x x x
Pesta
perayaannya digelar di sebuah kafe yang terlihat menarik, bergaya bar ala barat. Disana, sudah banyak kumpulan
siswa yang berkumpul di sekitar grup Hayama dan Isshiki, membuat suasananya
menjadi gaduh.
Kalau melihat tingkat kegaduhannya, ini lebih
mirip pesta perayaan kemenangan Hayama daripada pesta setelah marathon. Entah
mengapa ada Zaimokuza diantara grup Hayama, Isshiki, dan Totsuka.
Setelah memasuki kafe, Miura langsung pergi
menuju ke arah Hayama. Yuigahama terlihat ragu untuk melakukan sesuatunya, tapi
ketika Yukinoshita mengangguk ke arahnya, dia tersenyum dan pergi menyusul
Miura.
Ditinggalkan Miura dan Yuigahama, aku dan
Yukinoshita pergi memesan minuman dan berdiri di pojokan. Aku lalu mengembuskan
napasku seperti berusaha melepaskan semua rasa lelahku bersamaan dengan
dentuman irama musik di kafe ini.
Meresponku, Yukinoshita terlihat tersenyum.
“Terima kasih atas kerja kerasmu.”
“Mm, yeah.”
Setelah mendengarkan jawabanku, Yukinoshita
mengambil posisi yang sama denganku dan bersandar di pinggir bar. Dia mungkin
kelelahan atau juga tidak terbiasa dengan suasananya. Meski begitu, dia tidak
terlihat seperti biasanya.
Kami tidak terbiasa dengan suasana ramai
semacam ini, begitulah Yukinoshita dan diriku. Melihat para siswa dari pojokan
merupakan posisi yang sempurna bagi kami berdua.
Aku meneguk kembali Ginger Aleku. Di saat
yang bersamaan, Yukinoshita yang sedari tadi menaikkan gelasnya, mendesah.
“Pada akhirnya, aku berterimakasih padamu dan
Yuigahama...”
“Bukan, seperti kataku, kau harusnya
berterimakasih ke Yuigahama. Aku tidak melakukan apapun.”
“Meski begitu, kau ikut membantu. Malahan,
bisa kubilang kau selalu membantu. Setahuku begitu...”
Aku bisa merasakan kalau nada suaranya
seperti terdengar kesepian, tapi aku tidak bisa melihat ke arahnya. Tapi, aku
tahu kalau dia sejak tadi melihat ke arah meja Yuigahama. Meski begitu,
pandangannya terlihat jauh. Kedua matanya terlihat diliputi warna biru yang
dalam, dan tampak tidak hanya melihat pemandangan orang-orang di dalam kafe
ini, seperti melihat sesuatu yang lain.
Melihat figur impian seperti dirinya itu
berdiri seperti itu, memang menarik perhatianku. Dia lalu menaikkan gelas
sampanyenya.
“Oleh karena itu...”
Sambil mengatakan itu, Yukinoshita tersenyum
dan menaikkan gelas sampanyenya.
Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku yakin,
ada kata-kata yang sulit untuk dikatakan olehnya, tapi tanpa mengatakannya,
tanpa berbicara, itu tidak akan bisa menggapaiku.
Seperti dirinya, aku tidak berbicara sama
sekali. Aku hanya menaikkan gelas ginger aleku dan menyentuh gelasnya.
Di tempat yang ramai dan gaduh ini, suara
dari kedua gelas yang bersentuhan terdengar jelas olehku. Suaranya sangat
jelas, tanpa ada gangguan apapun. Sebuah suara yang bisa menyampaikan
perasaanku yang tidak bisa digambarkan, ataupun memberi nama hal itu. Seperti
sebuah gelembung yang muncul di permukaan air dan hancur, hanya saja kali ini,
suara itu terdengar indah, dan kini hilang. Suara dari gelas-gelas kami yang
bersentuhan kini menjadi sebuah momen yang sudah kami lewati.
Tidak lama kemudian, suara ramai di ruangan
ini mulai terdengar di telingaku.
Yukinoshita dan diriku tidak mengatakan
satupun kata, seperti biasanya. Kecuali kali ini, aku meminum minumanku,
sehingga aku bisa melancarkan sesuatu yang terasa tersumbat di tenggorokanku.
Tidak lama kemudian, kami melanjutkan
pengamatan kami ke kerumunan di depan kami, seperti menyadari tatapan kami,
Hayama yang sedari tadi berkeliling, berjalan ke arah kami. Berbasa-basi
kesana-kemari sebagai bintang utama di ruangan ini benar-benar situasi yang
sulit...
