x x x
Seperti
yang semua orang tahu, sangat jarang terjadi hujan salju di Chiba pada musim
dingin. Tentunya, itu tidak berarti tidak
dingin hanya karena tidak turun salju; lagipula, ini musim dingin. Aku
bahkan berani menyatakan kalau cuaca dingin di Chiba melebihi dinginnya musim
dingin di negara lain.
Tentunya, aku sendiri tidak tahu bagaimana
dinginnya tempat lain karena aku menghabiskan akhir Januari sampai Februari
hanya di Chiba saja.
Yang bisa
kubandingkan adalah suhu tempat lain yang kuketahui dari laporan cuaca, meski
begitu, aku benar-benar tidak tahu seberapa dinginnya hingga aku mengalaminya
sendiri.
Hal
lainnya, angka yang ditunjukkan oleh termometer tidaklah selalu melambangkan
seberapa dinginnya Chiba.
Di dunia
ini, ada sesuatu yang disebut panas
tubuh.
Kau
mengalaminya secara langsung, menerima itu, mempelajari itu, dan untuk
pertamakalinya, aku juga merasakan itu.
Sebagai
contoh, saat ini, aku bisa merasakan perbedaan yang jelas antara suhu ruangan
ini dengan suhu tubuhku.
Ini semua
gara-gara seorang siswa yang berdiri di depanku.
Keringat
bermunculan di seluruh tubuhnya meski ini adalah puncak dari musim dingin,
bibirnya seperti orang yang kejang-kejang, dan dia sedang menyeka keringat yang
menempel di alisnya dengan punggung tangan yang diselimuti sarung tangan model fingerless.
“...Mu.”
Ketika
dia menggumamkan itu dengan suara yang keras, siswa itu – Zaimokuza Yoshiteru.
Sambil mengatakan itu, dia menyelimuti wajahnya dengan kerah mantelnya seperti
meniru pose-pose patung populer. Kalau kau tidak teliti, kau mungkin akan
menganggap ada patung selamat datang di sekitar apartemen elit daerah Musashi
Kosugi sedang tersesat di ruangan ini.
Setelah
menggerutu, Zaimokuza terdiam dan Ruangan Klub Relawan ini tetap sunyi seperti
sebelumnya.
Selain
Zaimokuza dan diriku, ada tiga orang lagi yang ada di ruangan ini, tapi mereka
bertiga sibuk dengan urusannya masing-masing: satu sedang membaca buku dengan
satu tangan sedang memegangi cangkir teh, satunya sedang bermain dengan HP-nya
sambil memakan kue, dan yang terakhir sedang membetulkan poni rambutnya sambil
melihat ke cermin kecil.
“...Muuun.”
Zaimokuza
menggumamkan itu sambil melihat ke arah atap ruangan. Kali ini suaranya tidak
seperti sebelumnya, agak lemah. Meski begitu, tidak ada yang peduli dengannya.
Ketika
tidak ada satupun orang – tidak ada satupun makhluk – yang bereaksi, Zaimokuza
mulai menggerutu kesana-kemari.
Seperti
kesal dengan itu, sebuah desahan terdengar dari seberang tempatku duduk saat
ini.
Ketika
kulihat, Ketua Klub Relawan, Yukinoshita Yukino, menaruh cangkir ke piring
cawan dan menekan-nekan keningnya.
Yukinoshita lalu menatap Zaimokuza dan kemudian dia melirik ke arahku.
“...Untuk
saat ini, mungkinkah kita harus tanya kepadanya tentang keperluannya disini?”
“Ehh...?
Tapi satu-satunya orang yang bisa berbicara dengan chuuni cuma Hikki.”
Orang yang
menjawab barusan dan sambil memakan crackersnya adalah Yuigahama Yui. Sambil
menyandarkan tubuhnya ke meja, dia lalu menatap ke arahku.
Well,
tindakan Yukinoshita dan Yuigahama yang memberikan respon ke Zaimokuza, kurasa
itu bisa disebut sebagai kebaikan hati mereka.
Tapi yang
bermasalah adalah satu-satunya orang yang benar-benar tidak mempedulikan
Zaimokuza, malahan dari tadi hanya sibuk bercermin saja, Isshiki Iroha.
Lagian, kenapa kamu ada disini? Maksudku,
bukannya ini sesuatu yang besar atau semacamnya. Aku juga tidak akan bertanya
atau semacamnya.
Isshiki tidak sedikitpun melirik ke Zaimokuza. Setelah merapikan
poninya, dia mengambil lotion dari sakunya dan mulai mengoleskannya ke seluruh
tangannya sambil menggumamkan lagu. Aroma citrus dari lotion itu mulai tercium
di udara.
Kalau tidak salah, Zaimokuza dan Isshiki
tidak saling kenal, benar tidak?
Meski,
kenal atau tidak, sepertinya Isshiki tidak akan mempedulikan Zaimokuza.
Ini berarti...Itulah yang kupikirkan,
tapi Yuigahama yang sedari tadi menyandar ke meja bertanya kepadaku,
“Hikki,
kenapa kau tidak tanya saja kepadanya?”
Yukinoshita-pun
mengangguk seperti menyetujuinya.
“...Itu
benar. Biasanya, Hikigaya-kun adalah orang yang menangani masalah-masalah
semacam ini.”
“Jangan
sembarangan menunjukku hanya karena kalian merasa itu cocok denganku...”
Satu-satunya yang ingin kutangani adalah
Totsuka-tan, tahu tidak? Saking gilanya, aku mau saja membuat komunitas fans garis keras dan mensupportnya
ketika menggelar konser, tahu tidak? Tapi level manis dari Totsuka-tan memang
tidak wajar.
Ngomong-ngomong,
satu-satunya orang di ruangan ini yang bisa berkomunikasi dengan Zaimokuza
adalah diriku. Meski aku tahu kalau ini tidak akan berakhir tanpa sesuatu yang
merepotkanku, tapi dia tidak menunjukkan tanda kalau dia mau meninggalkan
ruangan ini tanpa menerima pertanyaan dariku.
“Zaimokuza,
ada apa kau kesini...?” aku memberanikan diriku untuk bertanya.
Lalu dia
menunjukkan wajahnya, dan sebuah senyum yang ceria muncul.
“Ohh,
Hachiman! Kebetulan sekali!”
“Tidak,
kau tidak perlu bersikap seperti itu...”
“Hapon,
terserah kau saja. Aku saat ini sedang menginginkan sesuatu...”
Zaimokuza
berhenti sejenak. Dia lalu membetulkan posisi berdirinya seperti hendak berpose
yang berbeda. Sambil mendengarkan, akupun membetulkan posisi dudukku juga.
“Apa kau
ingat obrolan kita tempo hari tentang kekhawatiranku menjadi editor
penerbitan?”
“Yeah,
tentu saja aku ingat. Kalau tidak salah, itu obrolan hari ini dan saat ini
juga.”
Ya ampun, dia akan memulai lagi, mengoceh
kesana-kemari tentang sesuatu yang tidak masuk akal...begitulah pikirku.
Yuigahama
yang mendengarkan percakapan kami mengatakan sesuatu.
“Bukannya
dulu tentang menjadi penulis light novel atau sejenisnya...?”
Ya ampun,
Yuigahama serius sekali meresponnya. Dibandingkan dua orang lainnya, mereka
berdua hanya meresponnya dengan dingin. Bahkan Yukinoshita yang tampak tertarik
pada awalnya sekarang sudah tidak tampak mendengarkan jawaban Zaimokuza dan
mulai membalikkan halaman bukunya, membaca buku itu dengan santainya. Sedang
Isshiki yang memang sejak awal tidak tertarik, dia tampak tidak peduli dan
melanjutkan kegiatannya, yaitu merapikan bulu matanya dengan curler.
Tapi, apa
yang Yuigahama katakan memang benar. Impian Zaimokuza harusnya menjadi penulis
light novel. Ada juga, masa-masa dia ingin menjadi penulis skenario game. Tapi
dia tiba-tiba berubah haluan dan kembali menjadi penulis novel lagi. Sikapnya
yang plin-plan itu membuatku berpikir
kalau dia lebih cocok menjadi politikus.
Dengan
begitu, aku melihat ke arah Zaimokuza untuk mencari tahu mengapa dia tiba-tiba
berubah haluan, dia lalu menyilangkan lengannya sambil memasang wajah yang
kesusahan.
“Hmm, itu
karena penulis light novel adalah sampah dunia hiburan. Itu adalah sebuah
pekerjaan yang tidak membutuhkan latar belakang apapun, sebuah pekerjaan dimana
semua orang bisa melakukannya. Jujur saja, tidak akan ada orang yang iri
kepadaku jika aku menjadi penulis light novel dan mereka hanya dianggap
orang-orang terbuang karena hidup di dunia light novel...”
Zaimokuza
tampak kesal ketika berbicara, lalu dia membuka matanya lebar-lebar dan
mengatakan sesuatu dengan nada yang sedih.
“...Dan
disitulah aku menyadari sesuatu.”
“D-Dan
itu adalah...?”
Meski aku
sudah menyadari sesuatu yang buruk akan terjadi ketika melihat matanya dari
balik kacamata itu, aku harus menanyakan itu. Setelah itu, Zaimokuza tiba-tiba
melompat, membuat kursi yang sebelumnya dia pakai untuk duduk tergeser ke
belakang.
“Menulis
berarti siap untuk dikritik! Selain itu, dianggap tidak ada! Dalam dunia
bisnis, kau hanya dianggap batu kerikil di pinggir jalan! Memangnya pekerjaan
semacam itu ada nilainya!?”
Suaranya
yang keras itu menggema di ruangan ini dan kepalaku. Setelah itu, Zaimokuza
duduk kembali di kursinya, ruangan ini kembali sunyi.
Mengesampingkan suaranya yang keras tadi, penghuni ruangan ini tampak
tidak menunjukkan ketertarikannya. Bahkan Yuigahama yang dari tadi mendengarkan
Zaimokuza, kembali lagi bermain-main dengan HP-nya.
Satu-satunya
orang yang memperhatikan cerita Zaimokuza saat ini adalah aku. Aku mungkin
sudah terbiasa menjadi penyendiri, tapi kesunyian semacam ini benar-benar
menyiksaku.
“O-Oke...Kau
tampaknya paham betul yang kau bicarakan...”
Aku
sendiri tidak tahu bagaimana harus meresponnya dan mengatakan sesuatu yang
terkesan normal.
Zaimokuza
terlihat menyeringai.
“Itu
karena aku membacanya di internet.”
Wow. Internet sangat luar biasa. Internet
seperti punya semuanya.
Aku sudah kenyang dengan percakapan seperti ini, saking kenyangnya
hingga aku ingin muntah. Tapi, Zaimokuza terus melanjutkan kata-katanya.
“Seperti
yang kusebutkan tadi, editor penerbitan lebih keren! Selain kehidupan yang
stabil, mereka adalah faktor penting industri kreatif. Juga, mereka dekat
dengan industri anime! Dengan begitu, aku bisa menikahi gadis pengisi suaranya!
Fuahaha!”
“Kau
pasti mabuk Happy Meals dengan semua ‘Mimpi
Happy” di kepalamu...”
Kurasa
itu tidak akan terjadi meski ada sebuah keajaiban yang bisa membuat ulang
tahunmu, Natal, dan Tahun baru menjadi satu hari yang sama. Sial, kalau perlu
gabungkan saja Valentine Day dengan Halloween. Kalau dipikir lagi, “Happy
Halloween” dan “Happy Valentine” sangat lumrah dipakai di seluruh dunia,
memangnya apa yang “Happy” dari itu? Valentine day adalah hari kematian Saint
Valentine, tahu tidak...Apa orang-orang juga akan mulai mengatakan “Happy April
Fools” untuk April Fools?
Kebodohan
yang sama juga membuat orang menaruh kata “Happy” untuk segalanya, tidak
terkecuali Zaimokuza. Mereka sangat “Happy” karena mereka tahu itu bodoh.
Apanya yang bodoh? Mereka tidak bodoh lagi, tapi super bodoh.
Oleh
karena itu, impiannya untuk menikahi gadis pengisi suara karakter anime adalah
bodoh.
Jaman
sekarang saja sudah memiliki tingkat pernikahan yang sangat rendah, mengapa bisa
seorang penulis light novel menikahi aktris pengisi suara? Cepat keluarkan
kepalamu dari selokan itu!
Aku
benar-benar tidak peduli apakah Zaimokuza akan depresi jika dia hidup dengan
kesalahpahaman seperti itu, tapi aku harus memastikan diriku kalau aku sudah
memberitahunya. Inilah yang orang-orang sebut dengan kebaikan hati teman satu
SMA.
“Zaimokuza.”
“A-Ada
apa...?”
Entah
mengapa suaraku tiba-tiba menjadi serius begini, ataukah karena aku hendak
mengatakan sesuatu yang benar-benar dari hatiku, tapi ketika kupanggil namanya,
dia berdiri dan melihat ke arahku. Sambil melihat kedua matanya, aku berbicara
secara perlahan.
“Kutanya
kepadamu. Ketika kau SMP dulu, apa kau pernah berpikir kalau setelah kau masuk
SMA, kau akan bisa mendapatkan pacar?”
“Nugh!”
Tepat
sekali; Zaimokuza langsung berkeringat dingin dan diam. Aku lalu terus
menekannya.
“Dan
inilah yang harusnya kau tanamkan di pikiranmu saat ini. Yaitu...’Aku harusnya punya pacar ketika kuliah
nanti!’”
“Nnnngh!
Ba-Bagaimana kau tahu...!?”
Dia
bahkan tidak perlu bertanya seperti itu. Jawabanku jelas.
“Semua
orang pasti pernah punya pikiran seperti itu...” kataku dengan suara yang
berat.
Ya,
disitu juga, ada masanya aku punya pikiran-pikiran semacam itu. Karena aku masih
muda, bocah ingusan yang tidak tahu apapun tentang dunia dan dimana dia
harusnya berada. Yang kau pikirkan hanyalah bagaimana kau bisa menikah ketika
berusia 25 dan punya anak. Tapi setelah melewati masa SMP dan SMA, kau sudah
tahu betul bagaimana dunia ini bekerja. Oleh karena itu, kau menurunkan
standarmu sesuai dengan realita. Kau tidak bisa melihat impian kecilmu itu
menjadi kenyataan; inilah dunia ini, aku berani menjamin itu.
Ketika
memikirkan itu, tiba-tiba aku tersenyum sinis. Zaimokuza hanya mengembuskan
napasnya yang berat seperti setuju dengan kata-kataku.
Tapi, aku
bisa mendengar suara batuk yang memecah kesunyian ini.
“Semua
orang...Begitukah.”
“Mmm...”
Aku lalu
menatap Yukinoshita yang harusnya sedari tadi sedang membaca bukunya, kini dia
menatap ke arahku. Tapi ketika ketika tatapan mata kami bertemu, dia tiba-tiba
memalingkan wajahnya. Di lain pihak, Yuigahama yang sedari tadi bermain-main
dengan HP-nya, tiba-tiba terdiam dengan ekspresi yang kurang senang.
Sekali
lagi, mengapa ruangan ini tiba-tiba mendadak sunyi. Huh? Ada apa dengan kesunyian ini...?
Ketika
aku terus duduk diantara suasana yang aneh ini, Isshiki yang sedari tadi
bercermin menatap ke arah kami. Dia lalu mendesah.
“...Sebenarnya aku tidak peduli sih,
memangnya mudah untuk bisa menjadi bagian dari penerbitan?”
Aku
awalnya menduga dia tidak mendengarkan apapun percakapan kami karena dia tidak
terlihat tertarik dengan Zaimokuza sejak tadi, tapi nyatanya, dia mendengarnya.
Ketika
Isshiki bertanya, suasana kaku ini akhirnya berhenti. Dia mungkin tidak
mengarahkan pertanyaan itu ke orang tertentu, tapi Yukinoshita memiringkan
kepalanya sambil menjawab pertanyaan itu.
“Kudengar
ada semacam penghalang yang cukup besar untuk menjadi bagian dari penerbitan
itu sendiri...”
“Ohh,
kedengarannya sulit sekali, huh?”
AKu
sendiri ragu apa Yuigahama tahu masalahnya apa tidak. Aku bahkan ragu apa gadis
ini tahu kalau penerbit itu semacam perusahaan...
Ngomong-ngomong,
mari biarkan saja Yuigahama, Yukinoshita memang ada benarnya. Aku pernah
mendengar itu dari Ayahku kalau lowongan untuk menjadi bagian dari perusahaan
media massa terkemuka adalah hal langka. Kalau
begitu, tinggal lihat saja bagaimana kerasnya usaha Zaimokuza untuk menjadi
bagian dari tempat itu... Akupun melihat ke arah Zaimokuza yang tampak
tenang-tenang saja dari tadi.
“Memang.
Aku, juga, sudah mencari-cari info soal itu di internet, dan tampaknya bergabung
dengan mereka merupakan sebuah hal yang berat.”
Zaimokuza
mengatakan itu sambil menyilangkan lengannya dan memiringkan kepalanya ke
samping. “Tapi, aku tetap tidak bisa memahaminya...”
Lalu
Zaimokuza menambahkan.
“Apa sih yang membuat orang sulit menjadi
editor? Editor light novel saja bisa bekerja ketika mereka tidur. Itu adalah
pekerjaan yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang. Yang perlu kau
lakukan adalah membaca manuskripnya atau mengirim email ke orang-orang yang ada
di ranking teratas ‘Let’s Be A Novelist’ dan meminta mereka untuk menerbitkan
karya mereka, benar tidak?”
“Y-Ya...”
Kau tidak
akan pernah menduga kalau orang yang mengatakan kata-kata barusan adalah orang
yang awalnya bercita-cita menjadi penulis novel, tapi, memang benar kalau
pekerjaan editor light novel bukanlah pekerjaan yang populer, jadi adanya bias
tentang pekerjaan ini bisa dianggap lumrah.
Ngomong-ngomong, editor light novel adalah sebuah pekerjaan yang
melelahkan. Coba pikir, jika mereka harus bekerja bersama orang-orang yang
punya pikiran kacau seperti Zaimokuza. Berapa banyak sakit perut, sakit hati,
dan Yamanouchi yang harus mereka hadapi...Semakin buruk penulis light novelnya,
maka yang disalahkan oleh perusahaan adalah editornya...
“Well,
kau tidak akan tahu itu sampai kau benar-benar bekerja sebagai editor,” kataku.
Zaimokuza
melambaikan jari-jarinya sambil mengucapkan tsk
dengan lidahnya. Orang ini sangat
mengganggu...
“Tentunya, aku sudah menyiapkan rencana soal berburu pekerjaan ini.”
“Begitukah...Coba
katakan.”
“Aku
yakin kalau orang yang baru lulus dari sekolah tidak akan bisa diterima sebagai
editor. Tapi beda ceritanya jika kau baru lulus, tapi kau sudah berpengalaman.
Dengan orang sekaliber diriku, maka aku selama SMA akan mencoba mencari
pengalaman sebagai editor di perusahaan kecil, bekerja disana hanya untuk
mencari pengalaman saja,” kata Zaimokuza, tertawa kecil sambil memasang pose
yang penuh dengan keyakinan tinggi. Masih menjadi misteri mengapa dia bisa
terlihat percaya diri dengan wajah yang menjijikkan seperti itu.
“Ohh,
ternyata dia bisa juga berpikir...”
Sementara
itu, Yuigahama masih saja bisa tertipu olehnya.
“Tidak,
masalahnya tetap sama, yaitu bagaimana kau bisa bergabung menjadi editor di
perusahaan penerbitan, besar atau kecil...”
Rencananya itu seperti menuliskan rencana pekerjaan masa depan di
kuisioner konseling. Tapi bedanya, rencananya itu super mustahil. Seperti
sedang disuapi oleh lubang-lubang bobrok rencana Zaimokuza, Yukinoshita
memasang ekspresi yang kecewa.
“Pertama-tama, seandainya aku menjalankan perusahaan penerbitan berskala
kecil-menengah, aku tidak akan begitu saja aktif merekrut orang-orang sebagai
editor...”
Tapi
telinga Zaimokuza bukanlah telinga yang didesain untuk mendengarkan pendapat
yang terdengar tidak nyaman olehnya.
“Begini,
pikirku. Jika aku punya pengalaman sebagai editor di perusahaan kecil, aku bisa
dengan mudah diterima di GaGaGa Bunko...”
“Kau
terlalu meremehkan GaGaGa...”
Ngomong memang mudah, tapi kita ini sedang
membicarakan salah satu dari tiga perusahaan penerbitan terbesar di Jepang,
GaGaGa dari Shogakukan, tahu tidak...Dia mengatakan kata-kata itu dengan
santai sehingga terkesan menyegarkan, tapi mari kita tidak tertipu oleh itu.
Lalu
masalah lain menyusul.
“Karena
itu, agar bisa memperoleh pengalaman lainnya, aku sedang berpikir untuk
mencipatkan doujin.”
“Uh huh.
Yeah, well, lakukan yang terbaik.”
“Umu...Tapi saat ini, aku tidak punya ‘rekan kerja yang pas’ agar aku bisa menciptakan doujinsi...Seorang
rekan yang sejati yang punya visi serupa denganku...”
“Be-Benar...”
Ada apa dengan nada-nada suaranya yang
merajuk ini...? Sekarang aku mencium sesuatu yang buruk darinya...Seperti
tahu kalau tubuhku saat ini sedang bergetar hebat, Zaimokuza menaruh tangannya
di pundakku.
Lalu, dia
menunjukkanku sebuah senyuman yang bisa menyinari dunia ini.
“Jadi...Hachiman, ayo kita membuat itu bersama-sama!”
“Aku
menolak. Lagipula, aku bukanlah rekanmu.”
Sebuah antusiasme
yang sederhana seperti yang kau katakan itu, “Isono, ayo main baseball”
tidaklah cukup untuk menyinari duniaku. Aku ingin membuat request yaitu
langsung pensiun dari pekerjaan itu. Meski, aku tidak masalah jika dibayar
untuk melakukan itu.
“Hachimaaaaaan!
Bukankah kita ini selalu menjadi rekan!? Kenapa kau kejam seperti ini!?”
Zaimokuza
terus-terusan memanggilku kejam. Apa kau
benar-benar berpikir kalau aku ini mau terus-terusan meladeni omong kosongmu? Sambil
tidak mempedulikan ocehan Zaimokuza, aku mendengar suara cermin yang ditutup.
Ketika
kulihat asal suara itu, Isshiki yang mungkin sudah ‘berdandan’ tiba-tiba
menaruh cermin itu di sakunya. Lalu, dia menaruh jari telunjuknya di dagu dan
memiringkan kepalanya.
“Ummm,
doujin itu apa sih?”
“Well,
sederhananya, itu karya buatan sendiri. Kau menggambar manga milikmu sendiri
atau sejenis itu dan membuatnya menjadi sebuah buku.”
“...Benar.”
Ekspresi
Isshiki masih dipenuhi tanda tanya setelah mendengarkan penjelasanku. Aku
bukanlah orang yang ahli dalam menjelaskan, jadi aku sendiri tidak yakin
bagaimana aku harus menjelaskan itu kepadanya.
Ketika
aku memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskannya, Yuigahama
tiba-tiba menaikkan tangannya sambil mengatakan “aku, aku!”.
“Aku tahu
itu! Itu disebut Comiket atau sejenisnya, benar tidak? Sesuatu yang berhubungan
dengan menggambar manga milikmu sendiri. Kalau tidak salah, Hina pernah
membicarakan hal semacam itu sebelumnya.”
“Penjelasan
itu agak dangkal. Juga, hobi Ebina-san itu agak spesial, tapi, setidaknya
kata-katamu itu ada benarnya,” kataku.
Kali ini,
Yukinoshita memasang ekspresi yang kurang yakin akan sesuatu.
“Itu
tidak hanya sebatas manga. Ketika aku mendengar kata itu, aku merasa itu juga
ada kaitannya dengan literatur dan seni.”
“Benar,
itu juga termasuk.”
Sebenarnya, jika kita ingin melihat kembali dasar dari ini, para penulis
terkenal itu dulunya juga karir awalnya juga menulis doujin. Literatur seperti
Shirakaba dan Garakuta Bunko bahkan awalnya dari karya yang ditulis di buku
sekolahan.
Pada
kenyataannya, doujinshi itu melebar ke berbagai hal dan tidak sebatas manga
saja, kadang review buku, investigasi buku pelajaran, ataupun album foto.
Banyak sekali genre dan variasinya.
Juga,
ketika aku menyebut tentang review buku, itu bisa dari review tentang kritik
tentang buku-buku masalah militer, ataupun review sinopsis dari sebuah seri
anime. Bahkan ada juga buku review tentang kemenangan hom-pim-pa antara
anime-anime yang tampil di hari minggu. Kesimpulannya, aktivitaas doujin itu
lebih dari sekedar buku dan cosplay, anime indie, drama cd, dan tentang
karakter sesuatu. Jadi, cakupan dari doujin itu sangat luas.
“Benar
juga, jadi Comiket ya...Kalau tidak salah, aku pernah mendengar itu
sebelumnya.”
Jadi kau tahu tentang itu, Raiden? Well,
Comiket memang belakangan ini sering muncul di TV ataupun dibahas di program
khusus, kurasa tidak aneh jika orang-orang mulai kenal apa itu.
Tapi,
Isshiki tampaknya punya pemahaman yang berbeda soal itu.
“Bukankah, seperti, sebuah tempat dimana kau bisa menghasilkan banyak
sekaliiiii uang?” tanya Isshiki, sambil mencondongkan wajahnya dengan mata yang
bersinar.
Sikapnya
itu memang benar-benar menggambarkan gadis yang lugu, tapi apa yang keluar dari
mulutnya itu memang buruk sekali...
“Tidak,
itu tidak sepenuhnya benar. Kudengar keuntungan merupakan prioritas kesekian
bagi mereka.”
Biasanya,
doujinshi itu ada karena, “Aku membuatnya karena aku menyukainya”, jadi tujuan
utama mereka jelas bukan uang. Bukannya aku tahu betul soal itu karena aku
sendiri tidak begitu yakin tentang detailnya. Tapi dari beberapa grup yang
menciptakan doujin, jika kau melihat data keuangan mereka, biasanya tidak jauh
antara merah-hijau, untung-rugi, ataupun impas.
“...Mereka
tidak memperoleh untung...Tapi masih mau melakukannya?”
Setelah
mengatakan itu, Isshiki menggerutu dan memegangi kepalanya. Sepertinya dia
kesulitan dalam memahami itu...
“Jadi
bisa dikatakan kalau itu adalah dunia hobi.” kata Yukinoshita sambil
mengangguk.
Well,
bagi Yukinoshita yang rela menghabiskan uang demi hobinya seperti teh, Pan-san
si panda, dan merchandise kucing, mungkin orang-orang seperti mereka bisa
dianggap teman seperjuangan.
“Hal-hal
seperti itu terdengar luar biasa, huh?” kata Yuigahama sambil mengunyah
permennya.
Kalau
dia, meski dia mengatakan itu dengan disertai rasa kagum, dia sebenarnya tidak
menyukai itu. Dia lalu mendesah.
“Aktivitas
doujin itu bukanlah sesuatu yang langka. Biasanya, otaku bukanlah satu-satunya
komunitas yang membuat karya doujin semacam itu, tahu tidak?”
“Memang
begitu kaaaaah?” tanya Isshiki dengan
nada skeptis.
Ketika
kita membahas hal berbau budaya seperti doujin dimana itu dianggap sebagai
budaya asing di mata Isshiki, ekspresinya yang seperti itu bisa dianggap
normal.
Tapi ada
beberapa contoh yang sering kita jumpai dan memakai konsep yang sama.
“Aktivitas doujin yang umum misalnya koran gratis yang dibuat oleh
mahasiswa.” kataku.
Yuigahama
lalu menepuk kedua tangannya.
“Oh, itu
seperti sesuatu yang orang-orang taruh ketika ada festival di sekolah.”
“...Ohh,
kalau itu aku bisa mengerti.” Isshiki mengangguk seperti sudah bisa
membayangkannya.
“Benar kan? Pada dasarnya, yang populer disebut
FREE NEWSPAPER juga termasuk jenis-jenis doujinshi.”
“Mendengarmu mengatakan itu malah membuat sebuah pertanyaan lagi, tapi
pada dasarnya penjelasanmu itu benar...” seperti teringat sesuatu yang kurang
menyenangkan, Yukinoshita kembali menekan keningnya.
Kebetulan
sekali, ketika aku menyebutkan FREE NEWSPAPER, pikiranku seperti hilang entah
kemana.
“Ngomong-ngomong, mungkin akan ada semacam BIAS ketika membahas FREE
NEWSPAPERS, tapi kupikir kita bisa mencapai sebuah CONCENSUS. Tentunya, ketika
kita berbicara FREE NEWSPAPERS, itu hanyalah CASE BY CASE BASIS, jadi agar bisa
memperoleh CLEAR AGREEMENT, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah
menganalisa satu-persatu menggunakan TRIAL AND ERROR sebagai INFLUENCER, dengan
begitu, kita bisa COMMIT dengan sesuatu yang menunjukkan hasil.”
“Senpai,
apa sih yang Senpai katakan
barusan...?” Isshiki terlihat ketakutan. Dia seperti mundur beberapa senti dari
kursiku.
“Maaf.
Kesadaranku mengatakan hal yang berlebihan tadi...”
“Mungkin
lebih baik jika kesadaranmu hilang entah kemana daripada dibilang
berlebihan...” Yukinoshita mengatakan itu seperti tidak percaya.
Setidaknya,
kita semua sepakat kalau doujinshi adalah hal-hal yang berbau hobi.
Orang-orang
yang menciptakan koran atau terbitan gratis kurang lebih tidak berbeda dengan
grup-grup doujin. Dengan kata lain, mereka adalah golongan otaku yang memiliki
kesadaran tingkat tinggi.
Kalau
harus kukatakan, doujinshi itu ada hanya di beberapa genre dengan beberapa
orang berkecimpung di dalamnya.
“Jadi,
karya semacam apa yang hendak kau buat?” tanyaku ke Zaimokuza.
Dia
berpikir untuk sejenak. Lalu, dia menegakkan kepalanya dan membuka mulutnya.
“Fumu.
Kupikir aku ingin membuat novel...Aku tidak memiliki pengetahuan tentang
doujinshi yang lain dan juga aku tidak bisa menggambar.”
Alasannya
menyedihkan sekali.
Bisakah kau berhenti menciptakan tren
“Karena tidak bisa menggambar, maka aku memilih menjadi penulis light novel”?
Setidaknya, aku ingin kau bercita-cita menjadi penulis light novel dengan
alasan yang benar seperti, “Kupikir aku akan sulit mendapatkan pekerjaan, jadi
aku memilih menjadi penulis light novel!”
“Pada akhirnya, tetap menjadi penulis light novel...Jika kau ingin
menulis, banyak cara untuk menerbitkannya di internet. Seperti yang kau
sebutkan tadi, program ‘Mari Menjadi Novelist!’ ata sejenisnya. Sebenarnya,
kupikir kau punya peluang yang bagus jika mencoba debut disana.”
Mungkin
kau jarang melihat ini dariku, aku memberikan Zaimokuza sebuah saran yang
bagus, tapi dia tampaknya tidak menanggapiku.
“Mmm...Aku tidak bisa bilang kalau aku menyukai tempat itu.”
“Kenapa
tidak? Coba saja disana, bukankah itu sekarang sangat populer? Misal Parallel
Universe Reincarnation Peerless CheaRem.”
“...Huh?”
Setelah
kukatakan hal itu, Isshiki mengeluarkan suara seperti mengatakan, “Huh? Apa sih yang pria ini barusan katakan...?”
Ada apa dengan tatapan itu? Sangat
mengganggu...Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh barusan? Setelah
kupikir-pikir, ternyata memang.
Para
gadis mulai mendekatkan tempat duduknya satu sama lain dan mulai
berbisik-bisik.
“Parallel, universe? Chea? Apa yang dia baru saja katakan?”
“CheRem...Apa itu?”
“Mungkin
yang dia maksud cheetos?”
Isshiki, yang barusan itu adalah nama
snack...
Itu sebenarnya adalah cerita tentang seorang protagonis yang
reinkarnasi kembali di dunia paralel dan membangun sebuah harem dengan
menggunakan kemampuannya, cheating power.
Sial, mencoba menjelaskan ke mereka membuatku terlihat seperti orang bodoh
saja.
Well, itu
adalah sesuatu yang harusnya dinikmati oleh orang yang menyukainya saja. Tidak
perlu menjelaskan apa itu ke orang yang tidak tertarik, dan juga itu bukanlah
sesuatu yang semua orang harus pahami.
Parallel
Universe Reincarnation Cheating ceritanya sebenarnya mirip dengan light novel,
jadi tidak masalah selama orang-orang yang suka membaca itu menyukainya.
Dan ini
tidak sebatas ke light novel.
Ini juga
melibatkan semuanya. Kata-kata, ataupun perasaan.
Selama
perasaan itu bisa tersampaikan ke orang yang ingin kau sampaikan atau membuat
mereka bahagia, itu sudah lebih dari cukup.
Tapi
entah mengapa bisa begini? Bahkan Zaimokuza-san saja tidak terpengaruh.
Saat ini,
dia tidak mempedulikan kata-kataku dan sedang menyilangkan lengannya sambil
mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai, seperti menahan sesuatu.
“Arghhh!
Itu bukanlah masalahnya! Ini bukan soal populer atau bagaimana publik
meresponnya! Aku tidak peduli soal itu semua, itu tidak menggangguku sama
sekali! Hanya saja, umm, tahulah? Bagaimana ya? Aku tidak suka dengan sistem
penilaian seperti ranking dan klasemen! Seperti, aku tidak mau orang-orang
mengkritik karyaku di belakang layar atau sejenisnya!”
Aku pasti
sedang berhalusinasi jika berpikir dia sedang mengatakan sesuatu yang keren
tadi, tapi ada beberapa kata yang membuatku berpikir lebih dalam. Dan sekarang
ada satu jawaban yang muncul di pikiranku.
“Ahh.
Huh? Apa mereka menampilkan ranking karya-karya yang ada di web? Well, kurasa
memang agak berat jika melihat karyamu ada disana dan ternyata tidak populer,
huh?”
“Tidak!
Jelas tidak! Ranking, klasemen, rating, dan review tidak menggangguku! Hal-hal
seperti ranking tidak lebih hanya sekedar sistem penilaian saja! Yang
terpenting adalah keberanian dalam menampilkan karya!” kata Zaimokuza dengan
emosi.
Pada
akhirnya, sistem ranking semacam itu adalah suatu hal yang tidak bisa kau
kuasai hanya dengan modal berani saja. Melihat bagaimana dia jujur dengan hal
yang membuatnya khawatir, dia ternyata sudah memprediksi masa depan karyanya
dengan baik!
“...Oh.
Jadi semangatmu hancur setelah melihat respon pembaca atas karyamu disana, huh?”
“Kurasa
itu bisa dikatakan sebuah perkembangan dari dirinya karena dia berani
menunjukkan karyanya ke publik.”
“Yep,
yep, dia ternyata berani juga.”
Yukinoshita
dan Yuigahama terlihat terkejut dan bercampur kagum ketika melihat Zaimokuza.
Tapi untuk meyakinkanku, kalian berdua benar-benar memujinya, benar tidak?
Benar kan? Karena entah mengapa aku
merasa kalian berdua sedang mengatakan sebuah sarkasme level tinggi disana!
Lagipula, kita ini sedang membicarakan Yukinoshita, tentu dia akan mengucapkan
sarkasme!
Aku,
tentunya, sedang diliputi semangat untuk memuji Zaimokuza.
Kita ini
sedang membicarakan pria yang tidak pernah menyelesaikan manuskirpnya, apalagi
mengirimkan karya ke perlombaan Pendatang
Baru Terbaik Tahun Ini. Meski cuma di internet, tidak mengurangi fakta
kalau itu dibaca oleh umum. Ketika aku tahu kalau nantinya akan ada orang lain
yang menderita karena membaca karyanya di internet selain diriku, aku merasa
puas. Semua orang harusnya merasakan penderitaanku. Jika semua orang menderita
bersama-sama, maka dunia ini akan menjadi damai.
Begitulah
pikirku, tapi Zaimokuza melambai-lambaikan tangannya seakan-akan menolak hal
itu.
“Tidak,
info itu kudapat tidak karena aku melihat karyaku yang dikritik. Itu kesanku
sendiri setelah melihat hasil karya orang lain dikritik seperti sampah oleh
pembaca disana.”
“Oh, oke...”
Tampaknya perdamaian dunia masih jauh dari
kenyataan.
Itulah Zaimokuza. Sikapnya yang “ingin
menjadi ini, ingin menjadi itu...” adalah hal yang menyedihkan untuk
dilihat. Tunggu dulu, coba jika kita melihatnya seperti ini; dia bisa bersimpati
dengan seseorang yang karyanya dihina pembaca merupakan sebuah bukti kalau dia
punya sense terhadap karya light
novel. Bisa jadi dia punya potensi untuk menjadi seorang penulis...
Tapi, aku
sendiri yakin kalau hal terpenting yang harus dimiliki seorang penulis light
novel bukanlah kemampuan untuk menulis atau menghubungkan banyak hal, dan juga
bukanlah imajinasi yang tinggi; tapi yang terpenting adalah tidak mempedulikan
apapun.
Yang
terpenting adalah mental baja.
Kau tidak
akan menyerah begitu saja melihat apa yang orang-orang katakan tentangmu; kau
bahkan tidak menyerah meskipun karyamu tidak laku; kau tidak akan mengatakan
apapun yang tidak penting di blog atau twittermu; kau tidak akan puas diri
meski kau berhasil menjual beberapa karyamu; kau tidak akan sakit hati jika
dihina orang lain; kau tidak akan menghina karya orang lain; kau tidak akan
melihat dirimu sebagai orang yang tidak mampu; kau tidak akan melebih-lebihkan
kemampuanmu; kau tidak akan percaya dengan dirimu begitu saja sejak awal; kau
tidak akan khawatir tentnag masa depan dan umur yang terus bertambah; kau tidak
akan menangis sendirian ketika malam; kau tidak akan berekspektasi berlebihan
ketika mendengar kabar baik; kau tidak akan terganggu oleh tawaran perusahaan
lain yang lebih baik; kau tidak akan mundur jika kau merasa sudah tidak bisa
menulis lagi; kau tidak akan kabur dari deadline; dan kau tidak lupa untuk
berterimakasih kepada orang-orang di sekitarmu.
Keenam
belas NAI-NAI ini adalah hal yang harus kau miliki ketika menjadi penulis light
novel.
Kekuatan
dari mentalitas dirimu – itulah yang terpenting. Kupikir light novel yang
berjudul Selama Aku Punya Adik Perempuan
juga menulis hal yang serupa. Tidak, mungkin tidak ada disana. Yeah, mungkin
saja tidak ada.
Tapi
karena Zaimokuza bukanlah seorang profesional ataupun orang yang memiliki
keberanian, aku harus menunjukkan kepadanya jalan yang seperti apa yang akan
dia tempuh. Mentalnya mirip dengan sebuah tahu yang sangat kurekomendasikan
untuk dimakan hangat-hangat di musim yang seperti ini.
Akupun
membetulkan posisi dudukku dan membersihkan tenggorokanku. Dengan suara yang
lebih tenang dari biasanya, aku berkata.
“Zaimokuza. Sepertinya doujinshimu tidak akan menjual. Bukankah tidak
akan begitu menyakitkan jika kau mau menyadari realitanya sejak dini?”
Zaimokuza
terdiam, seperti tidak bisa membayangkan kalau akan mendengar hal seperti itu
dariku. Entah apa dia sedang berimajinasi kalau sedang berada di Comiket musim
panas atau musim dingin, coba bayangkan sekali-kali kalau dirimu ada di sebuah
stand penjualan doujin, mendengarkan suara-suara para gadis yang bercosplay di
stand sebelahmu, melihat banyak sekali antrian stand doujin yang ada di
seberangmu, dan kau melihat standmu sendiri ternyata tidak berhasil menjual
satupun buku...Apa Zaimokuza bisa mengatasi situasi seperti itu? Tidak.
Kukatakan sekali lagi, tidak.
Tiba-tiba,
bahu Zaimokuza merendah dan mengatakan sesuatu dengan pelan.
“...Kau
ada benarnya.”
“Jika kau
berniat menjadi editor, akan lebih baik jika kau sejak saat ini memikirkan
metode lainnya daripada sekedar membuat doujin.”
“Fumu...Begitu ya, begitu...”
Zaimokuza
menjawab itu dengan jujur seperti orang yang jiwanya baru saja hancur oleh
kata-kataku tadi.
Bagus, bagus sekali, itu artinya aku tidak
perlu mengkhawatirkan tentang skenario diriku membuat doujin bersama
Zaimokuza...
Setelah Zaimokuza yang bisa membuat suasana disini tiba-tiba berisik
menjadi diam, ruangan ini diliputi kesunyian. Akupun mengembuskan napas legaku
karena kita berhasil menyelesaikan masalahnya. Lalu, ada sebuah suara biskuit
yang dipotong.
“Tapi,
kalau begitu, bagaimana caranya menjadi editor jika tidak bisa lewat doujin?”
tanya Yuigahama, sambil mengunyah.
Zaimokuza
lalu menegakkan kepalanya. “Memang, yang dia katakan ada benarnya...”
Sekarang
mereka membicarakan itu, akupun mulai tertarik.
“Kurasa
kita tinggal mencari referensi yang ada...”
Seperti
kata Zaimokuza tadi, semuanya ada di internet. Termasuk juga hal-hal yang
seharusnya tidak ada disana.
“Yukinoshita, boleh kupinjam laptopnya?”
“...Disini bukanlah ruang komputer.” Yukinoshita mengatakan itu sambil
berdiri.
Dia lalu
mengambil laptop dan menyiapkannya untukku.
Aku lalu
menatap ke layar laptop itu dan hendak bertanya ke Google-sensei beberapa
pertanyaan, dan sebuah kursi tiba-tiba ditaruh tepat di sebelahku.
Ketika
kulihat sebelah kananku, Yukinoshita sedang duduk di kursi dan mencari-cari
sesuatu di tasnya, dia lalu mengeluarkan kacamatanya.
Setelah
merapikan rambut hitamnya yang lembut dan mengkilap itu, secara perlahan dia
menaruh kacamata itu seperti menaruh sebuah tiara.
Jari-jari
tangannya yang kurus itu bergerak secara perlahan meninggalkan frame kacamata
itu. Setiap dia mengedipkan matanya, bulu matanya yang panjang seperti hendak
menyentuh lensa kacamata itu. Setelah dia selesai mempersiapkan dirinya, tanpa
melupakan hal lainnya, dia mengangguk dan memiringkan kursinya sambil menatap
ke arah layar laptop.
Ketika
melakukannya, tercium aroma SABON dari rambutnya.
Terlalu dekat...
Dengan
dirinya duduk tepat di sampingku, aku merasakan sesuatu yang aneh, membuat
tubuhku seperti berjuang untuk melawan sesuatu yang aneh ini sehingga secara
otomatis tubuhku berusaha agak ke kiri agar nyaman kembali. Tapi ketika aku
melakukan itu, hidungku mulai mencium aroma citrus.
Tanpa
kusadari, Yuigahama ternyata menggeser juga kursinya ke sebelahku dan duduk
disana.
Dia
menempelkan tubuhnya di meja dan menyandarkan dagunya di meja. Setiap kali
lengan kita bersentuhan, kami saling menatap satu sama lain dan memberi isyarat
untuk membuat jarak diantara kita.
Tepat
ketika kupikir dia hendak membuat jarak, Yuigahama memalingkan kedua matanya
dan posisi kami tidak berubah. Kalau begitu, maka akulah yang harus bergerak,
tapi ketika aku menggerakkan tubuhku, blazerku seperti bergesekan dengan
roknya, aku seperti tidak bisa bergerak lagi.
...Terlalu dekat.
Lebih
jauh lagi, ada seseorang lagi yang muncul di belakangku.
Sebuah
bunyi sepatu indoor yang menyentuh lantai terdengar dair belakangku.
Ketika
aku menolehkan kepalaku, Isshiki sedang berdiri di belakangku. Dia
mencondongkan kepalanya ke depan melewati bahuku untuk melihat layar laptop.
Sensasi
yang kudapatkan dari kedua tangan yang dia taruh di bahuku seperti
mempercayakan berat tubuhnya kepadaku dan kehangatan tubuhnya itu sangat terasa
olehku, bahkan embusan napasnya bisa terdengar oleh telingaku. Karena itu, bulu
kudukku tiba-tiba berdiri.
...Seperti kataku, kau ini terlalu dekat.
Dengan kedua sisi dan belakangku sudah penuh, satu-satunya opsi
tersisa adalah bergerak ke depan.
Tapi
depanku sudah penuh.
Zaimokuza
sudah ada di depanku dan melihat ke laptop dari atas seperti seorang raksasa, bald yokai.
Kau terlalu dekat, pergi sana!
Merasa tertekan dari segala arah, aku lalu menggerak-gerakkan bahuku
sambil menulis keyword di google. Muncullah hasil pencarian di layar laptop
tersebut.
“Sebuah
web untuk mencari lowongan pekerjaan dengan update rutin...Ohh, ada sebuah
sekolah yang menyediakan lowongan pekerjaan setelah lulus...Ternyata banyak
sekali yang ada disini, huh?”
“Oh
Hikki, bagaimana dengan yang ini?”
Yuigahama mencondongkan kepalanya ke depan dan
menunjuk ke arah layar. Lalu, Yukinoshita juga mencondongkan kepalanya ke
depan.
“Sebuah
jurnal tentang pengalaman sukses...Ini seperti...Blog dari seseorang yang
menerima tawaran kerja secara tidak resmi dari perusahaan penerbitan. Kurasa
itu bisa juga.”
“Senpai,
ayo cepat klik ‘read’, cepatlah.” Isshiki memintaku untuk cepat sambil
menepuk-nepuk pundakku.
Lagi, kau ini terlalu dekat. Aku mulai
berkeringat sekarang, jadi bisakah kau, seperti, mundur 15cm dariku atau
sejenisnya...?
Aku lalu
menatap Zaimokuza untuk menanyakan apa yang harus kulakukan, dan dia mengangguk.
“Umu, ayo kita lihat!”
“...Baiklah,
ayo kita lihat yang ini.”
Aku lalu
klik link tersebut dan di judul artikel tertulis sesuatu.
Disitu
tertulis “Tawaran Tidak Resmi Terbaik!
Jurnal Kenken Tentang Sukses Berburu Pekerjaan Di Penerbitan!!”.
“...Hei,
apa maksudnya ‘Tawaran Tidak Resmi Terbaik’? Memangnya ada yang terbaik dan
terburuk tentang tawaran pekerjaan?”
“Tunggu
sebentar.”
Ketika
kutanya, Yukinoshita lalu menggerakkan tangannya dan memegang mouse dari arah
sampingku. Setelah dia membuka tab baru di browser, dia mulai googling tentang
tawaran kerja terbaik dan begitu seterusnya. Sambil melakukan itu, rambutnya
yang panjang itu mulai menyentuh punggung tanganku. Secara spontan, akupun
menarik kedua tanganku ke lututku dan duduk dengan posisi yang kaku.
Setelah
hasilnya ditemukan, dia menunjuk.
“Sepertinya itu merujuk ke peringkat terbaik calon pelamar yang sengaja
tidak pernah diumumkan oleh perusahaan. Tawaran terbaik itu berarti orang yang
berada di peringkat teratas. Jadi selain menerima tawaran untuk bergabung,
mereka juga diperlakukan sebagai executive
trainees dan mereka juga mendapatkan hak-hak istimewa dalam penempatan...Begitulah
yang dikatakan disini.”
“Tahu
tidak, mendengar kata executive trainees
membuatku sedikit khawatir...”
Ini terdengar seperti kata-kata manis yang
pernah kudengar sebelumnya. Ini seperti slogan manis “Serasa berada di
rumah sendiri!” atau “Generasi muda menunjukkan usaha yang luar biasa!”.
Sekarang aku mulai berpikiran tentang seperti apa masa depan si Kenken ini.
Ya sudah,
karena sudah pernah menyaksikan sesuatu yang menakutkan, kita juga mungkin bisa
menelusuri jejak-jejak si Kenken atau apalah itu yang katanya sukses apakah dia
berhasil menjadi seorang budak perusahaan dari perusahaan penerbit melalui
cerita jurnal tentang tawaran terbaik tadi.
Kami
mulai scroll kebawah dan mulai membaca jurnalnya.
“Penawaran Kerja Yang Terbaik! Jurnal Kenken
Tentang Sukses Berburu Pekerjaan di Penerbitan!!”
Blog ini akan mendiskusikan tentang proses
mendapatkan tawaran kerja terbaik dari perusahaan penerbit satu-persatu!
Hak cipta tulisan@Kenken
Tips Pertama, Mengisi Formulir Lamaran
Pekerjaan.
Dalam formulir yang disediakan perusahaan,
ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus kau tulis jawabannya di CV-mu,
seperti riwayat pekerjaanmu, dan alasanmu bergabung. Lain daripada itu, kadang
perusahaan juga ingin bertanya sesuatu yang unik seperti menulis essay atau
buatlah tulisan lucu tentang tiga topik, atau topik-topik terkini yang menarik
perhatianmu, tiga tokoh yang menurutmu menarik, pengalaman paling memalukan
tentang kegagalanmu, dan lain-lain...Kadang juga, mereka menaruh sebuah
pertanyaan eksentrik seperti menyediakan kolom kosong dan tertulis “Silakan
gunakan kolom tersebut untuk menceritakan tentang diri anda”.
Perusahaan penerbitan juga menyimpan dengan
baik setiap lamaran pekerjaan yang mereka terima tiap tahunnya, jadi akan
efektif jika kau bertanya ke Senpaimu yang kau kenal dari seminar ataupun klub
sekolahmu untuk menunjukkan contoh lamaran yang pernah mereka kirim!
Sebagai tambahan, mengenai CV...
Belakangan ini, banyak sekali formulir
lamaran pekerjaan yang tidak mencantumkan kolom asal universitas, jadi kau
tidak selalu diseleksi berdasarkan sisi akademismu. Bahkan, aku pernah
mengalahkan pelamar yang berasal dari universitas ternama. Banyak pelamar yang
menerima tawaran tidak resmi ini berasal dari bukan universitas ternama, tapi
kurasa alasan dibalik ini semua karena kebanyakan mahasiswa yang diterima di
universitas ternama itu berdasarkan dari nilai saja dan mereka adalah
orang-orang yang hanya memanfaatkan nama almamater saja, bukan berdasarkan
bakat tersembunyi mereka.
Mungkin perusahaan yang lain harusnya mulai
merekrut karyawan dari mengevaluasi calon pelamar secara menyeluruh tanpa
adanya bias.
Seharusnya juga, mungkin kita semua, para
pencari kerja, menilai sebuah perusahaan tidak berdasarkan nama ataupun nilai
mereka. Sangat mungkin kalau perusahaan dan para pencari kerja juga berada di
posisi yang sama dan mereka saling menyeleksi satu sama lain, itulah kunci dari
kesuksesan.
Aku ingin menyampaikan ini ke semuanya.
“Ketika kau menatap cukup lama ke neraka itu,
maka neraka itu akan menatap ke arahmu.” (Nietzsche).
Hoh...Tulisan ini sebenarnya cukup bagus
jika dilihat sekilas. Tapi, kenapa si Kenken ini menuliskan kata-kata Nietzsche
kepada pembacanya? Jujur saja, aku lebih suka jika Nietzsche sendiri yang
melakukannya.
Yukinoshita
yang melihat blog itu bersamaku menganggukkan kepalanya. Tapi Yuigahama dan
Isshiki memasang ekspresi jijik dan terlihat ragu.
“Banyak
sekali textnya...” gumam Yuigahama.
Kau tidak akan bisa membaca manga Conan jika
jumlah text seperti ini sudah membuatmu putus asa. Mungkin bagimu ini terlihat seperti banyak sekali kata-kata, tapi
sesuatu yang menarik tetaplah menarik!
Sambil memikirkan itu, pundakku ditepuk-tepuk oleh sesuatu.
“Ini agak
mengganggu, benar tidak...?” kata Isshiki yang kurang puas sambil menepuk-nepuk
pundakku dengan ujung jarinya.
Baikalh, mari kita hentikan kegiatan
menepuk-nepuk pundakku, oke?
Kurasa,
apa yang dirasakan Isshiki bisa dipahami. Entah mengapa, aku mulai menyukai
tulisan orang ini.
Mengesampingkan
misteri mengapa dia bersikap sombong dan angkuh, tapi isi tulisannya terdengar
seperti sesuatu yang kau baca dari tulisan mahasiswa yang berdedikasi tinggi.
Memikirkan kalau Universitas banyak memiliki manusia-manusia sejenis ini
membuatku malas untuk kesana...
Begitulah,
si Kenken ini atau entah siapa namanya bisa dikatakan memiliki start yang
bagus. Tapi motivasiku ini akan hilang jika tulisan selanjutnya tidak
seantusias bagian pertamanya. KinKi Kids atau Yoshida Terumi yang bisa
kupikirkan ketika membayangkan orang yang memiliki energi sebanyak ini.
“Fumu...Begitu ya, begitu. Aku mengerti sekarang, kurang lebih begitu.
Hachiman, lanjutkan ke halaman selanjutnya!”
Aku
sendiri ragu apakah Zaimokuza benar-benar paham, tapi aku mengangguk dan klik
halaman selanjutnya.
Kedua, Ujian Tulis.
Kebanyakan, perusahaan penerbit akan
mengadakan tes tentang pengetahuan umum, tapi ada beberapa yang memberikan tes
SPI. Mereka juga menjual buku panduan mengenai tes semacam itu, jadi akan lebih
bijak jika kau mempersiapkan itu sebelumnya. Bagi sebagian besar perusahaan,
SPI merupakan suatu keharusan. Di beberapa kasus, kau mungkin juga harus
mengambil tes SPI jika kau hendak berganti pekerjaan. Tidak ada salahnya jika
mempersiapkan itu. Materi mayoritas ujian tulisnya, dari pengalamanku sendiri,
perusahaan S dan K sering menanyakan pertanyaan yang bagus sedangkan Toko Buku
K berisikan pertanyaan yang buruk, terutama yang menjebak. Jadi bagi yang
berusaha melamar Toko Buku K, waspadalah!
Meskipun terdengar tenang, dia menyelipkan beberapa kata yang berbau
dendam kepada Toko Buku K...Dugaanku, si Kenken atau entah siapa ini gagal di
ujian tulis Toko Buku K.
“Hachiman, apa itu SPI? Ataukah itu Spy?”
[> note < Mengenai tes SPI. SPI sendiri
kepanjangan dari Synthetic Personality Inventory. Semacam sistem standar
penilaian perilaku manusia yang digunakan lebih dari 1000 perusahaan di Jepang.
Tingkat kesulitan berbeda-beda tergantung siapa yang menjalani ujiannya,
mahasiswa, SMA, dll. Edisi terbaru sistem penilaian ini adalah keluaran 2012.
Berbagai macam pertanyaan ada dalam ujian itu, dari matematika, bahasa,
ekonomi, dll. Sistem ini diklaim bisa menilai potensi sebenarnya dari manusia,
apakah dia mampu bekerja dalam grup, tipe pemimpin, tipe penyendiri, tipe makan
gaji buta, dll.]
Ketika
suara Zaimokuza terdengar dari atasku, Yuigahama bereaksi.
“Bukankah
itu semacam majalah? Karena ini berhubungan dengan perusahaan penerbitan,
kurasa kau harus membacanya, huh?”
“Apa yang
kau katakan barusan itu adalah majalah SPA...”
Sebuah
tes SPA? Anjrit tes apaan itu? Apa mereka
akan memberiku jawaban tentang “Sebutkan tigapuluh toko gyoza terpopuler
@Shinbashi” atau sejenisnya? Yang menakutkan menurutku adalah perusahaan
itu bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasa kau dapatkan di acara
Kuis Champions.
Tapi aku
sendiri tidak terlalu tahu mengenai ujian SPI, jadi aku ragu untuk menjawabnya,
tapi Yukinoshita langsung menekan mouse dan mengetik sesuatu. Dia membuka tab
baru dan memulai pencarian mengenai tes SPI.
“Sederhananya,
SPI adalah tes tentang perilaku. Sepertinya...Itu bisa menilai skill orang
seperti cara berlogika, mengkalkulasi sesuatu, dan kemampuan komunikasi yang
dimiliki oleh karakter seseorang melalui tes.”
Yukinoshita
memberitahukan hal-hal penting dan menjelaskan itu sambil mendorong bagian
tengah frame kacamatanya dengan jari tengah. Tapi bagi Yuigahama, tampaknya dia
tidak bisa memahaminya karena mulutnya sejak tadi dibiarkan terbuka begitu
saja.
“Ohhh...Jadi itu semacam tes psikologi atau semacamnya? Aku paham itu!”
kata Yuigahama dengan ceria, dan dia menatap ke arah Yukinoshita.
Yukinoshita
lalu melihat ke arah lain seperti menyerah akan sesuatu.
“...Well,
kurasa aku pemahaman seperti itu sudah cukup bagus.”
“Tidak,
itu jelas-jelas salah.”
“Yukinoshita-senpai, tolong jangan menyerah untuk menjelaskan
sesuatu...” kata Isshiki.
Setelah
berpikir sejenak, Yukinoshita menutup kedua matanya dan berpikir.
“Ku-Kuraasa begitu. Aku yakin bahkan Yuigahama-san bisa mengerti jika
berpikir sejenak dengan penjelasanku. Dengan cara dimana Yuigahama-san bisa
memahami itu...Dengan cara Yuigahama-san bisa memahami itu...” Yuigahama
mengatakan itu dengan pelan seperti mencoba sesuatu.
Melihat
hal itu, bahu Yuigahama terlihat menurun.
“Kebaikan
Yukinon terasa menyakitkan...”
Well,
mencoba menjelaskan atau memahami sebuah tes dimana kau sendiri tidak pernah
mengalaminya memang sulit. Kalau begitu, kau harus mencoba sendiri tes itu agar
bisa memahaminya. Suka atau tidak, kita semua pasti akan mengikuti tes ini
suatu hari nanti. Ugh, aku benar-benar
tidak ingin mencari kerja...
Tapi,
bagian bagusnya yaitu kau bisa mempersiapkan dirimu dengan baik ketika tahu kalau
tes SPI merupakan bagian dari tes tulis.
Jika
kautanya apa ujian tersulit dari penerimaan kerja, itu pasti wawancara yang
akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
Kalau
dipikir lagi, bagaimana si Kenken ini melewati semua halangan ini? Aku lalu
menekan bagian selanjutnya dari artikel ini.
Ketiga, wawancara pertama.
Kadang kau akan diwawancarai secara
berkelompok.
Ada seorang pria pewawancara di Perusahaan
Besar K yang berusaha memancing emosiku. Dia benar-benar menggangguku. Aku
benci pria itu selamanya.
Hanya ini saja tulisan bagian ketiganya. Kenapa kau tiba-tiba tidak menjelaskan panjang lebar lagi, Kenken? Tapi
kau masih saja menulis siapa saja orang yang kau benci, bukan begitu, Kenken?
Zaimokuza mencoba melihat lagi isi tulisan tersebut.
“Ooohn?
Hachiman, apa disini tidak ada tulisan lagi soal bagian ketiganya?”
“Sepertinya
begitu. Ayo kita lihat bagian keempatnya.”
Sedikit
sekali tulisan bagian ketiga ini, tidak ada satupun informasi yang kita
dapatkan.
Setelah
memastikan dengan Yukinoshita dan yang lainnya, aku lalu memindahkan mousenya
untuk klik bagian selanjutnya.
Keempat, Wawancara Kedua.
Ketika kujelaskan alasan mengapa aku melamar
perusahaan mereka, ada seorang pria dari Perusahaan F yang membuatku jengkel
dengan memberitahuku, “Oke, baguslah akhirnya kau bisa mengatakan itu! ^^”. Dia
mungkin semacam kepala editor atau sejenisnya. Aku jelas-jelas benci orang itu.
Isinya tidak menjelaskan apapun kecuali kebencian si Kenken.
Ketika
mengetahui kalau jurnal pengalaman kerja si Kenken ini semakin bertambah buruk
saja jika dibaca lebih jauh, ada suatu bagian dari dalam diriku yang mulai
tertawa secara perlahan-lahan.
Aku
bahkan bisa mendengar orang yang duduk disampingku mendesah.
“Setiap
halaman baru dibuka, informasi yang didapatkan semakin sedikit dan sedikit.”
“Sepertinya,
dia mulai lebih spesifik dengan hal-hal yang tidak penting...” Isshiki
mengatakan itu dengan senyum yang kecut.
Seperti
kata mereka, Kenken menulis informasi yang semakin sedikit dan tampaknya mulai
menderita depresi secara bersamaan. Bahkan aku mulai bersimpati ketika membaca
ini. Mencari kerja terdengar seperti
sesuatu yang berat...
Tapi ini hanya wawancara kedua. Masih ada tulisan bagian selanjutnya
yang merupakan bagian “Pengalaman Sukses
Kenken”.
Aku melemaskan tubuhku sebentar, mempersiapkan diriku, dan mulai klik
halaman selanjutnya.
Kelima, Wawancara Ketiga.
Wawancara yang membuat stress. Ada sekitar 10
pria paruh baya dari perusahaan K yang mewawancaraiku. Ini buruk sekali.
Mungkin sebenarnya jumlah mereka ada sekitar 20 orang. Ini buruk sekali.
Sekarang si Kenken bahkan tidak sekalipun menulis komplainnya.
Antusiasme yang ditunjukkan di awal telah menghilang seperti asap dan dia sudah
berada di depan pintu kematian. Kalau boleh, aku ingin memuji mentalnya yang
sudah sejauh ini menulis informasi-informasi semacam ini.
Tapi
dengan menceritakan tentang interview yang menyebabkan stress membuatmu
tertekan. Meskipun ini hanya perkenalan singkat, rasa takut dan putus asa
tentang buruknya wawancara jelas bisa dirasakan oleh pembacanya.
Meski
kita hanya bisa membayangkan saja, tapi wawancara yang dilakukan oleh karyawan
HRD perusahaan memang terdengar sangat sulit. Jika kau menghadapi para
orang-orang tua yang telah memakai setelan jas hitam bertahun-tahun ditambah
dengan jabatan menjanjikan seperti anggota dewan pimpinan, eksekutif perusahaan,
direktur manajemen, dan direktur eksekutif duduk berdampingan, bukankah itu
mirip SEELE? Ini bukankah impact yang biasa, tapi ini bisa dikatakan impact
ketiga.
“Kedengarannya
berat sekali...” Yuigahama mengatakan itu dengan pelan. Nada suaranya terdengar
antara simpati bercampur dengan sedih. Akupun juga, merasakan hal yang sama.
“Sepertinya tulisannya masih berlanjut...” kata Yukinoshita, mengatakan
itu dengan kesal. Bahkan kata-katanya itu terdengar seperti tidak menyarankan
untuk membuka halaman selanjutnya.
Tapi kita
sudah sampai sejauh ini, jadi kita harus – tidak, kita harus melihat ini hingga
akhir. Aku lalu mengoperasikan mouse itu dengan tangan yang bergetar dan masuk
ke halaman terakhir.
Keenam, Wawancara Terakhir.
Para bajingan klub mass-res itu berbohong dengan mengatakan kalau wawancara terakhir
itu hanyalah formalitas belaka untuk melihat kesungguhan calon karyawan dan
mustahil untuk ditolak. Jangan mempermainkanku. Mereka ternyata menolakku
setelah wawancara.
Jurnal tersebut berakhir disitu.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Kenken setelah itu? Memikirkan
nasibnya saja sudah membuat dadaku serasa sesak.
Tampaknya
aku bukanlah satu-satunya orang di ruangan ini yang mendesah.
Aku
merasa bersalah karena mengintip catatan hidup seseorang yang tidak berdaya
setelah menyaksikan langsung bagaimana medan pertempuran dari mencari sebuah
pekerjaan.
Lebih
dari itu, aku merasakan sebuah dorongan kuat agar diriku tidak bekerja dengan
orang yang membuat jurnal ini. Dia pada awalnya terlihat sangat antusias, namun
sampai di tengah, dia hanya mengutuk sana-sini dan komplain saja...
“Umm...Jadi,
apakah, si penulis ini akhirnya diterima kerja?” tanya Isshiki dengan jujur.
Yuigahama
seperti menyadari sesuatu. “Kau benar! Dia bahkan menyebut itu sebuah jurnal
sukses!”
“Ahh,
mungkin itu. Pada dasarnya sukses disini adalah saran-sarannya. Ini semacam
aturan-aturan dasar seperti latihan dengan ilusi dalam menangani orang-orang
serius yang terlibat dalam penerimaan pelamar.”
“Itu
terdengar seperti sebuah pencerahan kepada sendiri daripada sekedar latihan
dengan ilusi...” kata Yukinoshita sambil memegangi keningnya.
Well,
sebenarnya memang ada bagian dari artikel tentang pencerahan cara mencari
kerja...Maksudku, ketika kita surfing di web barusan, ada semacam kata-kata
yang menyolok seperti karakter pribadi, keinginan untuk tumbuh, dan hal-hal
lain. Tentunya, ini tidak terelakkan karena perusahaan sedang mencari sumber
daya manusia yang rajin dan bermental baja, tapi melihat bagaimana orang-orang
berusaha meniru agar terlihat seperti itu, orang-orang yang memiliki
kepribadian berbeda-beda memang sangat menakutkan.
Sekarang aku tahu banyak soal ini, dan ini
tidak terdengar seperti sebuah industri dimana aku akan bekerja kelak...
Karena
keinginan untuk bekerjaku seperti tenggelam entah kemana, Zaimokuza yang
berdiri di depanku berbicara dengan suara yang pelan.
“Hachiman, apa itu mass-res? Apa itu sesuatu seperti Anjing Chiba?”
“Mereka
tidak mirip satu sama lain. Memangnya kau sedang membicarakan Anjing Chiba yang
mana?”
Anjing
Chiba adalah maskot karakter dari Yayasan Lingkungan Kota Chiba, dan anjing
juga adalah salah satu bentuk geografis dari daerah Chiba. Kalau begitu, kau
bisa juga berpikir itu mirip dengan CHI-BA+KUN, tapi sebenarnya mereka adalah
makhluk yang berbeda satu sama lain. Anjing Chiba memiliki anjing dalam namanya, meski tidak melambangkan itu sama sekali.
Malahan, sebuah makhluk misterius yang mirip anjing bernama CHI-BA+KUN lebih
mirip anjing. Ada apa dengan selera orang Chiba ini? Daerah ini memang terlalu
keras kepala.
Setelah
mendengarkan, Yukinoshita memiringkan kepalanya seperti memikirkan sesuatu.
“Well,
sepertinya mass-res itu semacam
singkatan dari mass media research
society, seperti orang-orang yang mengaku praktisi dunia media massa.”
“Research...Sepertinya orang-orang itu
melakukan banyak sekali eksperimen.” Yuigahama menggumamkan itu sambil menatap
ke arah atap ruangan.
Dia
mungkin membayangkan beberapa hal mengenai eksperimen. Tapi imajinasi Nona
Gahama yang membayangkan orang memakai mantel lab putih sambil memegangi gelas
eksperimen merupakan sebuah kesalahan!
Tapi, ada
benarnya kalau kata research tidak
menunjukkan sesuatu yang khusus, jadi akan menjadi sesuatu yang sulit untuk
dibayangkan. Kalau menyangkut teknik-teknik ilmiah ataupun sejarah sesuatu
mungkin bisa, tapi kalau research
merujuk ke mass media research,
entahlah, aku tidak bisa membayangkannya.
“...Kurasa
kita harus cari tahu tentang mass-res kalau begitu.”
“Betul
sekali. Lakukanlah!”
Karena
Zaimokuza memberikan jawaban setuju sambil melambaikan mantelnya seperti
Professor Clark, aku mulai bertanya ke Google-sensei untuk jawabannya.
Aku
mencoba menulis sebuah nama universitas, menekan spasi, dan memasukkan “mass-res”.
Setelah
mengirimkan kata-kata itu untuk dicari, kita punya hasilnya. Hasil
pencariannya, banyak sekali kalimat-kalimat yang serius. Untuk gambar, banyak
sekali foto-foto orang memakai setelah jas sambil dihiasi moto hidup favorit
mereka. Lalu, banyak sekali komentar di bawahnya yang merupakan komentar
teman-teman mereka.
Foto-foto
tersebut beragam, ada foto yang sedang jalan-jalan ke India, mendaki Gunung
Fuji, Training Camp Barbeque untuk berburu pekerjaan, jadi aku tidak tahu researching macam apa yang sedang
dilakukan orang-orang ini.
Kututup
kedua mataku ketika sudah separuh membaca halaman itu. Tiba-tiba, aku
mendapatkan gambaran semacam apa kumpulan orang atau Klub Mass-res ini.
Pada
dasarnya, ini semacam Klub yang berisi alumni Universitas yang sama dan bekerja
di bidang media massa semacam Stasiun TV, Penerbitan Koran, atau Penerbitan
Buku. Disana, mereka saling berbagi informasi ataupun cara-cara agar bisa
bekerja di dunia mereka kepada junior-juniornya yang masih mahasiswa.
“H-Hei,
Hachiman, apakah aku harus bergabung dengan semacam Klub Mass-res ini agar bisa lolos menjadi bagian dari perusahaan
penerbitan? Apakah harus? Wajib?” Zaimokuza mengatakan itu sambil bergetar
hebat, terutama ketika melihat foto-foto itu.
“Well,
aku sendiri tidak akan mengatakan wajib.
Aku bahkan berpikir mungkin kau lebih baik tidak bergabung begitu saja hanya
karena sebuah halaman internet menuliskan sesuatu yang menarik...”
Tapi aku
yakin diantara banyak sekali klub
yang menyatakan kalau mereka adalah Klub Praktisi Pekerja Media Massa atau
Periklanan, pasti ada yang benar-benar melakukan sesuatu yang benar kepada
juniornya yang sedang mencari kerja.
Tapi
membaca hal-hal serius semacam ini membuatku berpikir tentang Si Tamanawa,
Ketua OSIS SMA Kaihin, jadi aku tidak punya gambaran positif sama sekali soal
itu.
Sambil
melihat ke website itu, ada sebuah kalimat yang menarik perhatianku.
Salah
satu sudut website itu tertulis “Ujian Masuk Keanggotaan”. Mereka ternyata
memiliki semacam ujian tulis yang menanyakan pengetahuan umum, beberapa member
senior klub itu, dan juga ada ujian wawancaranya.
“Sepertinya
kau harus menempuh ujian tulis dan wawancara untuk bergabung dengan Klub Mass-res atau entah apa namanya
ini.”
Aku lalu
menunjuk bagian itu dengan jariku dan Isshiki terlihat kurang bersemangat.
Dengan suara yang sedih, dia mengatakan, “Ahh, kurasa itu mustahil...”
“Hmm...Hachiman.
Aku tidak ahli kalau masalah wawancara...”
“Aku tahu
itu.”
Sudah jelas dari sikapmu... Tapi aku
sendiri juga lemah dalam wawancara. Ada beberapa momen dimana aku gagal dalam
wawancara pekerjaan paruh waktu, jadi aku tidak hanya gagal dalam bekerja paruh
waktu, aku juga gagal dalam wawancara kerja.
Sambil
bernostalgia dengan diriku yang menjadi manusia tidak berguna di masa lalu,
Isshiki menunjukkan sesuatu dengan jarinya. Dia mengatakan sesuatu.
“Tapi
tahu tidak, bukankah Yui-senpai ini tipe-tipe orang yang akan lolos ujian
semacam ini?”
“Huh,
kenapa begitu? Aku buruk sekali dengan ujian dan sejenisnya...”
Seperti
terkejut karena disebut tiba-tiba, Yuigahama mengutarakan ketidaksetujuannya.
Dia melihat ke arah Isshiki sambil mengedip-ngedipkan matanya, Isshiki lalu
scroll ke bawah layar laptop.
“Ah,
bukan begitu. Melihat foto-foto di website ini memberikan gambaran kalau
komunitas mereka itu mirip dengan komunitas di sekolah kita, jadi kupikir akan
sangat mudah karena mereka kemungkinan besar akan membiarkan orang-orang tampan
dan cantik lolos begitu saja.”
“Well,
itu ada benarnya juga.”
Kalau
kita mengesampingkan ujian tulis, Yuigahama tampak seperti orang yang bagus
dalam wawancara. Dia mungkin bisa berkomunikasi dengan para pewawancara itu.
Ketika
aku mengangguk mendengar kata-kata Isshiki, Yuigahama yang terkejut ketika
orang mengatakan itu tiba-tiba wajahnya memerah. Dia lalu mengelus sanggul
rambutnya dan menatapku. “Be-Benarkah?”
“Yeah,
jika itu kau yang diwawancarai, Yuigahama, kau tampaknya bisa cocok dengan
suasana menjengkelkan yang sejenis happy-go-lucky.”
“Apa itu
alasanmu!? Aku ternyata senang untuk sesuatu yang salah...”
Yuigahama
menurunkan bahunya dan menatap tempat lain.
Bukan, bukan, bukannya kau ini tidak cantik
atau sejenisnya. Aku hanya mengatakan kalau itu dirimu, kau bisa beradaptasi
dengan suasana ala ‘go-go’ mahasiswa. Ya, kupikir hanya kau saja, tahu tidak,
aku sendiri tidak berpikir kalau kau mengikuti ‘permainan’ mereka bukanlah hal
yang bagus!
“Well, bagaimana dengan ini? Uh, orang-orang menilaimu berdasarkan
penampilan, tapi yang paling penting adalah yang di dalamnya...Faktanya,
mungkin ada baiknya menghindari klub-klub sejenis yang menampilkan
tampilan-tampilan orang tampan dan cantik serta membuat pembacanya terlihat
antusias. Meski aku sendiri kurang yakin.”
“Eh? Mmm,
well, kurasa itu ada benarnya. Yeah...”
Yuigahama
tampak tidak sepenuhnya setuju, tapi dia mulai mengangguk.
Mendengarkan
itu sejak awal hingga akhir, Isshiki lalu mengatakan sesuatu degan suara yang
pelan.
“...Senpai,
kau ini buruk sekali dalam merespon kata-kata orang.”
Sial. Jika aku bagus dalam hal itu, aku
pasti lolos dalam wawancara kerja.
“Kalau
begitu, aku juga tidak begitu yakin tentang tujuan mereka yang hanya
mengumpulkan orang-orang bernilai sama. Aku tidak bisa membayangkan mereka
berniat untuk berkembang jika menutup kelompok mereka dengan semacam lingkungan
yang homogen atau dimonopoli...”
Yukinoshita yang sedari tadi mendengarkan percakapan kami dari samping
melihat ke arah website tersebut dengan penuh keraguan.
Zaimokuza
lalu memukul tangannya sendiri.
“...Hapon.
Jadi yang ingin kau katakan, jika aku ingin memberikan contoh karya, seorang
produser dari sebuah perusahaan game akan membuat sebuah game yang akan booming
karena dia sudah memutuskan akan membuat sebuah game yang bukan karya tiruan
game perusahaan lain dan menolak untuk merilis game itu karena ada kemungkinan
akan dituntut masalah hak cipta karya oleh perusahaan lain, perusahaan semacam
itu memonopoli majalah game...! Kupikir itu normal-normal saja?”
“Aku
tidak tahu kau ini sedang mengatakan apa karena yang kudengar itu hanyalah
hal-hal yang rumit saja, dan aku yakin kau ini sedang membicarakan sesuatu yang
berbeda, tapi mungkin saja kau ada benarnya.”
Aku
meresponnya seperti mengatkan “kampret,
orang ini ngomong apaan?” – sederhananya, omongannya itu – dan Zaimokuza
mengangguk.
“Seperti
yang kuduga! Internet itu menulis kebenaran!”
Wow, internet luar biasa. Memangnya kau ini
menuliskan keyword apa sehingga bisa memunculkan kesimpulan seperti itu? Ampun
suhu! Tapi, bagi generasi yang akan datang, aku merasa kalau suhu dalam dunia per-Googling-an mungkin
diperlukan. Dan itu merupakan bakat bagi generasi saat ini.
Ketika
aku mulai kagum – di beberapa hal – dengannya, Zaimokuza memunculkan aura
semangat yang berapi-api.
“...Sial!
Jadi yang bersalah membuat orang dengan bakat terpendam sepertiku tidak bisa
debut adalah sebuah kerajaan jahat, sebuah perusahaan penerbit raksasa, dan
mereka memonopoli pasar, benar tidak!?”
“Kau
salah.”
Ya, ya, kau sebaiknya mulai dulu menulis,
oke?
x x x
Kami lalu
istirahat sejenak untuk meminum teh dan berkumpul lagi di depan laptop.
Karena
jurnal Kenken tidak begitu banyak memberikan informasi, kita memutuskan untuk
mencari website yang sejenis.
Di
beberapa website yang menyediakan informasi mengenai mencari pekerjaan, ada
beberapa komentar dari orang yang bekerja di bidang tersebut dan juga berasal
dari perusahaan yang menjadi tujuan para pelamar di websitenya, jadi itu bisa
dijadikan referensi yang bagus.
Dan
diantaranya, kami mendapatkan info yang tidak kalah mengejutkannya.
“Peluang
bekerja di penerbit kelas atas benar-benar gila...Ribuan pelamar dan hanya lima
belas yang diterima...?”
“Sebenarnya
perusahaan tidak menyebutkan berapa pelamarnya, mereka hanya menyebutkan berapa
pelamar yang diterima saja. Mungkin saja jumlah pelamarnya itu puluhan ribu,
bukan ribuan lagi.”
Setelah
mendengarkan angka-angka dari Yukinoshita, Yuigahama terlihat kagum.
“Woow,
menjadi editor seperti sebuah pekerjaan yang berat.”
“Ini lima
belas hanyalah jumlah orang yang diterima, jadi kalau kita sebarkan orang-orang
itu ke berbagai sektor, para pelamar yang benar-benar menjadi editor penerbitan
harusnya jumlahnya kurang dari lima belas.”
Penjelasan Yukinoshita memang benar. Akan ada pelamar yang ditempatkan
di Urusan Umum, Penjualan, dan juga bagian Editorial. Dan di bagian Editorial
masih ada bagian Light Novel.
Zaimokuza
mengincar Editorial saja, tidak ke bagian spesifiknya, kurasa paling tidak akan
ada satu atau dua pelamar baru yang diterima disana. Bagi karyawan baru, jika
mereka tidak beruntung, mungkin saja mereka awalnya tidak langsung bekerja
disana, tapi ditempatkan di bidang yang lain dahulu.
“M-Mph...G-Gununu...Begini
ya, ternyata menjadi penulis Light Novel memang lebih sederhana...”
“Mungkin.”
Kalau
mempertimbangkan peluang suksesnya, mungkin akan lebih mudah jika kita bekerja
sebagai penulis light novel di GaGaGa Bunko daripada jadi editornya. Lagipula,
tidak ada tes wawancara bagi penulis light novel.
Mumpung
disini, kita mungkin bisa mencari tahu bagaimana peluang diterima sebagai
penulis light novel di GaGaGa Bunko. Ketika aku hendak meraih mouse laptop ini,
tanganku ditarik-tarik dari belakang.
“S-Senpai,
to-tolong tunggu sebentar.”
Suara
Isshiki seperti bergetar hebat ketika dia menghentikan tanganku.
“A-Ada
apa?” tanyaku.
Sambil
mengatakan “Mm! Mm!”, Isshiki menunjukkan sesuatu dengan jarinya ke satu bagian
di layar laptop.
“Lihat
ini! Lihat!”
Memangnya ada apa...? Pikirku. Ketika
kulihat, dia menunjuk ke sebuah komentar dari pegawai penerbitan. Dia
memperkenalkan dirinya dan memberitahukan pekerjaannya, asal universitasnya, bidang
spesifik yang dia kerjakan, jam kerjanya, dan begitulah. Setelah kuikuti
tulisannya, kedua mataku berhenti di satu titik.
“Gaji
senilai 10 Juta Yen setahun dalam usia 25...”
Ini pasti becanda, mustahil. Perusahaan
penerbit raksasa memang luar biasa...Baru lulus kuliah dan dia sudah
berpenghasilan segitu? Tambahan lagi, gajinya bisa terus bertambah di masa
depan? Orang ini benar-benar seorang juara...
Aku
berdiri disana karena terkejut, dan aku bisa mendengar suara tarikan napas yang
dalam dari belakangku. Ketika kulihat, Isshiki menaruh tangan kirinya di dagu
dan tersenyum ceria.
“Aku akan
menikahi editor penerbitan.”
“Tidak,
tunggu, tenang dulu. Kalau ada, akulah yang akan menikahi editor penerbitan.”
“Kaulah
yang harusnya tenang dulu...”
Ketika
Yukinoshita mengatakan itu seperti tidak percaya apa yang dia lihat, aku kembali
ke diriku.
Yuigahama
yang ada di sampingku menggumam.
“Editor...Editor,
huh...Mmm...”
“Well,
bukankah punya semacam cita-cita itu adalah hal yang bagus? Aku sendiri setiap
harinya mencoba menggapai cita-citaku, termasuk barusan.”
“Hoh,
cita-cita kah...” Akupun menatap
Isshiki dengan tanda tanya karena yang barusan dia katakan tidak mirip dengan
dirinya.
Tapi, dia
menaruh jari telunjuknya di dagu dan memiringkan kepalanya.
“Tentunya,
aku sendiri berencana berhenti kerja setelah beberapa tahun menikah, tahu
tidak?”
“Sebenarnya
apa yang sedari tadi kau pikirkan...?” kata Yukinoshita.
Isshiki
kemudian membusungkan dadanya.
“Maksudku,
aku sendiri tidak begitu bagus dalam belajar dan aku sendiri tidak berkeinginan
mengejar cita-cita bekerja di sesuatu...”
“Aku
benar-benar paham itu. Aku juga sama sepertimu...”
Yuigahama
menurunkan bahunya dan Isshiki juga mengangguk. Seperti menyadari sesuatu, dia
lalu melihat ke arah Yukinoshita.
“Oh,
bagaimana dengan Yukinoshita-senpai, bukankah Senpai ini seperti tipe pekerja?”
Yukinoshita mengedip-ngedipkan matanya mendengar pernyataan yang
mengejutkan itu.
“Aku...”
Yukinoshita tampak ragu, seperti tidak menduga akan ada pertanyaan
seperti itu dialamatkan kepadanya. Dia membuka bibirnya seperti hendak
mengatakan sesuatu, tapi dia tidak mengatakan apapun.
Ketika
dia memalingkan pandangannya ke arah lantai, bulu matanya yang lentik mengarah
ke bawah. Ketika melakukan itu, aku bisa melihat lehernya yang kurus itu
diantara celah rambutnya, juga kulitnya yang putih itu, membuatku secara
otomatis berusaha menahan napasku.
Kedua
tangannya berada di atas roknya, dan secara perlahan-lahan dia muai meremas
roknya.
“Kupikir...Dulu
aku pernah punya rencana seperti kalian...Tapi sekarang, aku sendiri tidak
begitu yakin dengan itu,”
Yukinoshita menegakkan kepalanya dan mengatakan itu, memasang senyum
dengan ekspresi malu-malu.
“Well,
aku pikir itu wajar. Itu adalah sesuatu yang bisa dipikirkan di lain waktu,
lagipula, itu masih lama.” Isshiki mengatakan itu dengan ceria.
Meski
Isshiki mengatakan itu, tidak ada satupun yang meresponnya.
Kupikir
Yuigahama dan diriku tidak mendengarkan kata-katanya.
Karena,
jawaban dari Yukinoshita sendiri memang diluar dugaan.
Tidak
banyak siswa yang bisa memberikan jawaban langsung mengenai masa depannya.
Tapi, kupiikir – entah mengapa – Yukinoshita sudah memutuskan masa depannya.
Mungkin aku sudah memaksakan ilusi yang kuciptakan ini kepadanya.
Meski
begitu, entah mengapa hatiku ini merasakan sesuatu yang kurang nyaman.
Aku lalu
menopang daguku dengan tangan kiriku dan menatap ke arah Yukinoshita. Ketika
dia menyadari itu, dia memiringkan kepalanya karena penasaran dan menungguku
untuk mengatakan sesuatu.
Dia lalu
melihatku balik sambil mengatakan “umm...” dan aku lalu menggeleng-gelengkan
kepalaku, mencoba memberitahunya kalau “tidak ada apa-apa”. Dia lalu
menganggukkan kepalanya.
...Well, Yukinoshita sendiri masih kelas dua
SMA. Tidak ada salahnya kalau dia tidak yakin dengan sesuatu di masa depan.
Faktanya, dia memilih untuk tidak mengatakan sesuatu karena itu masih belum
jelas baginya, itu juga bisa menjadi alasannya, juga.
Ketika
aku memikirkan itu, aku mencoba menelan rasa kurang nyaman itu dan menatap ke
depan.
Kedua
mataku bertemu dengan Zaimokuza yang sedari tadi menggerutu dan menyilangkan
tangannya.
“Hachiman,
bagaimana denganmu?”
“Hmm,
aku?”
“Kurasa tidak
ada gunanya bertanya soal Hikki...” Yuigahama menatapku dengan tatapan yang
dingin dan akupun mengangguk.
“Well, kurasa
begini. Secara fundamental, aku ingin menjadi suami rumahan.”
“Yep,
sudah kuduga...”
“Kusarankan
agar kau mencari tahu makna ‘fundamental’ yang sebenarnya...”
Yuigahama
memiringkan kepalanya sementara Yukinoshita menekan keningnya dengan menutup
matanya. Lalu, Isshiki menepuk bahuku. Ketika kulihat, kedua matanya
berbinar-binar seperti hendak membicarakan sesuatu yang rahasia, dia lalu
menaruh tangannya di mulut dan berbisik di telingaku.
“Senpai,
kurekomendasikan untuk menjadi editor penerbitan.”
“Aku
tidak akan menjadi itu, aku tidak mau bekerja, dan aku tidak akan mencari
pekerjaan.” jawabku, sambil berusaha menggoyang-goyangkan tubuhku dari aroma
Anna Sui dan desahan napasnya.
“Lagipula,
tidak mudah untuk menjadi editor. Beda ceritanya jika kau berusaha keras dari
sekarang.”
“Umuu,
memangnya aku harus berusaha keras selama berapa tahun sejak
sekarang...Kedengarannya melelahkan...”
Zaimokuza
memegangi kepalanya sambil menggerutu. TIba-tiba, kedua matanya terbuka, dia
membetulkan posisi berdirinya dan berteriak.
“...Memang,
bukanlah hal mudah menjadi editor! Aku tahu itu, penulis light novel adalah
yang terbaik! Kalau begitu, Hachiman, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi!
Ayo kita mulai bekerja!”
Sebelum
dia menyelesaikan kata-katanya, dia sudah lari ke pintu. Dia lalu berhenti di
pintu dan membalikkan badannya.
“Hachimaaan!
Ayo cepat!”
Mengapa
dia masih saja berharap dan memanggilku? Dia jelas-jelas terlihat seperti pria
yang mencurigakan, tapi bagi dirinya yang tiba-tiba punya senyum yang ceria
seperti itu, entah mengapa terasa menyenangkan bagiku.
“Kenapa
kau tidak menemaninya dulu?"
“Yep,
yep.”
Yukinoshita dan Yuigahama mengatakan itu dengan senyum yang kecut.
“...Well,
aku bertanggungjawab mengenai dia, jadi kurasa aku memang harus pergi.”
Aku lalu
berdiri, di saat yang bersamaan, Irohasu mulai mencari-cari sesuatu di komputer
itu.
“Kira-kira
jika menerbitkan semacam koran itu mudah tidak ya...?”
Kau jauh berbeda dengan Zaimokuza, tahu
tidak...
x x x
Langit
yang terlihat dari jendela terlihat biru dan jelas. Anehnya, aku tidak merasa
hangat sedikitpun. Mungkin ini efek dari sunyinya perpustakaan di sore hari.
Dengan
tidak ada seorangpun di sekitar kami, perpustakaan sekolah ini bisa dibilang hampir
kosong. Aku bisa merasakan ada petugas perpustakaan sedang menaruh beberapa
buku di rak, tapi aku tidak bisa melihat sosok petugas itu dari tempatku duduk.
Duduk di
seberangku, Zaimokuza yang sedari tadi menulis dengan pensilnya, tiba-tiba
terhenti.
Entah
kehabisan tenaga atau ide, Zaimokuza mengatakan sesuatu.
“Fumu,
haruskah akhirnya cita-citaku ini berakhir menjadi penulis light novel? Aku
tidak akan bisa menikahi seiyuu.”
“Kalau
kau mensyaratkan bisa menikahi seiyuu sebagai tujuan akhir pekerjaanmu, maka
semua pekerjaan bisa...Bahkan editor juga memiliki peluang yang sama.”
“Begitu
ya. Menjadi penulis light novel kurasa kurang bagus dan menjadi editor juga
terasa mustahil...” kata Zaimokuza, menggerutu. Tapi, kedua matanya bersinar
dan dia berdiri.
“Aku
paham sekarang! Kalau begitu, jaman modern sekarang ini tentang sutradara! Aku
ingin membuat anime! Don-don-donuts!”
Suaranya
menggema di ruang perpustakaan yang sunyi ini. Aku tidak bisa melakukan apapun
kecuali tersenyum kecut ketika gema suaranya terhenti.
“...Well,
kalau kau suka yang seperti itu, silakan saja.” kataku.
Zaimokuza
mengedipkan matanya karena terkejut.
“Mu,
mengapa kau mengatakan sesuatu seperti yang dikatakan sahabat atau
sejenisnya...? H-Hei, hentikan itu. Hubungan kita tidaklah seperti itu,
paham...?”
“Jangan
gugup dan malu, itu sangat menjijikkan. Aku sudah menyerah soal dirimu, idiot.
Terserah kamu saja, cepat tulis itu! Aku tidak bisa pulang jika begini.”
“Mu.
Benar...Oke, ayo kita tulis.”
Zaimokuza
meneriakkan itu dengan enerjik dan dia tiba-tiba menjadi penurut sekali. Dia
lalu mulai menulis. Ohh, ternyata kau
masih berencana menjadi penulis light novel, huh? Mengejutkan.
Bahkan Zaimokuza yang tidak menunjukkan tanda perkembangan saja mulai
sedikit berubah. Meski dia telah melewati banyak sekali jalan seperti jalan
kabur, jalan pintas, jalan berputar, dan seterusnya, dia masih berusaha
mencapai tujuannya. Dalam kasus Zaimokuza, tujuannya yaitu menikahi seiyuu
kurang lebih sudah dikutuk.
Meski
begitu, seperti caranya menyelesaikan tulisannya, kata demi kata, kalimat demi
kalimat, dia terus mengumpulkan itu secara perlahan di hidupnya dan mungkin
suatu saat dia akan menghasilkan sesuatu.
Setahun
tersisa bagiku hingga aku lulus SMA. Setelah itu, dengan asumsi aku ikut
bimbingan ujian universitas dan masuk universitas tanpa masalah, itu berarti
lima tahun lagi aku akan masuk ke dalam komunitas sosial.
Lima
tahun.
Terdengar
seperti sebuah waktu yang lama, tapi terasa pendek seperti hilang dalam satu
kedipan mata. Kupikir dalam proses perkembangan kita semua, waktu itu terasa
semakin pendek saja. Dan pastinya, waktu satu tahun yang telah kujalani ini
tidak akan sama seperti satu tahun yang akan datang.
Tidak
hanya sebatas rentang waktu saja, tapi juga berbeda dalam hal nilainya.
Mungkinkah
hal-hal kecil seperti diriku yang sedang menatap langit ini memiliki sebuah
nilai...
Oleh
karena itu, kupikir aku akan terus melihat pemandangan langit yang sedang
membara ini, langit sore yang indah ini, lebih lama lagi.
x Chapter I | END x
Sebenarnya, di chapter ini sudah memberi tanda kemana Watari akan mengarahkan 'pasangan' disini. Tapi, itu semua hanya pendapat saya. Silakan dibaca bagi yang mempercayai itu, yang punya analisis sendiri, bisa skip ataupun menulis versinya di komentar.
Pertama, tentang pertanyaan Hachiman tentang keinginan untuk memiliki pacar ketika kuliah. Apa maksud respon Yukino, dan apa maksud respon Yui?
Yukino memalingkan wajahnya karena ada sesuatu yang memalukan jika diteruskan. Sedangkan Yui memasang wajah kurang senang karena ada sesuatu yang tidak menyenangkan dari kata-kata tersebut. Yukino menegaskan "begitu ya...semua orang..." itu artinya Hachiman termasuk di dalamnya. Secara tidak langsung, Hachiman mengatakan kalau dia ingin punya pacar ketika kuliah nanti.
Mari kita kembali ke volume 10 chapter 7, Hachiman bertanya jurusan Yukino, lalu Yukino menjawab. Setelah itu, Yukino mengajak Hachiman kuliah bersama, Hachiman menyetujui itu. Sekarang Hachiman berencana untuk punya pacar ketika kuliah nanti. Mudah saja untuk menebak pikiran Yukino kalau Hachiman akan menembaknya ketika kuliah nanti. Sedang Yui, dia mengintip adegan UKS, jelas kata-kata Hachiman itu tidak menguntungkan dirinya karena tiba-tiba Hachiman sudah menentukan tanggal main kapan dia akan menembak Yukino.
Mungkin, ini juga yang menjadi pendorong Yui untuk segera bertindak dengan menembak Hachiman, karena limit waktu mereka tinggal satu tahun lagi. Lebih dari itu, Yukino dan Hachiman akan kuliah bersama dan Yui memiliki gambaran apa yang akan terjadi kepada mereka di perkuliahan nanti.
Kedua, sebenarnya...apa yang terjadi dengan Kenken? Apa-apaan analisis ini!?
Ketiga, Hachiman diberi kode oleh Iroha kalau dia mau menjadi istri Hachiman. Oleh karena itu, Iroha menyarankan Hachiman menjadi editor.
Keempat, keinginan Yui di masa depan, bekerja sampai menikah, berhenti bekerja, lalu menjadi Ibu rumah tangga. Secara tidak langsung, Yui mau tidak mau harus memaksa Hachiman untuk berubah menjadi pekerja yang rajin untuk membiayai rumah tangga mereka. Sederhananya, untuk mewujudkan mimpinya, Yui harus memaksa Hachiman berubah.
Kelima, Yukino ternyata awalnya punya keinginan untuk bekerja, lalu setelah menikah menjadi Ibu rumah tangga. Tapi kita harus camkan, saat ini Yukino tidak yakin dengan rencana masa depannya itu. Sebenarnya ini cukup sederhana.
Mari kita telaah lagi, jika Yukino tidak yakin, artinya ada peluang rencana tersebut berubah. Artinya Yukino tidak akan berhenti bekerja meski sudah menikah. Ini artinya, pasangannya (suaminya) ada kemungkinan awalnya akan bekerja tapi setelah menikah, suaminya akan berhenti bekerja/ sejak awal tidak bekerja dan menjadi suami rumahan. Jadi Yukino akan tetap bekerja untuk membiayai rumah tangganya.
Kita semua tahu siapa pria yang berniat akan menjadi full suami rumahan ketika menikah nanti...Ini menjelaskan mengapa Yukino malu-malu mengatakannya.
Tapi Yukino tidak bisa menolak untuk menjawabnya, karena ini berhubungan dengan dirinya dan Hachiman, dan Yukino sudah berjanji kalau dia akan menjalankan request Hachiman tentang hal genuine.
Keenam, tentang sesuatu yang mengganggu di hati Hachiman ketika mendengar kata-kata Yukino yang tidak yakin tentang menjadi Ibu rumah tangga. Cukup mudah, itu karena cita-cita Hachiman yang ingin menjadi suami rumahan membuat Yukino harus mengalah dengan cita-citanya, dan menyesuaikan diri dengan cita-cita Hachiman.
Ketujuh, Hachiman mencoba memastikan kata-kata Yukino itu tersebut, menatapnya, lalu Hachiman mengatakan 'tidak ada apa-apa'. Hachiman sudah memperoleh kepastiannya. Hachiman tahu kalau Yukino sengaja merubah impiannya untuk menyesuaikan impiannya dengan Hachiman.
Ini dipertegas dengan monolog bohong Hachiman yang memaklumi Yukino belum memutuskan sesuatu soal masa depannya. Hachiman jelas tahu kalau keputusan masa depan Yukino tergantung keputusan Hachiman mengenai masa depannya. Jika Hachiman memutuskan bekerja, maka Yukino bisa menjadi Ibu rumah tangga. Jika Hachiman ingin menjadi suami rumahan, Yukino harus bekerja.
Tapi monolog itu bisa berubah dari bohong menjadi benar jika kata-kata Hachiman Yukino masih bisa memutuskan masa depannya, jika Hachiman tidak lagi berniat menjadi suami rumahan. Lalu, ada monolog menarik muncul di akhir chapter.
Hachiman menghitung tahun yang tersisa, dan menyimpulkan kalau dia punya 5 tahun tersisa, sebelum masuk ke komunitas sosial masyarakat. Ini aneh, karena Hachiman bercita-cita tidak bekerja, tidak membaur dengan masyarakat, dan menjadi suami rumahan. Singkatnya, Hachiman memutuskan berubah.
Hachiman melihat Zaimokuza yang berubah, Hachiman memutuskan untuk berubah. Dia memutuskan kalau 5 tahun lagi dia akan masuk ke masyarakat, bekerja. Ini menarik, karena saya tidak pernah melihat Hachiman yang seperti ini. Dengan kata lain, Hachiman memutuskan untuk bekerja agar Yukino memiliki kembali pilihan impiannya. Yukino bisa bebas memilih menjadi Ibu rumah tangga atau wanita karir.
Kadang ada pertanyaan, bagaimana jika Hachiman mengubah pendiriannya demi impian Yui atau Iroha, bukan Yukino? Hachiman memilih bekerja karena ingin menjadi suami Yui, misalnya? Kita kembali ke monolog Hachiman, ketika mendengar impian gadis yang mana...hati Hachiman merasa tidak nyaman. Disitu, Hachiman mulai tergerak.
Analisis nomor 7 ini mengingatkan saya tentang sesuatu, mungkinkah ini 'nilai moral' yang hendak ditanamkan oleh Watari? Dibalik sukses seorang pria, ada tangan-tangan wanita yang luar biasa. Sikap Hachiman yang memilih untuk menjadi suami rumahan, tidak bekerja, dan anti-sosial berubah seketika hanya karena mendengar si gadis merelakan impiannya demi Hachiman.
Chapter ini juga menjadi sebuah perbandingan menarik antara 3 gadis saat ini, yaitu Iroha, Yui, dan Yukino. Mari kita telaah satu-persatu.
Iroha ingin Hachiman berubah, memaksanya menjadi editor(bekerja) jika ingin menikahinya. Impian Yui memaksa Hachiman untuk berubah, menjadi pria pekerja. Tapi Yukino tidak ingin memaksa Hachiman berubah, menerima Hachiman apa adanya (suami pemalas).
Menurut anda, gadis mana yang terbaik?
GaGaGa Bunko itu penerbit LN Oregairu
BalasHapusSi KenKen anjir bngt ngakak gw baca
BalasHapusSi KenKen anjir bngt ngakak gw baca
BalasHapusApa kenken itu cerita masalalu watari? Kurasa iya haha... yap di chapter ini sangat menarik karna kode kodenya kebaca dengan jelas. Dan juga salah satu chapter oregairu yang langsung gue baca ulang karna sangat menarik
BalasHapus