"Yang seorang gadis cari adalah pria tampan dan kaya, tapi yang dicari seorang wanita adalah laki-laki baik dan bertanggung jawab".
x x x
Tidak ada respon ketika aku mengetuk
pintunya, jadi kubuka pintunya dan masuk ke kamar rumah sakitnya.
Matahari yang mulai terbenam terlihat jelas
dari jendela kamarnya, dan aku bisa melihat kalau kasurnya dipenuhi banyak
sekali tumpukan tinggi dari buku-buku. Pemilik toko tempatku bekerja, Shioriko
Shinokawa, tidak terlihat dimanapun.
Dia mungkin sedang melakukan program rehab,
dan dia tidak akan ada di ruangan ini untuk sementara waktu. Mungkin dia keluar
terburu-buru, karena laptopnya dibiarkan berada di atas meja dekat tempat
tidurnya. Meski ini rumah sakit yang relatif aman, tapi dia terlalu
menganggapnya mudah. Ada sebuah laci di samping kamar tidur yang bisa dipakai
untuk menyimpan itu, tapi dia tampaknya tidak berminat untuk menggunakannya.
Kulangkahkan kakiku dan masuk ke ruangannya.
Belakangan ini, seperti menjadi kebiasaan rutin bagiku untuk menjaga toko dari
pagi dan membawa buku yang dititipkan pelanggan ke tempat ini ketika sore. Dia
akan menilai harga bukunya, lalu kubawa lagi bukunya ke toko, negosiasi dengan
pelanggan, dan jika sudah tercapai kata sepakat, toko membelinya – pekerjaanku
ini ternyata cukup mudah dan tinggal mengulangi kegiatan-kegiatan yang sama
tiap harinya.
“Ha...Halo...”
Terdengar suara yang lembut, dan akupun
menoleh ke asal suara itu. Ada seorang wanita memakai piyama biru dan sweater
cardigan duduk di kursi roda berada di pintu masuk ruangan ini. Dia memiliki
rambut hitam yang panjang dan frame kacamata yang tebal. Tampaknya dia tidak
tahu harus melakukan apa karena dia sedari tadi hanya menundukkan kepalanya dan
terlihat gugup.
“Ah, halo.”
Akupun berpindah ke pinggir, dan dia masuk ke
ruangan menggunakan kursi roda. Ada seorang perawat, wanita paruh baya, yang
mendorong kursi rodanya. Si perawat tampak kesulitan untuk mendorong kursi roda
tersebut karena harus menghindari banyak rintangan di lantai. Gerakannya cukup
terlatih, tapi roda kursi tersebut akhirnya menabrak tumpukan buku, dan menara
yang terbuat dari tumpukan ‘Seri Ideologi Jepang’ jatuh berserakan.
“Ah!”
Dua wanita yang ada di ruangan ini mengatakan
hal yang sama; Shinokawa memeriksa buku-bukunya, sementara itu si perawat
memeriksa kursi rodanya.
“...Kan
sudah kuperingatkan sebelumnya, tolong kurangi jumlah buku-buku yang ada
disini.”
Si perawat itu memperingatkan dengan tegas
sambil membantu Shinokawa berpindah dari kursi roda ke kasurnya. Tampaknya dia
sudah diperingatkan sebelumnya, tapi kurasa adegan ini bisa ditebak dengan
mudah.
“...Y-Ya. Maaf, akan kuingat itu baik-baik...”
Shinokawa menundukkan kepalanya, tapi aku
sendiri ragu apa dia benar-benar akan melaksanakan itu. Gadis cantik ini adalah
seorang kutu buku garis keras, dan membaca adalah sebuah kegiatan yang penting,
sepenting bernapas. Jika selama ini memperingatkannya ternyata tidak membuatnya
berubah, bukankah memperingatkannya lagi adalah hal yang sia-sia?
“Kau juga, tolong ingat ini baik-baik!”
Tiba-tiba si perawat komplain kepadaku. Aku
yang sedari tadi hanya melihat percakapan mereka, mendengar peringatan si
perawat, aku hanya bisa menarik leherku.
“...Aku?”
“Benar! Tolong jangan bawa buku lagi kesini.
Meski dia itu pacarmu, kau tidak boleh memanjakannya!”
“Eh...”
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Si
perawat melipat kursi roda itu, dan menaruhnya di pinggir meja, menatap kami
berdua, dan berjalan keluar.
“...Ini cukup merepotkan.”
Kata-kata yang tidak jelas dariku itu memecah
kesunyian.
Tentunya, kami ini bukan sepasang kekasih,
tapi hubungan diantara kami tidak sesederhana karyawan-pemilik toko. Dia ingin
mengobrol tentang buku-buku dengan orang lain, tapi tidak ada yang mau
mendengarkannya, dan situasi ini membuat dirinya bisa membicarakan itu
denganku. Aku, yang tidak bisa membaca meskipun ingin, bisa mendengarkannya
sebanyak yang dia mau. Kami memiliki semacam hubungan yang saling support satu
sama lain.
“Y-Ya...I-Ini memang merepotkan.”
Shinokawa mengatakan itu dari kamar tidurnya.
Telinganya tampak memerah.
“..Pa-Pasti sangat merepotkan...Ke-Ketika dia
bilang kalau A-A-Aku ini pa-pacarmu, Goura-san.’
“Bukan, bukan, bukan! Maksudku bukan yang
itu!”
Aku, yang hendak melanjutkan itu, mencoba
menjelaskannya dengan cepat.
“Aku hanya ingin mengatakan kalau aku tidak
enak sudah membuat orang lain salah paham! Kalau aku sendiri, aku tidak masalah
soal itu! Aku tidak merasa itu menggangguku. Malahan, aku ingin mengatakan
kalau aku senang mendengarnya.”
Aku tiba-tiba menutup mulutku. Barusan itu
benar-benar penjelasan yang aneh; apa barusan itu semacam kalimat yang mengatakan
aku menyukai dirinya?
“Ah...Jadi kita memikirkan hal yang
sama...Aku juga begitu.”
Dia mengatakan itu. Aku ingin bertanya lagi,
sama dibagian ‘tidak enak karena salah paham’? Atau bagian yang ‘senang
mendengar kita dikira berpacaran?’. Tapi, aku menyia-nyiakan kesempatan itu
ketika memilih kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Ba-Bagaimana rehabnya? Apa kau sudah bisa
berjalan?”
Pada akhirnya, aku menanyakan sesuatu yang
tidak ada hubungannya, dan mengganti topiknya.
“...Y-Ya...Aku bisa berjalan...Tapi
sedikit...Dengan dibantu...”
“Apa dokter sudah mengatakan kapan kau boleh
keluar?”
“Belum...Mungkin bulan depan?”
“Begitu ya.”
Bagi orang luar, pembicaraan semacam ini
jelas terlihat level basa-basinya. Tapi ini bisa juga dikategorikan
perkembangan jika melihat situasi di masa lalu. Gadis ini biasanya kesulitan
membicarakan sesuatu di luar buku.
Kurasa, ini saatnya ke urusan pekerjaan. Aku
lalu duduk di kursi bundar itu, mengambil buku-buku dari tas, dan memberikannya
kepadanya.
“...Tolong nilai buku-buku ini.”
Vinogradov Kuzmin ‘Perkenalan Logika’.
Terlihat seperti buku tua; kondisi bukunya terlihat kurang bagus, sampulnya
banyak yang mengelupas dan ujung bukunya terlihat usang.
“Ah, ini terbitan Aoki Paperback!”
Meski begitu, dia menerima buku ini dengan
senyum yang ceria, seperti terakhir kali, dia terlihat seperti orang yang
berbeda. Dia mulai mengelus-elus sampulnya secara perlahan seperti mengelus
kepala anak anjing.
“Sudah agak lama dari waktu aku terakhir kali
melihatnya! Buku ini dan penerbitnya sudah tidak ada lagi di dunia ini.”
Jujur saja, ini pertamakalinya aku mendengar
nama ‘Aoki Paperback’. Buku ini mungkin edisi terbatas.
“Memangnya berapa harganya?”
“Bukan begitu...Masalahnya bukan di harga.”
Dia terlihat mencondongkan kepalanya ke
arahku.
“Eh? Ini buku yang langka kan?”
“Buku ini memang bagus, tapi tidak ada
permintaan konsumen terhadap buku ini di pasar toko buku bekas...Kondisi buku
ini juga tidak begitu bagus. Buku ini mungkin bisa terjual dengan harga
500Yen.”
Aku membuka lebar-lebar mataku. Ini jauh
berbeda dengan terbitan Sanrio SF Paperback yang dibawakan oleh si pemburu buku
Shida, tempo hari.
“Aoki Paperback adalah perusahaan yang
berdiri dari gabungan beberapa penerbit kecil, dan sudah beroperasi sekitar 30
tahun sejak berdiri tahun 1950-an. Kebanyakan terbitannya tentang ideologi
sosial dan komunisme jaman dulu. Buku ini, Perkenalan Logika, seperti namanya,
menjelaskan tentang logika tertentu. Cetakannya tidak banyak, dan selalu
populer...Memangnya orang yang menyerahkan buku ini seperti apa?”
“Hmm, dia adalah pria berusia sekitar akhir
50-an, dia memakai setelan jas...”
Saat itu, aku berhenti sejenak. Mengenai
pelanggan ini, ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan oleh beberapa kata.
“...Apa ada sesuatu?”
“Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin
kuberitahukan kepadamu. Pelanggan ini agak aneh...”
“Aneh? Aneh bagaimana?”
Dia memiringkan kepalanya seperti
bertanya-tanya akan sesuatu.
“Yeah. Ini panjang ceritanya...”
x x x
Meski ini awal bulan September, pria ini
memakai setelan jas, dan dasinya terlihat diikat dengan kencang. Rambutnya
tertata rapi, dan kumisnya terlihat dipotong dengan rapi, memberiku kesan kalau
dia ini adalah manajer dari sebuah bank. Tapi, dia memakai kacamata yang entah
mengapa terlihat mencurigakan.
Pria itu berjalan ke toko, dan langsung
menuju kasir tanpa menoleh ke kanan-kiri. Dia tinggi dan kurus, kulitnya
terlihat kecoklatan.
“Aku ingin menjual buku ini.”
Dia mengatakan tiap kata dengan nada yang
dalam, dan menaruh buku Perkenalan Logika di depan meja kasir. Kesanku kalau
dia ini manajer bank berubah. Mungkin dia ini seorang penyiar radio yang
berpengalaman, atau mungkin komentator.
“Yang bertugas menilai buku sedang tidak ada
di toko. Apakah anda tidak keberatan meninggalkan bukunya disini?”
Aku menjelaskan masalahnya kepadanya. Setelah
3 minggu bekerja, aku mulai terbiasa dengan menyapa pelanggan di toko ini.
“Tentu.”
“Terima kasih banyak. Tolong tulis nama dan
alamat anda disini.”
Akupun memberikan slip dan pena ke meja, dan
menggunakan jari telunjukku untuk menunjuk kolom nama dan alamat. Pria itu
melepas kacamatanya, mengambil pena, dan mulai menulis. Namanya Masashi
Sakaguchi, lahir 2 Oktober 1950, dan tinggal di kota Zushi, sebelah Kamakura.
Tulisan tangannya tidak bisa dikatakan bagus,
dan sangat kontras dengan tampilannya yang rapi. Mungkin dia ingin menulis
dengan rapi, tapi tulisannya banyak yang keluar dari kotak.
Secara
tidak sengaja, aku melihat sebuah bekas luka di salah satu sudut mata
Sakaguchi. Mungkin kacamata itu dipakai untuk menyembunyikan bekas luka itu.
Bekas luka itu tidak terlihat seperti didapat
olehnya baru-baru ini, dan itu membuat wajahnya terlihat menakutkan. Ini
memberikan kesan yang sangat berbeda kepadaku. Pria ini memakai setelan jas
yang rapi, dan suara yang dalam dengan bekas luka di wajah – mengkombinasikan
semua faktor itu bersama, aku tidak tahu dia ini pekerjaannya apa dan orangnya seperti
apa. Dia hanya menulis ‘karyawan’ ketika mengisi kolom pekerjaan.
“Apa ini cukup? Harganya tidak masalah. Kalau
memang tidak mau membelinya, aku tidak keberatan untuk mengambilnya kembali.”
“Aku paham.”
“Aku akan datang lagi besok sore, dan kuharap
penilaian bukunya sudah selesai. Kalau ada perubahan soal jadwal pertemuannya,
tolong hubungi aku kapan saja. Itu saja dariku. Apa ada pertanyaan lain?”
Tidak ada yang ingin kukatakan lagi, tapi ini
tetap terasa aneh.
“Tidak, kurasa tidak ada.”
“Begitu ya. Kalau begitu kuserahkan sisanya
kepadamu.”
Sakaguchi lalu memasang kembali kacamatanya,
dan meninggalkan Toko Biblia dengan cara berjalan yang sama ketika masuk ke
toko ini.
x x x
“...Dia sepertinya orang yang sangat cermat.”
Shinokawa mengucapkan itu setelah aku
menceritakannya.
“Yeah. Mungkin saja dia terlihat cermat, tapi
entah mengapa aku merasa itu dibuat-buat...Well, mungkin aku merasa dia memang
terlalu cermat.”
Aku bukannya mau menyindir Sakaguchi, tapi
aku mulai curiga karena dia selalu menjawab dengan capat tanpa ragu. Dia
tampaknya sudah tahu harus menjawab apa, seperti sudah tahu semua kemungkinan
percakapan yang timbul akan ke arah mana. Mungkin saja dia orang yang cermat,
lebih tepatnya – super cermat.
“Apa ada alasan lain sehingga kau
menganggapnya aneh, Goura-san?”
Aku agak terkejut dengan pertanyaannya –
gadis ini punya rasa ingin tahu yang sangat besar.
“Yeah, ada bagian kedua dari cerita pria
itu.”
Aku melanjutkan lagi. Benar, ini adalah awal
dari masalah.
“Satu jam setelah kepergian Sakaguchi...”
x x x
Aku ingat waktu itu jam 2 siang lebih; aku
sedang mengobrol dengan pemburu buku, Kasai, yang datang ke Toko Biblia. Dia
tampaknya menerima beberapa permintaan mengenai buku-buku antik lewat internet,
dan tidak tahu harus bersikap apa karena pengetahuannya akan buku sangat
kurang. Dia meminta bantuan Shida, dan juga berpikir meminta bantuan ke Toko
Biblia; tentunya, dia menjanjikan fee
kepada kami.
Kupikir itu bukanlah transaksi yang buruk,
tapi telepon di toko berbunyi.
“Selamat siang. Disini Toko Buku Bekas
Biblia...”
Aku menjawabnya, dan ketika hendak
menyebutkan namaku, sebuah suara yang tinggi terdengar dan membuat telingaku
berdengung.
“Halo, apa ini toko buku bekas? Apa kau
membeli buku milikku? Apa ada seorang pria bernama Sakaguchi ke tempatmu dan
menjual buku? Tinggi, tampilan agak menakutkan, dan suaranya tegas. Masashi
Sakaguchi. Dieja Masa-shi-Saka-guchi...”
Waktu itu, aku baru saja pulih dari kondisi
telinga yang berdengung.
“Boleh saya tahu siapa anda?”
“Aku istrinya Sakaguchi...Jujur saja, agak
aneh untuk mengatakan ini secara formal. Kukukukuku, serius ini!”
Entah mengapa, ada suara tawa yang bercampur
dengan kata-kata yang aneh. Sebenarnya orang ini seperti apa? Pria yang bernama
Sakaguchi sikapnya aneh, tapi wanita yang mengaku istrinya ini malah bersikap
lebih aneh. Ngomong-ngomong, apa dia benar-benar istrinya? Apa tidak apa-apa
mengatakan Sakaguchi baru saja kesini?
“Jadi bagaimana? Apa suamiku kesana?”
Dia menanyakan itu. Dia tahu nama Sakaguchi
dan dia tahu kalau kedatangannya untuk menjual buku. Mungkin dia benar-benar
istrinya, dan ini mungkin urusan penting.
“...Ya, dia memang kesini.”
“Begitu ya? Apa dia sudah menjual buku itu?
Apa sekarang buku itu sudah berpindah tangan?”
“Tidak. Dia meninggalkan bukunya ke kami.
Orang yang bertugas menilai harga buku itu akan menilainya nanti.”
“Kapan bukunya selesai dinilai?”
“Sore ini...”
“Jadi suamiku akan kesana lagi. Hari ini?
Atau besok?”
“Besok.”
“Oke! Terima kasih banyak! Siapa namamu?”
“Goura.”
“Goura-san? Kalau begitu, nanti kuhubungi
lagi, Goura-san.”
“Eh?”
Secara spontan aku bertanya. Maksudnya apa?
Tapi dia sudah menutup telponnya.
x x x
“...Dia sepertinya orang yang ceria.”
Shinokawa mengatakan kesannya. Apa seperti
itu dikategorikan ceria?
“Bagaimana menurutmu? Sepertinya terjadi
sesuatu diantara mereka berdua, benar tidak?”
Dia menaruh jarinya di depan bibirnya, dan
berpikir sejenak. Lalu, dia bertanya.
“Apa istri dari Sakaguchi itu datang ke toko
setelah menutup telponnya?”
“Tidak. Memangnya kenapa?”
“Bukankah dia bilang akan menghubungimu lagi?
Kupikir dia hendak menuju ke toko.”
“Eh?”
Setelah mendengarkan perkataannya, kurasa itu
yang dimaksud istri Sakaguchi. Bahkan dia bertanya namaku di telpon.
“Tapi apa yang dia inginkan dengan mendatangi
toko kita?”
“Dia ingin mendapatkan buku itu sebelum
terjual, kurasa begitu...Karena itu, dia bertanya kapan kita akan menilai buku
itu, dan kapan suaminya akan datang kembali ke toko.”
“Ah...”
Begitu ya. Setelah memikirkan itu baik-baik,
aku bisa paham mengapa dia menyerangku dengan banyak sekali pertanyaan – meski
aku sendiri tidak yakin, setidaknya ini menjelaskan sesuatunya.
“Kalau begitu, ini buku milik istrinya?”
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Dia ingin mencegah buku ini terjual, benar kan? Mungkin ini buku miliknya yang
entah mengapa tiba-tiba ada yang hendak menjualnya atau sejenis itu...”
“Kurasa bukan itu masalahnya.”
Shinokawa mencondongkan kepalanya.
“Kalau benar itu masalahnya, dia akan
menjelaskan itu dari awal kepadamu, Goura-san...Dia bukanlah tipe wanita yang
bisa mengontrol emosinya, benar tidak?”
“...Begitu ya?”
Dia tidak tampak seperti wanita yang marah ke
suaminya sama sekali. Mungkin lebih tepatnya, dia tertawa ketika dia menyebut
dirinya adalah istri Sakaguchi. Jika buku itu adalah sesuatu yang suaminya jual
tanpa persetujuannya, dia pasti menambah beberapa kata makian di telpon tadi.
“Hmm? Jadi dalam kasus ini, pria bernama
Sakaguchi ingin menjual buku ini, tapi istrinya ingin menghentikan ini?”
“Ya, kurang lebih begitu.”
Shinokawa menunjukkan sampul buku Perkenalan
Logika kepadaku. Ada sebuah stempel bermotif bulan sabit di bawah judul buku.
Sampulnya cukup sederhana, kurasa buku-buku tua kebanyakan sampulnya seperti
ini.
“Buku ini pasti mengandung semacam rahasia.”
Dia mulai membolak-balik halamannya, dan aku
juga mendekatkan tubuhku dengannya agar bisa melihatnya. Tidak seperti Koleksi
Karya Soseki, disini tidak ada tanda tangan ataupun tulisan, dan tidak ada
halaman yang ditandai. Tampaknya kondisi buku ini yang kurang bagus disebabkan
oleh seringnya buku ini dibaca, bukan karena kesalahan perawatan atau
sejenisnya.
“Lalu, buku ini bercerita tentang apa?”
Tanyaku. Kurasa itu pertanyaan yang paling
mendasar soal buku ini, tapi Shinokawa tampak tidak keberatan dengan itu.
“Buku ini mengajarkan silogisme. Hmm...Contoh
sederhananya misalnya A sama dengan B, lalu B sama dengan C; karena itulah A
sama dengan C, sejenis itu...”
Kucoba untuk mengingat-ingat, tampaknya aku
pernah mendengar ini sebelumnya.
“...Sejenis penarikan kesimpulan secara
induktif?”
“Ya. Logika seperti itu, jika dijelaskan
dengan simbol matematika, disebut silogisme. Buku ini dijadikan buku pelajaran
di Rusia...Kalau dulu, namanya Uni Soviet, lalu buku ini juga diterjemahkan ke
bahasa China. Biasanya, isinya perkenalan tentang logika-logika simbolis, dan
pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku ini cukup menarik, mayoritas berisi
Proletariats dan Kolkhoz. Juga sering mengutip kata-kata dari Stalin.”
Setelah mendengarkan isi buku ini tentang
logika yang tersusun rapi, aku teringat Sakaguchi. Kurasa kemampuan menyusun percakapan
verbal yang sistematis itu dikarenakan membaca isi buku ini.
“...Buku ini adalah edisi pertama.”
Shinokawa menjelaskannya sambil membuka
halaman tentang keterangan penerbit. Akupun melihatnya, dan disitu tertulis
kalau edisi pertama rilis 1 Juli 1955.
“Sepertinya Sakaguchi-san ini tidak membeli
buku ini dalam keadaan baru.”
“Darimana kau tahu?”
Shinokawa menunjukkan kepadaku slip tentang
pemilik buku yang diisi oleh Sakaguchi di Toko Biblia, jari telunjuknya
menunjuk ke kolom tanggal lahir. Masashi Sakaguchi lahir tahun 1950 – begitu
ya. Dia pasti berusia 5 tahun ketika buku ini rilis. Ini bukanlah buku yang
akan dibeli oleh anak TK.
“Apa dia membelinya lewat toko buku bekas?”
“Atau juga ada seseorang yang memberikan buku
ini sebagai hadiah...ah!”
Shinokawa tiba-tiba bersuara dengan cukup
keras, dan menutup mulutnya secara tiba-tiba, sedang diriku ini cukup terkejut
melihatnya. Sangat jarang sekali dia melakukan hal seperti ini.
“...Ah, maaf.”
Dia menatap ke halaman terakhir buku itu. Ada
sebuah stempel, semacam label. Ada tulisan ‘Ijin Buku Pribadi’, dan beberapa
kolom dengan kata ‘nama buku’, ‘nama pemilik’, ‘tanggal’, dan ‘nomor sel’.
Perkenalan Logika ditulis dalam judul buku, dan ada nama Masashi Sakaguchi di
tulisan peminjam. Entah mengapa, ada nomor 109 tertulis di atas namanya.
Tanggal tertulis 21 Oktober tahun
47. Kurasa itu menandakan tahun Showa daripada tahun kalender barat. Karena
pernah mengoreksi tahun semacam ini ketika kasus Koleksi Karya Soseki di bulan
lalu, aku ingat betul cara menghitung tahunnya. Tahun 47 Showa artinya itu
tahun 1972. Tahun ini adalah 2010, berarti stempel ini sudah menempel selama
kurang lebih 40 tahun lalu.
“Apa ini?”
Ini tidak seperti kartu perpustakaan. Nama peminjam
buku pribadi ditambah nomor sel ini merupakan istilah yang tidak familiar.
“Shinokawa?”
Aku memanggil namanya, dan dia akhirnya
menjawabku.
“...Aku sepertinya pernah beberapa kali
melihat ini sejak mulai berkecimpung di dunia buku bekas.”
Dia sepertinya agak kesulitan untuk
menjelaskannya.
“Buku di perpustakaan penjara yang bisa
dipinjamkan biasanya disebut buku resmi penjara, sedang buku milik sendiri dinamakan
‘buku pribadi’...Jadi stempel ini merupakan ijin dari kepala penjara dan menandai
buku ini sebagai buku milik Sakaguchi-san.”
Diam-diam aku melihat ke arah stempel yang
menunjukkan kalau buku ini milik pribadi. Setelah berpikir sejenak, aku
akhirnya mengerti apa maksud Shinokawa. Ijin ini diberikan kepala penjara. Dan
ini berarti...
“Bukankah ini berarti pria itu pernah masuk
penjara?”
“...Sepertinya begitu. Nomor 109 ini mungkin
nomor Sakaguchi-san di penjara.”
“Bagaimana mungkin...”
Dia memang terlihat eksentrik, tapi pria itu
tidak tampak seperti mantan pelaku kriminal. Tapi, aku sendiri tidak pernah
bertemu orang yang punya catatan kriminal.
“...Apa kau ingin memeriksa data yang
mengatakan dia pernah masuk penjara?”
“Eh? Memangnya kita bisa?”
“Karena kita memiliki petunjuk, mungkin kita
bisa.”
Shinokawa mengambil laptop yang berada di
meja dan menyalakannya. Aku berharap akan melihat wallpaper imut di layar laptopnya, tapi yang
muncul adalah gambar sebuah buku, yang membuatku sedikit kecewa. Buku itu
bernama Belakangan Ini; dia memang
suka sekali membaca, dan akupun terkesan, daripada merasa terkejut.
“E-Erm, soal wallpapernya...Jangan dilihat
ya...”
Dia tiba-tiba terlihat malu-malu, dan membuka
browsernya dengan sekali klik. Disamping laptop ini terdapat modem yang
berbentuk flashdisc sehingga bisa mengakses internet di kamar pasien. Dia
membuka situs sebuah perusahaan berita, dan memasukkan nama ‘Masashi Sakaguchi’
di kolom pencarian webnya.
“Ah.”
Aku tahu maksudnya. Jika Masashi Sakaguchi
pernah berbuat kejahatan, dia akan muncul di koran. Aku tidak pernah berpikir
untuk menggunakan metode semacam ini untuk menginvestigasi – aku mulai melihat
halaman itu, dan mencari hasil pencariannya. Ada beberapa daftar laporan
tentang itu, dan semuanya berhubungan dengan satu insiden. Tanggal 9 Januari
1971, setahun sebelum stempel ijin itu tertempel di buku.
Perampokan
Bank Hodogaya
Telah terjadi perambokan di Bank Hodogaya cabang Kota Yokohama di pagi
hari tanggal 8 Januari. Seorang pria masuk ke bank dan membawa senapan berburu,
merampok 400,000Yen uang tunai, dan kabur menggunakan mobil yang sudah diparkir
diluar. Polisi yang tiba di lokasi langsung mengejar pelaku, dan akhirnya
tertangkap setelah mobilnya menabrak perumahan yang berjarak 1km dari bank.
