x x x
Meski sekarang memasuki jam istirahat, tapi
aku sendiri tidak pernah bisa beristirahat.
Suasana kelas diisi oleh obrolan para siswa.
Semua orang seperti terlepas dari borgolnya yang berada di rumah dan pergi ke
sekolah, dan sekarang mereka berbicara dengan akrab bersama teman-teman mereka
tentang rencana mereka sepulang sekolah besok dan apa yang mereka lihat di TV
belakangan ini, yadda yadda yadda.
Kata-kata mereka seperti masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Pembicaraan mereka mungkin memakai bahasa asing karena hanya sedikit yang bisa
kupahami dari obrolan mereka. Aku mungkin saja saat ini berada di dimensi yang
berbeda.
Kurasa obrolan hari ini terasa lebih ramai
dari biasanya. Sepertinya, ini dikarenakan Wali Kelas kami mengatakan kalau
kami boleh bebas memilih siapa saja untuk grup ‘Kunjungan Tempat Kerja’. Meski
Wali Kelas sudah mengatakan kalau besok lusa akan diberikan waktu luang bagi siswa
untuk memilih grup dan kemana mereka akan pergi, teman-teman sekelasku
sepertinya sudah selangkah di depan. Pembicaraan mereka kurang lebih seperti “Kemana kau akan pergi?” atau juga “Kau mau pergi bersama siapa?”.
Mayoritas siswa disini seperti membuat rencana spesial bersama orang yang
mereka inginkan.
Ini sangat jelas sekali. Sekolah bukanlah
sebuah tempat dimana kau hanya akan mendapatkan ilmu. Kalau kita telaah
baik-baik, sekolah itu seperti sebuah komunitas kecil, sebuah kebun kecil yang
berisi setiap tipe manusia yang ada di dunia ini. Karena itulah kehidupan SMA
juga memiliki medan perangnya tersendiri dan itu ditunjukkan oleh hal-hal seperti
bullying. Dan seperti sosial masyarakat pada umumnya dimana mereka mempunyai
kelas sosial, SMA juga memiliki kelas sosial. Tentunya, karena kita menganut
sistem demokrasi, teori kelompok siapa
yang jumlanya paling banyak, maka dia yang paling kuat akan berlaku. Mayoritas
– dan siapapun yang bersama kaum mayoritas – menguasai SMA ini.
Akupun melihat perilaku teman sekelasku
sambil menopang daguku dengan tangan dan mata yang setengah tertutup. Aku
sebenarnya sudah cukup tidur dan aku begini bukan karena lelah atau sejenisnya,
tapi aku selalu menghabiskan jam makan siangku seperti ini sejak kecil,
tertidur adalah sebuah gerakan refleks bagiku.
Ketika pandanganku mulai terlihat kabur dan
aku mulai menunduk, ada sepasang tangan yang menggoyang-goyang tubuhku. Ketika
kulihat, Totsuka Saika duduk di kursi yang berada di depanku.
“Selamat siang,” Totsuka menyapaku dengan
senyumannya.
Akupun mengigau.
“...Tolong buatkan sarapan untukku setiap
pagi.”
“H-Huh?! Apa yang kau...?”
“Oh, tidak. Aku barusan setengah tertidur.”
Sial, aku meminta sesuatu kepadanya tanpa
berpikir dahulu. Sial, kenapa dia semanis ini sih? Tapi dia itu seorang pria! Pria! Pria?...Bukannya aku sedang berusaha mengiyakan
permintaanku agar dia membuat sarapan untukku tiap pagi.
Kami berdua hanya bisa terdiam.
“Jadi, ada apa?” tanyaku.
“Tidak ada apa-apa...” dia menjawabku. “Kupikir
aku ingin menyapamu karena kau kebetulan ada disini, Hikigaya-kun...Apa aku
mengganggu kegiatanmu?”
“Nah, setidaknya tidak begitu. Malahan, aku
sangat senang jika kau mau mengobrol denganku setidaknya 4 sampai 6 jam sehari.”
Jangan lupa juga, aku sangat suka jika dia
mau mengatakan kalau dia mencintaiku selama 4-6 jam sehari.
“Kalau begitu, bukankah itu berarti aku harus
selamanya bersamamu?” Totsuka tertawa dengan manis, menaruh tangannya di
mulutnya. Seperti menyadari sesuatu, dia menepuk kedua tangannya dan berkata.
“Hikigaya-kun, apa kau sudah memutuskan akan
pergi kemana dalam kegiatan ‘Mengunjungi Tempat Kerja’?”
“Apa yang akan terjadi, maka terjadilah. Dan
apa yang tidak akan bisa terjadi, maka tidak akan terjadi,” kataku.
Seperti terkejut dengan kata-kataku, Totsuka
melihatku sambil memiringkan kepalanya. Aku melihat area diantara kerah baju
olahraganya dan tulang selangkanya, dan itu membuatku memalingkan pandanganku.
Mengapa dia bisa punya kulit yang indah? Dia pakai sabun apa sih?
“Ah, pada dasarnya aku tidak peduli kemana
aku akan pergi,” jawabku. “Dimanapun selain rumahku terlihat sama bagiku.
Semuanya tempat-tempat yang tidak berharga.”
“Oooh, kau kadang-kadang mengatakan kata-kata
yang puitis, Hikigaya-kun.”
Aku tidak ingat kalau pernah mengatakan
kata-kata yang puitis, tapi melihat Totsuka yang mengagumiku, tampaknya
kata-kataku itu sudah memberikan kesan yang mendalam padanya.
