x x x
“Jadi biar kutebak, bahkan kelas memasak
merupakan sebuah trauma bagimu?”
Entah mengapa aku dipanggil ke ruang guru
meski aku sudah menyerahkan laporan tentang masakan sebagai hukuman karena
bolos kelas memasak.
Ini membuatku mengalami semacam deja vu. Kenapa menggangguku dengan masalah seperti ini,
Hiratsuka-sensei?
“Sensei, bukankah anda ini guru Sastra
Jepang?”
“Aku juga menjabat guru konseling.
Tsurumi-sensei meminta bantuanku untuk menangani masalah konseling siswa.”
Akupun melihat ke salah satu sudut ruangan
dan melihat Tsurumi-sensei sedang menyirami tanaman hias. Hiratsuka-sensei
menatapnya sebentar dan kembali lagi ke arahku.
“Pertama, aku ingin mendengar alasanmu bolos
kelas memasak. Ceritakan secara ringkas!"
“Well, saya hanya tidak begitu mengerti
mengapa saya harus berpartisipasi di kelas memasak bersama dengan siswa yang
lain...”
“Jawabanmu itu tidak masuk akal bagiku.
Hikigaya – apa sebegitu menyakitkannya memasak bersama orang lain? Ataukah
karena tidak ada satupun orang yang mengajakmu ke grup mereka?”
Hiratsuka-sensei menatapku seperti mengkhawatirkan sesuatu.
“Tidak, tentu tidak. Apa yang sedang Sensei
bicarakan? Bukankah ini tentang pelatihan memasak? Dengan kata lain, pelatihan
itu tidak ada gunanya jika tidak ada kaitannya dengan kegiatan memasak di
kehidupan nyata. Ibuku saja memasak sendirian. Dengan kata lain, memasak adalah
sebuah kegiatan yang harus dikerjakan sendirian! Secara tidak langsung, melatih siswa untuk memasak secara berkelompok
adalah sesuatu yang salah!”
“Apa yang barusan kau katakan dan apa yang
sedang kubahas ini adalah sesuatu yang berbeda.”
“Sensei! Apakah Sensei hendak mengatakan
kalau yang dilakukan Ibuku itu salah?! Saya rasa itu tidak bisa dimaafkan! Saya
rasa tidak ada artinya jika kita membahas ini lebih lanjut! Saya permisi dulu!”
Akupun berpamitan dan membalikkan badanku,
berusaha meninggalkan tempat ini.
“Hei! Jangan mencoba untuk membuatku terlihat
seperti orang jahat ketika ini harusnya menjadi adegan dimana aku yang marah!”
...Apa rencanaku gagal?
Hiratsuka-sensei langsung memegangi kerah leherku. Tidak lama kemudian, akupun
berbalik dan menghadapnya kembali dengan posisi dipegangi seperti seekor anak
kucing. Sial. Kalau aku bilang, “Tehee ♪ Konyol Ya ✰” sambil menjulurkan lidahku, mungkin
aku bisa lolos dari ini.
Sensei
mendesah kesal, menggulung laporanku, dan memukul-mukulkannya ke telapak
tangannya.
“Oke,
laporanmu di bagian ‘Bagaimana membuat
kare yang enak’ kurasa tidak masalah. Masalahnya muncul setelah itu. ‘1.Buang kulit bawang. Lalu iris
kecil-kecil. Persis seperti bagaimana manusia rendahan yang dengan mudahnya
dipengaruhi orang lain, irisan tipis bawang itu dengan mudahnya merusak rasa’...
Siapa yang menyuruhmu mencampurkan sarkasme(hiniku) di laporan? Apa maksudmu
itu daging (niku)?”
“Sensei,
tolong jangan memasang ekspresi kalau itu adalah kata-kata yang bagus...Saya
merasa malu dilihat Sensei dari tadi.”
“Meski
aku tidak ingin membaca ini, kurasa kau sudah tahu apa yang akan kukatakan
setelah ini. Kau harus menulis ulang dan memberikannya lagi kepadaku!”
Sensei
terlihat terkejut dengan kata-kataku, lalu dia menaruh rokok di bibirnya.
“Kau
sendiri bisa masak?”
Dia
mengatakan sesuatu yang mengejutkan sambil memberikan kembali laporanku.
Well,
sebenarnya ini pertanyaan yang cukup mengganggu. Siswa SMA jaman sekarang
harusnya bisa memasak, setidaknya memasak kare.
“Ya.
Dengan mempertimbangkan rencana masa depanku, tentunya aku bisa memasak.”
“Apa
kau akan berencana untuk hidup mandiri setelah lulus SMA?”
“Bukan,
bukan begitu Sensei.”
“Hmm?”
Sensei
memasang ekspresi penuh tanda tanya dan mengatakan ‘memangnya kenapa?’.
“Karena
memasak itu adalah skill yang harus dimiliki oleh suami rumahan.”
Setelah
mendengarkan jawabanku, dia hanya mengedip-ngedipkan kedua matanya, dua hingga
tiga kali.
“Apa
kau bercita-cita untuk menjadi suami rumahan?”
“Well,
itu sedang saya pertimbangkan...”
“Jangan
membicarakan cita-cita dengan memasang tatapan mata yang korup dan menyedihkan
milikmu itu. Matamu itu harusnya terlihat bercahaya dan dipenuni antusiasme
tinggi...Sebagai referensi saja, apa rencana detailmu setelah lulus dari sini?”
Mungkin
bukan ide yang bagus jika aku memberitahunya kalau masa depan yang harus
dikhawatirkan adalah masa depannya, daripada masa depanku. Jadi aku
mengurungkan niatku dan memberinya jawaban yang logis.
“Well,
saya berencana akan kuliah di tempat yang saya rasa mampu.”
“Begitu
ya.”
Hiratsuka-sensei mengangguk setuju. “Setelah itu kau mau bekerja seperti
apa?”
“Setelah
itu saya akan mencari wanita yang kaya dan cantik untuk saya nikahi, sehingga
dia akan mensupport saya sampai saya meninggal.”
“Bukannya
sudah kukatakan tentang ‘pekerjaan’! Berikan pekerjaan yang jelas!”
“Bukankah
sudah saya beritahu Sensei – Suami Rumahan.”
“Kalau
begitu, kita menyebutnya sebagai gigolo! Cara hidup yang menyedihkan. Mereka
itu adalah kaum yang memberikan kode-kode kalau mereka tertarik untuk menikah,
dan tanpa sadar mereka sudah ada di rumahmu, bahkan mereka sudah punya kunci
duplikat rumahmu. Jangan lupa juga kalau mereka juga membawa barang bawaan
mereka ketika tinggal. Lalu ketika putus, mereka bahkan membawa perabotan rumah
itu bersama mereka seperti seorang gembel!”
Hiratsuka-sensei mengatakan itu dengan jijik, memberitahu setiap detail
tentang itu. Dia mengatakan itu dengan sangat serius sehingga kehabisan napas
dan hendak mengeluarkan air mata.
Sangat
menyedihkan...Saking sedihnya hingga aku ingin menghiburnya.
“Sensei,
tenang saja! Saya tidak akan seperti itu. Saya akan melakukan pekerjaan rumah
dengan baik dan menjadi gigolo yang melebihi semua gigolo!”
“Teori
gila apalagi itu?!”
Ketika
masa depanku mulai terlihat diinjak-injak, aku terpaksa mengambil pilihan.
Impianku sudah diambang kehancuran, jadi aku berusaha mengubah pembicaraan ini
ke arahku.
“Mungkin
akan terdengar buruk jika Sensei memanggil saya gigolo, tapi seorang suami
rumahan bukanlah sebuah pilihan yang buruk.”
“Hmm?”
Hiratsuka-sensei menatapku dengan tajam dan menyandar ke kursinya.
Sebuah gestur tubuh yang mengatakan ‘akan kudengarkan, apa alasanmu?’
“Apa
Sensei tahu tentang ‘kesetaraan gender?’, bukankah normal melihat wanita jaman
sekarang punya perkembangan sosial juga? Bukti dari adanya hal itu adalah
Sensei yang ada disini sebagai guru.”
“...Well,
kurasa itu ada benarnya.”
Kurasa
aku sudah memancingnya. Sekarang aku tinggal terus berbicara.
“Tapi,
saya rasa tidak perlu matematika yang rumit untuk mengatakan kalau setiap ada
sejumlah besar wanita masuk dunia kerja, maka dalam jumlah yang sama akan ada
pria yang kehilangan pekerjaan. Maksud saya, bukankah jumlah lapangan pekerjaan
akan terus terbatas, tidak peduli apapun yang terjadi?”
“Kalau
itu...”
“Misalnya
sebuah perusahaan 50 tahun lalu dimana 100% pekerjanya adalah laki-laki. Jumlah
pekerjanya adalah 100 orang. Jika perusahaan hendak memasukkan 50 pekerja
wanita disana, maka 50 orang pekerja pria akan dipecat dan harus mencari
pekerjaan di tempat lain. Tapi barusan itu hanyalah kalkulasi sederhana. Jika
Sensei melihat bagaimana situasi ekonomi kita yang sedang merosot, hanya
tinggal tunggu waktu saja para pekerja pria itu akan di-PHK.”
Setelah
aku memberikan pendapatku, Hiratsuka-sensei memegangi dagunya dan berpikir.
“Oke,
teruskan.”
“Sedang
perusahaan sendiri, semakin maju jamannya, maka perusahaan akan semakin
mengurangi ketergantungannya terhadap pekerja manusia. Ini dikarenakan
perkembangan dan penyebaran yang pesat dari komputer dan internet yang
memberikan efisiensi, dimana ini mempengaruhi pendapatan per-kapita secara
signifikan. Kalau Sensei tanya ke warga Jepang pada umumnya, mereka mungkin
akan mengatakan ‘bekerja keras memang bagus, tapi situasinya tetap
mengkhawatirkan...’ dan itu juga belum termasuk satu pekerjaan yang diisi shift
bergantian. Ya sesuatu yang sejenis itu.”
“Ya,
kadang aku sering mendengar pendapat-pendapat semacam itu.”
“Dan
karena pekerjaan rumah tangga ini telah berkembang pesat selama ini, tidak
peduli siapa yang mengerjakannya, hasilnya sama saja. Bahkan laki-laki juga
bisa mengerjakan pekerjaan rumahan dengan baik.”
“Tunggu,
tunggu dulu.”
Sensei
memotong ceramahku yang berapi-api. Dia pura-pura batuk dan menatapku.
“Aku
kesulitan mencerna apa untuk dimana, dan dimana untuk apa...Jadi penjelasanmu
itu terlihat seperti sebuah penggiringan opini ke arah tertentu...”
“Well,
itu mungkin cuma perasaan Sensei saja.”
“...Apa?”
Kursinya tiba-tiba bergerak bersamaan dengan tendangan kakinya ke
kakiku. Sial, sakit sekali. Lalu, dia menatapku dengan berapi-api. Aku lalu
memutuskan untuk menutup kata-kataku itu.
“Ke-kesimpulannya
adalah! Jika mempertimbangkan kita sudah bekerja sebegitu kerasnya untuk
membangun sebuah komunitas sosial dimana kita mendapatkan pekerjaan sementara
ada satu orang lainnya yang menganggur, maka mengeluh tentang pekerjaan dan
kurangnya lapangan pekerjaan adalah hal yang absurd dan salah!”
Sebuah
kesimpulan yang sempurna. Kalau kau bekerja, maka kau kalah oleh sistem.
“...Benar.
Kau benar-benar busuk sekali.”
Sensei
mendesah kesal. Setelah itu dia tersenyum kecil seperti teringat akan sesuatu.
“Kalau
suatu hari nanti ada gadis yang memasakkan masakan rumahan kepadamu, setidaknya
sekali, aku yakin cara berpikirmu yang korup itu akan berubah...”
Setelah
mengatakan itu, Sensei berdiri dan mendorong bahuku agar aku keluar dari ruang guru.
“Tu-Tunggu!
Apa yang Sensei lakukan?! Ow! Ini sakit sekali!”
“Kembali
lagi kesini jika kau sudah belajar tentang betapa terhormatnya bekerja di Klub
Relawan.”
Sambil
meremas bahuku, dia mendorongku keluar dari pintu.
Ketika
aku hendak membalikkan badanku untuk komplain, pintunya langsung ditutup.