“Halo yang disana...Terima kasih atas
kedatangannya.”
Yukinoshita menggeleng-gelengkan kepalanya
seperti bukan masalah yang besar baginya dan aku mengangguk saja sebagai tanda
setuju. Ketika kupikir kalau ini adalah momen yang tepat untuk mengucapkan
selamat kepadanya, Hayama tiba-tiba menundukkan kepalanya.
“Maaf...Atas semua masalah yang
kuberikan...Seperti gosip itu...Dan hal lainnya.”
Yukinoshita seperti tertahan oleh sesuatu
ketika melihatnya. Tapi itu hanya sebentar karena dia langsung membetulkan
sikapnya dan mengulangi lagi kata-katanya di ruangan Klub.
“Ini bukanlah masalah yang besar. Kurasa ini
hanya masalah waktu saja kalau dibandingkan dengan masalah yang sebelumnya.”
“Yang itu ya, huh?” Hayama mengatakan itu
seperti menyebutkan kejadian yang memalukan.
Melihat hal itu, ekspresi Yukinoshita
terlihat gelap.
“...Kurasa aku sudah paham sekarang. Aku
yakin kita dulu harusnya bisa menangani masalah itu dengan lebih baik. Oleh
karena itu, aku percaya kalau ini juga sudah menyebabkan masalah
untukmu...Maafkan aku.”
Kali ini, Yukinoshita-lah yang menundukkan
kepalanya. Dia lalu menegakkan kepalanya dan dengan tatapan mata seperti
teringat akan sesuatu yang nostalgia, dia menambahkan.
“Tapi aku berterima kasih karena kau sudah
peduli dengan hal ini.”
Hayama terlihat terkejut. Seperti baru saja
kembali ke dirinya yang dulu, dia menatap Yukinoshita.
“...Kau ternyata sudah sedikit berubah.”
“Entah kalau soal itu. Hanya saja banyak hal
yang berbeda dari waktu itu dan yang terjadi saat ini,” kata Yukinoshita, lalu
dia memindahkan pandangannya ke arah Yuigahama. Kemudian, dia menatap ke
arahku.
Merasa tidak nyaman karena mendengar sesuatu
yang harusnya tidak kudengar, aku lalu memalingkan pandanganku.
Yukinoshita mengembuskan napasnya sambil
tersenyum, lalu menatap Hayama kembali.
“Kau harusnya tidak membiarkan dirimu terus
dihantui masa lalu...Kau tidak perlu memaksakan dirimu lagi untuk mengejar
seseorang.”
“...Tampaknya itu juga menyindir diriku,”
kataku.
Hayama tersenyum, entah mengapa dia terlihat
puas.
Terlihat Yuigahama sedang berjalan menuju
arah kami dari belakang Hayama. Seperti sudah teracuni oleh suasana ramai di
kafe, Yuigahama lalu memeluk lengan Yukinoshita.
“Yukinon, ada banyak sekali makanan disana!
Seperti, banyak sekali ayamnya! Ayamnya dipanggang semua!”
Meski begitu, respon kami terlihat lemah.
Aku, Yukinoshita, dan Hayama hanya bisa melihat ke arahnya dengan senyum yang
kecut.
“Eh?...”
Dia mungkin menyadari kalau suasana di sini
sangat kontras dengan suasana ramai dan gembira di meja. Yuigahama kemudian
bergegas untuk membetulkan posisi berdirinya dan pura-pura tertawa untuk
melupakan sikapnya yang tadi. Lalu, Hayama tersenyum dengan lembut.
“Maaf dengan semua yang terjadi, Yui. Mungkin
terasa tidak menyenangkan untukmu.”
“Ah, uh, tidak, tidak seperti itu!”
Mendengar jawaban Yuigahama, Hayama lalu
merendahkan kepalanya.
“Begitu ya. Terima kasih...Karena sudah
membantu.”
“Tidak, tidak perlu segitunya...”
Yuigahama tampak bingung dengan sikap Hayama
yang tiba-tiba berubah seperti itu. Well, ngomong-ngomong, dengan ucapan
terimakasihnya, kupikir masalah ini sudah terselesaikan dengan damai. Merasa
lega, akupun meminum ginger aleku lagi. Melihat sikapku, Hayama menatapku
dengan senyumnya.