Aku merasa Totsuka hendak memberiku raspberri
dan level keakrabannya akan meningkat. Tapi kalau melihat fakta dia bisa
menaikkan level keakraban tidak peduli kata apapun yang keluar darinya, kupikir itu adalah sesuatu yang menakutkan. Aku hampir saja memilih rute yang harusnya
tidak pernah ada.
“Jadi...Kau sudah memutuskan kemana kau akan
pergi, huh?”
Totsuka melirik ke arahku dengan ekspresi
ragu-ragu, tapi tampaknya dia salah paham terhadap kata-kataku tadi.
Aku tidak tahu harus membalas apa.
Kata-katanya seperti memiliki arti “Aku
ingin pergi denganmu tapi karena kau sudah memutuskan, sayang sekali ya?”.
Ini membuatku lebih waspada untuk saat ini.
Serangan tiba-tiba dari Totsuka membuat pintu
tentang kenangan-kenangan lamaku kembali terbuka. Memang, pernah terjadi
sesuatu yang seperti ini di masa lalu...
Tahulah,
ketika aku masih kelas 2 SMP dan aku dipaksa menjadi perwakilan kelas untuk
siswa laki-laki, gadis manis yang menjadi perwakilan siswi perempuan tersenyum
kepadaku dan berkata, “mari lakukan yang
terbaik untuk tahun ini”...
Uuuurk! Sial! Sekali lagi, aku hampir saja
ditipu oleh kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Aku bukannya hendak terluka
lagi atau semacamnya.
Aku sudah pernah mengalaminya sekali. Seorang
penyendiri yang berpengalaman ketika tergigit sekali, tidak akan pernah
tergigit lagi. Pengakuan cinta itu seperti kalah dalam hom pim pa, surat cinta palsu adalah apa yang ditulis oleh anak
laki-laki, dan itu yang didikte oleh gadis yang mereka sukai – aku tidak punya
urusan lagi dengan mereka. Aku adalah veteran dari sebuah peperangan. Tidak ada
yang tahu rasanya kalah seperti diriku ini.
Oke.
Tenang. Di momen seperti ini, gunakanlah jurus meniru – itu tidak
memerlukan usaha yang banyak.
Akupun menjawab sebuah pertanyaan dengan
sebuah pertanyaan.
“Kau
sendiri sudah memutuskan akan pergi dengan siapa?”
“A-Aku?”
Dia bingung karena pertanyaannya ditanyakan
balik kepadanya, lalu wajah Totsuka terlihat memerah.
“Aku, umm, sudah memutuskan soal itu.” Dia
menutup matanya secara perlahan dan melirik ke arahku untuk menunggu reaksiku.
Meh,
kurasa beginilah hidup. Totsuka adalah member klub tenis, itu artinya dia
punya skill komunikasi yang spesial dan tentunya membuat dia memiliki banyak
koneksi. Sangat jelas sekali kalau dia akan punya banyak teman di kelas ini.
Aku sendiri, di lain pihak, bergabung dengan sebuah
klub yang seperti sebuah ruangan isolasi bagi siswa-siswa yang aneh di sekolah
ini, mustahil aku bisa punya teman.
“Kalau dipikir-pikir – sebenarnya, ini tidak
perlu dipikirkan lagi – aku ternyata tidak punya satupun teman laki-laki.”
“Er, uh...Hikigaya-kun...” Totsuka mengatakan
itu dengan pelan. “Aku ini laki-laki, tahu tidak...”
Dia manis sekali, membuatku tidak bisa
mendengarnya dengan jelas.
Ngomong-ngomong, ini semacam sebuah perasaan
yang aneh bisa mengobrol dengan seseorang di kelas. Setelah kejadian yang
berhubungan dengan klub tenis beberapa waktu lalu, banyak orang yang menyapaku
dengan dua hingga tiga kata ketika mereka melihatku. Meski begitu, haruskah
kusebut mereka itu temanku? Aku meragukan itu. Kalau cuma sekedar level
menyapa, kurasa apakah kita kenal atau tidak bukanlah sebuah masalah – kita malah
bisa saling menyapa meski kita tidak kenal. Misalnya ketika kau sedang
mengantri untuk membeli ramen, kau mungkin akan memiliki sebuah obrolan dengan
mengatakan “Wah ramai juga ya?”, “Aku
capek setiap hari mengantri seperti ini”. Tapi kau sendiri tidak mau
menyebut mereka teman.
Seperti inilah teman yang seharusnya:
“Hayato-kun, kau sudah memutuskan akan pergi
kemana?”
“Aku berpikir untuk mengunjungi sesuatu yang
berhubungan dengan media atau perusahaan multinasional.”
“Whoa, bro,
lu serius amat. Hayato, lu ini superman
ato gimana? Kita ini umur berapa coba? Gue juga harus menghormati orang tua gue
juga.”
“Kita harus menentukan lokasinya dengan serius, eh?”
“Bener
banget bro. Meski begitu, jangan lupa kalau kita juga masih remaja.”
Bukankah obrolan semacam itulah yang dimiliki
oleh teman? Menjadi teman berarti mampu berbicara ke yang lain tanpa
mempedulikan dunia ini. Aku bahkan hampir tertawa jika melakukannya, jadi
pertemanan atau sejenisnya itu adalah hal mustahil bagiku. Apa-apaan tadi omong
kosong tentang menghormati orang tua? Apa dia itu semacam rapper?
