x x x
Riffle riffle. Begitulah
suara kartu yang sedang dikocok
mengisi suara ruangan ini.
Daifugo, juga dikenal dengan nama Daihinmin,
adalah sebuah permainan kartu yang menggunakan set kartu biasa.
“Umm, apa kalian tahu aturan main di
Daifugo?” tanya Hatano.
Kami semua mengangguk. Hanya Yukinoshita yang
terlihat penasaran.
“Aku belum pernah memainkannya...Kalau ini
semacam poker, kurasa aku paham.”
“Oh, kalau begitu akan kujelaskan secara
singkat aturannya.”
Sagami lalu menceritakan rangkuman aturannya.
“Pertama, kartu dibagikan dengan jumlah yang
sama ke masing-masing player.”
Meski
di kehidupan nyata, mereka tidak akan membagikan kartunya sama rata...
“Kedua, ketika permainan dimulai. Si pembagi kartu
menjabat sebagai dealer, itu adalah
player pertama yang akan membuang kartunya, player lain akan bergiliran untuk
membuang kartunya ke tengah searah jarum jam.”
Di
kehidupan nyata, mereka selalu melupakan giliranku, dan ada orang yang
seenaknya saja menyerobot antrean.
“Ketiga, tiap kartu itu ada nilainya. Kuurut dari
yang terlemah ke terkuat: tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan,
sepuluh, jack, ratu, raja, as, dua – semacam itu. Kartu joker itu bernilai
paling tinggi dan bisa menjadi pengganti kartu apapun jika hendak melemparkan
kartu kombinasi.”
Dalam
kehidupan nyata, kekuatan seseorang tidak didasarkan oleh kemampuannya semata,
tapi banyaknya koneksi dan uang juga memainkan peranan penting.
“Empat, player hanya boleh melempar kartu yang
nilainya lebih tinggi dari yang baru saja dibuang oleh player sebelumnya. Kalau
dealer melempar dua kartu, maka player lain harus melempar dua kartu untuk
menyamainya.”
Di
kehidupan nyata, kau tetap harus memainkan kartu-kartu lemahmu meski kau tahu
itu tidak akan membuatmu menang. Kau menjadi tumbal atau kambing hitam.
“Lima, ketika tiba giliranmu, kau tidak diwajibkan
harus melempar kartu juga, kau bisa mengatakan ‘pass’.”
Di
kehidupan nyata, mereka tidak akan membiarkanmu ‘pass’.
“Enam, ketika semua player ‘pass’ dan giliran melempar kartu adalah
player yang sama dengan yang melempar kartu sebelumnya, maka player tersebut
menjadi dealer yang baru. Kartu-kartu
yang ada di tengah akan disingkirkan dan dealer
akan melemparkan kartu barunya.”
Di
kehidupan nyata, masa lalu tidak akan pernah bisa disingkirkan.
“Tujuh, ulangi terus langkah-langkah itu, dan
player pertama yang kartunya habis, maka menjadi Daifugo (Milyader), dan
setelahnya menjadi Fugo (Milyuner), Heimin (Warga kelas menengah), Hinmin
(Warga kelas bawah), dan Daihinmin (Fakir Miskin).”
Itu
adalah hal yang menggambarkan realita di kehidupan nyata. Kenapa bisa seakurat
ini? Ini membuatku kesal.
“Juga, sebelum permainan dilumai, Milyader bisa
mengambil dua kartu terbaik dari Fakir Miskin dan menukarnya dengan kartu
apapun yang Milyader miliki.”
Dengan kata lain, ini adalah game yang
merupakan cerminan bagaimana kehidupan masyararakat modern Jepang. Mereka yang
menang akan punya keuntungan dan diperbolehkan untuk membuat orang miskin
semakin melarat.
...Ampun
dah, game sialan.
“Begitu ya. Kurasa aku mulai paham.”
Yukinoshita mengangguk setelah dijelaskan.
Seperti biasanya, dia orangnya cepat dalam menangkap penjelasan orang lain.
“Tunggu, bagaimana dengan aturan kartunya?”
Zaimokuza menanyakan itu. Hatano sendiri meresponnya dengan sedikit menaikkan bahunya. Dia
benar-benar menganggap remeh Zaimokuza.
“Ada orang yang baru main game ini disini, kurasa
kita pakai aturan yang sering dipakai warga lokal saja.” kataku. “Bagaimana
jika memakai aturan Chiba?”
“Umm...Memangnya aturan kartu ala Chiba seperti apa?” Sagami
menanyakan itu karena penasaran.
Huh?
Apa kau tidak tahu kalau lokal itu
berarti Chiba? Well, sudahlah. Akan kujelaskan dengan singkat.
Daifugo sendiri, memiliki beberapa aturan
yang berbeda sehingga memberikan nuansa yang berbeda ketika memainkannya. Ada
beberapa aturan yang memang harus disepakati terlebih dahulu, dengan begitu
player bisa memikirkan strategi yang cocok baginya.
“Hikigaya-kun, bisakah kau menjelaskan itu
kepadaku?” tanya Yukinoshita.
“Hmm. Kita memakai aturan Revolution, jika
ada yang melempar 4 kartu, maka nilai kartu yang bisa mengunggulinya dibalik sampai ada dealer baru.
Eight Enders, jika ada yang melemparkan kombinasi kartu 8, maka dia akan
langsung menjadi dealer dan kartu
yang akan dilemparkan selanjutnya harus kartu kombinasi. Ten Trashers, jika
player melempar kartu 10 atau kombinasinya, dia boleh membuang 1 kartu apapun
miliknya. Spade threes, kartu 3 sekop bisa mengungguli joker. Jack Back, jika
ada yang melempar kartu jack atau kombinasinya, maka nilai kartu selanjutnya
selama 1 putaran akan terbalik.”
Meski yang lainnya kurasa sudah paham dengan
aturannya, tapi ini adalah pengalaman pertama Yukinoshita, jadi aku memberikan
keterangan singkat di tiap aturannya agar dia paham.
Lalu aku menambahkan, “Tidak ada Despotism,
Tights, Kaidan, atau 2 kartu joker yang dimainkan. Itu saja.”
“Daifugo yang dimainkan siswa di sekolah kita
kurasa aturannya seperti itu juga.”
Zaimokuza juga menimpali, “Jadi kita tidak
memakai five skips atau seven straits.”
Jika aturan tiap daerah terasa kurang nyaman,
kadang siswa sekolahan memakai aturannya sendiri. Tapi ketika kamu bermain
Daifugo sebagai orang dewasa, kau pasti tidak akan setuju terhadap banyak
sekali aturan di dalamnya, kurasa memang ada baiknya jika sejak awal aturannya
sudah disepakati seperti ini. Akan ada banyak hak yang dibatasi setelah
ditentukan siapa Daifugo dan siapa Daihinminnya.
Setelah Yukinoshita mendengarkan
penjelasanku, dia terlihat mengangguk.
“Oke, kita tidak ada masalah dengan aturan
itu.”
“Kalau begitu, kita juga memakai mode Double Daihinmin juga.”
Lensa kacamata dari dua pria di depanku ini
tiba-tiba bersinar terang.
Seperti merasakan ada hal yang aneh, akupun
seperti menelan udara di tenggorokanku. Tapi, keduanya langsung memasang senyum
yang ceria.
“Mungkin sebutan kami agak aneh, tapi itu
sebenarnya mode yang sering dipakai di Daifugo.”
“Bedanya, kau memainkannya secara
berpasangan.”
“Berpasangan? Itu berarti kita bisa
mendiskusikan strategi kita dengan pasangan kita?” tanyaku.
Kedua member Klub Gamers itu hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak. Satu pasangan bergantian melempar
kartunya ketika gilirang pasangan itu tiba.”
“Kau juga tidak boleh mendiskusikan
strateginya kepada pasanganmu.”
...Kalau begitu, kau tidak hanya harus
membaca gerakan musuhmu, tapi kau juga harus bisa membaca gerakan pasanganmu.
Ini artinya ada masalah baru yang harus dihadapi...Kalau begitu, masalahnya
adalah menemukan pasangan yang tepat.
“Hehehe, jangan berpikir kalau kalian bisa
mengalahkan kartu kami...”
Aku
malas satu tim dengan Zaimokuza...
“Katamu, kartu terkuat adalah joker. Begitu
ya...Apakah boleh memainkan kombinasi kartu yang memakai joker setelah
kombinasi kartu delapan dikeluarkan?” Yukinoshita mencoba mengkonfirmasi
aturannya.
Yukinoshita memang orang yang cepat paham,
meski begitu, dia tetap seorang newbie dalam Daifugo. Tidak bisa membaca
pikiran gadis ini merapakan hal yang sulit. Dia mungkin akan mengatakan
kata-kata kasar kepadaku jika dia kalah.
Jadi yang tersisa hanya Yuigahama...Dia sudah
pernah memainkan Daifugo dan dia juga katanya sering memainkan Daifugo dengan
aturan seperti itu di sekolah. Yang terpenting, pikiran gadis ini sangat
sederhana sekali, mudah sekali membaca pikirannya seperti apa.
Akupun melihat ke arah Yuigahama, berharap
dia mau satu tim denganku, dan tatapan mataku yang seperti anak anjing ini
bertemu dengannya.
“Y-Yukinon, ayo satu tim denganku!” Yuigahama
langsung menepuk pundak Yukinoshita.
“Oh, oke. Tentu.”
Dan impianku hancur berantakan.
Aku ternyata salah menduga kalau kita bisa
memilih teman satu tim dengan mudah. Mungkin aku harusnya menertawakan diriku
sendiri yang berpikir kalau aku yang bukan siapa-siapa ini merasa bisa memilih
teman satu tim.
Kalau pasangan Yukinoshita/Yuigahama sudah
terbentuk, maka pasanganku secara otomatis sudah terbentuk. Siapa
lagi...Seperti merasakan hal itu juga, dia berdiri di depanku dan menyandarkan
punggungnya di punggungku.
“Hachiman,” dia memanggilku. “Bersediakah kau
menjadi teman satu timku?”
...Bisakah
kita akhiri game ini secepatnya?
x
x x
Hatano memindahkan barang-barang di atas meja
klub. Lalu Sagami membawa 3 kursi.
Ini adalah panggung pertempuran kami.
Ronde pertama, Sagami dan diriku – bersama
Yuigahama – duduk. Karena aturannya setelah melempar kartu maka kita harus
bergantian duduk dengan pasangan kita, maka pasangan yang tidak bermain harus
berdiri di belakang kursi sehingga bisa dengan cepat berganti posisi. Entah
bagaimana strategi dari Klub Gamers, mungkin mereka mengincar untuk mengalahkan
Yuigahama karena pasangannya adalah Yukinoshita yang baru bermain di game ini.
Sagami membagikan kartunya setelah
mengocoknya. Membagi 54 kartu menjadi 18 kartu ke tiap pasangan.
“Dengan ini saya umumkan kalau pertandingan
Double Daihinmin antara Klub Gamers melawan Klub Relawan dimulai. Pertandingan
akan berlangsung selama 5 ronde. Siapa yang memenangkan ronde terbanyak maka
menjadi pemenangnya.” Hatano mengumumkan itu.
Kamipun mengambil kartu-kartu yang ada di
depan kami.
“Karena ini pada dasarnya pertandingan 2 vs
1, maka kamilah yang menjadi dealer
pertamanya...”
Sagami mengatakan itu sambil menaruh sebuah
kartu di tengah.
Well, pada akhirnya aku berpasangan dengan
Zaimokuza, dan Yuigahama bersama Yukinoshita. Jika salah satu dari tim kami
menang, maka 1 poin untuk Klub Relawan. Kurasa, bekerjasama adalah strategi
yang terbaik.
Dan begitulah, putaran pertama berlangsung
dengan lancar.
Kami melemparkan kartu-kartu yang harus kami
lempar, mungkin putaran pertama ini adalah momen dimana kami semua menahan diri
kami.
“Hahahaha! Akhirnya aku memperoleh giliranku!
Aku akan melemparkan Monster Card!”
Satu-satunya suara berisik ini datang dari
Zaimokuza.
“Aku lemparkan kartu 10! Menurut efek
kartunya, setelah kau melemparkan kartu 10, maka aku boleh memilih satu kartu
apapun yang kumiliki untuk dibuang! Aku baru jalan sekali dan kartu timku sudah
tersisa 15...”
Setiap kalimat-kalimat semacam itu keluar,
aku teringat sesuatu di masa lalu.
“Ini membuatku teringat sesuatu di jaman
dulu...Aku sering melakukan auto
Yu-Gi-Oh! Duel!”
“Auto Yu-Gi-Oh! duel?” Yukinoshita mengatakan
itu dengan ekspresi kebingungan. “Aku belum pernah mendengar kata-kata semacam
itu.”
“Ini seperti bermain catur. Karena aku tidak
punya teman.”
“Tapi catur sebenarnya bukan untuk orang yang
tidak punya teman...”
Oh, memangnya bukan? Aku pikir catur adalah
permainan untuk dimainkan sendirian.
“Aku juga, aku sering memainkan itu. Aku
sering dapat kartu Miracle of the Zone
cards and Magic: gathering , tapi tidak ada yang mau bermain denganku."
Dia tiba-tiba menghancurkan situasi obrolanku
dengannya, Zaimokuza lalu memberikan kartunya kepadaku dan berganti posisi.
Karena permainan kartu itu adalah permainan
yang dimainkan bersama orang lain, kau tidak akan mendapatkan kesenangan
bermain kartu jika tidak ada teman untuk bermain. Setelah memasuki era Gameboy,
aku banyak sekali mendapatkan pengalaman bermain dengan komputer.
Zaimokuza yang dari tadi berisik, tiba-tiba
diam, dan suasana sunyi menyelimuti tempat ini. Yang terdengar hanya suara shfff dari kartu yang dilemparkan ke
meja.
Waktu berlalu, dan permainan berjalan tanpa
adanya hal yang berarti. Mungkin karena kartu 10 dan kami yang sukses membuang 3
kartu di awal permainan, kini kami memiliki kartu yang lebih sedikit dari tim
yang lain.
Ngomong-ngomong, tim kami sudah tersisa 2
kartu dan tim Yuigahama juga tersisa 2. Sedang Klub Gamers sendiri, masih
tersisa 5 kartu. Kalau melihat mereka yang mengusulkan mode Double Daihinmin,
aku tidak melihat adanya keunggulan dari cara bermain mereka. Strategi mereka
terlihat biasa-biasa saja, seperti menyingkirkan kartu-kartu bernilai kecil di
awal permainan. Kalau begini, kita sepertinya bisa menang tanpa perlu
mengeluarkan banyak keringat.
Yuigahama melemparkan 6 sekop. Akupun
melempar 8 hati, dan aku menyimpan kartu terbaikku untuk lemparan terakhir.
Sekarang kuserahkan kartu terakhirku.
“Zaimokuza.”
“Hmph.”
Akupun berdiri, bertukar posisi dengan
Zaimokuza. Zaimokuza duduk dan berteriak, “Giliran kami!”. Seperti merasa
kurang meyakinkan, dia menambahkan, “Aku akan akhiri sekarang! Kuaktifkan Trap
Card milikku!...Checkmate.”
Akhirnya, dia menaruh kartu terakhir di meja.
Sesudah itu, kartu terakhir yang sudah
disimpan Yukinoshita adalah 2 keriting.
Dengan begitu, kami tidak memiliki kartu
lagi. Klub Relawan menjadi pemenang pertama dan kedua dalam ronde pertama.
“Mwahahaha! Ternyata kemampuan kalian tidak
ada apa-apanya! Bagaimana rasanya takluk oleh kekuatanku?!”
Zaimokuza mengatakannya seperti dia yang
mengalahkan mereka sendirian.
Kurasa akan sangat menjengkelkan jika dihina
badut seperti dirinya, tapi ketika kulihat ekspresi member Klub Gamers itu,
mereka tampak santai-santai saja.
“Oh tidaaak, Hatano-kun, kita kalah! Ya
ampun!”
“Memang, Sagami-kun. Kita ternyata lengah!”
Meski mereka mengatakan itu, aku tidak
melihat adanya ekspresi panik di wajah mereka. Malahan, mereka seperti sedang
bersenang-senang. Serius, ada apa dengan
otak mereka?
Seperti melihat ada sesuatu yang licik sedang
terjadi, akupun melihat mereka berdua, lalu mereka berdua menyeringai.
“Kita tampaknya kacau sekali, eh?”
“Memang betul.”
“Maksudku, jika kita kalah maka kita harus
melepas pakaian kita,” mereka mengatakan itu bersamaan.
Mereka langsung membuka seragam mereka
seperti sedang bertransformasi ke bentuk tertentu. Cara melepas pakaian mereka
memang keren, tapi itu tidak mengurangi fakta kalau tindakan mereka ini
dikategorikan menyimpang.
“Huh?! Aturan macam apa itu?!” Yuigahama
menghantam meja dengan kepalan tangannya.
Tapi kedua member Klub Gamers itu hanya
menyeringai saja.
“Huh? Bukankah wajar kalau kau mencopot
pakaianmu jika kalah di sebuah game?”
“Yeah, yeah. Ini seperti mencopot pakaian
ketika kalah mahjong atau hompimpa.”
Umm, setahuku tidak ada aturan untuk melepas
baju dalam hompimpa, kecuali itu
adalah game yang menerapkan denda semacam itu. Tapi kau memang harus melepaskan
pakaian jika kalah di mahjong.
“Ayo kita lanjutkan,” kata Hatano.
Dia mulai mengocok kartunya dan membaginya
kepada tiap tim. “Ayo kita mulai ronde dua...”
“Tu-Tunggu dulu! Tunggu, dengarkan aku dulu!”
Yuigahama mencoba mendapatkan perhatian mereka. Dia tidak menyia-nyiakan momen
itu. “Yukinon, ayo pulang saja. Game ini terlihat bodoh sekali untuk
dimainkan...”
“Kau pikir begitu? Aku sendiri tidak
keberatan. Kurasa kita tidak masalah jika kita menang. Juga kupikir
normal-normal saja jika ada resiko dalam bermain sesuatu.”
“H-Huh?
A-Aku tidak ingin!”
“Kurasa itu bukan masalah. Aturan kartunya
mungkin banyak sekali, tapi nilai tiap kartu sudah fix, dan strategi dasarnya
kurang lebih sama. Kurasa jika kau bisa mengingat-ingat kartu yang sudah
dibuang dan membayangkan kartu apa yang mungkin dimiliki musuhmu, game
ini milikmu. Lagipula, karena mayoritas menyimpan kartu terbaiknya di akhir
permainan, kurasa tidak sulit menebak kartu apa yang dimiliki oleh musuhmu.”
“M-Mungkin, tapi...Whoaaah,” Yuigahama
terlihat kaget.
Tapi di situasi ini, yang memintanya terus
bermain adalah Yukinoshita. Dalam ekspresi wajah Yukinoshita, terlihat adanya
antusiasme yang sangat tinggi, Yuigahama terlihat tidak memiliki satupun hal
yang bisa dia lakukan untuk itu.
...Apa
aku harusnya berhenti saja? Tapi, kupikir Yukinoshita tidak ingin mendengar itu
keluar dariku.
“Ya sudah kalau begitu! Cepatlah! Ayo cepat
mulai?!”
Akupun memaksa untuk terus lanjut, Zaimokuza
duduk di kursi dan menerima kartu dari Hatano.
“Kalau begitu, ayo kita mulai.” kata
Yukinoshita. Dia mengambil kartu itu dan menyusunnya di tangannya. Sedang di
belakangnya, Yuigahama terlihat berdiri dengan memasang ekspresi yang kurang
puas.
“Sekarang, pertama-tama: bertukar kartu.”
Hatano mengambil dua kartu dari tangannya dan
memberikannya ke Zaimokuza. Dalam permainan kartu Daifugo, si Milyuner dan
Fakir Miskin akan bertukar kartu. Fakir Miskin harus memberikan dua kartu
terbaiknya, sedang si Milyuner akan menukarnya dengan dua kartu manapun yang
tidak dia butuhkan di set kartunya.
Yang kami terima saat ini adalah kartu Joker
dan dua hati. Kartu yang bagus.
“Oho...”
Seperti diriku, Zaimokuza terlihat puas
ketika menukar 2 kartu itu dengan kartu milik kami.
Dia menukarnya dengan kartu raja sekop dan
ratu keriting.
“Huh? Tunggu dulu, apa yang kau lakukan?!
Bukankah kau harusnya memberi mereka dua kartu ampas milik kita?!”
Akupun memaksa Zaimokuza untuk menjelaskannya
kepadaku.
Zaimokuza menutup matanya secara perlahan.
Lalu, dia meresponnya dengan nada yang datar.
“...Itu adalah Moral Ksatria.”
Orang
ini...Apa dia mungkin sengaja memberi mereka keuntungan agar bisa melihat para
gadis telanjang di game ini?
Kedua member Klub Gamers hanya bisa tersenyum
sinis ketika menerima dua kartu itu dari Zaimokuza.
...Be-Begitu
ya. Sekarang aku paham...
Karena musuh mereka adalah tim pria dan tim
gadis, menciptakan aturan “kalah=lepas
baju” adalah strategi psikologis mereka untuk membuat kita kalah.
...Dasar
orang-orang bodoh.
Awalnya kupikir member Klub Gamers ini adalah
kumpulan orang-orang bodoh, tapi ketika memasuki ronde kedua dan selanjutnya,
mereka menerapkan strategi yang tidak bisa dibayangkan oleh akal dan pikiran
manusia biasa.
Tanpa memikirkan apapun, Hatano melemparkan
tiga kartu bersamaan dengan gerakan tangan yang cukup keren.
Sagami lalu memanfaatkan efek dari kombinasi
kartu untuk menghabiskan dengan cepat kartu-kartu timnya.
Melihat bagaimana mereka melemparkan
kombinasi kartu-kartunya ketika mendapat giliran, sangat mustahil untuk membaca
gerakan mereka selanjutnya. Peluang menang mereka semakin besar ketika
kartu-kartu mereka mulai berkurang banyak. Kini, kartu mereka hanya tersisa
dua.
Sementara tim kami terlihat seperti berusaha
mati-matian untuk mengimbangi mereka, entah mengapa tim Yukinoshita kartunya
bisa tersisa dua, sementara timku masih tersisa empat kartu.
Yuigahama tampak ragu untuk menggerakkan
tangannya. Mungkin karena ini sudah mendekati akhir dari game kedua, dan dia tampak
ragu untuk memutuskan akan melempar kartunya atau tidak.
“A-Aku akan melempar ini saja.”
Dia melempar kartu yang sedari tadi dia
pikirkan dengan matang – dua keriting.
Untungnya, aku masih memiliki dua kartu joker
di tanganku. Jadi kalau kita tahan untuk tidak melemparnya dan membiarkan
Yukinoshita menang, maka kita akan bisa menyelesaikan game kedua dengan baik.
Baiklah,
kurasa ini akan berjalan lancar. Atau begitulah pikirku. Sebuah gerakan
tidak terduga ternyata telah menungguku.
“Aduh maaf, kakiku terpeleset!”
Zaimokuza tiba-tiba menyenggolku dan
menerbangkan sebuah kartu ke tengah meja. Kartu itu adalah joker.
Yuigahama langsung berdiri dari kursinya
seperti roket yang terbang ke udara.
“Huh?! Tunggu dulu, Chuuni! Apa kau berniat
untuk membuat kami kalah?!” dia memprotesnya.
Tapi Zaimokuza hanya menanggapinya dengan
tenang. Dia memalingkan pandangannya dari tatapan Yuigahama.
Dengan bersemangat, Zaimokuza melempar tiga
sekop untuk menetralkan joker yang tidak bisa dilawan oleh siapapun. Hatano
lalu melempar kartu delapan, dimana itu secara otomatis akan membuatnya menjadi
dealer. Lalu dia berganti posisi
dengan Sagami, yang selanjutnya melempar kartu as sekop sebagai penanda kalau
mereka pemenangnya.
Jadi yang tersisa saat ini, hanyalah siapa
yang akan membuka baju diantara tim kami dan tim Yukinoshita.
Kartu yang ada di meja saat ini adalah As.
Merasa tidak mampu menandingi kartu itu, Yukinoshita mengatakan ‘pass’.
Lalu tiba giliranku.
“Hachiman...Kupercayakan impiank – bukan,
tapi impian kita ke tanganmu.”
Aku bisa merasakan sebuah harapan yang besar
sedang dipercayakan lewat tangan yang sedang memegangi pundakku. Ketika kulihat
wajah Zaimokuza, senyum yang tenang terlihat di bibirnya, seperti ksatria yang hendak mati.
Apa
orang ini lupa kalau kita kalah maka dia harus menyembah-nyembah kaki mereka?
Seperti terbawa oleh ekspektasi Zaimokuza,
akupun mencoba mengamati kartu-kartuku. Aku punya empat sekop dan Joker.
Hatano lalu mengepalkan tangannya di udara.
Meski tidak mengatakan apapun, bahasa tubuhnya itu seperti mengatakan, “Kita
ini ternyata teman seperjuangan!”
Sagami merendahkan tatapan matanya seperti
sedang berdoa. Aku bisa mendengar secara pelan kalau dia mengatakan “Tolong
Tuhan, kabulkanlah...”.
Mengapa aku merasakan banyak sekali
ekspektasi dalam kartu yang akan kulempar sebentar lagi. Sebenarnya, aku tidak
benar-benar merasakan itu. Memang saat ini, aku bisa merasakan adanya sebuah
keterikatan antara timku dan tim Klub Gamers.
Jariku menyentuh kartu Joker itu. Seketika,
Zaimokuza, yang melihatnya, langsung mengatakan “Yesssss!”.
Seperti bereaksi akan hal itu, Hatano dan
Sagami mulai mencondongkan tubuhnya ke arahku, dan kedua pasang mata mereka
seperti menantikan sebuah jawaban apakah benar yang dia katakan tadi.
Seseorang terdengar sedang menyemangatiku dengan
pelan.
“HA-CHI-MAN!...HA-CHI-MAN!...”
Ini seperti sorakan kepada pelari marathon di
Olimpiade ketika hendak menyentuh garis finish.
Di saat yang sama, Yukinoshita sedang
menatapku dengan tatapan dinginnya, saking dinginnya sehingga bisa membuatku
menjadi beku. Lalu mata Yuigahama yang terlihat seperti hendak menangis. Kedua
pasang mata mereka sedang melihat ke arahku.
Tapi kedua member Klub Gamers dan Zaimokuza
tidak mempedulikan itu dan terus terlihat antusias.
Antusiasme yang liar. Kekacauan. Melanggar
hukum. Keinginan yang tidak terkendali...Tunggu
dulu?
Semacam tekanan yang tidak terkendali mulai
mengisi seluruh tubuhku. Ini membuatku tidak bisa menahan tawaku.
“Heh...Ehehehehehe!”
Semua orang seperti menelan ludahnya sendiri
ketika mendengar suara tawaku itu.
Setelah itu, aku mengatakan sesuatu secara
pelan, meski setiap orang bisa mendengar itu di ruangan ini.
Semua orang terdiam.
“KALAU ADA SATU HAL YANG PALING KUBENCI,
ADALAH PARA MAHASISWA BODOH YANG MENGGELAR PESTA MINUM-MINUM, LALU MENGADAKAN
ACARA HUKUMAN YANG MEMBUAT PARA PRIA DAN GADIS MELEPAS PAKAIANNYA ATAU OMONG
KOSONG SEJENIS ITU. TIDAK, KAU BISA SEBUT AKU MEMBENCI ITU!”
Suaraku merambat di udara seperti sebuah
gelombang listrik. Setelah itu, semua orang tetap terdiam – atau begitulah
menurutku sampai kudengar Yukinoshita mengembuskan napasnya dengan dalam.
“Apa kau sedang berusaha menjadi badut
disini...” dia mengatakan itu dengan tatapan yang menjijikkan.
Lalu setelah itu terdengar suara protes dari
belakangku.
“Hachiman! Dasar kampret, apa yang kau bicarakan?! Ini bukan hal yang main-main!”
Zaimokuza menarik kerah pakaianku.
“Tenang dulu, Zaimokuza. Seperti katamu – ini
bukanlah waktu yang tepat untuk main-main.”
“Hmm? Apa kau mencoba agar terlihat keren?”
Tanpa mempedulikan pertanyaan Zaimokuza,
akupun melihat kedua member Klub Gamers itu.
“Hei, apa yang harus kita lakukan? Si Senpai
itu tampaknya tidak bisa kita ajak untuk bekerjasama...”
“Ahhh, dia itu tidak bisa membaca
suasananya...”
Mereka berdua sedang berbisik satu sama lain.
“Sayang sekali,” kataku. “Aku ini tidak
kooperatif dan aku tidak bisa membaca suasananya. Trik kecil kalian tidak akan
bisa mempengaruhiku.”
“H-Hachiman,” kata Zaimokuza. “Apa maksudmu
dengan trik?!”
“Mereka itu tidak sekedar memasang aturan
membuka baju saja. Mereka memanfaatkan situasi dimana tim terdiri dari pria dan
gadis, dan itu adalah taktik psikologis untuk menghancurkan kerjasama kita!”
Benar, sebuah borgol bernama aturan untuk
melepaskan pakaian akan menimbulkan keraguan antara timku dan tim Yukinoshita.
Mereka akan sangat diuntungkan jika timku berbalik arah dan berseberangan
dengan para gadis hanya karena ingin melihat mereka membuka bajunya. Dan
meskipun kita tidak bersekutu secara langsung dengan mereka, mereka tetap akan
mendapatkan keuntungan dari menghancurkan hubungan antara timku dan tim
Yukinoshita sehingga membuat kita mendapatkan masalah – ini adalah rencana dua
arah.
“Be-Begitu ya...” kata Zaimokuza. “Oh, ha!
Sekarang kau menyebut itu, aku pernah mendengar ini sebelumnya! Ritual rahasia
dari para Siren itu adalah sihir mempengaruhi orang-orang, memancing para pria
dengan gadis tiga dimensi agar mengobarkan perang sipil. Itu dinamakan Honey Trap! Heh, tadi hampir saja. Tiga
dimensi memang sampah.”
“Uhhh, oke. Well, ya seperti itulah dasarnya.
Terserah kamulah.”
Sebenarnya, sampai sekarang masih ada saja
pria yang terkena Honey Trap.
Ngomong-ngomong, jika kita terjebak permainan
mereka, maka tim Yukinoshita mulai meragukan komitmen kita untuk memenangkan
permainan ini dan membuat sulit kerjasama kita.
Lalu, jika Yuigahama dan Yukinoshita tidak
mau melanjutkan permainannya, maka itu sama saja dengan mengatakan kami kalah,
tidak perlu dipertanyakan lagi.
Kalau dipikir-pikir, melihat bagaimana mereka
memiliki rencana untuk mengacaukan kerjasama antar tim...Klub Gamers memang
musuh yang harus ditakuti.
Tapi rencana mereka akan berakhir disini.
Akupun menajamkan pandanganku dan menatap Hatano.
“Apa kau masih punya rencana lain selain
memanfaatkanku untuk mengacaukan kerjasama tim?”
“Ki-Kita ketahuan!”
“Kupikir kau bisa dengan mudah terpengaruh
karena kau terlihat seperti Senpai yang lugu!”
Kata-kata Sagami terdengar jahat...
Akupun menunjuk mereka menggunakan jari
telunjukku.
“Kau tidak bisa memanfaatkanku untuk
mempengaruhi mental grup...Tahu tidak, aku ini selalu dibuang dari semua grup
yang ada!” akupun memberitahukan itu kepada mereka dengan tegas.
Kesunyian melanda ruangan ini.
Hatano dan Sagami memalingkan pandangannya
sambil memasang senyum yang kecut di bibir mereka. Itu seperti mengatakan
separuh simpati dan separuh kasihan.
Sederhananya,
mereka melihatku seperti orang yang menyedihkan.
“Ahem, ngomong-ngomong” akupun pura-pura batuk.
“Trik kalian tidak akan bekerja kepadaku.”
Kedua member Klub Gamers itu hanya menatap
satu sama lain.
“Begitu ya...Tampaknya kami harus bermain
serius di ronde selanjutnya.”
“Siapkan diri kalian...Waktu bermain-main
sudah usai.”
Kata-kata mereka diiringi suara tawa kecil
yang menakutkan, kata-kata mereka membuatku nyaliku ciut.
...Bagi
sebuah klub yang aktivitasnya tentang game, ternyata mereka memang tidak sedang
main-main, benar tidak?
x
x x
Ternyata kata-kata mereka tentang bermain
serius bukanlah isapan jempol. Mereka tidak ragu melakukan sesuatu yang lebih
kotor daripada ronde dua tadi. Mereka benar-benar memanfaatkan betul status
Milyuner mereka, dan kartu-kartu kuat seperti Joker dan Dua akan dikeluarkan
mereka ketika situasinya kritis.
Aku sudah melepas atasan seragamku di ronde
dua, dan kehilangan kaos dalam beserta kaos kakiku di ronde ketiga yang
dimenangkan tim Yukinoshita. Sekarang, ronde keempat dimenangkan oleh tim Klub
Gamers dan timku kalah lagi. Akupun
mulai melepas celana panjangku. Yang tersisa di diriku hanyalah celana dalamku,
pertahanan terakhirku...
“Harrum, tampaknya waktu untuk melepas mantel
ini telah tiba, huh...”
Zaimokuza mulai melepas mantelnya dan
melemparnya ke sebelahku.
Zaimokuza melepas kaos kakinya di ronde
kedua, sarung tangan di ronde ketiga. Jadi saat ini dia masih memakai kemeja
dan celana panjang.
...Apa-apaan
dengan ketidakadilan ini? Kenapa aku adalah satu-satunya orang yang hanya
memakai celana dalam?
“Sial...”
Aku seperti ingin menangis saja ketika
melepas celana panjangku ini. Tapi aku merasa ada yang sedang memperhatikanku
dengan tajam, ketika kulihat, ternyata Yuigahama sedang melihatku, dimana dia
terlihat seperti menyesal dan hendak minta maaf saja.
“...Apa yang kau lihat? Berhentilah melirik
ke arahku.”
“H-Huh?! A-Aku tidak sedang melihatmu!
Mustahil aku tertarik dengan itu! Apa kau bodoh?!”
Dia berteriak ke arahku dan memukulku
sehingga tubuhku menghantam meja.
Uh, kau
tidak perlu marah-marah dengan wajah yang memerah itu. Barusan itu hanya
becanda, sumpah!
Yuigahama mengembungkan pipinya dan bersikap
seperti kesal kepadaku, tapi setelah amarahnya mereda, dia menatap ke arah
lantai.
“...Umm, maaf ya. Dan terima kasih soal tadi.”
“Santai saja...Tidak perlu berterima kasih.
Aku hanya melakukan apa yang ingin kulakukan saja.”
“Hmph, bukannya aku peduli, tapi mengatakan
itu dengan tenang tanpa memakai baju hanya membuatmu terlihat kalau kau ini
adalah seorang pria mesum sejati,” kata Zaimokuza.
Jangan
banyak bacot lu, bajingan....
Hmm, ngomong-ngomong. Ketika aku mulai
melepas pakaianku sejak ronde dua tadi, Yukinoshita menganggapku seperti aku
tidak pernah ada di ruangan ini. Dia bahkan tidak sekalipun melihat ke arahku
dan memilih untuk tidak mempedulikanku sama sekali. Well, kurasa dia memang
begitu.
x
x x
Kartu-kartu untuk ronde kelima sudah
dibagikan.
Nyawaku hanya tersisa satu di permainan ini:
Celana dalamku. Dengan kata lain, ini adalah sebuah pertempuran dimana aku
tidak boleh kalah. Ini bukannya seperti sebuah pertempuran di sinetron dimana
ada pihak yang mengatakan “Aku tidak boleh kalah”, dimana, entah kenapa, nasib
mereka sudah dipastikan akan kalah.
“Baiklah...Aku harus memenangkan ini...”
Akupun mulai bersemangat. Aku bisa merasakan
kalau seluruh tubuhku ini seperti diselimuti semangat yang membara.
“Bwahahaha! Pria yang hanya memakai celana
dalam ini bersikap pura-pura keren!” Zaimokuza menertawakan diriku.
Ketika kulihat para penghuni ruangan ini,
para member Klub Gamers terlihat mencoba menahan tawa mereka. Setelah kulihat
baik-baik, bahkan bahu Yukinoshita terlihat sedang bergetar.
Mereka
semuanya kejam...
Akupun terlihat emosi, seperti yang kuduga.
“Oi, Zaimokuza...” akupun memanggil namanya.
Setelah aku memanggilnya, Zaimouza lalu
pura-pura batuk seperti sudah menyadari kalau aku ini sedang kesal kepadanya.
“Tenang dulu, sobatku Hachiman. Game itu ada
untuk dinikmati. Kau ini jangan terlalu serius.”
“Sial...”
Jangan
sekali-kali mengatakan kata-kata kebenaran yang ‘ampas’ itu kepadaku, dasar
bajingan...
Ketika aku hendak menceramahinya balik, aku
mendengar suara orang yang mengembuskan napasnya yang berat.
“Begitu ya. Jadi itukah yang kau rasakan.”
Butuh beberapa saat hingga aku menyadari
kalau itu adalah suara dari Hatano. Sangat berbeda dengan nada suaranya yang
biasanya lemah dan gugup, seperti yang dia lakukan sampai barusan – aku bisa
melihat adanya nada yang agresif keluar dari mulutnya.
“Itu, memang, persis seperti apa yang barusan
kau katakan,” Sagami menambahkan. “Well, bukannya aku bilang idealismemu itu
buruk, tapi kalau kau memang mempercayai itu, maka kau ini memang tidak tahu
apa-apa.”
Nada suaranya terdengar arogan dan
meremehkan.
“Urk...”
Zaimokuza hendak membalasnya, tapi ketika
melihat ekspresi mereka berdua, dia mengurungkan niatnya. Wajah mereka berdua
seperti kesal kepadanya.
Hatano-pun mengatakan sesuatu dengan nada
sini. “Well, terserah saja sih.
Lagipula, riwayatmu akan tamat sebentar lagi.”
“Kukatakan sekali lagi,” kata Sagami. “Ini
adalah pertunjukan terakhir.”
“Oh, oke.”
Kami berdua seperti saling berhadapan di
sebuah medan pertempuran.
Zaimokuza memulai kewajiban Fakir Miskin,
yaitu memberikan dua kartu terkuat kepada Klub Gamers.
Sepertinya Hatano sedang mencari-cari kata
untuk dikatakan ketika mengambil kartunya.
“...Tuan Sang Ahli Pedang, mengapa kau ingin
membuat game?”
Tampaknya Sang Ahli Pedang adalah nama
panggilan Zaimokuza ketika pergi ke tempat permainan ketangkasan. Tidak,
sebenarnya tidak juga – dia juga memanggil dirinya Sang Ahli Pedang dalam
kehidupan sehari-hari (haha).
Zaimokuza yang mendengarkan kata-kata Hatano
itu, lupa untuk mengambil dua kartu yang ditukar tersebut dan membiarkannya
tertutup di atas meja.
“Hmph. Karena aku menyukai game. Aku percaya
kalau bekerja di sesuatu yang kausukai adalah sebuah pemikiran yang bagus. Dan
jika aku menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan game, aku akan memiliki
penghasilan yang stabil,”
Zaimokuza menjawabnya dengan tenang, meski
motif utamanya terlihat jelas di akhir kata-katanya.
“Oh, jadi karena kau menyukai game, huh?
Seperti orang-orang seperti itu lagi ramai belakangan ini – orang-orang yang
mengaku mencintai game tapi tidak bisa berkontribusi apapun. Apa kau salah satu
dari mereka juga, Tuan Sang Ahli Pedang?”
“Apa maksudmu?”
Mereka pasti berusaha membuatnya emosi,
karena Zaimokuza baru saja melempar dua kartunya ke meja dengan keras. Lalu,
meja dan kursinya seperti bergetar hebat. Akupun dengan cepat berganti posisi
dengannya.
Yukinoshita, yang memiliki giliran
selanjutnya, melempar sepasang kartu untuk mengikuti itu.
“Kau hanya memanfaatkan impianmu sebagai
alasan untuk lari dari kenyataan...”
“Ke-Kepada siapa kau tujukan kata-katamu
barusan itu?”
Itulah yang dikatakan Zaimokuza sebelum tempat
duduknya kuambil alih.
Akupun mengatur kartu-kartu di tanganku.
Kalau kulanjutkan dengan sepasang kartu lagi, maka ini akan menjadi peluangku
untuk mengurangi jumlah kartuku di awal ronde. Lalu, aku melihat keempat belas
kartu yang ada di tanganku ini.
...Empat
belas kartu?
Menyadari kalau kurang dua kartu yang ada di
tanganku, akupun melihat ke bawah meja untuk mencari apakah ada kartu yang
jatuh. Aku yakin, setidaknya ada dua kartu yang jatuh ke bawah tadi. Kurasa
Zaimokuza lupa menambahkan kartu-kartu itu ke kartu tim kami, sepertinya kedua
kartu itu jatuh ke bawah meja karena Zaimokuza membuat mejanya bergoyang ketika
berdiri dari kursi. Akupun mengambil dua kartu itu dan menaruhnya di tanganku.
Kartu itu adalah 4 wajik dan 6 wajik....Kurasa aku bisa membuat Revolution
dengan ini.
Tapi aku tidak punya pilihan lain kecuali
menahan ini untuk momen yang tepat. Kalau hendak melemparnya, kurasa yang
paling tepat adalah ketika aku menjadi dealer
di tengah-tengah permainan.
Ketika aku sedang merencanakan itu, aku
menaruh sepasang kartu yang lebih tinggi di meja. Setelah itu, Yuigahama dan Hatano melempar sepasang kartu juga. Sepasang kartu As, huh...Tampaknya tidak
ada yang mau melempar sepasang kartu yang melebihi itu. Akupun mengatakan pass, setelah bertukar pemain yang
duduk, Sagami menaruh kartunya di meja.
“Tuan Sang Ahli Pedang, kata-katamu tadi
sangat dangkal sekali. Ini tidaklah seperti yang kau katakan sebelumnya, kau
sepertinya hanya mengatakan apapun yang kau rasa bagus untukmu saja. Aku hanya
bisa tertawa mendengarnya.”
[note:
Di vol 3 chapter 2, Zaimokuza mengatakan akan bekerja di perusahaan game agar
uangnya bisa digunakan untuk membiayai impiannya. Tapi di chapter ini Zaimokuza
mengatakan impiannya adalah di game, jadi ini kontras dengan kata-katanya di
chapter yang lalu.]
Wow,
dia ternyata mengamati kata-katanya dengan tajam. Teruskan, Nak!
Separuh dari diriku seperti ingin
menyemangati Sagami. Tidak lupa juga kalau Yukinoshita mengangguk-ngangguk saja
ketika mendengar itu.
“Uuuuuurk.” Zaimokuza memberiku
kartu-kartunya, seperti sedang membutuhkan ruang untuk menenangkan dirinya.
Setelah menerima kartu darinya, akupun
melemparkan kartu selanjutnya tanpa gaya yang berlebih. Zaimokuza sebelumnya
selalu melemparkan kartu dengan gaya dan suara Yu-Gi-Oh!, mungkin karena itulah dia sangat bersemangat sekali.
Sekarang giliran Yukinoshita. Hatano melihat
ke arah samping sambil menaruh kartunya di meja, dia juga memasang senyum yang
sinis.
“Kau harus tertawa kepada orang yang
mengatakan ingin membuat game, sedang orang itu tidak tahu apapun soal itu.
Tahu tidak, jaman sekarang banyak sekali pembuat game yang payah. Mereka merasa
bisa membuat game hanya dengan pengalaman bermain game console di rumah mereka.
Pikiran mereka itu dangkal dan tidak bisa melakukan sesuatu yang inovatif.
Mereka mengambil slot orang yang harusnya layak berada di industri game dan
memberikan ide-ide inovatif. Mustahil kau bisa membuat sesuatu hanya karena kau
bilang kau menyukainya.”
Dia lalu membanting kartunya ke tengah meja
ketika tiba gilirannya, seperti mengatakan kalau dia menumpuk amarahnya di
adegan itu.
“Uuuuuurk.”
Zaimokuza hanya bisa menggerutu ketika
mendengarnya.
Beberapa periode giliran melempar kartu sudah
dilewati sementara Klub Gamers masih dalam posisi yang paling diuntungkan.
Ketika tiba giliran Zaimokuza, Sagami mengatakan sesuatu ketika Zaimokuza
sedang berpikir untuk mengeluarkan kartu apa selanjutnya.
“Tuan Sang Ahli Pedang, kau tidak punya skill
ataupun penghargaan atas hal yang kau banggakan itu, benar kan? Oleh karena itulah kau hanya bisa bermulut besar soal game dan
sejenisnya.”
Mendengar kata-kata yang disertai nada sinis
itu, Zaimokuza tidak bisa membalas apapun kata-kata mereka dan hanya
menyerahkan kartunya kepadaku dengan ekspresi yang menyedihkan. Kurasa itu
sudah menjelaskan semuanya.
Setelah menerima kartu darinya, aku duduk di
kursiku.
Kata-kata Sagami masih terus berdengung di
telingaku.
Maksudku, melihat seseorang mengatakan
kata-kata yang sangat menusuk kepada seorang chuunibyou memang membuat sesak
dada – aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkannya. Memberitahukan
tentang realitas kehidupan kepada seorang bocah hanya membuatmu terlihat
seperti orang dewasa yang lelah karena sehari-hari menjadi budak perusahaan dan
memiliki hidup yang mengecawakan – rasa sakit yang semacam itulah yang terjadi
di tempat ini.
Karena semua orang pass, maka Klub Gamers otomatis menjadi dealer.
Hatano melemparkan tiga kartu secara pelan:
satu, dua, tiga kartu Raja. Umumnya, mustahil bagi timku, dimana aku baru saja
bilang pass, bisa melemparkan kartu
untuk mengimbanginya. Yukinoshita juga mengatakan pass.
“Ngomong-ngomong, Tuan Sang Ahli Pedang, apa
film favoritmu?”
“...Hmph, sebentar. Mahou Shou – “
“Maksudku, selain film anime.”
“Apa?!”
Setelah kategori film anime dihilangkan,
Zaimokuza hanya bisa terdiam. Oho, apa yang terjadi? Dia seperti kena skak...Tapi bukannya aku sendiri tidak
punya film jika kau hilangkan kategori anime. Kalau kau tanya diriku, aku akan
bilang Leon:The Profesional. Aku
ingin mengambil seorang gadis sebagai muridku.
Seperti membaca kesunyian yang Zaimokuza berikan,
Sagami menyingkirkan semua kartu di meja dan melemparkan kartu baru.
“Lihat kan,
dia tidak bisa mengatakan apapun. Jadi apa novel favoritmu?”
“...Hmph, belakangan ini aku membaca Ore no
Kano – “
“Selain Light Novel.”
“Urk!”
Zaimokuza tiba-tiba terdiam tidak bisa
mengatakan apapun. Dia hanya melihat ke
arah atap ruangan, seperti tidak mampu mengatasi serangan mereka. Dia seperti
baru saja menerima sebuah upper-cut telak dari mereka.
Zaimokuza terlihat sedang bergetar hebat
meski dia sendiri sedang berdiri, seperti merasakan sebuah penderitaan yang
tidak terbayangkan. Apa dia salah satu dari mereka – orang-orang di generasi
kita yang selalu merengek-rengek ketika diserang secara verbal?
Kedua member Klub Gamers melihat Zaimokuza
dengan tatapan mata sinis.
“Jadi pada akhirnya, kau ini hanyalah manusia
yang menyedihkan,” kata Hatano. “Kau bahkan tidak mengerti realitas dunia
hiburan. Kita sendiri sudah melakukan riset mengenai dunia game dan industri
hiburan. Ketika ada orang yang berotak dangkal sepertimu dan berkata akan
membuat game atau sejenis itu, hanya terlihat sebagai sebuah pemandangan yang
memalukan.”
Seperti katanya, ruangan ini seperti dipenuhi
berbagai game. Ketika aku melihat bagaimana kotak-kotak ini berisi berbagai
permainan papan yang beraneka jenis, juga banyak dadu berserakan di sudut
ruangan ini, aku bisa membayangkan dengan mudah bagaimana seriusnya member Klub
Gamers dalam menjalankan aktivitas mereka.
Zaimokuza sebaliknya, dia tidak seperti
mereka – dia hanya terlalu antusias ketika melihat sesuatu yang terkesan imut...
Dalam kondisi saat ini, mustahil Zaimokuza
bisa mengalahkan mereka. Sangat jelas kalau dia akan kalah, dan setelah ini dia
akan melakukan hukuman yang membuat dirinya sendiri dipermalukan.
Tapi itu sedikit membuatku jengkel.
Aku sebenarnya tidak keberatan jika seseorang
menjahili Zaimokuza – aku juga tidak keberatan jika ada orang yang muncul dan
menembaknya dengan senjata api. Tapi, kata-kata kedua member Klub Gamers ini
tidak bisa dibenarkan.
Entah mengapa...Aku sangat jengkel ketika
melihat adegan ini.
x
x x
Ronde
terakhir sudah memasuki bagian akhir. Klub Gamers tersisa 5 kartu, sedang tim
Yukinoshita punya 6 kartu, timku sendiri punya 8 kartu. Kalau melihat jumlah
kartunya, bisa dikatakan kalau kita sudah hampir menyelesaikannya. Sejujurnya,
jika melihat kartu apa yang tersisa di tanganku ini...sangat jauh dari kata ‘memungkinkan untuk menang’. Klub Gamers
masih punya kartu Joker yang diambil dari kita di awal ronde kelima. Semakin
mendekati akhir permainan, maka semakin terlihat perbedaan timku dengan tim
mereka.
Yuigahama harusnya bisa melihat ini sebagai
momen untuk mulai menyerang, karena dia terlihat sedang memberikan gestur mata
kepada Yukinoshita sebelum melemparkan tiga kartu kombinasi. Seperti yang kau
duga, tidak ada yang bisa melawan kartu mereka.
Yukinoshita mengambil kartu dari Yuigahama
dan duduk di kursi.
“Aku daritadi mendengar diskusi kalian, dan
kupikir kata-kata dari Klub Gamers memang terdengar logis. Hikigaya-kun, kalau
kau memikirkan tentang, erm, Zai...Zai...dia, kau harusnya memberitahunya bagaimana
jalan yang benar.”
Ketika Yukinoshita melemparkan kartunya, dia
terlihat tersenyum, seperti sedang mengujiku. Klub Gamers juga melemparkan
kartunya untuk merespon itu.
Well, kata-kata Yukinoshita memang ada
benarnya. Jika Zaimokuza memang berniat untuk menjadi penulis skenario game
ataupun penulis Light Novel, dia harusnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menggapai mimpinya. Dia harusnya bisa melakukannya jika dia tidak tenggelam
lebih jauh dalam omong kosong Mahakarya
Novelnya, juga harusnya dia belajar serius tentang bagaimana para penulis naskah di
film Hollywood menulis karyanya, lalu menjadikan tulisan-tulisan mereka seperti
kitab sucinya.
Aku malah berpikir kalau Hatano dan Sagami
ini layak dipuji karena kerja keras mereka, dan Zaimokuza harusnya dikritik dan
dihina karena mengerjakan setengah-setengah untuk menggapai impiannya.
...Tapi
menjatuhkannya dengan cara seperti tadi tetap bukanlah hal yang bisa
dibenarkan.
Kupikir cara yang terbaik adalah tetap
menjaga kehormatan orang itu, bukan dengan menyerangnya demi kepuasan pribadi.
Ini seperti mengikuti buku panduan, sesuai
dengan kurikulum, dan menyelesaikan prosesnya...
Sebenarnya, apa arti dari ‘sebuah kesuksesan’ itu sendiri?
Orang-orang mengandalkan keberuntungannya dan
memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki, bukankah itu yang dilakukan banyak
orang di dunia ini?
Kalau
begitu, orang hanya mempercayai apa yang mereka sendiri anggap benar.
“Tapi itu tidak berarti apa yang selama ini
dilakukan oleh Klub Gamers adalah hal yang benar...Oh, dan jangan salah paham
kalau aku ini peduli dengan Zaimokuza.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Yukinoshita. “Tapi
itu jelas membuktikan kalau kau benar-benar peduli kepada temanmu.”
“Umm, dia itu bukan temanku.”
Jika dia memang temanku, aku mungkin sejak
tadi membelanya habis-habisan. Tapi, aku tidak tahu mengapa orang bodoh ini
bisa menggali lubang yang begitu dalam di situasi ini. Aku tidak peduli apa
yang hendak kukatakan kepadanya. Kaupun pasti sering menemukan orang di kelasmu
yang kau sendiri malas untuk memberitahunya tentang apa yang benar karena dia sudah
tersesat sangat jauh. Kau mungkin bisa menyebut mereka sebagai orang yang tidak
tahu apa-apa tentang hal yang membuat dirinya terlihat sebagai seorang pecundang.
Yuigahama membuka mulutnya. “Tahu tidak...”
dia menghentikan sejenak kata-katanya. “Aku sebenarnya tidak begitu mengerti
tentang dunia game dan sejenisnya, maksudku secara detailnya, tapi...”
Tidak ada seorangpun yang memotong kata-kata
Yuigahama. Dia sepertinya hendak mengatakan sesuatu yang serius, semua orang di
ruangan ini sedang menatap ke arahnya.
Aku menunggu sambungan kata-kata Yuigahama
tadi. Tapi dia dari tadi hanya menatap kartunya, lalu dia mulai menegakkan
kepalanya.
Lalu dia melihat ke arahku.
“Bahkan jika itu bukanlah cara yang benar
untuk memulai sesuatu, meski kau tidak sepaham – selama itu bukanlah sebuah
kebohongan atau kepalsuan, kurasa tidaklah salah jika kita tergerak karena kita
mencintai sesuatu...Kupikir, yeah.”
Entah
kepada siapa kata-kata tersebut dia ucapkan.
Ketika aku memikirkan itu, terdengar suara
hentakan kaki.
“...Ya. Seperti kata kalian berdua...Kalian
benar kalau aku sendiri tidak punya satupun hal yang bisa kubanggakan.”
Suaranya terdengar menyedihkan, lalu dia
menambahkan lagi.
“Jadi aku akan mempertaruhkan ini dalam
permainan ini: kalian akan merasa malu karena mengatakan aku tidak berguna!
Kalian semua akan mengaku salah!”
Zaimokuza meneriakkan itu, ingusnya seperti
hendak keluar dan bahunya bergetar hebat.
Tidak peduli meski wajahnya mulai dipenuhi
air mata, ketika dia menatap kami semua, dia tetap terlihat seperti seorang
pecundang.
Hatano dan Sagami melihat sikap Zaimokuza itu
dengan tatapan mata yang penuh kebencian. Tidak, kurasa mereka tidak melihat
Zaimokuzanya, tapi mereka sepertinya melihat apa saja yang sudah dilalui
Zaimokuza hingga bisa seperti itu.
Aku
yakin dahulu kala, mereka adalah orang yang sama seperti Zaimokuza, orang yang
diselimuti oleh berbagai mimpi.
Tapi mimpi itu sangat berat bagi satu orang
untuk membawanya sendirian.
Ketika kau menjadi orang dewasa, kau mulai
memikirkan masa depan yang lebih realistis, dan kau akan sadar kalau impianmu
yang dulu itu adalah hal yang tidak mungkin terwujud.
Gaji tidak mungkin lebih tinggi dari
200,000Yen setahun, semakin banyaknya lulusan baru sekolah yang membuat
persaingan semakin sulit, banyak orang memilih bunuh diri daripada hidup
seperti itu, pajak yang semakin naik, dan uang pensiun yang menyedihkan.
Kau akan mengenal hal-hal itu cepat atau
lambat. Kalau kau siswa SMA, maka kau sudah separuh jalan untuk menjadi orang
dewasa, kurasa kau harusnya mulai memahami itu.
Orang-orang menganggap istilah “Bekerja artinya kalah dengan sistem”
adalah sebuah lelucon yang buruk, tapi sebenarnya itu bukanlah hal yang salah.
Di dunia yang seperti ini, kehidupan nyata yang kau hadapi setelah kau menyerah
dalam mengejar impianmu akan terasa pahit dan menyakitkan, memikirkan itu saja
sudah membuatku ingin mendesah.
Salah
bila kau merasa kalau kau mampu mendapatkan itu hanya karena kau mencintai hal
itu.
Oleh karena itulah orang-orang membuat pelarian.
Mereka membuat semacam tokoh sukses yang menginspirasi, sehingga mereka yang
bermimpi itu hanya bisa terus membayar untuk melihat tokoh-tokoh itu.
...Karena
orang yang bermimpi itu sebenarnya punya keinginan untuk berhenti. Tidak peduli
betapa keras mereka menyangkalnya.
“...Kau tidak tahu bagaimana dunia ini
bekerja. Idealisme dan realitas itu berbeda,” kata mereka berdua.
“Aku tahu betul itu! Ketika aku menjadi
penulis betulan, teman-temanku yang pernah bermain bersamaku akan terus-terusan
memanfaatkanku sebagai koneksi mereka untuk mengirimkan manuskrip mereka!
Mereka yang mengaku-ngaku sengaja melepas pilihan kedua dalam hidupnya adalah
NEETs! Aku tahu itu – bisa dikatakan aku kenal baik...”
Zaimokuza mengepalkan tangannya ke udara. Dia
melakukan itu dengan segenap tenaganya – saking kuatnya hingga aku merasa kukunya
seperti hendak menembus kulitnya sendiri. Lalu dia menambahkan.
“Aku tahu ketika aku berkata akan menjadi
penulis light novel, 90% orang akan tertawa dan tersenyum sinis, mereka akan
berkata ‘impian yang konyol!’ atau ‘Jangan kekanakan! Lihat realitanya!’
Meski begitu...”
...Dia
benar. Kita semua tahu bagaimana realita bekerja.
Kita tahu kalau teroris tidak akan serta merta
muncul di ruangan ini dan menyerang kita, atau juga warga kota akan berubah
menjadi zombie, memaksa kita untuk berlindung di tempat perlindungan.
Kalau ada orang normal mendengar kau ingin
menjadi penulis skenario game atau penulis Light Novel, mereka akan berpikir
kalau itu adalah impian yang terlalu tinggi atau menganggap itu satu level
dengan orang yang sedang berhalusinasi. Tidak ada satupun orang yang mendukung
ataupun menghentikan mereka. Meskipun kau dengan gigih mengatakan itu adalah
mimpimu, tidak akan ada yang menganggapmu serius.
Dan tanpa sadar, kau akhirnya berhenti
mengejar mimpimu, dan kemudian kamu, yang dulunya adalah seorang pemimpi,
sekarang menjadi orang yang hanya menertawakan mimpi orang lain. Kau hanya
ingin tertawa dan membohongi dirimu sendiri.
[note:
Ini perlu meme Mario Teguh : Super Sekali!]
Dan yang terpenting, kira-kira mengapa pria ini
masih bisa mengatakan mimpinya – meski dia sudah hendak menangis, meski
wajahnya sudah bertumpuk salju, meski suaranya sudah mau habis.
“Saat ini, aku percaya dengan sepenuh hatiku.
Meski aku tidak bisa menjadi penulis, aku masih bisa terus menulis. Aku tidak
mencintai menulis karena aku ingin menjadi penulis! ...Aku menulis karena aku
mencintainya.”
Jujur
saja, aku iri kepadanya.
Kata-kata “Karena
aku mencintainya”, dia mengatakan impiannya dengan jujur, tanpa adanya rasa
rasa ragu. Kebodohannya seperti menggelinding entah kemana.
Kekuatan kata “karena aku mencintainya”
membuat kedua mataku terbuka lebar. Mungkin
karena aku sejak dulu sudah mengunci kata-kata itu jauh di dalam hatiku.
Oleh karena itu aku mulai berpikir. Mungkin,
pertandingan ini bisa membantuku untuk memutuskan. Jika Zaimokuza – tidak, kami
– menang, mungkin aku akan mempercayai diriku lagi. Tentunya, tidak jika kalah.
“...Zaimokuza. Sekarang giliranmu.”
Kuberikan kartu-kartu di tanganku kepada
Zaimokuza.
“...Tidak ada yang yang bisa memberitahuku
untuk berhenti,”
Dia membisikkan itu ketika melewatiku.
Suaranya terdengar keren di telingaku. Tolong
hentikan kata-kata keren itu – itu nanti bisa terus teringat di kepalaku.
Zaimokuza menarik napas yang dalam untuk menenangkan
dirinya. Dengan suara yang bergetar, dia berkata.
“...Oho, maaf sudah membuat kalian menunggu.
Tampaknya kita harus mengakhiri duel ini...?”
Kami punya 8 kartu di tangan. Jack sekop,
Delapan keriting, tiga hati, dan empat wajik.
Dan yang terakhir empat kartu enam yang
berbeda jenis.
“Makan ini! Kartu penentu!”
Dengan suara shfff, Zaimokuza menarik sebuah kartu dan – WHAM! Dia membuat suara
efeknya sendiri dan membanting kartu ke tengah meja. Oke, ternyata itu adalah
kartu delapan. Karena kita memakai aturan Eight Enders, kurasa kata penentuan itu rujukannya kesana?
“Hachiman.”
Setelah bisa menguasai dirinya, Zaimokuza
memanggil namaku seperti menarik sesuatu dengan mudah dari tangannya.
Jangan
menyebut namaku di depan semua orang. Aku bisa mendengarmu dengan sangat
jelas.
Akupun duduk di kursiku kembali.
Aku akan menggunakan itu, dan inilah saatnya.
Itu karena kita selama ini selalu kalah – itu karena kita memang lemah – karena
itulah kita bisa menggunakan itu sekarang.
Apa ini sebuah determinasi? Ketekunan?
Ketabahan? Atau siapa yang lambat tapi terus maju maka memenangkan
pertempurannya?
Tidak, itu karena aku sendiri memang sudah
merencanakan ini sejak awal.
Meski, semua kekalahan yang kuterima saat ini
bukanlah sebuah kekalahan yang sebenarnya. Aku pernah kalah dalam pertempuran
tapi akulah pemenang pertandingannya.
[note:
Vol 1 chapter 6, pertandingan tenis Yukino-Hachiman vs Miura-Hayama.]
Kekalahan bukanlah sebuah kekalahan hingga
kau mengakuinya. Aku yakin pria yang di belakangku ini tidak akan mengakui
kalau dia kalah sampai dia benar-benar mati, tidak peduli seberapa banyak dia
kalah atau seberapa besar kesalahannya. Kalau begitu, dia layak disebut sudah
mendekati kemenangan.
Meski kau sudah dihentikan dan mimpimu
dikatakan hanyalah mimpi kosong – meski begitu, kau tetap mengaum dengan sekuat
tenaga. Bergantung hanya kepada determinasi dirimu, berdiri demi sesuatu.
Ketika kau sudah mencapai tahap itu, maka kau
bisa melakukan itu dan menyebut itu sebagai impian.
Tidak peduli siapa dirimu, itu adalah sebuah
ilusi yang sulit untuk ditangani, seperti sebuah hal yang sangat berharga.
Hanya beberapa orang terpilih saja yang bisa melalakukannya – rasa egois memang
bisa membuat mimpi-mimpi menjadi nyata di dunia ini.
Tanpa sadar, waktunya telah tiba. Ada apa
dengan perasaan klimaks ini? Secara spontan, aku mengatakan kata-kata yang
sudah lama aku kagumi itu.
“Aku tidak akan...”
“Tidak, aku tidak akan.”
Kami berdua berdiri sambil membelakangi satu
sama lain ketika saling menyahut tadi.
“Kami tidak akan kalah!”
x
x x
Sambil memegangi empat kartu di tanganku,
akupun langsung membanting empat kartu itu ke meja.
“The End of Genesis T.M Revolution Type D!”
Diamlah, Zaimokuza. Revolution sendiri tidak
masalah – dia tidak perlu membuatnya terdengar keren. Tapi aku sendiri bisa
mengenali bakatnya dalam bidang seperti ini.
Yuigahama hanya tersenyum kecut, sedang
Yukinoshita hanya bisa mendesah. “Pass”, dia mengatakan itu sambil menaikkan
bahunya.
Hatano dan Sagami hanya diam menatap
Zaimokuza, mereka seperti tersedak oleh sesuatu.
Kurasa ini tidak mengejutkanku.
Maksudku, aku tidak ragu kalau mereka sudah
terbiasa memainkan game ini sejak lama. Di titik tertentu, tentunya mereka
sudah bisa menyimpulkan kalau menyukai sesuatu saja tidaklah cukup, dan mereka
termakan kata-kata mereka sendiri.
Seperti ragu hendak mengambil kartu apa –
ataukah mungkin mereka sedang teringat dengan masa lalu mereka?
“Pass...”
“Kerja bagus, Hachiman. Sekarang serahkan
sisanya kepadaku.”
Seperti malas untuk menyembunyikan
antusiasmenya, Zaimokuza langsung merebut kartu-kartu itu dariku, dan tertawa
dengan keras.
“Pedang dari Jack!...Reverse.”
Dia mengatakan itu dengan santai, tapi
seperti dugaanmu, itu hanyalah Jack Sekop.
“Oi, tunggu dulu, kau idiot!” kataku. “Kau baru
saja membuat Revolution sia-sia dengan Jack Back!”
Ketika Revolution aktif, maka efek Jack Back
itu membalik lagi Revolution. Dengan kata lain, dua kali negatif akan
membuatnya menjadi plus, dengan begini nilai kartu akan kembali menjadi normal untuk 1 kali lemparan player selanjutnya.
Tujuan awal Revolution adalah membuat kartu yang awalnya bernilai kecil menjadi
bernilai tinggi, mereka akan rugi karena kartu mereka yang tersisa adalah kartu-kartu yang bernilai besar.
“Huh?” Zaimokuza hanya bisa
mengedip-ngedipkan matanya, lalu dia menyadari blundernya. “Oh!”
Sialan, ternyata menggembar-gemborkan nama
skill spesialnya adalah hal terpintar yang pernah dia lakukan...
Orang ini sudah tidak tertolong lagi. Aku awalnya
sudah yakin kita tidak akan kalah, tapi kini sudah hilang entah kemana.
Zaimokuza sudah tidak punya Zetsuei dan aku sendiri tidak punya Shell Bullet.
Karena tidak mampu menyaingi kartu Jack,
Yuigahama memilih pass, dan Sagami
langsung melempar kartu dua sekop.
Tidak hanya member Klub Gamers punya Joker,
kita jika tidak tahu apalagi yang bisa menyaingi kekuatan kartu mereka.
Hatano dan Sagami saling menatap satu sama
lain dan bernapas lega.
Klub Gamers memiliki 3 kartu yang tersisa.
Kita punya dua. Tapi mereka saat ini menjadi dealernya, kurasa aku tidak ragu lagi tentang siapa pemenang
pertandingan ini.
“Well, aku memang kagum dengan antusiasmemu,
Tuan Ahli Pedang,” Hatano mengatakan itu sambil memegang dua kartu di jarinya. “Tapi
dua kartu di tanganku ini adalah realitas dunia kita saat ini.”
Dia menaruh dua kartu itu seperti mengayunkan
sabit dari malaikat kematian.
Tidak ada yang bisa menandingi, huh...Jika
tidak gara-gara kesalahan kecil tadi, kita harusnya memenangkan ini. Tapi nasi
sudah menjadi bubur.
Kurasa tidak ada yang bisa kulakukan
lagi...Apa aku yang harus telanjang kali ini...
Lalu terjadilah itu.
“Kita kalah...Tidak peduli berapa kali aku
menghitung kartunya, tidak ada peluang untuk menang,”
Yukinoshita, yang hanya diam saja hingga saat
ini, menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Hatano terlihat terkejut
karena orang yang sejak tadi hanya diam mulai membuka mulutnya.
“Huh...Yukinon, kau tahu dari mana?” tanya
Yuigahama.
“Kau akan tahu jika kau hitung kartu yang
sudah dibuang. Lalu kau bandingkan dengan kartu kita, maka kau bisa
mengira-ngira kartu apa yang dimiliki musuh. Lagipula, status Milyuner dan
Fakir Miskin mengharuskan untuk bertukar kartu. Karena dua kartu terkuat dari
satu tim sudah diberikan ke Klub Gamers, kurasa tidak sulit untuk menebak
hasilnya.”
“Apa kau ini semacam Computer Obaa-chan atau sejenisnya?”
Bagus sekali – dia ternyata ingat semua kartu
yang sudah dimainkan. Ya, anak sekolahan biasanya akan berpikir seperti itu,
tapi tidak banyak yang mau melakukannya. Kau akan kesulitan untuk mengingat
kartu-kartunya, belum lagi memikirkan strateginya. Lagipula, ketika kau sudah
mulai terbiasa memainkan game ini, kau akan otomatis sadar kalau mereka mungkin
punya kartu Dua dan Joker tanpa perlu menghapal.
...Apa
gadis ini sangat pintar, atau bodoh?
“Klub Gamers akan memasang Joker dengan kartu
delapan, sehingga menciptakan efek Eight Ender, lalu setelah itu mereka akan
melempar kartu tujuh. Tim Hikigaya-kun punya tiga hati dan empat wajik, jadi
kita pasti kalah,”
Yukinoshita mengatakan itu dengan kesal dan
berdiri dari kursinya.
Whoa, darimana dia tahu kartu apa yang sedang
kupegang sekarang? Apa dia semacam Altar User atau sejenisnya?
Yukinoshita terlihat menggigit bibirnya
sendiri dan wajahnya memerah, lalu dia menaruh tangannya di rompi seragamnya.
Kedua jarinya, bergetar karena malu, sedang bagi kami sendiri, ini semacam
sebuah pengalaman yang sangat membingungkan.
Akupun berusaha menahan napasku, Yukinoshita
berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan rompinya, jari-jarinya yang kecil itu
terlihat berusaha menarik ujung rompinya.
Secara perlahan, dia berusaha melepas
rompinya, dan blus seragamnya terlihat olehku. Kalau aku secara diam-diam
mencoba untuk mengintip celah-celah diantara kancing bajunya, aku bisa melihat
kulit putihnya yang mulus, semulus porselen.
Mataku seperti tidak bisa lepas darinya. Well, bukannya aku tidak suka pemandangan
ini.
Di saat yang bersamaan, aku seperti menelan
air liurku sendiri. Lalu, aku mendengar sesuatu.
Suara
sialan, bisa tenang tidak? Kau membuat pandanganku tidak fokus. Begitulah
pikirku, kulihat asal suara itu, Hatano ternyata benar-benar melempar kartu
Jokernya ke meja.
Tapi dia tidak mempedulikan itu, dan hanya
mengatakan ”Maaf”, dan menaruh kartunya dengan santai.
...Ya
ampun.
Lain
kali tolong timingnya diperhatikan, jangan mengganggu fokusku! Oke...Ketika
aku hendak melihat lagi pemandangan itu, kedua mataku tertutup sesuatu.
“Stop. Oke, kurasa kau bisa hentikan itu.”
Tangan yang lembut menutupi mataku.
Ketika aku berusaha menyingkirkan tangan yang
menutup mataku itu, Yuigahama sedang melihatku seperti seorang sampah
masyarakat.
“Apa-apaan barusan?” tanyaku.
Yuigahama yang terlihat kesal tidak
menjawabku. Dia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seperti kesal terhadap diriku.
“Yukinon, kau tidak perlu melepas pakaianmu,
tahu tidak?”
Yuigahama menghentikan upaya Yukinoshita yang
hendak melepas rompinya. Tapi Yukinoshita hanya memegangi tangan Yuigahama
tersebut.
“...Tapi, ini adalah resiko perlombaan. Meski
aku harusnya meminta maaf karena sudah membawamu ke situasi ini.”
“Ohh, bukan begitu...Kita bisa memenangkan
ini,” Yuigahama mengatakan itu sambil melemparkan kartu ke meja. “Ini, tiga
sekop.”
Kartu itu mematikan kartu yang dilemparkan
Hatano sebelumnya.
“Urk!”
Hatano berteriak kaget seperti suara karakter
dari The Romance of The Three Kingdoms karya Yokoyama Mitsuteru.
Diikuti oleh “Urk!” dari teman satu timnya.
Sagami membeku seperti ekspresi yang ada di Kinnikuman.
Tiga sekop. Biasanya ini adalah kartu
terlemah, dan tidak ada satupun kartu yang bisa dikalahkan oleh itu. Tapi ada
satu aturan khusus, akan menjadi kartu spesial ketika mendapati kartu Joker
dimainkan di atas meja. Terlebih lagi, situasi saat ini sedang dipengaruhi oleh
Revolution Mode, oleh karena itu, kartu tiga adalah kartu terkuat saat ini.
Meski statusnya Fakir Miskin, game yang
mencerminkan situasi sosial kita saat ini, kaum itu tetap memperoleh sebuah harapan.
“Ini, sekarang giliranmu Yukinon.”
Yuigahama dengan ceria memberikan kartu
terakhirnya ke Yukinoshita yang mematung.
Yukinoshita dengan malu-malu menerima kartu
dari Yuigahama, bersamaan dengan senyuman di wajahnya.
Dan begitulah Dewi Kemenangan sudah tersenyum
seperti seorang ratu. Ketika matahari sore sudah menyinari ruangan klub,
seseorang memasang pose kemenangan yang disinari cahaya senja.
Ketika momen kemenangan sudah didapatkan. Di
tengah suasana suram yang mereka alami, aku berbicara kepada member Klub
Gamers.
“Suka atau tidak suka, kau tidak akan pernah
tahu apa yang akan terjadi di masa depan...Hidup ini adalah sebuah permainan
yang membutuhkan keberuntungan.”
Impianmu terwujud atau tidak, itu semua
tergantung peluang yang ada. Menang atau kalah tergantung peluang. Sumber:
Tottemo! Luckyman. Tidak ada ritme ataupun alasan untuk sebuah game. Apa-apaan
barusan? Dan karena itulah, well, apakah impian Zaimokuza itu menjadi nyata
atau tidak, itu semua tergantung kesempatan yang ada.
Akupun mendesah.
“Kurasa masih terlalu dini untuk meyerah
terhadap impianmu,” Aku mengatakan itu sambil tersenyum ke Zaimokuza dan kedua
member Klub Relawan.
“Hikigaya-kun” kata Yukinoshita. “Memang
kata-katamu terdengar bagus. Tapi bisakah kau pakai kembali bajumu?”
x
x x
Ketika kami meninggalkan Klub Gamers, sebuah
tiupan angin meniupku dari lorong yang terbuka. Bahuku serasa menggigil
dibuatnya, kurasa ini karena aku lama sekali bertelanjang di dalam sana.
Akupun menaruh tanganku di bahu dan menggerak-gerakkan
leherku sambil membuat suara yang memuaskan. Di sampingku, Yuigahama terlihat
bernapas lega sambil melemaskan tubuhnya. Yukinoshita juga terlihat sedikit
mengantuk akibat terlalu lelah di dalam sana.
“Um, maaf.”
“Silakan, kau boleh mentertawakan kami.”
Hatano dan Sagami merendahkan kepalanya
seperti merasa dipermalukan. Fakta kalau mereka meminta maaf itu saja sudah
cukup untuk meyakinkanku kalau mereka melakukan itu dengan tulus.
Ketika tempo hari mendengar halusinasi
Zaimokuza tentang menjadi penulis game, kurasa normal-normal saja jika mereka
mentertawakannya. Mungkin mereka begitu, tapi mereka terlihat benar-benar
tergugah ketika mendengar Zaimokuza mengatakan impiannya. Dengan begini, mereka
tidak akan pernah lagi menjelek-jelekkan Zaimokuza ketika mengatakan impiannya.
Tapi itu bukan urusanku. Bagiku Zaimokuza
tetap menjadi orang yang bodoh, sehingga aku akan tetap membuatnya diam di kemudian
hari.
“Oh?” Zaimokuza terlihat kebingungan dan
secara perlahan dia mulai tertawa.
“Selama kalian paham itu, tidak masalah!
Sekarang, tunggulah beberapa tahun lagi. Aku, Zaimokuza Yoshiteru, akan merilis
game yang sangat indah ke dunia ini sebagai hadiah dariku.”
Kata-kata yang berisi ego Zaimokuza
benar-benar menjengkelkan, tapi kedua member Klub Gamers menerima itu begitu
saja meski mereka tersenyum.
“Yep, kami akan menunggu gamemu rilis, Tuan
Ahli Pedang.”
“Well, tapi perlu diingat kalau hak ciptanya
nanti akan menjadi milik perusahaan game, jadi kau tidak bisa mengklaim itu
game sepenuhnya hasil karyamu, Tuan Ahli Pedang.”
Zaimokuza tiba-tiba menghentikan tawanya.
“Er, apa? Apa maksudmu?” tanya Zaimokuza.
Hatano dan Sagami hanya bisa menatap satu
sama lain. Lalu secara perlahan, dia menjelaskan detailnya.
“Apa
yang kau tulis untuk perusahaan akan otomatis menjadi hak milik perusahaan.”
“Itu seperti, kau punya perjanjian hak cipta
dan hak cipta karyamu itu jatuh ke tangan perusahaan.”
“Kau nantinya akan menandatangi kontrak,
kurasa itulah alasan mengapa kebanyakan penulis skenario game adalah seorang freelance.”
“Ketika karyamu menjadi milik perusahaan, kau
tidak akan bisa menerima uang berdasarkan angka penjualan gamenya.”
“A-Apa kalian serius?!” Zaimokuza mengatakan
itu sambil menjatuhkan tas sekolahnya. “Ka-Kalau begitu kurasa aku akan
berhenti saja...Yeah, kurasa ini tidak cocok denganku.”
Orang ini...Dia dari tadi bertingkah
kesana-kemari dan sekarang kembali lagi ke nol...Orang ini seperti minta dihajar saja.
Saat ini, aku berusaha menahan kepalan
tanganku agar tidak menghajar wajahnya. Kedua member Klub Gamers juga terkejut
sambil menahan senyumnya, seperti bercampur antara simpati, kagum, dan juga
jijik.
“Hmph, tidak ada gunanya jika aku cuma
dibayar sedikit ketika karyaku menjadi hit di pasaran. Kurasa menjadi penulis
Light Novel adalah yang terbaik! Aku putuskan saja cita-citaku, aku tidak boleh
menyia-nyiakan momen ini. Aku harus cepat dan segera menulis cerita...” Zaimokuza
mengatakan itu sambil mengambil tasnya.
Sambil menyilangkan lengannya, dia mulai
berjalan meninggalkan tempat ini.
“Sampai jumpa lagi, Hachiman!”
Aku sendiri malas untuk menjawabnya, aku
hanya menaikkan satu tanganku dan memberinya kode untuk pergi saja dari sini.
Dia membalasku dengan melambaikan tangannya, ditemani oleh cahaya senja dari
matahari sore.
...Wow,
ini adalah kegiatan paling sia-sia yang pernah dilakukan oleh Klub Relawan
semenjak berdiri di sekolah ini.
“Wow, mereka ini memang orang-orang yang
aneh,” Hatano mengatakan itu sambil mendesah.
“Benar, kan?” kataku. “Aku sendiri malas
untuk bertemu dia.”
“Err, semua Senpai yang disini menurutku
cukup aneh juga...” Sagami mengatakan itu dengan ekspresi yang dingin.
“Oi kalian!” kataku. “Berani sekali kalian
mengatakan itu kepada pria yang memiliki pikiran paling logis di tempat ini?!”
“Di dunia mana idealismemu itu akan
dipertimbangkan sebagai pikiran yang logis...? Menjadi orang aneh sepertimu
adalah hal yang melelahkan,” Yukinoshita mengatakan itu dengan dingin.
“Er, Yukinon, kau sendiri juga orang yang
unik...”
Yuigahama mengatakan itu sambil tertawa.
Yukinoshita tidak terlihat marah
mendengarnya, malahan dia tersenyum ke arah Yuigahama.
“Memang. Baik Hikigaya-kun dan diriku memang
tidak terlihat normal, jadi...Jadi jika ada orang normal sepertimu bergabung
dengan kami, Yuigahama-san, itu akan sangat membantu – kupikir begitu.”
Wajah Yukinoshita, yang disinari oleh cahaya
matahari sore, terlihat memerah. Yuigahama, yang hanya terdiam melihat wajah
Yukinoshita, mulai terlihat gembira. Kedua matanya terlihat hendak meneteskan
air mata dan dia mulai memeluk lengan kanan Yukinoshita.
“...O-Oke!”
Yukinoshita menggerutu, “Jangan terlalu
dekat...” Tapi dia tidak menggerakkan badannya agar Yuigahama melepaskan
lengannya, dan mereka berdua tetap terlihat seperti itu.
“Ngomong-ngomong, ayo kita kembali ke klub,”
Akupun memanggil mereka berdua dan berjalan
di depan. Yukinoshita dan Yuigahama mengikutiku dari belakang.
Ngomong-ngomong,
kurasa ini adalah hal yang bagus melihat Yukinoshita dan Yuigahama sudah kembali
ke diri mereka yang lama, kurasa begitu...
x Chapter V | END x
Sang Ahli Pedang adalah nickname yang sering dipakai Zaimokuza. Bahkan dia memakai nickname itu ketika mengirim email konsultasi di vol 7.5.
...
Yui berusaha mengatakan kalau cintanya kepada Hachiman itu benar-benar tulus, meski Yui sendiri mengakui mengenal Hachiman karena dia penyelamat anjingnya.
Ironisnya, Hachiman sadar dengan maksud kata-kata Yui dan menjawab langsung di monolog selanjutnya: Salah jika kau berpikir bisa mendapatkan sesuatu hanya karena kau benar-benar menyukainya.
...
Re zero
BalasHapus