x Chapter IV x
Setelah dari klub, aku langsung mengubah mode menjadi ‘mode bekerja’ ketika menuju Community Center.
Aku menunggu kedatangan Isshiki di depan pintu masuk, tapi dia tidak muncul sama sekali meskipun aku sudah menunggunya di waktu yang sama seperti biasanya.
Mungkin dia sudah datang lebih dulu dan berada di dalam. Aku akhirnya memutuskan untuk masuk ke Training Room.
Aku merasa suasana di dalam Community Center lebih sunyi daripada biasanya. Tampaknya mereka tidak mengadakan acara dansa ataupun acara yang diadakan kelompok-kelompok tertentu.
Meski begitu, suara berisik yang terdengar dari balik pintu Training Room serasa mengisi suara-suara mayoritas di Community Center.
Aku masuk ke dalam ruangan dan ternyata suara berisik tersebut berasal dari siswa SMA Kaihin. Sebaliknya, pihak SMA Sobu terasa sangat sunyi.
“Sup!”
Aku memberikan salam dan menaruh tasku, tapi aku menyadari sesuatu. Isshiki yang kukira sudah berada disini ternyata tidak terlihat di sudut manapun.
“Isshiki dimana?”
Mendengar pertanyaan itu, Wakil Ketua yang duduk di dekatku tampak menatapku dengan wajah penuh tanda tanya pula.
“Dia belum datang...Dia tidak bersamamu?”
Akupun memiringkan kepalaku seperti penuh tanda tanya juga ketika mendengar kata-katanya barusan.
“Apa ada yang tahu dia lagi dimana sekarang?”
“Aku sekarang mengiriminya SMS untuk jaga-jaga, tapi...”
Kalau melihat cara bicaranya kepada Wakil Ketua, gadis ini sepertinya siswi kelas 1. Dia kemungkinan besar Sekretaris atau Bendahara. Dengan kacamata dan rambut diikat, dia memakai seragam sesuai peraturan sekolah sehingga dia terlihat sebagai siswa yang ‘awam’ terhadap aturan sekolah, entah mengapa dia terlihat ragu-ragu.
Meskipun dia masih kelas 1 seperti Isshiki, dia tampak tidak begitu kaku. Aku bahkan melihatnya berbicara barusan, dan sekarang dia mengirimi Isshiki SMS. Meskipun itu entah SMS atau telpon langsung, pasti ada sebuah kedekatan antara mereka, kah? Sangat rumit sekali...
Ketika gadis itu melihat ke arahku dan Wakil Ketua seperti penuh tanda tanya melihatnya, dia akhirnya berbicara.
“Dia mungkin masih berada di klubnya.”
Sekarang dia menyebutkan itu, aku baru sadar kalau itu bisa saja terjadi. Sebelum Isshiki menjadi Ketua OSIS, dia adalah manajer Klub Sepakbola. Dan jabatan itu masih dia emban hingga saat ini.
Jika Isshiki datang ke klubnya hanya untuk melakukan seperti yang kulakukan ke klubku, maka kemungkinan besar dia kesulitan untuk memeriksa HP-nya. Kalau begitu, mungkin lebih baik jika aku menemuinya langsung saat ini.
“Aku akan menjemputnya.”
“Ah, yeah. Terima Kasih.”
Si Wakil Ketua hanya melihatku pergi dengan mengatakan kata-kata tersebut.
Jadi, aku hanya menyusuri kembali jejakku menuju sekolah kembali.
Dengan sepedaku, hanya akan memakan waktu beberapa menit saja untuk ke sekolah.
Dalam kampus yang besar dimana terdapat Klub Baseball, Klub Sepakbola, Klub Rugby, dan Klub Atletik, lapangan mereka berada dalam satu kompleks dan menggunakan kompleks latihan tersebut bersama-sama setiap harinya.
Meskipun matahari terlihat mulai tenggelam, aku masih bisa melihat beberapa orang berlalu-lalang di sekolah ini. Kuparkir sepedaku di dekat kompleks tersebut dan menuju ke tempat latihan Klub Sepakbola.
Ketika kulihat dari jauh, tim sepakbola membagi membernya menjadi dua dan terlihat sedang melakukan mini-game.
Isshiki tidak ada disana, tapi ada seorang gadis yang tampak seperti manajer mereka (terlihat manis) sedang memegang stopwatch dan peluit. Lalu dia meniup peluit tersebut.
Ketika dia melakukan itu, para pemain terlihat lega dan mulai berjalan ke sebelah gedung sekolah. Tampaknya, itu adalah waktu istirahat pertandingan dan mereka sedang mencari botol minum mereka yang mereka tinggalkan di tempat itu.
Di grup itu, aku melihat Tobe. Dia juga tampak sedang melihatku, lalu dia menaikkan tangannya dan menuju ke arahku. Apa-apaan kau ini? Kalau kau seperti itu, nanti orang-orang akan mengira kita ini adalah teman!
“Ooh, apa yang kutemukan ini? Bukankah ini Hikitani-kun? Ada apa?”
Tobe berbicara kepadaku seperti seorang teman. Aku tidak yakin apakah dia ini semacam idiot atau semacamnya, tapi orang ini seperti sok dekat...? Bukannya aku mengatakan dia pria yang jahat, jadi sikapnya tadi bukanlah masalah yang serius.
Kupikir ini adalah timing yang bagus. Kurasa aku ada baiknya bertanya ke Tobe.
“Apa Isshiki ada disini?”
“Irohasu? Irohasu ada di...huh? Tidak ada disini, ya? Hayato-kuuun, tahu enggak Irohasu dimana?”
Tobe melihat ke sekitarnya untuk mencari Isshiki, tapi dia tidak melihatnya di sekitar sini, lalu dia memanggil Hayama yang tidak jauh dari kami dengan suara yang cukup tinggi.
Hayama lalu mengambil handuk dari si manajer (masih terlihat manis), dia lalu menyeka keringatnya dan berjalan ke arah kami. Wow, manajer perempuan tadi memberinya handuk. Kalau itu terjadi kepadaku, keringatku malah bertambah banyak karena gugup.
“Iroha tadi kesini dan mengatakan ada keperluan sehingga dia pergi lebih awal.”
Hayama menjawab Tobe dan Tobe melihat ke arahku.
“Nah itu dia jawabannya, Hikitani-kun.”
“Begitu ya. Maaf kalau merepotkan, terima kasih ya. Sampai jumpa lagi.”
Tampaknya kami berpapasan di jalan, entah dimana. Ini hanyalah buang-buang waktu. Aku lalu mulai berjalan menuju tempat parkir sepeda.
“Ah, santai saja bro, santai saja.”
Tobe menjawabnya dengan senyuman. Tapi di sebelahnya masih memasang ekspresi yang dingin, dia adalah Hayama.
“Tobe, soal pembagian pemain untuk mini game selanjutnya, bisa kau lakukan untukku?”
“Eh? Aah, aye, aye!”
Tobe yang diberikan instruksi mendadak tersebut lantas berlari menuju tengah lapangan. Tampaknya, dia memang disengaja untuk dikondisikan meninggalkan tempat ini.
Mungkin bukan ide yang baik untuk tetap berada di tempat ini. Aku lalu memegangi sepedaku dan bersiap keluar dari gerbang secepat mungkin menuju Community Center. Lalu, ada sebuah suara memanggilku dari belakang.
[note: Kompleks lapangan SMA Sobu bersebelahan dengan parkir sepeda dan gerbang samping sekolah.]
“...Kau ada waktu?”
Ketika aku membalikkan badanku, Hayama berada disana. Dia sedang menarik handuk yang melilit lehernya dan melipatnya, lalu dia berkata.
“Tampaknya sedang ada masalah ya?”
Aku tidak tahu apa maksudnya itu. Aku memiringkan kepalaku untuk mempertanyakan maksudnya. Melihat ekspresiku yang seperti itu, Hayama tersenyum.
“Kau sudah melakukan banyak hal setelah dimintai tolong oleh pengurus OSIS, bukan? Tolong jaga Iroha baik-baik.”
“Jadi kau tahu soal itu?”
Kupikir Isshiki akan merahasiakan ini dari Hayama.
Hayama lalu tersenyum kecil.
“Yeah. Dia tidak mengatakan sesuatu secara spesifik tentang apa kegiatannya, tapi dia terlihat sangat sibuk.”
Kalau sikap Isshiki, aku bisa memahaminya. Tapi, yang tidak bisa kupahami sekarang adalah sikap Hayama.
Aku menunggu kedatangan Isshiki di depan pintu masuk, tapi dia tidak muncul sama sekali meskipun aku sudah menunggunya di waktu yang sama seperti biasanya.
Mungkin dia sudah datang lebih dulu dan berada di dalam. Aku akhirnya memutuskan untuk masuk ke Training Room.
Aku merasa suasana di dalam Community Center lebih sunyi daripada biasanya. Tampaknya mereka tidak mengadakan acara dansa ataupun acara yang diadakan kelompok-kelompok tertentu.
Meski begitu, suara berisik yang terdengar dari balik pintu Training Room serasa mengisi suara-suara mayoritas di Community Center.
Aku masuk ke dalam ruangan dan ternyata suara berisik tersebut berasal dari siswa SMA Kaihin. Sebaliknya, pihak SMA Sobu terasa sangat sunyi.
“Sup!”
Aku memberikan salam dan menaruh tasku, tapi aku menyadari sesuatu. Isshiki yang kukira sudah berada disini ternyata tidak terlihat di sudut manapun.
“Isshiki dimana?”
Mendengar pertanyaan itu, Wakil Ketua yang duduk di dekatku tampak menatapku dengan wajah penuh tanda tanya pula.
“Dia belum datang...Dia tidak bersamamu?”
Akupun memiringkan kepalaku seperti penuh tanda tanya juga ketika mendengar kata-katanya barusan.
“Apa ada yang tahu dia lagi dimana sekarang?”
“Aku sekarang mengiriminya SMS untuk jaga-jaga, tapi...”
Kalau melihat cara bicaranya kepada Wakil Ketua, gadis ini sepertinya siswi kelas 1. Dia kemungkinan besar Sekretaris atau Bendahara. Dengan kacamata dan rambut diikat, dia memakai seragam sesuai peraturan sekolah sehingga dia terlihat sebagai siswa yang ‘awam’ terhadap aturan sekolah, entah mengapa dia terlihat ragu-ragu.
Meskipun dia masih kelas 1 seperti Isshiki, dia tampak tidak begitu kaku. Aku bahkan melihatnya berbicara barusan, dan sekarang dia mengirimi Isshiki SMS. Meskipun itu entah SMS atau telpon langsung, pasti ada sebuah kedekatan antara mereka, kah? Sangat rumit sekali...
Ketika gadis itu melihat ke arahku dan Wakil Ketua seperti penuh tanda tanya melihatnya, dia akhirnya berbicara.
“Dia mungkin masih berada di klubnya.”
Sekarang dia menyebutkan itu, aku baru sadar kalau itu bisa saja terjadi. Sebelum Isshiki menjadi Ketua OSIS, dia adalah manajer Klub Sepakbola. Dan jabatan itu masih dia emban hingga saat ini.
Jika Isshiki datang ke klubnya hanya untuk melakukan seperti yang kulakukan ke klubku, maka kemungkinan besar dia kesulitan untuk memeriksa HP-nya. Kalau begitu, mungkin lebih baik jika aku menemuinya langsung saat ini.
“Aku akan menjemputnya.”
“Ah, yeah. Terima Kasih.”
Si Wakil Ketua hanya melihatku pergi dengan mengatakan kata-kata tersebut.
Jadi, aku hanya menyusuri kembali jejakku menuju sekolah kembali.
Dengan sepedaku, hanya akan memakan waktu beberapa menit saja untuk ke sekolah.
Dalam kampus yang besar dimana terdapat Klub Baseball, Klub Sepakbola, Klub Rugby, dan Klub Atletik, lapangan mereka berada dalam satu kompleks dan menggunakan kompleks latihan tersebut bersama-sama setiap harinya.
Meskipun matahari terlihat mulai tenggelam, aku masih bisa melihat beberapa orang berlalu-lalang di sekolah ini. Kuparkir sepedaku di dekat kompleks tersebut dan menuju ke tempat latihan Klub Sepakbola.
Ketika kulihat dari jauh, tim sepakbola membagi membernya menjadi dua dan terlihat sedang melakukan mini-game.
Isshiki tidak ada disana, tapi ada seorang gadis yang tampak seperti manajer mereka (terlihat manis) sedang memegang stopwatch dan peluit. Lalu dia meniup peluit tersebut.
Ketika dia melakukan itu, para pemain terlihat lega dan mulai berjalan ke sebelah gedung sekolah. Tampaknya, itu adalah waktu istirahat pertandingan dan mereka sedang mencari botol minum mereka yang mereka tinggalkan di tempat itu.
Di grup itu, aku melihat Tobe. Dia juga tampak sedang melihatku, lalu dia menaikkan tangannya dan menuju ke arahku. Apa-apaan kau ini? Kalau kau seperti itu, nanti orang-orang akan mengira kita ini adalah teman!
“Ooh, apa yang kutemukan ini? Bukankah ini Hikitani-kun? Ada apa?”
Tobe berbicara kepadaku seperti seorang teman. Aku tidak yakin apakah dia ini semacam idiot atau semacamnya, tapi orang ini seperti sok dekat...? Bukannya aku mengatakan dia pria yang jahat, jadi sikapnya tadi bukanlah masalah yang serius.
Kupikir ini adalah timing yang bagus. Kurasa aku ada baiknya bertanya ke Tobe.
“Apa Isshiki ada disini?”
“Irohasu? Irohasu ada di...huh? Tidak ada disini, ya? Hayato-kuuun, tahu enggak Irohasu dimana?”
Tobe melihat ke sekitarnya untuk mencari Isshiki, tapi dia tidak melihatnya di sekitar sini, lalu dia memanggil Hayama yang tidak jauh dari kami dengan suara yang cukup tinggi.
Hayama lalu mengambil handuk dari si manajer (masih terlihat manis), dia lalu menyeka keringatnya dan berjalan ke arah kami. Wow, manajer perempuan tadi memberinya handuk. Kalau itu terjadi kepadaku, keringatku malah bertambah banyak karena gugup.