Hayama Hayato dikelilingi 3 pria dan dia
menjadi pusatnya, seperti yang kulihat setiap harinya. Semuanya sangat senang
memanggilnya Hayato, dan Hayama sendiri mau memanggil nama depan mereka juga.
Sikap yang menunjukkan ‘pertemanan’ itu menunjukkan sebuah adegan yang terasa
hangat.
Tapi aku bisa merasakan kalau mereka itu
hanya pura-pura memanggil teman mereka dengan nama depan masing-masing.
Memanggil nama depan seseorang adalah sesuatu yang hanya terjadi di sinetron,
manga, dan anime. Adegan mereka semua itu hanya berdasarkan skenario. Mereka
hanya membohongi teman mereka masing-masing.
...Kurasa tidak ada ruginya jika aku sendiri
mencoba hal itu, benar tidak? Mungkin akan menjadi pengalaman yang bagus. (Aku
sebenarnya tidak punya dendam terhadap manga yang belum kubaca, aku hanya
dendam terhadap orang yang menggambarnya. Jika aku mencoba membaca manga itu
dan ternyata jelek, aku akan menghajar orang yang menggambar manga itu sekuat
tenagaku).
Experimen: Apakah memanggil nama depan seseorang akan mengubah hubunganmu dengan
orang itu?
“Saika.”
Ketika aku memanggil nama depannya, Totsuka
hanya diam saja. Dia hanya diam tidak bergerak. Kedua matanya melebar dan
berkedip dua hingga tiga kali, mulutnya dibiarkan terbuka.
Nah lihat buktinya? Itu tidak membuat
hubunganmu menjadi lebih baik. Biasanya, memanggil nama depan seseorang ketika
kau sendiri tidak akrab akan membuat mereka jengkel. Seperti, ketika Zaimokuza
memanggilku Hachiman, aku secara otomatis akan tidak mempedulikannya. Yang
ingin kukatakan adalah ketika para babi yang menganut prinsip riajuu melakukan
itu, mereka sebenarnya berbohong dan pura-pura tidak marah.
Kurasa aku harusnya segera minta maaf ke
Totsuka.
“Ah, maaf yang barusan...”
“...Aku sangat senang. Ini pertamakalinya kau
memanggil nama depanku.”
“Aku baru saja...Apa...?”
Totsuka tersenyum kepadaku, kedua matanya
seperti dipenuhi sebuah emosi yang dalam. Apa-apaan ini? Apakah ini artinya
hidupku akan terasa berarti? Terpujilah para riajuu(penyelamatku!). Aku bahkan
mulai menangis dibuatnya.
Totsuka melihat ke arahku dan pura-pura
batuk.
“Jadi, umm...Bolehkah kupanggil kau dengan
Hikki?”
“Jangan pernah menyebutku dengan nama itu.”
Tidak, sekali lagi tidak. Saat ini hanya ada
satu orang yang memanggilku dengan nama aneh itu, dan jika orang lain tahu maka
habislah aku. Melihat bagaimana aku menolak hal itu, Totsuka terlihat kecewa,
lalu dia pura-pura batuk lagi.
“Kalau Hachiman, bagaimana?”
...
DING DING DING!
Suara itu terdengar di kedua telingaku.
“Bi-Bisa ulangi lagi?!”
Totsuka tersenyum, seperti bingung akan
permintaanku yang aneh itu. Dia tampak manis ketika bingung – kecuali mendapatkan
masalah yang sebenarnya.
“...Hachiman,” dia mengatakan itu dengan
malu-malu, melihat reaksiku diantara kedua jari-jarinya.
“Hachiman?” dia mengatakan itu dengan nada
yang penuh tanya dan memiringkan kepalanya.
“Hachiman! Apa kau mendengarkanku?” dia
mengatakan itu dengan keras, sambil mengembungkan pipinya.
Melihat ekspresi Totsuka yang marah itu sudah
cukup untuk membuatku kembali ke diriku yang normal. Oh sial, aku membiarkan
diriku terperangkap dalam manisnya dirinya tanpa berpikir banyak...
“Uh, uhhh. Maaf. Apa yang kau katakan tadi?”
aku berpura-pura kalau aku baru saja melamun, tapi sebenarnya aku sedang
menulis hasil eksperimenku barusan di pikiranku.
Kesimpulan: Totsuka sangat manis sekali ketika kau memanggilnya dengan nama
depannya.
x
x x
Menjelang
petang, suasana ramai di halaman sekolah mulai tidak terdengar lagi. Dari
ruangan ini, kau bisa melihat cahaya terakhir dari matahari yang tenggelam di
teluk Tokyo, memberikan jalan bagi kegelapan yang mulai menguasai angkasa.
“Ohh...Jadi sudah tiba saatnya bagi kegelapan
untuk datang, huh...?”
Seorang anak muda membisikkan itu sambil
mengepalkan tangannya. Sambil melakukan itu, sarung tangan kulit palsu yang dia
pakai itu membuat bunyi seolah-olah tangannya mengepal dengan serius. Dia
menatap ke arah lengannya yang seberat 1kg itu, lalu mendesah.
“Sudah tiba saatnya untuk menghancurkan segel
itu...”
Tidak ada satupun suara yang merespon
kata-katanya itu.
...Meskipun ada 3 orang lainnya yang berada
di ruangan ini.
Orang yang melihat kami bertiga, dan tentunya
berharap kami untuk mengatakan sesuatu, adalah Zaimokuza Yoshiteru. Dan orang
yang tidak mempedulikannya dan hanya membaca bukunya sedari tadi adalah
Yukinoshita Yukino. Orang yang sedang gugup sambil melihat ke arahku dan
Yukinoshita seperti hendak meminta tolong adalah Yuigahama Yui.