Kurasa itu berarti ‘tidak menerima penolakan, komplain, pertanyaan, atau negosiasi ulang’.
Ketika
aku berpikir kalau ini kesempatan bagus untuk langsung pulang ke rumah, aku
merasakan sakit dari bahuku yang dibuat Sensei ketika menarikku keluar...Kalau
aku mencoba kabur, aku mungkin akan dihajar olehnya.
Orang
yang baru saja membuat tubuhku kesakitan seperti ini adalah manusia terburuk yang
pernah ada di muka bumi.
Tanpa
adanya pilihan lain, aku putuskan untuk muncul di sebuah klub yang bernama Klub
Relawan. Dimana, mungkin aktivitas klub itu adalah memecahkan teka-teki. Meski
memiliki sebutan ‘klub’, aku sendiri tidak tahu klub macam apa itu. Tidak lupa
juga kalau ketua klub itu juga merupakan misteri terbesar disana. Ada apa sih dengan gadis itu?
x x x
Seperti
biasanya, Yukinoshita sedang membaca buku.
Setelah
menyapanya, aku lalu menjaga jarak dengan duduk di seberangnya, menarik sebuah
kursi dan duduk. Lalu aku mengambil buku dari tasku.
Saat
ini, Klub Relawan ini berubah menjadi sebuah klub membaca. Tapi serius ini – apa sih kegiatan klub ini? Dan apa yang
terjadi dengan pertempuran yang seharusnya kita berdua lakukan?
Jawaban
tersebut kemudian muncul bersamaan dengan tamu yang mengetuk pintu klub.
Yukinoshita tiba-tiba berhenti membaca, menaruh penanda halaman buku dan
menutup bukunya.
“Silakan
masuk.” Dia mengatakan itu dan menatap ke arah pintu.
“Per-Permisi.”
Sebuah
suara yang bernada antusias bercampur gugup. Pintu sedikit terbuka sehingga
membuat sebuah celah kecil. Gadis itu mencoba melewati celah itu dan masuk ke
ruangan. Dia bersikap seperti tidak ingin ada orang yang melihatnya masuk ke
sini.
Rambut
coklat sebahu dan dibiarkan terurai begitu saja sehingga terlihat
bergerak-gerak ketika dia berjalan. Kedua matanya melihat kesana-kemari ke
berbagai sudut hingga melihat ke arahku. Dia lalu memasang ekspresi terkejut.
...Memangnya gue apaan? Monster?
“Ke-Kenapa
ada Hikki disini?!”
“...Aku
sebenarnya member klub ini.”
Atau
harusnya kukatakan ‘apa kau baru saja memanggilku Hikki’? Tapi yang paling penting adalah, siapa sih gadis ini?
Jujur
saja, aku tidak tahu siapa dia. Tapi mengesampingkan itu, dia memang terlihat
sebagai gadis SMA idaman semua pria. Aku sering melihat tipe gadis yang seperti
ini, malahan bisa dibilang sering – seorang gadis flamboyan yang menunjukkan
aura masa muda. Rok pendek, 3 kancing teratas seragamnya dibiarkan terbuka,
rambutnya diwarnai dengan warna coklat muda, dan di lehernya tergantung kalung
yang mencolok mata. Penampilan semacam itu sudah memberikanku semacam kode di
sekolah ini.
Aku tidak punya urusan dengan gadis semacam
ini. Bahkan, aku tidak punya urusan dengan semua gadis.
Tapi, kenyataan kalau dia tahu siapa diriku
membuatku menyadari kalau ini tidak akan berjalan dengan bagus jika aku
meresponnya dengan bertanya “Maaf, kamu siapa?”
Juga,
aku menyadari warna pita yang dia pakai adalah merah. Di sekolah ini, setiap
tingkat kelas dibedakan dengan warna pita. Pita merah berarti dia adalah siswi
kelas 2, sama sepertiku.
...Bukannya aku hendak melirik dirinya pertama
kali di bagian dadanya – entah mengapa penglihatanku terfokus ke
situ....Ngomong-ngomong, mereka terlihat besar sekali...
“Well,
kenapa kau tidak duduk terlebih dahulu?”
Aku
mengatakan itu sambil menaruh tempat duduk di depannya, memberitahunya untuk
duduk. Asal kau tahu saja, sikap
gentleman-ku ini tidak ada hubungannya dengan perasaan bersalah akibat yang
kulihat barusan. Aku hanya melakukan
apa yang seharusnya seorang pria lakukan. Tahulah,
aku ini adalah seorang gentleman. Fakta bahwa aku sendiri memakai kaos dibalik seragamku ini merupakan sebuah bukti.
“Te-Terima
kasih...”
Dia
menerima tawaranku dan duduk secara perlahan.
Yukinoshita, yang duduk di depannya, menatapnya.
“Kalau
tidak salah, Yuigahama Yui-san, benar?”
“K-Kau
kenal aku?”
Dia,
Yuigahama Yui, tiba-tiba terkejut karena namanya tiba-tiba dipanggil. Seperti
dikenal oleh Yukinoshita membuatnya mendapatkan sebuah status baru.
“Kau
sepertinya tahu banyak sekali nama orang disini...Apa kau mengingat nama tiap
siswa di sekolah ini?” tanyaku.
“Tidak
juga. Buktinya aku tidak kenal kau.”
“Begitu
ya...”
“Itu
bukan sesuatu yang harus menghantui pikiranmu. Faktanya, itu adalah
kesalahanku. Aku tidak menyadari kehadiranmu, dan terlebih lagi kedua mataku
tiba-tiba secara otomatis memalingkan pandangannya darimu. Yang harus
disalahkan adalah pikiranku yang lemah tersebut.”
“Bukankah
itu harusnya menjadi kata-kata yang menghiburku? Kenapa terdengar menjadi
sebuah kata-kata yang menyesakkan dada daripada menghiburku? Pada akhirnya,
disimpulkan kalau itu adalah salahku.”
“Aku
tidak sedang mencoba menghiburmu. Aku hanya mencoba untuk mengatakan sarkasme.”
Yukinoshita mengatakan itu, tidak mempedulikan komplainku dan mengibaskan rambut
panjangnya yang ada di bahunya.
“Sepertinya...Klub
ini terlihat menyenangkan.” Yuigahama mengatakan itu sambil melihat ke arah
Yukinoshita dan diriku dengan mengedip-ngedipkan matanya.
...Gadis ini – Apa di pikirannya hanya ada
hal-hal menyenangkan saja?
“Ucapan
kami ini sebenarnya tidaklah menyenangkan...Di lain pihak, kesalahpahamanmu itu
malah terlihat tidak menyenangkan.” Yukinoshita menatapnya dengan dingin.
Seperti
sedang mencari kata-kata yang tepat, dia terlihat malu-malu dan
melambai-lambaikan tangannya untuk menyangkal hal tersebut.
“Uh,
bukan, bagaimana ya? Aku hanya berpikir kalau kalian itu terlihat bersikap
seperti biasanya! Seperti maksudku, Hikki ini jelas sangat berbeda ketika dia
di kelas. Dia ternyata suka berbicara dan hal-hal lainnya.”
“Aku
bukannya suka berbicara...Mengatakan itu rasanya agak...”
Apa aku memang terlihat seperti orang yang
kurang memiliki skill untuk berkomunikasi?
“Oh benar juga. Yuigahama-san juga berasal dari
kelas F.”
“Apa? Serius
kamu?” tanyaku.
“Jangan
bilang kalau kamu baru tahu sekarang?” Yukinoshita bertanya balik.
Yuigahama tampaknya membenarkan kata-kata Yukinoshita.
Sialan.
Aku tahu rasanya sakit hati ketika orang yang
kau ajak bicara ternyata baru tahu kalau kau ini sekelas dengannya selama ini.
Karena itulah, sebelum gadis ini merasakan sakit hati yang sama, aku akan
mencoba menutupi kesalahanku.
“Te-Tentu
aku tahulah soal itu.”
“...Lalu
kenapa kau memalingkan pandangan matamu?” tanya Yukinoshita.
Yuigahama melihatku dengan tatapan yang menyedihkan.
“Well,
bukankah itu sudah menjawab mengapa Hikki tidak punya satupun teman di kelas?
Maksudku, kau ini terlihat aneh dan menakutkan.”
Oh
benar, aku ingat tatapan menyedihkan yang sejenis dengan gadis ini. Tentunya,
ada grup gadis di kelasku yang juga
melihatku seperti sampah. Dia pasti member grup yang sering berkumpul dengan
pria yang berasal dari Klub Sepakbola.
Apa-apaan ini?! Bukankah berarti dia adalah salah satu musuhku? Aku
ternyata hanya membuang-buang waktu dengan bersikap baik kepadanya.
“...Dasar
lonte!” aku tiba-tiba mengatakan itu.
“Apa?
Siapa yang kau sebut lonte?!” Yuigahama meresponnya dengan cepat. “Aku
ini masih peraw - ... w-woah! Tidak jadi!”.
Wajahnya memerah dan melambai-lambaikan tangannya seperti berusaha
menarik kembali kata-katanya. Dasar gadis
bodoh.
Yukinoshita mengatakan sesuatu seperti berusaha menutupi rasa panik
gadis tersebut.
“W-Woah
tunggu dulu! Apa yang hendak kau katakan?! Kenyataannya, memang memalukan masih
seperti itu ketika sudah kelas 2 SMA! Yukinoshita-san, dimana rasa feminisme
milikmu itu?!”
“...Kurasa
itu hal yang tidak berguna untuk dilebih-lebihkan.”
Woah,
aku tidak tahu ada apa tapi Yukinoshita baru saja meningkatkan kadar kedinginan
dirinya menjadi seratus derajat lebih dingin dari sebelumnya.
“Meski
begitu, kata ‘feminisme’ itu hanya terdengar sebagai ‘lonte’ bagiku.”
tambahku.
“Kau
mengatakan itu lagi! Menyebut seseorang ‘lonte’ itu sudah
keterlaluan! Hikki, kau menjijikan sekali!” Yuigahama menggerutu dan melihatku
dengan tatapan mata yang menyedihkan.
“Aku
menyebutmu lonte, tidak ada hubungannya diriku yang menjijikkan. Dan
jangan panggil aku Hikki.”
Bukankah itu sama saja memanggilku Hikikomori?...Oh, dia pasti sengaja mengejekku dengan mengatakan itu. Itu pasti semacam nama ejekan yang para siswa 2F miliki untuk menyebut diriku.
...Bukankah itu sendiri terdengar kejam? Aku
bahkan mulai terlihat hendak menangis ketika mendengar itu.
Menggosipkan orang bukanlah hal yang bagus.
Oleh
karena itulah, aku mengatakan sesuatu di depan orangnya langsung dengan keras
dan jelas. Karena jika mereka tidak mendengarnya langsung dariku, aku tidak
bisa memberikan damage kepada mereka!
“Dasar lonte!”
“K-Kau
ini! Sangat mengganggu! Serius ini, menjijikkan tahu! Kau mending mati
saja sana?!”
Mendengarkan kata-kata itu, bahkan diriku yang sudah bersikap dengan
lembut kepadanya merasa terganggu seperti sebuah pisau cukur yang kau pakai,
dan kami semua terdiam.
Banyak
sekali kata-kata di dunia ini yang tidak seharusnya diucapkan dalam pembicaraan
tadi. Secara umum, ini menyangkut kata-kata yang berhubungan dengan hidup
manusia. Jika kau tidak mau bertanggung jawab atas kata-kata yang menyuruh
orang untuk mati, maka kau tidak berhak mengatakan itu. Dengan maksud untuk
menegurnya, tidak lama kemudian aku mengatakan sesuatu dengan memberikan
sedikit tekanan emosi di dalamnya.
“Kau
harusnya tidak mengatakan sesuatu seperti ‘mati saja’ atau ‘aku akan membunuhmu’
dengan begitu mudahnya, atau juga mengatakan ‘aku akan membuatmu memakan tanah’.”
“...Uh...,
Ma-Maaf. Aku tidak bermaksud begitu...Tunggu dulu?! Kau baru saja mengatakan
itu! Kau jelas-jelas bilang ‘aku akan membunuhmu’!”
Dia
mungkin tidak sadar, tapi Yuigahama ini benar-benar bodoh. Tapi yang megejutkan
adalah dia ini tampak seperti gadis sejenis yang dengan mudahnya meminta maaf.