“Iroha tadi kesini dan mengatakan ada keperluan sehingga dia pergi lebih awal.”
Hayama menjawab Tobe dan Tobe melihat ke arahku.
“Nah itu dia jawabannya, Hikitani-kun.”
“Begitu ya. Maaf kalau merepotkan, terima kasih ya. Sampai jumpa lagi.”
Tampaknya kami berpapasan di jalan, entah dimana. Ini hanyalah buang-buang waktu. Aku lalu mulai berjalan menuju tempat parkir sepeda.
“Ah, santai saja bro, santai saja.”
Tobe menjawabnya dengan senyuman. Tapi di sebelahnya masih memasang ekspresi yang dingin, dia adalah Hayama.
“Tobe, soal pembagian pemain untuk mini game selanjutnya, bisa kau lakukan untukku?”
“Eh? Aah, aye, aye!”
Tobe yang diberikan instruksi mendadak tersebut lantas berlari menuju tengah lapangan. Tampaknya, dia memang disengaja untuk dikondisikan meninggalkan tempat ini.
Mungkin bukan ide yang baik untuk tetap berada di tempat ini. Aku lalu memegangi sepedaku dan bersiap keluar dari gerbang secepat mungkin menuju Community Center. Lalu, ada sebuah suara memanggilku dari belakang.
[note: Kompleks lapangan SMA Sobu bersebelahan dengan parkir sepeda dan gerbang samping sekolah.]
“...Kau ada waktu?”
Ketika aku membalikkan badanku, Hayama berada disana. Dia sedang menarik handuk yang melilit lehernya dan melipatnya, lalu dia berkata.
“Tampaknya sedang ada masalah ya?”
Aku tidak tahu apa maksudnya itu. Aku memiringkan kepalaku untuk mempertanyakan maksudnya. Melihat ekspresiku yang seperti itu, Hayama tersenyum.
“Kau sudah melakukan banyak hal setelah dimintai tolong oleh pengurus OSIS, bukan? Tolong jaga Iroha baik-baik.”
“Jadi kau tahu soal itu?”
Kupikir Isshiki akan merahasiakan ini dari Hayama.
Hayama lalu tersenyum kecil.
“Yeah. Dia tidak mengatakan sesuatu secara spesifik tentang apa kegiatannya, tapi dia terlihat sangat sibuk.”
Kalau sikap Isshiki, aku bisa memahaminya. Tapi, yang tidak bisa kupahami sekarang adalah sikap Hayama.
“Oh ya? Kalau kau tahu, kenapa kau tidak membantunya?”
Pertama, hubungan Hayama dan Isshiki jelas jauh lebih dalam daripada diriku dengan Isshiki. Isshiki memang memberitahuku mengapa dia tidak meminta bantuan Hayama, tapi kalau di depanku ini adalah Hayama yang kubayangkan, maka kalau dia tahu Isshiki sedang kesulitan, maka dia setidaknya mengatakan satu atau dua kata dan menawarinya bantuan.
Tapi ketika Hayama mulai menajamkan tatapan matanya dan memasang senyum di wajahnya, dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Dia tidak meminta bantuan kepadaku. Orang yang dimintai bantuan adalah dirimu.”
“Dia hanya memanfaatkanku saja.”
“Kalau kau yang dimintai tolong, bukankah biasanya kau akan menolaknya dengan segala cara?”
Nada suaranya seperti terkesan atas tindakanku. Tapi meskipun terdengar enak di telingaku, itu juga meninggalkan sebuah sarkasme pada diriku. Karena itu, nada bicaraku kali ini terkesan lebih tajam dari biasanya.
“Bukankah klubku adalah klub semacam itu? Tidak ada alasan untuk menolak request. Tidak sepertimu, aku punya banyak waktu luang sehingga bisa melakukannya.”
“Apa hanya itu saja?”
“...Apa yang ingin kau katakan?”
Pertanyaannya itu membuatku merasa tidak nyaman.
Hayama malah memberiku senyuman daripada menjawab pertanyaanku barusan.
Suasana sunyi ini seperti menggangguku, sehingga aku putuskan untuk berbicara terlebih dahulu.
“...Lagipula jika kau yang dimintai tolong, kaupun tidak akan menolaknya.”
“Kalau soal itu, entah ya...”
Hayama lalu memalingkan wajahnya dariku dan melihat langit di arah barat.
Kumpulan awan-awan tersebut seperti hendak berganti warna menjadi merah.
Dia tampak sedang memikirkan sesuatu dan kembali menatapku. Meskipun cahaya matahari senja masih menyinari wajahnya, aura yang misterius masih menyelimuti wajahnya.
“...Aku bukanlah pria baik seperti yang kau kira.”
Dia mengatakannya dengan nada yang provokatif. Tatapan matanya yang dingin seperti menembus tubuhku.
Aku tidak bisa mengatakan apapun.
Aku merasa kalau liburan musim panas lalu, di dalam kegelapan malam, dia tampaknya memiliki ekspresi seperti itu?
[note: Vol 4 chapter 7, Hayama menceritakan masa lalunya ketika SD.]
Aku diam saja disana tanpa menjawabnya dan Hayama juga tidak mengatakan apapun.
Lalu terdengar suara yang keras memanggilnya.
“Hayato-kuuuun, ditungguuu!”
“Ok, aku akan segera kesana.”
Suara keras Tobe membawa Hayama menuju dirinya yang sebelumnya. Lalu dia menaikkan tangannya kepadaku dan mulai berjalan ke lapangan.
“Sampai jumpa...”
“...Yeah, maaf sudah mengganggu.”
Tidak mempedulikan Hayama yang mulai berlari menjauh, aku lalu mengayuh sepedaku. Entah mengapa, kakiku ini mampu mengayuh sepedaku ini jauh lebih kuat dari biasanya.
Sebuah perasaan muncul antara ingin mengetahui kebenarannya dan perasaan tidak nyaman ketika aku memikirkan hal yang lain. Keduanya seperti tertanam dalam perutku sehingga membuatku merasa sakit.
Kurasa perasaan tidak nyaman ini karena sikap Hayama tadi.
Apakah aku sendiri sudah salah menilai Hayama Hayato?
Kupikir dia adalah pria yang baik. Tapi aku juga merasa kalau dia tidak seperti orang lain kebanyakan. Ekspresi tanpa emosi itu bertujuan untuk membuat semuanya tetap bersama dan bersatu. Kupikir Hayama Hayato selama ini adalah yang seperti itu.
Entah mengapa, senyumnya terlihat berbeda. Senyum yang lembut dan penuh kebaikan, sangat sempurna. Tapi karena saking sempurnanya sehingga perasaan dingin tersebut membuatnya terasa janggal.
Entah dimana, aku pernah melihat senyuman yang seperti itu.
Ketika perjalananku dipenuhi pikiran-pikiran untuk mencari jawaban pertanyaan tersebut, ternyata aku sudah sampai di Community Center. Aku taruh sepedaku di tempat parkir dan menguncinya. Ketika hendak masuk ke dalam, Isshiki terlihat baru keluar dari minimarket di seberang Community Center. Caranya berjalan dengan kepalanya menunduk ke bawah terlihat sangat lambat.
“Isshiki.”
Ketika aku memanggilnya, Isshiki menegakkan kepalanya. Melihatku di seberang sana, dia lalu mengubah pegangan belanjaannya menjadi dua tangan dan terlihat mengembuskan napas kecilnya. Lalu dia tersenyum manis.
“Ah, maaf. Apa aku sudah membuatmu menunggu?”
“Yeah, bahkan aku pergi mencarimu tadi.”
“Bukankah ini adalah momen dimana harusnya kamu mengatakan ‘aku tidak menunggumu, aku baru saja sampai’ bukan begitu?”
Isshiki mengatakannya dengan nada yang agak licik dan akupun menjulurkan tanganku. Melihatku begitu, dia lalu tersenyum.
“...Hari ini tidak begitu berat, jadi tidak apa-apa.”
Pertama, hubungan Hayama dan Isshiki jelas jauh lebih dalam daripada diriku dengan Isshiki. Isshiki memang memberitahuku mengapa dia tidak meminta bantuan Hayama, tapi kalau di depanku ini adalah Hayama yang kubayangkan, maka kalau dia tahu Isshiki sedang kesulitan, maka dia setidaknya mengatakan satu atau dua kata dan menawarinya bantuan.
Tapi ketika Hayama mulai menajamkan tatapan matanya dan memasang senyum di wajahnya, dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Dia tidak meminta bantuan kepadaku. Orang yang dimintai bantuan adalah dirimu.”
“Dia hanya memanfaatkanku saja.”
“Kalau kau yang dimintai tolong, bukankah biasanya kau akan menolaknya dengan segala cara?”
Nada suaranya seperti terkesan atas tindakanku. Tapi meskipun terdengar enak di telingaku, itu juga meninggalkan sebuah sarkasme pada diriku. Karena itu, nada bicaraku kali ini terkesan lebih tajam dari biasanya.
“Bukankah klubku adalah klub semacam itu? Tidak ada alasan untuk menolak request. Tidak sepertimu, aku punya banyak waktu luang sehingga bisa melakukannya.”
“Apa hanya itu saja?”
“...Apa yang ingin kau katakan?”
Pertanyaannya itu membuatku merasa tidak nyaman.
Hayama malah memberiku senyuman daripada menjawab pertanyaanku barusan.
Suasana sunyi ini seperti menggangguku, sehingga aku putuskan untuk berbicara terlebih dahulu.
“...Lagipula jika kau yang dimintai tolong, kaupun tidak akan menolaknya.”
“Kalau soal itu, entah ya...”
Hayama lalu memalingkan wajahnya dariku dan melihat langit di arah barat.
Kumpulan awan-awan tersebut seperti hendak berganti warna menjadi merah.
Dia tampak sedang memikirkan sesuatu dan kembali menatapku. Meskipun cahaya matahari senja masih menyinari wajahnya, aura yang misterius masih menyelimuti wajahnya.
“...Aku bukanlah pria baik seperti yang kau kira.”
Dia mengatakannya dengan nada yang provokatif. Tatapan matanya yang dingin seperti menembus tubuhku.
Aku tidak bisa mengatakan apapun.
Aku merasa kalau liburan musim panas lalu, di dalam kegelapan malam, dia tampaknya memiliki ekspresi seperti itu?
[note: Vol 4 chapter 7, Hayama menceritakan masa lalunya ketika SD.]
Aku diam saja disana tanpa menjawabnya dan Hayama juga tidak mengatakan apapun.
Lalu terdengar suara yang keras memanggilnya.
“Hayato-kuuuun, ditungguuu!”
“Ok, aku akan segera kesana.”
Suara keras Tobe membawa Hayama menuju dirinya yang sebelumnya. Lalu dia menaikkan tangannya kepadaku dan mulai berjalan ke lapangan.
“Sampai jumpa...”
“...Yeah, maaf sudah mengganggu.”
Tidak mempedulikan Hayama yang mulai berlari menjauh, aku lalu mengayuh sepedaku. Entah mengapa, kakiku ini mampu mengayuh sepedaku ini jauh lebih kuat dari biasanya.
Sebuah perasaan muncul antara ingin mengetahui kebenarannya dan perasaan tidak nyaman ketika aku memikirkan hal yang lain. Keduanya seperti tertanam dalam perutku sehingga membuatku merasa sakit.
Kurasa perasaan tidak nyaman ini karena sikap Hayama tadi.
Apakah aku sendiri sudah salah menilai Hayama Hayato?
Kupikir dia adalah pria yang baik. Tapi aku juga merasa kalau dia tidak seperti orang lain kebanyakan. Ekspresi tanpa emosi itu bertujuan untuk membuat semuanya tetap bersama dan bersatu. Kupikir Hayama Hayato selama ini adalah yang seperti itu.
Entah mengapa, senyumnya terlihat berbeda. Senyum yang lembut dan penuh kebaikan, sangat sempurna. Tapi karena saking sempurnanya sehingga perasaan dingin tersebut membuatnya terasa janggal.
Entah dimana, aku pernah melihat senyuman yang seperti itu.
Ketika perjalananku dipenuhi pikiran-pikiran untuk mencari jawaban pertanyaan tersebut, ternyata aku sudah sampai di Community Center. Aku taruh sepedaku di tempat parkir dan menguncinya. Ketika hendak masuk ke dalam, Isshiki terlihat baru keluar dari minimarket di seberang Community Center. Caranya berjalan dengan kepalanya menunduk ke bawah terlihat sangat lambat.
“Isshiki.”
Ketika aku memanggilnya, Isshiki menegakkan kepalanya. Melihatku di seberang sana, dia lalu mengubah pegangan belanjaannya menjadi dua tangan dan terlihat mengembuskan napas kecilnya. Lalu dia tersenyum manis.
“Ah, maaf. Apa aku sudah membuatmu menunggu?”
“Yeah, bahkan aku pergi mencarimu tadi.”
“Bukankah ini adalah momen dimana harusnya kamu mengatakan ‘aku tidak menunggumu, aku baru saja sampai’ bukan begitu?”
Isshiki mengatakannya dengan nada yang agak licik dan akupun menjulurkan tanganku. Melihatku begitu, dia lalu tersenyum.
“...Hari ini tidak begitu berat, jadi tidak apa-apa.”
“Begitukah?”
“Ya.”
Isshiki menjawabnya singkat. Memang ada benarnya, kulihat isi dari belanjaannya tidak begitu banyak. Tapi tangan-tangan yang terlihat membawa belanjaan tersebut terlihat berat.
“Kita sudah telat, ayo kita cepat masuk ke dalam.”
Setelah mengatakannya, Isshiki masuk ke Community Center. Aku lalu mengikutinya.
Bahu Isshiki dari belakang terlihat lebih lemah dari biasanya dan punggungnya lebih miring daripada sebelumnya.
Aah, apakah motivasi orang ini sudah menurun...? Melihat bagaimana dirinya sehari-hari sangat ceria, tampaknya situasinya sekarang membuatnya menjadi tidak seperti biasanya.