“Jadi apa maumu, Zaimokuza?” tanyaku, setelah
itu aku mendengar suara embusan napas Yukinoshita yang berat.
Yukinoshita lalu menatapku dengan tajam.
Kedua matanya seperti berkata...
[Kau
harusnya tidak mempedulikan dia!]
[Yeah,
tapi harus ada orang yang melakukan itu!]
Aku sebenarnya tidak ada minat untuk
berbicara dengannya, tapi dia mengoceh
kesana-kemari selama setengah jam. Ada apa dengan bahasannya tentang But Thou Must di Dragon Quest V? Kalau aku tidak berbicara kepadanya, dia
akan terus mengoceh sampai kiamat.
Setelah aku bertanya kepadanya, Zaimokuza
menggaruk ujung hidungnya dengan gembira dan tertawa seperti sedang tersanjung.
Sial, orang ini benar-benar sangat mengganggu.
“Ah, maafkan aku. Aku baru saja mendapatkan
sebuah kalimat yang bagus, jadi aku harus mengatakan itu dengan keras agar
memperoleh ritme dan perasaan tentang itu. Oho, memang aku ini seorang penulis
tulen...Aku memikirkan tentang novelku ketika aku terbangun dan ketika aku
tertidur. Ini memang sebuah takdir yang dimiliki oleh seorang penulis.”
Yuigahama dan diriku terlihat lelah melihat
tingkahnya dari tadi. Yukinoshita lalu menutup bukunya. Zaimokuza langsung
kaget dibuatnya.
“Kupikir seorang penulis adalah seseorang
yang menciptakan sesuatu...” Yukinoshita mengatakan itu. “Jadi apakah kau sudah
menulis sesuatu, bisa kulihat?”
Tubuh Zaimokuza seperti merespon kata-katanya
dan membuat suara aneh seperti sedang tersedak. Reaksinya sangat mengganggu.
Tapi memang cukup aneh, Zaimokuza terlihat berani sekali hari ini. Dia lalu
menegakkan posisinya dan pura-pura batuk.
“...Ahem. Itu benar untuk hari ini...Aku
akhirnya bisa menggapai apa yang kuinginkan. Aku sedang berada di jalan menuju
El Dorado!”
“Apaan,
apa kau memenangkan hadiah?” tanyaku.
“Bukan, belum sampai kesitu...Ta-Tapi, itu
hanya menunggu waktu saja!” Zaimokuza menyatakan itu dengan memasang pose,
berpura-pura sangat antusias dan superior, entah kenapa dengan dia hari ini.
Zaimouza mengibaskan bagian belakang
jubahnya.
“Hahaha, dengarkan dan kagumlah!” dia
berteriak dengan suara yang aneh.
“Di kesempatan ini, aku telah memutuskan
untuk mengunjungi penerbit novel sebagai tempat kegiatan ‘Mengunjungi Tempat
Kerja!’! Dengan kata lain – apa kalian paham, paham tidak?”
“Tidak, kamu ngomong apa sih?”
“Kesimpulan yang buruk sekali, Hachiman.
Dengan kata lain, ini pertamakalinya bakatku ini akan dikenali. Aku sedang
membuat sebuah koneksi dengan penerbit.”
“Hei, jangan besar kepala dulu.” akupun
berhenti sejenak. “Sumpah ini, kau ini mirip seperti bocah yang bergaul dengan
seorang Senpai yang nakal. Kau bahkan lebih buruk daripada seorang pengidap
sindorm kelas 8 yang tidak bisa menahan dirinya.”
Zaimokuza tidak mempedulikan kata-kataku dan
mengerang seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kata-kataku. Jujur saja,
suaranya terdengar menakutkan ketika mengatakan:
“Studionya yaitu...Castingnya...” dia
mengatakan itu ke dirinya sendiri.
Lagipula, diluar sana banyak sekali penerbit
yang jelek. Jika dia percaya kalau masa depannya akan sangat cerah, maka aku
tidak bisa mengatakan apapun lagi kepadanya.
Tapi, ada sesuatu yang aneh dari semua ini.
“Zaimokuza, aku kagum dengan grupmu yang mau
mendengarkan pendapatmu.”
“Apa? Apa kau beruaha mengatakan kalau aku
ini orang lemah...Well, terserah kamu. Kebetulan saja aku bertemu dengan dua
orang otaku lain di kelasku. Aku bahkan tidak mengatakan kalau aku ingin pergi
ke penerbit dan mereka sudah memutuskan untuk pergi kesana. Mereka terlihat
tersenyum licik dan berpikiran kotor. Aku cukup yakin kalau mereka ingin pergi
ke penerbit novel gay itu. Cinta
mengalahkah segalanya, dan aku tidak punya hal lain untuk kukomplain.”
Yuigahama terlihat berusaha menghindari untuk
melihat wajah Zaimokuza.
“Kau harusnya mencari grup yang berisi
orang-orang setipe denganmu...” dia mengatakannya sambil mendesah pasrah.
Tapi Zaimokuza sudah terlibat terlalu dalam.
Ada sesuatu dimana dia menolak untuk mengikuti ide itu karena dia sedang
berada bersama orang-orang yang memiliki hobi serupa. Kupikir ini semacam
perang suci keagamaan.
“Begitu ya, mengunjungi tempat kerja, huh...”
Yuigahama menggumamkan itu dengan emosi yang dalam.
