofa lagi.
Aku
akhirnya punya sebuah alasan dan masalah.
Aku
masih tidak mengerti apa tujuan Yukinoshita. Oleh karena itu aku tidak mampu
mengatakan apapun soal itu.
Metode Yuigahama juga tidak meyakinkan. Tapi, aku bisa mengerti itu.
Karena itulah yang kulakukan selama ini.
Lagipula, caraku selama ini bukanlah semacam menjadi korban. Aku cukup
yakin soal itu.
Aku
berhadapan dengan pilihan yang terbatas, mencari efisiensi, dan aku melakukan
yang terbaik. Hasilnya, kita jelas-jelas telah memperoleh sesuatu.
Oleh karena itu, secara subjektif, ini sempurna.
Tapi jika ternyata ada pilihan alternatif yang tidak kusadari, maka kesempurnaan
itu langsung hancur seketika.
Bahkan, pandangan kasihan dan simpati itu sendiri mencerminkan sebuah
rasa narsis yang klise. Kasihan dan simpati adalah emosi yang melihat rendah ke
orang lain. Mengasihani dirimu sendiri adalah sikap yang mempermalukan dirimu
sendiri. Keduanya adalah tindakan yang buruk.
Tapi aku yakin ada hal yang lebih objektif dari rasa kasihan dan
simpati.
Ketika itu terlihat di depan mataku, itu adalah pertama kalinya aku
sadar akan hal itu.
Aku
ini...tidak ingin melihat seorangpun terluka.
[note: Ini juga warning dari Sensei di vol
9 chapter 5, Hachiman harus berhenti mempercayai bahwa dia tidak ingin
seorangpun terluka. Pasti akan ada yang terluka.]
Perasaan itu berbeda dari kasihan dan simpati.
Oleh
karena itu, aku tidak akan menyebutnya menjadi korban dan tidak akan membiarkan
seorangpun memanggilnya seperti itu.
Agar Yukinoshita Yukino dan Yuigahama Yui tidak menjadi calon Ketua
OSIS, apa yang bisa Hikigaya Hachiman lakukan?
x x x
Pagi
harinya, setelah semalam sudah berbaikan dengan Komachi.
Aku
memikirkan ini terus menerus sejak pagi.
Apa
yang bisa Hikigaya Hachiman lakukan?
Pertama, posisiku tidak punya sebuah keuntungan untuk memilih.
Misalnya, aku bukanlah calon Ketua sehingga aku tidak bisa konfrontasi
langsung dengan mereka.
Atau bagaimana jika aku berusaha mengacaukan kampanye mereka? Lagipula
akan terlihat buruk jika aku melakukannya. Bukannya aku ingin backstab mereka
atau semacamnya.
Jadi hasilnya hanya 2 hal, dan mengacaukan kampanye mereka adalah salah
satunya...Tampaknya aku hanya punya sedikit pilihan.
Jika aku ikut menjadi calon, melihat bagaimana spesifikasiku, tampaknya
aku akan menjadi calon terburuk.
Tapi ini hanya penutupnya saja, aku tidak punya seorangpun untuk diajak
kerjasama. Inilah kali pertama diriku merasa maklum untuk meminta tolong orang
lain dan aku cukup menyesali karena tidak punya teman untuk diandalkan.
Setelah sampai di sekolah, aku terus berpikir dan berpikir. Tidak ada
waktu lagi, pemilihan akan berlangsung kamis minggu depan, sedang hari ini
adalah Selasa.
Mencegah Isshiki Iroha terpilih berarti membiarkan Yukinoshita dan
Yuigahama terpilih. Aku tidak tahu harus memikirkan skema apalagi.
Ada
juga cara yaitu mencalonkan kandidat baru. Tapi akulah yang menolak ide itu
pertama kali.
Menunda pemilihan? Atau menghancurkan sistem pemilihannya?
Tapi keduanya adalah hal yang tidak realistis.
Meski begitu, aku harus melakukan sesuatu.
Aku
akhirnya menuju ke perpustakaan untuk mencari sesuatu yang tidak bisa kulakukan
sendirian.
Perpustakaan ketika jam makan siang terlihat sepi.
Ini
karena di Perpustakaan tidak diperbolehkan untuk makan ataupun minum, jadi ini
bukanlah tempat populer ketika istirahat. Populer hanya mendekati ujian saja.
Aku
lalu mencari buku tentang aturan dan undang-undang SMA Sobu, juga
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Pemilihan Ketua OSIS.
Ketika tanganku berusaha menggapai rak yang tertinggi, jari-jariku tidak
sengaja membuat beberapa buku terjatuh.
“Whoa.”
Meski aku menghindari buku-buku itu kena kepalaku, tapi buku-buku
tersebut malah kena ke dadaku.
Suara buku yang terjatuh menggema di perpustakaan yang sunyi ini. Ada
beberapa orang yang menatap ke arahku dengan tatapan curiga. Tidak, tidak, aku paham perasaan kalian. Aku
juga akan bersikap sama jika melihat beberapa orang idiot di perpustakaan.
Jadi aku
pura-pura terbatuk untuk menenangkan suasananya dan mengembalikan buku-buku
tersebut ke raknya.
Aku
mengambil posisi jongkok dan mengambil buku-buku tersebut. Ketika aku
melakukannya, sebuah suara muncul dari belakangku.
“Sungguh pemandangan yang langka, Hikigaya Hachiman. Wahaha!”
Aku
bahkan tidak perlu membalikkan badanku untuk tahu itu suara siapa. Zaimokuza
Yoshiteru berdiri di belakangku dan menertawakanku.
“Jangan berteriak, goblok! Buku-buku ini untuk penelitianku. Kamu ada
sesuatu apa bagaimana?”
“Pertanyaan yang bodoh! Ketika jam makan siang, aku biasanya
menghabiskan waktuku disini. Ketika aku tidak sengaja melihatmu disini, kupikir
aku sebaiknya menyapamu!”
Sial kau, sungguh mengganggu! Menyapanya saja sudah membuatku letih.
Zaimokuza lalu ikut-ikutan jongkok dan menatapku.
“...Hmm? Ada masalah apa Hachiman? Apa ada hal yang kamu khawatirkan?”
“...Tidak ada, hanyalah hal-hal tidak penting. Itu saja.”
Aku
tidak mau menceritakan ini ke orang lain. Tetapi, Zaimokuza membetulkan posisi
kaca matanya dan berbicara.
“Ceritakanlah kepadaku!”
“Tidak, aku tidak apa-apa. Ini bukanlah sesuatu yang bisa kuceritakan ke
orang lain.”
“Jangan bodoh. Coba ingat berapa kali kau harus mendengarkan omong
kosongku hingga hari ini...? Setidaknya kali ini biarkan aku mendengarkan
ceritamu...Hmph, aku, adalah pria yang membantu orang-orang yang lemah. Aw, aku
memang keren!”
Apa
kamu mabuk? Juga ‘lemah’ katamu...?
Entah apapun itu, itu bukanlah kata-kata yang biasanya keluar dari mulut
Zaimokuza. Akupun tersenyum mendengarnya.
“...Mungkin kupertimbangkan jika kau tidak mengatakan kalimat terakhirmu
tadi. Jadi, kamu barusan meniru kata-kata siapa?”
Aku
mengatakannya dan Zaimokuza tersenyum.
“Tidak, itu benar-benar dari diriku.”
“Goblok lu! Jangan bilang sesuatu yang keren begitu!”
Aku
separuh terkesan dan separuh kecewa.
Mungkin kalau dia, maka...
Kalau dia, mungkin dia tidak akan melihatku sebagai beban. Aku bahkan
tidak akan peduli apakah dia akan repot atau bagaimana. Dia adalah pria yang
seperti itu, tidak akan menarik kata-katanya. Dengan kata lain, dia mirip
denganku.
Tapi kalau dibilang tidak berguna, dia juga
termasuk. Meski begitu, kami berdua sudah menjadi partner pelajaran olahraga
dalam waktu yang lama. Meskipun, kami adalah partner yang tidak berguna.
“...Zaimokuza, aku mau minta tolong.”
“Oh
homm, baiklah. Jadi, kita akan melakukan apa?”
Aku
terkejut dengan responnya dan masih belum tahu apa yang ingin kuminta tolong
darinya.
“Hmm, pertama...bantu aku merapikan ini.”
“O-oke...Mungkin, kau sebaiknya lupakan tawaranku untuk membantumu
tadi...”
Meskipun
dia mengatakan itu, dia merapikan buku-buku itu untukku.