Mungkin itu cukup beralasan. Dia mungkin sudah lelah dengan event dan masalah internal OSIS yang tidak terselesaikan. Bagi gadis kelas 1 SMA, ini memang situasi yang cukup berat.
Tapi salah satu biang kerok dirinya menjadi seperti itu adalah diriku. Tidak banyak yang bisa kulakukan, meski begitu, aku akan melakukan apa yang kubisa, setidaknya mensupportnya.
Meskipun, belakangan ini yang bisa kulakukan untuknya hanyalah membawakan tas belanjaannya.
“Ya.”
Isshiki menjawabnya singkat. Memang ada benarnya, kulihat isi dari belanjaannya tidak begitu banyak. Tapi tangan-tangan yang terlihat membawa belanjaan tersebut terlihat berat.
“Kita sudah telat, ayo kita cepat masuk ke dalam.”
Setelah mengatakannya, Isshiki masuk ke Community Center. Aku lalu mengikutinya.
Bahu Isshiki dari belakang terlihat lebih lemah dari biasanya dan punggungnya lebih miring daripada sebelumnya.
Aah, apakah motivasi orang ini sudah menurun...? Melihat bagaimana dirinya sehari-hari sangat ceria, tampaknya situasinya sekarang membuatnya menjadi tidak seperti biasanya.
Mungkin itu cukup beralasan. Dia mungkin sudah lelah dengan event dan masalah internal OSIS yang tidak terselesaikan. Bagi gadis kelas 1 SMA, ini memang situasi yang cukup berat.
Tapi salah satu biang kerok dirinya menjadi seperti itu adalah diriku. Tidak banyak yang bisa kulakukan, meski begitu, aku akan melakukan apa yang kubisa, setidaknya mensupportnya.
Meskipun, belakangan ini yang bisa kulakukan untuknya hanyalah membawakan tas belanjaannya.
x x x
Apa ada sesuatu yang bagus akan kau dapatkan jika kau membuatnya semakin lama?
Aku mencoba memakai itu sebagai sebuah pertanyaan dasar, dan itu adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada orang-orang yang merencanakan untuk mengadakan sebuah kegiatan.
“Masih ada waktu. Ini harusnya akan baik-baik saja. Sedikit lagi maka akan selesai...” adalah sebuah kata-kata familiar yang menandakan sebuah kegiatan akan tidak terlaksana dan itu terus mengisi kepalamu. Ketika kau tahu berapa banyak waktu yang tersisa, maka kau akan santai-santai saja, bermain di pojokan, dan memandangnya bukan hal besar. Seperti itulah orang-orang ini.
Sampai detik ini, situasi itu seperti terlihat di wajahku sementara aku masih bisa mengatakan “masih bisa, masih bisa”.
Rencana hari ini adalah bertemu dengan para siswa SD yang berada di sekitar Community Center dimana pihak SMA Kaihin telah melakukan pembicaraan. Tidak ada sebuah keputusan diambil pada rapat sebelumnya, yang ada hanyalah keputusan kalau kita akan meningkatkan skala kegiatannya menjadi lebih besar.
“Mari kita putuskan semuanya bersama-sama! Aku ingin kalian berada di sana dan berikan semua yang kalian inginkan!”
Ekspresi Tamanawa yang berapi-api dan menyegarkan itu sedang menyapa para siswa SD seperti sedang mencoba meracuni mereka.
Ketika dia melakukannya, para siswa SD menjawab “Mohon kerjasamanya” secara serempak.
Seperti dugaanku, tidak seluruh siswa SD akan berpartisipasi dan hanya beberapa orang saja yang diajak, mungkin mereka berasal dari pengurus OSIS tingkat SD?
Mereka berjumlah sekitar 10 anak.
Dalam grup tersebut, aku melihat gadis yang sangat familiar.
Karena dia terlihat lebih dewasa dari anak-anak yang berada di sekelilingnya, sekali melihat saja sudah tahu. Dengan rambut yang panjang, lurus dan berwarna hitam, dia terlihat mirip dengan seseorang yang memiliki aura dingin.
[note: You know who...]
Tsurumi Rumi terlihat seperti seorang penyendiri, tidak berbeda dengan apa yang terjadi ketika liburan musim panas lalu.
Ketika aku terus menatapnya, dia tampaknya menyadari diriku dan melihatku dengan tajam. Dia lalu memalingkan pandangannya dan melihat ke arah lantai.
Sikapnya itu terlihat kontras dengan anak-anak SD di sekitarnya, dan kenangan masa lalu dimana aku telah melakukan sesuatu untuknya terlintas di kepalaku.
Waktu itu di Perkemahan Desa Chiba ketika liburan musim panas. Aku menghancurkan hubungan pertemanan sebuah grup dimana Rumi berada. Juga, pada saat itu aku memberikan peran penjahat kepada Hayama dan yang lain.
Dan hasilnya ada di depanku saat ini.
Aku tidak tahu apakah itu benar atau salah. Apakah dia terselamatkan atau tidak, itu adalah hal yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
“Senpai, ada apa?”
Ketika aku melihat ke asal suara tersebut, Isshiki melihatku dengan penasaran.
“...Tidak ada apa-apa.”
Setelah menjawabnya singkat, aku melihat lagi ke arah Rumi dan yang lainnya.
Tampaknya gadis-gadis yang satu grup dengannya ketika perkemahan itu tidak berada disini. Dengan kata lain, apakah aku berhasil atau tidak akan bisa dilihat dari bagaimana dia bersosialisasi dengan gadis yang lain pada saat ini. Kupikir itu adalah hal yang bisa kutebak sambil menjalankan pekerjaanku. Kurasa, biar kutaruh masalah ini untuk dibahas di lain waktu.
Sekarang, ada hal lain yang lebih penting. Yaitu bagaimana kita menghadapi para siswa SD ini.
Meskipun kita kedatangan para siswa SD, tapi sebenarnya tidak ada pekerjaan yang bisa kita berikan kepada mereka untuk saat ini.
Aku juga melihat ada guru mereka disini, mereka bertindak sebagai pengawas mereka, tapi mereka tampaknya mempercayakan apa yang akan mereka lakukan kepada para siswa SMA disini. Tampaknya sambutan Tamanawa tadi membuat mereka mempercayakan sesuatunya kepada kita disini.
Ngomong-ngomong soal Tamanawa, setelah memberikan sambutannya, dia datang ke arah kami sambil tersenyum.
“Oke, bisakah aku serahkan mereka kepada kalian?’
Kamu memanggil mereka kesini hanya untuk meninggalkan mereka...Meskipun kau menyerahkan kepada kami, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah mengobrol karena kita belum memutuskan satupun kegiatan yang akan kita lakukan. Lagipula, kita tidak bisa membuat mereka terlalu malam berada disini. Jumlah waktu yang mereka miliki terbatas. Sesuatu seperti “Sejujurnya, meski kita berusaha membuat mereka tetap disini...” semacam itu.
Meski begitu, fakta bahwa dia meminta kami untuk melakukannya membuat kami sudah terlalu terlambat untuk mengatakan “Maaf, aku tidak bisa melakukannya”. Aku sendiri tidak yakin apa yang Tamanawa katakan kepada pihak SD ketika bernegosiasi, tapi menyerahkan mereka kepada kami membuat pihak kami merasa ambil bagian terhadap nasib mereka. Kalau ingin menyesali ketidakmampuan kita untuk menolak argumennya dalam brainstorm tempo hari, kurasa inilah saatnya.
Kalau kita sendiri tidak tahu akan melakukan apa, apalagi dengan para siswa SD ini? Meski sudah berada disini, beberapa orang di grup itu ada yang merasa tidak yakin apa yang mereka lakukan disini.
Beberapa siswa SD melirik ke arah kita dan mulai berbisik ke telinga teman-temannya.
“Apa kita harus bertanya ke mereka dulu kalau kita datang kesini mau melakukan apa?”
“Siapa yang mau?”
“Mau menentukannya pakai ‘gunting-batu-kertas’?”
Ketika mereka terus berbisik, mereka tampaknya lupa atau tidak sadar kalau obrolan mereka itu cukup keras sehingga terdengar jelas oleh kami.
Lalu, muncul suara yang mengejutkan.
“...Aku yang akan melakukannya.”
Dia tampaknya mendengar bisik-bisik di dekatnya itu. Rumi hanya menatap mereka sejenak dan mengatakan itu. Lalu para siswa SD tersebut hanya bisa melihat Rumi pergi.
“Ah, oke...”
“Terima kasih...”
Rumi tidak menjawab kata-kata mereka dan terus berjalan ke meja depan. Tentunya, dia tampak ragu-ragu untuk bertanya kepadaku, jadi dia mendekati si Wakil Ketua yang duduk tidak jauh darinya.
“Apa yang harus kami lakukan?”
Kalau kita mengesampingkan umurnya, dia bertanya dengan nada yang tenang dan membuat si Wakil Ketua gugup.
“U-Uhhh...”
Si Wakil Ketua tampaknya bingung harus menjawab apa lalu dia menatap ke arahku.
“Apa yang harus dilakukan mereka?”
“Jangan tanya kepadaku...”
“Aah, maaf.”
Setelah mengatakannya, si Wakil Ketua melihat ke Isshiki. Jika melihat struktur organisasinya, maka yang seharusnya dilakukan pertama kali adalah bertanya ke Isshiki.
“Isshiki.”
Dia memanggil Isshiki yang berada di dekat Tamanawa untuk ke tempatnya. Isshiki lalu pamit kepada Tamanawa dan terburu-buru ke tempat kami.
“Pekerjaan apa yang harus kita berikan kepada para siswa SD?”
Ketika ditanya, Isshiki menyilangkan lengannya dan memiringkan kepalanya.
“Ummm...Kita belum memutuskan apapun, bukan...? Apakah lebih baik kita mengkonfirmasi dulu kepada mereka sebelum melakukan hal yang lain...?”
Aku mencoba memakai itu sebagai sebuah pertanyaan dasar, dan itu adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada orang-orang yang merencanakan untuk mengadakan sebuah kegiatan.
“Masih ada waktu. Ini harusnya akan baik-baik saja. Sedikit lagi maka akan selesai...” adalah sebuah kata-kata familiar yang menandakan sebuah kegiatan akan tidak terlaksana dan itu terus mengisi kepalamu. Ketika kau tahu berapa banyak waktu yang tersisa, maka kau akan santai-santai saja, bermain di pojokan, dan memandangnya bukan hal besar. Seperti itulah orang-orang ini.
Sampai detik ini, situasi itu seperti terlihat di wajahku sementara aku masih bisa mengatakan “masih bisa, masih bisa”.
Rencana hari ini adalah bertemu dengan para siswa SD yang berada di sekitar Community Center dimana pihak SMA Kaihin telah melakukan pembicaraan. Tidak ada sebuah keputusan diambil pada rapat sebelumnya, yang ada hanyalah keputusan kalau kita akan meningkatkan skala kegiatannya menjadi lebih besar.
“Mari kita putuskan semuanya bersama-sama! Aku ingin kalian berada di sana dan berikan semua yang kalian inginkan!”
Ekspresi Tamanawa yang berapi-api dan menyegarkan itu sedang menyapa para siswa SD seperti sedang mencoba meracuni mereka.
Ketika dia melakukannya, para siswa SD menjawab “Mohon kerjasamanya” secara serempak.
Seperti dugaanku, tidak seluruh siswa SD akan berpartisipasi dan hanya beberapa orang saja yang diajak, mungkin mereka berasal dari pengurus OSIS tingkat SD?
Mereka berjumlah sekitar 10 anak.
Dalam grup tersebut, aku melihat gadis yang sangat familiar.
Karena dia terlihat lebih dewasa dari anak-anak yang berada di sekelilingnya, sekali melihat saja sudah tahu. Dengan rambut yang panjang, lurus dan berwarna hitam, dia terlihat mirip dengan seseorang yang memiliki aura dingin.
[note: You know who...]
Tsurumi Rumi terlihat seperti seorang penyendiri, tidak berbeda dengan apa yang terjadi ketika liburan musim panas lalu.
Ketika aku terus menatapnya, dia tampaknya menyadari diriku dan melihatku dengan tajam. Dia lalu memalingkan pandangannya dan melihat ke arah lantai.
Sikapnya itu terlihat kontras dengan anak-anak SD di sekitarnya, dan kenangan masa lalu dimana aku telah melakukan sesuatu untuknya terlintas di kepalaku.
Waktu itu di Perkemahan Desa Chiba ketika liburan musim panas. Aku menghancurkan hubungan pertemanan sebuah grup dimana Rumi berada. Juga, pada saat itu aku memberikan peran penjahat kepada Hayama dan yang lain.
Dan hasilnya ada di depanku saat ini.
Aku tidak tahu apakah itu benar atau salah. Apakah dia terselamatkan atau tidak, itu adalah hal yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
“Senpai, ada apa?”
Ketika aku melihat ke asal suara tersebut, Isshiki melihatku dengan penasaran.
“...Tidak ada apa-apa.”
Setelah menjawabnya singkat, aku melihat lagi ke arah Rumi dan yang lainnya.
Tampaknya gadis-gadis yang satu grup dengannya ketika perkemahan itu tidak berada disini. Dengan kata lain, apakah aku berhasil atau tidak akan bisa dilihat dari bagaimana dia bersosialisasi dengan gadis yang lain pada saat ini. Kupikir itu adalah hal yang bisa kutebak sambil menjalankan pekerjaanku. Kurasa, biar kutaruh masalah ini untuk dibahas di lain waktu.
Sekarang, ada hal lain yang lebih penting. Yaitu bagaimana kita menghadapi para siswa SD ini.
Meskipun kita kedatangan para siswa SD, tapi sebenarnya tidak ada pekerjaan yang bisa kita berikan kepada mereka untuk saat ini.
Aku juga melihat ada guru mereka disini, mereka bertindak sebagai pengawas mereka, tapi mereka tampaknya mempercayakan apa yang akan mereka lakukan kepada para siswa SMA disini. Tampaknya sambutan Tamanawa tadi membuat mereka mempercayakan sesuatunya kepada kita disini.
Ngomong-ngomong soal Tamanawa, setelah memberikan sambutannya, dia datang ke arah kami sambil tersenyum.