Dia lalu melirik ke arahku sebelum
memalingkan pandangannya. Kedua matanya seperti baru saja keluar dari kolam
renang dan wajahnya terlihat memerah. Apa
dia kena flu?
“Umm, Hikki, kau sendiri mau pergi kemana?”
dia menanyakan itu dengan ragu-ragu.
“Ke rumahku.”
“Yeah, bukan itu!” Yuigahama mengatakan itu
sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Aku masih belum menyerah soal itu, tapi
karena aku tidak ingin melihat Hiratsuka-sensei menghajarku hanya karena jawaban
itu, jadi kuputuskan untuk memikirkannya dengan baik.
“Hmph, well, terserah grupku saja mau kemana, aku tinggal ikut mereka saja.”
“Wow, kau tidak mau mengusulkan tempat ke
teman grupmu?”
“Nah...Aku pernah melakukan hal serupa di
masa lalu, tapi aku akhirnya malah merepotkan orang-orang, jadi aku malas untuk
berbicara lagi.”
“Begitu ya – oh, tunggu. Oh.”
Seperti biasanya, dia menginjak ranjau darat.
Yuigahama mungkin sangat buruk dalam bermain minesweeper.
“Maaf.”
Kalau dipikir-pikir lagi, ini mengingatkanku
akan sesuatu. Sebenarnya, “buatlah grup
yang terdiri dari 3 orang” adalah perintah yang sangat buruk daripada “buatlah grup yang terdiri dari 2 orang”.
Kalau cuma berdua, kau bisa diam saja dan biarkan orang yang lain memutuskan.
Tapi kalau grup berisi 3 orang, dan dua orang lainnya berdebat tentang sesuatu,
maka kau seperti berada dalam sebuah loop.
“Jadi, pada akhirnya kau tidak mau
mengusulkan...?” Yuigahama menggumamkan itu.
“Kalau kau sendiri, hendak pergi kemana,
Yuigahama-san?” tanya Yukinoshita.
“Yeah. Kurasa tempat yang dekat-dekat saja.”
“Jawaban itu merupakan jawaban yang selevel
dengan pikiran Hikigaya-kun...”
“Jangan melibatkanku dengan grupnya,” kataku.
“Aku ingin ke rumahku itu sudah merupakan sebuah impian terbaikku.
Ngomong-ngomong, kemana kau akan pergi? Ke kantor polisi? Pengadilan? Atau
mungkin penjara?”
“Salah semua,” Yukinoshita terlihat berusaha
menahan tawanya dengan ekspresi yang dingin. “Kau tampaknya tahu betul caraku
berpikir.”
Ufufu.
Lihat kan
maksudku? Suara tawanya sangat menakutkan.
Sejauh yang kutahu, Yukinoshita akan selalu
terlihat sangat pintar, tapi itu ketika dia benar-benar tidak menyukaimu.
Anehnya, dia tidak hanya mengatakan sesuatu yang kejam, dingin, dan tidak
manusiawi. Ufufu. Ada apa dengan suara tawanya yang lugu itu?
“Kupikir aku akan pergi ke sebuah tempat yang
bersifat think tank – seperti lembaga
penelitian. Kurasa aku akan memilih yang seperti itu.”
Fakta kalau Yukinoshita sudah menentukan
pilihannya menunjukkan bagaimana dia sangat efektif dalam mengambil keputusan.
Kalau begini, akan sangat mudah membuatku teringat bagaimana dirinya berubah
dengan cepat dari sikap yang dingin menjadi sikap yang serius.
Ada seseorang yang menarik lengan blazerku,
membuatku penasaran. Oi bocah, lu
ngapain? Akupun menolehkan kepalaku untuk melihatnya.
Ternyata Yuigahama. Wajahnya terlihat dekat
tanpa sepengetahuanku. Bau tubuhnya ternyata enak juga, dan rambutnya yang
terurai itu dekat dengan leherku. Ini pertamakalinya aku merasa dekat secara
fisik dengan Yuigahama. Berbeda dengan sikapku yang menganggapnya mengganggu,
jantungku mulai berdetak kencang.
“H-Hikki...”
Dia berbisik di telingaku dan terdengar
embusan napas dari mulutnya. Itu saja sudah cukup membuat telingaku gatal.
Dari jarak kami berdua, kami bisa mendengar
ada dua detakan suara. Mungkinkah itu...Tidak...Mungkinkah yang kudengar barusan itu suara detakan dadanya...?
“Apa sih
thinkie tank itu? Apa tanknya komunitas sosial?” dia mengatakan itu seperti
suara dari wanita paruh baya saja.
Tiba-tiba aku tidak mendengarkan suara itu
lagi, mungkin suara tadi semacam kelainan jantung atau semacamnya.
“...Yuigahama-san,” Yukinoshita mengatakan
sambil mendesah.
Setelah Yuigahama menjauh dariku, Yukinoshita
mulai menjelaskan kepadanya. “Tahu tidak, think thank itu – “
Yuigahama mengangguk untuk menunjukkan
perhatiannya atas penjelasan itu. Keduanya seperti sedang melangsungkan sesi
belajar bersama. Melihat mereka di salah satu sudut mataku, akupun teringat
kegiatan penting yang tertunda yaitu membaca manga shoujo. Setelah Yukinoshita
selesai menjelaskan ke Yuigahama, sudah 15 halaman terlewati.
Matahari senja sudah hampir menyentuh lautan.