Dia
tampaknya sedikit berbeda dari yang kuduga jika melihat tampilannya. Awalnya
aku yakin kalau dia seperti para gadis di grupnya, dan tidak lupa para pria
yang ada di Klub Sepakbola yang sering nongkrong
dengannya. Kupikir kepala gadis ini berisi hal-hal semacam sex, narkoba, dan
berbuat hal-hal nakal. Seperti yang ada di novel karya Murakami Ryuu.
Yuigahama
mengembuskan napas yang kecil seperti menyadari menjadi hiperaktif pada saat
ini membuatnya capek.
“...Hei,
umm, kudengar ini dari Hiratsuka-sensei, katanya klub ini bisa memenuhi request
para siswa?” Yuigahama memecah kesunyian.
“Serius
Sensei mengatakan begitu?” kataku.
Padahal
aku yakin kalau aktivitas klub ini adalah membaca buku sampai jam tutup
sekolah.
“Sebenarnya,
kegiatan klub ini agak berbeda dari yang disampaikan Sensei. Sederhananya,
kegiatan klub ini adalah membantu pekerjaan seseorang. Apakah requestmu itu
terpenuhi atau tidak, itu semua tergantung kepada dirimu sendiri.”
Penyangkalan
dari Yukinoshita itu terdengar sangat dingin sekali.
“Memangnya
itu berbeda dari yang dikatakan Sensei?” Yuigahama menanyakan itu dengan
ekspresi penuh tanda tanya.
Persis
seperti yang ada di pikiranku saat ini.
“Apakah
kau akan memberikan seorang pria yang lapar itu seekor ikan, atau kau akan
mengajari pria itu bagaimana caranya memancing ikan? Disitulah perbedaannya.
Pada dasarnya, kata ‘relawan’ di klub ini bukan merujuk ke hasilnya, tapi cara
kita menyelesaikan requestnya. Kurasa, kata-kata ‘untuk memotivasi keinginan
klien’ itulah yang paling cocok.”
Pidatonya tadi terdengar seperti sebuah kata-kata yang ditulis di buku
Pendidikan Budi Pekerti. Dimana setiap kepala sekolah dari SMA antah-berantah
pasti akan memuji kata-kata tersebut – ‘Klub yang aktivitasnya membantu para
siswa untuk menunjukkan jati diri mereka yang sebenarnya’. Aku cukup yakin
kalau pemahamanku mengenai kegiatan klub ini cukup benar. Dan juga, Sensei
mengatakan sesuatu atau sejenis ‘bekerja di Klub Relawan’, jadi ini pasti
sebuah klub yang membantu pekerjaan Pengurus OSIS atau semacamnya.
“Itu
terdengar luar biasa!”
Yuigahama mengatakan itu dengan ekspresi yang mengatakan ‘kau
benar-benar mencerahkanku sehingga aku mengerti!’. Aku malah khawatir kalau
gadis ini suatu hari nanti mungkin akan terkena semacam kegiatan cuci otak oleh
semacam sekte pemuja setan di masa depan.
Penjelasan Yukinoshita memang tidak memiliki dasar logika dan ilmu
pengetahuan, tapi gadis dengan dada yang besar itu malah...Atau begitulah cara
opini-opini di masyarakat diterima, tapi aku percaya kalau dia bisa menjadi
contoh yang bagus untuk kasus itu.
Dengan
kata lain, dengan dada yang rata seperti tembok, inteligensi yang tajam dan
kebijaksanaan yang tinggi menggambarkan Yukinoshita.
“Meski
aku tidak bisa seratus persen menjamin aku bisa memenuhi keinginanmu, aku akan
membantumu sebisaku.”
Mendengar
kata-kata itu, Yuigahama berbicara seperti teringat tentang tujuan utamanya
datang kesini.
“Hei!
Umm, aku sedang berpikir untuk membuat semacam kue...” Yuigahama mengatakan itu
dan menatap ke arahku.
Asal
tahu saja, aku ini bukan kue. Aku tahu rasanya ketika di kelas, orang-orang
memperlakukanku seperti aku tidak ada disana meskipun menggunakan kata-kata yang
terdengar sama.
“Hikigaya-kun.”
Yukinoshita mengatakan itu dan menunjuk ke arah pintu keluar dengan
gerakan dagunya – sebuah gestur yang mengatakan kepadaku untuk pergi dari sini.
Dia harusnya bisa mengatakan itu dengan tutur kata yang manis tanpa menaruh
ekspresi ‘kau ini mengganggu pemandangan saja, bisakah kau pergi? Aku sangat
menghargai jika kau tidak kembali lagi kesini’.
Jika
gadis ini membutuhkan ruang untuk semacam pembicaraan antar gadis, kurasa tidak
ada yang bisa kulakukan. Memang ada beberapa hal di dunia ini yang hanya bisa
dibicarakan diantara para gadis saja. Misalnya ‘Pelajaran Olahraga’, ‘Pria
dilarang masuk’, ‘Ruang kelas khusus wanita saja’. Ya semacam itulah.
...Tapi ruang kelas khusus wanita, kira-kira
mereka di dalam sedang belajar apa?...Itu terus terpikirkan olehku.
“...Ah
sepertinya aku ingin membeli minuman Sportop.”
Harus
kuakui kali ini sikapku ini terlihat sangat peduli, bisa membaca situasinya dan
bertindak dengan benar. Kalau aku ini seorang gadis, aku pasti akan sudah jatuh
cinta kepada diriku yang seperti ini.
Ketika
aku menaruh kedua tanganku di pintu dan hendak pergi, Yukinoshita memanggilku. Mungkinkah dia jatuh cinta kepadaku?
“Aku
titip minuman Yasai Seikatsu 100
Strawberry Mix.”
Kalau
memikirkan gayanya yang meminta orang untuk melakukan sesuatu untuknya dengan
ekspresi yang santai...Yukinoshita-san,
kau benar-benar luar biasa.
x x x
Tidak sampai 10 menit aku menuruni lantai 3 hingga ke lantai dasar gedung khusus dan kembali lagi. Jika aku berjalan dengan santai, mungkin pembicaraan mereka berdua sudah selesai ketika aku sudah kembali.
Well, aku tidak peduli gadis itu seperti apa, tapi Yuigahama adalah klien pertama kami. Dengan kata lain, kemunculannya itu menandai permulaan pertempuran antara diriku dan Yukinoshita.
Well, bukannya aku sudah berpikir akan kalah jika aku dari saat ini memikirkan bagaimana untuk meminimalisir damagenya sebisa mungkin, kurasa itu lebih baik.
Di depan kantin sekolah, ada sebuah mesin penjual minuman. Mesin itu menjual berbagai minuman soda yang rasanya mirip dengan minuman yang biasanya kau temui di minimarket. Tampaknya minuman-minuman ini rasanya tidak jauh berbeda dengan minuman aslinya.
Aku sendiri tertarik dengan minuman soda yang bernama Sportop, dimana ini tidak seperti diriku yang biasanya. Minuman itu punya rasa seperti permen murahan dan mampu bersaing dengan minuman populer sejenis yang memasang tulisan ‘zero calories’ dan ‘tanpa gula’. Ternyata rasanya memang enak.
Aku memasukkan koin 200Yen ke mesin itu, menggerutu seperti melihat sebuah benteng angkasa yang sedang runtuh ke tempat ini, lalu aku menekan ‘Yasai Seikatsu’ dan ‘Sportop’. Setelah pembelian selesai, aku menaruh lagi 100Yen dan menekan ‘Otoko no Cafe au Lait’.
Akan sangat aneh jika hanya ada kami berdua yang minum sedang ada satu orang lagi yang tidak minum. Jadi aku memutuskan untuk membeli sesuatu untuk Yuigahama juga.
Minuman-minuman ini semua totalnya 300Yen dan ini berarti aku sudah kehilangan separuh dari uangku hari ini. Aku bangkrut...
x x x
“Kau lama sekali,” kata Yukinoshita, sambil menerima minuman ‘Yasai Seikatsu’ dari tanganku.
Dia menaruh sedotannya di minumannya dan mulai meminumnya. Yang tersisa sekarang adalah Sportop dan Cafe au Lait.
Tampaknya Yuigahama menyadari siapa yang akan meminum Cafe au Lait ini.
“...Oh benar,” katanya, sambil mengambil dompet kecil dan mencari-cari koin 100Yen.
“Ah, jangan khawatir soal itu.”
Maksudku, Yukinoshita saja tidak bayar, dan yang terpenting, aku membelinya karena keinginanku sendiri. Meski sangat logis jika menerima uang dari Yukinoshita, tapi aku tidak berhak menerima uang dari Yuigahama. Jadi daripada aku mengambil koin 100Yen dari tangannya, aku langsung saja menaruh Cafe au Lait itu di tangannya.
“Ta-Tapi aku belum membayarmu!”
Yuigahama ternyata memaksaku untuk menerima uang itu. Akan sangat mengganggu jika aku berdebat soal ini, jadi aku memutuskan untuk berjalan menjauh darinya dan menarik kursiku untuk duduk dekat dengan Yukinoshita.
Yuigahama tampak kurang senang ketika menaruh kembali koin itu ke dompetnya.
“...Terima kasih.”
Dia mengatakan itu dengan suara yang pelan, tertawa kecil sambil memegang Cafe au Lait dengan malu-malu.
Ini pasti satu-satunya momen dimana orang berterimakasih kepadaku. Dia mungkin sudah membayarnya lebih mahal dengan senyum yang harganya melebihi 100Yen.
“Apa pembicaraan kalian sudah selesai?” aku mengatakannya dengan nada puas dan berharap Yukinoshita juga menunjukkan rasa terimakasihnya.
“Ya. Karena tidak adanya dirimu disini, pembicaraan kami berlangsung dengan lancar dan baik. Terima kasih.”
Itu adalah ucapan terima kasih yang paling menyedihkan dalam hidupku.
“...Well, baguslah. Jadi, apa yang akan kita lakukan?”
“Kita akan menuju ruang kelas memasak. Kau juga ikut dengan kami...”
“Ruang kelas memasak?”
Itu adalah sebuah ruangan kelas dimana kau menerima pelatihan memasak yang harus dilakukan dalam kegiatan grup.
Mereka punya set pisau dapur dan kompor gas yang lengkap, dimana itu harusnya menjadi hal-hal yang sangat berbahaya bagi kita!
“Dan tepatnya apa yang akan kita lakukan disana?”
Bersamaan dengan kelas beladiri di gym dan darmawisata, kelas memasak merupakan salah satu dari 3 kegiatan sekolah yang menyebabkan trauma. Mungkin tidak ada satupun orang yang menikmati hal tersebut. Maksudku, bayangkan saja grup-grup itu yang sedang mengobrol dengan ceria dan akrab...Lalu bayangkan tiba-tiba mereka semua terdiam ketika aku bergabung dengan grupnya...Yeah, kurasa itu tidak bisa dibayangkan lagi.
“Kue...Aku ingin membuat beberapa kue.”
“Huh? Kue?”
Itu adalah satu-satunya respon yang bisa kuberikan kepadanya, aku tidak tahu apa yang sedang dia bicarakan.
“Sepertinya Yuigahama-san ini ingin membuat kue untuk seseorang. Tapi, dia sendiri tidak cukup yakin dengan kemampuan memasaknya dan meminta bantuan. Itulah requestnya,” Yukinoshita menjelaskan itu untuk menghilangkan keraguanku.
“Kenapa kita yang harus membantunya?...Bukankah lebih baik jika dia meminta bantuan teman-temannya?”
“Umm...W-Well, hanya saja...Aku tidak ingin mereka tahu dan jika mereka tahu tentang itu, mereka pasti akan mengejekku...Sesuatu yang serius seperti ini tidak akan mereka anggap seperti hal yang biasa...” kedua mata Yuigahama menatap ke tempat lain ketika mengatakan itu.
Akupun mendesah kecil.
Jujur saja, orang yang suka mencari masalah bukanlah orang yang mudah untuk ditangani. Daripada memikirkan siapa menyukai siapa, mengingat satu kata bahasa Inggris terdengar lebih berguna bagiku. Mempertimbangkan hal itu, membantu masalah asmara gadis ini kurasa tidak perlu ditanyakan lagi. Dan juga, aku tidak tertarik dengan cerita asmara semacam itu, apalagi memikirkannya.