“Hikigaya juga, terima kasih.”
Dia menatapku dengan hangat seperti melihat
sesuatu yang menyenangkan...Aku sendiri tidak tahu harus merespon seperti apa,
dan tubuhnya hanya spontan terbatuk-batuk seperti tersedak sesuatu. Senyumnya
yang tulus seperti melihat sesuatu di diriku, entah mengapa terasa mudah
kuterima. Mungkin jika kautanya kapan dia terlihat sebagai orang yang
mengganggu bagiku, kurasa akan kujawab saat ini, di momen dimana dia terasa
seperti dirinya sendiri.
Mendapatkan semacam kehangatan seperti ini
merupakan sesuatu yang kurang menyenangkan bagiku. Ketika aku mencoba melihat
ke seberang, aku mendengar suara batuk.
“...Yu-Yukinon! Ayo kita kesana! Ayam
panggang!”
Dia mengatakan itu sambil memegangi tangan
Yukinoshita dan menariknya. Melihat sikapnya itu, Yukinoshita tersenyum.
“...Baiklah, ayo. Ayo kita ke ayam tersebut.”
Mereka seperti dua bocah berusia 5 tahun yang
sedang berpantun...Ketika aku memikirkan apakah aku harus mengikuti mereka
sambil mengatakan “Ayo kita pergi sebagai trio!”, Hayama menepuk bahuku.
“Bisa bicara sebentar?”
“Jelas tidak.”
Seperti tidak mempedulikan jawaban spontanku,
Hayama tersenyum ke arah Yuigahama dan Yukinoshita yang sudah pergi terlebih
dahulu, seperti memberi tanda bagi mereka untuk pergi terlebih dahulu. Melihat
hal ini, Yuigahama mengangguk.
“Kalau begitu, kami tunggu disana!”
Seperti itulah, dia begitu saja pergi sambil
menarik Yukinoshita bersamanya. Sambil melihat keduanya pergi, dia menaikkan
gelasnya. Aku bisa mendengar suara es batu yang berbenturan dari gelasnya.
“Dia sedikit berubah...Kau juga.”
“...Huh?”
Hayama melihatku dengan ekspresi yang
terlihat kesepian, ditambah dengan senyum yang dibuat-buat. Kata-katanya itu
sungguh diluar dugaan, oleh karena itu aku menjawabnya dengan sesuatu yang
bodoh. Tapi, Hayama tampaknya memang tidak berharap banyak dengan jawabanku.
Dia lalu meminum minumannya dan mengatakan
sesuatu setelah itu.
“Satu-satunya orang yang belum berubah
hanyalah diriku,” dia mengatakan itu dengan pelan.
Akupun mencoba melirik ke arahnya untuk
membaca ekspresinya, meski kupikir dia memiliki wajah yang tampan, kedua
matanya tampak sangat suram. Meski begitu, ini tidaklah buruk karena kedua
matanya tidak berubah menjadi busuk.
“Entahlah kalau soal itu. Kalau kau pikir
seseorang telah berubah, bukankah itu berarti kalau juga sudah berubah? Meski
aku sendiri tidak tahu kebenaran soal itu.”
“Begitu kah?”
“Seperti kataku, aku tidak tahu kebenaran
soal itu.”
Itu terdengar seperti sebuah jawaban yang
tidak bertanggungjawab dariku. Tapi, Hayama menatapku sambil menggigit bibirnya
sendiri, dia tidak sekalipun memindahkan tatapannya tersebut.
Sampai saat ini, Hayama dan diriku, selalu
mencoba saling menghindar, melihat ke arah yang berbeda, mencoba memilih
kata-kata kami dengan hati-hati. Tapi, setidaknya, kali ini aku tidak berniat
untuk memalingkan pandanganku.
Oleh karena itu, meski ini terdengar aneh,
harusnya ada sesuatu yang pantas untuk kukatakan kepadanya. Sambil meminum
minumanku kembali, aku lalu menaikkan bahuku, dan itu adalah pertanda kalau aku
akan mengatakan itu.
“Ketika orang-orang di sekitarmu berubah,
maka kau harus merubah caramu bersikap untuk menyamakan dirimu dengan mereka.
Kalau begitu, bukankah itu artinya kau juga sudah berubah?...Well, pada
akhirnya, cepat atau lambat maka itu akan terjadi.”
Mendengarkanku mengatakan itu, Hayama hanya
bisa mengedip-ngedipkan matanya. Dia lalu memasang senyum yang sinis.