Dari ruangan ini, aku bisa melihat permukaan lautan terlihat memantulkan cahaya
dari kejauhan. Jendela lantai empat ini memberikan pemandangan para member klub
baseball yang sedang membersihkan lapangan, para member klub sepakbola yang
sedang mengangkut gawang mereka, dan member klub atletik sedang membawa halang
rintang beserta alat kegiatan mereka yang lain.
Kurasa sebentar lagi kegiatan klub akan
selesai. Di saat yang bersamaan, kedua mataku melihat ke arah jam dinding,
Yukinoshita menutup kedua bukunya. Tiba-tiba, Zaimokuza kaget ketika
Yukinoshita melakukannya. Ya ampun, orang
ini mudah sekali ketakutan.
Aku tidak tahu siapa yang memulai hal ini,
tapi sikap Yukinoshita yang menutup bukunya harusnya menjadi sinyal kalau
kegiatan klub berakhir untuk hari ini. Seperti melihat tanda itu, Yuigahama
juga ikut membereskan barang-barangnya disini dan bersiap untuk pulang seperti
diriku.
Pada akhirnya, tidak ada satu orangpun yang
datang ke klub dan meminta pertolongan kami. Entah mengapa, satu-satunya orang
yang datang hanya Zaimokuza, dan dia adalah orang yang paling tidak kami
inginkan untuk datang.
Bagaimana
jika pulang sekolah nanti aku mampir ke warung ramen...
Ketika aku memikirkan tentang makan malam,
ide mampir ke Horaiken tiba-tiba muncul di kepalaku. Itu adalah restoran ramen
di Niigata, tapi kuah sup mereka merupakan sup terbaik yang pernah ada.
Zaimokuza pernah menceritakan itu kepadaku. Oh sial, aku mulai meneteskan air
liurku, heh.
Tiba-tiba, aku mendengarkan suara ketukan
pintu yang berirama. “Siapa yang mengetuk
pintu di jam segini?” Karena membuat
imajinasiku tentang ramen buyar seketika, aku menatap ke arah jam dinding
dengan kecut.
Aku sering berpura-pura tidak ada di rumah
ketika kejadian seperti ini terjadi di rumahku. Ketika aku menatap ke arah
Yukinoshita untuk bertanya apa yang harus kita lakukan, dia mengatakan “Silakan masuk!”. Dia bahkan tidak
melihat ke arahku ketika menjawabnya!
“Maaf sudah mengganggu.”
Suara itu adalah suara pria yang terdengar
keren, suara yang bisa membuatmu tenang ketika mendengarnya. Jadi pria inilah
yang mencuri ramenku barusan...
Akupun menatap ke arah pintu dengan ekspresi
kesal, dan diriku terkejut ketika melihatnya. Dia adalah seseorang yang kupikir
tidak akan pernah datang ke ruangan ini.
x
x x
Dia adalah pria tertampan dari semua pria di
sekolah ini. Saking tampannya sehingga julukan tampan tidak cukup lagi untuk
menggambarkan dirinya.
Rambutnya yang berwarna coklat ditata rapi
seperti memakai minyak rambut. Tanpa sadar, dia melirik ke arahku lewat frame
kacamatanya yang terlihat trendi, dan entah mengapa dia memasang senyum yang terlihat picik ketika kedua mata kami bertemu. Secara spontan, aku menatapnya dengan
sinis juga. Saking tampannya sehingga aku hampir saja membungkuk di hadapannya.
“Maaf karena momennya kurang tepat. Aku ada
sedikit request untuk kalian.” Dia mengatakan itu sambil menaruh tas olahraga
bermerk UMBRO di lantai dengan santainya. Lalu dia menarik kursi terdekat
sehingga berhadapan dengan Yukinoshita sambil mengatakan “Apa boleh duduk disini?”.
Semua yang dia lakukan seperti memancarkan
aura tertentu. “Ya ampun, aku kesulitan untuk pergi kesini dari klubku. Karena
kegiatan klub akan vakum ketika mendekati ujian, jadi kupikir aku harus menemui
kalian hari ini tidak peduli apa yang terjadi. Maaf ya.”
Orang-orang yang punya keperluan semuanya
seperti itu. Dia bahkan tidak menyadari diriku yang hendak pulang dan menikmati
kebebasan di rumah. Mungkin karena diriku ini adalah seorang ninja.
Dia barusan bilang datang kesini setelah
sibuk dengan klubnya, karena klub kami hari ini hanya duduk-duduk saja, mengapa
tidak ada bau keringat darinya yang menyebar di ruangan ini? Malahan, ada bau
lemon yang menyegarkan mulai tercium di ruangan ini.
“Kurasa sampai disitu basa-basinya,”
Yukinoshita mengatakan itu dengan datar,
memotong obrolan ceria pria tersebut. Entah mengapa, aku merasa sikapnya jauh
lebih tajam dari biasanya.
“Kau kesini karena ada keperluan, benar
begitu? Hayama Hayato-kun.”
Nada tegas dari Yukinoshita tidak
menggoyahkan senyuman Hayama Hayato.
“Ah, kau benar. Kalau tidak salah, ini adalah
Klub Relawan, benar tidak? Hiratsuka-sensei menyuruhku untuk datang kesini jika
membutuhkan bantuan, jadi...”
Setiap kali Hayama berbicara, ada tiupan
angin yang menyegarkan bertiup dari arah jendela, entah mengapa bisa begitu. Ya
ampun, apa dia bisa mengontrol kekuatan angin atau sejenisnya?
“Maaf kalau momennya tidak tepat. Kalau kau,
Yui, dan yang lain ada rencana, aku akan datang lagi di lain waktu...”