Tersangka adalah mantan karyawan bank yang tinggal di sekitar – Masashi
Sakaguchi (20 tahun), dan sekarang dalam penanganan polisi.
Aku tidak bisa mengatakan satupun kata-kata. Pria
itu, yang terlihat seperti pekerja bank, ternyata pernah terlibat perampokan
bank – sungguh sulit untuk dipercaya, tapi ini benar-benar fakta. Umurnya cocok
dengan tanggal lahir di slip Toko Kami, dan ada lagi laporan tambahannya.
Wajah
dari Sakaguchi menderita luka-luka ketika menabrak rumah warga, dan saat ini
sedang dirawat di rumah sakit. Polisi memastikan bahwa kecelakaan ini tidak
akan menghalangi proses investigasi.
Aku teringat bekas luka di dekat mata Sakaguchi.
Itu pasti dari luka yang didapatnya dari kecelakaan itu.
“Pria ini...Benarkah punya catatan kriminal
seperti ini?”
“...Ya.”
Shinokawa mengangguk dengan serius.
“Tapi setelah insiden itu, tidak ada
data-data lagi tentang nama Sakaguchi di hasil pencarian...Itu berarti kalau
perampokan itu adalah satu-satunya kejahatan yang dia lakukan. Saat ini, dia
pasti berubah menjadi manusia yang baru.”
Kupikir begitu, tapi aku sendiri agak
khawatir jika ternyata dia belum berubah menjadi lebih baik. Karena, besok aku
akan bertemu dengannya lagi...
“Jadi apa yang harus kulakukan dengan buku
ini?”
“Ada baiknya jika kita membelinya seperti
biasa. Tolong katakan kepadanya kalau buku ini bisa dia jual ke kita dengan
harga 100Yen.”
Ini tentunya kegiatan penilaian buku yang
normal. Seperti katanya, tidak peduli siapa pelanggannya, kita berkomitmen
untuk membeli buku bekas – tapi jika kita tidak melakukannya, maka ini akan
terlihat sangat mencurigakan.
“Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.”
Dia mengatakan itu sambil menutup laptopnya,
dan menatap ke arahku.
“Ada apa?”
“Kenapa Sakaguchi-san ingin menjual bukunya,
dan mengapa istrinya hendak mencegahnya menjual itu?”
“Eh? Bukankah karena dia sendiri tidak
membutuhkannya?”
“Tapi buku ini sudah dia miliki sekitar 40
tahun, benar tidak? Dia berkata kalau berapapun harganya tidak masalah, jadi
ini bukan perkara uang. Mustahil kalau dia beralasan menjualnya karena tidak
ada tempat untuk menyimpan buku ini...Kenapa dia harus menjualnya?”
Akupun menyilangkan lenganku. Memang benar,
harusnya ada alasan tertentu yang membuatnya menjual buku yang telah lama dia
simpan. Mungkin ini ada hubungannya dengan telpon dari istrinya tadi.
Lalu, terdengar suara langkah kaki dari
lorong yang ada di depan kamar ini. Ketika kami melihat asal suara itu, pintu
terbuka. Seorang wanita yang mungil muncul.
“Halo! Apa ini kamarnya si pemilik toko
buku?”
Suaranya seperti menggema di ruangan ini.
Wanita ini memakai gaun one-piece berwarna merah, dan ujung rambut coklatnya
terlihat bergelombang. Dia memakai bulu mata palsu, wajah yang bulat, dan
terlihat seperti anak kecil, tapi masih terlihat kerutan di ujung mata dan
bibirnya. Dia sepertinya berusia hampir 40 tahun, dan make up yang tebal
terlihat menutupi wajahnya.
Sarung tangan yang digunakan untuk
menghalangi sinar matahari terlihat berbeda dan kontras dengan warna bajunya.
Tanpa ragu, ketika kulihat tampilan yang seperti itu, dia mirip hostess yang
hendak berangkat kerja.
Dia menajamkan pandangan matanya dan melihat
sekitar.
“Banyak sekali buku-buku disini. Ini
pertamakalinya aku melihat buku sebanyak ini. Apakah nona berkacamata yang
cantik ini pemiliknya? Ini sudah masuk bulan September, tapi masih saja terasa
panas. Aku berjalan kesini dari stasiun Ofuna; oh panasnya...Ah, maaf. Aku
mulai berbicara kesana-kemari tanpa memperkenalkan diriku.”
Aku langsung tahu siapa wanita ini tanpa memperkenalkan
dirinya. Dia merendahkan kepalanya.
“Aku istri dari Masashi Sakaguchi, Shinobu.
Tolong kembalikan buku itu kepadaku!”
Shinobu Sakaguchi tersenyum sambil menarik
kursi bundar terdekat dan duduk. Tidak ada jeda dalam kata-katanya, dan dia terus
mengoceh. Wajahnya tidak bisa dikatakan menarik, tapi ekspresinya terlihat
ceria, dan terkesan orang yang mudah akrab.
“Aku pergi ke toko yang di Kita-Kamakura
sebelum kesini, dan gadis SMA yang menjaga toko itu berkata kalau orang yang
tahu masalah ini sudah pergi ke rumah sakit, jadi aku naik bus kesini...Ah, ya
Tuhan. Aku datang ke rumah sakit tanpa membawa oleh-oleh! Aku benar-benar minta
maaf, nona pemilik toko.”
Shinokawa terlihat malu-malu ketika namanya
disebut.
“I-Itu bukanlah apa-apa, tidak perlu membawa
oleh...Erm, aku Shinokawa...Senang bertemu denganmu...”
Dia membalasnya sambil membetulkan posisi
duduknya, ternyata...Dia berusaha bersembunyi di belakangku. Karena Shinokawa
adalah orang yang tidak tenang jika tidak membahas buku itu, maka aku pura-pura
terbatuk.
“Boleh kutanya, kenapa kau ingin kami
mengembalikan buku itu?”
“A-Apa kau ini Goura-san? Yang menerima
telponku? Kau benar-benar tinggi, lebih tinggi dari Masa...Ah, tidak, lebih
tinggi dari suamiku.”
Kurasa ‘Masa’ adalah singkatan dari Masashi,
suaminya. Untuk sementara ini, aku tidak ingin menyertakan sebutan aneh itu di
percakapan kita.
“Bukannya suami nyonya sendiri yang ingin
menjual buku itu ke kami?”
“Ya, tapi ada masalah! Dia tiba-tiba
mengatakan kalau dia ingin menjual buku yang dia anggap sebagai harta paling
berharganya, dan tidak memberitahuku alasannya. Aku sudah memberitahunya agar
tidak menjualnya, tapi dia tidak mendengarkan...Kupikir aku harus kesini karena
aku ingin buku itu kembali. Well, memang sih
dia berkata ingin menjual buku ini dengan nada yang tegas, benar kan?”
“Hmm?...Well, begitulah...”
Topiknya tiba-tiba berubah, dan aku agak
kesulitan untuk menangkap seluruh kata-katanya.
“Tampaknya itu karena buku Perkenalan Logika
itu. Dulu waktu muda, dia itu orangnya cukup konyol, dan ketika dia menekuni
kegiatan di biara, guru SMA-nya memberinya buku ini, memberitahunya kalau dia
bisa berbicara kepada orang lain dengan lebih baik jika membaca buku ini
beberapa kali. Ini buku yang luar biasa karena bisa mengubah sifatnya.”
Aku dan Shinokawa hanya bisa menatap satu
sama lain – biara?
“...Well, biara itu tentang apa?’
“Ah, maaf. Suamiku dulu katanya pernah kabur
dari rumahnya setelah berumur 20 tahun, dan sepertinya menghabiskan sekitar 5
tahun untuk mendalami ilmu di sebuah biara. Dia tidak berencana menjadi seorang
biksu, tapi dia seperti merasa harus pergi kesana karena sesuatu.”
Aku mencoba sebisaku agar tampak terkesan
olehnya. Tampaknya wanita ini tidak tahu apapun soal kasus Sakaguchi di masa
lalu, bahkan dia berbicara tentang pelatihan menjadi biksu.
“Ngomong-ngomong, dia bilang kalau itu adalah
tempat yang keras, temboknya sangat tinggi, saking tingginya hingga dia tidak
bisa memanjatnya untuk keluar, dan dia hanya diperbolehkan menerima tamu dalam
waktu yang singkat. Setelah menyelesaikan pelatihannya, dia terkejut dengan
betapa banyak perubahan yang terjadi dengan dunia luar.”
Bukankah itu sama saja dengan mengatakan
tebakan kami ini benar? Aku hanya bisa mengatakan itu dalam hati. Bahkan
setelah mengatakan ciri-ciri tempat itu, dia masih tidak sadar-sadar kalau
tempat yang dia bicarakan itu adalah ciri-ciri penjara; dia sepertinya punya
sifat yang sangat mempercayai orang lain.
Bukan, bukan begitu. Dia benar-benar sangat
mempercayai suaminya.
“Ngomong-ngomong, kupikir lebih baik jika
tidak menjualnya, atau aku mungkin akan menyesalinya...Erm, apa bukunya masih
disini? Apa mungkin untuk memintanya kembali jika nona belum membelinya?”