Maaf saja, ini akan berkembang menjadi sesuatu dimana Zaimokuza dan
diriku tidak akan pernah mengira. Apapun itu, ini akan berakhir dengan buruk.
Zaimokuza dan diriku akan bekerja sama. Sangat jelas dimana ini akan berujung.
x x x
Aku
menceritakan garis besar masalahnya kepada Zaimokuza dan mendiskusikannya lebih
lanjut seusai sekolah.
Ketika pengarahan Wali Kelas di jam terakhir selesai, para siswa mulai
beranjak meninggalkan kelas. Ada yang pergi ke klub, ada yang pergi ke rumah,
ada pula yang pergi bersenang-senang.
Diantara orang-orang itu, ada beberapa grup yang masih berada di kelas.
Sebuah grup yang terdiri dari gadis berambut pirang, berambut coklat, dan
berambut hitam tampak mencolok diantara grup tersebut.
Sambil memegangi rambut coklat yang sedikit berwarna pink itu, Yuigahama
berkata.
“Hmmmm, mmmm...”
Dia
memegang pensil, tapi tidak menggerakkannya sama sekali.
Duduk tidak jauh darinya dan sedang memainkan rambut pirangnya, Miura.
“Ah, bagaimana jika kita menjanjikan boleh memakai pakaian biasa ketika
ke sekolah?”
“Nah, itu dia!”
Yuigahama lalu menulis ide Miura di kertasnya. Tapi, dia lalu sedikit
ragu-ragu.
Duduk di seberangnya, Ebina-san juga sedang memegangi rambut hitamnya
dan berkata.
“Akan sangat bagus jika kita bisa menjanjikan tidak ada lagi razia
barang-barang pribadi di loker dan tas. Itu membuatku ketakutan, looh! Aku
sering menaruh doujin yang kupinjam dari temanku di tas.”
“Itu hanya keinginan pribadimu saja, Ebina.”
Miura mengatakannya ke Ebina-san yang sedang tertawa.
“Hmmm, aku akan tulis itu dulu.”
“Kamu tidak perlu menulis idenya tadi. Ngomong-ngomong, aku ingin bisa
makan siang di atap sekolah juga.”
“Eh, itu boleh juga!”
Tampaknya, ketiganya sedang memikirkan bahan kampanye mereka. Mungkin
grup para pria yang berisi Hayama sedang tidak ada di kelas. Tapi, setahuku
Hayama akan berkampanye untuk Yukinoshita, jadi kurasa wajar kalau dia tidak
muncul dalam rapat kampanye Yuigahama.
Sejak Miura melihat Hayama jalan dengan Orimoto dan temannya tempo hari,
Miura selalu terlihat terganggu dan penuh tanda tanya kepada Hayama. Tapi
karena tersangkanya sedang tidak ada di kelas, dia terlihat sedang menikmati
suasana menyenangkan bersama teman-temannya.
“Juga, bus yang menuju sekolah terlalu ramai. Sangat mengganggu.”
Dia
memainkan rambutnya dan menyilangkan kakinya ketika mengatakannya...Tidak,
tampaknya situasinya lebih buruk dari biasanya.
“Apa itu memang tugas Pengurus OSIS? Ah, sudahlah, kutulis juga.”
“Ah, aku juga menginginkan ruangan seni memiliki tablet.”
“Tablet...Aku tidak cukup paham maksudnya, tapi akan kutulis!”
Sambil melihat mereka bertiga, aku berdiri dari tempat dudukku.
...Yuigahama tampaknya serius merencanakan kampanyenya. Cara dan ide-ide
kampanyenya memang mirip dengannya.
x x x
Ketika aku menuju Saizeriya di dekat Stasiun, Zaimokuza sudah berada
disana. Aku bahkan dengan mudah menemukannya tanpa melirik ke dalam restoran.
Aku lalu duduk di seberang kursinya.
“Maaf membuatmu menunggu.”
Aku
mengatakannya, tapi dia melambaikan tangannya seperti tidak keberatan. Mulutnya
seperti sedang mengunyah sesuatu, kulihat di mejanya ada piring yang sudah
kosong. Melihat apa yang tersisa di piringnya, tampaknya dia memakan focaccia.
Ngomong-ngomong,
aku tidak sempat makan siang. Kupikir aku akan memesan makanan juga. Sambil
membuka menu, tampaknya aku menyadari sesuatu. Bisa jadi diskusi kita akan
memakan banyak waktu, kalau beegitu, mungkin ada baiknya kalau aku
mempertimbangkan ini juga sebagai makan malam.
Aku
mengambil HP-ku dan menelpon Komachi. Sebuah lagu yang tidak dikenal mengisi
nada panggilnya. Kenapa tiap kali aku menelponnya, selalu ada lagu ini...?
Komachi lalu mengangkat telponnya.
“Ya, ya?”
“Tidak perlu menyiapkan makan malam untukku hari ini.”
“Kenapa begitu?”
“Aku ada pertemuan dengan Zaimokuza, er, semacam berdiskusi atau
semacamnya.”
“...Hmmm, kamu memangnya makan dimana?”
“Saizeriya dekat sekolah.”
“Oke!”
“Hmm.”
Telponnya diputus. Tampaknya mengirim SMS kepadanya lebih efisien
daripada menelponnya.
“Sekarang, Hachiman. Bukankah sebaiknya kita mulai...? Meskipun aku
sendiri tidak tahu kita akan mengerjakan apa.”
Meski dia tidak paham betul situasinya, dia masih bersemangat.
“Sebelum itu, apa tidak masalah kalau aku makan sebentar? Aku kelaparan
nih.”
“Hoo, jadi kau perlu mengisi perutmu dulu? Oke, makanlah dahulu.”
“Terima kasih.”
Setelah mengatakannya, aku menekan tombol ‘pesan’. Sebagai pelanggan
‘PRO’ di Saizeriya, aku tidak perlu melihat satu persatu menunya. Sebagian
besar, menu-menu harian sudah ada dalam kepalaku. Aku membuka daftar menu hanya
untuk memeriksa apakah ada promo menu baru atau semacam itu.
Kemudian, pelayan datang.
“Milanese Doria dan sepaket menu makanan bakar beserta minumannya.”
Aku
bisa mendengar bunyi-bunyi tombol ditekan di semacam smartphone yang dibawa
pelayan tersebut, lalu Zaimokuza menaikkan tangannya.
“Ah, juga bisakah saya pesan Ayam Bumbu...juga Hayashi Tumeric.”
Kamu masih ingin makan lagi...? Tidak, kupikir itu tidak apa-apa.
Makanan disini memang enak.
x x x
Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam untuk memakan pesanan kami.
Setelah perut kami kenyang, kami memutuskan untuk masuk ke topik utamanya.
“Oke, kamu sudah paham soal pemilihannya?”
“Memang. Jadi misi utama kita adalah mencegah keduanya terpilih,
begitu?”
Zaimokuza mengangguk, tapi tidak lama kemudian dia menambahkan.
“Tapi...”
“Ada apa?”
“Kenapa keduanya tidak boleh terpilih?”
Dia
memiringkan kepalanya dan bertanya pertanyaan yang naif. Tapi, kurasa itu
pertanyaan yang wajar. Sejujurnya aku punya alasan tersendiri, tapi
menceritakan itu kepadanya membuatku ragu.
“Jika Yukinoshita atau Yuigahama menjadi Ketua OSIS, menurutmu sekolah ini
akan menjadi semacam sekolah yang bagaimana?”
“Hmph, sekolah ini mungkin akan menjadi dunia yang tidak bersahabat
dengan seseorang sepertiku...”
Tubuh Zaimokuza terlihat meneteskan keringatnya ketika menjawabnya.
“Well, kalau begitu kau sudah paham maksudku.”
Jujur saja, meski Yukinoshita atau Yuigahama menjadi Ketua OSIS, mereka
tidak bisa mengubah sekolah sebegitu drastisnya. Yang kukatakan cuma alasan
bombastis saja. Aku tidak yakin Zaimokuza akan percaya begitu saja, tapi aku
harus memulainya dari hal seperti ini dulu.
“Oke, pertanyaannya adalah apa yang harus kita lakukan...”
Ketika aku hendak memindahkan ke topiknya, HP-ku bergetar. Ketika
kupikir ‘ini pasti email lain dari Amazon?’, ternyata itu adalah telpon dari
Komachi. Aku lalu menaikkan tanganku ke arah Zaimokuza untuk memberinya tanda
kalau ada telpon untukku.
“Halo?”
“Oh, ternyata disana.”
Suara
itu tidak datang dari telpon, tapi dari belakangku.
Ketika aku membalikkan badanku, ternyata Komachi dengan seragam
sekolahnya.
“...Huh, ada apa ini?”
“Aku dengar kamu sedang berdiskusi dengan seseorang, jadi disinilah
aku!”
Aku
sebenarnya hendak komplain, tapi niatku ini batal setelah melihat orang di
belakangnya.
“Eh, apakah kita ini mengganggu?”
Orang ini memakai kaos olahraga dengan membawa tas tenis. Ketika dia
tersenyum, dia terlihat lebih malaikat daripada malaikat yang sering dilukis di
dinding-dinding.
“To, To, To...”
To,
Totototo, Tosuka! Ini buruk, bahkan suaraku tidak bisa keluar dengan jelas!
Kata-kataku tidak keluar sama sekali dan membuat Totsuka melihatku
dengan penuh khawatir. Aku akhirnya berbicara untuk menghilangkan situasi ini.
“Tidak, itu tidak benar. Kenapa kau tidak duduk saja dulu?”
Aku
lalu memindahkan barang-barangku yang berada di kursi sebelahku. Ini adalah
rencana yang cerdas untuk membuat Totsuka duduk di sebelahku! Aku ini memang
jenius!
“Ah,
apa kau ingin makan sesuatu?”
Aku
lalu menunjukkan sisi Gentleman dariku kepada malaikat yang biasa dilukis di
dinding ini. Whoa, ini cukup mirip! Meski begitu, mengapa ada lukisan dinding
malaikat di dinding Saizeriya?
“Ah, oke...”
Ketika mengatakannya, Totsuka duduk di sebelahku. Ketika dia
melakukannya, Zaimokuza menggumamkan “Fumph” dan memberikan menu ke Totsuka.
Tampaknya, kombo Zaimokuza dan diriku di tempat ini tidak buruk-buruk amat.
“Mungkin aku ingin peperoncino...Ah, tapi ada bawangnya...hmm...”
Totsuka masih memikirkan menunya dan belum menekan tombol pemesanan.
Silakan ambil waktu yang anda suka untuk memesan.
Ketika Totsuka sedang memikirkan pesanannya, aku mendekati Komachi dan
berbisik kepadanya.
“Komachi, ada apa ini?”
“Kalau Oni-chan hendak melakukan yang terbaik demi Komachi, maka Komachi
juga akan melakukan yang terbaik, benar?”
Ooh, kamu memang tahu caranya ‘melakukan yang terbaik’. Ketika aku
menggosok-gosok rambut kepalanya, dia lalu menambahkan.
“Karena itulah, aku meminta tolong banyak orang untuk membantumu.”
Dia
lalu menujulurkan tangannya ke arah pintu restoran dan muncullah seseorang.
Kawa...Kawaguchiko-san? Tidak, kupikir itu Yamanakako-san? Mungkin
Kawa-sesuatu sudah cukup. Tapi, Komachi kok bisa punya nomornya? Aku bahkan
tidak tahu namanya loh!
Kawa-sesuatu memasukkan tangannya ke kantongnya dan menatapku dengan
ekspresi wajah kurang senang.
“Kenapa aku...”
Dia
menggerutu dengan suara yang kecil. Ketika matanya bertemu denganku, dia lalu
menjadi gugup dan memalingkan wajahnya. Well, maaf ya. Membuatmu datang kesini
meskipun kamu tidak suka.
[note: Kawasaki masih gugup dengan Hachiman
yang pernah menembaknya, vol 6 chapter 9.]
Tapi kurasa bisa kupahami mengapa Kawa-sesuatu ada disini. Dia punya hak
untuk memilih di pemilihan nanti, jadi dia memang ada hubungannya.
Tapi, ada seorang lagi yang tidak punya hubungan dengan hal ini.
“Jadi, kenapa makhluk ini disini juga?”
Aku
meminta penjelasan Komachi dan dia menjawabnya dengan penuh enerjik.
“Dia bukan ‘makhluk’! Dia Kawasaki Taishi!”
Tidak, maksudku kenapa dia ada disini...? Apa dia datang kesini untuk
memberitahu nama asli Kawa-sesuatu adalah Kawasaki? Oh, terima kasih.
Tapi, tampaknya itu bukanlah masalahnya. Komachi lalu berusaha
menjelaskannya sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Komachi tidak punya nomor telpon Saki-san, jadi aku meminta tolong
kepadanya.”
“Aah, begitu ya.”
Masuk akal.
“Karena kamu sudah berhasil menghubunginya, berarti makhluk ini sudah
tidak dibutuhkan lagi, benar?”
“Saya bukah makhluk ini! Saya Kawasaki Taishi!”
Taishi berusaha mencari perhatianku, rupanya. Kalau kakakmu bisa mencuri
perhatianku, lalu mengapa aku masih tidak bisa mengeja namanya? Kawasaki lalu
menatap ke arahku.
“Apa kamu baru saja bilang kalau dia tidak dibutuhkan lagi?’
“Tidak, umm, dia benar-benar dibutuhkan. Yep...”
Ini
demi membuat moodnya bagus saja. Aku ingin dia berhenti menatapku seperti itu.
Dia seperti hendak membunuhku saja, mirip di anime Kill la Kill.
“Kenapa kita tidak duduk saja dulu?”
Komachi
mengatakannya untuk mencairkan suasana dan kami akhirnya pindah ke meja yang
lebih besar. Kawasaki dan Taishi duduk di bagian dalam, sementara Komachi duduk
di sampingku.
Setelah semuanya sudah memesan, kami taruh minuman kami di meja, dan
Komachi memulai diskusinya.
“Langsung saja, mari kita mulai ‘Rencana Sabotase Yukino-san dan
Yui-san’!”
Komachi mengatakannya dan Totsuka beserta Taishi bertepuk tangan,
sementara itu Zaimokuza hanya mengangguk saja.
Totsuka dan Kawasaki mungkin sudah tahu situasinya karena mereka tidak
menanyakan lebih detail. Tapi, Kawasaki mengatakan hal yang lain sambil
memalingkan wajahnya.
“Apa aku benar-benar dibutuhkan disini?”
“Kamu kan siswi SMA Sobu, jadi kami ingin meminta bantuanmu, Saki-san.”
Komachi mengatakannya dengan senyum yang manis. Tapi sikap Kawasaki
tetap sama.
“Hmph, aku pikir aku tidak akan cukup berguna.”
“Tidak, opinimu akan cukup membantu.”
Ketika aku mengatakannya, Kawasaki melihat ke arahku, lalu dia kembali
memalingkan wajahnya.
“...Kamu tidak benar-benar butuh pendapat orang sepertiku.”
Meski begitu, melihat bagaimana situasi kami saat ini, aku bisa
menggunakan pendapatnya sebagai opini.
Pendapat dari orang yang tidak mengenal baik Yukinoshita dan Yuigahama
bisa dijadikan referensi.
Ketika aku hendak menjelaskannya begitu, makanan kami sudah tiba.
Kami menunggu pelayan tersebut pergi, setelah itu kukatakan begitu saja.
“Aku membutuhkanmu.”
Kawasaki terkejut mendengarnya.
“Be-begitu ya...Ya, mau bagaimana lagi...”
Ketika dia mengatakannya, dia mengambil gelas es tehnya dan meminumnya
menggunakan sedotan.
Membuatnya harus datang kesini memang membuatku harus meminta maaf.
“Maaf ya.”
Ketika aku meminta maaf, Kawasaki menopang dagunya dengan tangannya dan
melihat ke arahku.
“Tidak apa-apa. Ketika kamu ada di klub
itu...Kamu memang lebih cocok ada disana.”
“Huh? Kenapa?”
Tidak ada satupun elemen di klub itu yang membuatku cocok. Konsep
“relawan”, “pekerjaan”, “kerja sukarela” adalah hal-hal yang kubenci.
“Ti-tidak ada apa-apa. Belakangan ini, aku memang melihatmu tidak
seperti biasanya, itu saja.”
[note: Ini sama saja mengatakan kalau Saki memperhatikan Hachiman secara diam-diam di kelas.]
Well, sesuai yang kau harapkan dari seorang penyendiri, skill
observasinya sangat luar biasa.
“Tidak seperti diriku yang biasanya, kah?”
Kalau membicarakan diriku yang biasanya, maka yang kulakukan kali ini
bukanlah diriku yang biasanya. Aku yang harusnya berusaha kabur dari klub itu,
malah sekarang ingin melindunginya. Ini memang bukan diriku.