Setelah mendengar namanya disebut, Yui
langsung tersenyum. Tampaknya seluruh orang yang berada di atas kastaku tidak
bisa luput dari Hayama.
“Kurasa tidak masalah. Aku tidak keberatan.
Kau kan calon kapten Klub Sepakbola,
Hayato-kun. Tidak heran kalau kau butuh waktu lama untuk pergi kesini!”
Satu-satunya orang yang berpikir seperti itu
adalah Yuigahama. Yukinoshita sendiri tidak terpengaruh, sementara Zaimokuza
duduk terdiam, dengan wajah terlihat pucat.
“Ahh, harusnya aku juga mengatakan maaf
kepadamu, Zaimokuza-kun,” kata Hayama.
“Huh?! A-Ahem! Er, aku sendiri tidak
keberatan, uhh, kurasa aku akan pulang lebih dulu...”
Hanya dengan membuka mulutnya, Hayama
langsung menghilangkan aura ramah di ruangan ini kepada Zaimokuza. Setelah
Hayama selesai melakukan pekerjaannya,
Zaimokuza terlihat seperti satu-satunya orang yang bersalah dengan tetap berada
di ruangan ini.
Zaimokuza lalu pura-pura batuk.
“H-Hachiman, sampai jumpa nanti!”
Dia mengatakan itu dengan terburu-buru dan
pergi. Meski dia terlihat sedang berlari, aku bisa melihat ekspresi wajahnya
yang sedang tersenyum.
...Kurasa
aku paham bagaimana rasanya terluka seperti itu.
Jujur saja, aku tidak tahu mengapa bisa
begini. Tapi orang yang terbuang di SMA sepertiku ini, selalu menghindari
terlibat kontak dengan siswa-siswa populer. Kita selalu memberikan jalan bagi
mereka ketika di lorong, dan ketika mereka berbicara kepada kita, 80% kita akan
tergagap-gagap meresponnya. Bukannya kami ini cemburu atau membenci mereka.
Ketika mereka mengingat nama kita, kita merasakan semacam kebahagiaan.
Pria seperti Hayama mengetahui namaku dan
siapa diriku. Mengetahui hal tersebut saja seperti memperoleh kehormatanku
kembali.
“Kau juga, Hikitani-kun,” kata Hayama. “Maaf
sudah menyita waktumu.”
“...Gah, tidak usah dipikirkan.”
Dia salah menyebutkan namaku! Selamat tinggal
kehormatanku yang malang.
“Yeah,
lu ngapain kesini?” Aku mengatakan kata-kata yang tidak baku tersebut,
karena aku sendiri secara tidak sadar berusaha mengekspresikan emosiku karena
dia salah menyebut namaku atau sejenisnya.
...Tidak, benar itu! Aku benar-benar tertarik
dengan masalah Hayama. Jujur saja, sulit membayangkan kalau ada pria populer,
pria yang dicintai oleh siapa saja bisa memiliki masalah. Bukan maksudku ingin
mengetahui kelemahannya agar bisa mengejeknya...
“Ah. Well, soal itu,” Hayama mengatakan itu
sambil mengambil HP-nya.
Dia menekan tombol-tombol di HPnya, mengakses
bagian SMS dan menunjukkannya kepada kami.
Disampingku, Yukinoshita dan Yuigahama
mencondongkan kepalanya untuk melihat isi SMS tersebut. Dengan tiga orang
berkerumun untuk melihat layar berukuran kepalan tangan, akupun terlihat
pusing. Mereka berdua ternyata aromanya
enak sekali. Tapi setelah aku mundur agar memberikan mereka ruang untuk
melihat layarnya, Yuigahama mengatakan “Ah...”
“Ada apa memangnya?” tanyaku.
Yuigahama mengambil HP miliknya dan
menunjukkannya kepadaku. Dia menerima SMS yang isinya kurang lebih sama dengan
milik HP Hayama.
Kurang lebih, isi SMS itu menceritakan
tentang sesuatu. Dan SMS itu tidak hanya satu saja. Setiap Yuigahama menekan
tombol scroll di daftar SMS yang diterimanya, ternyata penuh dengan SMS yang
berisi hal-hal serupa. Apa mereka dikirim
dari nomor-nomor khusus untuk spam? Kukira begitu. Setiap SMS yang masuk
berisi gosip buruk tentang seseorang.
Tobe
member geng yang sering memalak siswa SMA bagian barat Chiba di sekitar stand
permainan ketangkasan.
Yamato ternyata super brengsek.
Ooka sengaja bermain kasar di pertandingan persahabatan untuk membuat
cedera pemain andalan musuh.
Kesan keseluruhan yang kudapat dari SMS ini seperti
pesan yang sama dikirim berulang-ulang dengan nomor yang berbeda. Dan selain
tertera nama pengirimnya, ada juga SMS yang dikirim dari nomor SMS spam, jadi
pesan ini seperti sebuah SMS yang dikirim ulang dari beberapa nomor.
“Hei, ini kan...”
Yuigahama mengangguk.
“Aku pernah mengatakan ini tempo hari, benar
tidak? Inilah yang sedang ramai di kelas...”
“Pesan berantai, begitu ya,” Yukinoshita yang
sedari tadi diam, mulai berbicara.
Seperti nama istilahnya, sebuah pesan
berantai adalah sejenis pesan yang menyebar seperti rantai. Orang terakhir yang
menerimanya, menyebarkan pesan tersebut lagi, semacam begini, “Sebarkan SMS ini ke lima orang” atau
sesuatu sejenis itu. SMS ini seperti “Pesan
terkutuk” di masa lampau: “Kalau kau
tidak menyebarkan pesan ini ke lima orang dalam tiga hari, kau akan dikutuk”, blah
blah. Ya semacam itulah SMS ini.
Ketika melihat layar HP-nya, Hayama tersenyum
kecut.
“Setelah SMS semacam ini menyebar, suasana di
kelas seperti menjadi tegang. Plus, aku marah karena yang digosipkan
teman-teman sekelasku adalah teman-temanku.”
Ekspresi Hayama berubah seperti Yuigahama
yang sebelumnya: Dia seperti emosi karena hal itu disebabkan oleh pelaku yang
tidak menampakkan wajahnya.
Tidak ada yang lebih buruk dari seekor Iblis
yang tidak bisa kau lihat wajahnya. Jika ada orang yang menghinamu tepat di
depanmu, kau bisa balik menghina mereka. Atau kau bisa melampiaskan emosi dan
kemarahanmu ke benda lain. Karena emosi seperti itu adalah salah satu sumber
energi, kau bisa memanfaatkannya ke hal positif. Tapi jika perasaan emosi, iri,
dan dengki tidak tahu harus diarahkan ke siapa, maka kau hanya bisa memendam
emosi itu. Yang kau dapatkan adalah perasaan tidak nyaman yang menghantuimu setiap
harinya.
“Aku ingin menghentikan ini. Aku merasa ini
sudah tidak benar,” Hayama menegaskan itu. Lalu dia menambahkan.
“Oh, aku tidak ingin membuat ini menjadi
semacam kegiatan berburu penyihir.
Aku ingin tahu bagaimana caranya menyelesaikan ini secara damai. Jadi, kuharap
kalian bisa membantuku untuk masalah ini.”
[note:
perburuan penyihir ini mengacu ke kegiatan massif di tahun 1450-1750 dengan
berburu penyihir, mengerahkan massa secara besar-besaran. Sangat masif di Eropa
dan Amerika, sekitar 35000-100000 jiwa tewas akibat perburuan ini. Meski, saat
ini masih ada kegiatan semacam ini secara terselubung.]
Yak ini
dia. Hayama baru saja melepaskan jurus mautnya: “The Zone”.
Ijinkan aku untuk menjelaskan. “The Zone” adalah skill unik yang hanya
dimiliki oleh seorang riajuu sejati, dan efek utama skill itu adalah kemampuan
untuk mengontrol orang-orang di sekitarnya. Tidak seperti mereka yang merupakan
riajuu gadungan (HA!) yang hanya berkumpul dan menunjukkan ekspresi idiot
mereka, seorang riajuu sejati adalah orang yang sangat puas dengan dunia ini.
Karena itulah, mereka tidak pernah memandang rendah siapapun – mereka terlihat
ramah bagi orang yang paling hina di dunia ini. Jadi aku punya pedoman paten
untuk menentukan apakah mereka riajuu gadungan atau sejati, yaitu “Apakah kau bersikap ramah terhadap Hikigaya
Hachiman?”.
Kupikir, Hayama adalah nice guy. Maksudku, dia mau berbicara kepadaku, tahu tidak? (Meski
dia salah menyebutkan namaku).
Sederhananya, kau bisa menyebut “The Zone” adalah sebuah aura unik
dimana hanya orang-orang karismatik saja yang mempunyainya. Kalau kubilang, mereka itu adalah orang baik
yang bisa membaca suasana. Tapi kalau boleh jujur, mereka itu adalah golongan orang
yang tidak memiliki opini sendiri. Kasarnya, mereka itu semua adalah makhluk
sampah. Well, meski begitu aku tetap menyebut mereka sebagai orang baik.
Di depan Hayama yang mengaktifkan kemampuan
spesialnya, Yukinoshita menggaruk-garuk dagunya seperti sedang berpikir, lalu
dia membuka mulutnya.
“Jadi intinya, kau ingin kita menghentikan
penyebaran SMS ini, benar?”
“Mmm, kurang lebih begitu.”
“Kalau begitu, kita harus menemukan siapa
pelakunya,” kata Yukinoshita.
x x x
Kalau merunut monolog Hachiman, sebenarnya banyak siswa yang menyapanya di sekolah, tapi Hachiman sendiri yang menganggap dirinya adalah penyendiri.
...
Cerita Hachiman dengan gadis perwakilan kelas ada di vol 1 chapter 3.
...
Sepertinya, 2 gadis di grup Zaimokuza adalah gadis fujoshi.
...
Ufufu.
...
Interaksi member klub ketika bertanya tentang lokasi kunjungan. Hanya pertanyaan dari Hachiman kepada Yukino yang dijawab dengan detail. Sepertinya Yukino memang berharap Hachiman yang bertanya seperti itu, sedang Hachiman sendiri berharap Yukino mau menjawabnya.
...
Hayama memakai kacamata itu memang tanda tanya jika membaca volume 2 saja. Tapi terjawab di vol 10 chapter 4, Hayama mengemudikan mobil pribadi ke sekolah. Kacamata yang dipakai Hayama adalah kacamata style untuk pengemudi mobil.
Kemungkinan lensa kontak? Hayama adalah (calon) kapten Tim Sepakbola, super langka melihat kapten tim sepakbola memiliki gangguan penglihatan.
...
Kemungkinan besar sikap sinis Hayama terpicu oleh kedekatan Hachiman dan Yukino di vol 1 chapter 7.
Jjk
BalasHapus