Shinobu menunjuk ke arah buku Perkenalan
Logika yang ada di tangan Shinokawa. Dia seperti sudah siap untuk mengambilnya
kapan saja, dan aku sendiri juga ragu apakah aku harus menghentikannya atau
tidak.
“Maaf, tapi aku tidak bisa memberikannya
kepada anda.”
Shinokawa mengatakannya dengan tegas, dan
dia tidak lagi bersembunyi di belakangku, tapi menatap lurus ke Shinobu. Ini
pasti sifatnya ketika dia membicarakan sebuah buku.
Shinobu, yang mengetahui penolakan itu,
matanya terlihat melebar.
“Eh? Apa itu masalah? Kenapa tidak boleh?”
“Suamimu adalah pemilik buku ini, dan suamimu
berharap untuk menjual ini...Dan sebagai orang yang menjalankan bisnis buku
bekas, aku tidak boleh menyepelekan permintaan pelangganku. Jika kau ingin
menghentikan suamimu untuk menjualnya, maka tolong yakinkan dia untuk merubah
pikirannya, bukan meyakinkan kami.”
Shinokawa memegang buku itu dengan erat
sambil menundukkan kepalanya. Shinobu seperti kehilangan semua tenaga dan
antusiasmenya. Dia tiba-tiba hanya diam saja, tapi tidak lama kemudian dia
tersenyum.
“Hmm, itu ada benarnya...Seperti katamu, nona
pemilik. Aku ini tidak bagus dalam berpikir, dan yang kukatakan tadi memang
tidak masuk akal...Maaf.”
Dia lalu mendesah dan menatap ke arah atap
ruangan ini.
“Tapi kenapa dia mau menjualnya? Aku merasa
kalau ada yang janggal soal ini...Dia tidak pernah mengatakannya kepadaku, dan
aku tidak yakin ada orang lain yang tahu mengapa dia menjualnya.”
Itu memang sudah kuduga. Jika istrinya saja
tidak tahu, mustahil orang lain ada yang tahu – tidak, kurasa akan ada
seseorang yang tahu. Akupun menoleh ke arah Shinokawa; dia adalah orang yang
bagus dalam memecahkan masalah.
“...Anda punya hubungan yang sangat baik
dengan suami anda.”
Shinokawa mengatakan itu. Sambil malu-malu,
Shinobu mengangguk mendengarnya.
“Ya, benar sekali. Kami sudah menikah hampir
20 tahun, dan hubungan kami masih manis seperti dulu.”
Tampaknya kalimat ‘manis’ terakhir itu
membuatnya terlihat romantis. Shinokawa sepertinya terpengaruh oleh kalimat itu
dan tersenyum.
“Bagaimana anda bisa bertemu dengan suami
anda dulunya?”
Sudah kuduga kalau dia ingin mencari
informasi yang lebih dalam. Shinobu membetulkan posisi duduknya dan menatap ke
arah kami.
“Akan memakan waktu yang cukup lama untuk
menjelaskan ini. Apa tidak masalah?”
Kami lalu mengangguk. Dia lalu mulai
berbicara tanpa merasa ragu sedikitpun.
“Aku pertamakali bertemu dengannya setelah
lulus SMA...”
x x x
Waktu
itu aku bekerja sebagai hostess...Ah, kalau sekarang aku masih bekerja di bar,
tapi sebagai karyawan biasa saja. Aku berpakaian seperti ini karena sebentar
lagi akan pergi bekerja.
Hubunganku
dengan kedua orangtuaku tidaklah bisa dikatakan baik. Orangtuaku sangat pintar,
dan lulus dari universitas ternama; sedang aku, tidak begitu bagus dalam
belajar, jadi aku sering disebut bodoh sejak muda...Mungkin agak berbeda jika
aku berniat belajar sungguh-sungguh, tapi aku benar-benar membencinya.
Lalu, aku langsung pulang ke rumah setelah lulus SMA. Awalnya, aku
sempat magang di sebuah perusahaan, tapi aku tidak paham satupun, dan merasa
tidak berguna bagi mereka. Setengah tahun kemudian, aku dipecat.
Lalu aku mencoba bekerja paruh waktu, tapi akhirnya sama saja...Aku
pikir mungkin ada pekerjaan yang cocok denganku, jadi aku pergi ke kelab malam.
Sangat jarang melihat kelab malam belakangan ini; jumlahnya lebih
sedikit waktu aku masih muda dulu. Ada sebuah kelab malam tua dan terkenal yang
berada di dekat pintu keluar stasiun Yokohama. Aku mencoba melamar kesana, dan
diterima.
Seperti yang kalian lihat, aku sekarang bisa bicara banyak, benar tidak?
Waktu itu, aku lebih cerewet dari saat ini. Tapi, pekerjaan hostess itu adalah
menemani pelanggan, jadi aku terus berbicara mengenai diriku...Para pelanggan
semuanya orang dewasa; tapi siapa yang mau mendengar ocehan gadis yang baru
lulus SMA? Aku benar-benar ingin bekerja keras, tapi terus saja dibully. Bossku
berkata kalau dia akan memecatku jika terus begini. Tepat ketika aku mulai
kehilangan kepercayaan diriku, ada seorang pria datang sendirian ke kelab
malam.
Waktu itu cuaca sangat panas, tapi dia memakai setelan jas, postur
tubuhnya tegap. Dia tidak jauh berbeda dengan saat ini, dan waktu itu, dia
mungkin bisa dikategorikan pria paruh baya...Tentunya, dia masih bujangan. Dia
bilang kalau biasanya dia tidak mau datang ke bar dan ditemani wanita, tapi dia
merasa sangat bosan dan ingin melakukannya untuk menghabiskan waktu.
Pertama, kupikir dia adalah pria yang menakutkan. Dia tidak berbicara
tentang dirinya sama sekali, dan cara bicaranya sangat tegas. Dia seperti
ayahku, dan kupikir dia lulusan universitas ternama, dan bekerja di suatu bank.
Sambil memikirkan itu, akupun mulai gugup...Kami tidak mengatakan apapun sampai
30 menit, dan yang dia lakukan hanyalah minum saja.
Lalu, dia tiba-tiba berkata.
‘Aku ini tidak begitu bagus jika membicarakan diriku sendiri, tapi aku
tidak keberatan jika mendengar kisahmu. Aku ingin mendengarmu bercerita tentang
apa saja, apapun yang ingin kau katakan.'
Pelanggan-pelanggan yang lain biasanya akan mengoceh sendiri, tapi ini
pertamakalinya aku dengar ada orang mau mendengarkan kata-kataku. Aku agak
terkejut; kalau dia memintanya, bukankah itu berarti aku yang akan bercerita?
Ngomong-ngomong, aku mulai berbicara mengenai hal-hal yang bisa terpikirkan
olehku, entah itu makan malam kemarin atau anjing yang kubesarkan ketika muda
dulu.
Aku mulai merasa santai, dan berbicara mengenai hal-hal yang membuatku
kesal, seperti bagaimana situasiku saat ini yang terancam dipecat. Setelah itu,
aku merasa ini seperti sebuah sesi konseling, dan aku mulai menangis ketika
mengatakan tentang berbagai kesialan yang menimpa hidupku, bagaimana aku tidak
bisa bekerja karena terlalu bodoh, dan tidak tahu kemana dan dimana aku akan
hidup selanjutnya...Dia mendengarkanku dengan teliti, bahkan semua
komplain-komplainku dia dengarkan.
Kemudian, yang terjadi selanjutnya sangatlah penting! Setelah aku terus
menggerutu, aku berkata, ‘seorang hostess bukanlah pekerjaan yang tepat bagi
seorang idiot. Aku tidak cocok di pekerjaan ini karena aku sangat bodoh’.
Pria itu mendengarkanku dari tadi, dan dia menaruh gelas minumannya di
meja. Suara hentakan meja - gelas tersebut terderngar sangat keras sehingga
mengejutkanku, kupikir dia marah atau semacamnya. Ternyata bukan itu, dan dia
mengatakan sesuatu kepadaku dengan wajah yang serius.
‘Yang kau katakan adalah alasan-alasan induktif. Orang bodoh tidak akan
mengatakan seperti itu...Kau jelas-jelas bukan orang bodoh.'
Aneh, bukan? Meski dia mengatakan alasan yang masuk akal, aku tahu kalau
sebenarnya dia hanya mencoba untuk menghiburku...Aku memang sedikit tergerak.
Tidak ada yang pernah mencoba bersimpati kepadaku.
Dan kemudian, pria itu menepuk pundakku dan berkata.
‘Kau jauh lebih pintar daripada diriku ketika seumuranmu...Buktinya kau
menggunakan tanganmu sendiri untuk mendapatkan uang. Tidak peduli apa alasanmu
dibully orang, kau tidak boleh merasa malu.’
...Ketika aku mendengar itu, aku merasa kalau itu adalah pertamakalinya
bagiku ada orang bersimpati kepadaku. Tidak, atau lebih
tepatnya, aku yang membiarkan dia
melakukannya...Dan dia benar-benar melakukannya. Hanya itu saja, aku biarkan
dia mendekatiku, dan akhirnya kita menikah. Kukuku, memang umur kami terpaut
jauh, dia juga agak eksentrik, dan banyak sekali gosip miring tentangnya, tapi
aku tidak peduli dengan kata orang. Puluhan tahun kita lewati dengan kehidupan
yang bahagia. Dia memang terlihat menakutkan, benar tidak? Tapi dia benar-benar
gentleman. Dia mungkin pernah melalui masa-masa sulit, dan aku kadang kasihan.
Aku seperti kasihan kepada pria yang baik itu karena masih mau menikah
dengan wanita sepertiku!
x x x
Setelah itu, Shinobu membusungkan dadanya
ketika menceritakan kebaikan-kebaikan suaminya itu.
“Bagaimana? Dia benar-benar pria yang baik,
bukan?”
Kali ini, aku merasa kasihan, kasihan kepada
Sakaguchi. Dia pasti merasa kesulitan untuk mengaku kepada istrinya, yang
sangat mempercayainya, kalau dirinya dulu pernah terlibat tindakan kriminal,
dan aku cukup paham mengapa dia harus membohongi istrinya dengan mengatakan
ikut pelatihan di biara.
“Apa ada yang aneh dari suamimu belakangan
ini?”
Tanya Shinokawa, dan Shinobu menunjukkan
ekspresi khawatir.
“Bulan lalu, dia agak aneh. Dia lebih pendiam
dari biasanya, dia tidak tersenyum, dan tidak melihat ke arah mataku
lagi...D-Dan juga, kacamata itu! Dia membelinya baru-baru ini. Kacamata itu
terlihat murahan! Itulah bagian teranehnya!”
Kurasa bagian teranehnya itu adalah hal yang
paling tidak penting. Shinokawa menunjukkan sampul buku Perkenalan Logika
kepadanya untuk dilihat.
“Apa dia mengijinkanmu untuk membaca buku
ini?”
“Tidak.”
Dia mencondongkan kepalanya.
“Dia menganggap itu sebagai buku
kesayangannya, dan aku tidak tahu kenapa bisa begitu meski aku mencoba
membacanya...Ah, tapi ketika aku membersihkan rumah, aku tidak sengaja membuat
halaman buku itu sedikit terbuka. Buku itu dia simpan di lemari peralatan
makan, dan buku itu berdebu. Aku mengambilnya dan tidak sengaja halamannya terlihat.”
Dengan kata lain, dia membuka buku itu.
Tampaknya ini jelas sekali, bahkan wajah Shinokawa mengatakan begitu – wajah
yang sama ketika dia menemukan kebenaran dari Koleksi Karya Soseki.
“...Apa suamimu ada di rumah waktu itu
terjadi?”
“Sepertinya begitu...Ah, well, mungkin. Dia
kusuruh ke lorong dulu ketika aku hendak membersihkan ruangan itu, dan dia
memilih untuk mendengarkan radio di beranda rumah. Belakangan ini, dia memang
suka mendengarkan radio...”
“Begitu ya..”
Shinokawa menggumamkan itu. Kurasa aku juga
tahu kebenarannya – stempel ijin untuk membawa buku pribadi ke sel dari kepala
penjara yang ada di belakang buku itu sudah cukup untuk membuktikan kalau
Masashi Sakaguchi pernah berbuat kriminal. Kalau diketahui, mungkin bisa menyebabkan
pernikahannya hancur. Dia pasti berpikir seperti itu, dan dia memutuskan untuk
menyingkirkan buku itu secepatnya.
“Kalau begitu, bolehkah kupinjam sebentar
bukunya? Aku ingin melihat-lihat buku itu.”
Kata-kata dari Shinobu membuatku membuka
lebar-lebar kedua mataku, dan Shinokawa mulai terlihat gugup.
“Ah, aku tidak hendak membawanya pulang. Aku
hanya ingin tahu ada apa dengan buku ini. Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah
membacanya. Hei, mengintip sedikit boleh kan?”
Dia tersenyum dan menjulurkan tangannya ke
arah kami. Aku langsung memotongnya.
“Well, mungkin ada sesuatu yang suamimu
sendiri tidak ingin orang lain tahu soal buku ini...”
“Goura-san!”
Shinokawa mengingatkanku, membuatku terdiam.
Tidak bagus, aku hampir saja mengatakan sesuatu yang tidak perlu – tapi
Shinokawa mencondongkan kepalanya.
“...Bukan, bukan itu maksudku.”
“Eh?”
Apa aku salah? Apa yang kukatakan itu salah?
Ketika menjalani hukuman penjara, Sakaguchi
memiliki buku Perkenalan Logika, dan Kepala Penjara memberi stempel properti
kepemilikan untuk membedakan itu buku milik Sakaguchi dengan buku koleksi
perpustakaan penjara. Istrinya tidak sengaja membuka buku itu belakangan ini,
dan dia datang ke toko kami untuk menjual bukunya – dengan kata lain, dia
melakukan ini untuk menyembunyikan fakta kalau dia adalah pelaku kriminal di
masa lalu. Memangnya ada alasan lain?
“Ada apa? Ada masalah?”
Shinobu melihat ekspresi kami yang membisu,
dan akhirnya menatap ke arah buku Perkenalan Logika.
“Apa ada sesuatu dengan buku ini?”
Shinokawa tidak menjawabnya. Kamar pasien ini
sangat sunyi – aku mulai menyesal karena terburu-buru menjawabnya. Kalau
kubiarkan dia melihat buku ini, mungkin dia akan memaklumi sikap kami karena
ada stempel dari penjara itu. Tapi, kami terlihat lebih mencurigakan lagi jika
tidak mengijinkannya untuk melihat bukunya. Kami seperti kehabisan opsi.
Lalu, ada yang mengetuk pintu. Akupun
bernapas lega.
“...Silakan masuk.”
Shinokawa menjawab, dan pintu kamar ini
terbuka. Seorang pria yang tinggi memakai setelan jas dan kacamata. Dia
terlihat buru-buru masuk ke dalam ruangan.
“Ah, Masa!”
Shinobu melambai-lambaikan tangannya dengan
gembira.
Orang yang masuk ke ruangan ini adalah
Masashi Sakaguchi.
x x x
“Silakan duduk.”
Shinobu Sakaguchi menarik kursi bundar
terdekat dan duduk di sebelah istrinya. Mereka tampak serasi jika duduk
bersama, terlihat seperti seorang putri yang sudah lama tidak pulang dan
bertemu ayahnya...Daripada sepasang suami-istri.
“Sayang, kenapa kau kesini?”
“Ada perubahan rencana mengenai besok. Akupun
menelpon Toko Biblia, dan kudengar kau mampir kesana dan sekarang ada di rumah
sakit, jadi aku datang kesini.”
Sakaguchi menggumamkan itu, dan menambahkan
sesuatu.
“Kalau bisa, jangan panggil aku ‘Masa’ di
depan orang luar. Bukankah sudah kuberitahu?”
“Ah, maaf. Erm, Masa...shi! Jangan jual buku
itu!”
Tiba-tiba dia langsung saja to the point ke pangkal masalah kasus
ini, dan Masashi tiba-tiba terdiam sejenak.
“Maaf, aku sudah memutuskannya sejak lama.
Aku putuskan untuk menjualnya karena aku merasa tidak membutuhkannya lagi.”
“Kenapa kau katakan kalau kau tidak
membutuhkannya!? Bukannya kau selalu menganggap buku itu adalah barang berharga
milikmu?”
Shinobu mengatakan itu sambil menunjuk ke
buku Perkenalan Logika.
“Bukankah buku itu yang mengubahmu menjadi
pria yang mempesona di mataku?! Bukankah buku itu menjelaskan teori silogisme
kepadamu? Jadi buku itu secara tidak langsung berpengaruh terhadap hidupku!”
“...Aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Itu sama seperti aku mulai terpesona olehmu!
Bukankah kau dulu menciumku setelah kau menembakku!?”
Sakaguchi menatap kami berdua. Ekspresinya
tidak berubah, tapi mulai terlihat banyak sekali keringat di lehernya. Aku
sungguh kasihan dengannya; dulu ada kata-kata bijak dari seorang wanita, ‘bahkan rahasia sekecil apapun menjadi
penting untuk dibuka dalam hubungan pernikahan’.
“Setidaknya beritahu aku kenapa kau ingin
menjualnya. Kau belakangan ini bersikap sangat aneh. Kau tidak banyak bicara,
tidak tampak bersemangat, dan kau memakai kacamata itu! Ngomong-ngomong,
tampilanmu seperti orang aneh!”
Wanita ini memaksa sekali soal kacamata itu.
Mendengarkan kata-katanya, Sakaguchi memalingkan wajahnya. Kenapa begitu? Apa
karena kacamata itu?
“...Sakaguchi-san.”
Shinokawa mengatakan itu dengan perlahan.
“Orang-orang terdekatmu lambat laun akan tahu
soal ini. Ini bukanlah sesuatu yang bisa kau sembunyikan...Ini adalah sesuatu
yang berbeda dengan itu.”
Dia mengatakan itu dengan menekan akhir
kalimatnya. Ini agak aneh; dia jelas-jelas memberitahu kalau ada rahasia lain
selain dirinya mantan narapidana. Kupikir dia hendak mengatakan ‘Bukan soal
rahasia itu’ – tapi kira-kira apa yang orang-orang terdekatnya akan tahu soal
dirinya?
“Hmm...”
Wajah Sakaguchi menjadi pucaat. Tampaknya dia
sadar kalau Shinokawa sedang membicarakan catatan kriminalnya. Kedua matanya
menatapnya dengan tajam.
“Tampaknya kau tahu semuanya.”
Aku hampir menaikkan tanganku – tidak, aku
tidak paham. Memangnya ada rahasia lain selain insiden perampokan 40 tahun
lalu? Bagaimana Shinokawa tahu? Aku harusnya menyadari itu.
“Aku paham kalau kau ini tidak begitu bagus
dalam menceritakan dirimu sendiri.”
Shinobu mengatakan itu.
“Tapi jika ada masalah, tolong beritahu aku.”
Sakaguchi melepaskan kacamatanya. Dia menatap
sejenak wajah istrinya itu, dan setelah itu, dia berbicara dengan pelan.
“...Bahkan dari atas, aku tidak bisa melihat
wajahmu dengan jelas. Aku tidak tahu apakah kedua matamu sedang tertutup atau
terbuka.”
“Eh...”
Istrinya tiba-tiba terkejut.
“Mataku ada sedikit gangguan. Karena mataku
ada masalah ketika muda dulu, membuatku menderita penyakit yang sulit
disembuhkan. Gangguan penglihatan ini semakin memburuk...Aku menjual buku itu
karena aku tidak bisa membaca buku lagi.”
Kesunyian kembali melanda ruangan ini.
Sakaguchi lalu menatap kami.
“Kau tahu dari mana? Aku ingin
merahasiakannya.”
Aku ingin tahu juga – apakah memang ada
petunjuk yang mengarah ke situ? Akupun melihat ke arah Shinokawa.
“...Petunjuknya adalah slip yang kau tulis di
Toko Biblia ini.”
Dia mengeluarkan slip dari buku itu.
Sakaguchi mendekat untuk melihatnya.
“Ini tulisanmu di toko kami, Sakaguchi-san.
Huruf-hurufnya banyak yang keluar dari kotak kolom...Ini hal yang aneh bagi
seseorang yang punya sifat cermat.”
“...Ternyata aku menulis keluar dari kotak
secara tidak sadar.”
Sakaguchi menggumamkan itu.
“Aku sendiri tidak begitu jelas apa yang
kutulis...Kau bisa menyimpulkan itu dari itu saja?”
“Tidak. Aku dapat info lagi dari cerita
istrimu tentang aktivitasmu belakangan ini. Kau mulai mendengarkan radio karena
kau kesulitan membaca koran, kau memakai kacamata untuk melindungi matamu dari
cahaya matahari, dan buku paling berhargamu terlihat berdebu...Itu karena
penglihatanmu memburuk.”
Aku seperti orang bodoh saja. Karena dia
menjelaskan itu, kurasa itu memang masuk akal.
Shinokawa ini, tidak pernah mengobrol dengan
Sakaguchi sebelumnya. Dia bahkan tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dari
istrinya hanya dari info-info; dia benar-benar punya rasa ingin tahu yang
besar.
“...Tapi mengapa kau tidak memberitahu
istrimu?”
Aku bertanya ke Sakaguchi. Biasanya, dia akan
memberitahu orang terdekatnya soal itu. Tapi, Sakaguchi merendahkan tatapan
matanya.
“Penglihatanku memang mulai memburuk, dan
mulai saat ini, aku mungkin mengandalkan bantuan orang lain. Aku hampir pensiun
dari perusahaanku, dan akan sulit sekali mencari pekerjaan. Kami berdua mungkin
selama ini hidup dengan sulit...Dan dia sudah menderita banyak dari menikahiku
yang berusia jauh di atasnya. Aku ingin menenangkan pikiranku sebelum
mengatakan ini.”
Sakaguchi menatapku. Untuk pertamakalinya,
aku menyadari kalau dirinya tidak bisa melihatku dengan baik, dia tidak bisa
melihat posisiku dengan jelas.
“Memang benar kalau ada beberapa hal yang
sulit dijelaskan ke keluargamu. Mungkin banyak orang yang berpikir demikian,
tapi aku bukan salah satu dari mereka.”
Aku tahu yang dia maksud adalah catatan
kriminalnya. Sakaguchi adalah seseorang yang hidup dengan menyimpan rahasia
yang besar. Mungkin sikapnya yang bersikap jujur itu seperti menentang apa yang
dia perjuangkan selama ini.
“Maaf sudah menyembunyikannya darimu selama
ini.”
Dia merendahkan kepalanya di depan istrinya.
Shinobu menyilangkan lengannya. Ekspresi kurang senang ini tidak cocok
dengannya, mungkin karena dia terlihat kekanakan. Tidak lama kemudian, dia berkata.
“Aku tidak paham, Masa.”
Dia menyebut Sakaguchi dengan nama itu lagi,
dan kali ini, dia tidak komplain dengan itu.
“...Memangnya bagian mana yang tidak kau
mengerti?”
“Kenapa kau ingin menjual buku itu?”
“Bukankah sudah kubilang? Aku tidak bisa
membacanya lagi. Buku itu ada untuk dibaca, dan kuharap buku ini bisa kuberikan
ke seseorang daripada kubuang...”
“Kenapa kau tidak memintaku yang membacanya
untukmu?”
Dia mengatakan itu begitu saja, dan
melanjutkannya kata-katanya di depan Sakaguchi yang masih terkejut.
“Ini kan
buku yang paling berharga untukmu, benar, Masa? Aku akan membacakannya untukmu
setiap hari. Aku belum pernah membaca buku seperti ini, jadi mungkin caraku
membaca akan terkesan buruk. Hei, bukankah itu sudah cukup bagus?”
Dia mengatakan itu sambil menggerutu.
“Tidak masalah kalau kau kesulitan untuk
mengatakannya. Tidak peduli kau bisa melihat atau tidak, Masa, aku akan selalu
bersamamu...Kalau begitu, jika ada hal lain yang ingin kau katakan kepadaku,
aku bisa mendengarkannya...Aku jelas akan lebih bahagia.”
Sakaguchi yang diam seperti patung, kemudian
tersenyum.
“...Aku paham. Terima kasih.”
Dia lalu berdiri, dan mendekati kasur
Shinokawa.
“Maaf nona, kurasa aku tidak ingin menjual
buku ini. Bolehkan kuminta nona untuk mengembalikan buku itu kepadaku?”
Shinokawa mengangguk, dan memberikan buku itu
ke Sakaguchi.
“Tentu. Silakan anda miliki kembali.”
Dengan buku di tangannya, Sakaguchi menoleh
ke istrinya.
“Apa kau masih punya waktu sebelum jam
kerjamu dimulai? Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu di suatu tempat.”
“Kurasa bisa.”
Shinobu mengatakan itu sambil berdiri. Kurasa
aku bisa bernapas lega, setidaknya insiden ini terselesaikan tanpa memberitahu
kalau Sakaguchi punya catatan kriminal. Tanpa ragu kupikir Shinokawa berniat
untuk membiarkan mereka membicarakan masalah itu secara pribadi setelah
menjelaskan apa yang terjadi dengan penglihatan Sakaguchi.
Entah kapan itu akan terungkap, mungkin
Sakaguchi akan mempertimb-
“...Sebenarnya, aku juga ingin mengatakan
sesuatu.”
Sakaguchi tiba-tiba berkata. Aku masih
diselimuti perasaan lega, dan istrinya menatap Sakaguchi dengan penasaran.
“Ada apa?”
“Aku dulu pernah masuk penjara.”
“Eh?”
“Eh?”
Malah Shinokawa dan diriku yang mengatakan
itu, sedang Shinobu hanya diam saja. Dia berhasil menyembunyikan catatan
kriminalnya, kenapa dia harus mengatakannya?
“Aku bohong ketika aku bilang aku dulu pernah
berlatih untuk menjadi biksu. Waktu usiaku 20, aku dipecat dari pekerjaanku,
dan aku tidak punya uang sama sekali...Kupikir jika aku punya uang banyak, maka
aku tidak perlu khawatir dengan hidupku. Aku mencuri mobil dan senapan berburu
dari rumah temanku dan merampok bank terdekat. Dan tentunya, aku ditahan tidak
lama kemudian.”
Dia menjelaskan itu seperti penyiar berita
saja. Shinobu membuka mulutnya lebar-lebar seperti terkejut dan menatap terus
ke arah wajah suaminya. Sakaguchi menunjuk ke bekas luka yang ada di dekat
matanya.
“Luka ini disebabkan kecelakaan di kejadian
itu...Aku meminta maaf karena menyembunyikan masalah ini darimu hingga saat
ini.”
Sakaguchi merendahkan kepalanya. Aku tidak
tahu ekspresinya seperti apa, tapi punggungnya seperti bergetar. Tanpa sadar, kepalan
tanganku mulai berkeringat karena adegan ini; ini adalah pengakuan terberat yang
dia buat dalam 20 tahun terakhir.
Istrinya menarik napas yang dalam dan melihat
wajahnya. Dialah yang memecah kesunyian ini.
“Serius, kenapa kau begitu serius...Apa kau
memikirkan sesuatu?”
Dia lalu merangkul lengan suaminya.
“Aku sudah tahu itu sejak dulu.”
“Eh?”
“Eh?”
Baik Shinokawa dan diriku mengatakan hal yang
sama. Kali ini, kamilah yang terkejut oleh sikap keduanya.
“Kau tahu...?”
Sakaguchi bertanya itu ke Shinobu.
“Ya. Semua orang yang tidak idiot pasti tahu
itu.”
Dia tersenyum ke suaminya.
“Aku bukanlah idiot, benar tidak? Oleh karena
itu aku sudah tahu itu...Ah, apa ini silogisme?”
“Ah, ya...Itu benar.”
Keduanya menoleh ke arah kami, dan
mengangguk, lalu mereka berjalan keluar dari kamar ini sambil berpegangan
tangan.
“...Aku bersyukur sudah menikah denganmu.”
Sakaguchi menggumamkan itu, dan dia menutup
pintu kamar ini.
x x x
Ruangan ini terlihat luas sekali setelah
kepergian pasangan Sakaguchi, sepertinya angin ribut sudah pergi dari ruangan
ini.
“...Dia tahu itu sejak kapan?”
Tanyaku. Mungkin dia tahu setelah mereka
tinggal bersama, atau mungkin kebetulan.
“Tidak, sebenarnya dia tidak tahu.”
“Eh, bukankah dia barusan bilang sudah tahu?”
“Jika dia benar-benar tahu, dia tidak akan
menceritakan masa lalu suaminya dengan begitu ceria seperti tadi. Dia harusnya
bercerita dengan hati-hati agar kita tidak tahu mengenai rahasia suaminya.”
Aku teringat kata-kata Shinobu. Memang benar
jika dia tahu kalau suaminya itu mantan narapidana, dia tidak akan berbicara
tentang pelatihan biksu itu dengan mudahnya.
“Tapi kenapa dia berbohong...”
“Jika dia bilang tidak tahu, maka itu akan
membuat suaminya menjadi lebih tertekan, pria yang yang sudah bersamanya selama
20 tahun. Itu sendiri sebuah fakta, tapi Sakaguchi-san sendiri juga punya
masalah lain; dia tidak tahu harus bilang apa ke istrinya soal gangguan penglihatannya.
Istrinya tidak ingin melihat Sakaguchi-san merasa bersalah lagi...Kupikir
itulah alasannya. Tidak ada alasan lain untuk menjelaskan itu.”
“Ah...”
Akupun mengatakan kekagumanku. Jika itu
benar, dia tidak terbawa suasana oleh masa lalu memalukan suaminya, dan bahkan
mau berbohong sambil tersenyum. Seperti kata Sakaguchi, dia bukanlah orang
bodoh.
“Aku merasa Sakaguchi-san tahu kalau istrinya
berbohong. Secara logika, kata-kata istrinya tidak cocok...Tapi tidak ada
gunanya membahas itu. Dia merasa kalau itulah cara terbaik untuk menghargai
kebaikan istrinya.”
Aku selalu begini, terpesona oleh Shinokawa.
Aku merasa kalau dia akan bisa memecahkan segala misteri selama itu berkaitan
dengan buku.
Akupun menatap wajah Shinokawa. Dia selalu
membicarakan banyak buku dalam tiga minggu terakhir, tapi aku tidak tahu banyak
soal sifatnya yang lain. Yang kutahu hanyalah dia suka buku-buku tua, dan suka
membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kurasa dia ini mirip
Sakaguchi, kesulitan untuk menceritakan dirinya sendiri.
Kurasa itu tidak masalah. Sampai saat ini,
aku cukup bahagia.
“Kalau begitu, aku akan kembali ke toko.”
Aku meninggalkan adik Shinokawa untuk menjaga
toko untukku. Mungkin ketika aku kembali dia akan marah kepadaku karena lama
sekali tidak kembali ke toko.
Akupun membalikkan badanku. Tiba-tiba
jari-jari Shinokawa menarik kemejaku, dan dia terlihat menatapku dan hendak
mengatakan sesuatu.
“...Ada apa?”
Tiba-tiba, aku merasa suhu tubuhku mendadak
panas. Ini adalah kejadian pertamaku. Akupun duduk di kursiku kembali.
“Seandainya, aku seperti Sakaguchi-san yang
menyembunyikan sesuatu, apa yang akan kau lakukan?”
“Eh...?”
“Apa kau mau mendengarkan kebenarannya?”
Tampaknya dia bisa membaca apa yang
kupikirkan tadi. Akupun ragu. Apa yang sedang terjadi?
“...Aku ingin mendengarnya.”
Pikiranku kacau, tapi aku menjawabnya dengan
tenang. Dia memeriksa apakah pintunya tertutup atau tidak, dan kemudian mulai
berbicara.
“Goura-san, kau bertanya kepadaku
sebelumnya...Kenapa aku bisa cedera.”
“Ah, benar...”
“Dua bulan lalu, aku mengunjungi rumah teman
ayahku. Rumahnya ada di perbukitan, dan aku terpeleset dalam perjalananku di
jalan setapak ke rumahnya...Waktu itu hujan lebat...Jadi aku bilang kepada orang-orang selama ini kalau aku
terpeleset.”
“...Tapi apa yang sebenarnya terjadi?”
Dia mengangguk. Tanpa sadar, posisi kita
sangat berdekatan sehingga kening kita hampir bersentuhan.
“Aku tidak pernah menceritakan ini ke
siapapun...Apakah tidak masalah jika kuceritakan kepadamu, Goura-san?”
“...Ya.”
Jawabku. Jantungku berdetak kencang; entah
mengapa, aku seperti akan mendengar sesuatu yang menyeramkan.
“Ada yang mendorongku hingga terjatuh dari
jalan menanjak itu. Aku sudah 2 bulan ini mencari siapa pelakunya.”
Shinokawa menatapku, kedua matanya seperti
dipenuhi keinginan yang kuat – ekspresi seperti itu adalah ekspresinya ketika
dia memecahkan sebuah misteri.
x Chapter III | END x
Saya jamin masih banyak yang tidak bisa menghubungkan semua petunjuk dan menjadikan sebuah kesimpulan yang jelas dalam kasus ini. Pertama, alasan yang benar Sakaguchi menjual buku itu ke Biblia karena dia sudah tidak bisa membaca lagi, dan dia sendiri tahu istrinya tidak membaca buku. Penglihatan Sakaguchi mulai menurun. Alasan karena 'takut istrinya tahu soal dirinya mantan narapidana' bukanlah alasan yang valid dan mudah dibantah oleh berbagai fakta.
- Fakta paling mudah, Sakaguchi adalah karyawan perusahaan yang masuk reguler (pagi-sore). Sedang Shinobu karyawan bar yang masuk malam. Buku itu Sakaguchi simpan di rumah. Shinobu ada di rumah ketika siang, sedang Sakaguchi harus kerja di perusahaan. Artinya, selama 20 tahun Sakaguchi tahu kalau setiap harinya akan selalu ada resiko bukunya terbaca secara tidak sengaja oleh Shinobu. Apa Sakaguchi sebodoh itu membiarkan bom waktu tersimpan di rumahnya selama 20 tahun? Kecuali, Sakaguchi tidak mempermasalahkan jika suatu hari nanti istrinya tahu kalau dirinya mantan napi. Satu-satunya alasan Sakaguchi terus menyimpan buku itu di rumah karena dia masih sering membacanya.
- Seperti kata Shinokawa, buku Perkenalan Logika paling mahal 500Yen di pasaran. Jika memang selama ini hendak menghindari istrinya tahu soal perampokan itu, Sakaguchi tinggal membuang buku itu dan membeli buku sejenis di toko buku bekas. Dengan kata lain, Sakaguchi memang berniat memberitahu soal perampokan itu dan tidak berniat menyembunyikannya.
- Masalah menyembunyikan fakta mantan napi tidak ada hubungannya dengan salah satu sikap anehnya belakangan ini, yaitu memakai kacamata. Jika untuk menyembunyikan bekas luka, itu alasan terbodoh yang pernah saya dengar. Bekas luka itu sudah ada sejak 40 tahun lalu, dan sejak 20 tahun lalu Sakaguchi menikah dengan Shinobu. Sakaguchi baru memakai kacamata bulan lalu. Artinya Shinobu sudah tahu soal bekas luka itu sejak lama. Alasan tidak valid.
Alasan Shinokawa kalau Sakaguchi menjual buku itu karena sudah kesulitan untuk membaca, cocok dengan semua fakta.
Arrghh... Manis banget, saling memahami tanpa perlu kata-kata.
BalasHapus