Kalau dipikir-pikir lagi...Berarti tadi mereka berdua membicarakan masalah asmara...Pasti kue itu untuk masalah asmaranya...
Untung saja.
Jujur ya, jika ada orang yang punya masalah asmara, yang perlu kau katakan adalah, ‘Jangan menyerah! Pasti kau akan baik-baik saja!’. Dan jika ternyata tidak berjalan sesuai perkiraan, maka yang perlu kau katakan adalah, ‘cowok itu benar-benar deh, dia itu, memang brengsek!’.
“Hah,” aku mengembuskan napasku sambil melihat ke Yuigahama.
“Ah...” Yuigahama melihat ke bawah dan kehilangan kata-kata. Dia memegangi ujung roknya, dan bahunya terlihat bergetar.
“Ah...Ahaha. I-Ini aneh sekali, benar tidak? Seseorang sepertiku mencoba membuat kue sendiri...Seperti aku sedang mencoba memberikan kesan kalau aku gadis yang girly...Maaf ya, Yukinoshita-san, kurasa tidak apa-apa, tidak perlu mengkhawatirkan itu.”
“Well, terserah saja jika itu memang yang kau inginkan, aku sebenarnya tidak keberatan... – Oh begitu ya. Jika kau khawatir ke pria ini, kau tidak perlu. Dia ini orang yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah, jadi aku tinggal memaksanya untuk membantu.”
Entah mengapa, sepertinya aku tidak merasa sedang dilindungi oleh hukum di negara Jepang ini. Maksudku, ada apa dengan kata-kata manis yang mengeksploitasi diriku ini?
“Bukan, kurasa tidak apa-apa! Maksudku membuat kue memang tidak cocok denganku dan terlihat aneh...Aku pernah meminta tolong Yumiko dan Hina, tapi mereka mengatakan itu adalah sesuatu yang sudah ketinggalan jaman.”
Yuigahama melirik ke arahku.
“...Ya. Aku juga tidak menduga kalau gadis yang terlihat flamboyan sepertimu akan membuat kue,” Yukinoshita mengatakan itu seperti mendorong Yuigahama yang sudah hancur menuju jurang depresi.
“Be-Benar sekali! Aneh bukan?!”
Yuigahama tertawa, ekspresinya yang dibuat-buat itu seperti menunggu reaksi dari kami. Matanya yang merendah itu menatap ke arahku, seperti sedang menantangku. Dengan ekspresi semacam itu, sepertinya dia sedang menunggu jawabanku.
“...Well, yang ingin kukatakan itu bukan begitu...Entah itu terlihat aneh, atau entah itu tidak cocok, atau itu bukanlah seperti dirimu yang biasa. Hanya saja, aku sendiri tidak peduli dengan hal-hal itu.”
“Itu bahkan lebih buruk lagi!” Yuigahama memukul mejanya dengan keras. “Hikki, aku benar-benar tidak bisa mempercayaimu! Aku benar-benar tersinggung. Aku mau melakukannya jika aku benar-benar niat soal itu!”
“Itu bukanlah sesuatu yang bisa kau katakan ke dirimu. Itu adalah sesuatu dimana hanya Ibumu yang bisa mengatakan itu, disertai air mata yang penuh emosi di kedua matanya. Lalu dia berkata ‘Kukira kau bisa melakukannya jika berniat...Tapi ternyata kau memang tidak bisa’”.
"Sepertinya Ibumu sendiri sudah menyerah kepadamu!”
“Kurasa itu kesimpulan yang bagus.” Yukinoshita menganggukkan kepalanya. Sementara, Yuigahama terlihat seperti hendak menangis saja.
Sial, jangan ganggu aku. Meski, Ibu sendiri sudah menyerah kepada putranya merupakan hal yang sangat menyedihkan.
Aku merasa tidak enak karena menghancurkan antuasiasme Yuigahama yang sudah berniat untuk membuat kue. Tidak lupa juga kalau ini adalah pertempuran antara Yukinoshita dan diriku.
“Well, meski aku hanya bisa memasak kare, aku akan tetap membantumu.” Aku mencoba menawarkan bantuanku.
“...Te-Terima kasih.” Yuigahama terlihat lega.
“Kami berdua tidak berharap apapun dari skill memasakmu. Kami hanya ingin memintamu sebagai pencicip kue tersebut dan memberikan pendapatmu.”
Well, seperti yang Yukinoshita katakan dan membutuhkan komentar dari laki-laki, maka jelas ada sesuatu dimana aku bisa berperan. Memang ada beberapa pria yang tidak suka makanan manis, jadi aku akan mencoba memberikan pendapatku sebagai pendapat dari ‘lidah pria’. Tidak lupa juga aku ini orang yang jujur ketika mengatakan sesuatu itu enak atau tidak enak.
..Apa ini cukup berguna?
x x x
Ruang memasak ini diselimuti aroma dari vanilla.
Yukinoshita membuka kulkas dengan percaya diri dan mengambil beberapa susu dan telur. Dia lalu mengambil timbangan, mangkok, dan benda-benda lainnya, lalu dia menyiapkan telur-telurnya. Dia seperti menggunakan beberapa peralatan memasak yang aku sendiri tidak familiar.
Tampaknya gadis super sempurna ini, sepertinya, juga sangat mahir dalam memasak.
Dia memakai celemek setelah selesai dengan persiapannya, seperti hendak mengatakan kalau kegiatan membuat kue akan segera dimulai. Yuigahama juga memakai celemek, tapi dia memakainya seperti seorang amatir; ikatannya terlihat berantakan.
“Ikatan celemekmu. Apa kau benar-benar tidak tahu cara memakai celemek?”
“Maaf. Terima kasih...Tunggu, apa?! Aku setidaknya bisa memakai celemek, tahu tidak!”
“Kalau begitu, tolong pakai dengan benar. Kalau kau tidak melakukan hal dengan benar, kau akan berakhir sepertinya – seseorang yang berada di jalan yang gelap.”
“Jangan memakaiku sebagai contoh negatif – memangnya aku ini apa, Namahage?”
“Well, ini adalah pertamakalinya kau benar-benar berguna, jadi berbahagialah...Oh, tapi jangan khawatir: meski kau membandingkan dengan Namahage yang senang menguliti kulit kepala, aku tidak berminat dengan kepalamu.”
“Aku bahkan tidak mengkhawatirkan itu...Berhentilah. Jangan melihat ke arah rambut kepalaku dengan senyum yang seperti itu.”
Ketika berusaha menghindari senyumannya – sebuah ekspresi dimana dia jarang sekali menunjukkannya – aku memegangi rambutku.
Aku mendengar suara tawa dari Yuigahama. Ternyata, dia sedang berusaha mengikat celemeknya sambil melihat diriku dan Yukinoshita dari kejauhan.
“Kau belum mengikatnya? Atau karena kau tidak tahu caranya? ...Untunglah, cepat kesini. Aku akan mengikatkannya untukmu.” Yukinoshita menatap ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangannya untuk memintanya mendekat.
“...Kupikir tidak apa-apa,” Yuigahama menggumamkan itu seperti agak ragu, melihat ke arahku dan Yukinoshita. Dia seperti anak kecil yang sedang tersesat.
“Cepatlah.”
Nada suara yang dingin dari Yukinoshita menghancurkan keraguan Yuigahama. Aku tidak tahu apa dia marah atau tidak, tapi aku sendiri sedikit takut dibuatnya.
“Ma-Ma-Maaf!” Yuigahama mengatakan itu dengan gugup, dan berjalan menuju Yukinoshita.
Memangnya gadis ini apa sih, anak anjing?
Yukinoshita mengambil posisi di belakangnya dan mengikatkan ikatan celemeknya.
“Yukinoshita-san...Kau ini seperti kakakku saja, huh?”
“Kurasa jika aku punya adik, dia tidak akan seburuk dirimu.”
Yukinoshita mendesah kecil dan terlihat kurang senang, tapi aku sendiri terkejut, aku setuju dengan kata-kata Yuigahama.
Jika kau dekatkan Yukinoshita yang terlihat dewasa itu dengan Yuigahama yang berwajah kekanak-kanakan, mereka seperti kakak-adik. Entah mengapa, aku merasa banyak sekali sesuatu yang mirip diantara mereka berdua.
Tambahan lagi, karena hanya om-om yang bilang tidak memakai apapun kecuali celemek terlihat bagus, kupikir memakai seragam sekolah dibalik celemek memang yang terbaik.
Aku merasakan kehangatan dan tiba-tiba memasang senyum yang menjijikkan.
“H-Hei, Hikki...”
“A-Apaan?” Suaraku seperti hilang entah kemana.
Sial...Aku sepertinya baru saja memasang ekspresi yang menjijikkan. Karena itu, rasa gugup ini seperti meningkatkan level menjijikkan dari ekspresiku ini.
“Ba-Bagaimana pendapatmu tentang gadis yang pandai memasak?”
“Well, aku tidak membenci mereka. Tidak juga menyebut mereka terlihat menarik.”
“Be-Begitu ya...”
Setelah mendengarkan itu, Yuigahama tersenyum lega. “Baiklah! Ayo lakukan ini!” Dia menggulung lengannya, memecahkan telurnya dan mulai mencampurnya. Dia menambahkan tepung terigu, gula, butter, dan aroma vanilla.
Bahkan aku, seseorang yang tidak paham bagaimana seni memasak, bisa melihat jelas kalau kemampuan memasak Yuigahama jauh dari manusia normal. Aku cukup yakin kalau dia berpikir membuat kue itu adalah sesuatu yang luar biasa, tapi sebenarnya itu adalah hal yang sederhana, sangat mudah melihat level kemampuannya seperti apa. Dia tidak bisa menyembunyikan itu, dan kemampuannya terlihat dengan jelas.
Pertama, dia memecahkan telurnya dan ternyata di mangkok masih ada pecahan kulit telur yang tersisa. Kedua, dia menuang vanilanya tidak merata. Ketiga, butternya masih berbentuk padat.
Seperti dugaanku, dia salah mengira garam sebagai tepung dan mencampurnya dengan vanilla dan susu.
Aku langsung melihat ke arah Yukinoshita dan ternyata wajahnya sudah terlihat pucat dari melihat adegan tersebut. Bahkan aku, yang memiliki kemampuan memasak yang rendah, merasa ketakutan. Bagi Yukinoshita, yang sangat ahli dalam memasak, ini jelas-jelas sesuatu yang sangat terlarang.
“Sekarang kita butuh...” Yuigahama beranjak dari tempatnya, lalu kembali dengan membawa kopi instan.
“Kopi? Well, kurasa jika ada yang bisa diminum, maka makanannya akan bisa ditelan dengan baik...Tapi apa itu ide yang bagus?”
“Huh? Bukan begitu – ini adalah resep rahasia. Pria tidak suka yang manis-manis, benar tidak?”
Yuigahama menatapku sambil terus bekerja. Meski pandangannya tidak terfokus ke arah kedua tangannya, sebuah adonan hitam terbentuk di mangkok tersebut.
“Kurasa aku yakin kalau itu tidak lagi menjadi resep rahasia...”
“Apa? Ack. Well, aku akan menambahkan tepungnya lagi.”
Dengan begitu, dia membuat sebuah adonan berwarna putih di sebelah yang hitam. Lalu dia dia mencampurnya dengan telur, dan membentuk semacam adonan dari neraka.
Dengan begitu, dia membuat sebuah adonan berwarna putih di sebelah yang hitam. Lalu dia dia mencampurnya dengan telur, dan membentuk semacam adonan dari neraka.
Aku mulai menyimpulkan : Skill memasak Yuigahama sangat buruk. Bukannya tentang caranya salah atau benar – dia memang tidak punya skill itu sejak awal. Dia ini sudah terlampau konyol; dia membuat sesuatu yang buruk, dia tidak punya satupun kecocokan untuk menjadi orang yang bisa melakukannya dengan benar. Dia adalah orang yang paling tidak kuinginkan untuk menjadi teman satu grup di eksperimen laboratorium, seseorang yang sangat tidak cocok dan bisa membuat dirinya sendiri terbunuh.
Setelah kuenya matang, aku melihatnya seperti kue yang hangus terbakar. Aku bahkan bisa tahu dari aromanya.
“Me-Mengapa begini?” Yuigahama menatap kue-kue itu dengan ekspresi ketakutan.
“Aku tidak paham...Kenapa bisa membuat kesalahan demi kesalahan seperti itu...” Yukinoshita menggumam.
Mungkin dia mengatakan itu dengan pelan sehingga Yuigahama tidak bisa mendengarnya. Atau juga, dia mengatakan itu karena dia merasa tidak bisa menahan dirinya melihat hal itu.
Yuigahama mengambil kue-kue itu dan menaruhnya di atas piring.
“Mungkin dari penampilannya terlihat seperti ini, tapi...Kita tidak akan tahu hingga kita mencicipinya sendiri!”
“Kau benar – oleh karena itu kita sudah menyiapkan orang untuk mencicipinya.”
Akupun terkejut mendengarnya.
“Yukinoshita. Ini adalah kesalahan terbesarmu...Ini harusnya kau sebut sebagai mencicipi tingkatan racun dalam makanan.”
“Bagaimana ini bisa disebut beracun?!...Beracun...Yeah, mungkinkah ini memang beracun?”
Mengesampingkan kata-katanya yang penuh percaya diri, dia mulai meragukan kue buatannya; dia memiringkan kepalanya ke samping, seperti hendak berkata, ‘Bagaimana pendapatmu?’
Aku jelas tidak punya satupun hal yang bisa kukatakan kepadanya. Aku lalu menghindari tatapan Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan mendekati Yukinoshita.
“Hei, apa aku benar-benar harus mencicipi ini? Kuenya itu berbentuk seperti batubara yang orang-orang jual di Joyful Honda.”
“Kau harusnya baik-baik saja – kulihat dia tidak menggunakan bahan-bahan yang tidak bisa dimakan. Well, sebenarnya bisa dikatakan mayoritas begitu. Dan – “ Yukinoshita berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Aku juga akan memakan itu, jadi kurasa baik-baik saja.”
“Serius kamu? Apa kau ini, mungkin orang yang baik? Atau kau ini menyukaiku?”
“...Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih baik kalau kau sendiri saja yang menghabiskannya dan tewas oleh itu.”
“Maaf...Aku hanya terkejut dan tiba-tiba mengatakan sesuatu yang aneh.”
Seperti yang kau harapkan dari okashi (aneh/manis)...Meski, ini tidak perlu ditanyakan lagi jika melihat kue yang ada di depan kita.
“Akulah yang memintamu untuk mencicipi makanan, meski sebenarnya tidak untuk mencicipi sesuatu seperti ini. Lagipula, akulah yang menerima requestnya, setidaknya aku akan mengambil tanggung jawab itu.” Yukinoshita mengambil piring kue tersebut. “Jika kita tidak tahu apa yang salah dari ini, kita tidak akan bisa mengatasi situasi ini dengan baik. Meski, tidak seharusnya kita menempuh resiko seperti ini hanya demi mengetahui sesuatu...”
Yukinoshita mengambil satu kue arang tersebut, yang mungkin lebih mirip seperti sebuah bijih besi, dan menatapku. Kedua matanya seperti hendak menangis saja.
“Kita tidak akan mati, benar kan?”
“Itulah yang ingin kuketahui...” aku mengatakan itu dan melihat ke arah Yuigahama; dia melihat kami seperti ingin bergabung dengan kami.
x x x
Kami akhirnya memakan kue Yuigahama. Kalau ini adalah adegan di manga, maka setelah kita memakannya, kita akan jatuh sakit dan muntah-muntah. Kenyataannya, rasanya sangat menjijikkan, saking jijiknya hingga aku memilih pingsan saja jika memang memungkinkan. Akupun tidak keberatakan jatuh sakit jika itu berarti aku bisa tidak mencicipi kue ini lagi.
Akupun sempat terpikir begini: Apa dia menaruh semacam usus ikan atau sejenisnya di kue ini? Meski kurasa kue ini tidak seburuk itu, karena faktanya tidak membunuh kami dengan seketika. Tapi, jika terus-terusan makan seperti ini, bukan mustahil kue ini suatu hari nanti bisa didiagnosis sebagai salah satu penyebab kanker.
“Urgh...Rasanya pahit dan menjijikkan...”
Yuigahama mengatakan itu ketika mengunyah kuenya sendiri, diiringi air mata yang muncul dari kedua matanya. Yukinoshita lalu memberinya secangkir teh.
“Kurasa lebih baik jika kau langsung menelannya saja dan menghindari untuk mengunyah itu sebisa mungkin. Dan hati-hati, jangan sampai lidahmu menyentuh kue itu. Kue itu, seperti, benda yang berpotensi untuk menjadi racun di masa depan.”
Jangan mengatakan hal-hal mengerikan dengan santainya, sialan.
Yukinoshita menuangkan air panas ke poci dan membuat teh hitam. Setelah kita mencicipi kue itu, kita meminum teh tersebut untuk menghilangkan rasa tidak enak kuenya. Akhirnya, semuanya kembali normal, dan akupun bisa bernapas lega.
Lalu Yukinoshita berbicara lagi. Apa dia mau mengganggu suasana damai ini?
“Sekarang mari kita berpikir bagaimana caranya untuk membuat situasi ini berkembang menjadi lebih baik?”
“Bagaimana kalau Yuigahama disuruh untuk tidak memasak lagi?”
“Apa aku sudah ditolak?!”
“Hikigaya-kun, itu adalah opsi terakhir kita.”
“Opsi terakhir? Jadi sebenarnya itu termasuk opsi?!”
Yuigahama meresponnya dengan nada yang terkejut. Dia lalu menurunkan bahunya, dan mengembuskan napas yang sangat panjang.
“Kurasa memasak itu memang tidak cocok untukku...Apa orang-orang menyebut memasak itu sebagai bakat? Kalau begitu, maka itu adalah bakat yang tidak kupunyai.”
Yukinoshita lalu mendesah. “...Begitu ya. Aku sebenarnya sudah memikirkan tentang sebuah solusi untuk itu.”
“Oke, coba katakan.” Akupun memintanya untuk melanjutkan.
“Sederhana saja, berusahalah lebih keras lagi,” Yukinoshita menjawabnya dengan tenang.
“Kau menyebut itu solusi?”
Setahuku, itu adalah solusi terburuk yang pernah kudengar. Kalau sudah begini, tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali berusaha dengan keras, karena dia sudah tidak punya pilihan lain lagi. Sederhananya, kita disini sudah kehabisan ide lagi.
Jujur saja, ini semua hanya akan menjadi usaha yang sia-sia.
Akan lebih mudah jika dia bilang, ‘Tidak ada harapan lagi, ayo kita berhenti saja’. Mencoba dengan keras, memberikan yang terbaik, itu adalah hal yang sia-sia. Jika Yukinoshita memberitahukan kebenarannya kalau dia itu dikutuk dalam memasak, maka dia bisa menaruh semua upaya kita hari ini dalam satu kalimat – itu adalah ide yang paling efisien.
“Berusaha keras adalah solusi yang sempurna – tentunya jika kita melakukan itu dengan benar,”
Yukinoshita mengatakan itu seperti sudah membaca pikiranku. Apa dia punya semacam kemampuan untuk membaca pikiran orang? “Yuigahama-san, kau bilang kalau kau itu tidak punya bakat, benar?”
“Huh? Oh, ya benar.”
“Tolong hapus pikiran-pikiran semacam itu. Mereka yang belum berusaha dengan keras tidak berhak iri dengan yang mempunyai bakat itu. Mereka itu tidak bisa sukses karena mereka tidak bisa membayangkan penderitaan apa saja yang sudah dilalui oleh mereka yang sukses dengan bekerja keras.”
Kata-kata Yukinoshita itu terdengar pahit. Tapi kata-katanya itu memang kebenaran yang tidak terbantahkan sehingga tidak ada ruang untuk menyangkalnya.
Yuigahama sendiri seperti kehilangan kata-katanya; dia pasti belum pernah merasakan ada seseorang yang mengatakan kebenaran ke dirinya secara langsung sebelumnya. Ekspresi panik terlihat di wajahnya hingga dia menggantinya dengan ekspresi senyum yang dipaksakan.
“Ta-Tapi, uh, bukankah orang-orang memang tidak melakukan hal-hal semacam itu belakangan ini?...Ini memang tidak cocok denganku.”
Setelah suara tawa kecil dari Yuigahama menghilang, hanya terdengar suara cangkir teh yang ditaruh. Saking sunyinya, suara tersebut terdengar jelas di telingaku, dan membuat pandangan kami tertuju ke arahnya. Disana duduk Yukinoshita, memancarkan aura yang ceria.
“...Tolong berhenti untuk mengatakan hal-hal semacam itu ke orang-orang di sekitarmu...Itu sangat tidak menyenangkan untuk didengar. Bukankah sangat memalukan jika yang kau lakukan hanyalah menceritakan kekuranganmu, kekonyolanmu, dan semua kebodohanmu itu ke orang lain?”
Kata-kata Yukinoshita sangat kuat. Dia jelas-jelas sangat jijik dengan hal semacam itu, bahkan akupun bisa merasakannya, sampai-sampai aku hendak mengatakan ‘W-Whoa...’.
Yuigahama hanya bisa terdiam. Dia menundukkan kepalanya, akupun tidak bisa membaca ekspresinya seperti apa, tapi aku bisa melihat kalau dia meremas-remas ujung roknya, seperti mengkhianati emosinya sendiri.
Dia ini memang seorang pembicara yang ulung dalam komunitas sosial – lagipula, dia berkumpul dengan siswa-siswa yang terlihat populer, dan hal itu memang membutuhkan skill dan wajah yang cantik. Dengan kata lain, dia ini pandai dalam hal menyesuaikan diri dengan orang lain...Tapi itu juga berarti dia ini tidak berani untuk menjadi dirinya sendiri, karena itu beresiko membuatnya menjadi seorang penyendiri.
Di lain pihak, Yukinoshita adalah gadis yang memilih untuk berjalan di jalannya sendiri. Dia jela-jelas memiliki determinasi tinggi dalam hal itu.
Ketika kedua gadis ini dibandingkan, ketika mereka sendirian, kau akan melihat kalau mereka akan menjadi gadis yang berbeda. Jika kau tanya siapa yang lebih kuat, Yukinoshita pastilah yang terkuat. Tidak perlu ada perdebatan lagi soal itu.
Kedua mata dari Yuigahama seperti hendak menangis saja.
“A-A...”
Kupikir dia hendak mengatakan, “Aku pulang saja’. Kata-kata itu juga ditunjang fakta kalau dia akan menangis. Bahunya bergetar, sehingga membuat kata-katanya menjadi bergetar juga.
“Aku kagum sekali...”
“Huh?!”
Yukinoshita dan diriku mengatakan itu secara bersamaan. Apa sih yang gadis ini baru saja katakan...? Kami berdua hanya bisa menatap satu sama lain.
“Kau benar-benar mengatakannya dengan langsung...Dan itu, well...Sangat keren...”
Yuigahama kembali menatap ke arah Yukinoshita. Sedang Yukinoshita sendiri hanya terdiam, lalu dia mengambil dua langkah ke belakang.
“A-Apa yang baru saja kau katakan...Apa kau tidak mendengarkan kata-kataku? Aku sendiri yakin kalau kata-kataku ini sangat kasar.”
“Enggak lah! Tidak sama sekali! Well, maksudku, kata-katamu memang kasar, dan jujur saja aku sempat terpukul mendengarnya.”
Ya, itu benar sekali...Jujur saja, aku sendiri tidak berpikir kalau Yukinoshita akan mengatakan hal-hal semacam itu kepada seorang gadis.
Kasar, kurasa kata itu sendiri masih kurang untuk menggambarkan hal itu, aku juga terkejut mendengarnya. Meski, aku sangat yakin kalau Yuigahama merasakan lebih dari sekedar terkejut.
“Tapi aku pikir kau ini jujur kepadaku. Maksudku, meski kau berbicara dengan Hikki, kalian berdua memang terlihat saling menyindir, tapi kalian berdua benar-benar berkomunikasi. Aku dari tadi hanya berusaha menyesuaikan saja dan mengatakan hal-hal yang kurasa cocok untuk dikatakan gadis sepertiku, jadi ini adalah hal yang pertama bagiku...”
Yuigahama tidak mundur.
“Maaf ya. Aku akan mencobanya lagi dengan benar.”
Setelah meminta maaf, dia menatap ke arah Yukinoshita.
“...”
Kali ini Yukinoshita yang kehilangan kata-kata. Mungkin ini pengalaman pertama Yukinoshita untuk melihat hal semacam ini. Memang hanya ada sedikit manusia yang memilih hal yang benar dan meminta maaf. Sisanya memilih untuk berteman dengan emosinya dan menjadi marah.
Yukinoshita memalingkan pandangannya ke samping dan mengibaskan rambutnya. Gerakan itu berarti dia sedang mencari sesuatu untuk dikatakan, tapi tidak bisa menemukannya. Dia jelas-jelas lemah ketika menghadapi situasi yang tidak terduga.
“...Apa kau bisa mengajarinya bagaimana membuat kue yang benar? Yuigahama, kau juga harus mengamati betul bagaimana cara dia membuatnya.”
Setelah aku memecahkan kesunyian ini, Yukinoshita mengembuskan napasnya dan mengangguk.
“Aku akan mencontohkannya, lalu kau buat persis seperti yang aku lakukan.”
Yukinoshita berdiri dan mulai mempersiapkan sesuatunya.
Dia menggulung lengan seragamnya, memecahkan telur dan memasukkannya ke mangkok. Dia menambahkan tepung terigu dengan takaran tertentu dan mencampurkannya, lalu dia menambahkan gula, butter, dan perasa makanan, seperti rasa vanilla.
Skillnya jelas-jelas jauh di atas Yuigahama. Dia membuat adonan kue dalam sekejap mata, lalu dia memotongnya dengan bentuk lingkaran, bintang, dan hati dengan cetakan adonan. Dia menaruh adonan yang sudah dicetak itu ke nampan. Lalu memasukkannya ke oven.
Dalam waktu singkat, aroma yang enak mulai mengisi ruangan ini. Sangat mudah menyimpulkan kalau adonannya dibuat dengan sempurna, dan hasilnya akan sangat bagus.
Seperti yang kau duga, kue yang sudah matang terlihat enak untuk dipandang. Kurasa ini layak untuk dipuji.
Setelah aku mengambil satu dan memakannya, akupun memasang senyum di wajahku.
“Enak sekali! Apa kau ini semacam patissier?”
Aku secara spontan mengatakan kesanku. Aku tidak bisa menghentikan tanganku untuk mengambil satu lagi dan menaruhnya di mulutku. Tentunya, ini sangat lezat sekali.
Aku mungkin tidak akan pernah mencicipi kue buatan seorang gadis lagi setelah ini, jadi aku memanfaatkan kesempatan ini untuk menaruh lagi satu di mulutku. Buatan Yuigahama bukanlah kue, jadi aku tidak menghitungnya.
“Kue ini enak sekali...Yukinoshita-san, kau luar biasa.”
“Terima kasih.”
Yukinoshita tersenyum tanpa menunjukkan adanya satupun sarkasme di dalamnya. “Tapi tahukah kamu, aku hanya mengikuti resepnya. Karena itulah, kau harusnya mampu membuat kue yang sama. Jika itu tidak berhasil, maka mungkin ada faktor lain yang membuatmu tidak bisa membuatnya.”
“Well, bolehkah kalau kue buatanmu itu saja yang kupakai?”
“Kurasa ini tidak akan ada gunanya. Jadi, berikan yang terbaik, Yuigahama-san.”
“Y-Ya...Apa kau pikir aku bisa melakukannya? Bisakah aku membuat kue sepertimu?”
“Tentu. Jika kau mengikuti resepnya, itu saja.”
Yukinoshita tidak lupa untuk memperingatkannya. Dengan begitu, usaha kedua dari Yuigahama dimulai.
Seperti mengulangi langkah-langkah Yukinoshita, Yuigahama menjalankan proses yang sama. Well, dia tinggal membuat sesuai resep, jadi...Barusan itu terdengar seperti sebuah permainan kata-kata yang bagus untuk memanipulasi pikiranku. Akupun yakin kalau kuenya nanti akan menjadi kue yang enak...Aku terus mencamkan kata-kata itu di pikiranku.
Tapi...
“Yuigahama-san, bukan begitu caranya. Ketika mencampur tepungnya, coba membuat gerakan melingkar...Melingkar, kataku, sebuah lingkaran. Apa kamu mengerti? Apa kau pernah diajari mengenai lingkaran di SD?”
“Ketika bahan-bahannya hendak dicampur, pastikan kau memegang mangkoknya dengan benar. Mangkoknya itu juga ikut berputar, jadi kau sebenarnya tidak benar-benar mencampur bahan-bahan tersebut. Jangan diaduk, tapi campurkan.”
“Bukan, bukan, kau melakukan itu dengan salah. Kau tidak perlu menambahkan rasa lagi. Kita mungkin bisa menambahkan sesuatu seperti leci kalengan di lain kesempatan. Jika kau menambah sesuatu yang mengandung banyak sekali air, adonannya akan hancur. Itu tidak akan bercampur sempurna.”
Yukinoshita – si Yukinoshita Yukino – kebingungan. Dia benar-benar mengalami stress.
Entah darimana adonan itu, akhirnya selesai dan masuk ke oven, dia akhirnya mengembuskan napasnya dengan berat. Tugasnya telah selesai, dan aku bisa melihat keringat muncul dari keningnya.
Ketika oven dibuka, sebuah aroma yang enak menyebar ke ruangan, mengingatkanku tentang aroma kue buatan Yukinoshita. Tapi...
“Entah mengapa kok kuenya terlihat berbeda...” Yuigahama mengatakan itu sambil menurunkan bahunya.
Ketika kucicipi, rasanya sangat jauh berbeda dari kue buatan Yukinoshita. Meski begitu, kurasa ini kurang-lebih bisa disebut ‘kue’.
Kalau dibandingkan dengan ‘kue batubara’ sebelumnya, jelas ini jauh lebih baik...Jujur saja, meski rasanya begini, aku masih tidak masalah untuk memakan yang ini.
“...Kira-kira bagaimana cara yang tepat untuk membuatmu mengerti?”
Yukinoshita memiringkan kepalanya ketika mengatakan itu.
Ketika aku menatapnya, aku sadar mengapa ini terjadi: Yukinoshita sangat buruk dalam menjelaskan sesuatunya.
Jujur saja, Yukinoshita adalah seorang jenius, dan karena itulah mustahil dia bisa memahami perasaan orang normal. Dia tidak bisa memahami apa yang membuat mereka menjadi gagal.
Kau bisa saja mengikuti resep ini seperti memakai rumus di matematika. Orang yang buruk dalam matematika tidak bisa mengerti mengapa rumus ini ada, dan mereka tidak paham bagaimana rumus ini ada untuk mencari jawabannya.
Yukinoshita tidak mengerti mengapa Yuigahama tidak bisa mengerti. Jika aku mengatakan itu kepadanya, itu akan terdengar kalau aku menganggapnya sebagai pihak yang salah. Sebenarnya bukan begitu. Yukinoshita sudah memberikan yang terbaik; masalahnya ada di Yuigahama.
“Kenapa kue ini tidak terasa enak?...Bahkan setelah kubuat berdasarkan instruksimu.”
Dia melihat kue-kue itu dengan penasaran.
Kalau kau percaya: orang pintar tidak bagus dalam mengajari orang, tidak peduli seberapa bodoh yang diajari, maka kau salah. Tidak peduli apa yang hendak kau katakan ke seorang idiot, mereka itu sebenarnya lebih suka menjadi bodoh, jadi mereka sampai kapanpun tidak akan pernah mengerti. Kau bisa saja menjelaskan ke mereka berkali-kali, tapi itu tidak akan pernah bisa mereka pahami.
“Hmm...Kue-kue ini sangat berbeda dengan buatanmu, Yukinoshita-san.”
Yuigahama mengatakan itu dengan sedih dan Yukinoshita menaruh telapak tangannya di wajahnya sendiri.
Sambil melihat ekspresi mereka, akupun memakan 1 kue itu dan berkata.
“Hei, aku punya satu pertanyaan: Kenapa kalian mencoba untuk membuat kue yang enak?”
“Apa?”
Yuigahama melihat ke arahku, ekspresinya itu seperti mengatakan ‘apa sih yang ada di pikiran kamu, dasar jomblo?!. Aku sedikit terganggu dengan ekspresinya itu.
“Apa kamu lonte yang tidak bisa paham apapun? Apa kamu bodoh?”
“Sudah kubilang jangan menyebutku lonte!”
“Apa kau tidak paham tentang hal pertama yang ada di pikiran pria?”
“Mustahil aku tahu! Aku belum pernah berpacaran dengan seseorang sebelumnya! Well, maksudku, banyak sekali temanku yang sudah punya pacar...Jadi aku hanya mengikuti cara mereka mendapatkan pacar, dan akhirnya aku ada di tempat ini...”
Suara Yuigahama terdengar semakin pelan ketika aku mendengarkannya, hingga akhirnya aku tidak bisa mendengarkannya sama sekali.
Tolong bicara yang jelas, oke? Jelas. Apa kau sedang mengajariku caranya merespon guru yang sedang menunjukku maju ke depan kelas?
“Separuh terakhir dari penjelasan Yuigahama bukanlah sebuah masalah disini. Jadi, apa yang hendak kau katakan Hikigaya-kun?”
Well, ada apa dengan istilah ‘separuh terakhir...’. Jaman sekarang saja sudah sangat jarang mendengar itu dari orang-orang yang melihat iklan di kereta. Sebenarnya kamu ini umur berapa sih?
Aku sengaja menambahkan efek dramatis dengan sedikit tertawa, seolah-olah aku memiliki solusi terbaik dalam hal ini.
“Hah...Sepertinya kalian berdua tidak paham bagaimana nikmatnya memakan kue buatan sendiri. Kalian datanglah lagi kesini 10 menit kemudian, dan kalian akan merasakan ‘rasa kue yang sebenarnya’.”
“Apa katamu...? Sebuah tawaran yang sangat menarik. Aku tidak sabar untuk mengetahuinya!”
Mungkin dia tersinggung karena aku menolak kuenya, tapi Yuigahama mengatakan itu sambil menarik Yukinoshita keluar dari ruangan ini menuju lorong sekolah.
Well, sekarang...Ini adalah giliranku untuk membuat pergerakan di pertempuran ini. Dengan kata lain, ini adalah aksi yang menentukan solusi akhir dari masalah ini.
x x x
Suasana ruangan memasak ini langsung diselimuti aura yang kurang menyenangkan.
“Apa ini kue ‘yang sebenarnya’? Kue ini bahkan bentuknya tidak jelas dan banyak sekali bagian yang gosong. Kue ini...” Yukinoshita menatap kue-kue itu dengan curiga.
Lalu Yuigahama tiba-tiba menggerakkan kepalanya, melihatnya dari samping.
“Hah, ngomongmu saja yang besar, tapi tidak ada yang spesial dari ini. Luar biasa! Kue ini bahkan tidak cocok untuk dimakan!”
Dia mengatakan itu dengan tawa yang mengejek...Atau mungkin, tawa penuh kemenangan. Sialan...
“Well, daripada kalian berkomentar saja, tolong dicicipi dahulu.”
Aku terus memasang senyum dan menahan mulutku untuk berkomentar lebih jauh. Dengan senyum ini, aku berpura-pura kalau semua persiapan ini sudah sempurna – dan aku tidak mengharapkan kritik, dan ini jelas-jelas merupakan kemenanganku.
“Well, ya sudah kalau kau merasa yakin...”
Yuigahama dengan ragu-ragu menaruh kue itu di mulutnya. Yukinoshita juga mengambil satu tanpa mengatakan apapun.
Setelah aku melihat mereka memakannya, suasana sunyi terjadi. Kurasa ini adalah suasana tenang sebelum datangnya badai.
“I-Ini!”
Kedua mata Yuigahama terbuka lebar seperti mencari kata yang tepat untuk mengatakan rasanya.
“Tidak ada yang spesial dari ini...Maksudku, bahkan ini sulit sekali untuk dikunyah! Tidak ada sedikitpun bagian dari kue ini yang bisa dikatakan enak, serius ini!”
Emosinya berubah 360 derajat dari terkejut menjadi marah. Mungkin suasana hatinya berubah secara drastis, tapi...Yuigahama terus menatapku.
Yukinoshita hanya diam saja menatapku. Sepertinya dia sudah menangkap apa maksudku.
Setelah mengetahui ekspresi mereka, aku merendahkan tatapan mataku.
“Begitu ya. Jadi ternyata tidak enak...Meski aku sudah memberikan yang terbaik.”
“ – Ah ...Maaf.”
Yuigahama tiba-tiba merendahkan tatapan matanya ke arah lantai setelah melihat ekspresiku yang sedih.
“Kurasa ini lebih baik kubuang saja.”
Akupun mengambil piring kue tersebut dan membalikkan badanku.
“Tu-Tunggu dulu!”
“...Ada apa?”
Yuigahama menarik lenganku dan memintaku berhenti. Dia tidak menjawabku; malahan, dia mengambil satu kue lagi di piring itu dan memakannya. Setelah itu, wajahnya terlihat pucat.
“Kue-kue itu tidak terlalu buruk, tidak perlu kau buang...Kue itu tidak seburuk yang kukatakan sebelumnya.”
“...Begitu ya. Kalau begitu, apa kau puas?”
Akupun tersenyum, dan Yuigahama mengangguk sebelum memalingkan pandangannya. Cahaya dari matahari sore menyinari jendela ruangan ini, membuat wajahnya terlihat memerah.
“Well, jujur saja, ini adalah kue yang kau buat sebelumnya...”
Aku memberitahukannya kebenaran tentang kue itu, tanpa memberi jeda sedikitpun. Aku tidak bilang kalau aku akan membuatnya, jadi aku tidak membohongi kalian.”
“...Huh?”
Yuigahama menaikkan suaranya. Kedua matanya terbuka lebar dan mulutnya dibiarkan terbuka...Dengan kata lain, dia ini memang bodoh.
“A-Apa?” Yuigahama mengedip-ngedipkan matanya. Yukinoshita dan diriku hanya bisa menatap satu sama lain; sepertinya Yuigahama tidak paham sama sekali.
“Hikigaya-kun, aku tidak yakin apa yang sedang kupahami ini apakah sama dengan yang sedang kau coba tunjukkan disini...Apakah makna sebenarnya tindakanmu ini?” Yukinoshita menatapku dengan ekspresi yang kurang senang.
“Ada yang bilang, selama ada cinta, maka itu tidak masalah!”
Akupun mengatakan itu dengan senyum dan menunjukkan jempol ibu jariku.
“Itu kan kata-kata dari acara TV yang sudah lama sekali...”
Yuigahama mengatakan itu dengan suara yang kecil. Well, itu adalah acara TV yang mengudara ketika aku masih SD...Yukinoshita sendiri hanya berdiri disana dan memiringkan kepalanya karena bingung. Tampaknya dia sendiri tidak mengerti.
“Yang kalian lakukan dari tadi ini hanyalah mencoba melompati rintangan yang terlalu banyak.”
Aku mengatakan itu dengan senyum. Wow, ada apa dengan aura yang tiba-tiba merasakan sebuah superioritas ini? Aku seperti satu-satunya orang yang punya jawaban benar disini...Aku tidak bisa menahannya.
“Ya ampun...Inti dari rintangan itu bukanlah agar kita berusaha untuk melompatinya, tapi tujuan kita itu adalah menyelesaikan perlombaan secepat mungkin. Tidak ada aturan yang menyebutkan kau harus melompatinya. Jadi kau harusn – “
Aku tiba-tiba mulai mengoceh.
“Aku tahu apa yang hendak kau katakan, jadi tidak perlu dilanjutkan.”
...harusnya tidak perlu memikirkan bagaimana memindahkan, melompati, atau bahkan meledakkan rintangannya. Itulah yang ingin kukatakan.
“Yang ingin kau katakan adalah semua usaha kami ini tidak selaras dengan maksud dan tujuannya, benar?”
...Aku tidak benar-benar paham apa maksudnya, tapi aku yakin yang hendak dia katakan adalah hal yang sama denganku, jadi aku mengangguk saja.
“Intinya adalah semua jerih payah yang kau lalui untuk membuat kue itu. Jika tidak terlihat adanya usaha, maka itu tidak ada gunanya...Orang itu tidak akan senang jika kue yang kau berikan itu seenak buatan toko kue. Mungkin kau bisa katakan kalau rasa kue buatanmu itu sedikit kurang enak dari buatan toko.”
“Sedikit tidak enak?” Ekspresi Yukinoshita menunjukkan hal dimana dia tidak paham.
“Selama kau membuat penerima kue itu berpikir, ‘Ah, begitu ya. Kue ini mungkin tidak terlihat bagus, tapi dia sudah berusaha keras!’ Lalu mereka secara otomatis akan berpikir, ‘Dia ini sudah berusaha dengan keras demi diriku...’ Meski itu sebenarnya terdengar menyedihkan.”
“Aku yakin kenyataannya tidak sesederhana itu...”
Yuigahama melihatku dengan curiga; tatapannya mengatakan, ‘Apa sih yang dikatakan jomblo ini?’.
Kurasa aku harus melakukan itu...Mungkin langkah berikutnya adalah yang paling persuasif.
“...Ini adalah cerita dari seorang teman, dari temanku, tapi...Ini terjadi ketika kelas 2 SMP, di awal semester, dimana mereka memutuskan siapa perwakilan anak laki-laki di kelas mereka. Seperti yang kau duga, rata-rata anak laki-laki di tingkatan mereka punya sindrom kelas delapan, jadi mereka semua antusias untuk terpilih. Lalu, diputuskan kalau mereka harus memilih salah satu diantara mereka. Tiba-tiba, teman dari temanku ini terpilih, dan Wali Kelasnya memutuskan untuk menunjuknya sebagai ketua kelas. Lalu, selanjutnya memilih perwakilan siswi kelas itu. Jabatan semacam itu sangat berat bagi seorang anak laki-laki yang pemalu tersebut.”
“Kata-katamu itu banyak yang berarti sama...Dan perkenalan awal ceritamu itu terlalu panjang.”
“Tolong diam dulu dan dengarkan...Waktu itu, ada satu gadis yang bersedia. Gadis itu sangat manis. Dan akhirnya perwakilan laki-laki dan perempuan kelas itu sudah terpilih. Si gadis itu tersenyum dan mengatakan, ‘Mohon kerjasamanya di tahun ini’. Lalu gadis ini mulai sering mengajak ngobrol teman dari temanku itu tentang berbagai hal, jadi dia mulai berpikir, ‘Huh? Apakah mungkin dia menyukaiku? Mungkinkah dia bersedia menjadi perwakilan siswi disini karena aku yang terpilih menjadi perwakilan siswanya? Dia sering berbicara denganku, jadi itu artinya dia menyukaiku!’ Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkannya, mungkin dalam waktu seminggu teman dari temanku itu merasa yakin dengan hal itu.”
“Whoa! Cepat sekali.”
Yuigahama mengatakan itu karena terkejut dan menganggukkan kepalanya.
“Jangan bodoh; kau tidak bisa memutuskan itu cinta atau tidak dari waktu. Jadi, ngomong-ngomong, suatu hari sepulang sekolah, ketika mereka berdua disuruh untuk mengumpulkan pekerjaan siswa di kelas, dia memutuskan untuk mengatakannya.”
‘H-Hei, apa kau menyukai seseorang?’
‘H-Huh? Enggak lah!’
‘Jawaban yang seperti itu jelas-jelas berarti ada yang kau suka! Jadi siapa dia?’
‘...Kalau menurutmu sendiri, siapa?’
‘Kalau aku tahu ya aku tidak tanya ke kamu. Ayo beri aku petunjuknya! Petunjuk!’
‘Well, aku sebenarnya tidak ingin memberitahu itu...’
‘Kalau begitu beritahu aku inisialnya. Tidak masalah apakah nama depan atau nama belakangnya, ayo beritahu!’
‘Well...Kurasa itu tidak masalah.’
‘Benarkah?! Oke! Jadi, apa itu?’
‘...H.’
‘Huh...Apakah itu berarti...Aku?’
‘Huh? Apa yang sedang kau katakan? Mustahil itu! Sangat menjijikkan. Tolong hentikan itu?!’
‘Ah...Haha...Benar, yeah. Itu hanya candaan.’
‘Um...Itu tidak terdengar seperti candaan...Well, kurasa tugas kita sudah selesai, aku akan pulang dulu.’
‘Y-Yeah, oke.’
“Setelah itu, dia ditinggalkan sendirian di kelas, melihat matahari yang terbenam sedang menyinari wajahnya...Dan yang terpenting, esoknya dia pergi ke sekolah, dan semua orang tahu tentang kejadian itu.”
“Jadi itu cerita tentangmu ya...”
Yuigahama menggumamkan itu, merasakan hal yang aneh dan dia memalingkan wajahnya.
“Tunggu, tunggu? Jangan bodoh. Tidak ada yang mengatakan itu tentang diriku. Itu hanya, tahulah, cerita dari teman.”
Yukinoshita bahkan tidak mempedulikan penjelasanku.
“Setelah kau katakan ini cerita tentang teman dari temanku, aku langsung tahu. Maksudku, kau kan tidak punya teman.”
“Apa katamu?!”
“Dengan mengesampingkan pengalaman traumatismu itu, inti dari penjelasanmu itu apa?”
Mustahil itu berakhir dengan baik...Insiden itu membuat para gadis untuk semakin membenciku. Anak laki-laki di kelasku menyebutku ‘Narugaya’ dan...Ah sudahlah, kurasa itu bukanlah masalah. Akupun menahan emosiku itu, dan terus berbicara.
[Note: Naru = narsis.]
“Well, intinya, pria itu sederhana. Mereka sering salah paham hanya karena seorang gadis berbicara dengan mereka, dan mereka sangat bahagia jika mendapatkan kue buatan gadis itu. Jadi...”
Akupun berhenti sejenak dan melihat ke Yuigahama. “Kuemu itu jujur saja tidak ada yang spesial di dalamnya...Kuenya sulit dikunyah, dan jujur saja, itu tidak masalah meskipun rasanya tidak enak.”
“Di-Diam kamu!”
Yuigahama terlihat marah. Tidak lama kemudian, tas plastik dan beberapa benda melayang ke arahku. Dia mungkin mengenaiku, tapi karena dia memilih benda-benda yang tidak membuat orang terluka, itu berarti dia sudah bersikap manis.
Tunggu...Mungkinkah itu artinya dia menyukaiku? Atau dia hanya becanda saja? Aku mungkin akan mengalami pengalaman yang serupa lagi...
“Serius, Hikki! Kau membuatku jengkel. Aku pergi saja!”
Yuigahama menatapku, mengambil tasnya dan pergi. Dia menuju pintu dan mengatakan ‘Hmph!’, lalu berjalan keluar dari ruangan ini. Bahunya terlihat bergetar ketika berdiri dan memegang kenop pintu.
Sial. Mungkin kata-kataku terdengar keterlaluan...Kalau dipikir-pikir, aku menyadari kalau aku membiarkan mulutku ini bebas mengatakan apapun di ruangan ini, merupakan keputusan yang salah. Jadi aku berusaha menambahkan sesuatu agar terdengar tidak keterlaluan.
“Well, tahu tidak...Asal kau memberi kesan kalau kau memberikan yang terbaik, kau sudah menyentuh hati si pria itu.”
Yuigahama yang hendak membuka pintu itu melihatku dari balik bahunya. Aku tidak tahu ekspresinya seperti apa karena cahaya matahari senja ini membelakangi tubuhnya.
“...Kalau Hikki sendiri, apa kamu tersentuh?”
“Huh? Oh, yeah, aku pasti akan tersentuh, tersentuh sekali! Maksudku, jika ada orang yang bersikap baik kepadaku, aku pasti menyukai gadis itu. Dan jangan panggil aku Hikki.” Aku meresponnya dengan spontan.
“Ah...Oke.”
Yuigahama memberiku respon yang berbeda dan langsung membuka pintunya. Ketika dia hendak keluar ruangan, Yukinoshita memanggilnya.
“Yuigahama-san, apa yang harus kami lakukan dengan requestmu?”
“Oh, tidak apa-apa...Jangan khawatir soal itu! Lain kali, aku akan mencoba sendiri. Terima kasih, Yukinoshita-san.”
Yuigahama menatap Yukinoshita dengan senyumannya.
“Sampai jumpa lagi.” Dia melambaikan tangannya dan pergi keluar ruangan...Tapi dia masih membawa celemek di tubuhnya.
“...Apa dia akan baik-baik saja?” Yukinoshita menatap ke arah pintu dan berkata ke dirinya sendiri. “Kupikir orang harusnya berusaha mencapai limit dirinya sendiri dan berusaha melewatinya...Itu adalah hal yang terbaik bagi Yuigahama demi masa depannya.”
“Benar, kurasa begitu. Kerja keras tidak akan pernah mengkhianatimu...Meski, itu mungkin mengkhianati impianmu.”
“Memangnya apa yang berbeda?”
Angin yang bertiup menerpa wajah Yukinoshita yang sedang menatapku itu. Rambutnya terlihat gemulai tertiup angin itu.
“Bekerja dengan keras tidak cukup untuk menjamin mimpimu akan terwujud...Faktanya, itu tidak membuatnya terwujud. Tapi itu bisa membuatmu merasa puas karena setidaknya kau telah berusaha dengan sekuat tenaga.”
“Itu hanya bentuk dari sebuah kepuasan terhadap diri-sendiri yang rendah.”
“Well bukannya aku mengatakan itu adalah cara untuk mengkhianati dirimu sendiri.”
“Sangat egois sekali...Kau terlihat menjijikkan.”
“Sosial, termasuk dirimu, sudah bersikap kejam terhadapku...Setidaknya kau membiarkan diriku untuk bersikap manis ke diriku sendiri. Faktanya, kupikir setiap orang harus memperlakukan dirinya sendiri dengan baik. Jika semua orang di dunia ini merupakan orang yang putus asa, maka tidak akan ada satupun orang yang disebut orang yang putus asa.”
“Ini pertamakalinya bagiku mendengar idealisme orang yang pesimistis...Jika idealismemu itu mendapatkan banyak pendukung, maka dunia ini sudah menjadi puing-puing.”
Yukinoshita tampak terkejut, tapi aku sendiri sangat menyukai bagaimana cara berpikirku itu.
Suatu hari nanti, para NEET akan membuat negara NEET, oleh NEET, untuk NEET, NEEToria...Meski negara itu akan hancur dalam 3 hari atau sejenis itu.
x x x
Akhirnya aku paham aktivitas Klub Relawan ini: sederhananya, klub ini memberikan saran ke siswa dan memberikan bantuan agar mereka menyelesaikan masalahnya. Tapi, eksistensi klub ini patut dipertanyakan. Aku sendiri, tidak tahu kalau ada klub semacam ini, bukannya aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekolah ini.
Jika melihat Yuigahama yang tidak tahu kalau klub ini ada, maka pasti ada seseorang yang membimbing mereka agar menuju kesini untuk mendapatkan saran. Orang itu pastilah Hiratsuka-sensei.
Sensei pasti mengirim siswa yang memiliki masalah dan kekhawatiran kesini...Menuju ruang isolasi, begitulah.
Di ruang isolasi ini, kami hanya membaca buku. Lagipula, mencari konseling berarti memberitahu rahasiamu. Membicarakan sesuatu semacam itu merupakan hal yang sensitif bagi siswa SMA.
Yuigahama datang kesini karena Hiratsuka-sensei; mustahil dia datang kesini atas keinginan sendiri. Meski tidak ada klien yang datang, tapi bisnis kami tetap berjalan seperti biasa. Yukinoshita dan diriku adalah tipe orang yang tidak keberatan dengan suasana sunyi ini, jadi ketika kami berdua hanya membaca saja di ruangan ini, seperti sekarang ini, kami merasa damai.
Oleh karena itu suara ketukan pintu yang kami dengar ini terdengar sangat keras.
“Yahallo!”
Yuigahama membuka pintunya dengan sapaan yang bodoh. Aku berusaha memalingkan pandangan mataku yang autofokus ke arah pahanya yang diselimuti rok pendek, tapi itu sia-sia karena autofokusnya pindah ke arah blusnya yang sedikit terbuka. Gadis ini memang memiliki banyak sekali kekuatan lonte di dirinya.
Yukinoshita menatapnya, lalu dia mendesah, menggumamkan sesuatu ke dirinya sendiri.
“...Apa keperluanmu?”
“Huh? Apa aku tidak disambut baik disini...? Umm, Yukinoshita-san...Apa kau membenciku?”
Bahu Yuigahama terlihat bergetar.
Yukinoshita mengembuskan napasnya seperti sedang memikirkan sesuatu, lalu dia membalasnya.
“Aku sebenarnya tidak membencimu...Hanya saja aku berpikir kalau kau ini orangnya agak merepotkan.”
“Ketika seorang gadis mengatakan itu, itu artinya dia membencimu!”
Sebenarnya, dia tidak ingin dibenci. Hanya saja dia ini adalah tipe gadis cabe-cabean yang biasa kau lihat di luar sana, tapi reaksinya adalah reaksi yang bisa kau duga dari seorang gadis yang normal.
“Jadi, kau butuh sesuatu?”
“Well, tahu tidak, aku belakangan ini sering belajar memasak sendiri?”
“Aku tidak tahu, aku pertamakali mendengar hal itu.”
“Well, ini sebagai, rasa terima kasih atas kemarin, jadi aku membuat kue...”
Darah yang ada di kepala Yukinoshita seperti tersedot habis. Jika kau memikirkan tentang ‘masakan Yuigahama’, yang terbayang di kepalamu adalah kue batubara yang mirip bijih besi yang dia buat sebelumnya.
Bahkan aku langsung menjadi haus ketika memikirkannya.
“Well, aku sekarang agak kenyang, jadi aku tidak memerlukan itu, terima kasih. Rasa terimakasihmu itu kurasa sudah cukup.”
Yukinoshita mungkin langsung kehilangan selera makannya seketika...Tapi Yukinoshita kurasa sudah cukup ramah dengan mengatakan hal itu.
Yukinoshita menolaknya, tapi Yuigahama mengambil sebuah bungkusan dari tasnya. Bungkusan itu terlihat manis dan berisi kue-kue yang berwarna hitam.
“Well, sebenarnya sangat menyenangkan ketika membuatnya...Mungkin aku akan membuat semacam menu makan siang atau sejenisnya nanti! Ngomong-ngomong, Yukinon, ayo makan siang bersama!”
“Tidak. Aku lebih suka makan sendirian, jadi aku benar-benar tidak ingin...Juga, tolong jangan panggil aku dengan Yukinon. Itu membuatku merasa tidak enak.”
“Mustahil...Apa kau tidak merasa kesepian? Yukinon, kau makan siang dimana?”
“Disini, tapi...Hei, apa kau mendengarkanku?”
“Ah, oke kalau begitu, well...Aku punya waktu luang ketika pulang sekolah, jadi aku akan membantu aktivitas klubmu. Well, seperti, tahulah...Membalas jasamu kepadaku? Yeah, aku ingin membalas budi, jadi jangan khawatirkan itu.”
“...Apa kau mendengarkan kata-kataku?”
Kata-kata Yukinoshita sepertinya tenggelam oleh ombak yang diciptakan Yuigahama. Dia terus menatapku seperti memberiku isyarat, ‘Lakukan sesuatu dengan dia’.
Ketika aku hendak membantunya...Kau selalu menyindirku, dan kau belum membayar minuman Yasai Seikatsu yang kubelikan tempo hari...Dan dia ini temanmu.
Jujur saja, Yukinoshita sudah berusaha keras untuk membantu Yuigahama, karena itulah Yuigahama hendak membalas budinya. Oleh karena itu, Yukinoshita harusnya menerima ucapan terima kasihnya.
Kurasa akan sangat buruk jika aku ikut campur, jadi aku menutup bukuku ini dan berdiri. Akupun menggumamkan ‘sampai jumpa’ dengan pelan, jadi mereka tidak akan mendengarkan itu dan bersiap-siap meninggalkan ruangan ini.
“Ah, Hikki!”
Aku mendengar namaku dipanggil dan aku membalikkan badanku, lalu aku melihat ada bungkusan benda hitam dilempar ke arahku. Akupun menangkap benda itu.
“Aku merasa perlu untuk berterima kasih kepadamu, karena kau sudah membantuku juga.”
Bungkusan ini berisi sesuatu yang berwarna hitam pekat dan berbentuk hati...Ini buruk sekali. Tapi, karena ini ucapan terima kasih, jadi aku menerimanya.
Oh, dan jangan panggil aku Hikki!
x Chapter III | END x
ANALISIS
Patut diduga kalau Hiratsuka-sensei pernah berhubungan atau menjadi korban gigolo. Analisis macam apa ini...
...
Kata-kata Sensei tentang Hachiman yang kelak bisa berubah jika sudah mencicipi masakan rumahan dari seorang gadis terjadi di chapter ini, Hachiman mencicipi kue Yukino. Perhatikan monolog Hachiman yang mengakui kalau kue buatan Yukino adalah benar-benar kue buatan gadis yang sebenarnya.
Faktanya, Hachiman memang benar berubah.
...
Hachiman tidak mengenali Yui ketika pertamakali bertemu. Tapi, Yui mengenali Hachiman. Dengan kata lain, ada pertemuan sebelumnya dimana Hachiman tidak sadar, tapi Yui sadar akan hal itu. Dimana? Yep, di kecelakaan setahun lalu.
...
Ironi dari monolog Hachiman yang mengatakan grup Miura adalah gerombolan gadis yang hanya melihatnya sebagai sampah. Karena, dua dari tiga gadis di grup tersebut menyukai Hachiman. Ebina Hina dan Yuigahama Yui.
...
Hachiman mengatakan tidak ingin berurusan dengan gadis manapun. Ironisnya, Hachiman berharap kalau panggilan Yukino sebelum dirinya meninggalkan ruangan adalah Yukino menyukainya. Ironis? Atau memang sejak awal berharap seperti itu?
...
Jadi kesimpulannya, request Yui ini adalah meminta tolong kepada Klub Relawan untuk mengajarinya membuat kue. Dimana, kue tersebut akan diberikan Yui kepada pria yang disukainya.
Menurut Yui, saran dari teman-temannya yang punya pacar adalah memberi pacar atau pria yang mereka sukai dengan masakan sendiri.
Konfirmasi resmi kalau Hachiman pria penerima kue ini ada di vol 11 chapter 9. Namun, selama ini Hachiman memiliki dugaan kalau dialah pria yang Yui maksud. Ini bisa dipahami karena Hachiman sebenarnya tahu kalau Yui ini menyukainya.
...
Alasan Yui soal Miura dan Ebina yang menolak membantunya membuat kue, karena membuat kue sudah kuno, akan terbukti bohong di vol 11 chapter 1. Miura dan Ebina tidak bisa memasak ataupun membuat kue, ada di vol 11 chapter 2. Artinya, Yui sendiri tidak pernah meminta tolong kepada Miura atau Ebina, sehingga Yui menjawab pertanyaan mengapa grupnya tidak membantu dengan jawaban asal-asalan.
Kemungkinan besar Yui tidak meminta bantuan ke grupnya karena pria tersebut (Hachiman) merupakan warga level bawah dalam kasta komunitas sekolah.
...
Hachiman kembali berharap kalau Yukino menyukainya...Mungkinkah...
...
"Kita tidak akan mati..." dari Yukino adalah kata-kata yang sama, diucapkan oleh Yukino lagi sebelum Yukino dan Hachiman naik perahu atraksi Splash Mountain, Disney Land.
...
Hachiman yang mengatakan tidak benci atau tidak melihat gadis yang bisa memasak itu menarik...adalah bohong.
Di vol 5 chapter 6, Hachiman dalam monolognya menaruh syarat harus bisa memasak sebagai calon istrinya.
Dalam vol 11 chapter 2, Hachiman kembali mengatakan di monolognya kalau memasak adalah sebuah keahlian wajib yang harusnya dimiliki oleh seorang gadis.
...
Kata-kata Hachiman kalau dia menyukai gadis yang bersikap baik kepadanya adalah bohong belaka.
Hachiman membenci gadis yang bersikap baik kepadanya...nice girl. Vol 2 chapter 5.
Lanjut dengan psikologinya min
BalasHapusAnalisis terus...
BalasHapusKayak baca kitab min, selalu ada referensi ayatnya, wkwwkwkwk
BalasHapusblog ini yg terbaik , ada analisis nya
BalasHapusDari sini aku udah gak suka Yui, malah sejak animenya rilis. Yui itu kaya pelengkap diantara yukino & haciman
BalasHapuskalo gk ada yui, ceritanya gk bakalan rumit dan seru seperti oregairu sekarang ini.
Hapus