x Chapter II x
Bunyi
berisik terdengar dari pemanas air di ruangan ini. Yukinoshita, yang mendengar
bunyi air telah mendidih, mulai menutup majalah yang dibacanya. Mungkin ini
yang kau sebut dengan telinga anjing. Tapi Yukinoshita yang pecinta kucing
mungkin akan mengatakan “itu bukanlah telinga anjing, tetapi telinga kucing
Scottish Fold”. Sekedar info saja, Scottish Fold adalah sejenis kucing
peranakan langka yang memiliki ciri khusus dimana mereka bisa melipat telinga
mereka seperti anjing.
Yukinoshita
menaruh majalahnya di atas meja, berdiri, dan berjalan menuju pemanas air
tersebut.
Yuigahama,
yang sedang bermain dengan HP-nya, mengatakan sesuatu ke Yukinoshita dengan
tatapan mata yang penuh dengan ekspektasi.
“Yay!
Waktunya snacks!”
Setelah itu,
Yuigahama mencari-cari sesuatu di tasnya dan mengeluarkan beberapa kue
pendamping teh. Sedang Yukinoshita sendiri mulai menyiapkan tehnya.
Sebuah
cangkir yang elegan terlihat disiapkan di atas meja. Juga ada sebuah mug dengan
gambar wajah anjing.
Mendekati
akhir musim gugur, kau mulai melihat tanda-tanda musim dingin mulai mendekat
dengan sangat jelas. Ketika aku sedang membaca buku, aku melirik ke arah
Yukinoshita yang sedang menuangkan teh hitam.
Ketika teh
yang panas itu tertuang, aku melihat daun tehnya serasa menari kesana kemari.
Gerakan menari itu seperti menggambarkan salju yang meleleh secara
perlahan-lahan, dan akhirnya daun teh tersebut tenggelam ke dasar.
Setelah
Yukinoshita menuangkan teh ke mug, dia tiba-tiba terdiam. Dia menaruh tangan
yang tidak memegang teko teh itu di dagunya seperti sedang memikirkan sesuatu,
setelah itu dia mengambil sebuah gelas kertas yang ada di dekatnya dan
menuangkan teh ke gelas tersebut.
Seperti
sedang meragukan sesuatu, dia menatap ke arah gelas kertas tersebut dengan
pandangan matanya yang dingin. Setelah itu dia menaruh teko tehnya.
Yukinoshita
mengambil cangkir dan piring cawannya, lalu membawanya ke tempat duduknya. Yuigahama
yang berada di sebelahnya, mengambil mug tehnya sambil tetap memegang HP di
tangan satunya.
Gelas kertas
yang terisi teh tersebut tidak ada seorangpun yang mengambilnya. Uap tehnya
seperti seorang anak kecil yang mencari orang tuanya.
“Tehnya...kalau
tidak segera diminum, nanti akan cepat dingin.”
“...Aku
punya ‘lidah kucing’.”
[note: Lidah kucing atau nekojita adalah sebutan
orang yang punya lidah tidak tahan makanan ataupun minuman yang sangat panas.]
Lagipula,
dia memang tidak menanyakan dulu apakah aku mau teh atau tidak. Tapi, aku
bukanlah pria yang akan menolak seseorang yang sudah membuatkanku sesuatu.
Aku akhirnya
mengambil gelas tersebut dan berpikir mungkin saat ini sudah tidak terlalu
panas.
Sambil
meniup-niup gelasnya dan meminumnya sedikit, Yuigahama yang memegang mugnya
mulai membuka pembicaraan.
“Oh ya,
sebentar lagi kita akan darmawisata.”
Alis
Yukinoshita tampak merespon kata-kata tersebut. Suasana di kelasku sendiri juga
seperti itu. Tampaknya suasana darmawisata di kelasku ini telah mencapai Klub
Relawan melalui perantara diriku.
“Apa kalian
sudah memutuskan akan kemana?”
“Kami akan memutuskannya
nanti.”
“Kalau aku
sih, ya tergantung para pria di grupku saja.”
Darmawisata
bagiku, hanyalah sebuah kegiatan ‘memindahkan keseharianku’.
Para pria di
grupku pasti tidak akan mempedulikan pendapatku dan mereka akan membuat rencana
dimana aku hanya diperlakukan sebagai udara saja; sederhananya, aku hanya
mengikuti kemana para pria ini pergi nantinya.
Aku juga
tidak keberatan dengan itu karena itu akan memudahkanku, tapi aku tidak setuju
kalau ini dikatakan ‘fun’.
Orang aneh
tetaplah orang aneh dan bagi sebuah grup yang punya siswa aneh di dalamnya,
mereka tidak berniat untuk mendengar pendapatmu. Tapi, mereka sebenarnya ingin
menyingkirkanmu.
“Ngomong-ngomong, Yukinoshita. Apa yang akan kau lakukan soal
darmawisata nanti?”
Ketika aku
berusaha menghilangkan tanda tanya di kepalaku itu, Yukinoshita memiringkan
kepalanya sambil memegangi cangkir tehnya.
“Apa maksudmu?”
“Bukankah
kau sendiri tidak punya teman di kelas, benar tidak?”
Dari sudut
pandang orang ketiga, ini mungkin terdengar sebagai pertanyaan yang kasar, tapi
Yukinoshita sendiri tidak merasa terganggu mendengarnya.
“Memang
benar. Tapi ada apa dengan itu?”
“Nah, aku
hanya ingin tahu bagaimana kamu mengatasi masalah grupnya.”
Setelah
mengatakan itu, Yukinoshita tampaknya paham maksudku dan dia menaruh cangkir
tehnya dan berkata dengan nada yang meyakinkan.
“...Aah,
kalau soal itu, aku memang diajak untuk bergabung dengan suatu grup dan aku
belum memberikan jawabanku.”
“Huh,
ka-kau diajak bergabung?”
Ketika aku
berusaha memastikannya lagi, Yukinoshita memandangiku seperti tersinggung.
“Aku tidak
tahu image diriku ini seperti apa dari sudut pandangmu. Tapi, ketika diharuskan
membentuk grup, aku biasanya tidak punya masalah dengan itu. Biasanya, akan ada
gadis dari suatu grup yang datang dan mengajakku.”
Yukinoshita
lalu menyisir rambutnya yang berada di bahunya dan menatap ke arah Yuigahama,
yang mendengarkannya dari tadi di dekatnya.
“Aah,
tampaknya aku paham itu. Setidaknya bagi kelas J, karena mayoritas isinya
gadis, mereka pastinya suka gadis seperti Yukinon yang memberikan kesan
‘keren’.”
“Haa, begitu
ya...Setidaknya itu untuk kelas J, kah.”
Yukinoshita
ini seperti artis di kelas J, kelas Budaya Internasional. Kelas J berisi 90%
gadis, tidak seperti kelas-kelas reguler. Pelajaran yang mereka terima agak
sedikit berbeda dari kami sehingga memberikan kesan berada di sebuah SMA Elit
yang khusus bagi para gadis. Bahkan, ketika melewati kelas tersebut, tercium
wangi yang menyegarkan, well, sebenarnya banyak sekali aroma yang tercampur
disana, membuatku merasa linglung. Juga, ketika musim dingin tiba, biasanya mereka
memakai pakaian tambahan dibalik roknya dan mereka sering menjahili sesamanya
dengan mengangkat rok teman-temannya. Melihat mereka dari kejauhan memberikan
perasaan yang menyenangkan.
Karena siswa di kelas
Yukinoshita mayoritas berisi gender yang sama, mungkin akan terasa lebih
nyaman, santai, dan mudah melakukan sesuatunya. Mungkin juga itu adalah salah
satu faktor yang memudahkan mereka untuk membaur meskipun tidak kenal baik.
Ini mungkin
salah satu keuntungan dari minoritasnya lawan jenis di suatu kelas.
Sebaliknya
bagi para pria, mereka berusaha membuat para gadis terkesan. Persis seperti
bagaimana Tobe dan gerombolannya melawak di kelas beberapa waktu lalu, atau
mereka yang pura-pura dekat, bahkan bagi para pria yang menderita sindrom kelas
8. Tentunya, aku juga bukanlah sebuah pengecualian disana.
Dan bisa
jadi, para gadis mungkin punya sifat yang hampir sama.
Bahkan, aku
sangat yakin kalau Yukinoshita punya pengalaman yang sama. Kalau kita campurkan
para pria dan gadis di satu kelas, pasti banyak hal yang terjadi. Jika ada
jarak diantara para pria dan gadis, maka grup para pria dan gadis juga akan
membuat jarak.
“Haa~.
Beneran deh, aku inginnya kita bisa pergi ke Okinawa.”
[note: Okinawa terkenal karena keindahan pantainya
dan serba-serbi wisata yang agak ‘amerika’. Ini tidak lepas dari adanya
pangkalan militer USA disana.]
Yuigahama
duduk dengan lemas sambil melihat ke arah langit-langit.
“Agak tanda
tanya kalau musim-musim seperti ini pergi kesana...Aku tidak menyarankan itu.”
Setelah
mengatakannya, Yukinoshita menatap ke arah jendela. Angin yang dingin tampak
berembus diluar sana. Okinawa mungkin berada di selatan negara ini, tapi di
musim seperti ini, mustahil kamu kesana dan akan berteriak gembira dan berkata
“Lauut!”.
“Eeh? Tapi,
kalau kita pergi ke Kyoto, tidak ada tempat yang bisa kita tuju. Disana cuma
ada kuil dan tempat berdoa, tahu tidak? Kalau cuma ke tempat seperti itu,
kurasa di sekitar rumahku banyak...Aku bisa pergi ke kuil Asama di Inage kapan
saja...”
Kata-kata dari Nona Yuigahama ini sangat luar biasa. Mendengarnya saja membuat kepalaku
pening. Yukinoshita mungkin merasakan hal yang sama karena aku melihat dirinya
sedang menyentuh keningnya dengan tangan.
“Kau tidak
pernah menganggap penting sejarah dan budaya, ya...?”
Menjawab
kata-kata tersebut, Yuigahama menegakkan posisi duduknya.
“Maksudku,
memangnya kita bisa apa saja di kuil...”
Bukannya aku
tidak paham maksudnya. Bagi seseorang yang tidak tertarik dengan Budha dan
kuil, aku yakin orang itu tidak akan peduli sedikitpun. Bahkan bisa kukatakan
kalau mayoritas anak SMA jaman sekarang juga tidak peduli dengan budaya
mengunjungi kuil di tahun baru dan upacara kuno di keluarga.
“Banyak hal
yang bisa dilakukan. Lagipula tujuan utamanya bukan untuk bersenang-senang,
tapi untuk mempelajari sesuatu. Tentunya, ini bukan hanya masalah sejarah, tapi
untuk melihat dan mengalami sendiri bagaimana budaya dari negara ini...”
“Kupikir
masalah utamanya bukan disitu.”
Aku memotong
opini Yukinoshita yang mulai terdengar seperti seorang pengamat profesional.
“Oh baiklah.
Mari kita dengar pendapat Tuan Hikigaya mengenai darmawisata ini.”
Dia seperti
merasa terganggu ketika kupotong tadi, Yukinoshita seperti menantangku. Ini
agak menakutkan, Nona Yukinoshita. Tapi sayangnya, Tuan Hikigaya ini tidak akan
mundur.
“Ini yang
kupikirkan...Darmawisata ini adalah sebuah replika kehidupan di komunitas
sosial kita.”
“...Begitu
kah? Memang ada benarnya, kita naik kereta cepat, transportasi publik, turun di
stasiun...”
Yukinoshita
menjawabnya sambil menyilangkan lengannya. Tapi, aku belum selesai tadi.
“Kau
mengikuti sebuah perjalanan dimana kamu sendiri tidak ingin pergi, bertemu
dengan orang-orang di atasmu yang tidak ingin kau temui, dan kau diwajibkan
hadir di tempat yang diminta mereka. Kau bahkan tidak bisa memutuskan akan
tidur dimana atau mau makan apa. Yang terpenting, di darmawisata itu pendapatmu
tidak didengar meskipun kau mengatakan ini, itu, dst. Dan dengan uang di
tanganmu, kamu harus memikirkan banyak hal seperti ‘oleh-oleh ini bagus
untuknya, cocok untuknya, kurasa tidak masalah kalau dia tidak dapat ini’.
Kemungkinan besar tujuan darmawisata adalah agar kita belajar hal-hal tersebut.
Lebih tepatnya ini adalah sebuah latihan dimana kamu harus mulai membiasakan
dirimu tidak memperoleh apa yang kamu inginkan, tapi kamu harus belajar
berkompromi, dan kau harus terbiasa menikmati sebuah kegiatan sambil menipu
dirimu sendiri.”
Setelah selesai mengatakannya, Yuigahama
melihatku dengan tatapan mata yang jijik.
“Woow.
Darmawisata versi Hikki tidak terlihat ada kata ‘fun’ di dalamnya...”
“Kalau kau
sepesimis itu, aku pikir kau tidak akan bisa mewujudkan satupun rencanamu disana...”
Yukinoshita
seperti mengomentari pendapatku dengan datar danYuigahama mengatakan “ah”
seperti teringat akan sesuatu.
“Ta-tapi,
meskipun pendapat Hikki begitu, bagaimana kita menikmatinya bukankah terserah
kita sendiri, benar tidak?”
“Hmm,
kupikir begitu...”
Memang,
entah bagaimana kegiatannya dan apa yang diperintahkan mereka kepadamu, apa
yang kau rasakan itu tergantung dari dirimu sendiri.
Yukinoshita
lalu tersenyum, seperti menyetujui kata-kata itu.
“Kurasa
begitu...Bahkan Hikigaya sendiri punya satu atau dua hal yang dia pikir
menyenangkan, benar tidak?”
“Yeah...”
Sekamar
dengan Totsuka, mandi bersama Totsuka, makan bersama Totsuka; kurasa aku memang
antusias untuk mengikuti darmawisata nanti.
“Hikki, jadi
kau punya hal-hal yang kau anggap menyenangkan?”
“Nah,
setidaknya, aku cukup nyaman dengan Kyoto.”
Ketika aku
menjawabnya, Yukinoshita menatapku.
“Itu
mengejutkan...Kupikir kau adalah tipe orang yang menganggap tradisi dan
formalitas adalah hal-hal sampah.”
Oh, kau
kejam sekali Nona Yukinoshita. Tapi, aku sudah terbiasa dengan itu.
“Bagi
Universitas dengan jurusan Liberal Art terkenal dan berada di tengah-tengah
sejarah Jepang, kampusnya di Kyoto merupakan tempat yang sakral bagiku.”
[note: Doshisa Women’s College of Liberal Art,
adalah sekolah tinggi Liberal Art khusus siswi yang berdiri 1876 di Kyoto. Lalu
tahun 1949 berubah menjadi Universitas Swasta untuk mahasiswa segala gender,
terkenal dengan jurusan Liberal Artnya. Kemungkinan besar, Hachiman mengincar
untuk kuliah di kampus ini.]
Ngomong-ngomong soal sejarah, aku menyukai novel sejarah yang dikarang
Shiba Ryotaro seperti “The Tatami Galaxy”, lagipula kota Kyoto sendiri
merupakan kota yang sangat menarik bagiku.
“Well,
sebenarnya itulah darmawisata, kamu tidak bisa seenaknya pergi kesana-kemari.
Aku akan pergi kesana sendiri suatu saat nanti.”
“Bukankah
akan terasa kesepian jika pergi sendirian kesana...”
Yuigahama
menggumamkan itu. Nah, kupikir itu akan jadi perjalanan yang menyenangkan.
Kesana sendirian. Lagipula tidak harus bertemu seseorang akan membuatnya
terdengar keren. Ada satu orang yang tampaknya sepemikiran denganku,
Yukinoshita menganggukkan kepalanya.
“Kurasa
tidak juga. Pergi sendirian itu cukup menyenangkan dan kau bisa pergi kemanapun
kau suka.”
“Benar,
benar, jangan lupa kalau sendirian kau tidak perlu basa-basi dengan suasana
sekitarmu. Kalau aku melihat anak-anak SMA yang nakal di kuil Ryoanji Zen, aku
akan mengambil kerikil dan melempari kepala mereka.”
“Kurasa aku
tidak akan melakukannya...Itu adalah tempat yang dilindungi UNESCO.”
Yukinoshita
tampak tidak senang dengan apa yang kukatakan. Tapi, alasannya memang masuk
akal.
“Kalau
kalian sendiri, punya rencana mau kemana nantinya?”
“Aku belum
memutuskan mau kemana...Ah, tapi kupikir aku ingin mendatangi Kiyomizu-dera.
Itu tempat yang terkenal.”
[note:Kiyomizu-dera adalah sebuah kuil Budha kuno
berdiri di daerah Kyoto, dekat air terjun Otowa. Kuil berdiri tahun 798 dan
sudah direnovasi 10 kali. ]
“Keinginanmu
untuk ‘senang-senang’ masih terlihat...”
[note: Hachiman berpikir Yui hanya mengincar wisata
air terjunnya.]
Aku
menjawabnya tanpa berpikir terhadap respon Yuigahama tadi. Lalu dia menggerutu.
“Ayolah,
katanya apa saja tidak masalah. Juga, Menara Kyoto terlihat bagus.”
“Chiba juga
punya yang seperti itu.”
“Itukan
menara pelabuhan!”
Bukankah
namanya mirip? Sekali lagi, yang kubahas ini namanya yang mirip!
Kupikir itu
normal jika kita membandingkan sebuah tempat di kota lain dengan apa yang ada
di kota kita. Aku menyukai menara pelabuhan itu. Aku tidak pernah kesana lagi
semenjak Festival Kembang Api kemarin.
Yukinoshita
seperti mengirimkan pukulan telak mengenai kecintaanku dengan kota ini.
“Kalau kau
membicarakan tentang menara pelabuhan, maka Menara Kobe lebih terkenal dari
itu.
“Okelah,
Chiba tower cuma menang tinggi saja.”
“Aku tidak
tahu apa yang kau banggakan dari itu...”
Yukinoshita
tampaknya hendak menghindari sakit kepala lanjutan karena dia sudah mulai
memegangi keningnya.
“Kalau
Yukinoshita sendiri, bagaimana?”
Ditanya
seperti itu olehku, dia berpikir sejenak.
“Aku...Ada
sebuah taman batu di Ryoanji dan Kiyomizu yang Yuigahama sebutkan tadi, tapi
aku ingin melihat ke Rokuonji dan Jishouji dulu yang sama terkenalnya.”
Lalu
Yuigahama terlihat mengedip-ngedipkan namanya mendengar nama-nama yang baru
kali ini dia dengar.
“Rokuonjishouji...”
“Jangan
gabungkan nama mereka seenaknya...Nanti terdengar seperti sebuah nama yang keren, benar tidak?”
Rokuonjishouji. Terdengar seperti nama seorang pria, job monk yang kuat.
Setidaknya dari namanya.
“Mungkinkah
aku lebih baik mengatakan nama-nama yang umum, seperti Kinkaku dan Ginkaku?”
“Ka-kau
harusnya mengatakan itu dari awal! Ah, tapi kalau pergi ke Kinkakuji, Yumiko
tampaknya juga ingin kesana.”
“Itu memang
cocok dengan dirinya...”
Itu memang
cocok dengan imagenya yang cantik. Ketika aku membayangkan ornamen-ornamen emas
bertebaran di sekitar Miura, Yukinoshita meneruskan kata-katanya.
“Juga ada
‘jalan-jalan filosofi’. Biasanya populer ketika Pohon Sakura mulai menunjukkan
daunnya, meskipun sekarang mulai musim gugur sih. Dari situ kita bisa melihat
beberapa pemandangan spesial dari beberapa kuil ketika berjalan menyusuri
taman, tapi ya kalau memang sempat...Karena pemandangannya indah menjelang
malam, dan itu akan sulit terjadi di darmawisata.”
Yuigahama
tampak kagum melihat Yukinoshita, yang terdengar seperti sedang berpidato.
“Sangat
detail...”
“Apa kamu
tahu itu dari membaca Jalan?”
[note:Jalan adalah semacam majalah informasi wisata,
biasanya laris di kalangan traveller atau turis di Jepang.]
“Tidak
juga...itu merupakan pengetahuan umum mengenai Kyoto yang kupikir setiap orang
akan tahu itu.”
Tiba-tiba
mengatakan itu, Yukinoshita lalu memalingkan wajahnya dan mengambil majalahnya
kembali. Tunggu dulu, setelah kulihat baik-baik, majalah yang dia pegang itu
memang Jalan.
Meski
begitu, sangat langka melihat Yukinoshita antusias dengan darmawisata.
Aku lalu
memalingkan tubuhku untuk menahan tawaku. Lalu Yuigahama melihatku yang mungkin
dia sendiri tidak bisa menahan tawanya, akhirnya kami berdua hanya
senyum-senyum melihat Yukinoshita yang seperti itu.
“...Ada
apa?”
“Tidak ada
apa-apa! Tidak ada apapun!”
Yukinoshita
melihat ke arah kami dengan tatapan dinginnya, tapi Yuigahama yang panik
berusaha membuat suasananya cair.
“A,hahaha...Ah, benar. Yukinon, ayo kita pergi bersama di hari ketiga!”
Yuigahama
tertawa sambil mengatakan ajakannya itu. Yukinoshita lalu memiringkan
kepalanya.
“Bersama?”
“Yeah,
bersama!”
Yukinoshita
bertanya balik dan Yuigahama tersenyum. Tapi, Yukinoshita tampaknya sedang
memikirkan sesuatu. Secara perlahan, dia membuka mulutnya. Aku sudah menduga
dia akan mengatakan apa.
“Tapi...”
“Yukinoshita
ada di kelas yang berbeda.”
Ketika aku
berusaha menjawab itu untuknya, Yuigahama mengangguk.
“Yeah. Tapi,
kita diperbolehkan pergi kemana saja di hari ketiga, jadi aku akan
menghubungimu dan kita akan bersenang-senang di Kyoto!”
“Kupikir
kita tidak diperbolehkan sampai sejauh itu...”
“Eh?
Harusnya kan boleh, benar tidak? Aku juga tidak begitu tahu soal itu.”
Gadis ini,
sangat memaksa sekali...
Tapi, kalau
memang boleh melakukan apapun, kupikir aku akan jalan-jalan saja sesukaku. Aku
selalu ingin kesana, perempatan Shinsengumi dan Ikedaya. Tampaknya, Ikedaya
sudah berubah menjadi sebuah bar. Aku akan menikmati daerah terkenal
itu sendirian.
Ketika
pikiranku berjalan kesana-kemari, Yuigahama melanjutkan obrolannya.
“Maksudku,
selama jadwalnya cocok saja. Bagaimana?”
“...Tidak
masalah.”
“Yeah! Kita
sepakat kalau begitu!”
Yukinoshita
memalingkan wajahnya sambil tersenyum, dan Yuigahama mulai memindahkan kursinya
ke dekat Yukinoshita.
Apakah
sebuah kemesraan antar dua gadis semacam ini bagus? Entahlah. Meski terpisah oleh
kelas, jika mereka akan bersenang-senang bersama di darmawisata, mungkin itu
adalah sebuah hal yang bagus.
“Kau juga
Hikki, ayo kita pergi bersama!”
“Hmm, ah.”
Yuigahama
menatapku dengan mata yang berbinar-binar seolah-olah mengharapkan jawaban
dariku. Jawaban soal itu tampaknya masih menyangkut entah dimana di dalam
bagian tenggorokanku.
Ketika
hendak kujawab, terdengar suara pintu ruangan Klub yang diketuk.
“Silakan
masuk.”
Ketika
Yukinoshita menjawabnya, pintu terbuka.
Muncullah
orang yang tidak diduga-duga. Sebenarnya, orang yang tidak diduga-duga ini
adalah orang yang seharusnya tidak datang kesini...Entah apa alasanku ini benar
atau tidak, orang-orang dari grup-grup yang begitu memang diharapkan untuk
tidak datang ke tempat ini.
Tapi, saat
ini, ‘pentolan’ grup tersebut ada di depan kami.
Hayama, dan
di belakangnya ada Tobe, Yamato, dan Ooka.
Memang, itu
adalah mereka berempat. Aku tidak tahu apa hubungan pertemanan mereka sebenarnya baik atau
bagaimana, tapi bagi orang luar, mereka terlihat seperti empat sekawan.
Mungkin
karena sudah pernah kesini beberapa kali, Hayama terlihat santai-santai saja
masuk ke ruangan ini, tapi sisanya tampak menoleh kesana-kemari seperti orang yang sedang gugup.
Lalu,
tatapan mereka terhenti pada diriku.
Aku tidak
perlu berpikir lama untuk mengetahui apa yang mereka pikirkan. Ketiganya tampak
menatapku dengan curiga. Lalu mereka menatap ke teman mereka satu sama lain
sambil melirik ke arahku.
Meski
begitu, mereka tidak salah apa-apa. Itu karena akupun juga melakukan hal yang
sama kepada mereka.
Lagipula,
kenapa mereka kesini?
Tampaknya
aku bukanlah satu-satunya orang disini yang berpendapat begitu, Yukinoshita dan
Yuigahama tampaknya memikirkan hal yang sama.
“Ada
keperluan apa kesini?”
Yukinoshita
mengatakannya dengan nada yang dingin, sedang Yuigahama hanya mengangguk saja.
Ketika
ditanya, Hayama menatap ke arah Tobe seperti mengkonfirmasi sesuatu. Orang yang
sedang ditanya, Tobe, dari tadi hanya memegang-megang rambutnya seperti sedang
galau.
“Aah, dia
ada sebuah permintaan, jadi aku membawanya kesini, tapi...”
Hayama
mengatakannya dengan ragu-ragu, tampaknya yang punya keperluan kali ini
bukanlah Hayama, tapi orang-orang di sekelilingnya itu.
“Ayolah,
Tobe.”
“Ayo
katakan.”
Keduanya
memaksa Tobe, lalu ketika Tobe hendak membuka mulutnya, dia menutup lagi dan
berpikir sambil menggumam. Apa-apaan ini? Apa ini semacam adegan di majalah
mistis?
Setelah
berpikir lama, dia mencondongkan kepalanya.
“Nah, jangan
begitulah...Mustahil aku mengatakannya di depan Hikitani.”
...Emangnya
mau ngomong apaan?
Emosi yang
terbangkitkan di dalam hatiku ini mulai menggelora, tapi setelah mengambil
napas panjang, aku mencoba meredakan emosiku tadi. Yamato dan Ooka berbisik
“mau bagaimana lagi” sementara Hayama terlihat kecewa kepadanya. Yuigahama
terlihat membuka mulutnya karena terkejut sedangkan Yukinoshita hanya melihat
mereka dengan terdiam.
Kesunyian
tercipta di ruangan ini...
Pantatku ini
mulai terasa gatal dan ternyata kesunyian ini dihentikan oleh Hayama.
“Tobe. Kita
kesini sebagai pihak yang membutuhkan pertolongan.”
“Yea, tapi
kan begini, mustahil aku mengatakannya di depan Hikitani looh~ Seperti, dia kan
tidak bisa diandalkan.”
Mereka
memang mengakui eksistensi diriku, tapi mereka membenci eksistensiku. Memang,
aku sendiri tidak mengharapkan untuk menemui kenyataan itu di tempat ini.
Orang yang
datang ke tempat ini untuk mengatakan requestnya sedang terdiam, membuat
suasananya mendadak sunyi. Karena itu, aku mendengar suara yang cukup jelas.
“Sangat
mengganggu...”
Terima kasih
karena sudah mewakili apa yang ingin kukatakan. Tapi Yuigahama, kenapa kamu
merasa gelisah setelah mengatakan itu?
“Tobecchi,
kau tidak perlu mengatakan itu, bukan? Ada cara yang lebih baik untuk itu.”
“Yeah, tapi
ini masalah serius loh.”
Aku sangat
terbantu kalau dia diberitahu untuk hati-hati dalam berbicara, tapi mereka
memang tidak bisa membuat satupun masalah ketika ada Yuigahama disini.
Tepat ketika
aku hendak berpikir apa yang akan kulakukan selanjutnya, Yukinoshita sudah
menyiapkan jawabannya.
“Begitu ya.
Mau bagaimana lagi, kita tidak bisa melakukan apapun kalau itu memang salah
Hikigaya. Seperti yang diduga...kalau begitu, maaf ya, bisakah kau keluar dari
sini?”
Nah, itu memang
betul. Kalau mereka tidak bisa bicara karena ada aku disini, maka aku lebih
baik keluar dulu dari sini.
“Baiklah,
nanti beritahu aku kalau mereka sudah selesai.”
Ketika aku
hendak berdiri, Yukinoshita menghentikanku.
“Tunggu,
kamu mau kemana?”
“Huh? Keluar
dari ruangan ini...”
Ketika aku
melihat ke arah Yukinoshita, dia yang sedari tadi menatapku kini melihat ke
arah Tobe dan teman-temannya.
“Yang keluar
dari sini itu mereka.”
“Huh?”
Bukan aku
saja yang kebingungan, tapi Tobe dan teman-temannya juga begitu. Lalu,
Yukinoshita terus menambahkan.
“Tidak ada
tata krama dan juga kata-kata yang kasar, kita tidak punya alasan untuk
mendengarkan request yang berasal dari orang semacam itu. Akan lebih efektif
jika mereka segera keluar dari ruangan ini.”
Nadanya
tidak jauh berbeda dari biasanya dan ini memang Yukinoshita yang kutahu. Hanya
saja, ekspresinya seperti lebih dingin. Mendapat tatapan yang dingin semacam
itu, Tobe mulai lemas.
“Sikapmu itu
membuat suasananya menjadi jelek...”
Kata-kata
Yuigahama menemani kalimat Yukinoshita.
Aku tidak
tahu apakah waktu terhenti atau bagaimana, tapi punggungku mulai terasa sakit
karena posisiku sejak tadi adalah setengah berdiri.
Mungkin akan
sangat bagus jika kita segera putuskan siapa yang harus keluar.
Atau
bagaimana jika kita ‘cukupkan kegiatan kita hari ini’ dan pulang? Boleh tidak
ya?
“...Ya,
kitalah yang salah disini. Tobe, ayo kita bicarakan lagi dahulu. Mungkin kita
memang harus mencari jalan keluarnya sendiri.”
Mendengar Hayama
mengatakan itu membuatku merasa lega, tampaknya dia sudah menyerah. Ya, bagus
itu, tolong cepat pergi dari sini!
Tapi,
tampaknya kata-kata Hayama malah membuat Tobe menjadi percaya diri.
“Nah, aku
tidak bisa mundur sekarang...Lagipula, aku pernah mendiskusikan itu bersama Hikitani
waktu musim panas lalu, jadi kupikir ini bukan masalah.”
“...Begitu
ya.”
Setelah
melihat tekad Tobe yang seperti itu, Hayama tampak tidak ingin membujuknya
kembali.
Memang
terasa agak aneh jika dia tidak mendengarkan bujukan Hayama, pria yang baik dan
penuh rasa keadilan. Mungkin Hayama merasa hanya menjadi batu penghalang Tobe
untuk saat ini. Biasanya, Hayama adalah tipe orang yang akan mendorong dan
mensupport temannya, jadi adegan yang terlihat di depanku ini kurasa
wajar-wajar saja. Bah, aku tadi sedang memikirkan apa sih?
Aku tidak
yakin apa Tobe memang benar-benar sudah membulatkan tekadnya atau tidak, tapi
tampaknya adegan tadi masih belum cukup untuk meyakinkannya. Tobe masih
berusaha mengatakan sesuatu, tapi ekspresinya terlihat sangat kesulitan. Uugh,
kalau kamu tidak mau mengatakannya, bolehkah aku pulang duluan?
“Umm...”
Akhirnya,
terdengar suara dari Tobe! Meski kita sebenarnya tidak tertarik tentang apa
yang akan dia katakan, kami masih menunggu apa request darinya.
“Ummm...”
Woi, masih
tidak mau ngomong? Apa kita sekarang berada di sebuah program Reality Show di
TV?
“Umm,
sebenarnya, aku...”
Setelah
delay yang cukup lama, akhirnya dia mulai berbicara.
“Tentang
Ebina, kupikir dia sangat manis, tahu tidak? Jadi, waktu darmawisata nanti, ada
sesuatu yang kuinginkan.”
Dia
mengatakannya sambil menyelipkan kode-kode yang harus kupecahkan.
“Serius
nih!?”
Mata dari
Yuigahama tiba-tiba berkaca-kaca. Apa yang ada di pikiranku saat ini tampaknya sama
persis dengannya.
Begitu ya,
waktu perkemahan musim panas dulu, ternyata dia tidak becanda.
[note: Vol 4 chapter 5, Tobe mengatakan kalau dia
menyukai Ebina.]
Karena aku
sudah punya informasi ini lebih awal, jadi aku langsung paham kemana
pembicaraan ini berujung, tapi kepala Yukinoshita terlihat miring dengan
ekspresi penuh tanda tanya.
Karena dia
tidak tahu apa yang dimaksud Tobe, Yuigahama terlihat sedang membisikkan
sesuatu kepadanya.
Yukinoshita
lalu mengangguk dan memahami situasinya, lalu dia terdiam. Untuk saat ini,
kupikir merangkum apa maksud Tobe kepada seluruh orang di ruangan ini sehingga
memiliki satu kesepahaman merupakan ide yang bagus.
“Sebenarnya
begini...Kau ingin menembak Ebina-san dan memintanya untuk menjadi pacarmu, apa kesimpulanku barusan salah?”
Ketika aku
mengatakan kata-kata yang dapat membuat pria yang baru beranjak dewasa menjadi
malu-malu, Tobe lalu memegangi rambutnya dengan malu-malu dan menunjuk ke
arahku.
“Yeah, yeah,
tepat seperti itu. Kalau ditolak, mungkin akan menjadi sangat buruk. Kau
ternyata sangat membantuku untuk mengatakan requestku, Hikitani!”
Apa-apaan
dengan sikapnya yang berubah tersebut? Tapi, kurasa cukup masuk akal kalau ini
menyangkut Tobe. Dia juga sering mengobrol denganku dan membahas topik-topik
aneh ketika musim panas kemarin.
Meski
begitu...
“Haa, jadi
kau berharap supaya nanti tidak ditolak olehnya...”
Jangan
katakan hal-hal yang naif! Ketika aku mengerjakan request sia-sia ini dan
berakhir dengan ditolaknya dirimu, dan nantinya kau akan mengatakan kalau ini semua salah kami?
Ketika
pikiranku dipenuhi hal-hal bodoh, aku lalu menggunakan lengan kananku sebagai
sandaran kepala sambil tiduran di atas meja.
Yukinoshita
melihat ke arahku, lalu dia menaruh tangannya di dagu sambil berpikir.
Satu-satunya
orang di ruangan ini yang tertarik dengan cerita Tobe tadi hanyalah Yuigahama.
Dia seperti
bunga yang barusan mekar dari kursinya dan menunjukkan ekspresi wajah yang
sangat tertarik. Kedua matanya tampak berbinar-binar mendengar kisah cinta
semacam itu.
“Kurasa itu
tidak apa-apa, seperti, itu bukan masalah! Aku mendukungmu~!”
Di lain
pihak, Yukinoshita seperti diliputi banyak tanda tanya.
“Kalau
begitu, apa kau sudah berusaha dengan keras selama ini untuk mendapatkannya?”
Keduanya tampak sudah separuh jalan untuk
menerima requestnya, tapi aku tidak mau ikut ‘jalan-jalan’ mereka.
Dia memang
sudah dikutuk sejak awal dalam hal meminta tolong orang.
Semasa SD,
topik semacam ini merupakan subjek utama gosip. Tapi sejak saat itu, aku memang
pernah melihat kalau beberapa siswa bekerjasama dan bisa membuat gosip itu
menjadi kenyataan. Ada yang menjadi pemberi saran, ada yang cuma ‘mengompori’
tanpa membantu, ada yang sengaja mensupportnya agar mendapatkan material untuk
mengejekmu, ada yang sengaja menjadikan itu momen untuk mencari tahu siapa lagi
yang suka dengan si A. Ya Tuhan, tidak ada seorangpun yang boleh meremehkan
arus informasi semacam ini ketika SD!
Oleh
karenanya, aku tidak berminat untuk mensupportnya. Ini hanya akan membawa
kenangan-kenangan buruk muncul lagi di kepalaku.
Melihat
ekspresiku yang kurang senang ini, Hayama tersenyum dan berbicara kepadaku.
“Kurasa ini
memang berat, ya.”
“Ya, kurasa
begitu...”
Aku tidak
menduga dia akan mengatakan itu sehingga aku memalingkan pandanganku. Setelah
itu, kedua mataku bertemu dengan kedua mata Yukinoshita.
(Enaknya
bagaimana ini?)...Yukinoshita memberikan kode itu lewat ekspresi wajahnya.
(Jangan,
jangan kau terima requestnya!)...Aku berusaha memberinya kode dengan mataku yang kutingkatkan
level busuknya menjadi satu tingkat lebih tinggi.
(Oke.)...Ekspresinya mengatakan itu dan dia mengangguk kecil sembari
berkata.
“Maaf,
kurasa kami tidak bisa membantu banyak disini.”
“Yep, kurasa
begitu.”
Oke, kurasa kita
selesai untuk hari ini.
“...Begitu
ya. Well, kurasa begitu.”
Hayama
mengangguk seperti percaya dengan kata-kata kami, dia terlihat berdiri saja
disana sambil menatap kedua kakinya. Tampaknya orang-orang yang datang ke Klub
ini belakangan sudah berubah motifnya, bahkan Hayama juga seperti itu, mereka
berpikir kalau kita pasti bisa memecahkan semua masalah.
Di dunia
ini, hal-hal yang bisa kau lakukan jumlahnya lebih sedikit daripada hal-hal
yang mustahil kau lakukan, dan ini hal yang tidak bisa dibantah. Sayangnya dan
dengan sangat menyesal, aku sendiri tidak cukup berguna dalam kasus ini. Umm,
maksudku, sangat disayangkan, oke! Aku tidak punya pacar, itu fakta, jadi ini
mungkin, umm...adalah hal yang sulit bagiku, kurasa begitu.
Masalahnya,
ada seorang member klub yang tidak sepaham dengan kami berdua.
“Eeeh,
ayolah, ayo kita membantunya.”
Yuigahama
lalu memeluk blazer Yukinoshita dan menggoyang-goyangkannya. Yukinoshita, yang
sedang terperangkap, merubah pandangannya dariku dan dia mulai menatap
Yuigahama, lalu dia kembali lagi menatap ke arahku.
Oi, oi,
tunggu dulu! Jangan membuatku menjadi orang yang mengambil keputusan disini...
Seperti tahu
maksud Yukinoshita, dia lalu selangkah ke depan. Dengan senyum di wajahnya, dia
lalu menatapku.
“Hikitani,
tidak... Tuan Hikitani, aku tidak sabar untuk bekerjasama denganmu!”
Tidak,
tidak, tidak, kau mungkin terdengar sopan kali ini, tapi ini sebenarnya cukup
kasar. Bahkan, kau salah menyebut namaku!
“Yeaaah,
Tobe sepanjang perjalanan kesini memang berharap kalian membantunya.”
“Kami
memohon kepada kalian.”
Ooka dan
Yamato tampak mensupportnya sambil tertawa. Sekali lagi, posisiku menjadi
minoritas disini.
“Yukinon,
Tobecchi benar-benar butuh bantuan kita.”
“...Entahlah, kalau kau benar-benar memaksa soal itu, biarkan aku
berpikir sejenak.”
Dengan
diplomasi yang disertai air mata ala Yuigahama, Yukinoshita mulai luluh. Hei
hei, Nona Yukinoshita, kamu belakangan ini terlalu melunak ke Yuigahama!
Kalau
begini, mengeluh dan menangis “aku tidak ingin melakukannya” tidak akan
membuatku keluar dari situasi ini. Tidak peduli kapan dan dimana, aku akan
selalu menjadi minoritas yang kalah. Meskipun pemenangnya mengatakan
menghormati pendapat minoritas, tapi itu cuma kata-kata saja.
“Ya sudahlah,
ayo kita lakukan ini...”
“Eh beneran,
makasih bro! Nona Yukinoshita dan Yui, terima kasih banyak!”
Hei, gue
mana? Masa cuma disebut ‘bro’...?
Ya sudahlah,
aku melakukan ini bukan karena mencari ucapan terima kasih darimu. Aku
melakukan ini karena inilah yang kulakukan disini.
Karena sudah
disepakati aku akan melakukan ini, aku akan melakukannya seperti biasa, tidak
lebih; itulah motoku. Aku tidak akan memberikan seluruh usahaku, melainkan
memberikan kesan kalau aku sudah berusaha. Inilah yang kupelajari dari Panitia
Festival Budaya.
“Terserah
kamulah...Jadi, kau ingin kami mengerjakan apa?”
“Ya tahulah,
seperti kataku tadi. Karena aku akan menembaknya...Mungkin kalian bisa memberikanku
semacam support?”
Ketika
Yuigahama mendengar kata ‘nembak’, dia menggumam ‘eeek’. Memang, hanya kau
sendiri yang tertarik dengan topik ini, aku tidak. Ngomong-ngomong, aku butuh
detail pekerjaannya, jadi aku mencoba bertanya lebih jauh.
[note: Mengingatkan Yui akan vol 5 chapter 6 dimana
Yui hendak menembak Hachiman namun mengurungkan niatnya setelah HP-nya berbunyi
karena ada panggilan.]
“Saat ini,
aku paham apa yang kau rasakan. Di lain pihak, aku perlu mengingatkanmu
sesuatu. Tahu tidak, Tobe, kalau kau memang benar-benar serius melakukannya,
berarti kau sendiri sudah tahu resikonya, benar?”
Setelah
mengatakan itu, Tobe berhenti menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Resiko?
Aah, yeah yeah, resiko, benar. Resiko?”
Kupikir dia
tidak paham maksudku...Aku tidak sedang membahas kucing yang melompat ke
makanannya, dengar tidak?
Level Tobe
dalam memahami sesuatu memang patut dipertanyakan, tapi mari kita singkirkan
itu dahulu. Yuigahama yang juga ‘dipertanyakan’ menatapku dan bertanya.
“Memangnya ada resiko
apa?”
“Resiko.
Hal-hal yang kemungkinan akan terjadi kalau kau ditolak.”
Yukinoshita
tiba-tiba menjelaskannya untukku.
“Aku tahu kalau itu! Maksudku tadi, resikonya itu apa?”
Kurasa, aku
harus menjelaskannya dari atas ke bawah.
“Pertama,
setelah kau menembak, lalu kau ditolak?”
“Eh, kenapa
sudah diputuskan dari awal kalau dia akan ditolak!?”
“Bodoh,
tentu saja itu hanya simulasi saja. Tapi kita harus memperhitungkan dengan baik efek sampingannya jika tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.”
Yuigahama
terlalu buru-buru dalam menyatakan keterkejutannya. Ini hanyalah permulaan
saja. Bagi orang yang ditolak, ada sesuatu yang gelap menunggu mereka di ujung
jalan itu. Tidak peduli seberapa jauh kau pikir, ada sebuah dasar dari dasar.
Dan sayangnya, inilah yang terjadi di kehidupan. Memang, kau tidak bisa
tenggelam lebih jauh jika sudah tenggelam di dasar.
“Pada hari
setelah kau menembaknya, semua orang di kelas pasti akan tahu soal itu.
Sebenarnya, tidak ada masalah jika mereka hanya sekedar tahu soal informasi itu... Tapi, masalah
sebenarnya akan timbul ketika kau mulai mendengar gosip-gosip tentang itu untuk seterusnya.”
[Kemarin, sepertinya si Hikigaya nembak Kaori.]
[Uugh,
kasihan banget Kaori...] Eh tunggu, kenapa aku baru ingat ini, kenapa dia mengatakan ‘kasihan’?
[Aku dengar, dia nembaknya lewat SMS.]
[Benarkah?
Duh, itu menakutkan sekali. Tapi, bukankah itu cukup sulit untuk dipercaya, nembak
lewat SMS?]
[Benar kan?]
[Untung saja
aku tidak memberinya nomor HPku.]
[Dia tidak
akan menembakmu, jangan khawatir(ahaha)]
“[Hei, itu
kejam sekali (ahaha)] atau semacam itu dan menjadikan kejadian itu semacam
guyonan. Kau akan mulai mendengarkan itu secara perlahan dan mulai menyakiti
hatimu sedikit demi sedikit.”
Ini memang sebuah skill yang bisa membunuh orang dalam sekali gerakan. Ketika hatimu sudah hancur karena patah hati, sosial sekitarmu
mencoba membunuhmu secara perlahan sebagai bonusnya.
“Lagi-lagi
cerita dari pengalaman Hikki...”
Yuigahama
mengatakannya dengan senyum. Apa kau ada maksud lain dengan mengatakan itu?
Memang mustahil aku kenal orang lain, dan karena itu kebanyakan cerita yang
kukatakan memang seputar diriku sendiri.
Aah, tidak
baik, tidak baik. Ketika aku mulai keasyikan bercerita, aku tidak sadar sudah
memakan banyak waktu. Pheew~, lelahnya (ahaha).
Semua orang di
rungan ini hanya terdiam setelah mendengarkan pidatoku tadi.
“...Apa
kalian paham maksudku?”
Ketika aku
mencoba mengingatkan itu kepada semuanya, Yukinoshita menepuk keningnya dan
berkata.
“...Bukankah
itu terjadi karena itu ‘kamu’?”
“Nah, sederhananya
begini. Itu adalah pengalaman dari seseorang yang mengalaminya ketika SMP,
begitulah...”
Masalahnya,
Tobe tidak punya pengalaman itu. Penjelasanku tampaknya sia-sia ketika dia
mengatakannya dengan santai.
“Baiklah,
baiklah, kurasa akan baik-baik saja selama aku tidak menembaknya lewat SMS.
Lagipula, aku adalah tipe orang yang membicarakannya langsung.”
Tobe
menunjuk ke dirinya sendiri dan mengubah jari telunjuknya menjadi jempol,
sedang Ooka dan Yamato yang berada di dekatnya berusaha memberinya semangat.
“Nembak
langsung, Tuan Tobe, kau sangat keren!”
“Pria
sejati...”
“Nah, seorang pria sejati memang harus melakukan itu.”
Mereka terus
menyemangatinya, tapi kalau bisa tolong wajahmu jangan memerah! Tapi sayangnya,
resiko tadi bukanlah satu-satunya resiko yang akan kau terima.
“...Tapi, itu
bukanlah satu-satunya resiko yang terjadi.”
“Ada lagi?”
Yuigahama
tiba-tiba menanyakan itu.
“Tentu saja,
ada. Seperti, hubungan baik yang pernah terjalin diantara kalian berdua setelah
kau menembaknya.”
“Oke, oke,
kami cukup paham.”
Seperti
berusaha meyakinkanku, Hayama menepuk pundakku dan menambahkan.
“...Kami
paham soal itu, jadi kami akan mencoba mengatasi masalah itu.”
Kalau mereka
sudah siap, yang bisa kulakukan selanjutnya hanyalah mengangguk dan terdiam.
Tidak seperti aku, Hayama pasti bisa mengatur situasinya. Kupikir aku tidak
perlu khawatir soal yang terakhir tadi.
Tapi, ketika
dia menepuk pundakku, ekspresinya berbeda dengan Hayama yang biasanya. Dia lalu
melihat ke arah ketiga temannya itu dengan senyum yang dibuat-buat.
“Well, aku
harus menuju ke klub, jadi aku serahkan dia kepada kalian...Jangan lama-lama,
Tobe.”
Hayama lalu
meninggalkan ruangan klub setelah mengatakan itu.
“Ah, kupikir
aku akan pergi dulu.”
“Aku harus
ke klub juga.”
Ooka dan
Yamato mengikuti Hayama. Tampaknya mereka hanya ingin menemaninya ke Klub
Relawan, dan tidak berminat untuk mendiskusikannya bersama-sama. Ini mungkin
yang disebut ‘membuang sampah di halaman rumah seseorang’.
“Oke, roger!
Aku akan menyusul kalian segera.”
Setelah
memberitahu mereka berdua, Tobe menatap ke arah kami.
“Jadi, yeah.
Mari kita lakukan yang terbaik.”
“Kalau
begitu, apa yang harus kita lakukan...”
Yukinoshita
tampak kebingungan harus memulai dari mana.
Memang,
untuk urusan percintaan semacam ini, kami tidak tahu harus mulai dari mana.
Mungkin bisa kau katakan kalau kau meminta tolong ke orang yang salah. Banyak
orang yang lebih mampu untuk menolongmu dalam situasi ini.
“Tobe,
kenapa kamu memilih untuk datang ke tempat ini untuk requestmu?”
“Hmm?
Tahulah, ini begini. Hayato yang menyarankan itu dan memaksaku kesini, begitu
loh.”
“Maksudku
bukan begitu...Bukankah urusan semacam ini akan lebih baik jika Hayama yang
membantumu langsung?”
Setelah aku
mengatakannya, Tobe tiba-tiba terlihat murung.
“Nah, tahu
tidak, bagaimana aku bilangnya ya. Hayato itu adalah pria yang keren. Dia sudah
terlalu baik kepadaku, tahu tidak? Jadi aku tidak ingin terus merepotkan
dirinya...”
Tobe tidak
perlu menjelaskan itu kepadaku. Meskipun kita membahas seorang pria tampan yang
lugu, bahkan orang-orang awam akan melihat Hayama sebagai pria yang tidak punya
beban hidup.
Hayama tidak
membeda-bedakan orang lain, dia adalah orang baik yang selalu menerima siapa saja.
Dia punya
wajah yang terlihat sederhana dan enak untuk dilihat, tapi tidak hanya itu saja,
kepribadiannya juga bagus. Aku tidak habis pikir kalau ada orang di dunia ini
yang membenci dirinya.
Tapi karena
tidak punya satupun hal yang dibenci, itu membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sungkan
kepadanya. Tanpa adanya hal yang dibenci, kesempurnaannya itu menjadi sebuah
senjata makan tuan.
Dibandingkan
dengan Yukinoshita, dia sebenarnya setara dengan Hayama. Tapi, sayang beribu
sayang, Yukinoshita punya sifat yang seperti ‘itu’. Dia adalah pemilik dari
spesifikasi sempurna yang tersia-siakan oleh caranya berbicara dan bersikap.
Meski
begitu, jika Hayama punya sifat seperti dirinya, Hayama tetap disebut sebagai
orang yang sempurna.
Tidak hanya
tampilannya, tapi caranya peduli ke orang-orang di sekitarnya, dan cara dia
mengolah emosinya. Kalau kau bertanya kepadaku apa saja dari dirinya yang
memiliki kualitas top, maka aku bisa menyebutkan banyak hal tentang dirinya.
Dan karena ekspektasi
orang-orang semacam itulah, membuat dirinya sendiri merasa tersiksa.
Kalau
dibandingkan antara bagian dirimu dengan dirinya, dan kualitas dirinya
tiba-tiba jauh melebihimu, entah kau setuju atau tidak, kau sendiri merasa
terluka.
Oleh karena
itu, kalau kau benar-benar mencari tahu apa kesalahan Hayama Hayato, maka
kujawab ‘Hayama Hayato itu sendiri’.
Aku saja
sebagai orang luar saja bisa paham itu. Apalagi orang yang kenal dekat dengannya?
Sekali lagi,
Yuigahama tersenyum kecut.
“Yeah...Hayato
memang tidak seharusnya diberikan masalah seperti ini.”
“Benar kan?”
Ketika Tobe
setuju, Yukinoshita terlihat mengangguk. Dan kemudian, dengan senyum manisnya,
dia menatapku.
“Begitu ya,
jadi karena itulah kau datang kesini mencari pertolongan Hikigaya.”
“Hei,
kata-katamu tadi membuatku terlihat sebagai orang yang sangat berpengalaman dalam ditolak cintanya.”
Akupun tidak
bisa menyangkalnya.
Tapi,
Yukinoshita dan Yuigahama memalingkan pandangannya dariku.
“...Hmm.”
“Aah...”
“Bisakah
kalian berdua berhenti pura-pura memalingkan pandangan kalian...Ini bisa
berakibat serius.”
Di
tengah-tengah suasana yang cair ini, Tobe menepuk pundakku.
“Kalau
begitu. Aku mengandalkanmu, Hikitani.”
...Seperti
kataku, kau menyebut namaku dengan salah!
Dengan menyebut universitas tersebut sebagai tempat suci, ini sama saja dengan mengatakan kalau Universitas yang hendak Hachiman tuju adalah Universitas Swasta Doshisa Kyoto.
...
Jelas ada yang janggal dari informasi Tobe tadi, soal tidak ingin merepotkan Hayama. Lalu, Hayama yang memaksanya untuk memakai jasa Klub Relawan.
Dalam vol 4 chapter 5, Tobe sendiri yang mengatakan kalau dia mendiskusikan itu dengan Miura sebelum berbicara mengenai Ebina di depan Hayama.
Harusnya, Tobe meminta bantuan kepada Hayama dan Miura. Jelas sikap Hayama yang mengarahkan Tobe ke Klub Relawan sendiri, patut dicurigai.
Seperti yang kita tahu di vol 10 chapter 7, Miura ini mencintai Hayama. Tapi, Hayama ini hanya memanfaatkan Miura saja. Tobe dan Miura jauh lebih dekat daripada Tobe dan Hayama. Kemungkinan besar, Miura kenal Hayama dari Tobe. Hayama juga, mengenal Miura dari Tobe. Jelas, jika Tobe meninggalkan grup mereka karena patah hati, hubungan Miura-Hayama terlihat aneh.
...
...
Jelas ada yang janggal dari informasi Tobe tadi, soal tidak ingin merepotkan Hayama. Lalu, Hayama yang memaksanya untuk memakai jasa Klub Relawan.
Dalam vol 4 chapter 5, Tobe sendiri yang mengatakan kalau dia mendiskusikan itu dengan Miura sebelum berbicara mengenai Ebina di depan Hayama.
Harusnya, Tobe meminta bantuan kepada Hayama dan Miura. Jelas sikap Hayama yang mengarahkan Tobe ke Klub Relawan sendiri, patut dicurigai.
Seperti yang kita tahu di vol 10 chapter 7, Miura ini mencintai Hayama. Tapi, Hayama ini hanya memanfaatkan Miura saja. Tobe dan Miura jauh lebih dekat daripada Tobe dan Hayama. Kemungkinan besar, Miura kenal Hayama dari Tobe. Hayama juga, mengenal Miura dari Tobe. Jelas, jika Tobe meninggalkan grup mereka karena patah hati, hubungan Miura-Hayama terlihat aneh.
...
Ataga min spoiler ya bikin gak sabar baterus
BalasHapusSebenarnya kalau kita sudah nonton anime sebelum baca LN nya... spoiler2 ini gk terlalu mengganggu, malahan melengkapi hal2 yang kurang bisa dipahami di Anime
Hapusyaa jangan dibaca laah yg terakhir nya langsung next aja
Hapus