Tapi, orang-orang di sekitarku tampaknya melihat ini adalah hal yang
beda. Komachi bahkan tertawa kecil melihat diriku.
“Memang tumben Oni-chan kali ini tidak berusaha mencari alibi-alibi
untuk kabur dari masalah.”
Aah, yang barusan memang cocok dengan diriku.
Oke, pertama-tama mari kita tanya ke contoh orang yang sukses di
pemilihan.
“Komachi, bagaimana kamu menang di pemilihan Ketua OSIS kemarin?”
Ketika kutanya, dia memikirkan dahulu jawabannya.
“Komachi dulu, menang di voting calon tunggal, jadi kupikir tidak bisa
dijadikan referensi.”
“Tidak apa-apa. Jika kamu punya semacam strategi agar terpilih, tolong
beritahu aku.”
“Oke, pertama, sebelum aku secara resmi mendaftarkan diri, aku terlebih
dahulu memberitahu teman-temanku kalau aku akan maju. Dari situ aku bisa
menilai seberapa banyak yang akan mendukungku, ternyata tidak banyak yang
menentang keputusanku itu.”
“Begitu ya.”
Meskipun itu agak aneh karena menjadi orang pertama yang mengatakan akan
maju, tapi jika kamu maju duluan dan mendapatkan dukungan terlebih dahulu, maka
itu bisa mempersempit dukungan bagi calon yang akan maju selanjutnya. Sehingga
jika calon lain melihat banyak yang mendukungnya, maka dia bisa mengira-ngira
seberapa besar suara yang akan bisa dia peroleh jika dia mencalonkan diri
selanjutnya. Sesuai dugaanku, adikku ini memang sangat taktis.
“Juga, biasanya para laki-laki juga punya keuntungan di masa-masa
seperti ini. Tapi, ini cuma berlaku kepada laki-laki yang populer.”
“Memang, mungkin agak sulit bagi laki-laki di SMP untuk memberikan
suaranya bagi para gadis. Ini adalah SMP, mungkin suasana itu memang terjadi.”
“Hmm, itu memang ada benarnya.”
Lalu dia menambahkan.
“Tapi sebaliknya, jika ada calon perempuan yang maju, maka separuh
populasi para gadis akan membenci calon tersebut.”
O-oh...tampaknya adikku ini sudah menjadi wanita dewasa yang penuh
perhitungan. Oni-chan sangat gembira melihat perkembangan Komachi, tapi ini
juga membuatku sedih.
Duduk di seberangku adalah Taishi yang seperti hendak mengatakan
sesuatu.
“Kau sungguh tahu dunia hitam...Hikigaya-san, sungguh hitam.”
“Jangan menyebut adik perempuannya hitam di depan kakaknya.”
Tapi tunggu dulu, bukankah yang harusnya hitam itu adalah kakak
perempuanmu? Misalnya celana dalam hitam berendanya?
Entah apapun itu, cerita Komachi tadi memang memberiku informasi.
“Para gadis juga membenci sesamanya, huh...”
Mendengarkan hal itu, Totsuka menganggukkan kepalanya.
“Bukankah itu artinya Yukinoshita-san dan Yuigahama-san juga akan
membuat semacam rivalitas diantara keduanya?”
“Itu benar...juga jika ini terlalu panas, maka akan ada perang dingin
yang mempengaruhi orang-orang di sekitarnya...”
Komachi mengatakan itu dengan serius. Eh, tapi itu cuma pendapat ya?
Tidak sesuatu yang pernah kau alami, bukan? Aku sungguh khawatir...
Tapi masuk akal sih. Aku bisa membayangkan Miura terlibat dalam perang
dingin itu...Lalu kemudian Yukinoshita akan membalasnya sehingga Miura akan
menangis. Tapi melihat keduanya bertempur adalah sesuatu yang lumrah jika
melihat hubungan keduanya selama ini.
Aku
memiringkan kepalaku, mungkin ada yang ingin dikatakan. Zaimokuza dan Taishi
menaikkan tangannya.
“Aku
mengusulkan ‘Strategi Istana Kosong’!”
[note: Itu adalah strategi yang populer
ketika pertempuran tiga negara di China. Liu Bei mengosongkan benteng dan
memancing pasukan Chao Chao masuk ke dalam lebih jauh. Setelah itu mengurungnya
dan membakar habis benteng tersebut dengan seluruh pasukan di dalamnya.]
“Mungkin mengajukan orang lain menjadi calon akan menyelesaikan
masalah?”
Kau
luar biasa Taishi! Pertama, kamu tidak mempedulikan Zaimokuza yang menjawabnya
terlebih dahulu. Kedua, itu adalah hal yang Yukinoshita dan Yuigahama
pertimbangkan dan aku menolak hal itu.
“Aku sudah memikirkan opsi itu sebelumnya. Lagipula, tidak ada yang
selevel dengan mereka, mereka tidak akan bisa dikalahkan.”
Jujur saja, satu-satunya orang yang bisa menang dari mereka berdua
adalah Hayama. Tapi sekarang Hayama malah mendukung Yukinoshita sedangkan grup
Miura mendukung Yuigahama. Adanya calon lain jelas-jelas hanyalah penggembira.
Taishi lalu memberikan idenya lagi.
“Ah, kalau tidak bisa menggagalkan dengan satu calon, kenapa kita tidak
coba dengan mengirimkan banyak sekali calon?”
Jadi membanjiri pemilihan dengan banyaknya calon? Kalau memang bisa,
maka kita bisa memotong-motong suara yang ada di mereka berdua. Bisakah? Tidak,
artinya calon-calon kirimanku hanya akan mendapatkan suara ‘receh-receh’ dan
tidak akan memenangkan pemilihan. Artinya keduanya yang tetap berpeluang
menang.
Kalau membuat pemilihan memiliki banyak calon terlalu sulit, maka kita
harus memikirkan cara lain.
“Sebuah cara untuk menang melawan Yukinoshita dan Yuigahama...”
Ketika aku menggumamkan hal itu, Kawasaki berbicara.
“Aku sebenarnya tidak peduli, tapi seandainya Yukinoshita dan Yuigahama
tidak maju menjadi calon, maka calon yang tersisa siapa saja?”
“...Ah.”
Aduh sial, aku lupa tentang Isshiki.
“Sebenarnya...”
Tidak, aku harusnya malu soal ini.
Jika kita menggagalkan Yukinoshita dan Yuigahama menjadi Ketua OSIS,
maka jabatan itu akan jatuh ke Isshiki. Ini buruk sekali. Selama mereka bertiga
calonnya, maka salah satunya akan memegang jabatan itu kelak.
Zaimokuza lalu mencoba menghilangkan pertanyaannya dan menatapku.
“Hachiman, sejak awal, kita mengibarkan bendera perang ke mereka itu
sudah keputusan yang salah.”
“Hmm, benar, tapi...”
Aku
tidak bisa menyangkal kata-katanya. Memang benar, aku bukanlah orang yang bisa
memenangkan pertempurannya. Aku harusnya sadar tentang kapasitas kemampuanku,
dan timku ini memang tidak bisa memenangkannya.
Aku
menggaruk-garuk kepalaku dan Komachi memanggilku.
“Oni-chan.”
“Hmm?”
“Aku setuju dengan kata-kata Chuuni-san tadi.”
“Yeah, Onii-chan paham juga, tapi situasinya begini Komachi...”
Tolong, berikan waktu bagiku untuk berpikir.
Aku
mencoba berpikir “Menang tanpa bertarung” adalah quote yang ditinggalkan oleh
Sun Tzu. Mungkin jika aku berpikir seperti Sun Tzu, aku mungkin bisa
mendapatkan sesuatu. Aku adalah Sun Tzu, aku Sun Tzu, akulah Sun Tzu...
[note: Sun Tzu adalah seorang Jenderal
Tiongkok terkenal dan menulis banyak sekali buku tentang strategi pertempuran.
Filosofi dan buku-bukunya masih menjadi panutan dan acuan para komandan
pertempuran modern saat ini.]
Komachi lalu menarik lenganku.
“Aku tidak ingin melihat Onii-chan menang di pemilihan.”
“Huh? Tunggu, kalau kita tidak menang...”
Kalau tidak, maka salah satu dari ketiganya akan menjadi Ketua OSIS.
“Sekali lagi, kamu belum mencalonkan diri, jadi kita tidak perlu
membahas masalah atau menang kalahnya dahulu.”
Kawasaki seperti membodohiku saja...tidak, tapi itu ada benarnya juga.
“Ahaha, lagipula Hachiman adalah tipe orang yang tidak mau terikat
peraturan.”
Totsuka tertawa dan berusaha mencairkan keadaan. Totsuka memang
malaikat.
Ketika aku disembuhkan malaikat, Komachi lalu memalingkan tubuhnya dan
menatapku.
“Komachi cuma ingin Yukino-san dan Yui-san tetap di Klub Relawan. Jujur
saja, Komachi tidak peduli tentang pemilihan Ketua OSISnya.”
“Ah, benar...Tapi ada Isshiki...”
Aku
berusaha menjelaskannya, tapi Komachi malah menatapku semakin tajam.
“Onii-chan,
apa orang yang disebut Isshiki-san itu orang paling penting bagi Onii-chan?”
“Ooh tentu tidak.”
“Jadi, kenapa kamu khawatir dengannya?”
“Gimana ya, ini adalah request darinya.”
Ketika aku menjawabnya, Komachi meremas wajahku dengan kedua tangannya.
“Pekerjaan atau Komachi, lebih penting mana?”
“Tentu saja Komachi. Aku tidak ada minat dengan pekerjaan.”
Aku
mencoba menjawabnya dengan penuh cinta.
“Proses eliminasi ya...”
Totsuka tampak kagum sambil tertawa melihatnya. Aduh, aku harusnya menjawab ‘Totsuka’ saja tadi...
“Aku tidak
senang meskipun kamu mengatakan yang sejujurnya, tapi...anggaplah tadi tidak
masalah. Jadi, Onii-chan...apa yang akan kau lakukan?”
“Aku paham maksudmu. Tapi aku tidak berminat untuk memaksakan jabatan
Ketua OSIS ke Isshiki.”
Inilah yang disebut orang sebagai tumbal. Oleh karena itu aku tidak
setuju. Meskipun ada alasan tertentu, tapi Iroha menjadi calon bukanlah
keinginannya dan dia hanya sekedar dibully. Secara egois memaksakan kehendaknya
ke orang seperti itu; sebenarnya tidak ada seorangpun berhak untuk memaksakan
seseorang untuk menjadi kambing hitam.
“...Oke, aku paham itu. Itu memang Onii-chan yang kutahu.”
Komachi tampak sedih mendengarnya.
“Uh
huh, seperti dugaanku, itulah yang membuat Hachiman, menjadi Hachiman.”
Totsuka menjawabnya dan tersenyum.
“Hmm...”
Kawasaki terlihat agak terkejut, tapi dia tersenyum melihatku. Tapi
ketika kedua mata kami bertemu, dia kemudian memalingkan wajahnya dan menggigit
sedotan di gelasnya. Lalu dia mengintip ke arahku dan berbicara.
“Apapun tidak masalah, tapi...Apa yang akan kaulakukan?”
“Biarkan kupikirkan dahulu.”
Aku
lalu menutup mataku.
Kalau aku memprioritaskan request dari Komachi dan menghindari
Yukinoshita beserta Yuigahama dari pemilihan, maka Isshiki Iroha adalah
satu-satunya calon tersisa.
Tapi, dia mengatakan kalau dia tidak ingin terpilih.
Jadi, apa sebenarnya masalah yang terpendam dibalik itu?
Sebenarnya, masalah ini berasal dari keinginannya yang tidak ingin
terpilih; hanya ini saja masalahnya.
Kalau begitu, aku hanya perlu memikirkan cara untuk membuatnya mau
terpilih.
Dengan kata lain, aku hanya perlu menghancurkan satu-persatu alasan yang
dia punya, alasan yang membuatnya tidak ingin menjadi Ketua OSIS.
Ketika kesimpulanku selesai, aku membuka mataku.
“Tampaknya kesimpulannya begini, pendekatan kita terhadap masalah ini
ternyata salah...”
Tidak hanya untukku, juga bagi Yukinoshita
dan Yuigahama.
“Sederhananya, sebenarnya yang perlu kulakukan adalah membujuk Isshiki
untuk bersedia menjadi Ketua OSIS.”
“Tapi itu bisa terjadi kalau dia adalah orang yang terbuka untuk
berdiskusi... Kalau tidak salah, dia adalah seorang gadis, benar? Apa kamu
yakin kalau kamu bisa meyakinkannya?”
Zaimokuza
mengatakan itu. Alasannya memang aneh, tapi aku setuju dengannya. Dan duduk di
sebelahnya adalah Taishi yang juga mengangguk. Lalu dia bertanya kepadaku.
“Sebenarnya, Isshiki-san orangnya seperti apa?”
“Hmm, bagaimana ya...”
Isshiki Iroha. Dia akan menunjukkan sisi lembut dan cerianya, tapi dia
akan menunjukkannya dengan penuh perhitungan. Perbedaannya ketika dia bersama
Hayama dan orang-orang selain Hayama bagai bumi dan langit.
Mengatakan dia itu bagaimana...bagaimana ya...
“Kalau kita berbicara contoh, maka dia itu adalah Komachi versi yang
tidak manis dan dengan aura yang sebaliknya, kupikir begitu.”
“Ah, itu artinya buruk sekali!”
Ya
begitulah...
“Onii-chan, apa maksudmu tadi...?”
Senyum Komachi kali ini sangat menakutkan.
“Maksudku begini, artinya kamu itu memang manis, Komachi.”
Aku
mencoba menenangkannya dan menggosok-gosok kepalanya.
“Hmm, tapi aku cukup yakin kalau kata-kataku akan didengarkanya.
Mungkin, ini akan berhasil.”
Ini
terlalu percaya diri. Isshiki Iroha adalah gadis yang selalu mengkalkulasi cara
dia bersikap, maka bisa dikatakan kalau dia juga pintar mengkalkulasi negosiasi
yang akan kulakukan. Jika dia bisa mempertimbangkan resiko dan keuntungannya
dengan baik, maka ini semua tergantung dengan apa yang bisa kutawarkan
untuknya. Jika berlangsung baik, maka dia akan terbuka untuk penawaranku.
Kalau begitu, aku harus mengumpulkan materi-materi negosiasinya.
Tidak, lebih tepatnya adalah aku harus menciptakan materi negosiasinya.
Oleh karena itu, aku membutuhkan sedikit informasi.
“Kawasaki, bisakah kau memberiku nama-nama orang yang kaupikir cocok
untuk menjadi calon Ketua OSIS?”
“Huh?”
Dia
menunjuk dirinya sendiri dengan jarinya sambil mengedip-ngedipkan matanya
karena terkejut.
“Me-meski begitu, ini cukup mendadak...”
“Tenang saja, waktu kita masih banyak.”
Sebenarnya, aku memang masih butuh waktu untuk merencanakan ini itu.
“Kalau begitu, ya sudahlah...”
Setelah itu, dia memiringkan kepalanya sambil menyebutkan beberapa nama.
“Kupikir Yukinoshita dan Yuigahama memang bagus. Juga Hayama? Pria itu
punya semacam aura yang aneh atau semacam itu.”
Well, dua nama di depan memang masuk akal. Tapi, ternyata image Hayama
di dirinya seperti itu ya...
“Ebina...tampaknya bisa, tapi, posisi Ketua OSIS tampaknya tidak cocok
untuknya.”
Aku
setuju juga. Tapi, jika Kawasaki sampai menyebut namanya, berarti mereka
ternyata punya hubungan yang cukup dekat juga, huh...
Lalu, Kawasaki mengatakan “ah” dan menggumam.
“Juga
ada Miura, tapi kupikir jabatan itu tidak cocok untuknya.”
Meski mereka berdua memang tidak punya hubungan baik, menyebutkan
namanya berarti dia mengakui eksistensinya, huh?
Nama-nama yang dia sebutkan memang siswa-siswa sekolah ini, dan mereka
populer.
Tapi nama berikutnya yang disebut Kawasaki memang tidak terduga.
“Juga ada Sagami, kupikir...”
“Haa? SAGAMI?!!”
Entah mengapa aku berteriak histeris ketika nama itu disebut. Kawasaki
tampak terkejut melihatnya.
“Apa-apaan wajahmu tadi? Bukannya kamu yang tanya?”
“Ah, maaf. Aku bukannya bermaksud begitu...Tapi, mengapa dia?”
“Bukankah dia menjabat Ketua Panitia Festival Budaya dan Olahraga
kemarin? Bukankah itu berarti akan normal-normal saja jika melihatnya bekerja
sebagai Ketua OSIS?”
“Oh
begitu ya...”