“Oke, bisakah aku serahkan mereka kepada kalian?’
Kamu memanggil mereka kesini hanya untuk meninggalkan mereka...Meskipun kau menyerahkan kepada kami, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan hanyalah mengobrol karena kita belum memutuskan satupun kegiatan yang akan kita lakukan. Lagipula, kita tidak bisa membuat mereka terlalu malam berada disini. Jumlah waktu yang mereka miliki terbatas. Sesuatu seperti “Sejujurnya, meski kita berusaha membuat mereka tetap disini...” semacam itu.
Meski begitu, fakta bahwa dia meminta kami untuk melakukannya membuat kami sudah terlalu terlambat untuk mengatakan “Maaf, aku tidak bisa melakukannya”. Aku sendiri tidak yakin apa yang Tamanawa katakan kepada pihak SD ketika bernegosiasi, tapi menyerahkan mereka kepada kami membuat pihak kami merasa ambil bagian terhadap nasib mereka. Kalau ingin menyesali ketidakmampuan kita untuk menolak argumennya dalam brainstorm tempo hari, kurasa inilah saatnya.
Kalau kita sendiri tidak tahu akan melakukan apa, apalagi dengan para siswa SD ini? Meski sudah berada disini, beberapa orang di grup itu ada yang merasa tidak yakin apa yang mereka lakukan disini.
Beberapa siswa SD melirik ke arah kita dan mulai berbisik ke telinga teman-temannya.
“Apa kita harus bertanya ke mereka dulu kalau kita datang kesini mau melakukan apa?”
“Siapa yang mau?”
“Mau menentukannya pakai ‘gunting-batu-kertas’?”
Ketika mereka terus berbisik, mereka tampaknya lupa atau tidak sadar kalau obrolan mereka itu cukup keras sehingga terdengar jelas oleh kami.
Lalu, muncul suara yang mengejutkan.
“...Aku yang akan melakukannya.”
Dia tampaknya mendengar bisik-bisik di dekatnya itu. Rumi hanya menatap mereka sejenak dan mengatakan itu. Lalu para siswa SD tersebut hanya bisa melihat Rumi pergi.
“Ah, oke...”
“Terima kasih...”
Rumi tidak menjawab kata-kata mereka dan terus berjalan ke meja depan. Tentunya, dia tampak ragu-ragu untuk bertanya kepadaku, jadi dia mendekati si Wakil Ketua yang duduk tidak jauh darinya.
“Apa yang harus kami lakukan?”
Kalau kita mengesampingkan umurnya, dia bertanya dengan nada yang tenang dan membuat si Wakil Ketua gugup.
“U-Uhhh...”
Si Wakil Ketua tampaknya bingung harus menjawab apa lalu dia menatap ke arahku.
“Apa yang harus dilakukan mereka?”
“Jangan tanya kepadaku...”
“Aah, maaf.”
Setelah mengatakannya, si Wakil Ketua melihat ke Isshiki. Jika melihat struktur organisasinya, maka yang seharusnya dilakukan pertama kali adalah bertanya ke Isshiki.
“Isshiki.”
Dia memanggil Isshiki yang berada di dekat Tamanawa untuk ke tempatnya. Isshiki lalu pamit kepada Tamanawa dan terburu-buru ke tempat kami.
“Pekerjaan apa yang harus kita berikan kepada para siswa SD?”
Ketika ditanya, Isshiki menyilangkan lengannya dan memiringkan kepalanya.
“Ummm...Kita belum memutuskan apapun, bukan...? Apakah lebih baik kita mengkonfirmasi dulu kepada mereka sebelum melakukan hal yang lain...?”
“Tidak...”
Melihat bagaimana Tamanawa dan gerombolannya, kemungkinan besar mereka akan menjawab “bukankah sudah kukatakan tadi?” karena kita yang diserahi untuk mengurus mereka, maka kita pada awalnya memang diminta untuk memikirkannya sendiri.
“Untuk sementara, kupikir kita melakukan sesuatu yang pasti dibutuhkan dan tidak mengganggu rencana yang akan diputuskan nanti. Seperti menyiapkan dekorasi dan menghias pohon Natal kupikir bagus. Mungkin membeli bahan-bahan dekorasinya...”
“...Kupikir begitu. Oke, kalau begitu ayo kita kerjakan.”
Isshiki menganggukkan kepalanya. Lalu dia mengantar Rumi menuju grup para siswa SD tersebut dan menjelaskan kegiatan yang akan mereka lakukan.
Pekerjaan tersebut kurasa akan memakan waktu agak lama dan harusnya akan banyak membantu ketika mempersiapkan eventnya. Tapi kita harus memikirkan apa yang akan kita lakukan kelak. Situasi kita saat ini seperti tidak tahu akan melakukan apa, kita harus berpikir selangkah di depan. Kita harus bisa menyusun struktur eventnya, atau kita hanya akan menjadi ‘segerombolan orang yang hanya membuang-buang waktu’.
Aku menyerahkan urusan menangani siswa SD ke Isshiki dan mulai berjalan menuju Tamanawa. Sebenarnya, yang akan kulakukan ini adalah tugas Isshiki, tapi ada sebuah ganjalan yang disebut sebuah tata krama di kalangan orang-orang. Karena perbedaan usia, Isshiki mungkin tidak bisa mengatakan sejujurnya kepadanya. Kalau begitu, maka disitulah aku harus ada dan menggantikannya melakukan itu.
Aku mendekati Tamanawa yang sedang mengobrol dengan grupnya dan aku pura-pura terbatuk. Tamanawa melihatku dan membalikkan badannya.
“Ada apa?”
Tamanawa bertanya kepadaku dengan senyum yang menyegarkan. Aku tidak begitu bagus jika menghadapi orang-orang yang mampu menyebarkan aura nyaman seperti dirinya. Karena itulah, suaraku terkesan berantakan.
“Umm, meskipun ada siswa SD yang membantu kita, tapi kalau kita tidak memutuskan sesuatu, maka kita tidak bisa melakukan sesuatu...”
“Oke, oleh karena itu mari kita pikirkan bersama-sama.”
Aku seperti kehilangan kata-kata mendengar responnya yang seperti itu.
“Pikirkan bersama-sama katamu...Kalau yang kita lakukan hanyalah diskusi tentang hal yang abu-abu, maka kita tidak akan bisa memutuskan sesuatu. Saat ini, harusnya kita berusaha memecah kebuntuan itu dan mulai memutuskan apa yang akan kita lakukan.”
“Tapi bukankah itu hanya akan mempersempit pemikiran kita? Kupikir kita harus memikirkan semua kemungkinan yang bisa kita lakukan dulu bersama-sama.”
Tamanawa memotongku tanpa berniat mendengarkan kata-kataku sampai selesai. Meski begitu, kalau kita cuma duduk disini, maka ini hanya mengulang hari-hari sebelumnya. Sekali lagi, aku mencoba menyerangnya dari sisi yang lain.
“Bukan begitu, waktu yang kita punya...”
“Itu benar juga. Kita harusnya juga memikirkan bagaimana mensiasati waktu yang terbatas itu bersama-sama.”
Ini seperti mengadakan event dimana mayoritas waktunya memang dialokasikan untuk rapat saja, benar tidak? Aku memikirkan apa yang harus kukatakan kepadanya sambil menggaruk-garuk kepalaku dan Tamanawa tersenyum melihatku seperti dia tahu apa yang sedang kurasakan.
“Aku paham kalau kau ingin semuanya serba cepat, tapi mari kita lakukan yang terbaik bersama-sama dan saling COVER satu sama lain.”
Tamanawa membuat bahasa tubuh yang aneh dan menepuk bahuku seperti berusaha membuatku kuat. Dia tidak memberikan tekanan pada tangannya, tapi itu saja sudah cukup untuk membuat bahuku turun.
Melihat bagaimana Tamanawa dan gerombolannya, kemungkinan besar mereka akan menjawab “bukankah sudah kukatakan tadi?” karena kita yang diserahi untuk mengurus mereka, maka kita pada awalnya memang diminta untuk memikirkannya sendiri.
“Untuk sementara, kupikir kita melakukan sesuatu yang pasti dibutuhkan dan tidak mengganggu rencana yang akan diputuskan nanti. Seperti menyiapkan dekorasi dan menghias pohon Natal kupikir bagus. Mungkin membeli bahan-bahan dekorasinya...”
“...Kupikir begitu. Oke, kalau begitu ayo kita kerjakan.”
Isshiki menganggukkan kepalanya. Lalu dia mengantar Rumi menuju grup para siswa SD tersebut dan menjelaskan kegiatan yang akan mereka lakukan.
Pekerjaan tersebut kurasa akan memakan waktu agak lama dan harusnya akan banyak membantu ketika mempersiapkan eventnya. Tapi kita harus memikirkan apa yang akan kita lakukan kelak. Situasi kita saat ini seperti tidak tahu akan melakukan apa, kita harus berpikir selangkah di depan. Kita harus bisa menyusun struktur eventnya, atau kita hanya akan menjadi ‘segerombolan orang yang hanya membuang-buang waktu’.
Aku menyerahkan urusan menangani siswa SD ke Isshiki dan mulai berjalan menuju Tamanawa. Sebenarnya, yang akan kulakukan ini adalah tugas Isshiki, tapi ada sebuah ganjalan yang disebut sebuah tata krama di kalangan orang-orang. Karena perbedaan usia, Isshiki mungkin tidak bisa mengatakan sejujurnya kepadanya. Kalau begitu, maka disitulah aku harus ada dan menggantikannya melakukan itu.
Aku mendekati Tamanawa yang sedang mengobrol dengan grupnya dan aku pura-pura terbatuk. Tamanawa melihatku dan membalikkan badannya.
“Ada apa?”
Tamanawa bertanya kepadaku dengan senyum yang menyegarkan. Aku tidak begitu bagus jika menghadapi orang-orang yang mampu menyebarkan aura nyaman seperti dirinya. Karena itulah, suaraku terkesan berantakan.
“Umm, meskipun ada siswa SD yang membantu kita, tapi kalau kita tidak memutuskan sesuatu, maka kita tidak bisa melakukan sesuatu...”
“Oke, oleh karena itu mari kita pikirkan bersama-sama.”
Aku seperti kehilangan kata-kata mendengar responnya yang seperti itu.
“Pikirkan bersama-sama katamu...Kalau yang kita lakukan hanyalah diskusi tentang hal yang abu-abu, maka kita tidak akan bisa memutuskan sesuatu. Saat ini, harusnya kita berusaha memecah kebuntuan itu dan mulai memutuskan apa yang akan kita lakukan.”
“Tapi bukankah itu hanya akan mempersempit pemikiran kita? Kupikir kita harus memikirkan semua kemungkinan yang bisa kita lakukan dulu bersama-sama.”
Tamanawa memotongku tanpa berniat mendengarkan kata-kataku sampai selesai. Meski begitu, kalau kita cuma duduk disini, maka ini hanya mengulang hari-hari sebelumnya. Sekali lagi, aku mencoba menyerangnya dari sisi yang lain.
“Bukan begitu, waktu yang kita punya...”
“Itu benar juga. Kita harusnya juga memikirkan bagaimana mensiasati waktu yang terbatas itu bersama-sama.”
Ini seperti mengadakan event dimana mayoritas waktunya memang dialokasikan untuk rapat saja, benar tidak? Aku memikirkan apa yang harus kukatakan kepadanya sambil menggaruk-garuk kepalaku dan Tamanawa tersenyum melihatku seperti dia tahu apa yang sedang kurasakan.
“Aku paham kalau kau ingin semuanya serba cepat, tapi mari kita lakukan yang terbaik bersama-sama dan saling COVER satu sama lain.”
Tamanawa membuat bahasa tubuh yang aneh dan menepuk bahuku seperti berusaha membuatku kuat. Dia tidak memberikan tekanan pada tangannya, tapi itu saja sudah cukup untuk membuat bahuku turun.
Tampaknya apa yang akan kukatakan selanjutnya adalah hal yang sia-sia.
Memang benar, masih ada waktu dimana kita bisa mengumpulkan semua pendapat dari orang-orang disini, dan hasil yang akan kita dapatkan kemungkinan besar adalah hal yang luar biasa. Ataukah mungkin hanya diriku saja disini yang punya pemikiran berbeda dari yang lain?
Bekerjasama, mengandalkan orang lain, adalah hal-hal yang membutuhkan waktu. Mungkin karena pengalamanku yang kurang dalam hal-hal tersebut, membuatku tidak bisa memahami apa yang sedang dilakukan oleh Tamanawa dan teman-temannya.
Aku ada di tempat ini karena telah melakukan sebuah kesalahan. Sekarang aku melakukan kesalahan lagi di tempat ini.
“...Aku mengerti. Kurasa kita harus secepatnya mengadakan rapat tersebut.”
Setelah mengatakan itu, aku mencoba menelan segala keraguanku dalam-dalam.
“Oke, mari kita adakan rapatnya sesegera mungkin.”
Tamanawa mengakhir diskusi kami, lalu dia memanggil seluruh siswa SMA Kaihin dan memulai rapatnya.
Memang benar, masih ada waktu dimana kita bisa mengumpulkan semua pendapat dari orang-orang disini, dan hasil yang akan kita dapatkan kemungkinan besar adalah hal yang luar biasa. Ataukah mungkin hanya diriku saja disini yang punya pemikiran berbeda dari yang lain?
Bekerjasama, mengandalkan orang lain, adalah hal-hal yang membutuhkan waktu. Mungkin karena pengalamanku yang kurang dalam hal-hal tersebut, membuatku tidak bisa memahami apa yang sedang dilakukan oleh Tamanawa dan teman-temannya.
Aku ada di tempat ini karena telah melakukan sebuah kesalahan. Sekarang aku melakukan kesalahan lagi di tempat ini.
“...Aku mengerti. Kurasa kita harus secepatnya mengadakan rapat tersebut.”
Setelah mengatakan itu, aku mencoba menelan segala keraguanku dalam-dalam.
“Oke, mari kita adakan rapatnya sesegera mungkin.”
Tamanawa mengakhir diskusi kami, lalu dia memanggil seluruh siswa SMA Kaihin dan memulai rapatnya.
x x x
Rapat hari ini diadakan untuk mendiskusikan secara spesifik eventnya.
“Sampai saat ini, kita sudah memutuskan GRAND DESIGN. Tapi hari ini, mari kita melakukan DISCUSSION ke bagian CREATIVITY.”
Tamanawa mengambil posisi seperti moderator rapat dan membuka rapat dengan pidato yang menampilkan wawasan luas.
Seluruh siswa SMA Kaihin mengangguk mendengarnya.
Satu guru pengawas siswa SD yang kami berikan tugas untuk mendekorasi, tampak ikut dalam rapatnya.
Mendengar rapat ini akan mendiskusikan eventnya secara spesifik, kupikir rapat ini sudah mengalami sebuah kemajuan.
Setelah meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang keberatan tentang topik yang akan dibahas, Tamanawa mulai berkata.
“Karena kita memulai dari ZERO BASE, semuanya bebas untuk mengatakan apa yang mereka inginkan.”
Setelah itu, tangan para peserta dari SMA Kaihin mulai naik satu persatu.
“Melakukan sesuatu yang CHRISTMAS-ESQUE mungkin akan bagus.”
“Kupikir kita tidak boleh melewatkan aspek TRADITIONAL, benar tidak?”
“Tapi kalau melihat DEMANDS kepada kita, kupikir kita harus IN LINE dengan siswa SMA, benar tidak?”
Diskusi rapat ini menjadi hal abstrak lagi. Ini buruk sekali, ini tidak akan jauh berbeda dengan brainstorm yang kita lakukan tempo hari.
Seperti yang kuduga, Tamanawa tampaknya tidak berubah. Setelah mengangguk, dia mengatakan kepada semuanya.
“Harus sesuatu yang berhubungan dengan Natal, tetapi berhubungan dengan kita, begitu ya. Contohnya seperti apa?”
Dari situ, pendapat terus bergulir seperti permainan olah kata.
“Kupikir seperti EVENT regional STANDARD akan cocok, misalnya CONCERT CLASSIC Natal.”
“Tapi akan lebih bagus jika kita bisa menunjukkan YOUNG MINDS juga. Seperti BAND.”
“Bukankah JAZZ terdengar lebih ke arah Natal?”
“Kita juga bisa menampilkan paduan suara. Musik latarnya bisa meminjam PIPE ORGAN.”
Para siswa SMA Kaihin tampaknya sangat bersemangat, terlihat betapa agresifnya mereka mengeluarkan ide mereka. Satu orang mengusulkan kegiatan, lalu orang yang lain melebarkan kemungkinan kegiatannya, dan berakhir dengan melemparkan pendapat yang baru.
Orkestra, band, jazz, konser, paduan suara, dansa, permainan, gospel, musikal, drama pendek, dan begitu selanjutnya...
Aku diberi tugas untuk membuat notulen rapat, jadi aku menuliskan ide-ide mereka di memo.
Tidak lama kemudian, ide-ide mereka tidak keluar lagi. Apa mereka sudah kehabisan ide? Ketika aku melihat jumlah idenya, kupikir tidak terlalu banyak dan mungkin ada harapan. Kalau begini, mungkin kita akan memutuskan sesuatu sebelum rapat usai.
Ketika memikirkan itu, Tamanawa mengatakan sesuatu yang mengerikan.
“Bagus sekali. Sekarang, mari kita diskusikan semuanya.”
SIALAAAN, LU BECANDA YA? Apa itu semacam guyonan asli daerah Chiba? Aku lalu mencoba melihat ke arah Tamanawa, tapi dia terlihat sangat serius di wajahnya. Bahkan, senyumnya itu menunjukkan kalau dirinya menikmati diskusi di rapat ini.
“Sampai saat ini, kita sudah memutuskan GRAND DESIGN. Tapi hari ini, mari kita melakukan DISCUSSION ke bagian CREATIVITY.”
Tamanawa mengambil posisi seperti moderator rapat dan membuka rapat dengan pidato yang menampilkan wawasan luas.
Seluruh siswa SMA Kaihin mengangguk mendengarnya.
Satu guru pengawas siswa SD yang kami berikan tugas untuk mendekorasi, tampak ikut dalam rapatnya.
Mendengar rapat ini akan mendiskusikan eventnya secara spesifik, kupikir rapat ini sudah mengalami sebuah kemajuan.
Setelah meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang keberatan tentang topik yang akan dibahas, Tamanawa mulai berkata.
“Karena kita memulai dari ZERO BASE, semuanya bebas untuk mengatakan apa yang mereka inginkan.”
Setelah itu, tangan para peserta dari SMA Kaihin mulai naik satu persatu.
“Melakukan sesuatu yang CHRISTMAS-ESQUE mungkin akan bagus.”
“Kupikir kita tidak boleh melewatkan aspek TRADITIONAL, benar tidak?”
“Tapi kalau melihat DEMANDS kepada kita, kupikir kita harus IN LINE dengan siswa SMA, benar tidak?”
Diskusi rapat ini menjadi hal abstrak lagi. Ini buruk sekali, ini tidak akan jauh berbeda dengan brainstorm yang kita lakukan tempo hari.
Seperti yang kuduga, Tamanawa tampaknya tidak berubah. Setelah mengangguk, dia mengatakan kepada semuanya.
“Harus sesuatu yang berhubungan dengan Natal, tetapi berhubungan dengan kita, begitu ya. Contohnya seperti apa?”
Dari situ, pendapat terus bergulir seperti permainan olah kata.
“Kupikir seperti EVENT regional STANDARD akan cocok, misalnya CONCERT CLASSIC Natal.”
“Tapi akan lebih bagus jika kita bisa menunjukkan YOUNG MINDS juga. Seperti BAND.”
“Bukankah JAZZ terdengar lebih ke arah Natal?”
“Kita juga bisa menampilkan paduan suara. Musik latarnya bisa meminjam PIPE ORGAN.”
Para siswa SMA Kaihin tampaknya sangat bersemangat, terlihat betapa agresifnya mereka mengeluarkan ide mereka. Satu orang mengusulkan kegiatan, lalu orang yang lain melebarkan kemungkinan kegiatannya, dan berakhir dengan melemparkan pendapat yang baru.
Orkestra, band, jazz, konser, paduan suara, dansa, permainan, gospel, musikal, drama pendek, dan begitu selanjutnya...
Aku diberi tugas untuk membuat notulen rapat, jadi aku menuliskan ide-ide mereka di memo.
Tidak lama kemudian, ide-ide mereka tidak keluar lagi. Apa mereka sudah kehabisan ide? Ketika aku melihat jumlah idenya, kupikir tidak terlalu banyak dan mungkin ada harapan. Kalau begini, mungkin kita akan memutuskan sesuatu sebelum rapat usai.
Ketika memikirkan itu, Tamanawa mengatakan sesuatu yang mengerikan.
“Bagus sekali. Sekarang, mari kita diskusikan semuanya.”
SIALAAAN, LU BECANDA YA? Apa itu semacam guyonan asli daerah Chiba? Aku lalu mencoba melihat ke arah Tamanawa, tapi dia terlihat sangat serius di wajahnya. Bahkan, senyumnya itu menunjukkan kalau dirinya menikmati diskusi di rapat ini.
...Apa-apaan ‘mendiskusikan semuanya’? Jadi kamu mau mendiskusikan detail satu-persatu ide yang tadi dikatakan peserta rapat? Lalu aku mencoba melihat pro dan kontra dari daftar ide mereka di memoku.
Aku merasa kalau kita tidak punya waktu untuk membahas itu. Event Natal tersisa seminggu lagi. Misalkan saja kita sudah putuskan akan melakukan apa, kita harus mempersiapkan event, berlatih, dan berkoordinasi satu sama lain, artinya kita harus memulai persiapannya sejak sekarang atau kita akan dalam masalah besar.
“Bukankah akan lebih cepat kalau memilih salah satu ide mereka saat ini daripada membahasnya satu-satu?”
Aku tidak bisa menahan diriku untuk mengatakan tersebut kepada Tamanawa.
“Daripada kita memutuskan dengan gegabah untuk membuang pendapat-pendapat orang lain, kita harusnya membuat sesuatu yang bisa mengakomodir saran semua orang sehingga kita semua bisa merasa puas.”
“Bukan, maksudku...”
“Ide-ide kita secara sistematis sebenarnya saling berdekatan dan agak mirip, jadi kita harus memanfaatkan itu untuk melaksanakan ide mereka bersama-sama.”
Meski aku jelas-jelas berusaha menentangnya, Tamanawa mengatakan itu tanpa terkesan berteriak kepadaku.
Jelas sekali, seperti kata Tamanawa. Satu-satunya cara agar kita bisa memutuskan sesuatu adalah memutuskan sebuah event dimana ide setiap orang diakomodir.
Tapi, apakah itu hal yang benar?
Sebuah perasaan tidak nyaman mulai muncul di perutku.
Tapi aku tidak bisa memikirkan satupun cara untuk membalikkan kata-kata Tamanawa, jadi rapatnya terus berlanjut dengan kondisi seperti itu.
Dari situ, hal-hal yang dibahas di rapat mulai berubah-ubah secara perlahan.
“Kenapa kita tidak menggabungkan semua musik dan membuat CONCERT Natal dengan berbagai GENRE musik?”
“Kalau begitu, kenapa tidak kita gabungkan saja musik dengan drama MUSICAL?”
“Kenapa kita tidak lakukan semua itu dan membuatnya menjadi MOVIE?”
Tampaknya para siswa SMA Kaihin, seperti kata Tamanawa tadi, berusaha menyatukan semua ide. Diskusinya saat ini terfokus dengan bagaimana membuat ide-ide para peserta rapat terakomodir.
Membuang ide-ide adalah hal yang wajar, jika itu memang bisa membuat rapat menjadi lebih maju.
Akupun tidak keberatan jika mereka mengadakan brainstorm untuk memperoleh banyak ide.
Tapi jika brainstorm dan rapat dijadikan satu dimana tujuannya tidak boleh ada satupun ide yang ditolak, maka mereka tidak akan bisa melihat secercah kata ‘keputusan’ dalam penglihatan mereka.
Rapat yang awalnya kupikir akan berjalan lancar sekarang mulai terlihat tidak masuk akal.
Ketika aku sadar, tanganku yang menulis jalannya rapat serasa terhenti. Aku membiarkan saja tanganku berhenti menulis dan duduk terdiam melihat rapat ini.
Mereka punya senyum kecil di wajahnya ketika berdiskusi.
Dan akupun tersadar...
Mereka terlihat sangat menikmati situasi ini. Sederhananya, mereka sangat menikmati komunikasi diantara mereka.
Yang mereka inginkan bukanlah ide yang menentukan kegiatan mereka seperti apa, tapi mereka hanyalah mencari sebuah pengakuan dari sekitarnya kalau mereka berkompeten dalam rapat.
Bukannya mereka tidak mau bekerja. Mereka hanya ingin merasakan suasana bekerja yang sebenarnya. Mereka hanya ingin membuat diri mereka merasakan kalau mereka benar-benar mengerjakan ini dengan serius.
Dan kemudian, mereka ingin merasakan kalau mereka sudah memberikan semua yang mereka punya, dan pada akhirnya, tidak ada yang mereka putuskan dan lakukan.
...Aah, aku merasa tidak nyaman dan membuatku teringat tentang seseorang. Rapat ini secara gamblang mengingatkan tentang kesalahan yang dilakukan pria itu.
Pria itu berpikir kalau dia sudah menyelesaikan sesuatu, tapi faktanya, dia tidak benar-benar menyelesaikan sesuatu.
Meskipun, pria itu merasa tidak bisa melihat semua itu.
Aku merasa kalau kita tidak punya waktu untuk membahas itu. Event Natal tersisa seminggu lagi. Misalkan saja kita sudah putuskan akan melakukan apa, kita harus mempersiapkan event, berlatih, dan berkoordinasi satu sama lain, artinya kita harus memulai persiapannya sejak sekarang atau kita akan dalam masalah besar.
“Bukankah akan lebih cepat kalau memilih salah satu ide mereka saat ini daripada membahasnya satu-satu?”
Aku tidak bisa menahan diriku untuk mengatakan tersebut kepada Tamanawa.
“Daripada kita memutuskan dengan gegabah untuk membuang pendapat-pendapat orang lain, kita harusnya membuat sesuatu yang bisa mengakomodir saran semua orang sehingga kita semua bisa merasa puas.”
“Bukan, maksudku...”
“Ide-ide kita secara sistematis sebenarnya saling berdekatan dan agak mirip, jadi kita harus memanfaatkan itu untuk melaksanakan ide mereka bersama-sama.”
Meski aku jelas-jelas berusaha menentangnya, Tamanawa mengatakan itu tanpa terkesan berteriak kepadaku.
Jelas sekali, seperti kata Tamanawa. Satu-satunya cara agar kita bisa memutuskan sesuatu adalah memutuskan sebuah event dimana ide setiap orang diakomodir.
Tapi, apakah itu hal yang benar?
Sebuah perasaan tidak nyaman mulai muncul di perutku.
Tapi aku tidak bisa memikirkan satupun cara untuk membalikkan kata-kata Tamanawa, jadi rapatnya terus berlanjut dengan kondisi seperti itu.
Dari situ, hal-hal yang dibahas di rapat mulai berubah-ubah secara perlahan.
“Kenapa kita tidak menggabungkan semua musik dan membuat CONCERT Natal dengan berbagai GENRE musik?”
“Kalau begitu, kenapa tidak kita gabungkan saja musik dengan drama MUSICAL?”
“Kenapa kita tidak lakukan semua itu dan membuatnya menjadi MOVIE?”
Tampaknya para siswa SMA Kaihin, seperti kata Tamanawa tadi, berusaha menyatukan semua ide. Diskusinya saat ini terfokus dengan bagaimana membuat ide-ide para peserta rapat terakomodir.
Membuang ide-ide adalah hal yang wajar, jika itu memang bisa membuat rapat menjadi lebih maju.
Akupun tidak keberatan jika mereka mengadakan brainstorm untuk memperoleh banyak ide.
Tapi jika brainstorm dan rapat dijadikan satu dimana tujuannya tidak boleh ada satupun ide yang ditolak, maka mereka tidak akan bisa melihat secercah kata ‘keputusan’ dalam penglihatan mereka.
Rapat yang awalnya kupikir akan berjalan lancar sekarang mulai terlihat tidak masuk akal.
Ketika aku sadar, tanganku yang menulis jalannya rapat serasa terhenti. Aku membiarkan saja tanganku berhenti menulis dan duduk terdiam melihat rapat ini.
Mereka punya senyum kecil di wajahnya ketika berdiskusi.
Dan akupun tersadar...
Mereka terlihat sangat menikmati situasi ini. Sederhananya, mereka sangat menikmati komunikasi diantara mereka.
Yang mereka inginkan bukanlah ide yang menentukan kegiatan mereka seperti apa, tapi mereka hanyalah mencari sebuah pengakuan dari sekitarnya kalau mereka berkompeten dalam rapat.
Bukannya mereka tidak mau bekerja. Mereka hanya ingin merasakan suasana bekerja yang sebenarnya. Mereka hanya ingin membuat diri mereka merasakan kalau mereka benar-benar mengerjakan ini dengan serius.
Dan kemudian, mereka ingin merasakan kalau mereka sudah memberikan semua yang mereka punya, dan pada akhirnya, tidak ada yang mereka putuskan dan lakukan.
...Aah, aku merasa tidak nyaman dan membuatku teringat tentang seseorang. Rapat ini secara gamblang mengingatkan tentang kesalahan yang dilakukan pria itu.
Pria itu berpikir kalau dia sudah menyelesaikan sesuatu, tapi faktanya, dia tidak benar-benar menyelesaikan sesuatu.
Meskipun, pria itu merasa tidak bisa melihat semua itu.
x x x
Akhirnya, ketika rapat akan berakhir, rapat tidak memutuskan apapun dan disepakati kalau keputusan akan diambil pada rapat selanjutnya.
Para siswa SD telah pulang lebih dulu. Kami, tampak mulai mempersiapkan diri kami untuk pulang dan terlihat beberapa siswa sudah mulai pulang satu-persatu.
Aku berpamitan kepada Isshiki dan yang lainnya. Kukayuh sepedaku meninggalkan Community Center, dan terjadilah...
Aku lapar sekali...Karena perhatianku tersita dalam rapat itu, aku akhirnya lupa memakan snack-snack yang dibagikan tadi.
Memang jika sampai di rumah maka akan ada makan malam, tapi perutku yang lapar ini tampaknya tidak mau menunggu selama itu. Kupikir tidak masalah jika aku makan malam lebih dulu...Aku menghentikan sepedaku dan mengirim SMS ke Komachi berisi “Tidak perlu menyiapkan makan malam untukku”.
Aku mulai berpikir tentang lokasiku saat ini dan tempat terbaik untuk makan malam. Orang-orang berkata kalau rasa lapar akan memberi rasa terbaik dalam makanan, tapi itu salah. Bagiku, rasa terbaik dalam makanan akan keluar jika makanan itu hasil ditraktir orang. Tapi karena sekarang aku sendirian, akan mustahil ada orang yang mentraktirku saat ini. Aku juga harus mempertimbangkan kondisi dompetku juga.
Kalau begitu...ramen, yeah!
Setelah kuputuskan, aku langsung bergerak.
Aku menyeberangi jalan dan sampai di depan Stasiun Inage. Ketika aku melewati depan stasiun, distrik perbelanjaan disana ada satu distrik yang berisi restoran-restoran dan tempat minum-minum, tempat bowling, karaoke, dan lain-lain. Jika aku belok kiri lampu lalu lintas ini, maka aku akan sampai di tempat tujuanku.
Aku menunggu lampu berubah warna dari merah menjadi hijau.
Dan disitulah aku melihat seseorang yang tidak kuduga.
Dia memakai pakaian olah raga dari SMA Sobu dan memakai syal. Dia adalah Totsuka.
Totsuka tampaknya menyadari diriku. Setelah membetulkan posisi tas tenis yang tampak berat itu, dia lalu melambaikan tangannya padaku.
Ketika lampu berganti menjadi hijau, aku belok kiri dan berhenti di pinggir jalan untuk menemuinya.
“Hachiman!”
Aku sangat terkejut bisa bertemu dengannya di tengah kota seperti ini, lalu aku melambaikan tanganku.
“Yo.”
“Uh huh, yo!”
Totsuka menaikkan tangannya sambil tersenyum manis, sepertinya sapaan semacam ini cukup memalukan untuknya. Aaah, aku merasa tersembuhkan...
Sangat jarang bisa bertemu Totsuka diluar sekolah. Lagipula, aku memang jarang keluar, jadi bertemu dengannya di tempat seperti ini seperti sebuah keajaiban yang bercampur dengan sebuah sihir.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Aku baru pulang dari kursus.”
Ngomong-ngomong, Totsuka tidak hanya disibukkan dengan Klub Tenis, dia juga ikut kursus tenis. Kalau begitu, tempat kursusnya pasti berada di dekat sini, kupikir begitu...Ah, kalau begitu mari kita sering-sering begini dan bertemu tanpa alasan. Tunggu, kalau kita sering ketemu, ini akan terdengar menakutkan, bagaimana kalau seminggu sekali saja?
Ketika aku sedang sibuk membuat jadwal, Totsuka terlihat penasaran denganku, diriku yang masih menaiki sepeda ini.
“Kau juga Hachiman, ada apa? Bukankah rumahmu tidak berada di dekat sini, benar tidak?”
“Aah, aku kesini hanya ingin membeli makan malam.”
“Ah, begitu ya.”
Ketika aku menjawabnya, Totsuka mengangguk dan berpikir sejenak. Dia lalu memiringkan kepalanya dan melihatku dengan tatapan mata yang malu-malu.
“...Boleh tidak kalau aku ikut denganmu?”
“Heh?”
Tubuhku serasa lemas mendengar kata-kata tersebut. Aku secara tidak sadar menjawabnya dengan nada yang terdengar idiot.
“Ah, yeah. Tentu saja.”
Ketika aku mengatakannya, Totsuka terlihat lega. Lalu dia tersenyum.
“Yay!! Jadi, apa yang akan kita makan?”
“Terserah, apa saja tidak masalah bagiku.”
Setelah mengatakan itu, aku sadar kalau jawabanku sangat buruk. “Apa saja tidak masalah” adalah jawaban yang buruk ketika menghadapi seorang gadis. Ngomong-ngomong, aku pernah dengar, ketika para pria berkata sesuatu yang spesifik seperti ‘ramen’ atau ‘udon’, mereka membuat ekspresi wajah yang jijik. Dengan kata lain, ketika para gadis bertanya kepadamu “apa yang ingin kau makan?”, kau harus menjawabnya dengan sesuatu yang mungkin mereka inginkan. Ini adalah sebuah permainan yang mustahil! Apa para gadis ini semacam pelatih esper?
[note: Monolog di atas benar-benar terjadi di vol 10.5 chapter 2, kencan dengan Iroha.]
Tapi Totsuka adalah pria, kupikir ini akan baik-baik saja.
Totsuka hanya mengedip-ngedipkan matanya dan bertanya kepadaku.
“Hachiman, bukankah kau kesini itu artinya kau sudah memutuskan akan memakan apa?”
Nah, benar kan...
“Tidak juga, aku belum memutuskan apapun. Oleh karena itu, apapun tidak masalah.”
Aku mengatakannya dengan nada yang sedikit gentleman.
Meski aku memang memilih ramen, tapi itu terjadi karena proses eliminasi. Karena aku makan sendirian, aku secara tidak sadar memikirkan makanan yang apabila aku datang sendirian ke restoran itu maka akan terlihat wajar.
Lagipula, jika itu pada akhirnya bukan ramen, makan bersama Totsuka akan membuat apapun terasa enak. Kalau sebelumnya aku mengatakan makanan yang ditraktir adalah makanan terenak, maka aku ambil kembali kata-kataku. Yang terenak adalah makan bersama Totsuka!
Ketika kita hendak memutuskan akan memakan apa, Totsuka menepuk kedua tangannya.
“Ah, bagaimana kalau Yakiniku?”
Hei, hei, ada rumor yang mengatakan soal pria dan wanita yang makan Yakiniku bersama-sama, tapi apakah berlaku juga bagi pria yang makan bersama?
[note: Ada mitos kalau pria dan wanita yang makan yakiniku berduaan akan berakhir dengan ‘adegan ranjang’ ketika malam tiba.]
Ketika memikirkan itu, Totsuka tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
“Tapi yakiniku sepertinya agak mahal, ya?”
“Benar sekali. Seperti kata orang, itu akan menghabiskan isi dompetmu.”
“Itulah Hachiman...”
Dia lalu tertawa setelah mengatakannya.
Tapi, yakiniku, kah...
Kalau ingin makan daging, maka tempatnya bukan di sekitar sini...Ketika aku melihat ke sekitarku, yang ada hanyalah kompleks restoran makanan cepat saji, restoran FAST KITCHEN terlihat jelas di mataku. Karena lokasinya tepat berada di seberang stasiun, restoran itu sering digunakan sebagai tempat ‘nongkrong’ para siswa di sekitar sini. Di depan restoran tersebut ada papan iklan yang mempromosikan menu ‘yakiniku galbi wrap’.
“Kenapa kita tidak mampir kesana saja?”
Ketika aku menunjuk restoran itu, mata Totsuka terlihat berbinar-binar.
“Yeah, itu ide yang sangat bagus.”
Setelah Totsuka menyetujuinya, kami masuk ke FIRST KITCHEN. Lagipula, apa sih maksud dari nama FIRST KITCHEN? Aku merasa ketakutan ketika mencoba memikirkannya.
[note: Itu bisa berarti dapur pertama alias baru pertama kali memasak!]
Tampaknya suasana dalam restoran berubah dari suasana luar yang dingin dan berangin menjadi suasana yang ramai. Tampaknya orang-orang yang baru pulang dari kursus ataupun bekerja sedang mampir di tempat ini.
Ketika kami mengantri untuk memesan, Totsuka merasa lega. Pipinya terlihat memerah.
“Tampaknya suasana disini agak panas ya?”
Setelah dia mengatakannya, Totsuka memegangi syalnya. Dia membuka syalnya dan menurunkan resleting bajunya hingga dada, pemandangan ini sangat menarik mataku. Wajahku mulai memerah ketika melihat hal tersebut.
Sangat aneh. Sangat aneh. Totsuka adalah seorang pria. Satu-satunya alasan logis mengapa wajahku memerah adalah kepanasan dan ini tanda awal kalau aku akan sakit. Tenanglah...
Mungkinkah aku sakit, hmm? Mustahil aku sakit, benar! Sepertinya memang begitu...
...Ini pasti sebuah penyakit.
Ketika aku mulai panik dalam antrian, ternyata giliran kami sudah tiba. Kalau melihat keramaiannya, tampaknya akan lebih mudah kalau kami berdua memesan menu yang sama.
Totsuka yang berada di sebelahku melihat ke menunya.
Ketika aku melakukannya, Totsuka menunjuk ke arah gambar ‘yakiniku galbi wrap’.
“Ah, Hachiman. Ayo kita coba yang ini.”
“Yeah. Kalau begitu, kita pesan itu saja.”
Setelah membayar dan mendapatkan yakiniku galbi wrap, kami berjalan menuju lantai dua.
Untungnya, ada meja yang kosong. Kami lalu duduk disana dan mulai memakan makanan kami.
Para siswa SD telah pulang lebih dulu. Kami, tampak mulai mempersiapkan diri kami untuk pulang dan terlihat beberapa siswa sudah mulai pulang satu-persatu.
Aku berpamitan kepada Isshiki dan yang lainnya. Kukayuh sepedaku meninggalkan Community Center, dan terjadilah...
Aku lapar sekali...Karena perhatianku tersita dalam rapat itu, aku akhirnya lupa memakan snack-snack yang dibagikan tadi.
Memang jika sampai di rumah maka akan ada makan malam, tapi perutku yang lapar ini tampaknya tidak mau menunggu selama itu. Kupikir tidak masalah jika aku makan malam lebih dulu...Aku menghentikan sepedaku dan mengirim SMS ke Komachi berisi “Tidak perlu menyiapkan makan malam untukku”.
Aku mulai berpikir tentang lokasiku saat ini dan tempat terbaik untuk makan malam. Orang-orang berkata kalau rasa lapar akan memberi rasa terbaik dalam makanan, tapi itu salah. Bagiku, rasa terbaik dalam makanan akan keluar jika makanan itu hasil ditraktir orang. Tapi karena sekarang aku sendirian, akan mustahil ada orang yang mentraktirku saat ini. Aku juga harus mempertimbangkan kondisi dompetku juga.
Kalau begitu...ramen, yeah!
Setelah kuputuskan, aku langsung bergerak.
Aku menyeberangi jalan dan sampai di depan Stasiun Inage. Ketika aku melewati depan stasiun, distrik perbelanjaan disana ada satu distrik yang berisi restoran-restoran dan tempat minum-minum, tempat bowling, karaoke, dan lain-lain. Jika aku belok kiri lampu lalu lintas ini, maka aku akan sampai di tempat tujuanku.
Aku menunggu lampu berubah warna dari merah menjadi hijau.
Dan disitulah aku melihat seseorang yang tidak kuduga.
Dia memakai pakaian olah raga dari SMA Sobu dan memakai syal. Dia adalah Totsuka.
Totsuka tampaknya menyadari diriku. Setelah membetulkan posisi tas tenis yang tampak berat itu, dia lalu melambaikan tangannya padaku.
Ketika lampu berganti menjadi hijau, aku belok kiri dan berhenti di pinggir jalan untuk menemuinya.
“Hachiman!”
Aku sangat terkejut bisa bertemu dengannya di tengah kota seperti ini, lalu aku melambaikan tanganku.
“Yo.”
“Uh huh, yo!”
Totsuka menaikkan tangannya sambil tersenyum manis, sepertinya sapaan semacam ini cukup memalukan untuknya. Aaah, aku merasa tersembuhkan...
Sangat jarang bisa bertemu Totsuka diluar sekolah. Lagipula, aku memang jarang keluar, jadi bertemu dengannya di tempat seperti ini seperti sebuah keajaiban yang bercampur dengan sebuah sihir.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Aku baru pulang dari kursus.”
Ngomong-ngomong, Totsuka tidak hanya disibukkan dengan Klub Tenis, dia juga ikut kursus tenis. Kalau begitu, tempat kursusnya pasti berada di dekat sini, kupikir begitu...Ah, kalau begitu mari kita sering-sering begini dan bertemu tanpa alasan. Tunggu, kalau kita sering ketemu, ini akan terdengar menakutkan, bagaimana kalau seminggu sekali saja?
Ketika aku sedang sibuk membuat jadwal, Totsuka terlihat penasaran denganku, diriku yang masih menaiki sepeda ini.
“Kau juga Hachiman, ada apa? Bukankah rumahmu tidak berada di dekat sini, benar tidak?”
“Aah, aku kesini hanya ingin membeli makan malam.”
“Ah, begitu ya.”
Ketika aku menjawabnya, Totsuka mengangguk dan berpikir sejenak. Dia lalu memiringkan kepalanya dan melihatku dengan tatapan mata yang malu-malu.
“...Boleh tidak kalau aku ikut denganmu?”
“Heh?”
Tubuhku serasa lemas mendengar kata-kata tersebut. Aku secara tidak sadar menjawabnya dengan nada yang terdengar idiot.
“Ah, yeah. Tentu saja.”
Ketika aku mengatakannya, Totsuka terlihat lega. Lalu dia tersenyum.
“Yay!! Jadi, apa yang akan kita makan?”
“Terserah, apa saja tidak masalah bagiku.”
Setelah mengatakan itu, aku sadar kalau jawabanku sangat buruk. “Apa saja tidak masalah” adalah jawaban yang buruk ketika menghadapi seorang gadis. Ngomong-ngomong, aku pernah dengar, ketika para pria berkata sesuatu yang spesifik seperti ‘ramen’ atau ‘udon’, mereka membuat ekspresi wajah yang jijik. Dengan kata lain, ketika para gadis bertanya kepadamu “apa yang ingin kau makan?”, kau harus menjawabnya dengan sesuatu yang mungkin mereka inginkan. Ini adalah sebuah permainan yang mustahil! Apa para gadis ini semacam pelatih esper?
[note: Monolog di atas benar-benar terjadi di vol 10.5 chapter 2, kencan dengan Iroha.]
Tapi Totsuka adalah pria, kupikir ini akan baik-baik saja.
Totsuka hanya mengedip-ngedipkan matanya dan bertanya kepadaku.
“Hachiman, bukankah kau kesini itu artinya kau sudah memutuskan akan memakan apa?”
Nah, benar kan...
“Tidak juga, aku belum memutuskan apapun. Oleh karena itu, apapun tidak masalah.”
Aku mengatakannya dengan nada yang sedikit gentleman.
Meski aku memang memilih ramen, tapi itu terjadi karena proses eliminasi. Karena aku makan sendirian, aku secara tidak sadar memikirkan makanan yang apabila aku datang sendirian ke restoran itu maka akan terlihat wajar.
Lagipula, jika itu pada akhirnya bukan ramen, makan bersama Totsuka akan membuat apapun terasa enak. Kalau sebelumnya aku mengatakan makanan yang ditraktir adalah makanan terenak, maka aku ambil kembali kata-kataku. Yang terenak adalah makan bersama Totsuka!
Ketika kita hendak memutuskan akan memakan apa, Totsuka menepuk kedua tangannya.
“Ah, bagaimana kalau Yakiniku?”
Hei, hei, ada rumor yang mengatakan soal pria dan wanita yang makan Yakiniku bersama-sama, tapi apakah berlaku juga bagi pria yang makan bersama?
[note: Ada mitos kalau pria dan wanita yang makan yakiniku berduaan akan berakhir dengan ‘adegan ranjang’ ketika malam tiba.]
Ketika memikirkan itu, Totsuka tampaknya sedang memikirkan sesuatu.
“Tapi yakiniku sepertinya agak mahal, ya?”
“Benar sekali. Seperti kata orang, itu akan menghabiskan isi dompetmu.”
“Itulah Hachiman...”
Dia lalu tertawa setelah mengatakannya.
Tapi, yakiniku, kah...
Kalau ingin makan daging, maka tempatnya bukan di sekitar sini...Ketika aku melihat ke sekitarku, yang ada hanyalah kompleks restoran makanan cepat saji, restoran FAST KITCHEN terlihat jelas di mataku. Karena lokasinya tepat berada di seberang stasiun, restoran itu sering digunakan sebagai tempat ‘nongkrong’ para siswa di sekitar sini. Di depan restoran tersebut ada papan iklan yang mempromosikan menu ‘yakiniku galbi wrap’.
“Kenapa kita tidak mampir kesana saja?”
Ketika aku menunjuk restoran itu, mata Totsuka terlihat berbinar-binar.
“Yeah, itu ide yang sangat bagus.”
Setelah Totsuka menyetujuinya, kami masuk ke FIRST KITCHEN. Lagipula, apa sih maksud dari nama FIRST KITCHEN? Aku merasa ketakutan ketika mencoba memikirkannya.
[note: Itu bisa berarti dapur pertama alias baru pertama kali memasak!]
Tampaknya suasana dalam restoran berubah dari suasana luar yang dingin dan berangin menjadi suasana yang ramai. Tampaknya orang-orang yang baru pulang dari kursus ataupun bekerja sedang mampir di tempat ini.
Ketika kami mengantri untuk memesan, Totsuka merasa lega. Pipinya terlihat memerah.
“Tampaknya suasana disini agak panas ya?”
Setelah dia mengatakannya, Totsuka memegangi syalnya. Dia membuka syalnya dan menurunkan resleting bajunya hingga dada, pemandangan ini sangat menarik mataku. Wajahku mulai memerah ketika melihat hal tersebut.
Sangat aneh. Sangat aneh. Totsuka adalah seorang pria. Satu-satunya alasan logis mengapa wajahku memerah adalah kepanasan dan ini tanda awal kalau aku akan sakit. Tenanglah...
Mungkinkah aku sakit, hmm? Mustahil aku sakit, benar! Sepertinya memang begitu...
...Ini pasti sebuah penyakit.
Ketika aku mulai panik dalam antrian, ternyata giliran kami sudah tiba. Kalau melihat keramaiannya, tampaknya akan lebih mudah kalau kami berdua memesan menu yang sama.
Totsuka yang berada di sebelahku melihat ke menunya.
Ketika aku melakukannya, Totsuka menunjuk ke arah gambar ‘yakiniku galbi wrap’.
“Ah, Hachiman. Ayo kita coba yang ini.”
“Yeah. Kalau begitu, kita pesan itu saja.”
Setelah membayar dan mendapatkan yakiniku galbi wrap, kami berjalan menuju lantai dua.
Untungnya, ada meja yang kosong. Kami lalu duduk disana dan mulai memakan makanan kami.
Aku secara spontan berteriak “Ini enak sekaliiiiiii!” sambil kedua mataku memancarkan sinar dengan latar gambar angkasa. Aku bukannya mengatakan itu secara bombastis, tapi apa yang direkomendasikan Totsuka ini, memang terasa enak.
Meski begitu, aku masih penasaran mengapa Totsuka memilih ini.
“...Meski begitu, kenapa kau memilih yakiniku?”
Aku memang pernah makan bersama Totsuka sebelumnya, tapi menu yang dipesannya lebih ringan dari ini. Juga, kalau memang disuruh memilih, dia tampak seperti orang yang akan memilih sayuran daripada daging...
[note: Vol 2 chapter 4 Totsuka, Hachiman, Yukino, Yui, Komachi, Taichi makan bersama di restoran fast food. Vol 8 chapter 7 Totsuka, Hachiman, Zaimokuza, Saki, Taichi, Komachi makan bersama di Saizeriya.]
“Kupikir itu adalah menu yang bagus ketika kamu merasa lelah.”
Ha, begitu ya. Dia memang baru saja selesai latihan, jadi mungkin karena itulah dia merasa lapar. Jadi ini semacam protein setelah latihan atau semacamnya. Mungkin begitu.
Tapi, Totsuka menambahkan.
“Itu karena kamu terlihat seperti itu belakangan ini, Hachiman...”
“Benarkah?”
Aku juga merasa lelah belakangan ini. Tapi, yang lelah adalah psikisku.
Setelah selesai mengunyah makanannya, dia menatapku.
“Apa telah terjadi sesuatu?”
Kedua mata Totsuka dan nada suaranya terdengar lembut. Tatapannya ditambah sikapnya yang peduli seperti itu membuatku tersudut.
Sebelum menjawabnya, aku meminum teh oolong-ku. Jika tidak, mungkin suaraku akan terdengar kering.
“...Tidak juga. Beneran tidak ada apa-apa.”
Meski begitu, ekspresi wajah Totsuka tampak kecewa ketika merespon senyumanku ini.
“...Begitu ya. Kupikir Hachiman memang tidak akan mengatakannya kepadaku.”
Aku tidak tahu ekspresinya seperti apa karena dia menatap ke arah bawah dan merendahkan bahunya. Tapi suara berikutnya terdengar berat.
“Kalau Zaimokuza, apakah dia juga tahu...?”
“Tidak, dia tidak tahu apapun soal ini.”
Ketika dia menyebut nama orang itu, aku sedikit terkejut.
“Tapi kau pernah berbicara kepada Zaimokuza sebelumnya.”
Ketika dia mengatakan ‘sebelumnya’, aku mulai paham apa yang dia maksudkan.
Ketika pemilihan ketua OSIS, selain Komachi, aku mengatakan masalahku itu kepada Zaimokuza. Setelahnya, muncul rombongan orang-orang yang kenal denganku datang karena diundang Komachi. Memang, sebenarnya orang yang kuajak bicara waktu itu hanyalah Zaimokuza. Bukannya orang itu spesial atau semacamnya. Hanya kebetulan saja bertemu dengannya dan dia orangnya gampang diajak bicara, jadi aku tidak ragu untuk mengajaknya kerjasama.
Tampaknya Totsuka menganggapnya berbeda.
“Meski aku berpikir itu sangat bagus, tapi aku sedikit iri ketika kamu bisa berbicara bebas kepadanya atau semacam itu...”
Totsuka mengatakannya secara perlahan, kata demi kata. Dia mengatakannya seperti mengkomentari kebiasaanku selama ini.
Tapi itu salah. Masalah semacam ini bukanlah sesuatu yang harus ditangani oleh makhluk indah yang bernama Totsuka. Kupikir itu adalah semacam kebiasaan dimana memuaskan diri sendiri dengan memanfaatkan orang lain untuk menyelesaikan masalahku.
Totsuka tidak tahu tentang itu.
Oleh karena itu dia mengatakan kata-kata itu kepadaku saat ini.
“Bukannya aku berpikir tidak ada gunanya menceritakannya kepadamu, tapi...”
Aku hanya ingin dia tidak mengkhawatirkanku lebih dari ini.
Aku berpikir dahulu bagaimana agar mencairkan suasana ini lalu menggaruk-garuk kepalaku.
“Bukan seperti itu. Benar, ini bukan masalah besar. Isshiki meminta pertolonganku, jadi belakangan ini aku disibukkan oleh itu...Aku menerimanya karena akulah yang memaksanya menjadi Ketua OSIS, jadi, karena itulah. Itu saja.”
Aku mencoba membuat sebuah kesimpulan pendek sementara tidak mengatakan hal-hal yang diluar hal tersebut.
Tapi Totsuka terlihat menegakkan kepalanya dan memandangku seperti menginginkanku mengatakan kebenarannya.
“Benarkah?”
“Yeah. Oleh karena itu kamu tidak perlu khawatir.”
Kalau aku aku terus begini, kurasa aku akan menyerempet hal-hal diluar itu. Oleh karena itu aku menegaskan lagi setelah dia mempertanyakan itu.
“Begitu ya.”
Dia terlihat bernapas lega dan meminum kopinya. Dia lalu meremas cangkir kopinya seperti berusaha memperoleh kehangatan dari minuman tersebut.
“Hachiman, lagipula kamu memang terlihat sangat keren.”
“Ha?”
Rasa terkejutku mungkin terlihat jelas dari wajahku.
“Ma-maksudku bukan begitu!”
Totsuka terlihat panik dan berusaha menyangkal kata-katanya barusan. Wajahnya memerah, lalu dia berusaha mengatakan sesuatu.
“Bagaimana ya, agak susah kukatakan...Meskipun itu terasa sulit dan menyakitkan, kau tetap memberikan yang terbaik tanpa komplain sedikitpun. Kupikir, itu sangat keren...”
Ketika dia mengatakan itu, aku mulai memikirkan diriku. Aku taruh tanganku di daguku dan memikirkan itu.
“...Itu, sebenarnya bukan begitu, benar nih. Aku sering mengatakan komplainku, juga sering menggerutu tentang pekerjaanku.”
“Ahaha, benar juga.”
Totsuka tersenyum lega. Dengan senyum itu, dia lalu melanjutkan kata-katanya.
“...Tapi, tolong beritahu aku jika kau butuh bantuan, oke?”
Aku mengangguk saja tanpa mengatakan sesuatu. Itu karena betapa jujurnya dia menanyakan hal tersebut sehingga aku kesulitan untuk menjawabnya dengan kata-kata. Bagi Totsuka, melihat sebuah ‘kepercayaan’ dan ‘kerjasama’ adalah sesuatu yang indah baginya.
Ketika aku setuju, Totsuka mengangguk.
Setelah itu, kesunyian menyelimuti meja kami. Totsuka terlihat malu-malu dan menatap ke arah bawah.
Aku bisa memahami kalau suasana saat ini masih lebih baik daripada sebelumnya, dan aku akhirnya berbicara.
“Mau makan sesuatu yang manis?”
“Ah, tampaknya ide yang bagus. Seperti makanan penutup.”
Totsuka tiba-tiba membalasku dengan ceria.
“Oke, aku akan membeli di depan. Tunggu disini.”
Aku berdiri begitu saja tanpa menunggu jawaban Totsuka.
Ketika aku turun ke bawah, di depan kasir tampak padat seperti biasanya. Tampaknya akan memakan waktu sebelum giliranku tiba.
Orang yang keluar masuk restoran ini, ditambah keramaian di depan kasir membuat suasana panas di antrian ini semakin menjadi. Ini membuat kepalaku menjadi agak pusing dan memutuskan untuk pergi keluar barisan untuk sejenak.
Malam di bulan Desember memang dingin, tapi sensasi panas yang keluar dari kepalaku ini terasa nyaman bagiku. Karena aku keluar restoran sejenak tanpa membawa mantel dan syalku, angin dingin yang kering ini seperti menusuk belakang leherku. Tubuhku tiba-tiba merasakan sensasi dingin yang luar biasa.
Aku berdiri saja disana kedinginan di salah satu sudut jalan, ada seseorang yang lewat dan memperhatikanku. Dan ada pula orang yang melihatku dan cuek begitu saja.
Ketika itu, kata-kata Totsuka terbayang di pikiranku.
‘Keren’, kah...
Aku tidak seperti itu. Itu hanya diriku yang keras kepala. Mungkin lebih sederhananya aku hanya mencoba terlihat keren.
Bahkan sampai saat ini, monster yang bernama alasan terus menghantuiku, monster provokatif yang mewakili alam bawah sadarku seperti berusaha mengambil alih diriku ini.
Jika aku sadar akan eksistensi hal-hal tersebut, mungkin aku akan menerima kata-kata Totsuka dengan tangan terbuka.
Tapi senyum Yuigahama yang terlihat dibuat-buat, Isshiki yang sering terlihat tertindas, Tsurumi Rumi yang masih menjadi penyendiri, dan di atas semua itu, Yukinoshita yang pendiam dan senyumnya yang terlihat pasrah tersebut membuatku bertanya kepada diriku, sekali lagi.
Apakah yang kulakukan selama ini benar?
Aku lalu mengembuskan napasku dan melihat langit gelap tak berbintang di atasku. Langit yang disinari gemerlap cahaya kota tampak dipenuhi oleh awan.
Meski begitu, aku masih penasaran mengapa Totsuka memilih ini.
“...Meski begitu, kenapa kau memilih yakiniku?”
Aku memang pernah makan bersama Totsuka sebelumnya, tapi menu yang dipesannya lebih ringan dari ini. Juga, kalau memang disuruh memilih, dia tampak seperti orang yang akan memilih sayuran daripada daging...
[note: Vol 2 chapter 4 Totsuka, Hachiman, Yukino, Yui, Komachi, Taichi makan bersama di restoran fast food. Vol 8 chapter 7 Totsuka, Hachiman, Zaimokuza, Saki, Taichi, Komachi makan bersama di Saizeriya.]
“Kupikir itu adalah menu yang bagus ketika kamu merasa lelah.”
Ha, begitu ya. Dia memang baru saja selesai latihan, jadi mungkin karena itulah dia merasa lapar. Jadi ini semacam protein setelah latihan atau semacamnya. Mungkin begitu.
Tapi, Totsuka menambahkan.
“Itu karena kamu terlihat seperti itu belakangan ini, Hachiman...”
“Benarkah?”
Aku juga merasa lelah belakangan ini. Tapi, yang lelah adalah psikisku.
Setelah selesai mengunyah makanannya, dia menatapku.
“Apa telah terjadi sesuatu?”
Kedua mata Totsuka dan nada suaranya terdengar lembut. Tatapannya ditambah sikapnya yang peduli seperti itu membuatku tersudut.
Sebelum menjawabnya, aku meminum teh oolong-ku. Jika tidak, mungkin suaraku akan terdengar kering.
“...Tidak juga. Beneran tidak ada apa-apa.”
Meski begitu, ekspresi wajah Totsuka tampak kecewa ketika merespon senyumanku ini.
“...Begitu ya. Kupikir Hachiman memang tidak akan mengatakannya kepadaku.”
Aku tidak tahu ekspresinya seperti apa karena dia menatap ke arah bawah dan merendahkan bahunya. Tapi suara berikutnya terdengar berat.
“Kalau Zaimokuza, apakah dia juga tahu...?”
“Tidak, dia tidak tahu apapun soal ini.”
Ketika dia menyebut nama orang itu, aku sedikit terkejut.
“Tapi kau pernah berbicara kepada Zaimokuza sebelumnya.”
Ketika dia mengatakan ‘sebelumnya’, aku mulai paham apa yang dia maksudkan.
Ketika pemilihan ketua OSIS, selain Komachi, aku mengatakan masalahku itu kepada Zaimokuza. Setelahnya, muncul rombongan orang-orang yang kenal denganku datang karena diundang Komachi. Memang, sebenarnya orang yang kuajak bicara waktu itu hanyalah Zaimokuza. Bukannya orang itu spesial atau semacamnya. Hanya kebetulan saja bertemu dengannya dan dia orangnya gampang diajak bicara, jadi aku tidak ragu untuk mengajaknya kerjasama.
Tampaknya Totsuka menganggapnya berbeda.
“Meski aku berpikir itu sangat bagus, tapi aku sedikit iri ketika kamu bisa berbicara bebas kepadanya atau semacam itu...”
Totsuka mengatakannya secara perlahan, kata demi kata. Dia mengatakannya seperti mengkomentari kebiasaanku selama ini.
Tapi itu salah. Masalah semacam ini bukanlah sesuatu yang harus ditangani oleh makhluk indah yang bernama Totsuka. Kupikir itu adalah semacam kebiasaan dimana memuaskan diri sendiri dengan memanfaatkan orang lain untuk menyelesaikan masalahku.
Totsuka tidak tahu tentang itu.
Oleh karena itu dia mengatakan kata-kata itu kepadaku saat ini.
“Bukannya aku berpikir tidak ada gunanya menceritakannya kepadamu, tapi...”
Aku hanya ingin dia tidak mengkhawatirkanku lebih dari ini.
Aku berpikir dahulu bagaimana agar mencairkan suasana ini lalu menggaruk-garuk kepalaku.
“Bukan seperti itu. Benar, ini bukan masalah besar. Isshiki meminta pertolonganku, jadi belakangan ini aku disibukkan oleh itu...Aku menerimanya karena akulah yang memaksanya menjadi Ketua OSIS, jadi, karena itulah. Itu saja.”
Aku mencoba membuat sebuah kesimpulan pendek sementara tidak mengatakan hal-hal yang diluar hal tersebut.
Tapi Totsuka terlihat menegakkan kepalanya dan memandangku seperti menginginkanku mengatakan kebenarannya.
“Benarkah?”
“Yeah. Oleh karena itu kamu tidak perlu khawatir.”
Kalau aku aku terus begini, kurasa aku akan menyerempet hal-hal diluar itu. Oleh karena itu aku menegaskan lagi setelah dia mempertanyakan itu.
“Begitu ya.”
Dia terlihat bernapas lega dan meminum kopinya. Dia lalu meremas cangkir kopinya seperti berusaha memperoleh kehangatan dari minuman tersebut.
“Hachiman, lagipula kamu memang terlihat sangat keren.”
“Ha?”
Rasa terkejutku mungkin terlihat jelas dari wajahku.
“Ma-maksudku bukan begitu!”
Totsuka terlihat panik dan berusaha menyangkal kata-katanya barusan. Wajahnya memerah, lalu dia berusaha mengatakan sesuatu.
“Bagaimana ya, agak susah kukatakan...Meskipun itu terasa sulit dan menyakitkan, kau tetap memberikan yang terbaik tanpa komplain sedikitpun. Kupikir, itu sangat keren...”
Ketika dia mengatakan itu, aku mulai memikirkan diriku. Aku taruh tanganku di daguku dan memikirkan itu.
“...Itu, sebenarnya bukan begitu, benar nih. Aku sering mengatakan komplainku, juga sering menggerutu tentang pekerjaanku.”
“Ahaha, benar juga.”
Totsuka tersenyum lega. Dengan senyum itu, dia lalu melanjutkan kata-katanya.
“...Tapi, tolong beritahu aku jika kau butuh bantuan, oke?”
Aku mengangguk saja tanpa mengatakan sesuatu. Itu karena betapa jujurnya dia menanyakan hal tersebut sehingga aku kesulitan untuk menjawabnya dengan kata-kata. Bagi Totsuka, melihat sebuah ‘kepercayaan’ dan ‘kerjasama’ adalah sesuatu yang indah baginya.
Ketika aku setuju, Totsuka mengangguk.
Setelah itu, kesunyian menyelimuti meja kami. Totsuka terlihat malu-malu dan menatap ke arah bawah.
Aku bisa memahami kalau suasana saat ini masih lebih baik daripada sebelumnya, dan aku akhirnya berbicara.
“Mau makan sesuatu yang manis?”
“Ah, tampaknya ide yang bagus. Seperti makanan penutup.”
Totsuka tiba-tiba membalasku dengan ceria.
“Oke, aku akan membeli di depan. Tunggu disini.”
Aku berdiri begitu saja tanpa menunggu jawaban Totsuka.
Ketika aku turun ke bawah, di depan kasir tampak padat seperti biasanya. Tampaknya akan memakan waktu sebelum giliranku tiba.
Orang yang keluar masuk restoran ini, ditambah keramaian di depan kasir membuat suasana panas di antrian ini semakin menjadi. Ini membuat kepalaku menjadi agak pusing dan memutuskan untuk pergi keluar barisan untuk sejenak.
Malam di bulan Desember memang dingin, tapi sensasi panas yang keluar dari kepalaku ini terasa nyaman bagiku. Karena aku keluar restoran sejenak tanpa membawa mantel dan syalku, angin dingin yang kering ini seperti menusuk belakang leherku. Tubuhku tiba-tiba merasakan sensasi dingin yang luar biasa.
Aku berdiri saja disana kedinginan di salah satu sudut jalan, ada seseorang yang lewat dan memperhatikanku. Dan ada pula orang yang melihatku dan cuek begitu saja.
Ketika itu, kata-kata Totsuka terbayang di pikiranku.
‘Keren’, kah...
Aku tidak seperti itu. Itu hanya diriku yang keras kepala. Mungkin lebih sederhananya aku hanya mencoba terlihat keren.
Bahkan sampai saat ini, monster yang bernama alasan terus menghantuiku, monster provokatif yang mewakili alam bawah sadarku seperti berusaha mengambil alih diriku ini.
Jika aku sadar akan eksistensi hal-hal tersebut, mungkin aku akan menerima kata-kata Totsuka dengan tangan terbuka.
Tapi senyum Yuigahama yang terlihat dibuat-buat, Isshiki yang sering terlihat tertindas, Tsurumi Rumi yang masih menjadi penyendiri, dan di atas semua itu, Yukinoshita yang pendiam dan senyumnya yang terlihat pasrah tersebut membuatku bertanya kepada diriku, sekali lagi.
Apakah yang kulakukan selama ini benar?
Aku lalu mengembuskan napasku dan melihat langit gelap tak berbintang di atasku. Langit yang disinari gemerlap cahaya kota tampak dipenuhi oleh awan.
Percakapan Hachiman dengan Hayama di lapangan...
Hachiman mengatakan Iroha hanya memanfaatkannya saja. Ironisnya, itulah yang dilakukan Hayama kepada Miura selama ini.
Tentu Hayama tidak bisa menjamin apakah dia akan menerima ajakan Iroha jika diminta membantunya, karena itu bisa membuat Miura emosi jika tahu setiap pulang sekolah Hayama berduaan dengan Iroha. Karena sekali lagi, Hayama harus menjaga hubungannya dengan Miura seharmonis mungkin.
Hayama tidaklah sebaik yang Hachiman kira, itu akan terbuka semuanya di vol 10 chapter 7.
...
Senyum lembut dan dingin yang pernah dilihat Hachiman di masa lalu, ketika Hachiman mengingat kembali senyuman Hayama...
Itu adalah senyuman 'kosong' dari Yukinoshita Yukino saat ini. Dipertegas lagi di monolog akhir chapter ini.
...
Tentu saja Iroha tidak akan memberikan kantong belanjaannya ke Hachiman karena dia tahu Hachiman baru saja kembali lagi ke sekolah hanya untuk mencarinya.
...
Si Pria yang dibahas dalam monolog Hachiman di rapat yang penuh kepura-puraan...
Si pria itu jelas Hachiman.
Hachiman yang berusaha membuat dunia dimana tidak ada seorangpun yang terluka
Dimana Hachiman sendiri pura-pura menjaga perasaan Yui, sedang Yui sendiri pura-pura menjadi bagian Klub untuk mendekati Hachiman.
...
Tsurumi Rumi mengingatkan Hachiman kepada Yukino.
Dimana ini sendiri sudah membantah dugaan Yukino sendiri di vol 4 chapter 5 kalau Rumi itu mirip Yui. Hachiman sendiri di vol 4 chapter 4 sudah menduga kalau Yukino sangat peduli ke Rumi karena bully yang diterima Rumi itu mirip dengan bully yang diterima Yukino sewaktu SD dulu.
...
Mengapa Hachiman menempatkan Yukino sebagai prioritas masalah yang harus dia selesaikan?
Sebenarnya cukup sederhana : masalah di penembakan Ebina, masalah sikap misterius Yukino yang mencalonkan diri di pencalonan ketua OSIS, lalu senyum kosongnya di vol 9 chapter 1...Kesimpulannya, mayoritas masalah yang diderita Hachiman saat ini berasal dari hubungannya dengan Yukino.
...
Kalo baca ln, sampai bagian ini saja sudah jelas kalo main girlnya itu yukino. Cuma kalo yg nonton anime aja agak bingung karena perhatiannya terbagi terus jarang ada monolog hachiman
BalasHapusYoi gannn...tp saayyangnyaa bnyk bgt adegan romens hachi x yuki yg dipotonng studionya..kamprer bettt
HapusStudionya tim Yui cuk
HapusSemoga staff anime yg nge cut adegan Hachiman x Yukino bakal denger suara Yahallo terdengung selama 24jam nonstop tidak henti di kepala mereka seumur hidup mereka,biar sekalian hakan tah yahallo nya yui sama enek sekalian staff anime nya hehe
Hapus