Minggu, 30 Agustus 2015

[ TRANSLATE ] Qualidea of The Scum Chapter 2 : Kusaoka Haruma 2


*   *   *





   Karena ruangan kelas sudah mulai terasa tidak nyaman bagiku, aku keluar secepatnya dan pergi ke perpustakaan untuk belajar. Di bulan Mei ini, aku sepertinya akan menghabiskan waktuku dengan melakukan rutinitas seperti ini. Aku tidak punya teman ataupun uang untuk kupakai berjalan-jalan   juga tidak ada klub untuk kuhadiri. Satu-satunya alasan aku tidak punya teman untuk kuajak keluar karena aku merasa diriku tidak pantas untuk berkumpul bersama para pecundang dan idiot itu. Tetapi kenyataannya, aku juga tidak pernah terlihat jalan dengan orang pintar ataupun gadis cantik. Hal ini sering membuat diriku merasa bimbang! Kenapa bisa menjadi seperti ini?!

  Pada dasarnya, satu hal yang selalu berjalan menemaniku hingga saat ini adalah waktu. Aku akan mengoptimalkan waktu yang kupunya, dengan hal-hal yang seharusnya.

  Selain membaca dan belajar, aku bermain dengan handphoneku dari waktu ke waktu. Biasanya hanya bermain mobile game. Karena aku berprinsip untuk tidak akan pernah membayar satu sen-pun untuk game, ketika nyawaku di game habis, maka aku tinggal belajar dan menunggu nyawaku terisi lagi di game itu.

  Oke, ini bagus sekali. Aku sudah menghabiskan waktu senggangku dengan baik. Belajar pastinya akan memberiku sesuatu di masa depan, jadi aku tidak menyia-nyiakan masa SMA-ku. Aku baik-baik saja. Tidak ada masalah apapun disini, kawan-kawan...

  Gedung sekolah mungkin sudah mulai sepi dari siswa pada jam-jam seperti ini. Sempurna! Saatnya untuk melakukan kegiatan klub sukarelawan milik Amane-chan yang disumpalkan ke mulutku pada jam makan siang tadi. Maksudku, melakukan kegiatan yang mencolok di lingkungan sekolah ketika jam ramai seperti menuliskan jam kematianmu ketika bertualang di hutan rimba. Baik itu hutan belantara ataupun hutan yang berisi gedung dengan campuran semen dan bata, efeknya sama saja.

  Aku meninggalkan perpustakaan dan berjalan menyusuri lorong. Aku menaiki tangga   lantai pertama, lalu kedua, lalu ketiga   suara orang-orang yang melakukan kegiatan di lantai dasar, suaranya mulai semakin pelan kudengar. Juga, semakin jarang manusia yang kulihat di tempat ini. Orang bilang kalau semakin tinggi tempatnya, maka udaranya semakin tipis. Tetapi bukankah lebih sederhana kalau kita katakan udara di atas permukaan tanah adalah yang paling padat?

  Aku datang, aku baca, dan aku kabur. Dimana udaranya semakin padat, maka aku merasa semakin tersiksa. Kadang membuatku berpikir hal-hal bodoh, seperti aku ingin berevolusi menjadi makhluk yang berbeda atau sejenisnya. Tahu tidak tentang mitos kalau hanya orang-orang bodoh yang suka berada di tempat-tempat tinggi? Kupikir yang tahu informasi seperti itu hanyalah orang-orang idiot.

  Meski begitu, siapa yang memulai ide untuk membuat semacam mitos untuk mencegah orang memiliki mimpi yang tinggi?

  Pastinya, orang yang membuat mitos itu adalah orang-orang yang tidak mampu meraih hal-hal yang tinggi. Mereka mungkin selama hidupnya hanya bisa dipuaskan jika melihat rendah orang-orang yang memiliki mimpi untuk menaiki tempat-tempat tinggi dimana dirinya sendiri tidak mampu.

  Karena alasan itu, aku tidak membenci sebuah konsep untuk mendekati langit dengan menaiki lantai per lantai di sebuah gedung. Dengan begitu, aku bisa meyakinkan diriku kalau melepaskan diriku dari dunia ini secara perlahan-lahan adalah hal yang tepat.

  Akhirnya, sinaran cahaya matahari senja yang menyinari jendela samping tangga telah berakhir di lantai paling atas ini. Ada sebuah pintu yang mengarah ke atap gedung. Pintu ini selalu terkunci, jadi para siswa tidak bisa sesukanya masuk ke atap gedung.

  Ini pasti tempat yang Amane-chan katakan.

  Aku mengamati sekitar pintu itu, memang berdebu dimana-mana. Debu-debu seperti berkumpul di sekitar sudut, dan ada beberapa ember berserakan disana. Oh, pintu loker tempat peralatan pembersih lantai terlihat seperti ada semacam noda, seperti bekas ditendang seseorang.

  Ketika aku mencoba membuka pintu atap, pintunya tidak mau terbuka, jadi kuputuskan untuk membuka paksa pintu itu.

  Ketika aku hendak melakukannya, terjadi sesuatu   

  "Aaaaaaargh!"

  Sebuah teriakan mengerikan terdengar. Dengan teriakan yang penuh emosi seperti menggetarkan lantai atap, kenop pintu atap berputar dan pintu terbuka.

  Seorang siswi melompat masuk seperti mainan iseng jack in the box. Kupikir kita akan bertabrakan, tetapi entah kenapa aku bisa menghindarinya. Gadis itu kemudian mundur dan mengurungkan niatnya untuk masuk.

  "...Apa yang terjadi barusan?"

  Aku pikir jika bertabrakan dengan seorang gadis akan berujung sebuah adegan romantis. Tetapi teriakan barusan jelas membuat adegan ini di berada di level yang berbeda, jarang sekali kudengar yang seperti itu...Sial, apakah ada orang lain yang berada di atap selain dirinya? Aku membayangkannya sambil mengintip ke arah atap dari pintu yang terbuka itu.

  Pintu masih dalam keadaan sedikit terbuka. Terlihat lantai atap dari balik pintu tersebut, tidak ada yang aneh dan tidak terlihat orang lain disana. Merasa kikuk dengan adegan yang aneh tadi, kakiku secara spontan melangkah.

  Merah, langit yang berwarna merah.

  Cahaya matahari senja sangat indah, cukup untuk membuat rambutku berdiri. Pemandangan kota jelas terlihat dari sana, dan enam gedung terbesar di kota ini seperti diselimuti warna darah.

  Masih dalam keadaan kaget, aku keluar dari pintu dan mendekati pagar di samping pintu. Gadis itu tetap berdiri di sana.

  Pipinya yang berwarna kemerahan seperti diwarnai oleh cahaya senja, rambutnya yang berwarna hitam seperti bulu-bulu dari gagak, mulai terlihat memudar oleh kegelapan malam. Gadis itu seperti berdiri di dua dunia yang berbeda, menerima cahaya matahari di depannya dan di belakangnya terlihat malam sudah menunggunya.

  Chigusa Yuu sedang menatap matahari tenggelam dengan mata berair dan terlihat setetes air mata jatuh membasahi pipinya yang pucat.

  Normalnya, aku seharusnya tidak berbicara apapun kepadanya dan lebih baik pergi secepatnya. Pertama, karena aku tidak tahu harus berbicara apa kepada gadis yang sedang menangis. Kedua, aku tidak tahu harus berbicara apa kepada gadis yang sedang berdiri di depanku.

  Lain dari itu, aku tidak sanggup memotong adegan indah dari seorang gadis yang cantik sedang menangis dan disinari cahaya senja.

  Ketika aku hendak meninggalkan atap, Chigusa membalikkan badannya dan menatapku.

  Sunyi.

  Chigusa menatapku dengan tatapan dan ekspresi kosong. Sementara itu, air mata terus membasahi kedua matanya.

  "H-Hey..."

  Saling menatap dan tidak mengatakan sesuatu sebenarnya adalah ide yang buruk. Tetapi mengatakan kata-kata barusan, secara formal jika dikatakan ke orang yang lebih muda adalah hal yang lebih buruk lagi. Meski begitu, jika mengatakan kalimat gombal seperti orang Perancis "Apa ada yang menyakitimu, mademoiselle? Hatimu yang terluka telah membuat senja yang cantik ini terlihat buruk" adalah ide yang goblok. Tunggu dulu, itu sepertinya kata-kata pria Italia. Pada akhirnya, kata-kata yang keluar dari mulutku adalah kata-kata rendah tak berarti yang membuatku merasa hendak menggali lubang dan mengubur diriku sendiri.

  Ekspresi Chigusa tidak berubah. Tidak ada reaksi sama sekali. Dia terus melihatku seperti aku adalah seekor hewan buas.

  Sunyi terus menyelimuti udara diantara kita.

  ...Aku sepertinya ingat suasana ini. Aku sepertinya tahu situasi ini! Ini seperti ketika Amane-chan menangis di rumah!

  Ketika kamu mengajak bicara gadis yang sedang menangis, dia akan memberitahumu, "Aku baik-baik saja, tolong tinggalkan aku sendiri." Tapi, jika kamu meninggalkan mereka sendirian, mereka berkata, "Kenapa kamu tidak bertanya yang lain?" Dan jika kamu mulai bertanya apa yang membuat mereka menangis, lalu mereka akan menceritakan banyak sekali omong kosong yang bahkan orang-orang di luar sana tidak akan peduli sama sekali tentang itu.

  Diawali dengan menangis dan berakhir dengan mengoceh sana-sini   jangan pernah tertipu oleh air mata seorang gadis.

  Masih dengan usahaku untuk pergi dari sini sebelum situasinya bertambah kacau, aku berusaha tersenyum dengan sopan, menunduk dengan sopan ke arahnya dan berbalik arah.

  Tepat ketika hendak kulakukan, aku merasa ada yang memegangi lengan blazerku.



  Ketika aku menatap ke arah itu, ternyata Chigusa sedang memegangi lenganku dengan tangan mungilnya.

  "....."

  Jarinya diam seperti tidak mengatakan apapun, memegang erat lenganku tanpa bergerak.

  "Um..." kataku sambil berusaha melepaskan jari Chigusa yang memegangiku secara perlahan. Aku sangat kagum betapa panjang, cantik, dan kurus jari-jarinya, meski begitu aku tetap berusaha memaksanya lepas dariku.

  Di momen seperti ini, harusnya tidak ada seorangpun yang boleh berbicara mengatakan sepatah kata apapun.

  Maksudku, wanita adalah makhluk yang lembut. Mereka seharusnya ditangani dengan cara ekstrem   seperti terbuat dari gelas. Jika mereka melakukan hal yang salah, tidak akan ada yang memperlakukan mereka seperti sebuah tumor. Wanita sangat sensitif terhadap cara mereka diperlakukan, kadang mereka bisa menjadi sangat histeris   seperti kelereng.

  Meski begitu, Chigusa tidak berubah, jemarinya malah memegangi lenganku dengan lebih kuat lagi. Cara dia menatapku dengan mata berlinang air mata, hampir membuat napasku berhenti.

  Bahunya yang kurus bergetar, bibirnya seperti menghembuskan napasnya secara perlahan. Chigusa dan diriku sudah sangat dekat, jika seandainya dia maju selangkah lagi maka dia akan langsung jatuh ke pelukanku.

  ...Aku tidak akan tertipu dengan trik itu. Aku sudah dilatih selama tujuh belas tahun oleh kakak perempuanku dalam kursus "Cerita Horor Dunia Nyata: Wajah Sebenarnya Dari Seorang Gadis". Bukannya aku ingin berterima kasih kepadanya atau sesuatu hal yang lain...

  "Um...kamu bisa lepaskan itu," aku berusaha mengatakannya dengan tenang, sementara diriku berusaha mencari kemungkinan untuk kabur dari tempat ini.

  Tetapi air mata kembali membasahi wajah Chigusa lagi. "Er, um..." dia berkata. "Ka-Kamu tahu...Temanku sudah lama sekali tidak membalas panggilanku...Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan..."

  "Um, itu bukan..."

  Apa sih yang mau dia katakan barusan? Apa dia benar-benar mau mengatakan hal itu? Chigusa tetap melanjutkan kata-katanya seperti tidak mendengarkan perkataanku barusan.

  "Sudah tiga hari berlalu dan dia tidak menjawab telponku..."

  Wow, itu cukup pendek. Tahu gak, aku saja sudah satu bulan lebih tidak ngomong apapun ke teman sekelasku. Dan kita bertemu setiap hari di kelas, sial...

  "Mungkin dia kena demam, atau flu, atau mungkin lagi ada masalah keluarga..."

  "Kalau cuma itu kemungkinannya, dia harusnya menjawab panggilanku...Dia selalu begitu sampai tiga hari yang lalu...Kenapa sekarang menjadi begini...?" Chigusa seperti sedang menanggung beban yang berat, tetapi bibirnya terlihat sesenggukan dari tadi.

  "Begitu ya. Jadi dia begitu selama ini. Aku yakin itu pasti membebani pikiranmu."

  Dari caranya berbicara, kulihat situasi ini nampaknya kurang baik untuknya, jadi aku mulai ingat apa yang diajarkan kakakku selama ini dan memutuskan untuk mendengar apa yang hendak dikatakan Chigusa selanjutnya. Jika menurut kursus Amane-chan, gadis ini harusnya sudah separuh jalan untuk mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Separuh lainnya pasti berisi pembicaraan tentang keburukan teman-temannya, yep kujamin itu! Sial, para gadis memang menakutkan!

  Begitulah yang akan terjadi jika ini menyangkut masalah teman atau kenalannya. Meski sebenarnya kamu tidak kenal mereka, itu setidaknya akan menghantui pikiranmu dan akhirnya kamu juga membenci mereka.

  Jujur saja, aku tidak bisa memahami hal-hal seperti itu.

  Selama ini dekat dengan seorang teman lalu berkelahi saling menjelekkan satu sama lain, atau menangisi terus kejadian itu   sebuah tindakan yang setara dengan mengambil nyawa seseorang, membuat kata "sahabat" hanya sekedar basa-basi. Aku malah menganggap kalau tindakan mereka itu sudah mereka perhitungkan matang-matang   bahkan dilakukan hanya sekedar ritual saja.

  Sejujurnya, hal-hal tersebut adalah tindakan yang sangat buruk.

  Meski begitu   

  Air matanya memang indah.

  Mengesampingkan apapun tujuannya, pemandangan dari air mata yang mengalir disinari senja memang terlihat sangat indah.

  "Um, ada sesuatu."

  Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan. Aku melihat Chigusa memiringkan kepalanya dan menatapku.

  "Sesuatu apa?"

  Apa sesuatu itu? Jangan bertanya seperti itu dengan wajah manismu itu, sial. Ini bukan semacam pertanyaan ketika kuliah dimana kamu harus menjawabnya dengan benar...

  Meski begitu, aku sudah berpengalaman untuk menjawab pertanyaan semacam ini.

  "Beri dia waktu satu hari lagi, dan jika dia tetap tidak menelponmu balik, datanglah padaku lagi."

  Ah sial, dia pasti bilang "Huh? Kamu mau meminta nomor handphoneku?... Ohh, uh, handphoneku kehabisan baterai sekarang, jadi kapan-kapan ku-sms ya?"  Ini adalah pengalaman yang kudapat di hari pertama aku masuk sekolah ini. Ngomong-ngomong, bagaimana para gadis itu mau sms aku kalau mereka tidak tahu nomorku...?

  Meski begitu, kata-kataku barusan ternyata tidak membuatku lepas darinya. Matanya terbuka lebar. "Wow...A-Apakah itu tidak apa-apa?"

  "Yeah. Sampai jumpa." Aku tersenyum dan melambaikan tanganku ke arahnya. Ahh, dia memang gadis yang baik.

  Jika aku bisa mengatakannya, maka kamu akan mengerti. Kata-kata yang indah. Perdana Menteri yang mengatakan kata-kata tersebut sebenarnya tewas terbunuh, dan pembunuhnya mengatakan Dialog tidak berguna setelah membunuhnya.

  Ketika gadis di depanku ini menundukkan kepalanya, aku segera meninggalkan tempat ini.

  Kami tidak akan pernah bertemu lagi. Seorang gadis muda yang lugu dan cantik seperti Chigusa Yuu tidak ada hubungannya dengan serigala kesepian seperti Kusaoka Haruma.

  Aku masuk kembali ke gedung sekolah dan menutup pintu atap di belakangku.





*   *   *




Tidak ada komentar:

Posting Komentar