Entah mengapa ketika namanya disebut, pikiranku dipenuhi
kejadian-kejadian tidak mengenakkan, jadi wajar bagiku untuk tidak berpikir
kalau nama itu akan disebut. Meski faktanya dia cuma bekerja di balik layar,
tapi namanya sudah tertulis sebagai pemegang jabatan tertinggi di kegiatan itu.
Anggap saja sekolah ini cuma berisi kelas 1 dan kelas 3, tampaknya prestasinya
itu bisa membuat siswa-siswa kelas 1 dan 3 yakin kepadanya.
Begini, kutaruh saja dia di posisi kuda hitam. Lagipula, jika
kumanfaatkan nama Sagami-pun, aku tidak akan merasa bersalah sama sekali. Ini
juga berlaku ke Tobe, jika kita calonkan dia, tidak akan ada yang merasa
terluka. Lagipula, Tobe kan pria yang baik.
Sekarang, kita harus merumuskan strategi kita. Aku lalu menatap ke
Kawasaki untuk berterima kasih. Dia ternyata juga sedang menatapku seperti
hendak mengatakan sesuatu.
“Juga...Kamu.”
“Ah, itu juga nama yang menarik. Tapi aku tidak bisa mendapatkan tanda
tangan 30 orang untuk mensupportku.”
“Ya, aku tahu itu. Tapi, aku hanya ingin mengatakannya saja.”
Kawasaki lalu menatap ke arah lain. Kalau kau tahu, maka jangan katakan
itu. Ya ampun, tadi itu sudah membuat jantungku berhenti berdetak, loh!
Ngomong-ngomong, sekarang semua potongan sudah terkumpul.
“Hayama, Ebina-san, Miura, Sagami, dan juga Tobe. Tidak lupa, Isshiki
sendiri. Kita akan membuat orang-orang ini menjadi calon ketua.”
Ketika aku mengatakannya, Komachi tampak ragu.
“Eh, bukannya kamu tadi bilang tidak akan menaruh Isshiki-san sebagai
calon?”
“Yeah, pada akhirnya begitu. Kita cuma mematai-matai saja.”
Well, kupikir akan lebih baik jika kujelaskan secara perlahan. Komachi
tampaknya tidak begitu paham jika aku katakan langsung.
“Memata-matai? Memangnya ada yang mau melakukannya...Onii-chan, apakah
kamu akan menyuruh seseorang untuk melakukannya?”
“Hahaha! Yeah, benar. Kita ini sebenarnya cuma meminjam nama-nama
tersebut tanpa meminta ijin ke orang yang asli. Lalu memakai nama-nama itu
untuk mengumpulkan dukungan.”
Dan
itu berarti, aku membutuhkan kekuatan satu orang lagi.
“Totsuka, apa kamu keberatan kalau kupinjam namamu juga?”
Totsuka menatapku keheranan karena tidak disangka akan dipanggil olehku.
“Eh...? Meski kamu menjelaskannya, aku sejujurnya tidak begitu
mengerti...”
Totsuka lalu melihat ke arah bawah. Lalu dia melihat ke arah ujung
lantai sebelum akhirnya menatapku lagi.
“...Kamu tidak akan menggunakan namaku untuk hal-hal yang aneh?”
“Aku janji deh!”
Aku
berjanji tidak akan menggunakannya untuk hal-hal yang aneh, tapi bisa saja aku
menggunakannya untuk hal-hal yang berbau cinta. Tidak, kalau memang bisa maka
sudah kugunakan dari dulu.
Ketika aku menjawabnya begitu, Totsuka lalu tersenyum.
“...Kalau begitu, tentu saja, kamu boleh menggunakan namaku.”
“Terima kasih.”
Kalau begitu aku langsung pakai namamu saja, oke! Totsuka Hachiman
terlihat bagus!
Komachi, yang duduk disampingku mulai berbicara.
“Tapi meski kamu meminjam nama orang, kalau orang itu menyangkalnya,
bukankah nantinya kamu tidak bisa mencalonkan orang itu?”
Seperti kata Komachi, kalau orang tersebut tidak setuju, maka pencalonan
dibatalkan. Karena insiden serupa terjadi di Isshiki, maka kupikir
Meguri-senpai yang menjadi bagian panitia akan lebih teliti lagi.
“Sebenarnya kita tidak memerlukan mereka maju sebagai calon. Bisa
dibilang, mereka tidak dibutuhkan. Kita hanya butuh daftar dukungannya saja.”
“?”
Tidak hanya Komachi yang penuh tanda tanya, orang-orang di ruangan ini
juga begitu.
“Bagaimana kalau seluruh sekolah memberikan dukungannya ke satu orang,
apa yang akan terjadi?”
“Siapapun orangnya, pasti akan menang, benar tidak?”
Komachi mengangguk, akupun mengangguk balik.
“Memang, dia akan menang. Atau tepatnya, calon yang lainnya juga
tidak bisa maju menjadi kandidat. Karena
ketika nama mereka terdaftar di salah satu daftar dukungan calon, maka mereka
tidak bisa menulis dukungan di calon lain.”
“Hoh, memang ada sih kesimpulan seperti itu...’Above The Law’ atau
sesuatu dengan efek seperti itu...”
[note: Above the Law adalah film yang
dibintangi Steven Seagal pada tahun 1988. Seagal adalah aktor laga, mirip Chuck
Norris, artinya musuh-musuhnya bakal babak belur tanpa satupun keringat keluar
dari jagoannya atau musuhnya menembak dengan senapan mesin namun 0 akurasi,
seperti Storm Trooper di Star Wars.]
Zaimokuza mengatakannya dengan penuh kekaguman. Tapi kata-katanya tadi
tidak ada hubungannya. Juga, film Steven Seagal tadi memang tidak ada
hubungannya.
[note: Berkali-kali dari vol 1-11 Oregairu,
Hachiman selalu mengatakan beberapa film Steven Seagal di monolognya. Bisa kita
simpulkan kalau Hachiman atau Watari Wataru adalah penggemar film Seagal.]
“Aku tidak tahu apa yang tertulis di undang-undang. Tapi kupikir mayoritas
siswa disini tahu kalau mereka sudah memberikan tanda tangan dukungan, maka
mereka tidak bisa memberikan tanda tangan dukungan ke calon yang lain.”
Mereka sebenarnya tidak tahu aturan itu, tapi ini dengan mudah bisa
dilogikakan oleh para siswa.
Jika
kamu hanya bisa memberikan tanda tangan dukungan sekali, maka mengumpulkan
dukungan berarti berisi orang-orang yang memiliki respek kepada sang calon.
Yang kita butuhkan adalah satu langkah lagi.
“...Hei.”
Ketika aku sedang memikirkan langkah-langkahnya, sebuah suara memanggil
namaku. Ketika aku melihat asal suara itu, Kawasaki melihatku dengan ekspresi
serius. Dia seperti menatapku dengan tajam, hmm...tapi bukankah dia memang
begitu?
“Mengesampingkan hasilnya akan berhasil atau gagal, bukankah akan sangat
buruk jika kamu ketahuan menggunakan nama mereka tanpa ijin?”
Kakaknya mengatakan itu, dan adiknya pun mengangguk mendengarnya.
“Benar sekali, Onii-san bisa dihajar orang nantinya!”
“Jangan sekali-kali memanggilku Onii-san.”
Mungkin akan kuhajar dulu dirimu...Tapi
Kawasaki yang duduk di sebelahnya tampak menakutkan, jadi aku mengurungkan
niatku.
Lagipula, Komachi yang duduk di sebelahku mulai menarik-narik lenganku.
“Onii-chan.”
Mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu. Aku paham meskipun dia tidak
mengatakannya.
“Aku paham maksudmu. Aku tidak akan muncul dan terlibat langsung di
dalamnya.”
Sebenarnya, aku terlibat dengan cara lain.
Sebenarnya, lebih mudah jika aku menanggung semua kebencian dan perasaan
bersalah itu sendirian. Memang, itulah yang kuinginkan. Tapi, kali ini aku
harus memikirkan metode lainnya.
“Jadi, siapa yang akan melakukannya.”
Totsuka bertanya itu dan aku merendahkan bahuku.
“Kupikir, kita tidak bisa menyerahkan ini kepada orang lain.”
Aku
tidak ingin seorangpun disalahkan. Lagipula, ini akan menjadi masalah jika ada
seseorang yang mengambil alih tempat dimana aku seharusnya berada.
“Oleh karena itu, kita akan meminta ‘bukan manusia’ untuk melakukannya.”
Ketika aku mengatakannya, semua orang terlihat mengatakan ‘hah?’.
Tampaknya, aku harus menjelaskannya secara perlahan.
“Zaimokuza.”