“Sebuah penggambaran yang kurang
menyenangkan. Kau memang orang yang mudah sekali untuk dibenci.”
Ketika Yuigahama dan yang lainnya sudah duduk
di kursinya, Miura dan Isshiki melambaikan tangannya ke arah Hayama. Mereka
mungkin memberikan tanda agar cepat bergabung dengan mereka. Hayama melambai
balik seperti hendak memberitahu mereka kalau dia akan segera bergabung, dia
tiba-tiba mengatakan “ah” seperti mengingat sesuatu dan membalikkan badannya.
“Benar juga, aku lupa menanyakan itu.”
“Huh?”
“Ketika kau bilang kalau kau tidak bisa
mengabaikan ‘hal itu’, apa maksudmu?”
Entah karena pencahayaan yang kurang, atau
posisi dia berdiri. Aku tidak tahu apa itu. Tapi, karena pencahayaan yang
kurang, aku tidak tahu bagaimana ekspresi Hayama ketika dia menanyakanku
pertanyaan itu. Tapi, aku bisa tahu kalau dia tidak sedang becanda, atau dia
sebenarnya tahu jawabannya, dia seperti baru saja memikirkan hal itu.
Mungkin dia ingin tahu apakah jawabanku
adalah jawaban yang tidak pernah dia pikirkan, atau mungkin, sebuah jawaban
yang akan dia pilih di kemudian hari. Kalau itu masalahnya, aku tahu apa yang
harus kukatakan.
“Pura-pura saja kau tidak mendengar
itu...Setidaknya, aku berbeda denganmu.”
“Begitukah...”
Mendengarkan jawaban itu, Hayama lalu
menaikkan bahunya. Di momen seperti itu, dia melihat ke arah sebelahnya.
Itu adalah ekspresi yang sama ketika aku
melihat dirinya di marathon.
Dia memberikan jawaban yang tidak bisa
kuberikan, sebuah kemungkinan dimana aku sendiri tidak mempercayai sesuatu yang
pernah kulihat di mimpiku, dan sebuah senyum kesepian darinya yang terus
teringat di kepalaku.
Hayama pasti akan melakukan sesuatu dengan
memberikan yang terbaik. Jika orang-orang di sekitarnya berubah, maka dia akan
berubah juga untuk menyamai perubahan itu. Jika sekitarnya tidak berubah, maka
dia tidak berubah. Hayama terus menjawab ekspektasi orang-orang. Meski, dia
membuatnya serasa itu benar-benar keinginannya sendiri.
Oleh karena itu, aku akan menjadi
satu-satunya orang yang tidak akan menyangkal hal itu. Aku harus menunjukkan
padanya kalau akan ada seseorang yang tidak akan memaksakan ekspektasinya.
Itu karena dia merasa kalau dia tidak perlu
memahami orang lain dan sebuah perbedaan bukanlah sesuatu yang bagus. Baginya,
orang-orang yang tidak bisa memahami dirinya hanya dipandang sebagai sebuah
rantai yang membelenggu dirinya.
“Aku juga lupa untuk memberitahumu...Aku juga
membencimu,” kataku sambil memalingkan wajahku.
Hayama melihatku seperti bertanya-tanya akan
sesuatu, tapi dia tiba-tiba tertawa.
“Begitu ya. Mungkin ini pertamakalinya aku
mendengarkan itu secara langsung.”
Hayama berusaha menahan tawanya karena puas.
Kali ini, dia mengambil satu langkah untuk menjauh dari bar.
“Meski begitu...Aku tidak akan memilih. Aku
percaya kalau itulah yang terbaik.”
Dia lalu menambahkan.
“Aku hanya ingin menghibur diriku sendiri,”
dan dia tersenyum, kembali ke mejanya.
Tapi aku tidak bisa tersenyum.
Jika jawaban yang Hayama Hayato berikan merupakan
jawaban yang dirasa tidak memuaskan dan tidak terdengar jelas, maka pastinya, pria
yang satunya harusnya punya jawaban yang memuaskan. Pria itu pasti akan
memberikan jawaban yang berbeda dari Hayama Hayato. Karena pria itu harusnya
seperti itu.
Aku lalu menghabiskan ginger ale yang tersisa
di gelasku dan melihat ke arah meja dimana semua orang sudah berkumpul.
Sebuah sensasi pahit masih tersisa di suatu
tempat yang berada di tenggorokanku.
x Chapter II | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar