x x x
Kami menyelesaikan wawancara dan sesi foto
bersama Hayama. Setelah itu, kami mengunjungi klub yang lainnya, dan akhirnya
menyelesaikan semua itu. Kami bahkan berhasil mendapatkan foto Hayama yang
melambaikan tangannya ke depan, jadi tidak ada yang perlu mengkhawatirkan
kualitas dari fotoku ini.
Yuigahama dan Yukinoshita harusnya sudah
selesai melakukan tugasnya mewawancarai klub para gadis juga. Pekerjaanku yang
tersisa adalah mengambil foto dari Isshiki Iroha untuk sampul koran.
Sesuai permintaan dari modelnya, Isshiki,
kami menuju ke perpustakaan untuk mengambil foto.
Kami berjalan menuju pintu masuk sekolah
dengan memutari halaman, mengganti sepatu indoor, melewati Ruang Guru, dan
akhirnya masuk ke perpustakaan.
Memasuki jam pulang sekolah, perpustakaan
sangat jarang didatangi oleh siswa. Sebuah momen yang damai terlihat di ruangan
ini.
“Jadi, kenapa kau memilih perpustakaan...?”
Isshiki melihat ke semua sudut yang ada di
perpustakaan untuk mencari tempat pengambilan gambar yang bagus. Ketika kutanya
itu dari belakang, dia membalikkan badannya.
“Bukankah perpustakaan itu, seperti,
menampilkan kesan intelektual?”
“Kata-katamu barusan terkesan tidak
intelektual...”
“Itu tidak masalah. Yang terpenting itu
bagaimana mengesankan diriku di foto.”
Dia memalingkan wajahnya dan mulai berjalan,
lalu berhenti tiba-tiba. Akhirnya berhenti di sebuah spot, dia lalu duduk di
meja dengan membelakangi rak buku. Lalu, dia mengambil cermin kecil dari
sakunya dan mulai memperbaiki penampilannya.
Rak buku yang tinggi agar mengesankan Isshiki
bukan gadis yang pendek, dan punggung buku yang berwarna gelap membuat kulitnya
terlihat lebih putih karena warna yang kontras. Cahaya di ruangan perpustakaan
terlihat sangat cerah ketika mendapat cahaya matahari sore, ini juga memberikan
kesan tertentu bagi pembaca koran, yaitu membuat kulit Isshiki terkesan hangat.
Aku tidak tahu banyak soal teknik pencahayaan
dalam pengambilan foto karena aku sendiri masih amatir, tapi kurasa tampilan
Isshiki kali ini akan membuat sebuah gambar yang bagus. Itulah yang kauharapkan
dari Isshiki Iroha; dia tahu bagaimana menampilkan pesonanya secara maksimal.
“Baiklah, akan kuambil fotonya.” aku
memberitahu Isshiki.
Dia menjawabnya dengan menopang wajahnya
dengan tangannya, sedang sikunya menempel ke meja.
Matanya yang bercahaya dan bulu matanya yang
panjang mengesankan sesuatu yang indah dan mengesampingkan keluguannya yang
tercermin di senyumnya, bibirnya yang berwarna pink itu terlihat lembut.
Meski lensa kameraku mengarah padanya, aku
lupa untuk menekan shutternya. Setelah mendengar suara batuk entah dari siapa, kesadaranku mulai
kembali.
Aku lalu menekan shutternya beberapa kali dan
merendahkan kameranya. Setelah memeriksa hasilnya, aku mencoba berbicara kepada
Isshiki untuk mencari alasan dari sikapku yang melamun tadi.
“Kau tampaknya sudah terbiasa dalam
pemotretan ya...” kataku.
Isshiki yang hendak mengganti posenya,
berpikir sambil berkaca ke cermin kecil miliknya. Setelah menatap kaca
tersebut, dia memiringkan kepalanya.
“Benarkah? Bukankah normal jika kita setiap
harinya mengambil foto?”
“Tidak setiap waktu.”
Kurasa hanya event-event tertentu saja
seperti darmawisata atau event yang membuatku mengambil foto sebagai
kenang-kenangan. Setidaknya, itulah yang terjadi dalam hidupku selama ini.
Tapi Isshiki mengatakan sesuatu yang berbeda.
Dia menutup cermin kecil itu dan menatapku. Meski tanpa adanya kamera yang
mengarah padanya, dia tersenyum dengan lembut.
“Kenangan itu adalah sesuatu yang penting,
bukankah begitu?”
Itu adalah sesuatu yang normal bagi Isshiki
Iroha.
Dia mengatakan bahkan pemandangan yang
biasa-biasa saja merupakan kenangan yang harus diingat.
“...Yeah, kurasa begitu.” aku menjawabnya
dengan singkat.
Akupun membetulkan kameraku kembali. Kalau dipikir-pikir, foto-foto ini akankah
menjadi sebuah kenangan yang biasa-biasa saja, ataukah menjadi kenangan yang
spesial? Aku memikirkan itu sambil menekan shutter kamera ini.
x
x x
Setelah
mendapatkan mayoritas materinya, kami mulai mengerjakan artikelnya. Beberapa
hari sudah berlalu sejak saat itu. Artikel promosi klub-klub dan tempat-tempat
rekomendasi mayoritas sudah selesai. Desain halamannya terlihat bagus dan kami
mulai mengisi artikel di tiap halamannya.
Untuk artikel-artikelnya, hanya kurang
penulisan judul dan penempatan header, selebihnya selesai. Komentar para ketua
klub tentang sekolah ini di halaman akhir koran juga hampir selesai.
Kemajuan pekerjaan kita sudah bagus. Harusnya
menjadi koran yang bagus.
Kita juga memastikan kalau artikel-artikel
tentang klub dan tempat-tempat rekomendasi, juga wawancaranya menggunakan gaya
bahasa ala Isshiki. Kami juga
menerima konfirmasi dari setiap klub mengenai foto mereka juga. Kami bahkan
sempat menjahili sampul depan yang bergambar Isshiki tersebut.
Tapi. Tapi, meski begitu, kenapa tulisanku
tidak selesai-selesai.
“Kenapa bisa begini...?”
Apa karena aku menganggap pekerjaan ini sesuatu
yang serius? Memang, aku ini bekerja dengan serius; tidak hanya mengerjakan
jatah pekerjaanku, aku juga membantu Yukinoshita, dan kami berdua pergi ke Klub
Gamers untuk wawancara untuk menggantikan Yuigahama.
Bagi orang sepertiku, aku bekerja sangat
keras, belakangan ini menghabiskan hari-hariku dengan kesibukan. Mungkin karena
itulah...Ketika kau terlalu sibuk, kau terlihat melupakan pekerjaanmu yang
lain...
Aku punya banyak sekali kolom untuk ditulis,
sedangkan yang kuhadapi saat ini adalah “Dua hari sebelum deadline!”
Akupun menaruh kedua tanganku di kepalaku,
sedang Isshiki terlihat duduk di sebelahku. Lalu dia menuangkan teh dari botolnya.
“Ini, minum ini. Tolong lakukan yang
terbaik!” katanya.
Dia lalu menaruh botol itu di kulkas kecil
yang ada di bawah meja. Dia lalu duduk berseberangan denganku.
Teh, meja, kursi, dan yang terakhir,
ruangannya berbeda dari biasanya.
Saat ini, aku terkurung di Ruang Ketua OSIS,
dipaksa menulis sisa kolom yang tersisa sambil diawasi. Karena pemanas ruangan
klub sedang rusak, maka Isshiki menawarkan Ruang Ketua OSIS sebagai alternatif
untuk menulis artikel.
Aku lalu melihat ke arah jendela, ternyata
matahari sudah tenggelam. Biasanya, aku menggunakan HP-ku untuk melihat
waktunya, tapi aku tidak bisa melakukannya karena HP-ku disita Isshiki untuk
efektivitas penulisan. Aku lalu melihat ruangan ini dan tatapanku terhenti di
jam dinding, jarum jamnya sedang menunjuk ke angka-angka yang terasa kejam
bagiku.
Aku langsung diseret ke ruangan ini segera
setelah jam pelajaran terakhir selesai dan aku belum pernah sekalipun
menginjakkan kaki di luar ruangan ini setelahnya. Itu karena deadlinenya adalah
besok.
Oooooooooh
sial...Aku belum menulis satupun kata...Aku tidak bisa membayangkan diriku menyelesaikan
ini tepat waktu...
Akupun memukul keyboardku untuk pelampiasan emosiku itu. Aku sedari
tadi hanya mengulang-ulang hal tersebut. Sial,
siaaaaaal. Kalau begini, kita tidak akan bisa selesai tepat waktu, ahhhhhhhh!
Ketika menyandarkan diriku di kursi, Isshiki terlihat menjauhkan
dirinya dariku. Ekspresinya seperti hendak mengatakan, “Ugh...” sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu, ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan
mulai mencari-cari sesuatu di kantong blazernya.
“Senpai, ada telepon,” katanya, dia lalu
mengambil HP-ku dari kantongnya, mencoba memberikan itu kepadaku.
Tapi, sebuah panggilan telepon sebelum
deadline bukanlah sesuatu yang bagus. Pertama-tama, jika kau meminta sesuatu
yang seperti itu, maka tidak akan ada episode anime yang hanya berisi
kesimpulan cerita sementara. Menunda jadwal rilis karena penulis Light Novel
berkata tidak sanggup dengan deadlinenya juga tidak akan pernah terjadi.
Oleh karena itu, yang terbaik adalah mencari
tahu siapa yang menelpon lalu tidak mempedulikan panggilannya.
“...Dari siapa? Editor?” tanyaku.
Isshiki mendesah seperti tidak percaya.
“Apa editor adalah satu-satunya hal yang
terpikirkan olehmu? Kalau begitu situasinya ternyata benar-benar buruk
ya...Umm...Oh, disini tertulis [ Ibu ]. Mungkinkah dari Ibu Senpai?”
“...Ibunya editor? Apakah mereka akan terus
mengawasiku dengan menyamar sebagai salah satu anggota keluargaku?”
“Tidak, kenapa Senpai sampai berpikiran
seperti itu? Kupikir ini dari Ibu Senpai.”
“Oke. Biarkan saja, nanti aku akan
menelponnya balik.”
“Oh, ya sudah kalau begitu.”
Isshiki menjawabnya dan menaruh kembali HP-ku
ke kantongnya. Dia lalu membuka kembali dokumen-dokumen di atas meja, mungkin
itu laporan keuangan OSIS, lalu menstempelnya satu-persatu.
Melihatnya bekerja di seberangku membuatku
merasa kalau aku harus menyelesaikan pekerjaanku... Secara otomatis, aku mulai
menekan-nekan tombol keyboardku.
Dan begitulah, waktu berlalu.
Di luar mulai terlihat gelap, ini adalah
waktu dimana para siswa harusnya pulang ke rumah. Aku tidak lagi mendengar
suara stempel itu lagi, tidak menyadari kalau Isshiki ternyata sudah
menyelesaikan pekerjaannya. Aku lalu menatap ke arahnya dan dia terlihat sedang
menatap layar HP-nya.
Bisakah
aku berhenti untuk hari ini...? Bukankah masih ada besok? Aku berjanji akan
berusaha lebih keras besok. Aku akan menyelesaikannya besok...
Setelah itu terbayangkan olehku, konsentrasiku langsung buyar
seperti asap.
“Aku selesai, aku tidak bisa menulis lagi.
Aku tidak bisa menulis sesuatu jika panik seperti ini. Kurasa yang bisa
kulakukan saat ini adalah pulang dan tidur.” akupun mengatakannya dengan keras.
Isshiki menoleh ke arahku. Dia mendesah
seperti tidak percaya.
“Baiklah, kurasa itu mungkin adalah ide yang
bagus.”
“Benarkan,
benar? Apa tidak masalah jika kita sedikit saja melewati jadwal deadlinenya?”
Apakah ini yang kau sebut dengan kondisi sakaw dari penulis? Terbebani oleh semua
stress sebelum deadline, kelelahan karena bekerja tanpa henti, perasaan yang
gembira karena berusaha kabur dari kenyataan, lalu secara spontan aku tertawa
dengan nada yang menakutkan.
Isshiki lalu menatapku dengan kaku.
“...Huh? Apa Senpai berencana untuk tidak
menyelesaikannya tepat waktu?”
“W-Well, aku sendiri tidak yakin.”
Tapi jujur saja, kolom-kolom ini kurasa butuh
sekitar ribuan kata untuk mengisinya, jadi jika kulakukan yang terbaik hari ini
dan besok, aku merasa kalau aku bisa menyelesaikan ini. Tapi tidak semudah itu
karena aku hanya bisa mengerjakan beberapa ratus kata dalam beberapa jam.
Aku sangat ragu untuk berteriak keras-keras.
Alasannya karena Isshiki sudah memegangi kepalanya sebelum aku bisa menjelaskan
itu kepadanya.
“Oh tidak...Itu tidak bagus...Umm, bukankah
itu, seperti, buruk sekali jika telat dari deadline?”
Isshiki lalu menyandarkan kepalanya di atas
meja. Dia lalu menatapku dengan tatapan yang suram. Setelah itu, dia
menggumamkan secara pelan, “Semua pengeluaran! Sudah memesan paket diskon!
Belum biaya ekstra! Belum tagihan yang ternyata diluar perkiraan! “.
Reaksinya sudah memberitahuku semuanya.
Isshiki mengharapkan kami untuk menyelesaikannya tepat waktu sehingga rencana
paket diskonnya tidak batal dan tercantum dalam laporan keuangan. Dia juga
sepertinya sudah menuliskan pengeluaran OSIS soal koran ini dalam laporan
keuangan yang akan disetor ke sekolah.
Tentunya, harusnya masih memungkinkan untuk
merevisi laporan keuangan itu.
Tapi ini semua merupakan harga diri dari
Sesuatu-gaya Sesuatu-man; meski dia mengatakan dengan yakin kalau ini akan
selesai dalam beberapa hari, dia malahan terlihat bersantai-santai dalam
pengerjaannya, “Jangan khawatir, tentang saja, aku bisa menyelesaikannya dengan
sangat cepat”. Kurasa bukan hal yang bagus jika terlalu bangga dengan diri
sendiri...
“...Ku-Kurasa itu memang buruk...Yeah. A-Aku
akan berusaha lebih keras lagi, oke?”
“Be-Benarkah? Tolong ya Senpai...”
Isshiki melihatku dengan matanya yang
berkaca-kaca. Dia tidak terlihat licik dimana dia harusnya tampil seperti itu,
kurasa dia cukup jujur kali ini. Melihatnya
seperti ini, kurasa aku harus menyelesaikan ini...
Ada sebuah deadline yang tidak boleh dilewatkan.
x
x x
Jujur
saja ya, aku sudah tidak sanggup lagi. Maaf karena mengatakan ini tiba-tiba.
Tapi aku tidak bisa.
Dalam
beberapa jam lagi, suara bel akan berbunyi.
Itu
adalah bel dari deadline.
Hati-hatilah dengan kedatangan editor yang berdada kecil itu.
Ketika
dia muncul, maka kiamat akan datang beberapa saat kemudian.
Pikiran itu terus muncul di kepalaku.
Dihantui deadline yang tidak boleh dilewatkan
– aku menghadapi momen yang sama esok harinya – aku meminjam ruangan Ketua
OSIS, dikurung disana.
Meski kemarin aku sudah berusaha yang terbaik
untuk mengumpulkan semua motivasiku, tubuhku sepertinya mencapai limit seperti
Chinofuji Mitsugu, dan akupun pulang ke rumah. Meski aku melanjutkannya
sebentar di rumah dan curi-curi kesempatan untuk mengerjakannya di kelas, akhir
dari tulisan ini masih tidak bisa kulihat.
Dan sekarang, dari jendela ruang Ketua OSIS,
aku menatap ke arah matahari yang mulai tenggelam. Tentunya, tidak ada perkembangan
dalam manuskripku.
Sial,
sial... Aku bahkan tidak menuliskan satupun kata di keyboard, malahan aku
hanya berputar-putar di kursiku. Lalu, ada seseorang yang mengetuk pintu
ruangan ini.
“Hei Hikki, bagaimana perkembangannya?”
Orang yang menyapa dan masuk ke ruangan ini
adalah Yuigahama. Sepertinya dia kesini untuk memeriksa perkembangannya.
“...Ku-Kurasa masih di bawah 70%.”
“Whoa, itu luar biasa...”
“Dari yang tersisa...”
Setelah aku mengatakan itu, Yuigahama terlihat
kecewa. Akupun ingin mengekspresikan kekecewaanku terhadap situasiku ini...
Ketika menggeleng-gelengkan kepalaku,
Yuigahama berjalan ke arahku dan menepuk pundakku.
“Kau bisa melakukannya! Jangan khawatir, kita
pasti akan bisa menyelesaikannya! Aku akan mengerjakan pekerjaanku disini
denganmu juga!”
Mengatakan
itu dalam situasi seperti ini hanya membuatmu terlihat seperti seseorang yang
datang untuk mengawasiku...
Aku biasanya menolak jika bekerja di bawah pengawasan, tapi situasi
kali ini berbeda. Mengawasiku mungkin adalah satu-satunya cara agar aku
mengerjakan tugasku. Well, jika ini kerja paruh waktu, aku pasti tidak akan
peduli dengan pekerjaanku. Tapi dengan Isshiki kemarin, dan Yuigahama yang hari
ini mengawasiku, aku harus mengerjakan pekerjaanku. Begitulah pria, kita adalah
makhluk yang bandel...
Seperti termotivasi, akupun menatap kembali
layarku. Melanjutkan kembali pekerjaanku. Setelah menuliskan beberapa baris
kata, aku mulai putus asa lagi. Setiap kali melihat kata-kata yang berjarak
itu, membuat mataku seperti terbakar.
Aku seperti dihantam oleh realitas kalau aku tidak berusaha dengan baik
mengingat banyaknya waktu yang sudah kuhabiskan.
Dalam satu hari, aku hanya menyelesaikan
kurang dari 20%. Dan itu berarti tersisa 80% yang harus diselesaikan dalam
beberapa jam, dan itu sangat mustahil. Jika aku pada akhirnya bisa
menyelesaikannya tepat waktu, maka ini benar-benar menentang hukum alam.
Ugh...
Ketika aku dihantam realita, aku mendengar sebuah suara yang berbeda. Ketika
kulihat, Yuigahama sedang menggunakan kalkulator.
“...Apa yang kau lakukan?” tanyaku.
Yuigahama menaruh pena di telinganya dan
menatapku.
“Hmm? Oh, umm, aku sedang menghitung
pengeluaran kita sampai saat ini. Tampaknya sedikit berbeda dengan yang ada di
laporan keuangan.”
“Lagipula Isshiki memang kurang bagus dalam
matematika...”
“Ahh, itu benar...Well, disitulah dimana
Yukinon dan diriku datang!”
Yuigahama mengatakan itu, sambil tersenyum
kecut. Dia tampak seperti seorang kakak. Aku yakin kalau dia memperlakukan
Isshiki layaknya sebagai adik kelas.
Satu-satunya masalah adalah mengapa adik
kelas yang manis ini selalu membawa masalah kepada kita. Sebenarnya, request
pertamanya ke klub dulu itu adalah request yang paling bermasalah...
Tapi, mungkin inilah realitas bagaimana semua
ini seharusnya.
Satu orang membuat sebuah kebohongan. Lalu
kebohongan itu berubah menjadi sesuatu yang berwujud, menyebabkan munculnya
sebuah pekerjaan. Dalam komunitas sosial, seorang pembohong besar seperti itu
juga dikenal dengan sebutan produser. Jadi dalam hal ini, Isshiki mungkin punya
kualitas untuk menjadi seorang produser. Untuk request kali ini, Yukinoshita
akan menjadi sutradaranya, sementara Yuigahama menjadi asisten sutradara.
Sedangkan aku, seperti biasanya, adalah kelas bawah, budak perusahaan yang
sedang outsourcing.
Aku lalu menatap lagi layar komputerku untuk
mengerjakan pekerjaan buruh ini. Tapi setelah beberapa kalimat, akupun berhenti
lagi, jadi sebenarnya aku tidak banyak mengerjakan sesuatu.
Entah mengapa, aku merasa kalau waktu yang
kuhabiskan untuk menatap keluar jendela sekedar melihat matahari tenggelam atau
menatap ke arah jam dinding terasa lebih lama daripada aku menatap layar
komputer ini.
Menghitung banyaknya waktu yang sudah
terlewati saja sudah cukup untuk membuat pikiranmu terpojok. Aku secara tidak
sengaja mendesah kesal, juga merasakan lelah karena duduk dan menatap komputer
dalam waktu yang lama.
“Kau baik-baik saja, Hikki?”
Yuigahama berdiri dari kursinya, mendengarkan
desahan kesalku, dan berdiri di sampingku. Dia lalu melihat ekspresi wajahku.
Jaraknya cukup dekat, jika aku melemaskan
tanganku ke samping maka aku akan menyentuh wajahnya. Aku bahkan bisa mendengar
suara napasnya yang samar-samar. Situasi yang dekat ini dan rasa malu ketika
kedua pasang mata kami bertemu membuatku untuk pura-pura melemaskan leherku dan
menatap ke arah lain.
“Jadwal deadlinenya kurasa tidak akan bisa
kalau seperti ini...”
Akupun menggerutu, berusaha mencairkan
suasananya. Lalu punggungku terasa lebih berat dari biasanya.
“Kalau kita tidak bisa tepat waktu, maka kita
tidak bisa menyelesaikan ini.”
Ketika aku menoleh, Yuigahama sedang menaruh
tangannya di bajuku. Jari-jarinya yang kurus itu meremas blazer yang menempel
di bahuku.
“Aku akan menemanimu meminta maaf dan aku
yakin Iroha-chan akan mengerti juga. Lagipula requestnya memang sejak awal
terlihat tidak masuk akal.”
“Memang benar, requestnya tidak masuk akal.”
Sambil mengatakan itu, aku
menggoyang-goyangkan tubuhku untuk melepaskan tangannya dari bahuku, tapi dia
tidak mau melepaskannya. Malahan, dia mulai memukul bahuku dengan pelan
menggunakan interval yang pendek.
“Ini bukan salahmu, Hikki. Meski kau menyerah
sekarang, tidak akan ada satupun orang yang menyalahkanmu. Dan ini bukanlah
sesuatu yang harus kita selesaikan.”
Kata-katanya tadi sedikit di luar dugaan,
karena Yuigahama tidak pernah mengatakan menolak semua request yang datang ke
Klub Relawan sampai saat ini.
Karena penasaran, akupun menolehkan kepalaku
dan melihat Yuigahama yang tersenyum kecil.
“...Aku benar-benar tidak suka melihatmu
kesakitan, Hikki.”
“Kata-katamu itu terasa kurang adil.”
Mengesampingkan responku yang spontan, aku
bisa merasakan seberapa lembut jawabanku. Mungkin karena aku kelelahan.
Mendengar kata-kata yang lembut semacam itu sambil memijat bahuku hanya membuat
bahuku terasa rileks.
Tiba-tiba, aku menaikkan bahuku.
Bagi seorang gadis yang sangat baik dan
memberiku kata-kata yang seperti itu, ini adalah sesuatu dimana aku tidak boleh
menyerah dan lari. Itu karena ketika kau memberikan semacam kata-kata manis
kepadanya, kau harusnya tidak boleh kabur dari itu. Oleh karena itu, ini
membuatku untuk tidak menyerah entah sebodoh apapun situasi atau sesulit apapun
masalahnya.
“Kau pikir begitu...?”
Yuigahama menghentikan gerakan tangannya dan
membiarkannya menekan bahuku, lalu secara perlahan, dia mengangkat tangannya.
“Oh, uh, sebenarnya maksudku tidak seperti itu.”
Aku memilih kata-kata yang salah ketika aku
menjawab orang yang mengkhawatirkanku dengan ‘tidak adil’. Akupun memutar kursiku dan menatap Yuigahama. Aku
duduk dan memikirkan kata-kata yang tepat. Tapi Yuigahama tidak memberikan
waktu untuk itu dan dia mengangguk.
“...Yeah, kupikir aku memang tidak adil!”
kata Yuigahama, suaranya terkesan ceria dan dia berpikir seperti mendapatkan
sesuatu.
Aku tidak begitu paham maksudnya, tapi aku
ingin memberinya tanggapan positif sehingga aku membuka mulutku.
“Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi uh,
maksudku dalam hal positif...”
Tapi Yuigahama, mengartikan berbeda.
“Kupikir...Aku memang tidak adil...Itu karena
aku tidak pernah bisa menghentikanmu ataupun membantumu. Dan juga...Untuk
beberapa hal lainnya.”
Kata-kata Yuigahama seperti berputar-putar di
kepalaku, mungkin karena dia berbicara sambil berpikir. Tapi entah kenapa, aku
merasa di mengatakan itu dengan jujur. Sama halnya dengan cara dia tertawa
untuk menyembunyikan rasa malunya atau menggumamkan sesuatu sambil memalingkan
pandangannya, aku yakin dia sedang berusaha menyembunyikannya.
Meski begitu, dia melihat ke arahku, seperti
hendak memberitahuku tentang sesuatu.
“Oleh karena itu...Oleh karena itu, ketika
sesuatu seperti ini terjadi lagi, aku meyakinkan diriku untuk melakukannya.”
Ekspresinya yang terkesan jujur dan bagaimana
dia menambahkan sebuah realita dalam kata-katanya itu terasa seperti sebuah
ambiguitas yang hampa. Sebenarnya, semua orang pasti akan melakukannya. Mereka
harus melakukannya, meski jika mereka tidak tahu apakah mereka harus melakukan
itu atau mereka bisa melakukan itu. Aku yakin kalau itu adalah pemikiran semua
orang, meski jika itu terlihat abu-abu.
Tentunya, aku bukanlah pengecualian. Oleh
karena itu, untuk sementara itu, aku perlu melakukan sesuatu yang kuanggap
benar di depan mataku. Aku lalu memutar kembali kursiku dan menatap ke layar
komputer lagi.
“Kurasa tidak masalah. Akulah yang selalu
terlihat egois ketika melakukannya. Kau tidak salah karena tidak
menghentikanku. Jika ada sesuatu, maka orang yang membuat janjilah yang
bersalah...Oleh karenanya, uh...Aku akan memberikan apa yang kubisa.”
“...Oh...Oke, ayo kita lakukan yang terbaik
kalau begitu!” kata Yuigahama. Suaranya terdengar ceria dan dia kemudian
mendorong punggungku.
x
x x
Tidak,
tidak! Aku ingin pulang! Aku tidak tahu lagi! Lupakan saja soal mengirim naskah
atau mengeditnya! Aku lelah dihantui deadline ini dan terisolasi di ruangan
ini! Aku tidak mau mengerjakan manuskrip lagi!
Akupun berteriak seperti itu dan tertidur di mejaku. Saat ini, aku
adalah satu-satunya orang di Sekretariat OSIS. Akupun berteriak sesukaku.
Aku sudah memberikan Yuigahama printout naskah yang sudah kukerjakan dan dia pergi untuk memberikannya ke Yukinoshita. Setelah dia pergi, konsentrasiku yang melemah mulai kambuh lagi.
Well begini, entah mengapa aku akhirnya
menyelesaikan 80% sisa kolomnya. Aku menerima beberapa motivasi dari Yuigahama,
jadi kupikir aku sudah mengerjakan beberapa pekerjaan yang bagus disini,
terutama kalau mempertimbangkan kalau itu adalah diriku.
Tapi untuk 20% terakhir, tidak ada satupun,
kata-kata yang muncul di pikiranku, dan akupun seperti tersendat sambil melihat
atap dan bersandar di kursiku.
Ahh,
bisakah Illuminati datang langsung kesini? Aku ingin segera dibebaskan dari
pekerjaan ini selamanya, tolonglah.