“Whoaa. Tidak jangan diriku! Apakah ini artinya aku bukan manusia?”
Zaimokuza langsung menolak sambil melambaikan tangannya “mustahil, aku
tidak mau melakukannya”. Ekspresinya ini membuatku ingin tertawa saja.
“Aku tahu itu. Aku cuma ingin memanggilmu saja. Apa kamu memakai
Twitter?”
“Apa kau akan mengatakan ‘serahkan urusan Twitter’ kepadaku? Aku memang
terlihat seperti Sang Guru Komputer!”
Apa-apaan cara bicaranya barusan?
Ngomong-ngomong, jika Zaimokuza memang punya Twitter, maka ini mudah
sekali. Aku lalu mengambil HP-ku dan browsing ke Twitter, kemudian
menunjukkannya kepada mereka semua.
“Twitter ini mirip seperti SNS atau Mini-Blog, ya semacam itu. Aku tidak
tahu detailnya, tapi kamu bisa posting sesuatu dengan maksimal 140 karakter.
Kemudian, kau akan punya follower...sederhananya, kamu bisa menunjukkan sesuatu
ke pembacamu itu. Mereka bisa meresponnya, atau bisa menaruh sesuatu yang
berhubungan dengan topiknya.”
Info detailnya biar mereka cari di Google, aku lalu melanjutkan ke
intinya.
“Yang luar biasa adalah bagaimana suatu topik bisa menyebar cepat.
Dengan melakukan retweet, topik yang kau bahas bisa menyebar ke sekitarmu
dengan cepat.
Setelah itu, mereka semua tampak paham maksudku seperti mereka pernah
menggunakan Twitter. Well, seperti yang kauharapkan dari anak muda jaman ini.
“Jadi, apa yang ingin kau lakukan dengan Twitter itu?”
Mungkin bagi pengguna Twitter semacam Zaimokuza ini akan sedikit
membosankan, dia terlihat memaksaku untuk terus melanjutkan kata-kataku.
“Kita akan membuat semacam akun Twitter palsu yang berisikan dukungan.
Tapi kita harus meyakinkan mereka kalau ini memang dikelola dengan serius. Nah,
orang yang mengelola akun ini akan mengumpulkan dukungan via internet.”
“Pemilik akun palsu, kah...”
Komachi tampak paham maksudku, tapi entah mengapa dia seperti kurang
memahaminya.
Aku
mengangguk saja ke arahnya.
Untuk kali ini saja, aku ingin melanggar hukum.
“Apa itu bisa dibenarkan kalau menurut aturan?”
Komachi memandangku dengan skeptis.
Kalau kita bicara hukum, tindakanku ini tidak tertulis dalam aturan yang
tertulis di panduan sekolah ini. Sebenarnya, ketika aturan itu dibuat, internet
masih belum ada.
Jadi, kita memanfaatkan ‘celah’ tersebut.
“Ini tidak melanggar satupun peraturan, jadi harusnya tidak masalah.”
“Benarkah begitu...”
Aku
menepuk kepala Komachi ketika dia meragukan itu.
“Katakanlah begini, jika suatu saat itu dikategorikan pelanggaran
ataupun ditemukan pelanggaran di kemudian hari, maka kesalahan akan ditimpakan
ke pengelola akun palsu tersebut. Dan yang kita lakukan adalah menciptakan
orang palsu tersebut yang memang kita siapkan untuk menerima semua tuduhan itu;
Nanti para kandidat tinggal bilang saja kalau mereka ditipu oleh pemilik akun
palsu itu dan mereka bebas dari kecurigaan. Tidak ada yang akan terluka.”
Dan
dunia dimana ada seseorang yang terluka tidak akan pernah ada.
Jika kamu sadar kalau dunia ini tidak akan sebaik itu memberikan situasi
dimana tidak ada orang yang terluka, dan harus ada seseorang yang terluka, maka
kau tinggal menciptakan kambing hitamnya saja.
Kau
tidak harus memilih kambing hitam dari orang-orang yang asli. Yang kau perlukan
hanya menciptakan orang yang akan menjadi kambing hitamnya. Ini mungkin adalah
kartu As-ku.
“Onii-san, kamu luar biasa...”
Taishi memujiku sambil tersenyum kecil.
“Hahaha, jangan terlalu memujiku. Juga, jangan lancang memanggilku
Onii-san.”
Ketika aku memberitahunya, Kawasaki mulai lagi menatapku dengan tatapan
tajamnya.
“Aku bahkan tidak merasa Taishi sedang memujimu.”
Eh?
Benarkah? Jadi dia tadi mengatakannya diluar kendali dirinya?
“Ta-tapi, ini akan bagus sekali jika memang berhasil sesuai rencana.”
Totsuka kemudian berbicara untuk mencairkan suasananya. Tapi Komachi
terus melihatku dengan tatapan mata yang mencurigakan.
“Sebenarnya, tidak masalah sih kalau tidak berhasil...”
Biasanya jika aku mengatakan ide-ide semacam ini, dia akan mengejekku
atau semacam itu, tapi reaksinya barusan kurasa agak aneh. Maka dari itu aku
mencoba bertanya kepadanya.
“Apakah ideku barusan buruk?”
“Hmm, bukannya aku mengatakan idemu buruk...Tapi apakah Onii-chan sudah
merasa oke dengan itu atau tidak...Aku sendiri tidak yakin.”
Tampaknya Komachi sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan baik.
“Tapi kita tidak akan tahu kecuali kita coba. Kita sekarang sudah
kehabisan ide alternatif lagi.”
Seperti kata Zaimokuza, kita sekarang sudah kehabisan ide.
“Jadi, bagaimana kita melaksanakannya? Kita bisa membuat akunnya, tapi
dengan begitu saja kita tidak akan bisa menggaet follower dan retweet.”
“Pertama, akun palsu kita itu akan menjadi follower akun milik
siswa-siswa sekolah kita. Jika ada kesamaan orang yang difollow, maka akun-akun
siswa yang lain juga akan memfollow kita. Juga, jika kita lihat kalau ada akun
dimana difollow oleh beberapa siswa sekolah kita, itu akan memberikan tekanan
juga. Terutama bagi para gadis di dunia media sosial.”
Ketika aku menjelaskannya, Zaimokuza menepuk lututnya.
“Jadi itukah permainanmu kali ini? Aku bisa paham sebagian besar
rencanamu. Jika kamu reply hanya sekedar memberi salam dan ternyata berada di
sekolah yang sama, maka mereka juga akan merequest untuk follow dirimu, benar?”
Seperti yang kuharapkan dari Sang Guru Komputer.
Ketika kamu saling berbagi tweets dengan siswa-siswa yang berasal dari
sekolah yang sama, maka mau tidak mau kamu akan merasa seperti punya keinginan
yang sama. Jika kamu melihat ada orang yang berada di sekolah yang sama dan
memfollowmu, perasaan manusia akan berkata ‘aku akan terlihat buruk jika aku
tidak memfollow balik...’ bahkan jika kamu tidak kenal betul orangnya. Jika
mereka sudah memfollow akun Twitter palsu kita, maka tweet dari akun palsu kita
akan muncul di timeline mereka.
“Jadi, nama akun dan isi tweetnya seperti ini.”
Aku
lalu mengambil bolpoin dari tasku dan menuliskan sesuatu di tisu makan meja
ini.
USERNAME: Akun dukungan ...-san.
[Hanya Untuk Siswa SMA Sobu] Orang ini akan mencalonkan diri sebagai
Ketua OSIS kita yang baru! Saat ini, kita sedang mencari dukungan untuk
mencalonkannya! Tolong tuliskan nama anda di #Dukungan dan tolong di retweet
[Sebarkan ini].
Sambil memeriksa HP-ku, aku menulis slogan-slogan tersebut di layarku.
“Sederhananya, kita tinggal mengatur timing postingan ini muncul dan
melihat retweetnya. Orang-orang yang me-retweet akan secara otomatis menuliskan
namanya di daftar dukungan.”
Hal
tersulitnya adalah bagaimana kita menyajikan informasi ini. Tidak boleh terlalu
spesifik, kita harus membuat orang-orang percaya bahwa ini dikelola secara
serius.
Untuk saat ini, orang-orang disini sedang melihat slogan yang kutulis
itu dan menilainya. Ada orang-orang yang membantuku menilai tulisan tersebut
akan meningkatkan kualitasnya. Aku bersyukur pada saat seperti ini ada banyak
orang disini.
Tampaknya, Taishi yang melihat slogan tersebut dari tadi menaikkan
tangannya.
“Kalau ada pemilik nama asli tersebut melihat akun tersebut, apa yang
akan kau lakukan kalau mereka membantah menyetujui akun itu menggalang
dukungan?”
Begitu ya, itu memang bisa saja terjadi... Aku berpikir sejenak dan
berbicara.
“Kita bisa tulis ‘note’ disana: “Untuk
sementara dirahasiakan dari orangnya dulu, oke! ♪Kedipan mata, Kapun♪”. Lagipula, ini hanya mencari support saja.”
Setelah itu, Totsuka menaikkan
tangannya. Aw, silakan Totsuka-kun...
“Hachiman, apakah tidak masalah
jika mereka menuliskan dukungan memakai nama mereka di media sosial? Nama-nama
mereka biasanya kan tidak seperti nama aslinya?”
“Yeah. Tidak masalah jika mereka
memakai nama aslinya atau tidak.”
Ketika aku mengatakannya,
Kawasaki melihatku dengan tatapan yang menyedihkan.
“Mustahil akan ada orang yang
mau menulis nama aslinya di internet.”
Oh Kawasaki-san yang judes, mengapa kau terus menyangsikan ideku? Aku
sebenarnya tidak membenci gadis sepertimu looh! Lagipula, aku sudah membentengi
diriku untuk pertanyaan semacam itu.
Aku tidak sebodoh itu untuk memberikan nama asliku
ketika diminta.
“Jujur saja, bahkan nama-nama
‘alay’ sekalipun tidak masalah. Ini bukanlah sebuah akun yang dibuat oleh tim
kampanye resmi. Lagipula, kita tidak akan menyerahkan daftar itu ke Panitia
Pemilihan, jadi tidak akan ada yang tahu tentang daftar itu.”
“Apa daftar itu saja cukup?”
Komachi menanyakannya dengan
nada terkejut, aku lalu mengangguk.
“Aku akan menggunakan daftar
dukungan itu untuk bernegosiasi dengan Isshiki.”
“Negosiasi..”
Komachi menggumamkan kata itu.
Tujuan utama akun palsu ya
disitu.
Membuat para siswa agar tidak
mendukung Yukinoshita dan Yuigahama karena sudah merasa menuliskan dukungan ke
calon lain via Twitter hanyalah efek plus saja.
Mengumpulkan daftar dukungan di
akun itulah yang paling penting.
Dan daftar dukungan itulah yang
akan kujadikan alat untuk membujuk Isshiki.
Setelah itu, aku akan memakai
Isshiki Iroha sebagai alat negosiasi dengan Yukinoshita dan Yuigahama.
Setelah menarik kesimpulan dari
alasan-alasan mereka maju menjadi calon, maka aku tinggal menghilangkan alasan
mereka maju.
Sekarang, masalah terakhirnya
adalah siapa yang bersedia melakukan bagian kotornya.
Kalau soal itu, maka itu adalah
diriku dan Zaimokuza.
“Zaimokuza, bisakah kau bantu
aku mengerjakan separuh akun-akun yang kita ciptakan nanti?”
“Oke, baiklah.”
Zaimokuza tertawa ketika
mengatakannya. Jika kumintai tolong sesuai keahlianmu, kau tampaknya terlalu
percaya diri ya? Itu membuatku takut, tahu! Oleh karena itu aku akan
memperingatinya sedikit.
“Tolong hindari apapun yang bisa
membuat identitas kita terbongkar. Kau hanya perlu membuat mereka tertipu
selama 3 hari.”
“Serahkan saja padaku! Lagipula,
aku sudah lama tidak pernah melakukan kesalahan lagi semenjak ketahuan menjebol
IP orang.”
Sial, ternyata kau orang-orang semacam itu! Well, mungkin saja kali
ini dia tidak akan mengacaukannya.
[note: Zaimokuza adalah mantan (atau masih) Hacker.]
Meski perencanaannya sudah
selesai, Kawasaki mengetuk-ngetuk meja ini. Apaan
itu? Kode morse? Kupikir dia sedang memanggilku. Kenapa tidak panggil saja namaku? Atau kamu memang tidak ingat namaku?
Kawa-sesuatu memang sangat kejam!
“Ada apa?”
Aku bertanya kepadanya dan
Kawasaki menatap ke arah Zaimokuza. Dia lalu mengatakannya dengan suara pelan.
“Apakah dia bisa menulis dengan
gaya penulisan gadis?”
“Oh, itu tidak masalah. Itu
spesialisasi dari Zaimokuza!”
[note: Zaimokuza bercita-cita menjadi penulis Light Novel dan Editor.
Jadi menulis berbagai gaya penulisan adalah makanan sehari-hari baginya.]
Ketika aku mengatakannya,
Zaimokuza lalu mengacungkan jempol jarinya dan mengedipkan matanya.
“Memang, serahkan saja itu pada
bakatku!”
“Bukan itu maksudku...Coba kamu
cari akun pemilik nama yang didukung itu, tiru sedikit gaya-gaya penulisannya
agar akun dukungan itu terasa punya karakter yang didukung. Itu spesialisasimu,
bukan?”
“Itu maksudku, belum sempat
kujelaskan tadi, nin-nin...”
Zaimokuza lalu tertawa. Well,
dia memang punya bakat spesial soal itu, jadi tolong tangani hati-hati akun
itu, oke?
Tapi, kita baru saja lolos tahap
pertama. Aku lalu meminum kopiku yang dingin ini. Semua orang seperti bernapas
lega dan suasana kembali menjadi hangat.
Tapi ada satu orang yang masih
terlihat kurang senang, yaitu Komachi.
“Ada apa, Komachi?”
Aku mencoba mengatakannya dengan
berbisik. Lalu dia berbisik kepadaku.
“Apakah ini benar-benar akan
bekerja?”
“Pasti. Aku sendiri yang akan
memastikannya begitu. Serahkan padaku!”
“Oke...”
Dia terlihat masih kecewa.
“Onii-chan, pastikan kamu
membicarakan ini dengan Yukino-san dan Yui-san, oke? Janji ya?”
Komachi lalu meremas tanganku
ketika mengatakannya.
“Yeah, akan kulakukan. Tapi aku
tidak akan melakukannya sebelum ceritaku ini bisa meyakinkan mereka. Tenang
saja, aku akan membicarakan ini dengan mereka setelah aku menyelesaikan semua
persiapannya.”
“Onii-chan kadang-kadang memang
masuk akal, tapi aku khawatir kalau kau nantinya malah akan membuat suasananya
tambah buruk..”
“Tenang saja.”
Aku akan melakukan sesuatu soal itu.
Aku tidak
punya metode lain saat ini, tapi hanya dengan inilah aku bisa memuaskan semua
pihak, maka itulah jalan yang akan kutempuh.
Aku punya
alasan, aku punya masalah yang akan kuhadapi, dan sekarang aku sudah punya
solusinya.
Yang tersisa hanyalah melakukan rencana ini.
Hmm, Hachiman ternyata masih memiliki keinginan untuk memiliki pacar...
...
Saya tidak tahu harus menggambarkannya seperti apa. Hachiman selalu mengatakan kalau dia adalah penyendiri. Tapi, disini dia punya Zaimokuza yang bersedia melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor untuknya. Jika Zaimokuza tidak dianggap sebagai teman, saya sendiri tidak tahu harus menyebutnya apa.
...
Komachi ini sebenarnya ketua OSIS di SMP-nya, dan kemungkinan besar Komachi adalah gadis populer di SMPnya. Melihat timeline chapter ini berada di akhir November, dan dimana biasanya pemilihan ketua OSIS terjadi setelah liburan musim panas, kemungkinan besar status Komachi di adegan ini sudah menjadi mantan ketua OSIS.
...
Sebenarnya, alasan utama Hachiman membenci Taishi karena Hachiman siscon. Hachiman tidak suka ada pria yang mendekati Komachi.
...
Kekhawatiran Komachi di ending chapter terbukti. Metode ini sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, tapi menghilangkan masalahnya. Masalah sebenarnya antara Yukino dan Hachiman, masih terus ada.
...
Hubungan yang Hachiman katakan bisa memahami si gadis dan bisa memotivasi Hachiman untuk bergerak tanpa alasan tertentu, sebenarnya Hachiman namakan hubungan genuine. Dimana, Watari sendiri lebih suka mengatakan itu cinta yang tulus dalam sebuah afterwordsnya.
...
Saki ternyata sering memperhatikan Hachiman secara diam-diam...
Pengamatan dari Saki ternyata memang jeli, Hachiman memang memiliki potensi untuk menjadi Ketua OSIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar