Beberapa hari telah berlalu sejak terakhir kalinya aku berbicara dengan
Yukinoshita dan yang lainnya di ruangan Klub.
Selama itu pula, kegiatan rutinku hanyalah ke sekolah dan pulang ke
rumah. Bahkan ketika di rumah, aku dan Komachi terlihat tidak pernah berbicara
sekalipun. Satu-satunya teman bicaraku hanyalah kucingku, Kamakura.
Aku
baiknya langsung pulang ke rumah saja setelah Wali Kelas selesai memberikan
pengarahan di jam terakhir.
Kata-kata
dari Wali Kelasku hanya masuk ke telinga satu dan keluar ke telinga lainnya.
Dan akhirnya, pengarahan dari Wali Kelasku selesai.
Aku
mengambil tasku dan berdiri. Yuigahama masih berada di kelas karena aku bisa
mendengar suaranya yang sedang mengobrol dengan yang lainnya. Aku posisikan
kepalaku menghadap kebawah karena aku tidak ingin menatapnya dan segera
berjalan meninggalkan kelas ini.
Ketika aku tiba di depan pintu, seseorang menepuk punggungku.
"Ada waktu sebentar tidak?"
Ketika aku melihat asal suara tersebut, Hayama sedang tersenyum
kepadaku.
"...Apa maumu?"
Ketika aku menjawabnya, Hayama masih melihat ke sekitarnya dahulu dan
memberiku kode untuk mendekat. Tampaknya, pembicaraan ini bisa dikatakan
rahasia.
Tapi membuat wajahku berdekatan dengan Hayama adalah sesuatu yang
berbahaya disini. Sebenarnya, tahu tidak,
Ebina-san masih ada di ruangan ini! Ini agak...ah sudahlah...ini agak
memalukan.
Ah
terserahlah. Kami sendiri memang tidak pernah berbicara secara normal, jadi harusnya
kami tidak punya topik yang bisa dibicarakan secara diam-diam.
Kalaupun ada, mungkin berhubungan dengan darmawisata kemarin. Tapi,
kurasa kami semua sepakat untuk tidak membicarakannya lagi.
Aku
lalu memberinya kode untuk mengatakan maksudnya.
"Ini soal Orimoto dan Nakamachi yang waktu itu."
"Ya?"
Oh
begitu, ini karena ulah Haruno-san sehingga dia dijebak dan dikenalkan kepada
keduanya. Jadi begitu: Kupikir dia memiliki kesulitan untuk berbicara ke mereka
atau semacamnya. Tapi sayangnya, aku tidak bisa melakukan apapun.
Tapi ternyata bukan itu maksudnya.
"Aku ingin membicarakan soal waktu pertemuan kita Sabtu ini."
"Hah?"
Sabtu, apaan? Sabtu...Kalau Sabtu ya pasti itu. Acara TV yang bertajuk
'Super Hero Time'? Apa dia sedang ingin membahas mengenai anime Jewelpet
Sunshine dan Pretty Rhythm? Jadi kamu
ingin tanya jadwal acaranya? Kedua anime itu tayang pagi hari, bro! Tidak perlu
segitunya-lah sampai tanya ke aku dengan bisik-bisik segala...
[note: Super Hero Time sebenarnya sebuah waktu tayang di TV Asahi pada jam 7 - 8 pagi yang menampilkan superhero. Tayangnya hari Minggu pagi, dan biasanya Kamen Rider jam 7, lalu diikuti Super Sentai alias Power Ranger jam 7.30.]
[note: Super Hero Time sebenarnya sebuah waktu tayang di TV Asahi pada jam 7 - 8 pagi yang menampilkan superhero. Tayangnya hari Minggu pagi, dan biasanya Kamen Rider jam 7, lalu diikuti Super Sentai alias Power Ranger jam 7.30.]
Begitulah pikirku, tapi mustahil Hayama bertanya yang seperti itu.
Lalu, apa maksudnya dengan Sabtu?
Ketika aku penasaran apa maksudnya, Hayama mulai ragu kepadaku.
"Masa mereka tidak mengajakmu? Aku dapat SMS undangan untuk pergi
bersama ke Chiba Sabtu ini."
"Uh, mereka tidak ada yang bilang kepadaku..."
Pergi kencan dengan mereka? Maaf
Pak! Saya tidak kenal sama anak itu!
Lagian, aku
tidak pernah dapat SMS. Eh tunggu dulu, aku memang pernah mengganti nomorku
sekali waktu SMA. Jadi mereka memang punya nomorku yang lama.
[note: Vol 6.5 Hachiman mengatakan mengubah
nomornya sekali ketika awal kelas 2 karena malas melayani SMS Zaimokuza.
Sayangnya, Zaimokuza mengeluh ke Sensei dan Sensei memberikan nomor terbaru
Hachiman ke Zaimokuza.]
Berarti tidak mendapatkan undangan adalah hal yang wajar. Itu karena
mereka tidak tahu nomorku yang baru, sehingga SMS undangannya tidak sampai ke
diriku! Oh, andai saja mereka tanya dulu nomorku!
Bohong ah, lagipula siapa yang mau bersama
mereka?
Mereka cuma
mau bersama Hayama dan aku sebenarnya tidak perlu diajak.
Tapi Hayama tampaknya tidak mengerti sudut pandangku ini.
"Begitu ya...Kupikir mereka mengajakmu ketika mereka bilang 'kita
semua pergi bersama' di SMS tersebut."
Ya
kalau itu dari sudut pandangmu. Kamu adalah tipe pria yang 'ayo semuanya, ayo
kita pergi bersama!'.
"Itu kan sudah jelas, mereka cuma ingin mengajakmu saja. Apapun
itu, kalau orang tidak diundang sepertiku muncul, mereka pasti mengira aku
orang gila. Tidak perlu segitunya, nikmati saja akhir pekanmu bersama
mereka."
"Jadi ini hanya masalah 'tidak diundang' saja, kan?"
Hayama lalu mengangguk dan tersenyum.
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang mengajakmu ikut? Kalau ada
kamu, jumlah orangnya bisa genap."
"Ogah ah...."
Apa
dia idiot? Sudah jelas mereka tidak menginginkan untuk melihat wajahku, malah
diajak...pintar sekali kau, Einstein. Aku sangat yakin ketika mereka melihatku,
mereka langsung membuat ekspresi 'ngapain dia disini?'.
Lagipula, ada masalah lainnya.
"Lagipula, percaya diri sekali kamu kalau aku akan langsung
mengiyakan ajakanmu?"
Ketika aku mengembalikan ajakannya, Hayama langsung menghapus senyumnya
dan menaruh wajah yang serius. Wajahku bahkan lebih serius dari dia.
Coba lihatlah status sosial kita berdua, sangat sulit membayangkan
melihat kita janjian dan pergi bersama di luar sekolah. Tidak, tidak perlu luar
sekolah. Bahkan janjian di dalam sekolahpun merupakan peristiwa yang janggal.
Lagipula, aku masih belum lupa bagaimana dirinya merendahkan harga dirinya
sendiri waktu itu.
[note: Vol 7 chapter 8, Hayama memohon agar
Hachiman menyelamatkan grupnya dan membungkukkan badannya.]
Kita berada di dunia yang berbeda.
Kalau kau melihat kejadian ini, kamu hanya akan melihat dua orang pria
yang sedang menunduk dan diam tidak membahas apapun.
Hayama lalu berusaha mencairkan keadaannya.
"Bisakah kau pertimbangkan kalau kau hadir kesana itu untuk
menolongku?"
Aku
terkejut sekali, Hayama membungkukkan kepalanya. Aku tidak tahu ekspresinya
seperti apa, tapi aku tahu dia tidak sedang tersenyum.
Jujur saja, aku tidak tahu mengapa dia sampai segitunya. Meski begitu,
aku sedang dalam suasana yang tidak ingin tahu urusan orang lain lagi.
"Aku sendiri ragu kalau bisa menolongmu. Lagipula, bukankah kamu punya
banyak teman yang bisa membantumu?"
Hayama masih menundukkan kepalanya.
"...Lagipula, Sabtu adalah hari libur dan aku tidak mungkin keluar.
Bagaimana kalau kau ajak teman grupmu itu dan mengenalkan mereka ke gadis-gadis
tersebut. Itu mungkin bisa membantumu."
Setelah mengatakan itu, aku meninggalkannya.
"Begitu ya..."
Tepat sebelum pintu kelas kututup, aku bisa mendengar Hayama
menggumamkannya.
x x
x
Aku
pulang ke rumah dan berbaring di sofa hingga tengah malam. TV dibiarkan
menyala, dan buku-buku berserakan di lantai. Sedang aku sendiri sedang bermain
game di HP-ku. Sistem Wonder Trade ini adalah sistem keren untuk para
penyendiri.
Orang Tuaku memang pulang larut pada hari itu. Meski mereka sempat
menasehatiku soal tidur di sofa, aku hanya menjawabnya dengan "uh
huh" dan "baiklah". Setelah itu, mereka meninggalkanku begitu
saja dan beristirahat di kamar mereka.
Biasanya, aku langsung ke tempat tidurku atau membaca buku sampai
mengantuk, tapi entah mengapa belakangan ini aku sangat sulit sekali untuk
mengantuk.
Meski begitu, karena menginjak tengah malam, aku akhirnya mulai
mengantuk.
Aku
menguap begitu saja di sofa dan meregangkan tubuhku, lalu pintu ruang keluarga
terbuka.
Tepat ketika aku mulai berpikir kalau kucing jaman sekarang sudah bisa
membuka pintu sendiri, Komachi sedang berdiri disitu dengan topi tidur dan
piyamanya. Dia menatapku dengan tatapan yang kurang senang.
Komachi lalu berbicara terlebih dahulu.
"Oni-chan, telpon."
"Hah?"
Ketika dia mengatakannya, aku langsung melihat ke HP-ku. Tidak ada
panggilan, SMS, dan sedang low-bat.
Apa
maksudnya dengan telpon? Aku melihat ke arahnya dan dia melemparkan HP-nya ke
arahku. Aku menangkap HP-nya sebelum mengenai wajahku. Ketika kulihat HP tersebut,
ini adalah HP Komachi.
"Komachi mau tidur. Kalau sudah, taruh di meja saja HP-ku."
"Ah, oke."
Dia
mengatakannya dengan cepat dan kembali ke kamarnya.
Tampaknya dia meminjamkanku HP-nya. Di layar tertulis 'sedang
berbicara'.
Baiklah, kuterima saja. Aku tidak tahu siapa yang hendak berbicara
denganku ini, tapi jika ini dari HP Komachi, maka ini adalah seseorang yang
dikenal Komachi dan diriku.
"...Halo?"
"Halo!"
Sebuah suara yang ceria dan penuh enerjik menyapaku di ujung telpon. Aku
lalu menjauhkan HP tersebut dari telingaku dan melihat layarnya sekali lagi.
Disana tertulis 'sedang berbicara - Yukinoshita Haruno'.
Kenapa orang ini menelponku? Atau lebih tepatnya, dia tahu dari mana
nomor Komachi...? Dengan ragu, aku melihat HP tersebut dan mendengar suara
"Heeeeiiii....!" dari ujung telpon.
Tapi, aku sudah terlanjur menerima telpon ini. Aku menyerah saja dan
menaruh HP tersebut di telingaku.
"Ada perlu apa?"
"Apa kamu sedang bertengkar dengan adikmu?"
Jawabannya berbeda dengan yang kutanyakan. Apa Komachi mengatakan
sesuatu atau dia hanya menebak-nebak saja? Ya bisa jadi dia bisa merasakan itu
karena dia sendiri punya adik perempuan.
"Dibandingkan dengan yang terjadi antara kau dan adikmu sendiri, kurasa
kau tidak bisa menyebut aku dan adikku sedang bertengkar."
Aku
mengatakan sarkasme kepadanya dan dia tertawa.
"Ahaha, begitu ya."
"Ngomong-ngomong, kau tahu nomor Komachi dari mana?"
"Seusai Festival Budaya kemarin, aku bertemu dengan adikmu, tahu
tidak? Lalu kami saling bertukar nomor HP."
Jadi begitu...Itu pasti pertama kalinya bagi mereka berbicara dan
sekaligus bertukar nomor. Tampaknya, adikku ini punya koneksi yang lebih luas
dari yang kubayangkan. Eh, tunggu...bukankah ini berarti dia punya daftar teman
yang lebih banyak di HP-nya daripada punyaku?
"Mari kita langsung ke intinya. Aku dengar sesuatu loh, tahu tidak?
Apa kamu yakin kalau kamu tidak ingin pergi menghadiri kencan itu?"
"Aku tidak diundang..."
Apa-apaan gadis ini? Dia memanggilku tengah malam hanya untuk menamparku
dengan candaan seperti ini? Tunggu dulu, bukankah ini berarti Hayama
menceritakan hal ini kepadanya? Hayama,
kau harus tahu diri kalau ada garis yang tidak boleh kau lintasi begitu saja!
Ketika aku
sedang berpikir bagaimana aku harus menjelaskannya, suara Haruno-san terdengar
di ujung telpon.
"Tapi kan kamu diundang Hayato, kenapa kamu tidak mau?"
"Tidak, serius ini, aku sendiri memang tidak berminat untuk
pergi..."
"Ayolaaaah...Kan bisa menjadi hal yang romantis jika kamu pergi
kencan dengan gadis yang dulu pernah kamu sukai?"
Dia
mengatakannya sambil tertawa seakan-akan sedang mempermainkanku.
"Aku sendiri tidak menyebut itu 'gadis yang kusukai'."
"Oh, kenapa begitu?"
Ketika dia mengembalikan pertanyaan itu, aku bahkan tidak perlu
memikirkan jawabannya. Itu sudah kupikirkan baik-baik sejak SMP.
"Itu hanyalah kejadian sepihak dan terjadi karena salah paham, jadi
aku sendiri tidak menyebut itu perasaan suka."
Hanya karena dia berbicara kepadaku dan memperhatikanku, aku akhirnya
mulai mempertanyakan diriku dan meyakinkan diriku kalau dia menyukaiku.
Hasilnya? Hanyalah sebuah kesalahpahaman. Pada akhirnya, kebenaran akan orang
yang kukira menyukaiku terkuak. Itu hanyalah sebuah perasaan egois yang tidak
ada hubungannya dengan cinta.
Menembak seorang gadis itu seperti membuat kata 'aku mencintaimu'
berakhir dengan sebuah hubungan yang mempunyai nama dan definisi. Sebenarnya,
apa definisinya? Jika aku ditanya hal seperti ini, aku sendiri tidak bisa
menjawabnya. Dan itu berlaku juga saat ini.
[note: Monolog ini berulang di volume 11
chapter 6 setelah mengantar Yukino pulang dari Event Memasak Coklat Valentine.
Hachiman sengaja tidak memberi hubungannya dengan Yukino sebuah definisi dan
nama, karena dia takut jika itu terjadi, maka hubungan tersebut akan rapuh dan
hancur.]
Aku
bisa mendengar suara napasnya yang berat dari ujung telpon.
Setelah beberapa saat, dia tertawa. Aku tidak tahu ekspresinya seperti
apa, hanya bisa membayangkan dia sedang tersenyum.
Suara Haruno-san terdengar di telingaku.
"Kamu ini seperti monster logika saja."
"Apa-apaan itu? Aku bukanlah seperti itu."
Aku
baru saja diberi nama yang keren dan janggal. Aku tertawa kering mendengarnya.
"Begitu ya. Kalau begitu, bagaimana dengan monster ego?"
Suara Haruno-san tampak sedang tidak ingin bermain-main. Dia
mengatakannya dengan sepenuh hati.
Itulah mengapa...
Aku
merasa ada sesuatu yang mengenaiku dari kata-katanya.
Jika monster itu berasal dari kesadaranku dan tidak terkontrol, maka aku
akan mulai menolak diriku sendiri. Monster itu seperti terbangun dari tidurnya.
Pada akhirnya, monster itu akan dibunuh oleh seorang pahlawan, kupikir begitu.
"Ngomong-ngomong, kamu pergi ke kencan itu ya, oke?"
"Tidak, lagipula hari itu adalah hari yang buruk untukku."
Meskipun aku cuma cari-cari alasan, kata-kata tersebut tiba-tiba keluar
begitu saja.
"Oleh karena itu, kencannya diubah menjadi hari Jumat. Bukankah
kamu sendiri yang bilang kalau kamu tidak bisa kalau hari libur Sabtu dan Minggu?"
Sial, aku lupa kalau musuh kali ini sangat licik. Dia langsung
menggunakan alasanku sebagai senjata. Tunggu dulu, bagaimana dia tahu kalau aku
tidak mau keluar karena hari libur? Apa dia tahu itu dari Hayama? Juga, kenapa
dia yang memutuskan begitu saja?
"Uh, hari itu juga agak..."
"...Masa kamu maunya cuma pergi sama Yukino-chan? Maksudku, kamu
sendiri waktu itu mau pergi bersama Gahama-chan juga."
Ketika dia mengatakannya, kejadian waktu awal musim panas dan ketika
liburan musim panas teringat di kepalaku.
[note: kencan dengan Yukino terjadi di
bulan awal Juni dan kencan dengan Yui di festival kembang api ada di akhir Agustus.]
Entah mengapa, dia bisa bertemu denganku di dua kejadian tersebut. Dia
pasti diberkati sesuatu. Atau bisa disebut orang yang terpilih!
Tapi, kedua kejadian tersebut tidak bisa disebut sebagai kencan.
"Yang kemarin itu hanyalah sekedar berbelanja dan membantu
membawakan pesanan belanja atau semacam itu."
"Kalau begitu, bukankah kencan kali ini lebih menarik, karena
bertujuan untuk bersenang-senang? Kamu hanya perlu bersikap seperti menemani
Hayato saja. Kamu juga bisa bilang ke mereka kalau kebetulan saja kamu bertemu
Hayato dan diajak olehnya."
Kalau kita bicara makna dibalik kegiatan, maka aku harus
mempertimbangkan maksud kegiatan berbelanja dan sekedar membawakan pesanan
waktu itu.
[note: membawakan pesanan belanja waktu itu adalah kencan di festival kembang api. Dimana itu sebenarnya ajakan kencan dari Yui, dan Yui hendak menembaknya di akhir kencan. Vol 5 chapter 6.]
Ini
seperti memancing emosiku saja, dan Haruno-san terus memaksaku.
"Atau kamu...menginginkan imbalan atas kehadiranmu?"
"Itu adalah hal yang mustahil."
Tidak mungkin aku mengharapkan sesuatu. Dia hanya tertawa mendengarkan
jawabanku.
"Kalau begitu, berarti tidak ada masalah, bukan? Lagipula, Hayato
bukanlah tipe orang yang akan menundukkan kepalanya ketika meminta bantuan,
tahu tidak?"
"Begitukah? Bagiku dia tampak seperti terlalu sering meminta tolong
kepadaku, serius ini."
[note: Vol 2 chapter 3 kasus SMS berantai.
Vol 7 chapter 8 meminta Hachiman jadi martir sosial. Vol 8 chapter 5 meminta
Hachiman jadi 'wingman' kencan ganda.]
"Tapi dia tidak menundukkan kepalanya, kan? Menundukkan kepalanya
itu saja dengan menunjukkan seluruh harga dirinya."
Jadi begitu...
"Kalau kamu tetap tidak mau, aku akan datang ke rumahmu dan
menyeretmu keluar, oke!"
Apa-apaan barusan? Memangnya kamu temanku?
Lagipula, apa kamu tahu dimana aku tinggal? Ini sangat menakutkan. Tapi,
Yukinoshita bersaudara memang mengenal Hayama sejak kecil.
Ketika aku memikirkan itu, panggilannya sudah ditutup dengan tiba-tiba.
Dia adalah gadis egois yang mengatakan apapun yang ingin dikatakannya. Tapi,
bukankah itu yang membuat Yukinoshita Haruno menjadi Yukinoshita Haruno?
Sesuai kata Komachi, aku menaruh HP-nya di meja. Aku bisa saja
mengembalikan itu ke kamarnya, tapi kurasa ekspresi kami akan terasa aneh.
Lagipula, dia akan tidur dan tidak akan mendengar aku memanggilnya...Well, palingan
dia hanya pura-pura tidur saja.
Aku
merasakan lelah yang luar biasa setelah panggilan telpon tadi.
Aku
kembali tiduran di sofa, dan memikirkan itu lagi. Kalau dipikir-pikir, aku
mungkin akan berakhir dengan tertidur di sofa lagi seperti kapan hari. Mungkin
aku sebaiknya pergi ke kamarku selagi sadar. Juga, ini memudahkan Komachi
ketika hendak mengambil HP-nya.
Aku
lalu beranjak menuju ke kamarku, menutup pintu ruang keluarga dan akhirnya
terkapar di tempat tidurku.
Aku
lalu menatap ke langit-langit.
Meski cuma basa-basi, tapi ini tetaplah kencan dengan gadis. Belum lagi
ini dengan gadis yang pernah kutembak di masa lalu.
Kalau begitu, aku tidak perlu memikirkan apapun. Aku hanya membaur saja
hingga selesai.
Aku
hanyalah pengawal Hayama di kegiatan tersebut. Aku hanyalah suplemen. Kalau ini
dianalogikan sebuah kotak makan siang, maka aku adalah sayurannya.
x x x
Tiba pada hari dimana aku harus pergi bersama Hayama dan yang lainnya,
ternyata tidak ada yang menghubungiku sama sekali. Memang, mereka tidak ada
akses untuk menghubungiku, jadi memang wajar kalau mereka tidak
menghubungiku...Tapi, perasaan hanya sekedar datang menjadi
pelengkap...Bukankah suplemen harusnya diperlakukan special?
Aku
pergi ke sekolah seperti biasanya, lalu menyatu dengan latar dan berada di
kelas.
Seperti biasanya, Hayama dikelilingi teman-temannya seperti Tobe, Miura,
Yuigahama, dan yang lainnya di belakang kelas. Dia berbicara dengan mereka
seperti biasanya meskipun punya rencana kencan dengan gadis pada hari ini, dia
bersikap seperti tidak pernah terjadi apapun.
Dia
pasti sudah terbiasa dengan ini, itu saja yang terpikirkan olehku. Maksudku,
bagi seorang pelengkap sepertiku, aku hanya bisa berpikir ‘kapan mereka akan
memberitahuku?...Dan aku masih menunggu’...
Tampaknya penantianku terbayar karena Hayama mulai melihat ke arahku dan
mulai berpura-pura mencari alasan untuk meninggalkan grupnya dan pergi ke
arahku.
Ketika dia berdiri di depanku, dia tampak sedang berpikir sejenak, lalu
berkata.
“Soal hari ini, kapan kamu bisanya?”
Ada
sesuatu yang agak aneh dari caranya bertanya...Jangan-jangan dia ingin
berangkat bersamaku dari sekolah...?
“Bagaimana dengan kegiatan klubmu?”
Setahuku di hari Jumat dia memiliki kegiatan di klubnya sepulang
sekolah. Jadi, berangkat ke tempat pertemuan bersama-sama adalah hal yang
mustahil. Kecuali, aku bersedia menunggunya sampai selesai melakukan kegiatan
di klubnya, dan itu tidak akan terjadi.
[note: Dari jendela ruangan Klub Relawan,
anda bisa melihat langsung ke arah lapangan dimana Klub Sepakbola biasa
latihan.]
“Oh, sedang libur. Kadangkala lapangannya dipakai untuk Klub lain, jadi
kami memutuskan untuk meliburkan kegiatan pada hari ini.”
Memang benar, lapangan di sekolah kami tidak begitu besar. Klub sepakbola,
klub baseball, klub atletik, dan klub rugby saling berbagi tempat. Jadi
kadangkala, ada waktunya dimana salah satu harus mengalah.
“Ah, benar...Kalau begitu, beritahu saja kapan dan dimana kita akan
bertemu.”
Entah apa itu, tidak ada alasan bagi kita untuk berangkat bersama dari
sekolah ke Chiba. Bertemu di tempat pertemuan kurasa cukup.
Lagipula, aku tidak berniat untuk mengobrol lama-lama dengannya. Aku
melihat Yuigahama mulai menatap ke arah kami. Aku ingin ini secepatnya selesai.
Dia
juga sepertinya tidak ingin lama-lama dalam pembicaraan ini, lalu dia mengambil
HP dari sakunya.
“Begitu ya...Apa tidak keberatan kalau aku tahu nomormu?”
“Tidak masalah.”
Aku
tulis nomorku di balik kertas. Aku sering kehilangan HP-ku di rumah, jadi aku mengingat
nomorku baik-baik dan menggunakan HP orang lain di rumah untuk memanggil
nomorku.
“Gayamu belum berubah ya, hanya memberikan nomormu saja.”
Sambil menulis nomorku di HP-nya, Hayama tersenyum. Aku tidak ada
rencana untuk mengirimimu SMS atau semacamnya, jadi aku tidak berminat dengan
nomormu.
“Oke, sampai jumpa nanti kalau begitu.”
Hayama tampaknya selesai menulis nomorku dan kembali ke kursinya lagi.
Akupun malas untuk melihatnya pergi dan menopang daguku begitu saja sambil
memejamkan mataku.
Sembilan jam lagi dari waktu yang ditentukan. Sekarang, sudah ditentukan
kalau aku akan pergi kesana, entah kenapa sekarang aku mulai malas untuk pergi
kesana.
Tampaknya hari ini akan menjadi hari yang suram bagiku.
x x x
Ketika jam terakhir yang diisi pengarahan Wali Kelas selesai, aku
langsung meninggalkan kelasku.
Tempat berkumpulnya di Chiba, artinya berkumpul di depan Stasiun Chiba.
Orimoto dan temannya mungkin datang menggunakan kereta untuk menuju kesana.
Tapi, itu bukan tempat yang bagus untuk berdiri dan menunggu.
Karena aku langsung ke Chiba setelah sekolah usai, maka aku punya 1 jam
senggang sebelum waktu pertemuan. Aku mempercepat laju sepedaku dan memutuskan
untuk menghabiskan waktuku di kafe seberang Stasiun Chiba.
Aku
masuk ke kafe, memesan kopi, dan duduk di dekat jendela.
Tempat ini tidak memiliki begitu banyak pemanas ruangan, tapi justru
suasana agak dingin tersebut membuat kopi terasa nikmat.
Kopi yang sudah dingin, adalah kopi yang paling enak. MAX COFFEE adalah
yang terbaik untuk dinikmati sepanjang tahun, terutama di musim-musim seperti
ini.
Tapi, sebenarnya kopi apapun akan terasa enak di musim dingin...Kopi
yang pahit...
Aku
menaruh earphoneku di telingaku dan membuka bukuku. Situasi kafe tidak begitu
padat pengunjung dan terasa santai, membuatku terasa nyaman.
Halaman demi halaman kubuka, sementara lagu satu dan lagu yang lain
bergantian mengisi musik di telingaku.
Aku
sentuh cangkir kopiku dan sudah tidak terasa hangat lagi.
Aku
menarik sedikit sarung tanganku untuk melihat arlojiku hanya untuk sekedar
ingin tahu berapa menit sudah kuhabiskan selama ini. Masih ada waktu sebelum
waktu yang dijanjikan. Aku duduk saja dan melamunkan hal-hal yang ingin
kulakukan untuk mengisi waktu. Jalanan di depanku mulai terlihat gelap.
Lalu ada seseorang mengetuk kaca jendela di depanku.
Ketika aku melihat ke arah tersebut, seorang gadis sedang
melambai-lambaikan tangannya kepadaku, gadis tersebut adalah Yukinoshita
Haruno...Apa-apaan ini!? Kenapa dia ada
disini?
Mulut
Haruno-san terbuka dan menutup seperti mengatakan sesuatu. Tapi dia berada di
balik jendela kaca yang tebal dan aku tidak bisa mendengar apa yang ingin dikatakannya,
jadi aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Haruno-san lalu menaikkan bahunya dan
masuk ke kafe ini.
Meski kami terpisahkan oleh kaca jendela, aku sadar betul kalau yang di
depanku adalah Yukinoshita Haruno. Sebuah objek yang akan menarik perhatian
siapapun. Orang-orang yang lewat di jalanan tadi, menoleh ke arahnya seperti
mengatakan ‘gadis ini cantik sekali’. Bahkan, ketika dia masuk ke kafe ini,
para pengunjung kafe ini melirik semua ke arahnya.
Dia
membeli kopi di kasir dan duduk di seberangku.
“Apa yang kau lakukan disini...?”
Itu
kata-kata yang keluar begitu saja dari mulutku.
Haruno-san lalu menuangkan susu dan gula ke kopinya, lalu menggunakan
sendok untuk mengaduknya. Lalu, dia tersenyum, senyum yang sangat licik. Woi, wajahmu sekarang lebih gelap daripada
kopi di cangkirmu!
“Aku kesini
untuk memastikan kencan yang dihadiri oleh pria yang kuanggap adikku sendiri
dan pria yang kuanggap sebagai calon adik iparku. Sebagai kakak iparmu, tentu
aku sangat tertarik, bukan?”
“Aku sudah mulai malas untuk mengatakan lagi kalau aku bukanlah adik
iparmu...”
Tapi kalau ‘pria yang kuanggap adik sendiri’, mungkin yang dimaksud
adalah Hayama. Mungkin itu yang ada di pikirannya karena Haruno-san tiga tahun
lebih tua darinya.
“Lagipula...Aku juga penasaran mengapa dia sampai sejauh itu agar
Hikigaya mau ikut dalam kencan itu.”
Senyumnya masih sama seperti sebelumnya. Sangat menakutkan dan terlihat
licik.
Tapi kalau dipikir lagi tentang sifat Hayama di sekolah, maka aku bisa
mengerti alasannya. Dia sepertinya merasa aneh karena ada seseorang yang tidak
diajak. Aku hadir disana ketika mereka bertemu pertama kali, dan aku tidak
diundang. Jika melihat sikapnya ke teman-temannya, dia mungkin tidak suka hal
seperti itu terjadi.
Oleh karena itu, harusnya Haruno-san tidak memikirkannya terlalu dalam.
Bahkan, yang kucurigai sekarang adalah Yukinoshita Haruno.
“Kau sendiri tampaknya punya banyak sekali waktu luang...”
Itu
adalah kata-kata yang sudah lama ingin kutanyakan kepadanya dan Haruno-san
membalasnya dengan ekspresi yang santai.
“Itu normal bagi mahasiswi yang punya uang banyak dan nilai akademis
yang sempurna.”
Kampret, dia malah memuji dirinya sendiri!
Meski begitu,
mahasiswi punya banyak sekali waktu luang... Mungkin ini bisa saja terjadi bagi
mereka yang tidak bekerja sambilan, melakukan penelitian, atau punya tugas mata
kuliah.
Tapi, Haruno-san tidak memiliki image mahasiswa seperti yang kubayangkan
barusan. Sebenarnya, aku punya pertanyaan: ‘Apa yang sebenarnya gadis ini
lakukan di hari-hari normalnya...?’. Ketika aku memikirkan seberapa misterius
dirinya, aku kemudian mengatakan apa yang ada dipikiranku.
“Apa kau ini sebenarnya tidak punya banyak teman?”
“Benar
sekali! Dan satu-satunya teman yang secara sukarela menyediakan waktunya untuk
menemaniku hanya Hikigaya...”
Dia
harusnya mengatakan itu sambil berurai air mata. Whoaa, dia cukup
menggangguku...
Meski begitu, sulit untuk mengkategorikan hal barusan sebagai candaan.
Haruno-san adalah tipe orang yang baik-baik saja meskipun sendirian.
Lagipula, dia adalah saudari dari Yukinoshita Yukino. Diisolasi orang sekitar
sudah merupakan hal yang lumrah.
Dia
menjadi idola dan karena terlihat sempurna dari sisi manapun, dia dihormati
orang-orang. Karena itu, mungkin banyak sekali orang yang mendekatinya hanya
sekedar diakui sebagai temannya. Memang benar, aku pernah melihatnya
jalan-jalan di mall bersama teman-temannya tempo hari.
[note: Vol 3 chapter 4, Yukino dan Hachiman
bertemu Haruno yang lagi jalan-jalan bersama teman-temannya di LalaPort Mall,
dekat Pelabuhan Tokyo.]
Tapi, kupikir tidak akan banyak orang yang mau memiliki hubungan
‘setara’ dengan dirinya.
Mungkin karena itulah, dia selalu muncul dan mengganggu adik kecilnya
itu, yang juga ada di posisi yang sama.
Melihat diriku yang mulai diam, Haruno-san lalu berbicara sambil
tersenyum.
“Well, yang tadi cuma becanda saja, tapi aku tidak berencana untuk ikut
campur dalam kencanmu hari ini, jadi kamu tidak perlu khawatir denganku.”
Ketika aku kembali ke realitas situasiku
sekarang, aku membalasnya.
“Ah, oke. Terserah kamulah.”
“Ooh, respon yang cukup mengejutkan.”
Haruno mengedipkan matanya berkali-kali karena terkejut. Tapi tidak ada
yang mengejutkan dari kata-kataku. Sebenarnya, aku tidak keberatan kalau dia
muncul dan mengganggu acaranya. Bahkan, aku sangat menantikan dia datang dan
menghancurkan acaranya dengan segera. Dengan begitu, aku bisa pulang lebih
awal.
“Hmm, kalau begitu penawaranmu kuterima. Dan kupikir ini sudah saatnya.”
Haruno-san memerika arlojinya, akupun memeriksa arlojiku. Memang sudah
saatnya. Kalau aku pergi sekarang dari kafe, maka aku akan tiba tepat waktu.
Aku
lalu mengumpulkan barang-barangku dan memasukkannya ke tasku. Ketika aku
berdiri, Haruno-san mengatakan sesuatu.
“Oke, berusahalah dengan memberi yang terbaik!”
“Tentu, aku akan berusaha yang terbaik untuk tidak mengganggu mereka.”
Seperti yang kuduga, Haruno-san tampaknya tidak akan ikut. Dia mungkin
hanya akan melihat saja dari kejauhan.
“Selamat bersenang-senang!”
Haruno-san melambaikan kedua tangannya. Aku menoleh sebentar ke arahnya,
mengangguk, dan meninggalkan kafe.
x x x
Matahari sudah terbenam di cakrawala dan sisi malam kota ini mulai
terlihat. Di depan stasiun terdapat banyak sekali orang yang sedang menunggu,
seperti diriku.
Ini
Jumat malam. Banyak sekali orang yang membuat janji hanya untuk sekedar
minum-minum sampai mabuk.
[note: Di Jepang hari kerja Senin-Jumat.
Kebanyakan Jumat malam banyak diisi acara mabuk-mabuk bagi orang yang kerja
untuk melepas penat. Pemerintah sendiri tidak melarang, karena menganggap ini
hak mereka yang sudah bekerja keras selama seminggu. Buat yang belum tahu,
kerja di Jepang itu berangkat pagi pulang malam. Bahkan mendekati tengah malam.
Jangan heran, Sabtu pagi anda sering menemukan ‘gelandangan berdasi dan berjas’
sedang tertidur di fasilitas umum seperti taman, trotoar, dll karena mabuk
semalaman.]
Beberapa pasangan sudah bertemu, mengobrol sebentar, lalu pergi dengan
bergandengan tangan.
Aku
menarik jasku dan melirik ke arlojiku. Ini tepat jam lima sore, waktu yang
disepakati. Menjadi orang pertama yang tiba memberiku kesan kalau aku sangat
antusias akan kencan ini, dan ini membuatku sangat tidak senang. Tapi, kalau
aku telat, maka aku sudah memberikan orang lain masalah. Sudah datang hanya
sebagai ‘pelengkap’, malah sekarang membuat orang lain menunggu.
Jadi mau datang duluan ataupun telat, aku tetap dalam masalah.
Sebelum waktu tepat menunjukkan jam 5, Hayama muncul. Tampaknya dia naik
kereta karena dia muncul bersamaan dengan rombongan manusia yang keluar dari
pintu gerbang. Meskipun dalam kerumunan orang, dia tetap terlihat menonjol dan
mudah sekali dilihat.
Hayama lalu merapikan dasinya dan melihat ke sekitarnya, dia tampaknya
melihatku. Dia lalu melambaikan tangannya dan menuju ke arahku.
“...Maaf sudah membuatmu ikut acara ini. Kamu benar-benar membantuku,
terima kasih ya.”
“Terserah kamulah. Tapi aku datang kesini karena Yukinoshita yang
satunya mengancamku. Kalau kau ingin berterima kasih, berterimakasihlah
kepadanya.”
Sebenarnya, jika Haruno-san tidak menelponku, aku pasti tidak akan
hadir. Aku hadir kesini bukan karena ingin, tapi karena aku lemah terhadap
gadis yang lebih tua menyuruhku begini dan begitu. Oh, jangan lupa kalau aku
juga lemah terhadap gadis yang lebih muda. Bahkan, jika ada gadis seangkatan
denganku meminta tolong, akupun masih ragu-ragu. Ya ampun, gadis memang sangat
menakutkan.
“Tapi serius ini, apa perlu sampai meminta tolong ke dia hanya untuk
membuatku...”
“Ah, itu mereka?”
Hayama memotongku di tengah pembicaraan. Dia menunjuk ke suatu tempat
yang cukup jauh, tapi aku bisa melihat secara samar-samar kalau itu Orimoto dan
temannya.
Ketika mereka melihat kami berdua, mereka lalu bergegas menuju kemari.
“Maaf sudah menunggu!”
“Maaf sudah telat...”
Orimoto tidak menunjukkan rasa penyesalannya sedangkan Nakamachi atau
entah siapa terlihat menyesal sambil menundukkan kepalanya.
“Tidak masalah...Bagaimana kalau kita langsung jalan?”
Hayama tersenyum dan mulai berjalan. Orimoto dan temannya mengikutinya.
Tampaknya Hayama sudah menceritakan tentang keikutsertaanku. Oleh karena itu,
ketika mereka tiba disini, mereka tidak bertanya-tanya mengapa aku disini.
“Pertama-tama, nonton bioskop?”
Hayama menoleh ke sampingnya.
Aku
hanya mengikuti mereka satu langkah di belakang Hayama.
Ketika bertemu dengan Orimoto dan temannya, aku merasakan ada perasaan
yang aneh.
Kalau aku disuruh untuk mengungkapkannya dengan kata-kata, ada sebuah
perasaan antiklimaks yang mengatakan “Jadi inilah yang sebenarnya?”. Tidak
peduli kalau pria di depanku ini sebenarnya hanya pura-pura menikmati kencannya,
kencan harusnya menjadi hal besar yang menjadi pengalaman menyenangkan bagi
para siswa SMA.
Oleh karena itu, akupun cukup terkejut kenapa pikiran seperti itu
terlintas di kepalaku.
Ketika
kejadian dengan Yukinoshita dan Yuigahama, aku selalu mengingatkan kepada
diriku agar tidak salah paham dengan situasinya. Tapi kali ini, mengapa tidak
ada satupun kata terlintas di kepalaku untuk tidak salah paham?
Kurasa itu yang kupikirkan, aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi...
Bahkan, ketika Hayama datang kesini, aku sempat berpikir kalau ini
harusnya tidak perlu terjadi.
Aku
mendengarkan percakapan mereka dengan terdiam.
Jadi rencana mereka begini: Nonton film, lalu belanja. Setelah itu kita
mampir di permainan ketangkasan, makan bersama, lalu pulang. Kurang lebih
begitu.
Kurasa itu cukup standar.
Sudah 15 menit berlalu sejak kita mulai berjalan.
Hal-hal yang keluar dari mulutku sejauh ini, konsisten di 6 hal:
“Tentu”, “Tidak”, “Well...”, “Aah”, “Ooh...”, “Begitu ya”. Akupun sangat yakin
kalau game-game pertarungan saja punya kosakata yang lebih banyak dari
kata-kataku tadi.
Tapi kalau dipikir-pikir, mampu menjawab pertanyaan panjang-panjang
dengan jawaban pendek bukankah itu artinya aku punya skill komunikasi tingkat
tinggi? Berarti orang-orang yang tidak mau berbicara denganku adalah
orang-orang dengan skill komunikasi rendahan!
Setelah berbicara tentang berbagai hal sembari berhenti di tempat ini
dan itu, akhirnya kami sampai di depan bioskop. Jarak tempat ini dengan stasiun
sebenarnya cuma 5 menit kalau sendirian. Tapi karena berempat, maka menjadi
lebih lama.
Rencana pertama, menonton film di bioskop.
Meski kita masuk ke bioskop, film yang akan kita tonton adalah film yang
diputuskan oleh para gadis. Sedang aku sendiri, tentunya tidak diberikan
satupun pertanyaan mengenai apa yang ingin kutonton. Untungnya, mereka memilih
film yang belum pernah kutonton, jadi setidaknya, aku masih punya alasan untuk
tidak kecewa.
Hayama dengan cepat membeli tiket-tiketnya. Itulah Hayama~! Sangat bisa
diandalkan~!
Saat-saat seperti ini harusnya adalah saat dimana aku menawarkan bantuan
atau semacamnya, tapi aku harus mengingat kalau posisiku disini hanya suplemen.
Suplemen yang bertugas hanya sekedar menggenapkan jumlah, jadi tugasku hanya
sekedar hadir saja.
Tampaknya mereka sudah merencanakan untuk menonton film ini karena kita
tidak perlu menunggu jam tayang film. Jam tayang film akan dimulai ketika kita
sudah tiba di bioskop.
Posisi tempat duduknya adalah Hayama berada diantara kedua gadis, sedang
aku duduk di samping Orimoto. Tampaknya memang sudah diatur kalau Hayama akan
duduk diantara para gadis. Masalahnya adalah dimana aku duduk. Posisi paling
tepat adalah di sebelah Orimoto karena kami berdua sudah kenal.
Kami duduk di kursi kami, tapi filmnya tidak langsung dimulai. Ada
orang-orang yang sedang mengobrol, err, tepatnya di sebelah kananku. Mereka
berbisik-bisik dengan antusias.
Aku
menaruh siku kiriku di lengan kursi dan menopang daguku. Ini juga dikenal
dengan posisi “ah, ya, aku dengar itu, aku dengar’. Pose ini membuatmu terlibat
di pembicaraan. Tapi pose ini tampak tidak menyinggung orang lain dan membuat
orang lain tidak memaksakan dirinya untuk bertanya lebih jauh kepadamu.
Tiba-tiba, lampu di dalam ruangan dimatikan. Orang-orang mulai terdiam.
Dalam kegelapan ruangan bioskop, filmnya seperti mencuri perhatian
pengunjung. Ketika ada aktor yang mereka kenal muncul, mereka seperti tertawa
dan antusias.
Sambil melihat filmnya, aku merasa ada orang yang menepuk lengan
kananku. Ketika kulihat, Orimoto menutupi mulutnya dengan tangan dan berbisik
kepadaku.
“Nonton film bersama Hikigaya di bioskop? Aku berani bertaruh kalau
teman-teman semasa SMP akan berteriak histeris mendengarnya!”
“Mungkin saja...”
“Pastinya!”
Orimoto mengecilkan suara tawanya ketika mengangguk.
Benar sekali. Aku yakin kalau si Hikigaya dari
SMP itupun akan berteriak histeris.
Jujur saja, bahkan diriku yang sekarang juga berteriak histeris.
Aku
yakin kalau diriku yang semasa SMP akan begitu. Daripada disebut senang,
mungkin lebih tepatnya dia akan menggali lubang yang sangat dalam lalu lompat
begitu saja dengan bahagia. Jujur saja, kalau dipikir-pikir, akupun tidak paham
dengan pikiranku itu ketika SMP dulu.
Bukannya aku merasa sekarang aku sudah berubah, tapi bagi diriku datang
ke bioskop bersama gadis, memang bisa jadi ini dikatakan sebuah perkembangan
dalam diriku.
Tapi setidaknya, aku tidak memiliki pikiran untuk salah paham.
Meski ada seseorang yang duduk di sebelahku, meski wajahnya sangat
dekat, aku tidak punya pikiran aneh sedikitpun yang terlintas.
Ketika aku menegakkan tubuhku untuk memberikan lengan kiriku istirahat,
Orimoto terlihat melakukan hal yang sama dengan lengan kanannya.
Jarak diantara kita saat ini memberikan perasaan nostalgia. Aku merasa
kalau Orimoto dan diriku belum pernah sedekat ini. Tapi ini adalah sesuatu yang
Orimoto Kaori akan lakukan dengan siapa saja. Itu saja menurutku.
Meski begitu, sekarang, aku merasa kalau sekarang aku bisa benar-benar
menulis kata ‘sudah berakhir’ sebelum perasaan semacam itu terulang lagi.
x x x
Ketika kami keluar dari bioskop, pipiku serasa diterpa angin yang sangat
dingin.
Dua
jam kita di dalam menonton film, suhu ternyata sudah turun sedrastis ini.
Soal filmnya sendiri, bisa kaukatakan lumayan. Banyak kejadian yang
menarik dan aku sendiri tidak merasa bosan. Cukuplah kalau itu kukategorikan
tier Hollywood.
Tapi aku bukanlah satu-satunya yang merasa begitu. Hayama dan yang
lainnya juga sedang membicarakan hal tersebut. Ini mungkin begini: Alasan orang
memilih menonton film ketika kencan karena mereka bisa menjadikan film tersebut
bahan obrolan setelah itu.
Nakamachi mengatakan seperti “Luar biasa” dan “Sangat menarik”, Hayama
sendiri hanya tersenyum dan mengangguk. Orimoto juga sesekali ikut dalam
pembicaraan.
“Eh
serius ini, tadi ledakannya lumayan keras loh! Hikigaya saja kaget waktu itu!
Ngomong-ngomong soal luar biasa, cara dia bereaksi sangat menakutkan sehingga
membuatku tertawa!”
“Mau bagaimana lagi, suaranya ternyata lebih keras dari dugaanku...”
Aku
dijadikan bahan obrolan, jadi aku membalasnya juga. Lagipula, tidak
mempedulikan orang ketika namamu disebut akan memberimu kesan buruk. Yang
terpenting, hari ini aku tidak menganggu acara mereka.
Hayama lalu menimpali kata-kataku.
“Aah, memang benar waktu itu aku juga terkejut.”
“Tapi bukankah kau dari tadi tenang-tenang saja, Hayama?”
Nakamachi berdiri di samping Hayama dan mengatakannya sambil melihat ke
arahnya. Ketika dia melakukannya, Orimoto seperti tidak ingin kalah dan
membalasnya.
“Ah, aku pikir juga begitu! Meski aku juga terkejut, tapi Hayama kupikir
biasa-biasa saja loh~. Tapiii, si Hikigaya itu...!”
Orimoto tertawa begitu saja, dan Nakamachi melihat ke arahku sambil
menutup mulutnya dengan tangan dan tertawa kecil.
O-oke...Apa semua orang sudah terhibur dengan pertunjukan badutku?
Ngomong-ngomong, meski mereka menertawakanku, sebagai seorang suplemen,
asalkan aku tidak mengganggu mereka, maka silakan saja.
“Kita harus bergegas atau kita tidak akan sempat karena dikejar waktu.”
“Ah, benar. Kapan tokonya tutup?”
Orimoto bertanya. Aku, tentunya tidak akan tahu apa jawabannya.
Lagipula, aku bahkan tidak tahu dia mau ke toko yang mana...
Nakamachi lalu melihat HP-nya. Tampaknya dia menulis catatan-catatan
tentang rencana kencan ini di HP-nya.
“Umm, tutupnya jam 8.30 malam.”
“Yang benar saja! Aduh! Sepertinya waktu kita sedikit?”
Orimoto lalu mengambil HP-nya dan melihat waktunya. Ini hampir jam 7.30
malam. Jadi kita punya satu jam tersisa. Aku tidak tahu butuh berapa lama waktu
yang dibutuhkan bagi seorang gadis untuk berbelanja, tapi kurasa itu bukan
waktu yang cukup.
[note: Hachiman berbohong. Dia pernah
menemani Yukino untuk berbelanja hadiah ulang tahun Yui di vol 3 chapter 4.
Mereka tiba jam 10 pagi dan selesai jam 2 siang, alias 4 jam hanya untuk
celemek pink Yui! Jam 2 ketika mereka hendak pulang, mereka mampir ke mesin
crane untuk mendapatkan Pan-san. Mereka baru pulang menjelang petang.]
Tiba-tiba langkah tiap orang menjadi lebih cepat dari biasanya.
Dari jalannya, tampaknya rencana kami adalah keluar dari Jalan Nampa-Dori
dan menuju ke Swalayan PARCO. Jadi, artinya kita akan pergi ke PARCO.
Meski begitu, Nampa-Dori adalah nama yang jelek. Juga ada jembatan di
Kaihin-Makuhari yang disebut Jembatan Nampa. Ada apa dengan tata nama
tempat-tempat di Chiba?
Kami berjalan sambil melihat ke kanan-kiri, terdapat bermacam-macam toko
sampai tiba di sebuah persimpangan jalan yang sangat besar. Di seberang jalan,
ada sebuah taman besar dimana kau bisa menonton para anak muda sedang melakukan
street dance ataupun bermain skateboard.
Sekarang, jadwal selanjutnya adalah berbelanja.
Kami masuk ke PARCO dan naik eskalator terdekat, sementara itu aku
mendengar mereka membicarakan bermacam-macam pakaian yang cocok dipadankan
dengan seragam mereka ketika musim dingin seperti syal. Seperti biasa, aku
tidak dilibatkan lagi dalam pembicaraannya.
Kami akhirnya sampai di lantai 2.
Lantai 2 dipenuhi toko-toko dimana para gadis SMA bisa menghabiskan
waktunya disini karena ada sektor: Pakaian wanita, aksesoris, dan lain-lain.
Di
lantai 2 terdapat sofa yang membuatmu merasa bisa bersantai. Tapi jika dua
orang duduk di sofa, maka posisinya akan berdekatan. Mungkin, ini maksud dari
menaruh sofa semacam ini disini.
Tapi jujur saja, berada di tempat baju dan aksesoris wanita membuatmu merasa
bodoh.
Apa
sebenarnya yang dilakukan para pria untuk menghabiskan waktunya di tempat ini
secara normal?
Terakhir kalinya aku berbelanja di sektor wanita, terjadi hal yang
memalukan, tapi itu memberikan sebuah kenangan tersendiri bagiku.
Aku
akhirnya harus berpura-pura menjadi pacarnya.
[note: Vol 3 chapter 4, Hachiman
berkeliaran di toko pakaian wanita dan dicurigai karyawan tokonya. Lalu Yukino
menyelamatkannya dengan memanggilnya seperti seorang pacar. Akhirnya, Yukino
dan Hachiman sepakat untuk berpura-pura menjadi pacar sampai kencan usai.]
Tapi untuk hari ini, tampaknya aku tidak perlu melakukan itu.
Mungkin karena Hayama juga ada disini atau bisa juga karena kami adalah
grup 4 orang yang berpasangan? Karyawan toko tidak memandang kami dengan curiga
sedikitpun.
Jika kita hendak memilih barang untuk pemberian, maka mungkin aku akan
sukarela memberikan pendapatku. Tapi, karena mereka hendak membeli barang untuk
mereka sendiri, aku tidak ada gambaran apa yang hendak mereka beli.
Aku
berdiri bersama Hayama dan menghabiskan waktu kami dengan terdiam.
“Hayama, bagaimana dengan ini?”
“Ah, bagaimana dengan ini?”
Orimoto dan Nakamachi memulai pertunjukan fashion shownya ke Hayama.
Hayama tampaknya mulai dijejali kesibukan baru.
Kalau begitu, berarti aku punya waktu untuk bermain-main. Aku
membayangkan diriku sebagai seorang bodyguard dari seorang VIP dan mengamati
area sekitar.
Dan
sesuatu yang menarik terlihat olehku.
Terdengarlah suara yang familiar.
“Tahu
tidak, mencoba baju satu persatu itu tidak apa-apa, lagipula kita memakai
seragam sekolah disini.”
“Ah, bilang saja kamu ingin mencoba sepatu boots itu, Yumiko...”
Ada
dua orang teman sekelasku berada di toko seberang.
Itu
adalah Miura Yumiko yang sedang berdiri di depan cermin sambil menggerutu dan
Ebina Hina yang terlihat menyerah dengan kata-katanya.
“Terlihat lebih gelap.”
Dia
menggumamkan itu, lalu melepaskan sepatu boots hitamnya dan menggantinya dengan
sepatu yang lain. Dia lalu berdiri di depan cermin dengan ekspresi kecewa.
Ebina-san yang melihatnya lalu berkata dengan senyuman di wajahnya.
“Ah, bukankah itu tadi terlihat bagus? Sepatu boots hitam dan seragammu
tampaknya memberikan kesan kamu seperti seorang maniak.”
“...Ah lupakan saja. Juga, mengatakan hal itu lagi dan aku akan
menendangmu!”
Dengan boots hitam tadi, akupun mulai membayangkan maksud Ebina-san.
Miura memang tampak menggerutu ketika mencoba sepatu itu. Meski terlihat
sedih, dia sebenarnya sedang bersenang-senang.
Kalau mereka bersenang-senang, maka itu hal yang wajar. Tapi sedikit
aneh jika tidak ada Yuigahama disana. Ketika mereka pergi bersama atau
bersenang-senang, image ketiganya sedang bersama-sama terlihat natural. Mungkin,
dia sedang ada hal yang harus dilakukan.
[note: Yui tidak bersama mereka karena
hendak menemui Hayama bersama Yukino untuk meminta kesediaannya dicalonkan jadi
kandidat.]
“Mungkin, yang Suede terlihat lebih bagus?”
Ebina-san lalu mengambil sepatu yang lain dari rak dan memberikannya ke
Miura. Ketika itu, kedua mata Ebina-san bertemu dengan kedua mataku yang
melihatnya sejak tadi.
“Ah.”
Terakhir kalinya kami bertemu empat mata mungkin ketika darmawisata.
Kami berdua terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa.
[note: Terakhir berbicara 4 mata ketika
Ebina berbisik ke Hachiman di Bus untuk menemuinya di atap Stasiun Kyoto
sebelum balik ke Chiba dari darmawisata. Di atap tersebut, Ebina mengucapkan
terima kasih dan menembak Hachiman. Vol 7 Chapter 9.]
Karena merasa agak aneh, Miura lalu memalingkan wajahnya.
“Ebina, ada apa?”
Dan
kemudian, dia melihatku, lebih tepatnya, dia melihat Hayama di belakangku. Dia
juga melihat kedua gadis yang sedang bersamanya.
“Ha-Haya...”
Miura lalu panik, dan mencoba berdiri sebisanya.
Kedua sepatunya saling bertabrakan dan dia terjatuh karena kehilangan
keseimbangan.
Celana dalamnya...! Berwarna Pink! Aku tidak menyangka!
Whoa, tadi hampir saja! Aku hampir berpikir “Aku bersyukur bisa datang
hari ini~!”
Ebina-san secara spontan membantu Miura untuk berdiri kembali.
Miura nampak kesakitan karena terjatuh. Tampaknya pantatnya terasa sakit
karena dia memeganginya sejak tadi ketika Ebina menariknya. Melihat hal itu,
Ebina lalu menggosok-gosok pantatnya, mungkin menghilangkan rasa sakitnya. Apa-apaan pemandangan ini?!
“Kuuuuuh, ugh,
Ha-Haya...”
Dengan sakit yang belum hilang sepenuhnya, Miura melihat Hayama dengan
mata yang berair.
Ouch! Itu tampak sakit sekali! Bagi hatimu,
dan pantatmu juga...
Meski begitu,
melihat seorang gadis yang biasanya penuh percaya diri dan memiliki keinginan
kuat hendak menangis...memang sebuah pemandangan yang unik!
Oh
sial, ini bukan saat yang tepat untuk terkesan. Jika melihat reaksi Miura, maka
harusnya aku masih punya waktu. Jika dia sudah berdiri tegak, aku yakin dia
akan datang ke Hayama dan bertengkar dengan Orimoto dan temannya. Ini bisa jadi
masalah besar! Tapi, ini bisa jadi pertanda buruk bagiku karena akan
menimbulkan keributan dan akhirnya aku pulang larut malam.
Aku
lalu bergegas menuju belakang Hayama dan berbisik kepadanya.
“Hayama, kita sekarang harus pergi secepatnya dari sini.”
“Eh?”
Ketika aku mengatakannya, Hayama memeriksa arlojinya. Woi, aku bukan membahas waktunya! Yang
kumaksud adalah sesuatu yang menakutkan di belakangku!
Entah mengapa,
Hayama percaya begitu saja dengan kata-kataku, dia lalu berbisik “Oke,
tampaknya begitu.” Dia lalu memanggil Orimoto dan temannya.
“Aku sebenarnya ingin melihat sesuatu.”
Setelah memanggil mereka, Orimoto dan Nakamachi mengembalikan pakaian
dan aksesoris yang mereka pegang ke tempatnya semula.
“Oke, memangnya mau melihat apa?”
“Nanti kuceritakan ketika disana.”
Dia
berhasil menghindari pertanyaan Orimoto dan mengajak gadis-gadis itu pergi.
Kami akhirnya berhasil kabur dari Miura dan Ebina-san.
“Aku ingin melihat alat-alat snowboarding.”
Hayama mengatakan itu sambil mengarahkan mereka menuju eskalator. Disitu
tertulis peralatan olahraga ada di lantai 6.
Terdapat
eskalator yang mengarah ke lantai ini dari lantai atas. Dari arah eskalator
yang berasal dari lantai atas, terdengar suara yang berisik.
“Irohasu. Kan sudah kubilang, Murasaki Sport itu sudah cukup bagus
looh?”
“Tidak, itu kurang. Bukankah tadi ada toko Lions Sport di dekat pintu
barat?”
“Tunggu dulu, itu toko baseball. Itu kebetulan saja ada nama ‘sport’ di
nama tokonya.”
Ada
dua orang: Satu dengan rambut pendek sebahu dan satunya berambut coklat panjang
dengan bandana. Kedua tangan mereka sedang memegang tas belanjaan dari toko
peralatan olahraga dimana kita sedang menuju ke tempat tersebut.
“Oh, oh? Bukankah itu Hayato?”
Setelah sampai di lantai 2, Tobe melihat Hayama.
“Yooo, Haaaayaaatooo!”
“Apa kabar, Tobe?”
Hayama bertanya dengan penuh kebingungan karena Tobe tiba-tiba
memeluknya begitu saja. Sikap Tobe memang kurang nyaman, dan dia melakukannya
sambil mengelus-elus rambutnya.
“Coba dengar ini. Irohasu tiba-tiba ingin seragam baru buat tim kita.
Jadi kami kesini berbelanja seragam kesini dan sekarang dia membicarakan
protein...”
Dia
berhenti ketika melihat Orimoto dan temannya. Tobe lalu mundur dua langkah.
Mungkin dia mengira kami ini sedang double date(haha).
“Eh...Ah, aduh maaf, serius nih apa gue ganggu? Aduh, maaf! Aku langsung
pergi saja deh. Yuk, Irohasu?”
Tobe mengatakannya dengan malu-malu, tapi ketika dia menoleh ke Isshiki,
dia tidak ada disana.
Itu
karena Isshiki sekarang berada tepat di sampingku.
Kamu cepat sekali, Irohasu! Menakutkan!
“Senpai, ada apa iniiii? Ah, apa Senpai sedang bersenang-senang?”
Dia
mengatakannya sambil tersenyum. Kata-kata tersebut memang cukup normal
diucapkan seorang adik kelas kepadamu. Tapi, entah mengapa aku merasakan hal
yang berbeda.
Karena entah mengapa, dia seperti mengatakan “Wah kamu berani juga
melupakan requestku dan bersenang-senang dan gadis lain, huh?”. Oke, tidak, tidak, aku tidak melupakan
requestmu, oke? Soal requestmu, itu sudah kuperhitungkan, jadi...
“Uh, ini tidak
seperti yang kau lihat dengan bersenang-senang atau semacamnya...”
Ketika aku mulai mencoba menjelaskannya, Isshiki menarik lengan
seragamku dan melihatku dengan tatapan mata seekor binatang yang kecil. Apa-apaan ini? Kenapa dia bisa semanis ini?
Tunggu dulu, aku harusnya bilang ‘ini sangat mengganggu!’.
Ketika aku
mulai mempertanyakan sikapnya itu, dia malah menarik lenganku lebih jauh.
Tarikan yang tidak diduga itu membuat bahuku merendah dan posisi badanku
mendekatinya.
Ketika itu terjadi, kepalaku sejajar dengan kepala Isshiki. Lalu Isshiki
yang berada di sampingku, tersenyum dengan liciknya. Bibirnya yang berwarna
pink muda itu, mulai mendekatiku.
“Aku serius ini, siapa wanita itu? Ah! Apa itu pacarmu? Eh, tunggu dulu,
tapi ada dua orang...Jadi mereka siapamu?”
Kau
sungguh menakutkan...
Bagaimana bisa kamu tersenyum manis seperti itu sambil mengatakan hal
yang sedingin itu?
“Ah, bagaimana ya, ini begini...”
Ketika aku berusaha mencari alasan untuk menjawabnya, Hayama memanggil
Isshiki.
“Iroha, maaf. Aku yang memintanya untuk menemaniku.”
“Aaah, jadi begitu ya~. Ah, aku sebenarnya ingin pergi ke suatu tempat,
apa kamu mau kita pergi bersama?”
Dia
lalu melepaskan lenganku dan menuju ke Hayama. Dia bisa berubah secepat itu?
Dan
disana juga ada Tobe yang sedari tadi memanggilnya. Untunglah, akhirnya aku
lepas dari genggamannya...
“C’mon Irohasu! Kita harus segera berangkat!”
“Kalian berdua hendak berbelanja sesuatu kan...? Oke, Iroha,
Tobe...Sampai jumpa.”
Hayama lalu melambaikan tangannya dan Isshiki melakukan hal yang sama
sambil mengatakan ‘siaaaal...’ dengan ekspresi yang manis.
“Okaaaay. Sampai jumpa.”
Lalu Isshiki melambaikan tangannya kepadaku.
“Senpai, di pertemuan selanjutnya tolong ceritakan secara detail ya,
oke~”
Ah,
lupakan saja, lagipula aku tidak akan pernah bisa kabur darinya. Dia pasti akan
membuatku bercerita tentang hari ini di pertemuan selanjutnya...
Ngomong-ngomong, pertemuan selanjutnya mungkin ketika hari pemilihan.
Jadi, mungkin akan ada satu kali pertemuan lagi.
Kurasa
tidak masalah jika pidato kampanye dariku yang mewakili Isshiki dalam pemilihan
tunggal nantinya tidak begitu bagus, tapi memang harus tidak boleh terlalu
jelek. Karena itu bisa membuat imagenya jatuh signifikan. Sederhananya,
setidaknya ada yang mau memilihnya meskipun pidato kampanyenya seperti sampah.
Kurasa, hanya itu bagian tersulitnya.
Artinya, itu adalah hal yang akan kuselesaikan dalam satu kali
pertemuan. Kupikir menemuinya minggu depan adalah ide yang bagus. Jadi,
sekarang aku harus memikirkan bagaimana aku menjelaskan situasi hari ini
kepadanya.
Aku
masih bisa mendengar Tobe dan Isshiki berbicara ketika meninggalkan kami.
“Baiklah Irohasu! Ayo kita ke toko Lions Sport!”
“Ah, tidak perlu. Itu kan toko buat baseball.”
“Eh?”
Aku
bisa mendengar percakapan mereka yang menyedihkan dari sini...Lalu, Hayama
berjalan mendekatiku dan berbicara.
“...Dia memang sesuatu ya.”
“Kau terlambat untuk mengatakannya...”
Oh?
Terima kasih atas infornya? Ah? Kau mengatakan sesuatu yang mengejutkanku!
“Ternyata,
Iroha bersikap seperti itu ya kalau disekitarmu?”
“Apaan?”
Aku
mencoba menanyakan maksudnya. Tiba-tiba, Hayama menjelaskannya dengan mimik
wajah yang serius.
“...Bukannya aku menyinggung dia tidak pernah melakukan itu kepadaku,
tapi Iroha sering bertemu banyak sekali orang dan dia selalu ingin menunjukkan
sisi manisnya ke mereka. Aku yakin kalau dia punya image yang harus dia jaga.
Aku sangat yakin dia ingin dicintai. Oleh karena itu, agak langka melihat sisi
dari dirinya yang jujur seperti itu.”
Bukankah artinya dia tidak ingin aku
menyukainya seperti dia memperlakukan orang lain?
Ketika
keduanya sudah tidak terlihat lagi, Orimoto dan Nakamachi yang berdiri cukup
jauh akhirnya mulai mendekat. Apa mereka takut karena penampilan Tobe yang
menakutkan atau penampilan Isshiki?
Kami lalu naik eskalator ke lantai 6. Ketika sampai disana, kami
langsung masuk ke toko pertama yang tampak di depan kami.
“Apa mereka tadi teman-temanmu?”
“Yeah, mereka juga member Klub Sepakbolaku.”
Hayama menjawab pertanyaan Nakamachi. Orimoto tampaknya cukup terkejut
ketika mendengarnya.
“Oh, aku mengerti itu! Suasana kalian ketika mengobrol tadi memang memberikan
suasana seperti itu!”
Begitukah...? Jadi Tobe memberikan kesan kalau dia pemain sepakbola?
“Hayama, kamu tampaknya suka sekali bermain sepakbola. Apa kamu
memainkannya sejak kecil?”
Ooh, ternyata itu yang ingin dia tanyakan.
“Yeah. Tapi aku baru menekuninya dengan serius ketika SMP.”
Hoo, itu cukup mengejutkan. Tapi, pemain sepakbola semasa SMP memang
cocok dengan imagenya. Tapi, Hayama terlihat seperti mengenang sesuatu yang
buruk dan menambahkan.
“Well, waktu SD aku mencoba banyak sekali olahraga, tapi aku tidak
terpikirkan sedikitpun kalau akhirnya akan menyukai sepakbola.”
Aku
mengatakan “oh begitu”, dan mengangguk. Reaksi ini seperti mengatakan aku lebih
tertarik ke Hayama daripada kedua gadis disini. Jujur saja, bukannya aku
tertarik atau semacamnya, itu karena tidak ada yang bisa kulakukan saat ini.
[note: Kata-kata Hachiman soal tidak ingin tahu masa lalu Hayama adalah bohong belaka. Di volume 4 chapter 5 dan vol 10 chapter 4 terbuka bahwa Hachiman
tertarik ke masa lalu Hayama karena penasaran dengan apa yang terjadi dengan
Yukino dan Hayama di masa lalu.]
Karena suasananya agak aneh, jadi aku memutuskan untuk mengalihkan
situasinya dengan memegang peralatan olahraga di sekitarku.
Kalau dipikir-pikir, Hayama adalah pria dengan banyak misteri. Bukannya
aku tertarik atau semacamnya tentang dirinya, tapi dia memang tidak pernah
menceritakan dirinya ke orang lain. Ini mengingatkanku kepada Yukinoshita.
Apakah ini cara bersosialisasi orang-orang yang berada di status sosial elit?
“Oooh. Berarti klub sepakbolamu waktu SMP sangat kuat, Hayama?”
“Wow. Dibandingkan dengan SMP-ku, kayaknya klub sepakbola SMP-ku agak
lemah deh. Benar tidak, Hikigaya?”
Orimoto memalingkan wajahnya kepadaku seakan ingin mencari konfirmasiku.
Mempermalukan lingkunganmu berasal demi membuat pihak lain senang adalah cara
bersosialisasi kalangan kelas menengah. Aku mengiyakannya saja dengan
mengangguk.
Lalu, Orimoto seperti teringat akan sesuatu.
“Ngomong-ngomong, Hikigaya. Kamu kan tidak gabung klub manapun waktu SMP
dulu, ya? Tapi bukankah setahuku kamu pernah dapat juara di Festival Olahraga
waktu SMP dulu?”
“Yeah.”
Sekarang dia membahasnya, aku ingat betul soal kejadian itu...Lagipula,
Festival Olahraga SMP waktu itu panitianya siswa sendiri. Jadi wasitnya menulis
waktu tempuh lomba 200meter milikku asal-asalan. Anehnya, catatan waktuku waktu
itu tergolong terbaik.
“Oh, berarti kamu dapat medali juga waktu itu?”
Hayama tampaknya tertarik dengan masa laluku. Karena itu, pintu masa
laluku terbuka lagi.
“Yeah, yeah! Jadi waktu upacara penutupan digelar, Hikigaya dipanggil ke
panggung untuk menerima medali dalam kategori ‘waktu terbaik’. Lalu, semua
orang langsung tertawa melihatnya!”
Orimoto menjelaskannya sambil tertawa, Nakamachi tampaknya mulai
ikut-ikutan menertawakannya.
Ahaha. Aku mulai ikut-ikutan dengan pura-pura tertawa.
Keduanya tampak senang dan mulai melihat-lihat peralatan olahraga yang
mungkin cocok dengan Hayama, aku mendengar mereka mengatakan “Eh, apa
snowboarding itu menyenangkan?”
Ketika aku melihat mereka dari tempat yang agak jauh, Hayama tiba-tiba
berada di dekatku.
“...Kau tampaknya punya kehidupan SMP yang menarik.”
“Itu tidak lucu.”
Itu
bukanlah hal yang menarik. Bahkan mungkin banyak sekali orang yang punya hal
tersebut. Mungkin, masa SMP yang menarik lebih cocok disematkan ke Hayama.
Tapi Hayama tampaknya tidak bermaksud seperti itu. Dia lalu menambahkan.
“Aku tidak membahas soal yang tadi...Maksudku, ketika SMP dulu, kudengar
kau menyukai gadis itu?”
Dia
mengatakannya sambil melihat ke arah Orimoto.
“Jadi tipe gadis kesukaanmu adalah yang seperti itu? Cukup
mengejutkanku.”
“Kamu tampaknya tahu betul bagaimana caranya mengacaukan suasana hati
orang...”
Hayama tersenyum seperti hendak becanda denganku. Hayama adalah tipe
orang yang sudah terlatih untuk terus tersenyum sebagai bagian dari tata krama
sosialnya, tapi ini pertama kalinya dia tersenyum seperti menikmati suasana
ini.
Meski aku berusaha meyakinkannya, tapi fakta kalau aku dulu pernah
menyukainya dan juga pernah menembaknya sudah diketahui. Tapi
itu tidak berarti bahwa Orimoto adalah satu-satunya gadis yang spesial bagi
diriku...
“Ini bukan hanya Orimoto. Kupikir tidak juga. Aku juga menyukai gadis
yang pendiam ataupun ramai...ya semacam itulah.”
Mengatakan kata-kata semacam gadis kesukaan membuatku merasa sedikit
memalukan. Aku mulai meragukan diriku untuk masuk ke dalam candaan ini.
“Yang kamu sebut tadi bukanlah sebuah spesifikasi gadis, kurasa terlalu
umum.”
Hayama lalu tersenyum kecil.
“...Lagipula, itu hanyalah masa lalu. Tapi itu bukan berarti keadaannya
akan sama saat ini.”
“...Benar juga.”
Hayama mengangguk seperti memahami sesuatu.
Meski begitu, Hayama lalu berdiri tepat disebelahku.
Kami hanya berdiri disana mendengarkan musik latar toko ini dan
chit-chat dari Orimoto dan Nakamachi.
“Jadi pada dasarnya...”
Hayama tiba-tiba berbicara.
Tapi dia terdengar seperti kesulitan untuk berbicara. Lalu aku melihat
ke arahnya. Tapi, Hayama lalu memalingkan pandangannya. Dia sepertinya melihat
ke arah yang jauh, yang tidak berada disini.
“Jadi pada dasarnya, kamu belum pernah benar-benar mencintai seseorang?”
Kata-katanya tadi seperti memukul perutku. Napasku tiba-tiba berhenti.
Aku terdiam, karena aku tidak punya satupun kata-kata untuk menjawabnya.
Kata-katanya tadi adalah hal yang belum pernah kupikirkan sama sekali.
Kami berdua berdiri dan terdiam, lalu Hayama tersenyum.
“...Baik diriku dan dirimu.”
Dia
lalu menatap langit-langit seakan-akan melihat ke langit.
“Pernah salah paham.”
Dia
menggumamkannya perlahan dan tidak terdengar lagi.
“Hayama, bagaimana dengan ini?”
Suara Orimoto terdengar dari kejauhan. Hayama lalu menutup kedua matanya
dan membukanya. Lalu dia memasang senyumnya yang biasa.
“Yang mana?”
Dia
berjalan ke arah Orimoto dan temannya ketika mengatakannya. Caranya berjalan
seperti Hayama Hayato yang kutahu.
Meski begitu, Hayama Hayato yang tidak
kuketahui tampak memiliki sebuah kesedihan mendalam dan sedang menangisi
sesuatu.
x x x
Ketika mereka mulai memilih pakaian olahraga, tampaknya sudah mendekati
jam tutup toko. Bagiku, ini artinya tugasku sudah hampir selesai. Ketika kami
keluar dari PARCO, suasana malam yang berawan terlihat jelas di atas kepala
kami.
Hayama memeriksa arlojinya lalu memanggil Orimoto dan temannya.
“Apa kalian merasa sedikit lapar?”
“Yep!”
Orimoto menjawab tersebut dan Hayama tersenyum kecil.
“Oke, ada ide kita mau makan dimana?”
Ketika Hayama bertanya, Nakamachi langsung meresponnya.
“Apapun tidak masalah bagiku.”
“Makan apa yaaaa...?”
Orimoto mengatakan itu dan melihat ke arahku.
Well, kalau mereka bertanya, maka aku tinggal menjawabnya. Karena aku
ingin cepat-cepat pulang, maka aku harus memilih sesuatu yang dekat dari sini.
“Kupikir Saizeriya oke.”
Kupikir Saizeriya memiliki menu-menu standar tentang masakan Chiba. Tapi
mendengar jawabanku itu, Nakamachi terlihat kecewa.
“...Eeeeh.”
Woi, kamu tadi bilang ‘apapun tidak masalah!’
Jadi apa maksudmu mengatakan itu? Kamu tidak suka Saizeriya? Atau karena kamu
tidak menyukaiku?
Sebenarnya, lupakan saja soal diriku, dan segera minta maaf ke Saizeriya
sekarang juga! Meski kamu membenciku, tapi jangan membenci Saizeriya!
Di
lain pihak, Orimoto tampak tidak mampu menahan tawanya sambil mengatakan
“Saize...Saize, huh? Sa-i-ze...”. Karena kita tidak mampu memutuskan sesuatu,
Hayama lalu mencoba menengahi.
“Kupikir, kita tidak perlu makan makanan yang terlalu berat. Jadi,
bagaimana kalau kita mampir ke kafe yang di seberang sana?”
Hayama menunjuk ke arah kafe di seberang jalan. Ada sebuah kafe yang
tampak keren dan stylish, dan itu membuat para gadis mengangguk setuju. Mereka
pasti mengatakan ‘oke’ hanya karena Hayama yang memutuskan itu, pasti begitu
bukan? Disini, aku tampaknya bisa memahami teori: Kamu bergabung dengan band
musik populer tidak lantas membuatmu populer. Tapi kamu menjadi populer karena
kamulah orang populer di band tersebut. Semacam itulah.
Setelah itu, kami menyeberang jalan dan masuk ke kafe tersebut.
Suasana di dalam lumayan hangat dan pencahayaan yang remang-remang ini
memang membuat pelanggan terasa nyaman.
Setelah kami memesan sesuatu, kami mulai mencari tempat duduk di lantai
dua.
Kafe ini tampak tidak begitu banyak pengunjung karena sudah larut malam.
Tapi aku masih bisa melihat beberapa pengunjung kafe duduk di meja dekat
tangga, dan juga ada yang duduk di kursi tunggal dekat jendela. Di lantai 2, kami bisa melihat
ada meja yang kosong sehingga kami memutuskan untuk duduk disana.
Disini, meja yang diperuntukkan bagi perokok dan tidak dipisahkan oleh
kaca pembatas.
Dan
disana ada seorang gadis yang memakai topi dan headphones seperti berusaha
menyembunyikan tampilan wajahnya.
Dia benar-benar datang...
Yukinoshita
Haruno terlihat melambaikan tangannya secara perlahan sehingga hanya diriku
yang bisa melihatnya.
Tampaknya dia berencana ingin mengacaukan ini, jadi aku tidak masalah
membiarkannya begitu...Lagipula, dia belum melakukan sesuatu.
Juga, Hayama harusnya menyadari ini juga. Tapi karena dia tidak
mengatakan apapun, tanpa ragu kukatakan kalau dia memang sengaja begitu.
Orimoto dan temannya tampaknya tidak menyadari Haruno. Tapi kurasa ini
hal yang wajar karena mereka tidak akan menyangka kalau ‘si mbak’ yang ada di
bangku kuliah tidak akan datang kesini hanya sekedar untuk menengok ‘adiknya’
yang berkencan.
Ditemani minuman yang hangat, para gadis tampak mengobrol dengan santai.
Aku duduk disana mendengarkan pembicaraannya saja. Tentunya, aku juga membalas
sesekali.
Ketika aku sadar kopinya sudah mulai dingin, pembicaraannya terhenti.
Orimoto tampaknya dia tidak tahu harus mengatakan apa dan menatapku. Eh? Apa aku harus mengatakan sesuatu?
Orimoto lalu tertawa.
“Tapi mengusulkan Saizeriya memang aneh!”
“Yeah, mustahil laaah...”
Nakamachi juga menertawakannya.
...Eh. Maaf ya, nama kamu siapa sih?
Siapa-machi?
Kurasa wajar jika Orimoto membuat diriku
sebagai bahan tertawaan karena dia memang mengenalku semasa SMP. Tapi bagi
temannya itu melakukan hal yang sama, itu terasa penuh dengan tanda tanya.
Sekali kamu memandang rendah seseorang, kamu bisa mengatakan apapun yang
kau mau. Tapi sebelum aku menyadari itu, aku ternyata sudah dilabeli seperti
itu.
Aku
memutuskan untuk menerima begitu saja hal tersebut. Aah, kopi dan kehidupan
memang sangat pahit.
Aku
tersenyum kecil mendengarnya. Hayama yang duduk di sebelahku, terlihat sedang
menaruh cangkir minumannya.
“Aku rasa, aku tidak menyukai hal tersebut...”
“Ah, benar kan!”
Nakamachi meresponnya seperti dia tahu maksudnya apa.
“Aah, bukan itu maksudku.”
Hayama lalu tersenyum.
Dia
mengatakannya dengan manis semanis coklat dan berusaha memperjelas apa
maksudnya.
“Yang kumaksud adalah kalian berdua.”
Dia
lalu mengatakannya dengan jelas, sejelas cahaya matahari.
“E-Ermm...”
Orimoto dan Nakamachi tampak kebingungan. Akupun juga bingung apa
maksudnya.
Semua orang terdiam dan musik latar kafe ini terdengar lebih jelas dari
biasanya.
Dan
menghiasi kesunyian ini adalah suara langkah kaki. Suara itu terdengar dari
arah tangga dan menuju ke arah kami.
“Tampaknya mereka sudah datang.”
Hayama mengatakan tersebut lalu berdiri.
Dia lalu melambaikan tangannya ke arah
Yukinoshita dan Yuigahama. Mereka memakai seragam dan membawa tas seperti
hendak pulang ke rumah setelah ini.
Akupun tiba-tiba berdiri ketika para undangan yang tidak terduga ini
muncul.
“Kalian...”
“Hikki...”
Yuigahama tampak tersenyum sedih dan diam disana. Dia seperti meremas
pegangan tas punggungnya.
Di
sebelahnya adalah Yukinoshita yang hanya melihat ke arahku sedari tadi. Matanya
yang dingin dan menunjukkan 0 emosi yang selalu ditunjukkannya ketika menatapku
tampaknya tidak berubah.
Keduanya seperti hendak menyiksaku saja, lalu aku memalingkan wajahku.
“Kenapa kalian ada disini...?”
Pertanyaan itu keluar dari bibirku begitu saja dan dijawab oleh Hayama.
“Aku yang memanggil mereka kesini.”
Bukan hanya aku, Orimoto dan temannya tampak penasaran.
Ketika kami hanya terdiam dan dipenuhi tanda tanya, Hayama lalu melihat
ke arah Orimoto dan temannya, lalu dia melanjutkan kata-katanya.
“Hikigaya bukanlah pria yang seperti kalian kira.”
Senyum dari Hayama tiba-tiba menghilang. Suaranya terkesan kasar.
Orimoto dan temannya tampak terkejut mendengarnya.
“Dia dekat dengan para gadis yang jauh lebih baik daripada kalian
berdua. Bisakah kalian berdua berhenti membuatnya menjadi bahan becandaan hanya
dari tampilannya saja?”
Hayama menunjuk kepada Yukinoshita dan Yuigahama ketika mengatakannya.
Orimoto dan temannya melihat ke arah tersebut juga.
Ketika mereka sedang memikirkan harus menjawab apa, kesunyian terus
berlanjut.
Kecuali untuk satu orang.
Entah apa hanya imajinasiku saja, tapi aku merasa gadis bertopi di
pojokan itu sedang tertawa melihat situasi kami.
Lalu, Orimoto berkata.
“Maaf, tampaknya aku harus pulang sekarang.”
Ketika dia mengatakannya, dia mengambil tasnya. Nakamachi lalu
mengikutinya dengan panik.
“Y-ya...Maaf, aku juga...”
Ketika keduanya berdiri dan berjalan menuju tangga lantai satu, Orimoto
berhenti tepat ketika dia hendak melewati Yukinoshita dan Yuigahama. Dia
berhenti sejenak dan menatap mereka.
Yukinoshita terus menatapku dan tidak mempedulikan Orimoto, sedang
Yuigahama memalingkan pandangannya ke tempat lain karena merasa aneh dilihat
oleh Orimoto.
“Begitu ya.”
Orimoto menggumamkan hal itu, dia tampaknya mendapatkan sesuatu dan
melanjutkan langkahnya. Ketika Nakamachi menuruni tangga, dia berpaling
sebentar ke arah Hayama. Setelah itu, dia melanjutkan langkahnya.
Ketika Orimoto dan Nakamachi mulai tidak terlihat lagi, Yukinoshita
tampak mengembuskan napasnya. Dia lalu berkata.
“Aku dengar kita sepakat bertemu di tempat ini membahas soal pemilihan.”
Setelah mengatakannya, Yukinoshita lalu menatap tajam ke arah Hayama.
Dari tatapannya, tampaknya dia menyalahkan kejadian ini kepada Hayama. Hayama
tidak tahu harus menjawab apa dan melihat ke arah yang lain.
“Pemilihan? Apa maksudmu pemilihan Ketua OSIS?”
Ketika aku tanya itu, Yukinoshita tidak menjawab pertanyaanku dan Hayama
mengangguk kepadaku. Yuigahama lalu mencoba menjelaskan.
“U-Um, tahu tidak, Yukinon dan diriku berpikir untuk mencoba mengajak
Hayato untuk ikut pemilihan, oleh karena itu hari ini, kami mencoba untuk
membicarakan ini dengannya, dan, dan...”
Dia
pada awalnya mengatakan itu dengan meyakinkan, tapi pada akhirnya...kehilangan
kata-katanya.
Sesuai dugaanku, mereka berdua berencana mencalonkan Hayama. Tapi, akan
sangat janggal jika Hayama menerimanya. Mengesampingkan sifatnya yang tidak
bisa menolak permohonan orang, dia adalah Ketua Klub. Jika perhatiannya
terbagi, maka Klubnya akan terbengkalai. Hayama harusnya sadar ini.
Ketika aku berusaha menebak maksud Hayama mengundang mereka, aku menatap
Hayama. Lalu, dia meresponku dengan nada yang lemah.
“Aku hanya ingin melakukan apa yang kubisa.”
Tapi, orang yang membalas kata-kata tersebut bukanlah diriku.
“Oooh, begitu ya...begitu.”
Wanita yang duduk di pojokan mulai berdiri. Dia lalu melepas topinya dan
berjalan ke arah kami.
“Nee-san...”
Ketika melihat Haruno-san muncul, Yukinoshita seperti terguncang hebat.
Dia mungkin tidak menyangka akan bertemu dengannya disini. Ketika melihatnya,
Haruno-san memasang senyum yang penuh dengan kegelapan di wajahnya.
“Jadi Yukino-chan tidak mau maju menjadi kandidat Ketua OSIS ya? Padahal
aku tadinya yakin begitu.”
Dia
mengatakannya sambil melangkah maju mendekati Yukinoshita.
Meskipun Yukinoshita memalingkan matanya, tapi telinganya tidak.
“Caramu memaksakan kehendak ke orang lain itu persis seperti Ibu.”
Kata-kata itu adalah kata-kata yang tidak bisa dijawab oleh Yukinoshita.
“Tapi, kupikir itu justru cocok denganmu Yukino-chan. Lagipula, kan kamu
tidak perlu capek-capek. Karena akan selalu ada seseorang yang akan
melakukannya untukmu, benar tidak?”
Haruno-san lalu menyentuhkan jari telunjuknya secara perlahan di samping
leher Yukinoshita dan menggerakkannya secara perlahan. Ketika jarinya menyentuh
tenggorokannya, Yukinoshita lalu mencoba melepaskan jari Haruno-san.
Untuk beberapa saat, Yukinoshita dan Haruno-san berdiri saling berhadapan.
Tidak ada satupun yang berani intervensi.
“Begitu ya. Jadi seperti ini...”
Yukinoshita menggumam dan dia menatap ke arah Hayama. Hayama tidak mampu
menatapnya dan hanya bisa memejamkan matanya, sementara Haruno-san tersenyum
dengan penuh kegelapan di senyumannya.
“Kalau kamu tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, maka aku akan pergi...”
Dia
membalikkan badannya dan berjalan pergi.
Waktu yang membeku ini akhirnya berjalan lagi. Ketika sudah bisa
bernapas lagi, Yuigahama lalu mengejar Yukinoshita.
“Tu-tunggu Yukinon!”
Ketika langkah kakinya tersebut sudah menghilang dan tidak terdengar
lagi, yang tersisa di ruangan ini hanyalah aku, Hayama, dan Haruno-san.
“Kenapa kamu sampai segitunya mengatakan hal seperti itu ke
Yukinoshita?”
Ketika aku bertanya, senyum Haruno-san terhenti.
“Apa kamu serius mau bertanya itu? Bukankah memang selama ini seperti
itu?”
“Kalau kamu hanya berniat untuk mengganggu, maka sikapmu barusan itu
sudah keterlaluan di mataku.”
Sampai saat ini, Haruno-san selalu mengganggu Yukinoshita dengan
berbagai cara. Tapi hari ini, berbeda. Kata-katanya sangat memprovokasi dan
sengaja memancing sebuah agresi. Meski begitu, Haruno-san bersikap masa bodoh
dengan peringatanku.
“Apa kamu pikir begitu?”
“Benar. Aku juga punya adik perempuan, jadi aku tahu mana yang pantas
dan tidak untuk seseorang yang memiliki hubungan saudara.”
Oleh karena itu, aku mengatakannya dengan penuh percaya diri.
Tapi Haruno-san hanya tersenyum. Senyumnya sangat berbeda ketika di kafe
donat tempo hari. Tidak ada satupun perasaan menyenangkan terlihat darinya.
“Hikigaya, kamu tampaknya paham semuanya, ya?”
Kata-kata tersebut seperti sarkasme bagiku.
“...”
Melihat sikapku, mata dari Haruno-san mulai menatapku tajam. Tatapannya
tampak lebih hangat dan nada suaranya lebih ceria.
“Jangan bersikap menakutkan seperti itu. Aku baru saja terkesan oleh
sikapmu.”
“Te-terima kasih...”
Lalu tatapannya terlihat lebih lembut dari sebelumnya.
“Kamu memang menarik. Caramu melihat makna dibalik kata-kata dan
tindakan seseorang. Aku sebenarnya suka yang seperti itu, tahu tidak?”
Kata-katanya seperti menyangkut di tenggorokanku. Dengan tersenyum, dia
lalu menambahkan.
“Sesuatu yang kembali muncul dari sebuah kegelapan adalah hal yang
manis.”
Kata-katanya terdengar sadis, tidak terdapat satupun kasih sayang atau
semacamnya. Lalu, tatapannya beralih ke sebelahku.
“Orang-orang yang bisa melakukan semuanya dengan sempurna adalah
orang-orang yang tidak menarik, benar tidak?”
Aku
tidak perlu bertanya kepada siapa dia mengatakan itu; aku tahu.
Lalu, dia mengambil barang-barangnya yang tertinggal di mejanya.
“Ngomong-ngomong, aku sudah paham tentang sesuatu yang menggangguku
sampai saat ini, jadi aku akan pulang ke rumah sekarang. Kurasa, aku sudah selesai
untuk hari ini.”
Dia
lalu berbalik dan meninggalkan tempat ini. Caranya pergi dari tempat ini
membuktikan kalau dia adalah tipe orang bebas; tidak ada seorangpun yang bisa
mengekangnya.
Yang tersisa darinya di ruangan ini hanyalah bau parfumnya.
Yang tersisa disini hanyalah aku dan Hayama.
Aku
ingin cepat-cepat pulang dan mengambil tasku.
Tapi, ada beberapa kata yang ingin kukatakan kepadanya.
Kata-kata ini keluar begitu saja meskipun aku sudah berusaha
mencegahnya.
“...Jangan ikut campur dengan situasiku.”
Aku
bukannya marah dengan Hayama. Yang kubenci adalah membiarkan Yukinoshita dan
Yuigahama melihatku bersama Orimoto dan temannya.
Meskipun bagian dari diriku ada yang memakluminya, tapi, aku tetap
merasa terganggu.
Hayama lalu tertawa kecil. Ketika dia melakukannya, dia menjawabku.
“Maaf. Aku bukannya tidak bermaksud begitu...Aku hanya ingin melakukan
itu.”
“Apa...yang kamu maksud adalah kata-kata Orimoto tadi?”
Jujur saja, tindakannya tadi bukanlah sesuatu yang kuharapkan terjadi
oleh Hayama. Juga, melihat senyum Haruno-san yang penuh dengan kegelapan. Meski
dia terlihat cantik dan bersinar, aku merasa ada sesuatu yang gelap tersembunyi
di balik senyumannya.
Aku
juga tahu kalau aksinya hanya berusaha membelaku. Aku hanya tidak bisa
membayangkan kalau dia akan sejauh itu mengorbankan image dirinya.
“...Apa kamu baik-baik saja setelah melakukan hal tadi?”
“...Aku merasakan hal yang sangat buruk sekali ketika melakukannya, aku
rasa aku tidak mau melakukannya lagi.”
Hayama mengatakannya sambil mengigit bibirnya.
“Maka dari itu, jangan pernah lakukan itu lagi.”
Serius, ini hanya lawakan murahan! Aku tidak paham apa yang ‘Nice Guy’
ini pikirkan. Karena mereka ingin melihat semuanya terlihat gembira, mereka
mulai ikut campur masalah orang dan memperbaikinya. Aku bahkan tidak memintanya
ikut campur.
“...Aku selalu berpikir. Tentang bagaimana aku bisa mengembalikan lagi
hal-hal yang sudah hancur.”
“Huh?”
Aku
tidak tahu apa maksud Hayama tadi.
Dari caranya berbicara dan menghindari siapa yang dimaksud, aku sudah
bisa menebak siapa yang dia maksudkan.
“Aku...sebenarnya mengharapkan sesuatu darimu dan meskipun aku pikir aku
mengerti, aku tetap meminta pertolonganmu. Karena itulah...”
“Hei!”
Jangan lanjutkan kata-katamu tadi!
Suaraku
barusan terdengar kasar. Aku sendiri tidak sedang ingin berbicara dengan
siapapun. Hal-hal yang harusnya sudah kuselesaikan sendiri dan kuakhiri
sekarang sudah digali lagi dari kuburnya oleh Hayama.
“Kau harus memahami nilai dari dirimu sendiri...Tidak hanya dirimu, tapi
orang-orang sekitarmu juga.”
“Apa maksudmu?”
Kata-katanya yang mengejutkanku tadi membuatku mulai gugup.
“Tapi itu memang hal yang sulit...Kupikir ada cara yang lebih baik untuk
melakukannya...Tapi ini adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan.”
Hayama mengatakannya dengan putus asa dan senyum yang pahit.
“...Kau mungkin selama ini melakukannya untuk mengharapkan itu. Bisakah
mulai saat ini kamu tidak membuat dirimu dengan sengaja menjadi korban?”
“...Jangan samakan diriku denganmu.”
Aku
mengatakannya begitu saja. Suaraku seperti menggema di kafe ini. Seperti
tercampur dengan rasa terganggu, emosi, dan kelegaan yang kurasakan.
...Aah, aku mungkin merasa terganggu. Mungkin juga itu hanyalah cerminan
perasaanku yang kompleks.
Meskipun kau hanya berdiri saja, meskipun kau berdiri di dekatku.
Mengapa kau sampai sejauh itu bertindak?
Aku
hanyalah mengharapkan sebuah kebenaran. Mungkin Hayama juga harusnya mengerti
itu.
Tapi
yang dipikirkannya adalah salah.
Jangan memandangku rendah dan bersimpati kepadaku. Jangan melihatku
dengan kasihan.
Hayama salah. Aku kasihan kepada Hayama sehingga aku menolongnya. Tapi
bukan berarti Hayama harus merasa kasihan denganku.
“Korban?
Jangan sok tahu soal diriku. Aku memang sudah terbiasa melakukannya.”
Hayama mendengarkan begitu saja. Dia berdiri seakan-akan terkesan dengan
kalimatku. Itu malah membuatku bertambah jengkel.
“Itu karena aku terbiasa melakukannya sendirian. Ketika ada sesuatu yang
harus diselesaikan, yang bisa melakukannya hanyalah aku. Maka, sudah sewajarnya
aku yang melakukan aksi itu.”
Yang ada di duniaku hanyalah aku sendiri.
“Oleh karena itu orang-orang yang di sekitarku bukanlah apa-apa. Aku
melakukannya karena itu adalah masalah yang ada di depanku dan aku melihat
satu-satunya solusi di masalah itu. Jangan salah paham dengan sikapku lalu
memutuskan seenakmu untuk ikut campur di masalahku.”
Dunia itu adalah egoku.
Jika aku memutuskan untuk melakukannya dan gagal, maka itu tidak
masalah. Tapi, jika ada orang luar berusaha mengambil beban itu, maka ini hal
yang berbeda.
Mereka hanyalah orang yang berpura-pura bersikap sebagai seorang
penyelamat.
Aku
menatap ke arah Hayama dan dia kembali menatap ke arahku.
Mungkin, Hayama sendiripun tidak akan menyadarinya.
“Kamu...Kamu menolong orang lain karena kamu ingin orang lain menolongmu
juga, bukan?”
Kalimat itu menjelaskan semua maksudnya.
Pria ini tidak paham apapun.
Dia
hanya menganalisis aksiku selama ini dan menyimpulkannya sendiri.
Kebetulan kesimpulan itu berlaku bagi Hikigaya Hachiman.
Emosi
yang palsu adalah sesuatu yang diriku dan gadis itu tidak ingin lakukan sampai
saat ini.
[note: Gadis itu adalah Yukinoshita Yukino.
Baca kembali vol 8 chapter 4.]
“Salah.”
Aku
mulai malas menatapnya lagi.
Aku
tidak pernah mengharapkan kebaikan hati dan rasa kasihan yang palsu. Drama yang
meminta air mata ini sangat menjijikkan sehingga membuatku ingin muntah.
Meski begitu, kalian semua harusnya berhenti melabeli sesuatu sementara
kalian melihat mereka rendah.
Jangan tunjukkan simpatimu, jangan tunjukkan rasa kasihanmu. Karena itu
hanyalah kepalsuan yang bertujuan membuatmu merasa nyaman.
Aku
ambil tasku.
“Jangan kau paksakan simpatimu yang menjijikkan itu kepadaku dan terus
melihatku sebagai orang yang perlu dikasihani semaumu. Label semacam itu
hanyalah omong kosong yang mengundang masalah.”
Aku
mengatakan kata-kata itu begitu saja, membalikkan badanku dan berjalan menuruni
tangga.
Aku
meninggalkan kafe itu dengan terburu-buru menuju arah stasiun.
Ketika aku sampai di area parkir sepeda dimana sepedaku kutaruh disana,
aku berhenti sejenak.
Aku
melihat ke arah langit dan kulihat beberapa bintang bersinar.
Beberapa sepeda yang berjejer tampak miring dan terjatuh karena angin.
Sepeda yang paling bawah itu adalah punyaku. Ketika aku mencoba membuat
sepedaku keluar dari tumpukan itu, kata-kata itu keluar begitu saja.
“...Jangan sok tahu soal diriku.”
Kepada siapa aku tujukan kata-kata itu?
Aku tidak mau seorangpun mengatakan aku
sengaja menjadi korban. Aku tidak mau seorangpun menyebut orang yang tidak
punya pilihan lagi dan terpaksa mengambil pilihan itu sebagai korban. Itu
sangat menyinggung orang-orang yang sudah berjuang sekuat tenaga hanya untuk
sekedar hidup hari ini.
Kaupikir aku mau menjadi korban demi
menyelamatkan bajingan-bajingan seperti kalian?
Meskipun itu tidak memiliki bentuk, meskipun
tidak ada suaranya, meskipun tidak bisa dikatakan dengan kata-kata.
Aku punya sesuatu yang sangat aku percayai.
Mungkin, itu adalah satu-satunya hal yang
kumiliki bersama dengan seseorang.
Jelas-jelas Hayama dan Haruno berkomplot di kencan ini. Haruno tiba-tiba sudah berada di lantai 2 kafe yang baru saja diputuskan oleh Hayama sebagai bukti kalau Haruno dan Hayama sudah memutuskan kalau kafe tersebut akan menjadi panggung mereka.
Ini menarik, karena di vol 10 chapter 2 Hayama kembali berkomplot dengan Haruno untuk menjebak Yukino. Tapi, di vol 11 chapter 5 Hayama menolak berkomplot di event memasak dan langsung klarifikasi masalah coklat valentine Yukino.
...
Haruno kembali konsisten mengatakan Hayama dianggap adik sendiri dan Hachiman adalah adik iparnya, persis seperti anggapan Haruno di vol 6 chapter 4, ketika bertemu Hachiman dan Hayama di ruang Panitia Festival Budaya.
...
Dalam afterwords seri [A] atau review Watari terhadap anime Zoku dan mencakup chapter ini, Watari mengatakan kalau genuine yang dimaksud Hachiman adalah cinta yang tulus, seperti yang Hachiman bahas bersama Haruno di telepon mengenai salah paham dirinya dengan Kaori di masa lalu.
...
Buat yang belum tahu istilah kencan ganda atau double date, itu adalah kegiatan kencan yang dilakan oleh dua pasangan. Mereka berkencan di tempat yang sama, biasanya karena mereka berempat berteman atau memiliki hubungan. Karena dalam vol 8 chapter 3 Nakamachi Chika jelas mengatakan ingin mendekati Hayama, maka jelas Hayama x Nakamachi di kencan ini. Jadi, pasangan lain yang sedang berkencan di hari itu adalah Hachiman x Kaori.
Ini juga mewujudkan impian Watari sendiri di afterwords volume 1, kalau dia memiliki keinginan ketika muda dulu untuk makan bersama siswi dari sekolah lain.
...
"Begitu ya."
Kata-kata Kaori sebelum meninggalkan kafe baru dijelaskan di vol 9 chapter 3. Kaori menganggap kalau pacar Hachiman ada di salah satu antara Yui dan Yukino.
Volume 9 chapter 7, terjadi perang dingin antara Yukino dan Kaori di Community Center. Lalu Yukino sengaja memilih untuk mengambil alih kursi Iroha karena kursi tersebut yang paling dekat dengan Hachiman.
Volume 9 chapter 9, Kaori kembali menyindir Yukino sebagai pacar Hachiman, adegan Kaori mentraktir Hachiman minum teh kaleng di dekat mesin penjual minuman, dekat kompleks perumahan mereka.
Volume 11 chapter 4, Kaori dan Yukino kembali (lagi) melakukan perang dingin, pertemuan di Community Center, event memasak coklat.
Kenapa Kaori yakin Yukino pacar Hachiman sejak pertemuan pertama? Sebenarnya cukup mudah, Yukino adalah satu-satunya gadis yang terus menatap Hachiman sejak tiba di kafe. Yukino juga satu-satunya gadis yang menjelaskan alasan kedatangannya bertemu Hayama di kafe.
...
Jadi, menurut Hayama sendiri, Iroha ini adalah gadis yang sedang mencari cintanya. Sederhananya, Iroha sendiri masih hendak memilih siapa pria yang ingin dia cintai. Jelas, Hayama ada di daftar teratas bagi Iroha.
Di vol 11 chapter 6, Iroha memberikan Hachiman coklat Valentine.
...
Hayama berpikir kalau tindakan Hachiman di darmawisata tempo hari, karena Hachiman sendiri dari hatinya yang terdalam, mengharapkan kalau akan ada orang yang peduli dengannya. Oleh karena itu, Hayama membela Hachiman.
Tapi tentunya, Hachiman sendiri marah karena dia tidak suka hidup dalam belas kasihan orang lain, dijelaskan sendiri dalam vol 2 chapter 5 dan vol 3 chapter 6.
...
Hayama tidak tahu bagaimana cara mengembalikan hal-hal yang sudah hancur...
Itu merujuk ke hubungannya dengan Yukino di masa lalu. Coklat ketika Valentine yang diterima Hayama sebenarnya adalah coklat persahabatan, karena Haruno juga menerima coklat serupa dari Yukino, dijelaskan dengan baik di vol 11 chapter 5.
Namun, Hayama berpikir Yukino menyukainya, dan itu adalah coklat cinta. Gosip Yukino x Hayama berpacaran mulai ramai di kelasnya, vol 11 chapter 1. Lalu, Yukino dibully oleh siswi-siswi di kelasnya yang menyukai Hayama, vol 1 chapter 2.
Yukino meminta Hayama kooperatif untuk menghilangkan gosip itu dan otomatis itu juga menghilangkan bully yang diterima Yukino. Tapi Hayama mengira kalau itu hanyalah sikap malu-malu Yukino yang menyukai dirinya. Dijelaskan dengan baik di chapter ini oleh Hayama, ternyata itu semua hanyalah salah paham. Cinta bertepuk sebelah tangan, Yukino sebenarnya hanya menganggap Hayama teman. Persis seperti kejadian Hachiman x Kaori.
Tanpa Hayama sadari, bully tersebut meninggalkan luka yang mendalam bagi Yukino. Juga, membuat Yukino membenci istilah 'teman pria'.
...
Well, Watari sendiri yang menulis kalau Hachiman dan Yukino saling percaya satu sama lain... Not my fvcking fault!
gan mau nanya nihh..
BalasHapuskenapa hayama mau membantu hachiman, memangnya apa untungnya membantu hachiman, hachiman kan rival hayanma
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusGua rasa udh di jelasin ama adminnya dia atas, hayama membantu hachiman karena hayama sudah di bantu berkali - kali
Hapusnote: Vol 2 chapter 3 kasus SMS berantai. Vol 7 chapter 8 meminta Hachiman jadi martir sosial. Vol 8 chapter 5 meminta Hachiman jadi 'wingman' kencan ganda.
bisa gak min review nya tanpa spoiler min😕
BalasHapusbagus sih ane jadi lebih ngerti tapi kan kalo kalo karna spoiler jadii kek gimanaa gitu
BalasHapusSuka banget sma blog ini.. Dari terjemahannya sampai cara kasih penjelasan yg jdi lbih mudah dipahami.. mantap ����
BalasHapussepertinya si chickenMa ini (paham kan ayam=Hayam=Chicken=Pengecut)(HAYAMa=ChcikenMa.... Lol) si HAYAMa ini gk tulus ngebelain hachiman dah.... Dia kayanya cuman nyari perhatian dan maaf dari yukinoshita bersaudara....
BalasHapus