Aku, sendiri, berpikir kalau konsentrasi adalah sesuatu yang
spontan, dan bukan sesuatu yang berkelanjutan. Daripada melakukannya semalaman
dalam beberapa hari dimana kau sendiri tidak membuat perkembangan yang berarti,
akan sangat penting jika melakukannya secara terencana dan dari jauh hari.
Meski, semuanya terasa sia-sia ketika kau menyadari kalau deadlinenya sudah
dekat. Ini seperti sehari sebelum ujian, serius ini.
Aku terus menatap ke arah atap ruangan ini
seperti sebuah baterai yang mati dan ada suara pintu yang diketuk. Tanpa adanya energi yang tersisa untuk menjawab, aku hanya menatap ke arah pintu dan orang yang mengetuk itu masuk ke ruangan ini tanpa menunggu responku.
“Apa kau sudah selesai?”
Orang yang datang kesini dan bertanya itu
sedang memegang tas di bahunya, Yukinoshita.
“...Kalau selesai, aku akan memberitahumu.”
“Kurasa itu benar,” Yukinoshita mengatakan
itu karena setuju.
Lalu, dia berjalan menuju sebelahku dan
mengambil sebuah dokumen yang banyak coretan warna merah dari tasnya.
“Ini kirimanmu sebelumnya. Ada banyak
kalimat-kalimat yang kurang baik di separuh terakhir.”
“Be-Benar.”
Aku lalu mengambil dokumen itu darinya dan
membacanya dengan cepat. Selain dari kalimat yang salah, aku melihat banyak
sekali kesalahan lainnya. Aku lalu memperbaiki bagian manuskrip yang dicoret
itu di layar laptopku dan aku masih bisa merasakan kehadiran orang di
sebelahku.
“...Apa kau perlu sesuatu?”
“Ah, tidak...Tidak ada apapun.”
Yukinoshita mengatakan itu dengan malu-malu
dan dia menyilangkan tangannya ke belakang. Dia lalu berjalan ke belakangku dan
menarik kursi kosong yang ada di belakang lalu duduk di sampingku. Setelah
mencari-cari sesuatu di tasnya, dia lalu melihat-lihat dokumen itu dan
mengerjakan sesuatu.
Tampaknya Yukinoshita datang kesini untuk
mengerjakan sesuatu sambil mengawasiku. Fakta kalau dia hadir disini berarti
kalau kita sudah dekat dengan deadlinenya.
Tertekan atau tidak, aku sudah tahu horor
dari deadline.
Setelah aku selesai membuat revisi dari
manuskripnya, aku lalu scroll ke bawah untuk menyelesaikan 20% sisanya.
Hanya beberapa ratus kata tersisa.
Kalau aku bisa menulis sebanyak itu, aku bisa
mengisi satu halaman yang kosong.
Jika andai saja, aku menulis sesuatu yang
jelek, maka orang yang akan dikomplain adalah Pimpinan Produksinya, Isshiki.
Mengerjakan sesuatu yang bisa membuat Isshiki menjadi orang yang disalahkan
adalah sesuatu yang tidak bisa kulakukan.
Untuk menghindari hal tersebut, itu artinya
aku harus menulis sesuatu yang berkualitas. Daripada, mengirim sesuatu yang
jelek, pastinya, Yukinoshita sebagai editor dan juga Isshiki sebagai pimpinan
akan memintaku untuk merevisi manuskripnya. Mungkin ada baiknya jika aku sejak
awal serius dalam mengerjakannya daripada bolak-balik revisi.
Aku lalu mengumpulkan apa yang tersisa dari
diriku dan melanjutkan lagi ke layar komputer. Jam digital yang berada di bawah
layar menunjukkan waktu yang bergerak, menit demi menit, dan kolom yang kosong
terisi, baris demi baris.
Tidak lama kemudian, tanganku tidak mau
bergerak, satu senti-pun.
“...Aku sudah selesai.”
“Oh, benarkah?”
Setelah mendengar suaraku, Yukinoshita
terlihat senang dan hendak berdiri. Akupun menaikkan tanganku untuk
menghentikannya, lalu aku bersandar ke mejaku.
“Aku sudah selesai. Ini mustahil, aku tidak
bisa melakukannya lagi. Aku tidak bisa memikirkan apapun. Aku tidak bisa
memikirkan satupun kata lagi...”
“Itukah maksudmu...”
Yukinoshita mengembuskan napasnya seperti
terkejut dan duduk kembali di kursinya. Lalu, dia menambahkan.
“Tapi kita tidak bisa seperti itu. Kita tidak
punya waktu lagi, tahu tidak?”
“Well, yeah, aku tahu itu, tapi...”
Aku sadar betul kalau aku muak dengan ini.
Tapi otakku tidak mau berfungsi meskipun aku menginginkannya. Otakku sudah
menolak untuk bekerja, jadi aku mulai merasa kalau tidak ada yang bisa
kulakukan lagi. Ini mirip ketika kau meremas handuk basah hingga tetes
terakhir, tidak ada satupun kata yang muncul di kepalaku.
Aku lalu bersandar ke kursiku dan melihat ke
atap ruangan ini. Aku sudah kehabisan
opsi...
Aku biarkan ujung-ujung jariku berada di
keyboard meskipun aku tidak bisa menggerakkannya. Dengan kedua tanganku seperti
itu, tubuhku seperti menghadap ke surga, aku ini seperti sebuah mayat serangga.
Aku tidak lebih dari serangga...Seekor
serangga kecil yang tidak berkompeten untuk menyelesaikan deadline. Mari kita
panggil Hachiman sebagai seekor serangga mulai saat ini. Dan mari kita buang
tubuh manusia ini ke lautan...
Ketika kulihat atap ruangan ini dengan damai, aku melihat
Yukinoshita. Dia melihatku dari atas, wajahnya terlihat penasaran.
“...Ini, ambil ini.”
Yukinoshita mengatakan itu sambil memberikan
sesuatu yang dibungkus sarung tangan di dekat dadaku.
Akupun mengambil bungkusan itu darinya; ini hangat sekali. Sarung tangan ini
berbentuk seperti cakar kucing. Setelah membukanya, yang terlihat di depanku
adalah sekaleng MAX COFFEE hangat. Sepertinya dia memang berusaha keras agar
ini tetap hangat.
Melihat hal ini, membuat wajahku tersenyum.
“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa
menyelesaikan sesuatu jika kau melihat ke arah layar terus-terusan. Akan lebih
baik jika kau istirahat sejenak,” kata Yukinoshita, sambil memalingkan wajahnya
dariku.
Dia lalu kembali ke kursinya dan melanjutkan
pekerjaannya.
“Terima kasih...”
Aku sangat menghargai pemberiannya dan segera
kuminum. Aku lalu meminum MAX COFFEE tersebut sambil memandangi Yukinoshita.
Sementara itu, tangan Yukinoshita tidak
berhenti bergerak. Suara yang terdengar darinya hanyalah gerakan bolpoin merah
miliknya. Meski begitu, aku merasa kalau suara gerakannya agak aneh.
“...Maaf ya, apakah seburuk itu?”
“Eh?”
Ketika kutanya dirinya, Yukinoshita
memalingkan wajahnya ke arahku. Dia lalu menatap ke arah kertas-kertas di
tangannya, sepertinya paham apa maksudku. Sambil memutar-mutar bolpoin itu di
depan bibirnya, dia membuka mulutnya.
“...Ada kesalahan-kesalahan, tapi kebanyakan
dari kesalahan itu hanyalah salah pengejaan dan typo. Tidak ada yang
benar-benar fatal, jadi jangan khawatir. Mungkin lebih tepatnya, typo-typo yang
ada disini kebanyakan berasal dari mereka berdua,”
Yukinoshita mengatakannya dengan nada penuh
candaan diselingi tawa kecilnya. Dia
benar-benar terlihat seperti gadis seumurannya ketika seperti ini, senyumnya
jauh lebih mengembang dari biasanya.
“Mau bagaimana lagi, kulihat kau memberikan
banyak sekali coretan merah, jadi itu membuatku khawatir.”
“Oh. Kau hanya kebanyakan lupa menambahkan
beberapa huruf dalam katanya, jadi aku hanya menambahkan kurangnya. Aku akan
membantu merevisinya nanti.”
“Maaf ya sudah menyusahkanmu.”
Meski aku sudah mengatakan itu dengan nada
yang biasa, tapi Yukinoshita tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan menaruh
secara perlahan bolpoinnya di meja. Setelah itu, dia terlihat menurunkan
bahunya.
“...Aku juga ingin meminta maaf. Harusnya aku
memeriksa perkembanganmu ketika ada kesempatan. Aku harusnya tahu kalau kau
juga ternyata bisa membuat kesalahan.”
“Ah, bukan begitu, itu hanya miskalkulasi
saja. Sebenarnya, apa kata-katamu barusan itu sejenis sarkasme level tinggi...?”
tanyaku.
Yukinoshita lalu tersenyum dan mencondongkan
wajahnya ke depan.
“Itu pasti bagian dari itu, tapi...Intinya
itu kalau aku juga mengalami miskalkulasi.”
Jadi
kau benar-benar bersarkasme...
Itu artinya, kita berdua sama-sama telah
melakukan kesalahan. Entah itu diriku, dirinya, atau kami berdua, kami masih
belum sepenuhnya bisa memahami satu sama lain. Ketika kau bisa membedakan
antara siang dan malam, maka kau akan menjawabnya kalau perbedaannya terletak
dari perubahan warnanya.
“Pada akhirnya, akulah orang yang kebanyakan
tidak bisa melakukan sesuatunya,”
Yukinoshita mengatakan itu dengan pelan,
melihat ke arah matahari yang sedang tenggelam di kejauhan.
“Yang kau lakukan itu sudah lebih dari cukup.
Ini bukan seperti Yuigahama dan diriku sangat bagus dalam menjadwalkan ini.
Isshiki sendiri sangat pintar dalam menyeret kita ke agendanya, tapi dia
sendiri bukanlah orang yang bisa merencanakan sesuatunya...”
Ketika menjawabnya, aku melihat ke arah yang
sama dengannya, matahari yang sedang tenggelam. Meski, anggapan kita berdua
tentang warna yang kita lihat mungkin berbeda. Merah, pink, atau scarlet.
Mungkin, vermillion, ataupun merah pekat. Mungkin juga orange.
Tapi,
tidak peduli seberapa berbeda kita melihat warna tersebut, aku tidak memiliki
masalah dengan itu.
“Tetap, kau sendiri...sudah memberikan bantuan yang sangat berarti.”
Aku lalu memalingkan pandanganku dari jendela
dan kembali menatap ke arah ruangan ini.
Cahaya matahari yang tenggelam itu menerangi
ruangan ini, mewarnainya dengan warna merah. Ketika aku melihat ke arah
Yukinoshita yang ada di sampingku, aku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi
kedua telinganya dan lehernya yang kuintip dari celah-celah rambutnya, berwarna
kemerahan.
“...Begitukah menurutmu? Kalau begitu,
kuharap aku benar-benar begitu.”
Yukinoshita terlihat mendesah, dan mengatakan
itu dengan suara pelan, mungkin dia tidak percaya diri ketika mengatakannya,
atau mungkin, dia tersinggung.
Tapi, itu hanya sebentar. Dia lalu menegakkan
kepalanya, mengibaskan rambutnya yang ada di bahu, lalu mengatakan sesuatu yang
lebih dingin dari biasanya.
“Aku akan melakukan sesuatu tentang pekerjaan
ini sehingga bisa memberikanmu waktu ekstra.”
“Ah, te-tentu...Huh, apa kau bisa melakukan
itu?” tanyaku, tapi Yukinoshita tidak menjawabku.
Malahan, dia mulai menekan-nekan nomor di
HP-nya.
“...Yuigahama-san? Ada perubahan rencana.
Jaga-jaga kalau manuskripnya tidak selesai tepat waktu, tolong isi kolom yang
kosong dengan apapun yang kau bisa dan kirimkan kesini. Tolong pisahkan
tambahan itu dan beri tanda. Kami akan membacanya dan merevisinya nanti. Itu
saja. Bisakah kau beritahu Isshiki-san soal ini juga...? Ya, tolong lakukan.”
Setelah Yukinoshita menutup teleponnya, dia
menatapku seperti hendak mengkonfirmasi apa yang sudah kudengar sebelumnya.
“...Apa itu tidak masalah?” tanyaku.
“Itu hanya rencana B ketika kita tidak bisa
menyelesaikannya sesuai deadline. Kita sudah menghitung biaya seandainya rencana
B yang dipilih sehingga kita bisa mengoreksi dananya nanti, jadi harusnya tidak
ada masalah. Aku takut kita tidak bisa memeriksa ulang semuanya, tapi...Ada
yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya,”
Yukinoshita mengatakan itu dan tersenyum.
Untuk mengatasi semua hal yang tidak terduga, dia ternyata mempersiapkan
rencana cadangan sebagai usaha terakhir.
Untunglah. Bukankah dia yang selalu memberitahuku kalau aku ini lemah, tapi
sekarang siapa yang sebenarnya lemah?
Well, aku tidak menyangkal kalau diriku
lemah. Tapi orang yang lemah bisa dengan mudah menjadi Iblis yang menakutkan.
Karena itulah aku tidak ingin terlihat dimanjakan olehnya.
Aku lalu menelan sisa MAX COFFEE di kaleng
ini dan menaruhnya di samping. Terdengar suara keras dari kaleng yang menyentuh
meja ini.
“Saatnya untuk menyelesaikan ini,” kataku,
dan menatap ke arah komputer lagi.
“...Begitu ya. Kalau begitu, lakukan yang
terbaik!”
Meski kata-katanya terdengar pendek dan
lembut, itu sudah lebih dari cukup untuk didengar oleh telingaku.
x
x x
Mungkin itu hanyalah istirahat sejenak, atau
karena gula dari MAX COFFEE mulai memenuhi otakku, entah mengapa tanganku terus
menulis, dan mulai mengisi kolom-kolom kosong tersebut.
Aku terus menulis tanpa mempedulikan waktu,
dan tanpa sadar, Yuigahama dan Isshiki ada di ruangan ini.
Ketiga gadis tersebut duduk di seberangku dan
menungguku menyelesaikan ini dengan diam.
Ka-kalian
malah membuatku semakin sulit untuk menulis...
Meski begitu, aku terus menuliskan kalimat demi kalimat, dan
akhirnya berhasil mengisi kolom terakhir. Aku lalu menekan tombol enter, tapi
tidak begitu saja bisa memindahkan tanganku dari keyboard. Aku lalu membacanya,
baris per baris. Setelah menyadari kalau aku tidak bisa menulis apapun lagi,
aku sadar kalau manuskrip ini akhirnya selesai.
“Aku sudah selesai disini...”
Tubuhku langsung lemas dan aku bersandar di
kursi dengan kedua lenganku bergantungan di bawah kursi. Akupun mengembuskan
napas yang panjang karena lega dan Yukinoshita datang ke kursiku.
“Boleh kulihat?”
“...Yeah.”
Aku lalu menyodorkan laptop ke arahnya dan
Yukinoshita langsung memeriksa pekerjaanku. Yuigahama dan Isshiki melihatnya
dengan penasaran. Yang tersisa, hanyalah rasa gugup saja.
Lagipula,
aku bebas! Apa sih deadline itu? Aku tidak tahu apa itu? Fuhaha! Aku merdeka!
Aku mencoba untuk menahan diriku agar tidak
berteriak histeris dan menunggu Yukinoshita selesai memeriksanya.
Tidak lama kemudian, Yukinoshita mengatakan
sesuatu.
“...Kurasa tidak masalah. Isshiki-san, tolong
periksa lagi.”
“Y-Ya!”
Selanjutnya, Isshiki mulai memeriksanya, tapi
karena itu sudah lolos dari pemeriksaan Yukinoshita, harusnya tidak ada masalah
lagi. Jadi begitulah, pekerjaanku selesai. Ya
ampun, dunia tanpa deadline adalah dunia yang terbaik!
Ketika diriku menikmati bagaimana rasanya merdeka, Yuigahama dan
Yukinoshita berbicara kepadaku.
“Kerja bagus, Hikki.”
“...Kerja bagus hari ini.”
“Ahh, kalian juga. Maaf sudah membuat yang
lainnya menunggu.”
Yang terhormat diriku, rasa merdeka itu
membuat diriku merasa kalau aku sudah menyelesaikan semuanya sendirian, tapi
kali ini, aku berterimakasih kepada ketiganya karena telah mengawasiku dan
membuatku tidak kabur dari semua ini.
Kalau dipikir-pikir lagi, semua euforia ini
karena aku bekerja sambil diawasi.
...Jadi ini artinya editor dan deadline
adalah sebuah obat-obatan yang berbahaya! Mereka berdua harusnya dibuat
peraturan yang jelas. KATAKAN TIDAK UNTUK DEADLINE!
“Aku selesai memeriksa ini. Tidak ada masalah,” kata Isshiki, lalu
dia menutup laptopnya.
Yukinoshita mengangguk.
“Kita bisa menyelesaikannya tepat waktu, jadi
kenapa kita tidak meminum teh bersama-sama di klub?”
“Kita sebaiknya merayakan itu!”
“Aku setuju!”
Yuigahama dan Isshiki menyetujui itu dengan
antusiasme yang luar biasa. Tapi, Yukinoshita menatap Isshiki dengan dingin.
“Kau harus memeriksa ulang semuanya dahulu.
Setelah itu, tolong perlihatkan ke Hiratsuka-sensei juga. Itu tugasmu sebagai
Pimpinan Produksi.”
“Aww.”
Melihat Isshiki yang komplain itu menyebabkan
alis Yukinoshita bergerak-gerak. Melihat hal itu, Yuigahama berusaha menengahi
itu.
“Sekarang, sekarang begini, kita masih lama
di sekolah, jadi segera ke klub setelah kau selesai dengan itu.”
“Uuuugh...Siap Bu! Aku akan menyelesaikannya
dengan cepat, tolong tunggu saya!”
Isshiki lalu mengambil bolpoin hitam sebelum
mengakhir kata-katanya dan mulai mereview semuanya dengan teliti. Kami lalu
meninggalkannya di ruangan itu dan menuju klub kami.
Dalam perjalanan, Yukinoshita berkata.
“...Isshiki-san harusnya termotivasi seperti
itu sejak awal.”
“Iroha-chan bisa melakukannya jika dia mau
mencoba.”
“Yeah, orang-orang kadang memang begitu.
Mereka memilih tidak melakukan apapun kecuali mereka sendiri sudah benar-benar
tersudut,” kataku, sambil tersenyum kecut setelah mendengar kata-kata
Yuigahama.
Lalu, Yukinoshita memasang senyum yang
menyindir sambil melihat ke arahku.
“Oh, sebenarnya siapa orang yang sedang kau
bicarakan barusan?”
“Maksudku orang-orang pada umumnya.”
x
x x
Tampaknya pemanas ruangan di Klub Relawan
sudah selesai diperbaiki oleh pabriknya dan sudah dipasang kembali kemarin,
sekarang ruangan ini terlihat hangat dan nyaman, tidak seperti beberapa hari
yang lalu.
Ruang Sekretariat OSIS bukanlah ruang yang
nyaman bagiku, tapi pada akhirnya, aku kembali ke ruangan klub yang nyaman ini.
Maksudku bukan secara emosional, tapi dalam level insting; ini seperti
penguasaan area atau semacamnya. Dan ketika kita menempati tempat yang sama
hampir setahun lamanya, bahkan anjing dan kucing akan mulai memperlakukan itu
sebagai tempat mereka. Aku bukanlah pengecualian dalam hal itu.
Tapi ruangan klub ini terlihat kurang terawat
karena kita semua disibukkan oleh pekerjaan dalam beberapa hari belakangan.
Sementara Yukinoshita menyiapkan teh,
Yuigahama dan aku membersihkan ruangan ini.
Kami mengumpulkan dokumen-dokumen yang tidak
terpakai dan membuangnya. Setelah selesai, kami duduk di kursi kami dengan
dipenuhi rasa lelah sementara Yuigahama mengatakan “ah”. Ketika kulihat, dia
sedang memegang kamera yang kita pakai untuk mewawancarai klub-klub.
“Hei, apa kalian mau mengambil gambar? Foto
dari Klub Relawan!” kata Yuigahama.
Itu menyebabkan alis Yukinoshita mengerut.
Melihat hal itu, Yuigahama menganggukkan kepalanya. Yukinoshita lalu
menggeleng-gelengkan kepalanya, dibalas lagi oleh Yuigahama yang menganggukkan
kepalanya.
Mereka berdua terus seperti itu hingga
seseorang membuka pintu ruangan ini.
“Aku selesai menyetorkan sampah itu!”
Isshiki datang dan berbicara seperti itu. Uh, kau tidak perlu benar-benar mengatakan ‘sampah’...
Ketika dia menyadari kamera di tangan Yuigahama, dia terlihat
terkejut.
“Oh, jadi disini ya kamera milik OSIS. Apa kalian masih membutuhkannya?”
“Sepertinya
dia berniat untuk mengambil foto dari Klub Relawan,” kata Yukinoshita,
mengatakan itu seperti orang asing.
Hmmm,
kau sebenarnya member klub juga...Bahkan, kau ini ketuanya, tahu tidak?
“Oh, kalau begitu, aku bisa mengambilkan
fotonya untuk kalian.”
“Iroha-chan, kau juga harusnya ada di foto
itu juga.”
“Tentu, tapi bisa dilakukan setelahnya...!
Tapi pertama-tama, mari kita ambil foto seluruh member Klub Relawan!”
Isshiki menolaknya dengan senyuman dan
menjulurkan tangannya ke Yuigahama. Yuigahama lalu memberikan kamera tersebut.
“Benarkah? Terima kasih banyak. Kuserahkan
kepadamu kalau begitu! Ayo kita berfoto ramai-ramai setelahnya!”
“Umm, aku sendiri belum mengatakan satupun
hal soal berfoto-foto...”
“Yukinon, kau ini terlalu keras kepala.”
Yuigahama mengatakan itu dengan spontan dan
Yukinoshita terlihat gugup. Well, suka atau tidak, dia tetap akan berakhir
dengan membiarkan dirinya difoto...Bersikap keras kepala tidak akan mengubah
apapun, dan aku juga tidak berbeda dengan itu.
Tapi, aku memiliki masalah dengan kamera ini.
“...Aku sebenarnya tidak peduli soal ini,
tapi kartu memori di kamera ini penuh, tahu tidak?”
“Oh, itu benar. Itu karena Senpai terlalu
banyak mengambil foto dari Klub Tenis.”
“Sebenarnya kau memfoto apa saja disana
sehingga memakan banyak sekali memori...?”
Yukinoshita mengatakan itu seperti tidak
percaya dan Yuigahama memikirkan itu sejenak, lalu dia mengangguk.
“Klub Tenis ya...Oh, jadi Sai-chan, huh...?
Kurasa kita tidak bisa melakukan apapun soal itu.”
“Yui-senpai, apa kau merasa itu benar-benar
normal!?”
Jadi
dia sudah menyerah...Tidak, mungkin ada peluang kalau dia mengakui itu...
Atau begitu pikirku hingga Isshiki menepuk kedua tangannya dan mengambil
sesuatu di kantong blazernya.
“Jika memorinya kurang, bagaimana kalau
mengambil foto dengan HP ini?”
Dia menunjukkan HP milikku. Ngomong-ngomong,
HP-ku juga disita untuk hari ini karena deadline.
“Ahh, well, banyak memori yang kosong disana,
jadi aku tidak ada masalah dengan itu.”
“Oke, kita pakai ini saja,” kata Isshiki,
mengedipkan matanya dan mempersiapkan HP-ku.
Ini mungkin seperti balas-budi dari Isshiki. Jujur
ya, aku tidak paham apa maksudnya...
“Umm, oke Senpai, kau duduk disitu.
Yui-senpai dan Yukinoshita-senpai berdiri di belakang Senpai.”
“Okeee!”
“U-Um...Ya ampun...”
Isshiki meneriakkan instruksi dan Yuigahama
menarik lengan Yukinoshita. Dan akhirnya, Yukinoshita menyerah. Keduanya
berdiri bersama di belakangku...BELAKANGKU?
“...Huh? Tunggu dulu? Bukankah susunan ini agak aneh? Bukankah ini
semacam foto keluarga jaman dulu? Mungkin kalian berdua harusnya agak jauhan
saja?”
Ngomong-ngomong,
kalian berdua terlalu dekat! Terlalu dekat, kataku! Maksudku, mengambil foto
bersama itu adalah masalah lain, tapi kalau kalian terlalu dekat itu akan
membuatku gugup, jadi hentikan itu.
Kursinya agak bergoyang ketika aku mencoba berdiri, tapi bahuku ditahan
oleh seseorang dan tidak bisa berdiri. Ketika kulihat, Yukinoshita sedang
menatapku dengan senyum yang manis dan dingin.
“Hikigaya-kun, kau sangat keras kepala kali
ini.”
“Bukankah itu harusnya ke dirimu...”
“Iroha-chan, kita sudah siap.”
Yuigahama membantu Yukinoshita untuk menekan
bahuku dan memanggil Isshiki.
“Oke, ayo siap. Katakan cheeese!”
Lalu muncul kilatan cahaya diselingi suara
lensa kamera. Ahh, aku pasti membuat
sebuah ekspresi wajah yang konyol...Itu pasti terlihat seperti foto-foto jaman
dulu...
Ketika aku duduk dan merenungi sikapku,
Isshiki mendekatiku dan memberiku kembali HP milikku.
“Ini, Senpai...Fotonya bagus-bagus looh!” kata Isshiki, sambil tersenyum
manis.
Aku tidak perlu bertanya lebih jauh karena
aku tahu kalau maksudnya sama dengan kata-katanya.
“Hikki, bisa kau nanti kirim fotonya
kepadaku? Oh, sebenarnya, Iroha-chan, ayo kita berfoto!”
“Okeee! Tolong ambil foto kami, Senpai.”
Isshiki menepuk pundakku dan berlari kecil ke arah Yuigahama dan
Yukinoshita.
“Aku tidak ikut saja deh...”
“Kubilang tidak. Kita semua akan berfoto
bersama!”
“Jadi kita mengatur urutannya bagaimana?”
Ketika ketiganya sedang mendiskusikan
pengaturannya, aku secara diam-diam melihat layar HP-ku. Di layar, ada sebuah
foto dari Klub Relawan yang baru saja diambil.
...Dia
benar, tidak seburuk yang kukira. Tidak seperti foto jaman dulu.
Juga, dulu aku tidak tahu harus menulis apa
mengenai Klub Relawan atau kita ini seperti apa, kurasa aku bisa melakukan itu
sekarang. Oleh karena itulah foto ini tidaklah seburuk yang kukira.
Aku
tidak tahu harus menyebut Klub ini apa atau mendefinisikannya bagaimana. Tapi
aku yakin kalau akan ada sesuatu yang bisa kita rasakan dengan melihat gambar
ini, meskipun tidak ada satupun kata yang tertulis. Jika kita berusaha
menuliskan sesuatu, mungkin kita akan berakhir dengan memendam perasaan kita
masing-masing.
“Hikki, kau yang pertama ambil fotonya!”
“...Oke!”
Aku lalu berdiri setelah Yuigahama mengatakan
itu. Aku mengarahhkan kamera HP-ku ke arah para gadis dan mencari posisi yang
tepat.
Yuigahama memasang senyumnya yang ceria,
seperti biasanya.
Isshiki memasang pose camera-face miliknya.
Dan yang terakhir, dipeluk dari dua arah,
Yukinoshita, meski dia terlihat agak gugup, wajahnya terlihat berwarna
kemerahan karena menahan malu.
Entah
berapa hari lagi hal-hal kecil seperti ini bisa terus terjadi jika kita terus
seperti ini?
Sakit
seperti apa yang akan terjadi setelah kita tua nanti dan dihinggapi oleh
nostalgia setelah melihat foto ini?
Sambil
memikirkan semua itu, aku menekan shutter kamera HP-ku.
x Chapter III | END x
ANALISIS
Bagi yang punya analisis sendiri ataupun percaya dengan analisis yang lain, bisa skip tulisan ini. Bagian ini hanyalah analisis penerjemahnya saja, dan bukanlah analisis yang pasti benar.
Pertama, apa sih yang sebenarnya dibicarakan Yui dan Hachiman ketika berada di ruang OSIS?
Kita lihat kalimat sebelum Hachiman mengatakan 'tidak adil' tersebut. Yui mengatakan kalau "aku tidak ingin melihatmu kesakitan, Hikki". Jika Hachiman mengatakan tidak adil, maka sebenarnya Hachiman ingin mengatakan kalau ada sesuatu yang salah dengan pernyataan Yui. Ini sebenarnya cukup mudah jika kita mengikuti LN-nya. Yui tidak ingin melihat Hikki kesakitan, tapi sebenarnya selama ini si Hikki tersandera oleh perasaannya.
Jika kita flashback ke volume 3 chapter 6, mereka berdua sepakat akan memulai dari nol. Hachiman juga mengatakan kalau dia tidak ingin dilihat sebagai nice guy. Tapi kenyataannya, di vol 5 chapter 6 Yui tetap menganggap Hachiman begitu. Harusnya, Hachiman menjelaskan (lagi) seperti volume 2 chapter 5, insiden nice girl. Tapi Hachiman tidak mengambil langkah tersebut dan memilih untuk menggantung perasaan Yui. Mungkin menganggap kalau menjelaskan ulang lagi, Yui tidak akan berubah. Sedang sekarang, Yui adalah teman dari Yukino. Semuanya menjadi runyam.
Ini juga dikuatkan adegan volume 7 chapter 9 dimana Hachiman memilih untuk menggantung jawabannya terhadap permintaan Ebina untuk menjadi pacarnya. Jika merunut monolog Hachiman di atap Stasium Kyoto, 100% Ebina harusnya ditolak. Kemungkinan besar, Hachiman belajar dari situasinya dengan Yui, kalau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, adalah hal yang sia-sia. Ebina kemungkinan akan mengulanginya lagi.
Lalu kita cermati, sebelum Hachiman mengatakan soal deadline dan pekerjaannya yang menulis itu, Yui terlihat sedih. Tapi setelah mengatakan 'apapun yang terjadi, orang yang membuat janji-lah yang bersalah...Aku akan melakukan apa yang kubisa'. Lalu setelah itu Yui terlihat ceria secara tiba-tiba. Ada yang aneh dengan respon situasinya. Hachiman membahas tentang masalah deadline itu, jelas. Tapi sepertinya Yui ini menangkap sesuatu yang berbeda dari Hachiman. Kira-kira, yang Yui tangkap ini apa dari kalimat Hachiman itu?
Kita semua tahu Yui menyukai Hachiman. Kira-kira, apakah ada sesuatu dimana Hachiman memiliki janji, dan kata-kata Hachiman barusan itu seperti sebuah kejelasan tentang janji itu? Ada, yaitu janji kencan yang Hachiman setujui di volume 6 chapter 7. Yui meminta Hachiman mengganti roti panggang madu tersebut dengan kencan, dan Hachiman menyetujui itu. Tapi, setelah ditanya, Hachiman meminta waktu. Waktu itu dalam momen festival budaya, awal Oktober. Lalu tanggal belasan Desember, Yui menanyakan lagi tentang janji itu, kali ini Yui sudah menetapkan kalau dia ingin berkencan dengan Hachiman di Disney Land, vol 9 chapter 7. Tapi lagi-lagi Hachiman mengulur itu.
Jelas, jawaban Hachiman itu membuat Yui ceria, karena itu memberikan kejelasan tentang janji kencan mereka. Meski kita tahu, Hachiman tidak pernah mewujudkan janjinya tersebut, dan ini berakhir di volume 11 chapter 8. Yui yang langsung proaktif meminta Hachiman menebus hutangnya tersebut di Akuarium Teluk Tokyo. Sepertinya, dua orang ini menangkap dua hal yang berbeda.
Kedua, apa yang sebenarnya terjadi dalam percakapan Yukino dan Hachiman di Ruang OSIS?
Disini, Watari banyak sekali memainkan lagu lama di adegan ini. Entah apa alasannya. Misalnya tentang anggapan Hachiman kalau dirinya adalah serangga. Ini adalah sebutan Yukino ke Hachiman di volume 1 chapter 8. Hachiman dalam monolognya kesal ketika disebut serangga, tapi disini dia mengakui kalau dirinya serangga.
Tidak sampai disitu, Watari kembali memainkan lagu lama Oregairu di adegan ini. Yaitu di monolog ketika Hachiman melihat sikap Yukino yang terlihat seperti gadis normal seumurannya. Ini mengingatkan kembali ke volume 1 chapter 2. Dimana waktu itu Hiratsuka-sensei bertanya pendapat Hachiman mengenai Yukino. Sensei mengatakan kalau apapun sebutan Hachiman ke Yukino, Yukino tetaplah gadis normal seumurannya yang manis. Hachiman waktu itu menyangkalnya. Tapi kali ini Hachiman mengakui kalau Yukino memang seperti itu. Entah Watari kebetulan saja menulisnya seperti itu, atau sengaja? Saya kembalikan kepada pembaca.
Melihat bagaimana Watari menulis flashback request Yui di volume 11, kemungkinan besar Watari memang sengaja menulis adegan ini seperti itu. Ini menunjukkan kalau Hachiman secara perlahan berubah menjadi lebih baik, meski tidak meninggalkan idealisme penyendirinya.
Lagi-lagi, Watari mengulang lagu lama, aransemen baru, adegan Yukino memberikan Hachiman MAX COFFEE. Anda merasa nostalgia akan sesuatu? Yep, volume 1 chapter 3. Yukino berhutang minuman kaleng Strawberry Mix dan belum dibayar, Hachiman waktu itu juga menggerutu. Tapi kali ini, Yukino yang mentraktirnya MAX COFFEE. Banyak sekali adegan lama yang diselesaikan di adegan Yukino-Hachiman, entah mengapa Watari mengulang banyak sekali adegan di volume 1 dan menyelesaikannya disini.
Yukino yang membawa Max Coffee untuk menghilangkan stuck dan lelah Hachiman ini, sebenarnya realisasi kata-kata Hachiman di vol 6.5 chapter 1 tentang Max Coffee yang bisa menghilangkan lelah. Sederhananya, Yukino ingat akan kata-kata Hachiman tersebut, dan memutuskan untuk membawa Max Coffee. Tapi ini unik, timeline vol 6.5 adalah Oktober sedang timeline 10.5 adalah Januari. Sederhananya, Yukino ingat apa yang dikatakan Hachiman tiga bulan yang lalu.
Yukino yang membawa Max Coffee untuk menghilangkan stuck dan lelah Hachiman ini, sebenarnya realisasi kata-kata Hachiman di vol 6.5 chapter 1 tentang Max Coffee yang bisa menghilangkan lelah. Sederhananya, Yukino ingat akan kata-kata Hachiman tersebut, dan memutuskan untuk membawa Max Coffee. Tapi ini unik, timeline vol 6.5 adalah Oktober sedang timeline 10.5 adalah Januari. Sederhananya, Yukino ingat apa yang dikatakan Hachiman tiga bulan yang lalu.
Baik Hachiman dan Yukino sama-sama tahu kalau kata-kata mereka berdua adalah sarkasme, alias sindiran akan sesuatu. Tapi disini Yukino meminta maaf, dia juga mengakui telah miskalkulasi. Apakah ini soal deadline koran? Tidak, karena Yukino sudah menyiapkan rencana B. Jika menyiapkan rencana B, berarti ini bukanlah miskalkulasi, alias sudah diprediksi dengan baik. Jadi, ada sesuatu dimana Yukino di masa lalu telah miskalkulasi. Yukino mengatakan harusnya tahu kalau Hachiman sekalipun bisa salah. Jadi, sebenarnya mereka berdua merujuk sebuah kejadian, dimana Yukino tidak menyangka kalau Hachiman berbuat salah. Tapi yang bisa Yukino lakukan hanyalah menyalahkan Hachiman, tanpa menyadari kalau dirinya sendiri juga bertanggungjawab dalam hal itu.
Kira-kira, kejadian apa? Well, pastinya pembaca akan membayangkan hal yang sama dengan saya, vol 7 chapter 9. Hachiman memilih untuk melindungi grup Miura dan Hayama. Ending chapter tersebut, Yukino membenci Hachiman. Dan awal volume 8 Yukino terus mempermasalahkan itu. Kali ini, Yukino meminta maaf atas hal itu. Jika keduanya mengakui kalau sama-sama salah, bukankah ini sama saja mengakui kalau mereka berdua berbagi tanggung jawab atas kejadian itu?
Karena adegan Yukino-Hachiman adalah edisi nostalgia/lagu lama/pengulangan adegan volume-volume lalu, kira-kira ada tidak kejadian dimana Hachiman dan Yukino berbagi tanggung jawab bersama? Ada, yaitu volume 9 chapter 9, rapat Kaihin-Sobu. Hiratsuka-sensei sendiri yang mengatakan kalau Yukino-Hachiman berbagi rasa sakit bersama-sama.
Kita lanjut lagi ke monolog berikut:
Tapi, tidak peduli seberapa berbeda kita melihat warna tersebut, aku tidak memiliki masalah dengan itu.
Karena ini edisi lagu lama, memangnya ada sesuatu yang mengatakan kalau Hachiman dan Yukino berbeda? Ada, volume 6 chapter 10. Ini seperti kelanjutan monolognya.
Masih dalam edisi sarkasme, Yukino mengatakan kalau dia tidak begitu banyak membantu. Apakah tentang koran OSIS? Tidak, dia sangat membantu. Jadi ini tentang kejadian yang mana? Well, tentunya ini volume 10, gosip Hayama-Yukino. Yukino tidak sebodoh itu menganggap Hayama akan muncul di panggung marathon dan berusaha menghentikan gosip itu, karena faktanya di gosip serupa ketika SD Hayama tidak melakukan apapun. Fakta kalau Hachiman mengejar Hayama di marathon dan terlibat percakapan serius, sedikit banyak pasti ada campur tangan Hachiman.
Ketiga, komentar saya (bwuahaha) tentang adegan Yui-Hachiman dan Yukino-Hachiman.
Keduanya sama-sama membahas masalah di masa lalu. Bedanya, masalah Yui-Hachiman jalan di tempat, sedang masalah Yukino-Hachiman menemukan titik terang.
Adegan Yui-Hachiman, mereka berdua salah paham. Yui mengira kalau ini tentang janji kencan mereka. Hachiman mengira kalau ini soal koran OSIS. Berbeda dengan Yukino-Hachiman, mereka berdua tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
Yang saya cermati, sikap Yukino di adegan ini sangat natural, seperti gadis pada umumnya ketika dalam posisi berduaan dengan Hachiman.Yukino memilih duduk di sebelahnya. Soal tempat duduk, ini agak lucu, karena di klub posisi tempat duduk mereka berseberangan. Berbeda dengan Yui yang memakai pendekatan sentuhan fisik (memijat), Yukino mengambil pendekatan berbeda. Dia memilih menggunakan sesuatu yang disukai Hachiman (Totsuka Max Coffee).
Keempat, sadar atau tidak, ada hal menarik lainnya di adegan Yukino-Hachiman.
Waktu itu Yukino mengatakan kalau menatap terus-terusan layar komputer tapi dengan pikiran stuck tidak akan menyelesaikan sesuatu. Lalu, Hachiman meminum Max Coffee sambil terus memperhatikan Yukino. Apakah anda menangkap maksud saya?
Lalu ketika Yui berdiri tepat di sebelahnya, Hachiman memilih untuk memalingkan wajahnya karena jarak yang dekat. Tapi Hachiman dengan tenangnya memperhatikan Yukino yang duduk di sebelahnya. Do you get it what I mean?
Fakta kalau selama ini Yukino sengaja menaruh MAX COFFEE di sarung tangannya, kemungkinan dia membelinya di mesin penjual minuman di halaman sekolah. Lalu sengaja melepas sarung tangannya untuk menjaga Max Coffee itu tetap hangat. Ini bisa juga untuk memecahkan mitos tidak akan ada gadis yang rela berkorban untuk Hachiman, volume 3 chapter 4.
Kelima, percakapan:
“Yeah, orang-orang kadang memang begitu. Mereka memilih tidak melakukan apapun kecuali mereka sendiri sudah benar-benar tersudut,” kataku, sambil tersenyum kecut setelah mendengar kata-kata Yuigahama.
Lalu, Yukinoshita memasang senyum yang menyindir sambil melihat ke arahku.
“Oh, sebenarnya siapa orang yang sedang kau bicarakan barusan?”
Cukup mudah, Yukino menyindir Hachiman tentang pengakuannya di Klub Relawan soal hal genuine, vol 9 chapter 6. Karena malam sebelumnya, Hachiman sudah tersudut oleh Yukino tentang hubungan mereka, adegan Mall Marinpia vol 9 chapter 5. Next...
Cukup mudah, Yukino menyindir Hachiman tentang pengakuannya di Klub Relawan soal hal genuine, vol 9 chapter 6. Karena malam sebelumnya, Hachiman sudah tersudut oleh Yukino tentang hubungan mereka, adegan Mall Marinpia vol 9 chapter 5. Next...
Keenam, situasi tidak wajar, Yukino menghentikan Hachiman untuk kabur dari sesi pemotretan. Bukankah ini aneh, karena Yukino sendiri awalnya terkesan tidak mau difoto?
Sebenarnya mudah, Yukino tidak punya foto Hachiman dengannya. Sedang Iroha punya.
Apakah kebetulan jika Watari menulis monolog Hachiman tentang Miura dan Sagami yang diam-diam akan melihat ke foto Hayama? Bukankah masuk akal jika Hachiman dan Yukino akan diam-diam melihat foto mereka?
Bagaimana dengan Yui? Yui sudah memiliki banyak sekali foto Hachiman, terutama edisi darmawisata dan Disney Land.
Bagaimana dengan Yui? Yui sudah memiliki banyak sekali foto Hachiman, terutama edisi darmawisata dan Disney Land.
Terakhir, monolog Hachiman di akhir chapter.
Ini sebenarnya mudah (mudah melulu!), oke begini saja, ini agak sulit. Hachiman mengatakan tidak tahu sampai kapan bisa bertahan jika mereka bisa seperti ini. Padahal, ini cukup jelas. Mereka member Klub Relawan, artinya setidaknya sampai lulus SMA mereka akan seperti itu. Tapi mengapa Hachiman seolah-olah mengatakan seperti bisa saja berakhir lebih cepat? Hachiman juga memastikan akan ada rasa sakit yang terasa jika mereka tua nanti melihat foto tersebut.
Ini sudah dibahas di analisis pertama. Hubungan mereka bertiga adalah sebuah hubungan yang rumit. Yui dan Yukino berteman. Yui menyukai Hachiman. Yukino menyukai Hachiman. Dan Hachiman menyukai...Harusnya anda tahu dari melihat adegan di chapter ini (nyahaha). Melihat volume 3 chapter 1, Yui bergabung ke Klub Relawan karena Hachiman. Juga Yui membohongi Yukino yang dianggap temannya, karena hubungannya dengan Hachiman memburuk. Sedang Hachiman tidak ingin merusak dan menyakiti siapapun.
Mungkin, volume 11 chapter 9 itu merupakan realisasi kata-kata Yui kalau dia tidak ingin melihat Hachiman kesakitan lagi.
Terima kasih karena telah meluangkan waktu anda membaca analisis tidak penting ini...Nyahaha...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAduh... Sayang banget di OVA nya banyak yg kepotong, bahkan di OVAnya bisa disebut bikin cerita sendiri bukan adaptasi dari LN Oregairu, padahal di sana tertulis adaptasi LN Vol 10.5 :(
BalasHapusUntuk analisis keenam sepertinya bertabrakan sama analisis volume 12 yg interlude ke 2 yg monolog Yui tentang melihat harta Karun Yukino (Foto), di sana admin bilang kalau itu foto saat Disneyland dan analisis di sini admin bilang Yukino belum punya foto bersama Hachiman, jika kita melihat waktunya saat pergi ke Disneyland itu Desember sedangkan di Volume ini waktunya yaitu Januari.
BalasHapusUntuk percakapan Yukino yg :
“Pada akhirnya, akulah orang yang kebanyakan tidak bisa melakukan sesuatunya,”
Di sana Yukino berbicara sambil memandangi Matahari tenggelam.
Bila admin analisisnya mengarah ke gosip Hayama-Yukino, tapi analisisku mengira kalau percakapan tersebut mengarah ke Volume 9, yaitu tentang hubungan mereka yg mulai renggang, di sana Yukino tidak bisa melakukan sesuatu tentang hubungan mereka agar bisa kembali lebih baik. Mengapa analisis saya mengarah ke sana? Karena di sana Yukino memandangi langit sore sambil memikirkan arti kata genuine yg di katakan Hachiman sebelumnya, dan di volume ini Yukino mengatakan tidak bisa melakukan sesuatu nya sambil memandangi langit sore.
Maaf bila saya sok tau, Saya hanya fans berat Novel ini dan juga Fans berat Web ini hihihi....
Diperkuat oleh monolog yg ini :
HapusTapi, tidak peduli seberapa berbeda kita melihat warna tersebut, aku tidak memiliki masalah dengan itu.
Di monolog tersebut Hachiman mengatakan perbedaan mereka, dan di volume 9 juga Hachiman mengatakan perbedaan mereka juga. Memang bener sih.. di volume ini lebih banyak ke arah nostalgia.
Dan juga di percakapan ini :
Hapus“Tetap, kau sendiri...sudah memberikan bantuan yang sangat berarti.”
Ini saya rasa masih mengarah ke Volume 9, di sini Hachiman mengatakan sambil melihat langit sore juga. Apa sih bantuan yg berarti dari Yukino ke Hachiman? Yah.. tentang rapat event Natal bersama SMA Keihin di sana Hachiman sudah mencoba menjadi kambing hitam tetapi masih juga gagal, dan akhirnya Yukino juga menjadikan dirinya Kambing Hitam, bantuan tersebut "mungkin" sangat berarti bagi Hachiman sendiri yg membuat event Natal tersebut menjadi berjalan lancar.
Soal yukino belum punya foto dengan hachiman , bukannya yukino udah punya pas naik atraksi di Disneyland di vol 9 , malah di vol 12 Yui Berhasil liat itu foto pas bantu packing barang rumahnya yukino
BalasHapusDi volume ini, pemirsa masih belum tahu kalau Yukino punya fotonya.
HapusNice analisis
BalasHapusmudah darimana nya
BalasHapus