x x x
Tanpa
ada yang menyadarinya, suasana diluar terlihat gelap sekali, seperti tidak ada
warna lain lagi yang terlihat, dan mulai menjadi pemandangan yang mengerikan.
Pemandangan sore ini mengingatkanku dengan suasana pertengahan musim panas.
Karena tidak ada pelanggan di toko, aku
merapikan buku yang ada di brankas kaca, dan di saat yang bersamaan mendengar
suara hujan deras yang mengguyur Toko Biblia. Keranjang yang berisi buku-buku
seharga 100Yen terlihat sudah ditutup dengan pelindung anti air. Kulihat
sejenak ke arah stasiun Kita-Kamakura, dan melihat ada beberapa orang sedang
berteduh di bawah atap halte bus. Meski, atap itu tidak bisa melindungi
sebagian besar area halte.
Aku melihat di meja kasir masih ada beberapa
buku yang berserakan, dan aku bergegas kembali ke dalam toko. Pintu yang
mengarah ke rumah utama di lantai atas terbuka. Seorang gadis berusia 16-17
tahun muncul, memakai kaos dengan lengan yang cukup lebar dan jeans. Dia
terlihat habis mencuci wajahnya setelah pulang dari sekolah, poninya terlihat
baru saja dikeringkan, dan diikat bandana. Gadis ini adalah adik dari
Shinokawa, Ayaka Shinokawa.
“Ahh, hujan!”
Dia mengatakan itu. Dulunya, dia sering
menatap ke arahku dengan curiga, tapi belakangan ini, hubunganku dengannya
tampaknya sudah mulai muncul rasa saling percaya. Tapi sikapnya yang percaya
denganku, membuatku tidak nyaman, mungkin lebih tepat jika dikatakan aku
khawatir dengannya. Apa dia lupa kalau
aku ini orang asing?
“Bagaimana pelanggan hari ini?”
“Tidak banyak...Lagipula ini kan hari kerja.”
Aku menjawabnya sambil melanjutkan
pekerjaanku di brankas kaca.
“Jadi bisnis kita ini tidak berjalan dengan
baik ya? Toko ini tidak akan gulung tikar kan?”
Dia mengatakan ramalan semacam itu dengan
tenang sekali, membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa. Sudah sebulan aku
bekerja disini, dan aku tahu kalau penjualannya memang menurun jika
dibandingkan beberapa bulan lalu. Lagipula, sudah dua bulan sejak pemilik toko
ini, yang mengerjakan mayoritas transaksi bisnis, tidak muncul di toko ini.
Tidak mengherankan jika penjualannya menurun.
Akupun menaruh sebuah buku, dengan sampul
parafin, di rak. Sampulnya, memang terlihat buram dan memutih, dan tertulis
judul Belakangan Ini. Sampul yang
berwarna kuning itu ada tulisan ‘Rekomendasi dari Haruo Sato dan Masuji Ibuse’.
“Eh? Buku itu!?”
Ayaka Shinokawa berteriak karena kaget.
“Bukankah buku itu sangat mahal dan disimpan
sejak lama di rumah kami? Siapa tuh
penulisnya, aku lupa? Dia sangat terkenal. O-O-O...”
“...Osamu Dazai.”
Akupun membantunya untuk mengatakan itu. Buku
ini adalah koleksi karya-karya pertama Osamu Dazai, terbit pada tahun ke-11 era
Showa – sayangnya aku tidak tahu apa isinya karena aku tidak bisa membaca.
“Jadi buku ini juga dijual? Kakakku itu
bersikeras kalau dia tidak akan pernah menjual buku ini apapun yang terjadi.
Jadi ternyata penjualan buku-buku di Toko ini benar-benar memburuk?”
Ketika aku hendak mengunci brankas kaca
tersebut, aku menatap bayangan wajah gadis itu yang terlihat di kaca.
“...Apa ada pelanggan yang bertanya tentang
buku ini?”
“Belum.”
“Cara bicaramu mirip sekali dengan kakakku
sekarang. Dia selalu menjawabnya dengan singkat...Apa ada pelanggan yang bilang
mereka tertarik dengan buku ini? Kalau ada, tolong beritahu aku. Hei, apa ada
sesuatu yang membuat buku ini ditaruh disini?”
“Tidak...Tidak ada.”
Aku sebenarnya berbohong. Detail soal ini
adalah rahasia diantara Shinokawa dan diriku.
Adik Shinokawa berdiri di sampingku, menatap
ke buku Belakangan Ini dibalik kaca.
Lalu dia menggumam.
“Seingatku, buku ini harusnya ada di kotak
besi yang berada di kamar kakakku di RSU.”
“Hmm, well...”
“Apa buku ini memang terlihat sebersih ini
sejak awal kau memasukkannya ke brankas kaca?”
Aku berhenti sejenak. Dia tidak seperti
kakaknya, dia ternyata sangat teliti. Dia mengatakan poin penting dimana ini
tidak pernah terpikirkan olehku.
“Kalau tidak salah, buku ini harusnya
terlihat sangat kotor ketika aku terakhir kali melihatnya...Kalau tidak salah,
itu di bagian ujung bukunya.”
Aku tidak ingin melibatkannya. Apa yang harus
kulakukan agar dia tidak terus-terusan mengamati buku ini? – tepat ketika aku
terus memikirkan itu, ada cahaya yang berwarna biru-putih bersinar terang
diluar toko, lalu diikuti suara petir.
“Ooh!”
Ayaka Shinokawa terkejut. Tapi dia tidak
terlihat terkejut, bisa dibilang dia terkagum-kagum. Dia lalu membuka pintunya
dan melihat ke langit yang dipenuhi awan hitam dan berpetir.
“Barusan itu luar biasa. Sepertinya kena di
daerah dekat-dekat sini!”
Banyak sekali bukit di Kita-Kamakura; bukan
pemandangan aneh jika melihat ada menara yang tersambar petir.
Sejenak, aku teringat dengan Shinokawa yang
ada di rumah sakit. Saat ini, dia pasti sedang sendirian melihat ke arah langit
di kamar pasien. Mungkin dia tidak suka melihat petir di hari yang hujan. Dua
bulan lalu, seseorang mendorong Shinokawa terjatuh dari batu pijakan; hari
dimana terjadi hujan badai, seperti sekarang ini.
Aku mendengar rahasia Shinokawa minggu lalu,
tepat setelah Sakaguchi dan istrinya keluar dari kamarnya.
x x x
“...Kau didorong seseorang? Apa maksudmu?”
Sangat sulit bagiku untuk memahami apa yang
dia maksud ketika dia bilang ‘didorong orang’.
“Sebelum ke situ, ada sesuatu yang ingin
kutunjukkan kepadamu.”
Dia melepas kancing paling atas dari
piyamanya. Tulang selangkanya terlihat jelas olehku. Aku menyaksikannya dengan
mematung, dan dia mencari-cari sesuatu di balik piyamanya.
Dia mengambil sebuah kunci kecil yang dia
gantung di lehernya, dan memberikan kunci yang masih terasa hangat itu
kepadaku.
“...Tolong ambilkan isi dalam brankas besi
itu.”
Dia menunjuk ke sebuah kotak besi disamping
kasurnya. Aku memang tahu kalau disana ada kotak besi kecil, tapi aku tidak
pernah menyangka kalau akan ada sesuatu di dalamnya.
Aku mengikuti instruksinya, dan membuka
brankasnya. Ada sebuah benda berbentuk persegi dibungkus semacam fukusa, dan
terasa ringan di tanganku. Aku duduk kembali ke kursiku, membuka pembungkus
parafin itu, dan ternyata ada sebuah buku di dalamnya. Buku itu berjudul Belakangan Ini, dan ada cetakan
bertuliskan rekomendasi dari Haruo Satou di atasnya.
Bagi sebuah buku tua, ini bisa dibilang dalam
kondisi yang bagus, aku bisa menebak kalau ini adalah buku bekas. Aku sendiri
tidak pernah mendengar judul Belakangan
Ini. Jika kuingat lagi...
“Belakangan
Ini adalah buku pertama tulisan Osamu Dazai. Buku ini diterbitkan oleh
Sunagoya Bookstore pada tahun ke-11 Showa.”
Akupun mengangguk. Aku tidak pernah mendengar
itu sebelumnya, tapi aku tertarik dengan isinya.
“Kakekku memperoleh buku ini dari temannya.
Kakekku mewariskannya ke ayahku, dan dari ayahku diwariskan kepadaku. Ini
bukanlah buku yang hendak kujual, mungkin lebih tepatnya buku koleksi
pribadiku.”
Aku membolak-balikkan halamannya beberapa
kali, aku melihat sesuatu yang tidak normal dari buku ini. Banyak sekali
halaman yang saling bersambung dengan halaman lainnya, dan semua halaman di
buku ini disatukan oleh ikatan benang di salah satu sisinya. Meski begitu, aku
hanya bisa membolak-balik saja, tanpa bisa membacanya. Ini pertamakalinya aku
melihat ada buku yang seperti ini.
“...Ini sepertinya buku hasil cacat cetak.”
Dia lalu mencondongkan kepalanya.
“Itu edisi ‘uncut’.”
“Uncut?”
“Biasanya, buku itu digabung menggunakan
benang seperti ini, lalu bagian atas, bawah, dan sampingnya dipotong oleh
mesin. Jadi buku jenis ‘uncut’ itu adalah buku yang diterbitkan tanpa memasuki
proses pemotongan...Dulu banyak sekali buku yang dicetak seperti itu.”
“Jadi bagaimana kalau aku ingin membaca ini?”
“Potong benangnya dan baca seperti selembar
kertas yang sangat panjang.”
Begitu ya, sambil terkesima, tiba-tiba
tanganku terdiam – kalau begitu, benang buku yang terlihat tua dan masih menempel,
itu artinya tidak ada satupun yang membuka buku ini untuk dibaca. Apa karena
buku ini harganya mahal?
“Huh...”
Aku menemukan sesuatu yang aneh lagi. Ketika
aku melihat sampul bagian dalamnya, aku menemukan tulisan tangan.
“Bagi
seluruh makhluk hidup, yang hidup dengan apa yang diyakininya. Kita semua
ditakdirkan menjadi pendosa.”
Ada nama ‘Osamu Dazai’ tertulis di pinggir.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
“Apa ini...Tulisan asli penulisnya?”
Aku sudah tahu jawabannya sebelum dia mengangguk.
Ini jelas-jelas berbeda dari tulisan palsu yang kulihat di Koleksi Karya
Soseki. Aku merasa tulisan ini seperti ditulis penulis bukunya sendiri, dimana
aku hanya mengenal namanya saja, meski begitu...aku merasa seperti melihatnya
hidup dengan membaca tulisan tangannya.
“Belakangan
Ini adalah buku yang terbit ketika Dazai berusia 27 tahun. Itu adalah
kumpulan cerita-cerita pendek yang dia tulis, tapi semua cerita di buku itu
tidak ada satupun yang berjudul Belakangan
Ini.”
“Kalau begitu, kenapa judul bukunya Belakangan Ini?”
“Dazai berniat untuk menjadikan cerita-cerita
yang dia tulis sebagai surat wasiat. Dia bahkan mencoba bunuh diri dengan
tenggelam bersama seorang wanita sebelum menjadi novelis. Waktu itu bertempat di
Koshigoe, dekat tempat ini...Tentunya, itu bukanlah usaha bunuh dirinya yang
terakhir.”
Aku pernah dengar cerita itu. Kalau tidak
salah dia melompat ke saluran air Tamagawa bersama seorang wanita.
“Hanya ada 500 buku edisi pertama. Semua
buku-buku tersebut rilis dalam bentuk ‘uncut’, dan setiap buku ada tulisan
tangan asli dari Dazai. Kurasa hanya buku inilah edisi perdana yang masih
ada...Aku tidak ada rencana mengenai buku ini, tapi jika seandainya dijual di
toko milikku...Aku akan menjualnya lebih dari 3 juta Yen.”
Akupun menelan ludahku. Sampai saat ini, aku
belum pernah menyentuh buku yang semahal itu, dan sekarang ada di tanganku.
“Tapi bagiku, harga buku ini tidak ada
hubungannya dengan uang. Apa yang Osamu Dazai tulis dibalik sampul buku itu
adalah yang paling berharga.”
Aku sekali lagi melihat tulisan tangan Dazai
itu.
“Dia pasti menulis kalimat itu untuk
menyemangati kenalannya ketika memberikan buku ini. Aku pernah melihat buku
lain dengan kalimat yang mirip dengan itu...Kupikir kata ‘Pendosa’
merefleksikan diri si penulis itu. Buku ini tidak punya kalimat yang seperti
itu, tapi kalimat serupa muncul di cerita pendek berjudul ‘Burung Camar’.”
Aku mengulang-ulang kata ‘pendosa’ itu di
mulutku.
“Apa dia ingin mengatakan kalau semua orang
adalah orang jahat?”
“Aku tidak mau langsung percaya begitu
saja...Menurutku, dia bermaksud mengatakan kalau mereka yang hidup itu memikul
beban yang berat.”
Karena semua orang punya beban berat yang
dipikul, kita semua bisa hidup dengan rasa percaya diri. Apa itu artinya? – Aku
tidak tahu apa ini semacam kalimat penyemangat atau bagaimana.
“Aku sangat menyukainya karena dia seperti
membicarakan tentang dirinya. Kalimat yang semacam inilah yang aku suka...”
Aku membuka mataku lebar-lebar. Ini mungkin
pertamakalinya aku mendengar Shinokawa membicarakan apa yang ada di pikirannya.
Aku terkejut dengan komentarnya ‘memikul beban berat’; mungkin dia ingin
mengatakan kalau dia menyukai buku-buku.
“Ada seseorang yang menyukai kalimat yang
sama denganku, seorang penggemar fanatik dari Dazai...Orang itulah yang
mendorongku dari batu pijakanku.”
Dia mengatakan itu sambil melihat ke arah
kakinya, lalu memandang lurus ke depan.
“...Siapa dia?”
“Aku tidak tahu nama asli atau identitas
lainnya...Satu-satunya hal yang asli darinya adalah dia sangat menginginkan
ini, buku Belakangan Ini.”
x x x
Tanpa sadar, cahaya matahari sore mulai
terlihat meredup, dan Shinokawa menjelaskan padaku apa yang terjadi dengannya.
“Buku ini bukanlah produk yang dijual begitu
saja, tapi sesuatu yang diwariskan kepadaku ketika aku dipercaya mengurus Toko
Biblia. Ayah memberitahuku kalau aku boleh melakukan apapun dengan buku ini
jika dia meninggal...Tapi aku selalu menyimpannya di dalam rumah, dan tidak
pernah menunjukkannya ke siapapun...Kecuali satu kali.”
“...Kapan?”
“Apa kau tahu Museum Literatur di Hase?”
Aku mengangguk. Dulu aku pernah kesana.
Gedungnya, merupakan bekas gedung bergaya barat, dimana museum itu menampilkan
banyak sekali karya-karya terkenal dan barang-barang yang berkaitan dengan
penulisnya. Museum Literatur itu merupakan salah satu tempat wisata terkenal
seperti Patung Budha Kamakura.
“Tahun lalu adalah 100 tahun kelahiran Osamu
Dazai, dan museum mengadakan pameran. Pihak museum memintaku untuk menampilkan
buku ini, jadi buku ini kupinjamkan ke museum.”
Aku mulai mengingat sesuatu, aku memang
pernah ingat dimana – atau tepatnya melihatnya entah dimana.
“Aku pernah baca di internet, kalau toko kita
ini memang pernah meminjamkan beberapa buku untuk pameran...”
Itu waktu aku pertamakali bekerja di toko
itu. Ketika mencari info mengenai Toko Biblia di internet, aku menemukan toko
ini banyak sekali dibicarakan di sebuah forum penggemar buku. Mungkin, mereka
sedang membicarakan buku ini.
“Ya, itu salah satunya...”
Shinokawa terlihat suram ketika mengatakan
itu.
“Pihak museum memberikan jaminan akan
merahasiakan fakta kalau buku itu dipinjam dari toko kita, tapi ada seseorang
yang tahu. Memang, dulu kakek dan ayahku pernah memperlihatkan buku ini ke para
pelanggan yang mengunjungi Toko Biblia...Tapi masalahnya adalah sekarang banyak
orang tahu kalau aku memiliki buku ini. Setelah pameran selesai, aku menerima
sebuah email.”
Dia membuka layar laptopnya, cahaya layar LCD
laptopnya terlihat mendominasi pencahayaan ruangan ini. Aku melihat ke layar,
dan ada sebuah email tanpa nama pengirim.
Kepada Nona Shinokawa, Pemilik Toko Buku
Bekas Biblia.
Halo, namaku Yozo Oba.
Beberapa hari lalu, aku mampir ke Kamakura,
mengunjungi Museum Literatur terdekat, dan melihat karya Osamu Dazai yang
berjudul Belakangan Ini dimana itu
dipinjam dari toko buku anda. Buku itu sangat indah, saking indahnya hingga
mampu mencuri napasku, tidak lupa saran yang ditulis oleh penulisnya langsung
terasa sangat menarik.
Bagi
seluruh makhluk hidup, yang hidup dengan apa yang diyakininya. Kita semua
ditakdirkan menjadi pendosa.
Tolong jual buku ini kepadaku dengan segera, dan
tolong rahasiakan email ini. Tulis saja berapa uang yang kau mau, nomor
rekeningmu, dan cara pembayarannya. Tentunya, kita berkomunikasi lewat email ini.
“...Awalnya, kukira email ini semacam ulah
jahil orang-orang saja.”
“Kenapa begitu?”
Aku langsung memotongnya. Isi emailnya berisi
sebuah ketertarikan yang luar biasa, tapi tidak ada keanehan di dalamnya.
“Karena orang itu mengaku bernama Yozo
Oba...Nama itu adalah nama tokoh utama di cerita pendek Petals of Buffonery yang menjadi salah satu cerita pendek di buku Belakangan Ini.”
Jadi begitu ya. Aku mengangguk. Dengan kata lain,
nama orang ini adalah palsu.
“Sangat aneh bertransaksi dalam jumlah yang
sangat besar tidak lewat telepon, tapi lewat email...Lagipula, aku tidak
berniat untuk menjualnya. Meski, aku sudah menulis email balasannya, kutulis
kalau buku ini tidak dijual, buku ini adalah koleksi pribadi. Lalu, aku
mendapatkan email lain kurang dari 5 menit.”
Lalu dia menunjuk ke sebuah email lagi,
disana berjudul “Tolong tulis berapapun uang yang kau mau”, dia sepertinya
memaksa kalau transaksi ini sudah hampir final dan mendekati tawar-menawar
harga. Lalu dia menunjuk ke email lainnya, berjudul “Aku tidak peduli dengan
apapun, aku hanya mau buku itu”. Dia lalu menunjuk email yang lain – dari sini
saja, aku merasa ketakutan membaca email itu.
Di layar laptopnya, tertulis ada ratusan,
tidak, ribuan email dari Yozo Oba. Entah berapa banyak halaman yang kubuka
untuk mencapai halaman terakhir email Shinokawa. Dia ini terobsesi seperti
stalker, tapi kepada buku, bukan orang.
“Aku pernah membicarakan ini dengan polisi,
tapi kata mereka email saja tidak cukup untuk membuat polisi terlibat. Email
tersebut dibuat secara gratis di luar negeri, dan mereka tidak bisa melacak
identitasnya...Ketika aku mulai berpikir untuk tidak mempedulikan orang ini,
pria tersebut datang ke toko.”
x x x
Waktu
itu, hujan baru saja berhenti, dan aku sendirian di toko. Ada seorang pria
membawa tas travel yang besar dan memakai setelan jas, berjalan ke arahku
setelah membuka pintu.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena memakai kacamata
hitam yang cukup besar. Dia tinggi sekali, dan tidak terlihat tua.
‘Namaku Yozo Oba.’
Dia menyebutkan namanya, lalu membuka tasnya dan mengambil tumpukan
uang. Dia menumpuk uang-uang itu di meja kasir.
‘Disini ada 4 juta Yen. Tolong jual buku itu kepadaku.’
Dia mulai mempengaruhiku.
‘Aku ingin mengoleksi banyak sekali edisi perdana dari penulis-penulis
terkenal, tapi aku ingin sekali mendapatkan edisi pertama karya Dazai. Buku
edisi pertama Dazai yang ada tanda tangannya itu sangat pas bagi seorang
kolektor sepertiku, dan aku ingin membelinya berapapun harganya.’
Aku terkejut, dan menolaknya sebelum aku mengembalikan uang itu
kepadanya...Aku mengatakan apa yang kutulis di email, itu adalah buku yang
diwariskan ayahku kepadaku, dan aku sangat menyukainya, ini adalah satu-satunya
buku yang tidak ingin kujual. Setelah mengatakan itu, dia bertanya kepadaku.
‘Jadi kau tidak berniat menjualnya, berapapun tawaranku?’
...Aku menjawab ‘ya’, dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan.
‘Aku juga menyukai buku ini. Tidak peduli berapa lama dan apa yang
menghadangku, aku pasti akan mendapatkannya.’
Dia mengatakan kata-kata itu sebelum meninggalkan toko. Tiba-tiba aku
merasa sangat lelah...Dia pasti akan datang lagi, dan aku tidak tahu harus
mengatakan apa untuk meyakinkannya.
Hari itu, setelah menutup toko, aku pergi ke rumah teman almarhum ayahku
yang tidak jauh dari sini. Aku ingin mengembalikan buku yang ayahku pinjam
sebelum dia meninggal...Waktu itu hujan lebat, dan aku agak terburu-buru
melewati jalan tanjakan yang terbuat dari batu. Aku memegang payung, dan buku
di tangan satunya; dan waktu itu aku hanya fokus dengan langkah kakiku saja.
Tepat ketika tanjakannya berakhir, aku melihat ada seorang pria berdiri
di depanku. Aku menegakkan payungku, dan tepat ketika aku hendak melihat siapa
dia, pria itu mendorong bahuku dengan keras.
Aku kehilangan posisi berpijakku, dan terus berguling hingga ke bawah.
Tubuhku tidak bisa bergerak sama sekali, dan aku baru sadar kalau aku cedera
serius. Aku ingin berteriak minta tolong, tapi penglihatanku terlihat
samar-samar...Aku mendengar suara langkah kaki dari seseorang.
‘Bagaimana? Apa kau tidak membawa bukunya?’
Aku mendengar nada suaranya yang terkesan kaget dengan tindakannya itu.
Hujannya memang menimbulkan suara yang berisik, tapi aku tahu pasti kalau itu
adalah suara dari orang yang mengaku Yozo Oba. Tentunya, aku tidak akan
memberikan buku itu kepadanya.
‘Kusembunyikan di tempat yang aman. Aku tidak akan memberitahumu.’
Aku mengatakan itu dengan segala kekuatanku. Sebenarnya, buku itu
kusembunyikan di lemari, jadi tidak bisa benar-benar kusebut dalam posisi
aman...Ngomong-ngomong, aku hanya ingin buku itu menjauh dari Yozo Oba sebisaku.
Tampaknya Oba ingin mengatakan sesuatu, tapi ada suara mobil yang
mendekatiku dari jauh. Dia berbisik ke telingaku dengan tergesa-gesa.
‘Jangan beritahu orang lain soal ini. Kalau kau melanggar, aku akan
bakar tokomu! Jangan keras kepala dan berikan padaku buku itu...Aku akan menghubungimu
lagi.’
Hanya itu yang bisa kuingat, dan selebihnya aku terbangun di rumah
sakit. Aku tidak pernah memberitahu siapapun soal ini, dan menaruh buku itu di
brankas kamar rumah sakit. Rumah sakit ini terus diawasi, jadi akan lebih aman
daripada menaruhnya di rumahku. Dia belum pernah menghubungiku selama dua bulan
ini, dan tentunya, aku tidak pernah menghubunginya.
x x x
“Tu-Tunggu dulu.”
Aku, yang mendengarkan ceritanya dengan diam
sedari tadi, memotong Shinokawa.
“Dengan kata lain, kau tidak pernah
melaporkan kejadian itu ke polisi?”
“Tidak.”
Aku terkejut dengan sikapnya itu karena
jawabannya itu sangat penting.
“Kenapa? Bukankah kau hampir saja
terbunuh...”
“Karena aku sendiri tidak tahu siapa Yozo Oba
itu.”
Dia lalu menambahkan.
“Bahkan jika polisi mulai menyelidiki itu,
mereka tidak bisa memeriksanya begitu saja. Jika dia tahu aku melaporkan ini ke
polisi, dia mungkin membakar toko buku atau sejenis itu...Aku bisa merasakan
determinasinya, dan aku ingin mengeliminasi resiko kehilangan toko.”
“Ta-Tapi jika kau biarkan orang itu
berkeliaran...”
“Ya, oleh karena itu jika dia muncul di toko
lagi, aku akan memanggil polisi. Aku sudah memikirkan apa yang harus kulakukan
selama berbaring di rumah sakit ini.”
Dia tiba-tiba menegakkan wajahnya, tatapannya
itu seperti berisi sebuah determinasi. Pupil matanya melebar, tepat seperti dia
memecahkan misteri tentang buku. Dia menjulurkan tangannya dan memegangi
tanganku.
“Bisakah kau membantuku untuk memancing Yozo
Oba keluar? Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku hanya bisa meminta
tolong kepadamu, Goura-san.”
Tangan putihnya itu terasa hangat, dan aku
seperti terpasung di tanah, dan terkena petir. ‘aku hanya bisa meminta ini
kepadaku’, kalimat ini selalu mendengung di telingaku. Mungkin akan sangat
langka bagi orang yang tertutup seperti dirinya mau membuka hatinya kepada
orang lain. Juga, dia secara resmi meminta pertolonganku.
“...Aku paham. Aku akan membantumu.”
Tentunya, jawabanku adalah ‘ya’ – akupun
menganggukkan kepalaku dan memegang tangannya dengan erat. Jari-jemarinya yang
kurus itu menyelimuti kepalan tanganku.
“Terima kasih...Erm, maaf...Sudah
melibatkanmu dalam masalah ini...”
“Tidak apa-apa...Tapi aku punya satu syarat.”
“...Syarat?”
Dia memiringkan kepalanya.
“Bisakah kau menceritakan kepadaku tentang
isi buku Osamu Dazai yang Belakangan Ini?
Aku belum pernah membaca itu sebelumnya.”
Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi ceria,
seperti ekspresinya ketika melihat buku – tidak, mungkin senyumnya ini lebih
ceria dari biasanya. Aku yang terpengaruh olehnya, juga tersenyum.
“Tentu...Aku pasti akan menceritakannya
kepadamu setelah masalah ini selesai.”
Hubungan kami terhubung karena buku. Sebuah
hubungan antara orang yang ingin membicarakan buku, dan orang yang ingin
mendengar tentang buku. Setelah banyak sekali percakapan di kamar rumah sakit
ini, kami masih memiliki hubungan yang tidak bisa dijelaskan ini, tapi kurasa hubungan
kami ini sudah terasa lebih dekat. Setidaknya, dia mempercayaiku, dan tentunya,
aku mempercayainya juga.
“Lalu, bagaimana kita memancingnya keluar?”
Tanyaku. Yozo Oba pasti sudah memperhitungkan
kalau ada resiko baginya tertangkap oleh polisi, dan dia pasti menghindari
kontak dengan kita sebisa mungkin.
“Yozo Oba sangat menginginkan buku
ini...Well, tahu tidak cerita soal ada pencuri yang masuk ke rumah kami?”
“Eh?...Ahh, ya.”
Aku ingat kalau adik Shinokawa pernah
bercerita soal itu ketika aku baru saja bekerja disana. Tampaknya, dari
ceritanya itu, si pencuri tidak mencuri apapun.
“Aku memang tidak punya bukti, tapi aku duga
pencuri tersebut memang sengaja dikirim oleh si Oba...Dia mau mencurinya
daripada terus bernegosiasi soal ini. Waktu itu, aku sudah memindahkan buku
tersebut ke kamar ini.”
Aku juga menduga kalau teorinya tadi memiliki
peluang yang besar. Yozo Oba pasti akan melakukan apapun untuk mendapatkannya,
dan wajar saja jika dia mengirim orang untuk mencurinya.
“Sekarang, satu-satunya hal yang ingin dia
tahu adalah dimana buku Belakangan Ini
berada...Jadi agar memancingnya keluar, kita harus punya umpan.”
“Umpan?”
Shinokawa mengambil buku yang dibungkus
sampul fukusa dari tumpukan buku disampingnya. Dia membuka itu, dan sebuah buku
muncul – aku membuka mataku lebar-lebar. Buku itu adalah Belakangan Ini dengan sampul kuning, mirip dengan buku yang ada di
pangkuanku.
“Apa ini buku edisi pertama lainnya?”
Buku itu juga dalam keadaan ‘uncut’. Bukankah
itu berarti buku itu berharga sangat mahal?
“Tidak.”
Dia mencondongkan kepalanya.
“Ini adalah edisi Koleksi Rumahan yang
dicetak ulang tahun 1970...Ini bajakannya. Sangat sulit menentukan apa ini yang
asli atau palsu tanpa melihat isi bukunya.
Akupun melihat ke arah buku bajakan tersebut.
Kalau dari luar, kedua buku ini terlihat sama; tidak, edisi bajakan punya
halaman dengan kertas yang lebih tebal, dan tidak terlihat adanya noda di
pinggir – aku merasa kalau buku ini tidak terkesan antik atau kuno.
“...Apa kira-kira akan ada yang datang dan
membelinya meski itu palsu?”
“Edisi bajakannya mirip dengan asli, banyak
juga orang yang mau membaca bajakannya. Bajakannya juga berusaha agar terlihat
semirip mungkin dari berbagai aspek, dan cetakannya sangat banyak...Aku punya
edisi yang asli, dan juga punya beberapa bajakannya disini.”
“Begitu ya?” aku agak sedikit skeptis, dan
dia melanjutkan.
“Tolong tulis buku ini seharga 3.5 Juta Yen
dan taruh di brankas kaca yang ada di toko kita. Aku akan mengupdate berita di
website toko, dan menulis kalau edisi pertama Belakangan Ini, berada dalam kondisi baik, siap dijual...Setelah
dia tahu kalau buku itu akan dijual, Yozo Oba pasti akan datang ke toko dan
membelinya. Dia akan datang setidaknya sekali, untuk memeriksa kondisinya;
kalau dia datang, tolong panggil polisi, Goura-san.”
Aku paham maksudnya. Edisi bajakan ini adalah
umpan untuk menangkap Oba. Kita bisa saja memakai yang asli sebagai umpan, tapi
ada kemungkinan dicuri. Kurasa ini rencana yang bagus – tapi apakah nanti akan
berjalan sesuai rencana?
“Tapi aku tidak tahu Oba seperti apa.”
“Jika ada pelanggan yang tinggi dan terlihat
tidak familiar mengatakan ingin membeli buku ini, pasti dialah orangnya. Tidak
banyak orang tinggi dan punya 3.5 juta Yen mau menghabiskannya ke satu buku.”
“Tapi bagaimana jika ada pelanggan tetap yang
mau membelinya?”
“Bilang kepada pelanggan itu kalau buku itu
baru saja terjual. Dan yang di brankas itu adalah edisi bajakan.”
“Bagaimana jika Oba menghubungi lewat telpon
atau email toko?”
“Pura-pura tidak tahu apapun dan beritahu dia
kalau kau menaruh buku itu di brankas kaca karena perintah pemilik toko. Juga
beritahu kalau toko tidak menerima pesanan via email’. Dengan begitu, yang bisa
dia lakukan adalah mendatangi toko.”
Aku menyilangkan lenganku setelah
mendengarkan kata-katanya. Aku bukannya mau membuat ini menjadi rumit, tapi ada
resiko dalam jebakan ini, dan aku hanya ingin menghilangkan semua kemungkinan
yang akan terjadi sebisaku.
“Juga, Shinokawa, bisakah kau menunggu
rencana itu hingga kau dinyatakan sembuh dulu?”
“...Kenapa begitu?”
“Karena bisa saja dia melakukan sesuatu yang
gila. Kalau dia ada kemungkinan datang ke toko, bukankah akan selalu ada
kemungkinan dia akan datang ke rumah sakit dan melukaimu?”
Dia sepertinya terpukul oleh kata-kataku, dan
dia hanya bisa diam saja mendengarku bicara.
“Aku tidak berpikir kau bisa lari begitu saja
ketika melihatnya disini, benar tidak? Akan lebih baik jika kau menjalankan
rencana ini setelah kau bisa berjalan dengan normal lagi...benar tidak?”
Suaraku terlihat pelan; Shinokawa tampak
mengepalkan tangannya di pangkuannya. Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?
“Tidak ada gunanya menunggu...Bahkan jika
kita menunggu, situasinya tidak akan berubah.”
Dia mengatakan itu dengan suara yang dalam.
“Eh?”
“Aku sebenarnya tidak hanya terkena masalah
keretakan tulang...Ada saraf tulang belakang yang bermasalah, dan dokter bilang
kalau aku akan merasakan efeknya setelah keluar dari rumah sakit. Akan butuh
waktu yang sangat lama sebelum aku benar-benar bisa berjalan normal lagi.
Mungkin...Aku bisa saja tidak bisa berjalan dengan normal lagi sampai akhir
hidupku...”
Suasana di kamar ini tiba-tiba serasa
membeku.
x
x x
Hujan terus mengguyur daerah ini.
Buku Osamu Dazai itu ditaruh dalam brankas
kaca dengan sebuah kartu harga bertuliskan: ‘3.5 Juta Yen, kondisi bagus,
termasuk tulisan asli’ – tapi, ini hanya contoh barang.
Aku berdiri di depan brankas kaca itu dan
memikirkan kata-kata Shinokawa. Apa yang terjadi dengan kedua kakinya
mengejutkanku, lebih dari masalah tentang Yozo Oba.
“Mungkin
aku tidak akan pernah berjalan dengan normal lagi sampai akhir hidupku...”
Dia tidak ingin polisi turun tangan, dan
menemukan si Oba, karena dia ingin menyelesaikan ini secara pribadi.
Adik Shinokawa sudah masuk ke dalam rumah,
dan hanya ada aku di toko ini. Dia tidak tahu apapun soal Yozo Oba, dan
tentunya, dia tahu seberapa parah cedera kakaknya itu.
Ngomong-ngomong, ketika aku pertama datang ke
toko ini, dia seperti merasa sedih ketika bertanya tentang cedera Shinokawa.
Itu agak mengejutkan karena dia suka sekali mengoceh hal-hal yang tidak aku
tanyakan, tapi mungkin itu adalah salah satu caranya untuk menunjukkan simpati.
Shinokawa berkata kalau masalah utamanya
adalah sampai kapan dia bisa menyembunyikan fakta tentang Oba dari adiknya itu.
“Tapi
adikku punya sifat yang blak-blakan...Mungkin dia akan memberitahu orang lain,
dan yang terpenting, jika Oba muncul, dia tidak akan bisa menghadapinya dengan
tenang.”
Dengan kata lain, aku terlihat lebih hati-hati
dalam berbicara, dan aku bisa mengatasinya. Mungkin aku terlihat agak
berlebihan, tapi info mengenai buku Belakangan
Ini sudah disebarkan di halaman web toko. Oba bisa muncul kapanpun.
Tiba-tiba, pintu dibuka dengan kasar, dan
akupun menatap ke arah pintu.
“Ada apa dengan ekspresimu yang menakutkan
itu?”
Akupun menurunkan bahuku; yang muncul
ternyata Nao Kosuga. Dia adalah gadis yang mencuri buku Monumen Pemetik + Saint
Andersen dari seorang pemburu buku, Shida. Sepertinya, setelah dia
mengembalikan buku itu ke Shida dan meminta maaf, hobi penggemar buku muncul
dari dirinya, dan dia sering mampir ke toko ini.
Dia memakai blus lengan pendek dengan rok
seragam. Ini pertamakalinya bagiku melihatnya memakai seragam; seperti adik
Shinokawa, dia juga siswi di SMA-ku dulu.
“Aku harus pergi ke rumah temanku untuk
menyiapkan festival budaya, tapi tiba-tiba turun hujan...Biarkan aku disini
dulu untuk berteduh, oke?”
Dia masuk ke toko sambil mengucapkan
kata-kata itu dengan nada maskulin, dan tetesan air terlihat berjatuhan dari
rambut pendeknya. Aku buru-buru kembali ke meja kasir; akan sangat buruk jika
buku-buku ini basah oleh air yang dibawanya. Akupun masuk ke rumah utama di
lantai 2, mengambil handuk, dan memberinya ke gadis yang sedang menatap brankas
kaca itu.
“Pakai ini.”
“Maaf ya, terima kasih.”
Nao Kosuga menerima handuk itu dengan
senyuman, dan mengeringkan rambutnya sambil menatap ke brankas tersebut.
“Oh, jadi ini buku yang digosipkan seharga
3.5 Juta Yen?”
“Sejak kapan ada gosip seperti itu?”
Akupun bertanya karena terkejut.
“Ah, aku hanya bilang gosip saja tapi tidak
tahu apa benar ada atau tidak gosipnya. Aku cuma melihatnya di website toko ini
semalam...Meski yang dipajang itu cuma bajakannya, buku aslinya masih disimpan
di suatu tempat, benar tidak? Memangnya ada yang mau membeli buku semahal itu?”
“...Ada orang-orang yang menginginkan buku
ini.”
Sebenarnya, setidaknya ada satu orang, meski
orang itu adalah seorang stalker garis keras.
“Hmm...”
Dia tampaknya tidak tertarik lagi dengan
topik itu, dan membalikkan badannya dari brankas kaca ke arahku.
“Ngomong-ngomong, apa Suhu Shida mampir
kesini belakangan ini?”
“Kupikir dia akan datang kesini minggu ini.
Dulu dia bilang hendak membicarakan tentang pembelian beberapa buku.”
Setelah insiden pencurian bukunya, Nao Kosuga
dan Shida seperti punya hubungan yang misterius. Kudengar mereka sering
meminjam buku, dan mengobrol di pinggir sungai. Kosuga mengagumi pengetahuan
Shida soal buku, dan mulai memanggilnya ‘Suhu’. Seperti punya murid baru, entah
mengapa Shida terlihat senang atau sejenisnya.
“Memangnya festival budayanya kapan?”
Tanyaku. Aku ingat dia menyebutkan itu tadi,
biasanya sekolahku itu mulai tahap persiapan setelah liburan musim panas usai.
“Dua minggu lagi, dari Jumat hingga Minggu.
Kalau bisa, mampir ya...”
Dia sepertinya teringat sesuatu, dan menatap
ke arah luar toko.
“...Apa kau ingat orang yang bernama
Nishino?”
Akupun menggerutu. Mustahil aku lupa tentang
dirinya.
“Ahh. Memangnya ada apa dengan dia?”
Dia sekelas dengan Kosuga, dan terlihat
tertarik dengannya, tapi sebenarnya dia membencinya. Aku hanya berbicara
dengannya sekali, tapi kesanku sangat buruk kepadanya.
“Setelah liburan musim panas berakhir, ada
berita kalau dia yang sudah menolakku dan mengatakan hal-hal jelek tentangku
mulai menyebar di sekolah. Setiap orang sepertinya tahu kalau dia menyebarkan
nomor HP-ku ke orang asing...Apa kau memberitahu seseorang di sekolahku soal
kejadian bulan lalu?”
“Tidak. Aku tidak memberitahu siapapun.”
Tidak banyak yang tahu soal ini; selain
keterlibatan dua pihak, orang yang tahu hanya Shinokawa, Shida, dan diriku.
Tidak ada seorangpun yang mendengarkan pembicaraan kami...
“...Ah.”
Aku melihat ke arah pintu belakang yang
menuju rumah utama. Adik Shinokawa ada di dekatku ketika Shida datang dan
bercerita soal Nao Kosuga. Shida tidak membahas tentang pencurian buku itu,
tapi dia sepertinya menyebut nama Nishino. ‘Adikku itu orangnya blak-blakan’,
aku teringat kata-kata Shinokawa soal adiknya, dan itu benar-benar menjadi
masalah.
“Maaf ya...Sepertinya ada yang mendengar
percakapan kita tempo hari.”
“Ah, tidak masalah. Jangan khawatir, aku juga
tidak berniat untuk menyembunyikan hal itu.”
Dia mencondongkan kepalanya.
“Nishino sangat populer, tapi dia sepertinya
tipe orang yang suka menjelek-jelekkan orang dari belakang. Berita itu menyebar
dengan cepat dan seluruh gadis di angkatanku tampak tidak mempedulikan Nishino
lagi...Sepertinya dia juga mengalami kesulitan untuk berteman dengan anak
laki-laki di kelas. Pria itu sekarang lebih banyak sendirian, dan keluar dari
klub light musik di sekolah...”
Aku pernah melihat pria, yang sangat populer
di sekolah, reputasinya hancur total karena beberapa insiden; dan lebih
menakutkan lagi ketika beberapa gadis bergabung untuk melawannya. Yang bisa
kukatakan, mungkin dia memang pantas
menerimanya.
“Aku berpapasan dengan Nishino di lorong
sekolah, dan entah mengapa aku merasa kalau dia tidak pantas menerima perlakuan
semacam itu...Aku merasa tidak enak karena dia menjadi seperti itu gara-gara
berurusan denganku. Ada apa dengan perasaan aneh ini?”
“...Karena dia tidak mengatakan apapun waktu
kau melewatinya, kau harusnya tidak perlu mengkhawatirkan dia.”
“Hmm...Well, ada benarnya.”
Aku bisa mengerti ‘perasaan’ semacam apa itu;
anak yang bernama Nishino hanyalah orang asing baginya. Perasaan itu adalah
kebalikan keberaniannya ketika pergi menemui Shida dan meminta maaf.
“...Hmm?”
Nao Kosuga tiba-tiba menoleh ke arah jendela
dan menatap tajam ke arah itu. Akupun melihat ke arah itu. Masih terlihat jelas
kalau hujan turun dengan lebat diluar jendela.
“Ada apa?”
“Aku melihat ada orang di seberang jalan,
melihat ke arah sini, lalu dia kabur.”
Aku langsung berlari menuju pintu,
membukanya, dan memeriksa jalanan di depan toko. Air hujan terus mengguyur, dan
tidak ada satupun orang di jalanan. Mungkin orang itu lari dan berbelok di
gang-gang sekitar sini.
“Orang tadi seperti apa?”
“Well...Dia memakai jas hujan, dan
bertudung...Jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kurasa dari
posturnya, orang itu laki-laki. Apa dia melakukan sesuatu?”
“...Tidak.”
Akupun menutup pintunya secara perlahan. Jika
itu seorang pelanggan, harusnya tidak perlu kabur.
Mungkin tadi itu si Yozo Oba.
Aku menunggu agak lama dan mempersiapkan
diriku, tapi orang itu tidak datang ke toko sama sekali.
x x x
Di hari kedua, dan aku sedang bekerja di Toko
Biblia. Cuacanya sangat cerah, dan tidak banyak pelanggan yang datang di sore
hari. Seperti biasanya, aku sendirian di toko. Aku sedang menerima telepon
dengan memakai telepon yang ada di kasir; buku bajakan Belakangan Ini masih berada di brankas kaca, seperti hari
sebelumnya.
[“Erm...Apa kau yakin?”]
Aku bisa mendengar suara lemah Shinokawa di
telepon. Dia ternyata pergi ke koridor rumah sakit dengan kursi roda, dan
menelpon toko.
“Memangnya ada apa?”
[“...Soal membawa buku itu ke rumah bersamamu...Setelah
toko tutup.”]
Oh begitu, tampaknya aku mengerti.
Tadi malam, setelah toko tutup, aku membawa
buku bajakan itu ke rumahku di Ofuna, dan menaruhnya di brankas milik almarhum
nenekku. Jika Yozo Oba menyelinap masuk ke toko setelah Toko Biblia tutup, maka
rencana untuk memancingnya keluar akan menjadi hal yang sia-sia.
“Jangan khawatir. Tidak terjadi sesuatu.”
Aku memang agak gugup; tidak kupungkiri kalau
akan ada peluang kalau aku bisa diserang dalam perjalanan, tapi aku tidak melihat
ada satupun orang yang mencurigakan.
[“Aku benar-benar minta maaf...Sudah
melibatkanmu dalam hal ini...”]
“Kau jangan khawatir. Aku sudah mengatakan
kalau aku akan membantumu.”
[“Erm...Tolong jangan bekerja di luar batas,
Goura-san...Jika terjadi sesuatu denganmu, aku...”]
Aku tanpa sadar mulai meremas teleponnya. Apa
kata-kata setelah “aku...”? Aku menajamkan telingaku, ingin mendengarkan itu
dengan hati-hati, tapi yang terdengar adalah suara pintu toko yang dibuka.
“Ah, ada pelanggan yang datang...Aku tutup
dulu ya.”
Aku langsung menutupnya. Memang sangat
menyedihkan jika menutup telepon dalam momen seperti ini. Tapi bisa saja Yozo
Oba muncul. Masih memegang telepon di tangan, akupun menoleh ke arah pintu.
“Halo, Goura-san! Ah, kau ada telepon?
Tuntaskan saja dahulu, jangan khawatirkan kami. Lanjutkan saja. Tidak ada hal
yang penting dari kami disini!”
Suara yang tajam itu mulai menusuk kepalaku,
dan muncullah wanita mungil memakai rok one-piece bersama pria paruh baya yang
memakai kacamata. Keduanya masuk ke toko, dengan kedua lengan berangkulan.
“Sudah lama tidak bertemu. Maaf sudah
merepotkanmu tempo hari.”
Pria ini – Masashi Sakaguchi. Mereka berdua
adalah suami-istri Sakaguchi; sebelumnya, si suami ingin menjual buku
Vinogradov/ Kuzmin yaitu Perkenalan Logika, dan istrinya datang untuk
menggagalkan itu. Umur dan sifat mereka jauh berbeda, tapi mereka tampak
mesra-mesra saja.
“Selamat datang. Ada yang bisa kubantu?”
Tanyaku.
Sakaguchi tidak memakai setelan jas, tapi ini
sangat jauh berbeda; dia tidak memakai dasi, dia memakai jaket dan celana
pendek dengan banyak lipatan.
“Aku baru saja pensiun dari perusahaanku
beberapa hari lalu, jadi...”
“Kami mau membuat passport! Karena kami belum
pernah pergi bulan madu sebelumnya...”
“...Kami berencana pergi ke Eropa selama
seminggu.”
“Kami pikir ada baiknya kami mampir dan
berterimakasih sebelum pergi! Kami baru saja mengunjungi nona pemilik toko di
rumah sakit sebelum datang kesini!”
“Be-Begitu ya...Terima kasih...”
Aku sedikit bingung dengan penjelasan yang
begitu saja datang dari suara-suara dengan nada yang berbeda. Tiba-tiba,
Shinobu mengatakan sesuatu yang serius.
“Kami ingin berlibur bersama selagi
sempat...Sebelum gangguan penglihatan Masa bertambah buruk. Kata dokter...”
“Shinobu.”
Suara Sakaguchi terdengar jelas, terdengar
lebih keras dari suara istrinya.
“Jangan panggil aku Masa. Juga ketika kita
pergi berwisata nanti.”
“Ah, maaf.”
Ufufu. Shinobu tertawa sambil menutup
mulutnya. Tampaknya Sakaguchi memang tidak mau dipanggil seperti itu, dan aku
melihat keanehan ketika melihat mereka berdua. Lengan mereka seperti berpelukan
erat sejak masuk ke toko, dan tampak tidak akan lepas dalam waktu dekat.
“Aku ingin berterimakasih kepadamu dan Nona
Shinokawa.”
Sakaguchi menatapku dari balik kacamatanya.
Warna lensanya terlihat lebih gelap dari terakhir kali aku melihatnya.
“Jika tidak karena kalian berdua, aku tidak
akan bisa menceritakan rahasiaku.”
“Ah, itu bukan karena kami...”
Aku agak malu-malu menerima ucapakan terima
kasih seperti itu. Juga, mereka mengatakan ‘kalian berdua’, mereka harusnya
berterimakasih ke Shinokawa saja, daripada ke kami berdua. Dia tahu betul apa
saja yang terjadi, hanya dari satu buku dan mendengarkan ceritaku. Yang
kulakukan hanya berdiri di sebelahnya, dan terkagum-kagum olehnya.
“Kalau begitu, kami berdua pamit dulu.”
Setelah berpamitan, pasangan itu keluar dari
toko. Aku lihat ternyata istrinya berjalan agak cepat dari suaminya, dan
kulihat kedua lengan mereka tidak berjalan bersama-sama karena punya hubungan
yang mesra. Shinobu Sakaguchi itu sedang menuntun Masashi Sakaguchi, yang
penglihatannya memburuk.
“...Silakan datang lagi jika ada waktu
luang.”
Aku mengatakan itu sambil melihat mereka
berdua keluar dari toko. Mereka berdua menoleh sebentar dan tersenyum. Tepat
ketika aku hendak melanjutkan pekerjaanku...
“Hei, apa yang kau lakukan dengan berjongkok
disitu? Apa kau baik-baik saja?”
Shinobu meneriakkan itu kepada orang lain.
Ternyata ada orang lain di luar.
Aku lalu bergegas keluar dari toko – dan
kemudian, seorang pria memakai jas hujan membalikkan badannya dariku dan
berlari. Kalau dari cara berlarinya, sepertinya dia anak muda, tapi karena dia
tidak menutup kepalanya dengan tudung, aku bisa melihat potongan rambutnya.
Rambut pendek, tidak diwarnai, dan tidak memiliki ciri khusus lainnya.
“Hei! Tunggu!”
Aku berteriak, tapi dia tidak berhenti, dan
langsung menghilang di ujung jalan. Toko masih buka, jadi aku tidak bisa
mengejarnya. Akupun menoleh ke arah pasangan Sakaguchi.
“Apa kau melihat wajah orang itu?”
Untuk sejenak, keduanya hanya bisa saling
melihat satu sama lain.
“...Tidak, dia hanya jongkok di papan tanda
itu dan membelakangi kami.”
Shinobu menunjuk ke papan tanda larangan
berputar.
Apa yang dia lakukan disini? Aku mendekati
papan tanda itu, dan mencium bau yang aneh. Bau ini seperti obat-obatan atau...
Bensin.
Wajahku tiba-tiba pucat. Ternyata papan tanda
ini sudah disiram bensin, dan ketika kulihat sekitarku, ada sebuah benda kecil
terjatuh. Benda ini sepertinya milik orang yang kabur itu.
Ini adalah korek api.
x x x
“...Kupikir ada baiknya untuk melaporkan ke
polisi mengenai Yozo Oba.”
Aku mengatakan itu di telepon kepada
Shinokawa, orang yang menelponku tadi. Aku mengiriminya SMS dan meminta tolong
kepadanya untuk menelponku.
“Kurasa ini sudah terlambat jika tokonya
terbakar.”
Satu jam berlalu setelah suami-istri
Sakaguchi pergi. Aku bersandar dan berpikir bagaimana seandainya jika mereka
berdua tidak mampir. Mungkin toko ini sudah menjadi abu.
[“Hmm...Itu mungkin ide yang bagus...Karena
percobaan untuk melakukan itu memang baru saja terjadi...”]
Shinokawa menggumamkan sesuatu seperti dia
menemukan sesuatu.
[“Tapi...Ada sesuatu yang terasa janggal
bagiku.”]
“Apa?”
[“Apa benar pelakunya si Yozo Oba?”]
“Eh?”
Aku menanyakan itu di telepon.
“Apa maksudmu?”
[“Oba mungkin berpikir kalau buku itu ada di
dalam toko, jadi mengapa dia mau melakukan sesuatu yang bisa membahayakan buku
yang dia inginkan?”]
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“...Mungkin dia berencana membuat kegaduhan
di luar, dan menggunakan kesempatan itu untuk mencurinya.”
[“Kalau dia berencana membuat kegaduhan,
banyak cara untuk melakukan itu tanpa memakai metode yang membuat buku itu
terancam bahaya...Seperti orang berkelahi di luar toko atau sejenisnya.”]
“Tapi bukankah tidak ada orang segila dirinya
yang bisa melakukan hal semacam itu, benar tidak?”
Aku tidak mengerti mengapa Shinokawa bingung.
Kupikir dia hanya terbawa oleh beberapa detail kecil.
[“Itu ada benarnya...Bisa kuserahkan masalah
pelaporan ke polisi kepadamu?”]
“Ya, biar kutangani...”
Ketika aku hendak meneruskan kata-kataku, aku
tiba-tiba mencium bau benda terbakar. Sesuatu sedang terbakar. Aku menoleh ke
sekitarku, dan ada asap hitam di luar jendela.
“Sial!”
Aku melemparkan begitu saja teleponnya dan
mengambil pemadam api yang telah kusiapkan. Gas putih yang keluar mulai
menyelimuti asap tersebut.
Mungkin karena pemadam api ini cukup tua
sehingga apinya tidak padam begitu saja. Warna putih yang menyelimuti api mulai
memudar, dan api itu seperti hendak berkobar lebih besar lagi – ini buruk
sekali, tapi ketika itu mulai terpikirkan olehku, apinya mulai padam, dan yang
tersisa hanyalah asapnya saja.
Akupun bernapas lega dan melihat
sekelilingku. Pandanganku agak kabur karena banyak sekali asap hitam, tapi aku
menemukan seorang pria yang memakai jas hujan, berdiri di box telepon sekitar
10 langkah dariku. Dia mungkin orang yang tadi kulihat.
“...Oba?”
Setelah orang itu mendengarkan teriakanku,
dia langsung kabur dan hampir saja menabrak kotak telepon itu. Tanpa ragu,
orang inilah pelakunya, orang yang menyebabkan Shinokawa menderita cedera, dan
orang yang mau membakar toko. Aku tidak boleh menyia-nyiakan peluang ini, aku
melempar pemadam api itu dan lari mengejarnya.
Kupikir aku bisa mengejarnya, karena aku
masih cukup yakin dengan kekuatan kakiku – tapi, dia lebih cepat dariku, dan
jarak kami semakin menjauh. Dia sudah tepat di depanku, dan ini bisa jadi momen
dimana aku kehilangannya.
“Sialan...”
Tepat ketika aku menyeringai karena kesal,
dua sepeda muncul di persimpangan jalan. Salah satu sepeda berjenis sepeda
kurir, dimana ada keranjang barang di menempel di sepeda, sedang sepeda satunya
adalah sepeda yang biasa dipakai untuk olahraga lintas alam. Orang yang
mengendarai sepeda itu adalah pria botak dan pria yang mirip model – ternyata
mereka berdua adalah Shida dan Kasai. Orang yang kabur itu menabrak sepeda
Shida.
Shida berteriak. Pria itu berhenti mendadak,
dan seketika, aku memegangi jas hujan dan kerahnya dengan ketat.
Pria itu membalikkan badannya dan ingin
melepaskan jari-jariku, tapi aku punya sabuk di judo. Akupun memegangi
pinggangnya, dan melakukan bantingan, menghantamkan punggungnya ke aspal. Lalu
aku langsung mengunci bahunya.
“Tenangkan dirimu! Oba!”
Akupun menekan punggungnya ketika berteriak
kepadanya. Aku lihat wajahnya dari dekat, dan ternyata dia jauh lebih muda dari
dugaanku. Tebakanku dia ini anak umur belasan tahun, dan masih terlihat
ekspresi wajah lugu dari wajahnya. Ini mungkin pertamakalinya kita bertemu –
tidak, kalau dilihat lagi, aku sepertinya pernah bertemu dengannya.
“OBA APAAN!
KAU TERLALU KERAS MENEKANKU, ANJING LO!”
Anak ini menggerutu karena kesakitan, dan aku
melebarkan mataku. Rambutnya ternyata sudah diwarnai hitam, dan aku sadar kalau
yang sedang kupegang ini adalah teman sekelas Nao Kosuga – anak yang bernama
Nishino.
x
x x
Penanganan masalah ini berlangsung dengan
baik.
Polisi langsung datang ke TKP, membawa
Nishino pergi, dan melakukan investigasi di depan toko. Tidak ada kerusakan
kecuali terbakarnya papan tanda dan pemadam api yang mengotori jalanan.
Aku tidak bertanya ke Nishino mengapa dia
melakukan ini, dia mengoceh kesana-kemari sebelum polisi datang.
Mengesampingkan semua caci-maki yang ditujukan kepadaku, semua kekesalannya
kepadaku itu bisa digambarkan dalam satu kalimat.
“...Kesimpulannya sederhana, dia punya dendam
kepadamu.”
Kasai terlihat terkejut setelah polisi pergi.
Shida, Kasai, dan aku berkumpul di meja kasir Toko Biblia. Mereka kebetulan
lewat di jalan dekat toko dan mau mengobrol tentang buku bersamaku, menemaniku sambil
menunggu polisi pergi – mereka bahkan membantu menjagakan toko ketika aku diwawancarai
polisi.
“Sepertinya kesimpulanmu itu benar sekali.”
Akupun mendesah kesal.
Yang terjadi dengan Nishino adalah – dia
dikucilkan oleh siswa lainnya, karena ada gosip kalau dirinya suka menyebarkan
data pribadi orang lain dan menjelek-jelekkan orang. Tentunya, dia mencurigai
Nao Kosuga, dan satu tersangka lagi.
Dia mengikuti Nao Kosuga, dia sampai di toko
ini – dan tidak terjadi apapun. Orang yang dicurigai oleh Nao Kosuga tempo hari
dan kabur ternyata Nishino.
Dia mengintip ke dalam dan melihat Nao Kosuga
mengobrol santai denganku, Nishino sadar kalau akulah orang yang berbicara
dengannya waktu liburan musim panas lalu, dan dia akhirnya ‘tahu’. Dia tahu
kalau akulah satu-satunya orang yang tahu kalau dia yang menyebarkan nomor HP
Nao Kosuga, dan menyimpulkan kalau akulah biang kerok gosip itu. Dia bilang
kalau dia tidak berencana untuk membakar toko, tapi dia hanya ingin membalas
dendam kepadaku.
“Apa kau tidak menyadarinya sejak awal?
Bukankah kau pernah bertemu dengannya, benar tidak?”
Tanya Shida.
“Waktu aku berbicara dengannya, rambutnya
berwarna pirang.”
Dia sepertinya sengaja mewarnai rambutnya
waktu liburan musim panas. Aturan sekolah memang melarang murid untuk mewarnai
rambutnya, dan dia mewarnai lagi rambutnya dengan warna asli sebelum masuk
september.
“Ngomong-ngomong, kurasa itu sesuatu yang
bagus karena kau berhasil menangkapnya. Bisa saja dia tidak akan berhenti
berbuat kriminal jika kau melepaskannya begitu saja.”
“Bukankah masalahnya sudah beres? Dia sudah ditangani
polisi.”
Kasai mengatakan itu dengan tersenyum, dan
Shida mengangguk setuju.
“...Itu benar.”
Akupun juga ingin tersenyum bersama mereka,
tapi ini tidak serta-merta membuat masalah toko ini hilang. Aku kembali ke
titik nol lagi tentang masalah Yozo Oba, dan dia tidak bertindak sama sekali
dalam dua hari ini. Orang-orang yang datang ke toko adalah orang yang familiar,
seperti Shida.
Aku mengirimkan SMS ke Shinokawa tentang
usaha pembakaran oleh Nishino. Karena situasi yang berubah, aku tidak
memberitahu polisi soal Oba. Aku berencana akan mengunjungi Shinokawa dan
berembuk mengenai rencana ke depannya setelah toko tutup.
“Oh? Bukankah itu edisi perdana Belakangan Ini? Kau berhasil mendapatkan
buku seperti itu ya?”
Shida mengatakan itu sambil berdiri di depan
brankas kaca.
“Well...Sebenarnya ini milik toko ini...”
Akupun terheran. Kasai mungkin tidak begitu
familiar dengan buku, tapi aku tidak mau menunjukkan ini ke Shida, yang punya
banyak sekali info soal buku-buku.
“Coba lihat ini, baron. Tidak setiap hari kau bisa melihat versi uncut dari edisi
perdana.”
“Heh? Memangnya itu mahal?”
Kasai juga mendekati brankas kaca itu.
“Candaanmu itu kurang lucu. Bukankah itu
jawaban yang mudah ditebak...Hei, bukankah ini cuma versi bajakannya saja?”
Suara keraguan itu terdengar di toko. Apa
kita ketahuan? Lagipula, mustahil kita bisa membodohi Shida.
“Ah, kau tahu ya?”
“Tentu lah!
Halamannya terlihat terlalu baru! Kenapa harus menjual yang seperti ini?
Lagipula mustahil toko buku menjual bajakan seharga itu jika bukan buku
aslinya, benar tidak?”
“Well...Soal itu...Kami memang tidak
memamerkan barang aslinya dengan alasan keamanan, jadi kami hanya menaruh versi
bajakannya saja disana...”
Aku memberikan penjelasan yang abu-abu, tapi
Shida tampak kurang setuju.
“Ini tindakan yang agak aneh bagi sebuah toko
buku...Orang yang melihat sekilas saja pasti tahu kalau ini palsu. Setidaknya,
kau buat sampulnya sedikit kotor.”
“Bagiku terlihat sungguhan loh.”
Kasai berdiri di depan brankas, kedua
tangannya di pinggang, dan dia memiringkan kepalanya.
“Memangnya yang asli disimpan dimana?”
“Bersama Shinokawa di rumah sakit.”
“Jadi dia menyimpannya di rumah sakit? Itu
sungguh keputusan yang ceroboh.”
Shida menggerutu kesal.
“Tapi ada brankas besi di kamarnya.”
“...Meski begitu.”
Shida mencondongkan tubuhnya ke kasir, dan
akupun berusaha memalingkan pandanganku.
“Sangat tidak wajar bagi sebuah toko buku
bekas menampilkan versi bajakan sebagai benda yang dipajang. Aku tidak pernah
berpikir kalau nona pemilik toko itu akan melakukan hal-hal yang hendak menipu
pelanggan...Apa terjadi sesuatu?”
“Tidak, tidak ada apa-apa...”
Shida tidak mempedulikan jawabanku dan terus
menambahkan.
“Kalau ada yang bisa kubantu, aku siap kapan
saja terjun membantu. Lagipula kalian sudah membantuku sebelumnya.”
“Aku akan bantu juga dong, meski aku tidak begitu mengerti soal buku.”
Kasai menjawabnya dengan ceria.
Aku berpikir untuk sejenak. Apa melibatkan
mereka berdua adalah tindakan yang benar? Tidak, aku harus mendiskusikan
masalah ini dengan Shinokawa dulu? Dia tidak mau melibatkan pihak ketiga lebih
dari aku disini. Sederhananya, ini adalah masalah pribadinya.
“...Tolong berikan aku waktu dulu soal itu.”
Aku menjawab mereka berdua. Lalu, terdengar
suara HP yang bergetar.
“Ah, maaf. Kupikir ada pelangganku menelpon.”
Telepon Kasai berbunyi. Dia merendahkan
kepalanya, lalu keluar melewati pintu, berada di depan toko, dan mulai menjawab
telepon. Aku bisa mendengar suaranya yang membahas game console; tampaknya ada
seorang pelanggan yang hendak membelinya.
Shida dan diriku hanya menatap Kasai dari
belakang. Dia tinggi sepertiku, lebih tinggi dari frame pintu, dan aku hanya
bisa melihat tubuhnya dari telinga ke bawah karena terhalang pintu.
“...Tumben si baron agak aneh hari ini.”
Shida mengatakan itu dengan santai.
“Memangnya kenapa?”
“Karena dia pura-pura tidak tahu harga edisi
perdana Belakangan Ini; mustahil dia
tidak tahu soal itu?”
“Bukankah dia sendiri tidak begitu paham soal
buku? Dia pernah memberitahuku sebelumnya.”
Dia memang memberitahuku kalau wawasannya
soal buku tidak begitu banyak, dia kebanyakan bertransaksi game dan CD.
“Halah,
dia cuma mau merendah saja. Masa kau tidak tahu dari namanya? Dia itu sang baron, tahu tidak?”
Aku tidak paham maksudnya. Bukankah sebutan baron itu adalah sebutan Shida kepada
Kasai karena tampilannya? Melihatku yang mengedip-ngedipkan mataku karena
bingung, Shida mendesah, dia tampaknya sedih melihatku seperti itu.
“Dalam bisnis yang kutekuni ini, ketika kau
menyebut ‘Pemburu Buku’ dan nama ‘Kasai’, semua maniak buku pasti tahu siapa
dia...Tapi lupakan saja, aku tidak bisa menyalahkanmu karena tidak tahu.”
“Memangnya kenapa?”
“Masa kau tidak sadar, mana ada orang bernama
Kasai? Itu adalah nama yang dia berikan ke dirinya sendiri agar dia tampak
keren.”
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri.
“Kau pernah lihat kartu bisnis pria itu,
benar kan? Tertulis nama Kikuya Kasai. Itu adalah nama tokoh utama di karya
Toshiyuki Kajiyama, Sang Baron Pemburu
Buku Yang Tersohor. Itu adalah sebuah novel dimana ada seorang pemburu buku
menjadi protagonisnya, seperti yang tertulis di judulnya. Oleh karena itu aku
memanggilnya Baron.”
Aku tidak pernah menduga kalau itu akan
menjadi asal usul sebutannya. Tidak, ada sesuatu yang sangat penting; ada
seseorang yang juga memperkenalkan dirinya sebagai protagonis dari sebuah novel
– dan itu kudengar belakangan ini.
Yozo Oba – nama dari protagonis di salah satu
cerita pendek Belakangan Ini.
Akupun langsung kembali ke realita.
Mu-Mustahil, bagaimana mungkin?
“Apa kau kenal Kasai-san sejak lama?”
“Tidak, baru-baru ini saja.”
Shida mencondongkan wajahnya.
“Bukankah pernah kuberitahu kalau aku kenal
dia musim panas ini? Kita hampir kenal selama 2 bulan.”
Dua bulan lalu adalah waktu dimana Shinokawa didorong
hingga jatuh. Tiba-tiba, aku merasakan keanehan ketika melihat punggung Kasai.
Aku tidak ingin menebak-nebak, tapi Kasai memang lebih tinggi dari rata-rata
warga sekitar.
Shinokawa juga berkata kalau Yozo Oba
orangnya tinggi.
“...Apa dia tinggal di sekitar sini?”
Aku terus menatap Kasai ketika bertanya itu.
“Kalau itu...Kurasa situasinya agak rumit.
Dia lahir di keluarga kaya di Hase, dan sepertinya ada makam
leluhurnya disana. Tapi tidak lama kemudian, keluarganya terjebak hutang, dan
orangtuanya menjual rumah mereka lalu meninggalkan Kamakura. Dia lalu tinggal di Tokyo, dan karena alasan pekerjaan, dia kembali lagi ke Kamakura.”
Telingaku bereaksi ketika dia mengatakan
tempat bernama Hase; itu adalah tempat dimana Museum yang menampilkan buku
Shinokawa berada. Leluhurnya dimakamkan di Hase, itu artinya dia pasti akan
berziarah ke Hase jika mampir ke Kamakura. Tidak aneh jika dia mampir sebentar
ke tempat-tempat yang menarik ketika berada di sekitar sana.
Aku merasa agak curiga ketika aku mendengar
soal Yozo Oba dari Shinokawa, dia bercerita kalau baik dirinya dan Oba tidak
berhubungan lagi selama 2 bulan ini – dia mungkin sudah mengancam Shinokawa
untuk menyerahkan buku itu, tapi mustahil dia bisa mendapatkan buku itu jika
dua bulan tidak melakukan satupun aksi. Jadi, apa yang dia lakukan selama ini?
Mungkin dia melakukan beberapa hal penting.
Pertama, dia membuat hubungan dengan Shida, yang kenal Shinokawa, dengan begitu
dia bisa mengawasi pergerakan toko ini. Setelah itu, dia menjadi kenalanku,
pegawai toko ini. Tentunya, dia melakukan ini dengan rapi agar bisa tahu dimana
posisi buku itu, dan mendapatkannya.
Tentunya, itu hanya imajinasiku saja. Aku
tidak punya bukti, dan aku tidak punya satupun skill interograsi.
Mungkin aku bisa memprovokasinya.
Akupun berjalan keluar toko dan mendekati
Kasai. Dia sedang berterimakasih ke penelponnya, dan mengakhiri panggilannya,
dan tepat ketika dia hendak menaruh HP ke kantongnya, aku pura-pura mengajaknya
berbicara. Orang akan terasa rileks ketika baru saja mengakhiri panggilan
telepon.
“Ah, Oba, begini.”
Tanyaku, dan Kasai memiringkan kepalanya
sambil menoleh ke arahku. Sayangnya, dia bukan orang yang ceroboh, dan tidak
menjawab ‘ya’ secara spontan, tapi menunjuk ke dirinya dengan senyum yang
mengembang.
“Namaku Kasai.”
Dia menjawabku dengan jelas, dan tubuhku
membeku. Jadi ternyata dia, semua keraguanku berubah menjadi keyakinan; aku
mencondongkan kepalaku secara perlahan.
“Tidak, kau bukan Kasai. Kau Yozo Oba, tapi
itu juga bukan namamu yang sebenarnya.”
“Apa yang kau katakan? Aku tidak paham. Ada
apa?”
Dia mungkin sadar kalau sedang diprovokasi,
dan terus melihatku sebagai orang yang bersikeras dirinya bukan Kasai –
sayangnya, usahanya ini sia-sia.
“Kenapa kau bisa tahu kalau yang kupanggil
barusan itu dirimu?”
Aku menunjuk ke arah jalan; ada ibu-ibu yang
sedang lewat, seperti baru saja berbelanja. Biasanya, ketika ada nama yang
tidak familiar dipanggil, semua orang akan mengira kalau yang dipanggil adalah
orang lain. Jika dia tidak pernah dengar nama itu, dia tidak mungkin
meresponku.
Kesunyian terus berlanjut, dan pria yang ada
di depanku ini menatapku dengan tajam.
“...Sangat diluar dugaan, aku tidak menduga
kalau kau juga sang detektif terkenal, seperti wanita itu.”
Kikuya Kasai – Yozo Oba mengatakan itu
seolah-olah hendak memancing emosiku, dan aku terus menatapnya. Pria ini
membuat Shinokawa terluka; aku memperingatkan diriku sendiri kalau pria ini
adalah tipe orang yang bisa melakukan segala kegilaan. Tepat ketika aku hendak
membekuknya...
“Mau bagaimana lagi.”
Kasai mengatakan itu dan kabur. Dia naik
sepeda yang terparkir di samping toko, dan langsung menuruni jalan menurun
dengan cepat. Aku melihatnya hilang ditelan petang. Aku seperti terpaku
melihatnya kabur, tapi tubuhku merasakan sesuatu yang tidak nyaman.
“Tolong jaga tokonya!”
Aku memanggil Shida, yang terkejut, mengambil
HP-ku, dan menyalakan skuter yang kuparkir di depan toko. Karena identitasnya
terbongkar, langkah Oba selanjutnya sangat jelas. Dia mungkin akan mengambil
buku itu dengan segala cara.
Aku bodoh sekali menjawab dimana buku asli
itu berada dalam percakapan tadi.
Buku aslinya ada bersama Shinokawa di rumah
sakit.
Oba pasti menuju rumah sakit; aku harus cepat
dan memberitahu Shinokawa mengenai bahaya yang mengancamnya. Jari-jariku
mengetik SMS dengan gemetaran, setelah kukirim SMS-nya, aku langsung bergegas
ke RSU.
Ketika aku bergegas ke RSU, HP-ku bergetar.
Aku berusaha melihat layarnya tanpa mengurangi kecepatannya, dan kulihat
isinya. Ada SMS dari Shinokawa, dan itu sangat pendek.
Aku
akan berlari ke atap RSU. Bantu aku untuk membeli waktu.
Aku menutup HP-ku dan memeriksa isinya. Apa dia
lari ke atap karena merasa berada di kamar adalah hal yang berbahaya? Aku bisa
mengerti itu, tapi apa maksudnya dengan ‘membeli waktu’?
x x x
Aku mengambil jalan tercepat, dan pergi ke
RSU Ofuna dalam 5 menit. Aku parkir skuterku di depan pintu utama, dan melihat
sepeda yang familiar tergeletak di taman bunga samping pintu.
Aku berhenti sejenak. Itu sepeda si Oba;
meski aku sudah berusaha secepatnya, dia berada selangkah di depanku. Dia sudah
ada di rumah sakit ini.
Ketika hendak menuju pintu, ada sebuah
potongan sampul jatuh dari atas. Itu adalah fukusa; sepertinya ini cukup
familiar. Ini adalah fukusa yang biasa digunakan untuk menyampul buku milik
Shinokawa.
Aku melihat ke atas, dan menatap ke gedung.
Semua jendela tertutup, jadi fukusa ini jatuh dari atap. Aku tidak tahu apa ini
dibuang secara tidak sengaja atau bagaimana, tapi aku tahu kalau Shinokawa ada
di atap. Kuharap Oba tidak menemukannya.
Dengan berdoa, aku berlari menuju lorong dan
masuk lift. Aku melewati ruang klinik, dan tidak ada satupun orang di lobi. Dua
lift yang aktif sedang bergerak ke atas.
Aku mendesah kesal dan memilih naik tangga.
Suara langkahku terdengar keras. Dalam hatiku, aku sangat menyesal karena telah
meninggalkan Oba kabur di depan toko. Jika saja aku menyadari ini lebih dulu –
akupun berlari menaiki tangga, dan menendang pintu atap dengan keras.
Atap ini dikelilingi oleh tembok pembatas,
dan terkesan sangat luas. Saat ini, malam sudah tiba, dan tidak ada satupun
orang yang terlihat datang kesini. Hanya ada dua orang yang berada di bawah
bayangan atap.
Kulihat dua orang ini saling menatap satu sama
lain, dan pahaku agak lelah. Orang itu adalah Shinokawa, duduk di kursi roda,
memeluk buku Belakangan Ini di depan
dadanya. Dan satunya adalah pria tinggi dan kurus yang tampan – Yozo Oba,
berdiri beberapa langkah di depannya. Dia menemukannya.
“Oba!”
Aku berlari mendekati mereka, tapi, aku
terhenti. Oba memegang gunting yang tajam di tangannya; dia pernah bilang kalau
dia selalu membawa gunting itu kemanapun, dan gunting panjang yang tajam itu
menunjuk ke wajah Shinokawa. Dia menatapku dengan wajahnya yang pucat – ‘jangan
bergerak’, itulah yang ingin dia katakan kepadaku.
“Bagus, memang dia lebih baik diam saja
disana.”
Oba mengatakannya dengan suara yang keras.
“Aku tidak akan merusak buku, tapi aku tidak
akan memberikan ampun kepada manusia.”
Dia berbicara dengan logat ‘Kasai’ yang
terdengar seperti seorang aktor tapi masih terasa pengaruhnya. Pikiranku agak
bingung; melihatnya di depanku, aku sendiri seperti tidak percaya kalau orang
yang di depanku ini adalah orang yang mendorong Shinokawa.
“...Meski kau mendapatkan bukunya, kau tidak
akan bisa kabur dari sini.”
Aku berusaha semampuku untuk tidak membuatnya
bertindak ceroboh, dan berbicara secara perlahan.
“Kupikir tidak begitu.”
Oba mengatakan itu dengan santai.
“Kau tidak tahu nama asliku siapa. Setelah
aku meninggalkan tempat ini, bahkan polisi akan kesulitan untuk melacakku.
Setelah aku merubah wajah ini, aku bisa memulai lagi di suatu tempat. Aku juga
bisa pergi keluar negeri dan bersembunyi untuk sementara waktu.”
Dia mengoceh tentang rencananya, cara dia
merencanakan rencananya benar-benar membuatku kagum. Kalau dipikir lagi, sejak
dia mendorong Shinokawa dan meninggalkan Kamakura, kurasa aku tidak akan
terkejut jika dia datang ke toko dengan nama palsu lainnya.
“...Apa yang membuatmu sampai sejauh ini
hanya demi sebuah buku?”
Aku mengatakan itu begitu saja. Tiba-tiba,
Oba menatapku dengan dingin, seperti melihat onggokan sampah.
“Orang sepertimu tidak akan mengerti, bahkan
jika buku ini ada tepat di depanmu.”
Ujung dari gunting di tangan Oba diarahkan ke
buku yang Shinokawa pegang.
“Hanya ada beberapa buku yang tersisa dari
versi ini, dan bisa kau katakan sebuah keajaiban kalau masih ada yang
memilikinya dengan kondisi masih sama seperti dulu. Aku memang sedikit terkejut
kau tidak bisa memahami ini. Buku ini tidak hanya berisikan karya saja; tapi
cerita yang diwariskan oleh pemilik buku ini juga terdapat di dalamnya...Aku
ingin mendapatkan cerita-cerita semacam itu juga.”
Aku merasakan sebuah kesamaan dari kata-kata
Oba dengan Shinokawa. Tidak, mungkin saja itu hanya dugaanku saja.
“Bahkan jika kau memperolehnya dengan mencuri
dari orang lain?”
“Tidak ada yang salah dengan itu. Buku ini
juga ada kalimat Bagi seluruh makhluk
hidup, yang hidup dengan apa yang diyakininya. Kita semua ditakdirkan menjadi
pendosa...Kalimat semacam ini adalah anugerah bagi orang-orang sepertiku.
Bagiku sendiri, tidak ada yang lebih penting di dunia ini selama aku memiliki
buku. PERSETAN DENGAN KELUARGAKU, TEMAN, WASIAT KELUARGA, ATAU BAHKAN NAMAKU;
INI IDEALISMEKU. TIDAK PEDULI HARUS MEMAKAN BERAPA KORBAN, BERAPA TAHUN, AKU
HARUS MEMILIKI BUKU ITU!”
Oba berteriak dengan tatapan mata yang haus
akan darah, dan akupun mulai gemetaran. Kupikir semua masalah akan selesai jika
kutangkap pria ini, tapi ternyata dia bukan orang yang bisa diajak bicara
dengan normal. Bahkan jika dia ditangkap dan dipenjara, dia mungkin akan
mencuri buku itu lagi. Shinokawa dan diriku mungkin akan menghabiskan seumur
hidup kami untuk dikejar-kejar olehnya.
“Wanita ini juga sama sepertiku. Dia memiliki
sifat yang sama...Kami akan bahagia selama kami dikelilingi buku-buku.”
“Jangan samakan dia denganmu, bajingan. Dia berbeda denganmu.”
Aku teringat kamar rumah sakit yang diisi
buku-buku tua miliknya. Dia memang menyukai buku, tapi ada perbedaan jelas
antara dirinya dan pria ini; aku sangat yakin kalau dia tidak akan melukai atau
menipu orang lain.
“Acara ramah-tamah kita akan segera berakhir.
Bagaimana jika tuan mulai meyakinkan nona ini untuk memberikan bukunya padaku?”
Aku tampaknya yakin kalau Oba tidak ingin
mengambilnya dengan paksa. Dia takut buku itu akan sobek atau semacamnya. Dia
yakin karena Shinokawa menggenggam erat buku itu seperti sesuatu yang berharga.
“...Waktuku hampir habis.”
Oba mulai berjalan mendekati Shinokawa dengan
gunting tajam mengarah ke wajah Shinokawa. Meski dia berusaha agar hati-hati,
dia bisa melakukan apapun jika Shinokawa tidak memberikan bukunya. Kalau
begitu, Shinokawa dalam bahaya, karena dia tidak bisa berjalan, apalagi
melindungi dirinya.
Akupun memutuskan akan menerjangnya.
Prioritasku adalah melindungi Shinokawa, selanjutnya baru buku itu. Ada jarak
diantara mereka, tapi selama aku bisa menangkap sebagian tubuhnya, aku percaya
kalau aku bisa menahannya meski dia memberontak dengan sekuat tenaga. Akupun
mengambil posisi siap menerjang dan mengarahkan tubuhku agar seimbang dengan
gravitasi.
“Tuan Yozo Oba, aku berbeda denganmu.”
Kali ini, Shinokawa, yang sedari tadi diam
saja, mulai berbicara, dan aku mengurungkan niatku. Dia menatap Oba dengan
penuh determinasi, dan tampak tidak terintimidasi oleh ujung gunting yang
diarahkan kepadanya. Melihat adanya kejanggalan, Oba terlihat mundur selangkah.
“Aku sudah memikirkan ini...Bagiku, ada yang
lebih penting daripada buku-buku tua. Karenanya, aku putuskan untuk mengakhiri
ini disini.”
Dia berdiri di lantai dan kaki kirinya
mendorong kursi roda itu ke belakang hingga menghantam tembok pembatas atap
gedung. Jarak antara dirinya dan Oba mulai menjauh, dan ketika Oba hendak
mendekatinya...
“Jangan mendekat!”
Shinokawa menaikkan buku Belakangan Ini seperti sebuah tameng. Buku itu terlihat tua, dan
berbeda dengan buku bajakan yang ada di toko. Ketika atap ini mulai diselimuti
dinginnya malam, dia membalikkan sampulnya dan menunjukkan sesuatu. Aku melihat
secara samar-samar tulisan dari Osamu Dazai - Bagi seluruh makhluk hidup, yang hidup dengan apa yang diyakininya.
Kita semua ditakdirkan menjadi pendosa.
“Mungkin yang Dazai inginkan adalah memberikan
semangat semangat kepada orang yang menerima buku ini. Aku tidak tahu apa yang
terjadi hingga berpindah tangan ke kakekku, tapi aku menjadi hampir celaka
karenanya. Kau akan ditangkap oleh polisi...Setelah 70 tahun berlalu, buku ini
sudah hidup di jaman yang berbeda dari Dazai, dan menjadi buku dimana tidak ada
seorangpun yang memperoleh kebahagiaan dari buku ini lagi.”
Dia lalu mengambil sesuatu dari kantong
piyamanya.
“Buku ini adalah akar dari semuanya, jadi – “
Sebuah suara memecah kegelapan ini, membuatku
semakin gemetaran. Aku bisa melihat apa yang dia pegang, dan akupun terkejut.
Itu adalah korek api.
“Mari kita akhiri disini.”
“T-TUNGGU DULU!”
Ketika
Oba meneriakkan itu, korek itu mulai membakar buku tersebut. Setelah api
membakar buku tersebut, dia melempar buku itu keluar dari atap gedung.
Oba mulai panik, tubuhnya seperti merasa
terbakar ketika melihatnya, dan dia berusaha memanjat pembatas gedung untuk
mengejar buku itu. Akupun langsung menerjangnya, dan memegangi tubuh Oba,
ketika dia hendak melompat dari atap gedung...
“IDIOT! APA YANG KAU LAKUKAN!? LEPASKAN!”
Ini adalah gedung rumah sakit dengan 6
lantai, dan tentunya hanya kematian yang menunggu siapapun orang yang melompat
ke bawah. Meski begitu, Oba berusaha melepaskan peganganku.
Buku itu sudah terbakar habis. Bahkan
bentuknya sudah tidak bisa dikenali lagi sebagai sebuah buku.
Ketika Oba mulai tenang, aku membantingnya ke
lantai atap, mengunci lengan dan menekan tubuhnya. Fisik kami mungkin sama,
tapi aku bisa menguncinya. Tampaknya dia tidak terlatih dalam bela diri.
Aku bisa mendengar suara langkah kaki berasal
dari pintu tangga. Pasti ada seseorang yang menyadari ada sesuatu disini; akan
ada orang-orang berdatangan kesini dalam waktu dekat. Oba terus berusaha lepas
dariku, tapi yang kudengar hanya suara isak tangis darinya.
Akupun bernapas lega dan melihat ke arah
Shinokawa. Dia tampak kehilangan tenaganya dan mulai duduk lagi ke kursi
rodanya – aku tampaknya mulai paham isi SMS-nya. Dia bilang ‘bantu aku membeli
waktu’. Dia berencana untuk membakar buku itu setelah dia tahu kalau Oba akan
datang ke rumah sakit.
“...Apa kau baik-baik saja?”
Aku secara spontan menanyakan itu. Aku benar-benar
tidak percaya kalau dia akan melakukan hal semacam itu setelah dia mengatakan
kalau buku adalah hal penting dalam hidupnya. Setelah berpikir sejenak, dia
menjawab.
“Benar...Aku tidak punya pilihan lagi.”
Buku ini berharga beberapa juta Yen dan
berubah menjadi debu yang berterbangan di angkasa. Ketika kulihat baik-baik,
aku terkejut dengan bagaimana ekspresinya saat ini; dia seperti tidak
kehilangan apapun.
Oba tidak akan mengancamnya lagi. Semuanya
sudah berakhir.
Shinokawa tampak mengambil sesuatu di lantai.
Itu adalah sebuah kotak kecil berisi kartu-kartu, tapi itu bukan barangku, jadi
itu mungkin milik Oba. Beberapa kartu dijatuhkan dari kotak itu. Dia mengambil
salah satunya, dan setelah melihatnya, ekspresinya berubah.
“Goura-san...Ini...”
Dia mengatakan itu dengan nada suara yang
terbata-bata dan memberikan kartunya kepadaku. Aku mencoba melihatnya dengan
lebih dekat karena gelapnya malam. Itu adalah sebuah SIM, meskipun ada foto Oba
disana, tapi namanya berbeda.
“Toshio Tanaka.”
Jadi itu adalah nama aslinya! Ternyata bukan
Kikuya Kasai atau juga Yozo Oba. Well, tentunya itu adalah nama yang normal,
dan mungkin dia memakai nama palsu untuk menyamarkan nama ini.
“Eh?”
Aku teringat dengan sesuatu di bulan lalu,
aku pernah mendengar nama yang sama. Akupun merendahkan kepalaku dan melihat ke
arah pria yang sedang kutindih ini. Dia tinggi sepertiku. Aku juga ingat kalau
Shinokawa pernah bilang kalau tingginya mirip denganku.
Shida bilang kalau dia lahir di Hase, daerah
di Kamakura, dan kuburan leluhurnya ada disana. Kalau itu betul, harusnya kakek
orang ini dulunya tinggal di Kamakura.
“...Aku ingin bertanya, apa kakekmu bernama
Yoshio Tanaka?”
Aku menanyakan itu dengan sopan. Orang yang
bernama Yoshio Tanaka mungkin saja selingkuhan nenekku – dan juga ada peluang
kalau pria ini memiliki hubungan darah denganku. Tanaka memiringkan bibirnya
dan melihat ke arahku.
“Yoshio Tanaka itu kakekku...Kau tahu dari
mana?”
“.....”
“Keluarga Tanaka punya perusahaan perdagangan
sejak jaman Meiji. Aku dengar bisnis keluargaku sudah bangkrut sebelum kakekku
mewarisinya. Aku adalah satu-satunya Tanaka yang tersisa...Lihat saja
keadaanku.”
Toshio Tanaka mengatakan itu dengan nada yang
bercampur depresi. Kumisnya memang
terlihat panjang dan rapi, tapi masih tersisa sebuah aura darinya. Kupikir ada
bagusnya juga dia terlahir sebagai orang tampan.
“Kakekku adalah satu-satunya orang yang
memberiku nama ini. Nama yang buruk, bukan? Dia juga sering mengubah-ubah
namanya.”
x x x
Kami sepakat untuk berbicara lagi lewat ruang
wawancara di penjara. Lima hari setelah Tanaka ditahan, aku mengunjunginya di
penjara.
Menurut polisi, penyelidikan berlangsung
dengan lancar. Dia jelas-jelas bersalah karena mendorong Shinokawa dan
menerobos masuk rumah orang; setelah mengakui telah melakukan beberapa kejahatan
seperti usaha pembunuhan, pencurian yang gagal, dan intimidasi, tanpa ragu lagi
dia langsung dijebloskan ke penjara.
Mereka menginvestigasi masa lalu Toshio
Tanaka, dan menemukan banyak sekali masalah – di masa lalu, dia bekerja sebentar
di toko buku bekas, mencuri beberapa produk dan menjadikannya koleksi pribadi.
Setelah dia dipecat, dia membuka usaha pelelangan di internet, dan mulai menipu
sana-sini. Tampaknya dia akan dikenakan banyak sekali pasal kejahatan.
“Kakekmu...Apa, dia sudah meninggal?”
Setelah agak ragu, akupun menanyakannya.
Salah satu alasan aku bekerja di Toko Biblia karena aku ingin tahu kabar dari
Yoshio Tanaka.
“...Tampaknya kau kesini hanya ingin bertanya
soal kakek.”
“Ah, sebenarnya, kakekku adalah temannya. Dia
sering mengunjungi rumah kami sebelumnya...Jadi aku sering mendengar namanya.”
“Begitu ya.”
Tanaka tidak menatapku dengan curiga setelah
mendengarkan kata-kataku, dan dia mengangguk.
“Kakek meninggal 15 tahun lalu. Tidak lama
setelah dia menjual rumah kami di Kamakura dan pindah sekeluarga ke Tokyo.”
“...Begitu ya.”
Dengan kata lain, tidak ada orang lain yang
tahu soal hubungan nenekku dengan Yoshio Tanaka. Sayang sekali dia meninggal
tanpa mengetahui detailnya, tapi sekarang aku bersyukur karena rahasia dari
nenekku tidak akan terungkap begitu saja.
“Kakekmu itu orangnya seperti apa?”
“Dia sangat tinggi, dan jika kau bandingkan
dengan foto, aku ini lebih mirip kakekku semasa muda. Dia adalah orang yang
baik, peduli terhadap sesama, dan punya banyak kenalan. Dia juga punya banyak
teman di perusahaan film; kudengar dia sering makan dan minum bersama
mereka...Kalau tidak salah ada studio film di Ofuna?”
Akupun mengangguk. Aku sudah paham hubungan
semacam apa yang dimiliki nenekku dengan orang itu.
“Tapi, bisnis perusahaan tidak berjalan
lancar, dan banyak orang mengundurkan diri. Ketika aku mewarisi itu, rumah kami
adalah satu-satunya aset yang tersisa. Kedua orangtuaku bekerja sangat keras,
mencoba memperoleh kembali sisa-sisa kejayaan kami, jadi aku dititipkan ke
kakekku...Kami berdua hidup bersama. Kakek merawatku dengan baik dan sering
berbicara mengenai buku tua denganku. Waktu dia muda dulu, dia adalah kolektor
buku tua, dan dialah yang mengajariku pengetahuan dasar mengenai itu...Tapi,
toko buku kami tidak memiliki satupun buku yang tersisa. Dia sudah menjualnya
semua. Itu adalah masa dimana aku menyukai buku tua; aku terus mendengarkannya,
tapi aku tidak bisa membacanya sama sekali. Aku adalah anak yang ingin membaca,
tapi tidak bisa...”
Sambil mendengarkannya, aku merasakan ada
sesuatu muncul dari diriku. Pengalaman masa kecilnya kurang lebih sama, dan aku
merasakan kesamaan antara diriku dan dirinya.
“Biar kuberitahu sesuatu yang bagus...Aku
selalu menyimpan ini sebagai rahasia.”
Tanaka mendekatkan tubuhnya dan menaruh
tangannya di panel transparan yang terbuat dari kaca itu. Polisi yang mengawasi
kami hanya bisa menggerutu, tapi tidak mengatakan apapun.
“Sepertinya buku Belakangan Ini itu awalnya adalah milik kakekku.”
“Eh?”
Akupun membuka mataku lebar-lebar. Tanaka
seperti bisa menduga responku, dan dia melanjutkannya lagi.
“Kakekku sering bercerita...Karena kesulitan
keuangan, dia menjual buku ‘uncut’ dengan tanda tangan Dazai itu, dan dia
merasa kalau sudah menjual buku itu terlalu murah. Dia tampak menyesal
setelahnya.”
Disini, aku mulai paham mengapa Tanaka sangat
terobsesi dengan buku itu. Kuraa buku itu mengandung kenangan dari kakeknya.
Aku teringat dengan kata-kata Shinokawa, merasa kalau buku tua yang diwariskan
itu tidak hanya mewariskan isinya saja, tapi juga mewarisi cerita-cerita dari
pemiliknya.
Tapi, buku itu sudah hangus tanpa sisa.
Hmm...
Aku merasakan ada sesuatu yang aneh di
hatiku. Aku merasakan hal yang sama di rumah sakit 5 hari lalu.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan wanita
itu? Apa dia masih membaca buku di rumah sakit?”
Tanaka tiba-tiba mengatakan itu dengan nada
sinis, seperti hendak mengeluarkan seluruh kekesalannya. Sepertinya dia masih
marah kepada Shinokawa karena membakar buku itu, akupun menatapnya.
“...Dia masih di rumah sakit. Bukankah itu
karena ulahmu?”
Pria ini tidak berhak mengatakan apapun soal
Shinokawa. Tanaka terlihat kesal, tapi tidak bisa melakukan apapun, dan melihat
ke arah samping.
“Kupikir dia tidak akan melepaskan buku itu
jika aku tidak melakukan ini...Karena dia terlihat mirip denganku. Tapi aku
salah; wanita itu tidak menyukai buku tua. Siapapun penggemar buku tua pasti
tidak akan melakukan itu.”
“Kenapa kau yakin sekali?”
Dia memang orang yang menyukai buku, tidak
peduli apa kata orang. Aku paham orang yang seperti itu, karena di keluargaku
dulu ada seorang kutu buku juga.
Tapi Toshio Tanaka punya pendapat sendiri.
“Kukatakan dengan jelas. Setahuku, seorang
kolektor tidak akan membakar sebuah buku. Dia akan terus menyimpannya, tidak
peduli apa yang terjadi.”
Apa kau masih mau berdebat? Aku hendak
menyangkalnya, tapi aku tidak bisa mengatakan satupun kata.
Bagi Tanaka, dia akan selalu menyimpan
buku-buku itu.
Suasana janggal di hatiku ini mulai terhubung
satu-persatu, dimana yang sebelumnya tidak terpecahkan, sekarang mulai
terhubung.
Waktu itu, 5 hari lalu – tidak, aku merasakan
sebuah kejanggalan, yaitu ketika Yozo Oba datang ke toko, dia menjelaskan
sesuatu soal buku itu.
Aku tiba-tiba berdiri dari kursiku.
Jadi begitu ya? Kurasa tidak ada penjelasan
lain lagi.
“Ada apa? Kau tampak kurang sehat.”
Tanaka menatapku dengan curiga. Mustahil aku
menceritakan kebenarannya kepadanya.
“...Kurasa aku akan kembali dulu.”
Aku ingin berkata kalau aku akan kembali,
tapi kurasa urusanku lebih penting dari itu. Selama hubungan darah antara kami
berdua tidak diketahui, maka aku tidak perlu mengatakan apapun ke pria ini, dan
aku tidak perlu bertemu dengannya di masa depan. Tepat ketika aku hendak
memanggil petugas polisi kalau aku hendak meninggalkan ruangan pertemuan ini...
“Aku memikirkan ini setelah pertemuan pertama
kita bulan lalu.”
Suara Tanaka terdengar dari belakang.
“Apa kau pernah bertemu denganku di masa
lalu? Tampaknya aku merasa nyaman mengobrol denganmu...Kau sepertinya pernah
mengobrol denganku sebelumnya, entah dimana.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Memang
benar ada interaksi, tapi bukan kita berdua, yang berinteraksi adalah
kakek-nenek.
“Tidak, kita berdua adalah orang yang tidak
kenal satu sama lain sebelumnya.”
x x x
Akupun mengetuk pintu kamar rumah sakit, tapi
tidak ada jawaban. Akupun membuka pintu itu dan masuk.
Shinokawa sedang tertidur di kasur yang
disetel sedikit tinggi, kedua matanya tertutup. Ini adalah adegan yang sama
ketika aku pertamakali datang ke RSU ini untuk bertemu dengannya.
Cahaya matahari yang menggambarkan datangnya
musim gugur mulai mengisi seluruh ruangan ini. Wajahnya yang selembut sutra dan
rambutnya terlihat berkilauan. Dengan ditemani pemandangan seorang gadis yang
cantik, akupun menarik kursi terdekat dan duduk.
Kaki kursi yang kutarik, menimbulkan suara.
Aku sudah lelah memikirkan banyak hal, dan tidak fokus dalam menarik kursi itu
secara diam-diam. Kedua kelopak mata Shinokawa terbuka secara perlahan.
Shinokawa melihat kehadiranku disampingnya,
dan merendahkan kepalanya karena malu. Dia membetulkan kacamanya dan
menyembunyikan wajahnya yang malu-malu.
“Eh, erm...Maaf...A-Aku...Tidak tahu kalau
kau akan datang hari ini...jadi...”
“Maaf sudah datang tiba-tiba.”
Dia melambai-lambaikan tangannya dengan
gugup. Meski begitu, ini bisa dibilang kemajuan jika melihat apa yang terjadi
bulan lalu, dan aku bisa memahami dirinya meski dia tidak mengatakannya secara
jelas. AKu tahu kalau dia kesulitan untuk mengatakannya.
Ketika hendak mengatakan apa yang akan
kukatakan selanjutnya, hatiku merasa berat.
“Aku bertemu dengan Toshio Tanaka hari ini.”
Dia lalu menatap wajahku. Pikirannya mungkin
sedang memikirkan berbagai macam hal saat ini.
“...Begitu ya.”
Meski dia mengatakan itu, dia tidak bertanya ‘apa
yang kalian bicarakan’, aku tidak punya pilihan lain selain melanjutkan
kata-kataku.
“Dia bilang kalau kau berbohong ketika kau
mengatakan kalau kau menyukai buku, Shinokawa.”
“...Mengapa begitu?”
“Karena kau membakar buku Belakangan Ini.”
“...Apa maksudmu, Goura-san?”
“Kutanya dia mengapa dia bisa mengatakan itu
dengan rasa percaya diri yang tinggi.”
“...Itu...Erm...Maksudku apa topik yang
hendak kau bicarakan ini?”
“Kita membicarakan apakah kau menyukai buku,
Shinokawa. Apa ada yang lain dari itu?”
“.....”
Dia tiba-tiba terdiam. Suaraku sangat jelas,
dan aku merasa sudah mengatakan alasanku mengapa aku ada disini. Dia mungkin
sudah menyadarinya, tapi tidak ada keinginan untuk berterus-terang kepadaku.
“Shinokawa, kau menyukai buku?”
“...Aku ingin mengasumsikannya begitu.”
Jawabannya sama saja dengan mengatakan
kebenaran itu sendiri.
Akupun menunjuk ke sebuah brangkas besi yang
ada di bawah rak.
“Bolehkah aku memeriksa isi dari brankas itu?”
Dia tidak mengatakan apapun, melepas satu
kancing piyamanya, dan mencari-cari sesuatu dibaliknya. Kulitnya terlihat
sangat pucat, dan dia mengambil sebuah kunci kecil dari depan dadanya. Aku
menerima kunci itu, dan membuka brankas itu.
Ada sebuah benda yang diselimuti sampul ungu
fukusa. Sayangnya, ini seperti dugaanku.
Akupun duduk di kursi, menaruh benda itu di
pangkuanku dan membukanya. Sebuah buku terlihat dibalik fukusa, dan dibalik
sampul bukunya ada tulisan tangannya. Halaman-halaman buku tersebut dalam
keadaan ‘uncut’; ternyata ‘uncut’. Dan tentunya, masih terbungkus.
Akupun membaca tulisan tangan disana.
Bagi
seluruh makhluk hidup, yang hidup dengan apa yang diyakininya. Kita semua
ditakdirkan menjadi pendosa.
Yang ada di pangkuanku saat ini adalah edisi
pertama karya Osamu Dazai, Belakangan Ini
dimana harusnya terbakar 5 hari lalu.
“Kurasa yang ini adalah buku yang asli.”
Aku mengatakan itu. Bukan sebuah pertanyaan,
tapi sebuah konfirmasi.
“Buku yang dibakar olehmu waktu itu adalah
yang palsu.”
x x x
“...Kau tahu dari mana?”
Shinokawa bertanya kepadaku dengan ekspresi
tidak percaya.
“Pertama, aku merasa ada sesuatu yang tidak
pas. Kenapa...”
Tepat ketika aku hendak menjelaskan, aku
terhenti. Pembukaan seperti itu memang tidak cocok bagiku; dia yang selama ini
memberitahu kebenarannya, dan akulah yang mendengarkan – tapi posisi kami
berdua terbalik kali ini. Lagipula, akulah yang memecahkan misteri ini.
“Kenapa kau tidak mau melapor ke polisi, atau
jika kau tidak bisa, kau harusnya tinggal meminta tolong orang lain untuk
melakukannya...? Bahkan jika mempertimbangkan semua alasan yang kau punya,
Shinokawa, sangat aneh jika kita berdua akhirnya memutuskan untuk menangkap
Yozo Oba sendiri.”
“.....”
“Tapi moment terpenting terjadi 5 hari lalu.
Setelah memikirkan itu...Aku sudah memberikan peringatan kepadamu lewat email,
tapi mengapa kau tidak memanggil pihak keamanan rumah sakit untuk meminta bantuan?”
Dan dia malah kabur ke atap, dimana tidak ada
orang disana. Jika dia dilindungi olah orang lain, pria itu harusnya tidak bisa
mengancamnya.
“Aku mulai berpikir kalau kau memang
melakukannya dengan sengaja, Shinokawa, kau harus kabur ke tempat dimana tidak
ada seorangpun disana, dan melakukan pertunjukan terakhir melawan Yozo
Oba...Itu adalah satu-satunya alasan untuk ini. Kau ingin menunjukkannya adegan
buku itu terbakar habis. Kau ingin memastikan kalau pria itu tidak akan muncul
di depanmu lagi dengan membuat sebuah kenang-kenangan dimana pria itu akan
mengingatnya dengan jelas, yaitu dengan membuatnya berpikir kalau buku itu
tidak ada lagi di dunia ini...benar?”
Akupun menghentikan kata-kataku dan menunggu
jawabannya, tapi hanya kesunyian yang kudapat. Tidak ada satupun bantahan atau
penjelasan, dan ini benar-benar membuatku jengkel.
“Tapi akan terlihat mencurigakan jika kau
menghubunginya begitu saja dan membuatnya melihat kalau kau membakar buku itu.
Oleh karena itu kau merancang skenario dimana pria itu akan mengetahui dimana
buku asli itu berada, membuatnya datang ke rumah sakit untuk mencurinya...Shida
tempo hari bilang kepadaku kalau Kikuya Kasai itu bukan nama aslinya, dan dia
bilang siapapun yang maniak buku pasti akan tahu soal itu. Kau pastinya tahu
ketika aku bilang Kasai pernah mampir ke toko, benar? Tentunya, kau tahu kalau
Kikuya Kasai dan Yozo Oba adalah orang yang sama, jadi kau memanfaatkan fakta
kalau dia sudah pernah masuk dan keluar dari toko...”
Aku mulai mendekati inti dari penjelasanku,
tapi dia tidak meresponku sama sekali dan hanya menundukkan kepalanya. Aku
mulai frustasi dengan responnya itu.
“Kau pastinya punya beberapa edisi bajakan
buku itu. Ketika kau menjelaskan edisi bajakan itu kepadaku, kau bilang kalau
kau juga membawa beberapa bajakan buku itu di rumah sakit...Jadi kau sudah
mempersiapkan dua bajakan untuk skenario ini, satu untuk ditampilkan di toko,
dan satu untuk dibakar disini. Buku yang ditaruh di toko jelas-jelas terlihat
bajakan, bahkan adikmu dan aku saja bisa tahu perbedaannya...Kasai pasti bisa
melihatnya dengan jelas, dan tujuanmu adalah agar membuatnya bertanya kepadaku
dimana buku asli berada. Tentunya, karena aku mempercayai pria itu, aku
memberitahu dimana buku aslinya berada. Di lain pihak, kau membuat buku bajakan
yang akan dibakar itu seperti buku aslinya. Kau buat halamannya agar terlihat
tua, dan menjiplak tulisan tangan Dazai...Karena kau punya buku aslinya, tidak
akan sulit untuk membuatnya mirip asal punya alat-alatnya. Waktu itu sudah
beranjak petang, dan kita mengira kalau itu adalah buku asli karena kita tidak
bisa melihat dengan jelas...Setelah melihat yang palsu di toko, membuat pikiran
kita berpikir kalau yang sedang kau pegang itulah yang asli. Kau juga
menggunakan efek psikologis, kupikir begitu? Toshio Tanaka dan diriku sudah
ditipu olehmu."
Aku menyelesaikan apa yang harus kukatakan
dalam sekali kesempatan, dan akhirnya bisa menarik napasku lagi dalam-dalam.
Harusnya tidak ada yang salah dalam penjelasanku tadi; dan buku asli di
pangkuanku ini adalah bukti yang tidak terbantahkan.
Shinokawa, yang hanya terdiam di kasur,
tiba-tiba merendahkan kepalanya ke arahku. Aku bisa mendengarkan suara
tangisannya dari sini.
“...Aku minta maaf karena sudah berbohong
kepadamu...”
Akupun melihat ke arah lain. Tentunya, aku
pasti marah jika dibohongi seperti ini, dan hanya dijadikan aktor dalam
skenarionya. Tapi, ada satu hal mengapa aku marah; karena dia adalah sesuatu
yang penting bagiku.
“Kenapa kau harus melakukan sesuatunya
sendirian?”
Tanyaku.
“Kau harusnya memberitahuku alasannya sejak
awal, dan pria bernama Kasai itu mencurigakan. Kau tidak perlu mengambil resiko
sebesar itu, benar tidak?”
Lima hari lalu, jika dia ceroboh, Shinokawa
bisa saja ditusuk oleh pria itu. Jika aku tahu apa yang akan terjadi, aku bisa
memancing Kasai ke rumah sakit dengan lebih aman, dan dia bisa membakar buku
itu. Dia merencanakan jebakan seperti itu, kenapa memilih metode yang berbahaya
seperti itu? Ini yang membuatku marah.
“Itu karena...Kupikir kau tidak akan
menolongku, Goura-san...”
Dia mengatakan itu sambil menangis.
“Kenapa kau berpikir seperti itu? Tentu saja
aku akan membantumu, benar tidak?”
Selama sebulan ini, aku pikir kita berdua
sudah dekat. Dia bercerita banyak soal buku, dan aku senang mendengarnya. Aku
merasa ada sesuatu yang spesial tentang kita berdua, dan aku setidaknya
mempercayai dirinya.
“Itu karena...Kau bukanlah seseorang yang
membaca buku...”
Dia mengatakan itu dengan terbata-bata.
“...Aku pikir kau mungkin tidak akan
paham...Bagaimana rasanya memiliki buku favoritmu agar terus bersamamu
sepanjang waktu. Itu karena...Bagimu itu hanya sekedar sebuah buku.”
Aku seperti tersambar petir. Aku pernah
mengatakan itu ketika kita berhadapan di atap rumah sakit – mengapa kau sampai
sejauh itu demi sebuah buku?
Kata-kata itu menyakitinya. AKu tidak bisa
mengatakan kalau aku punya pemikiran semacam itu semenjak bekerja disini;
lagipula, aku adalah orang yang tidak bisa membaca buku. Aku tidak paham
bagaimana rasanya menjadi orang yang melihat sebuah buku sebagai hal penting
dari hidupnya, dan dia melihat dengan jelas sisi ini.
“Karena itu, aku pikir aku tidak punya
pilihan lain...kecuali untuk tidak mempercayaimu...”
kata-katanya itu mengingatkanku akan sesuatu,
dan akupun berdiri secara perlahan. Emosiku menghilang; di titik ini, yang
tersisa hanyalah perasaan untuk meninggalkan tempat ini secepatnya. Pada
akhirnya, hanya diriku saja yang memiliki keinginan untuk tetap berhubungan
dengannya, sedang dia tidak.
Mungkin
akan sulit, karena semua kutu buku lebih suka dengan kutu buku lainnya.
Jadi begitu ya maksud nenekku waktu itu.
Aku tidak memahami orang ini sama sekali, dan
di saat terpenting dalam hidupnya, aku hanyalah orang yang tidak bisa dia
percayai.
“E-Erm, aku...Benar-benar minta maaf...”
“Aku mengundurkan diri.”
“Eh!?”
Dia membuka matanya lebar-lebar. Responnya itu
membuatku sedikit terkejut.
“Aku kembalikan ini kepadamu.”
Aku memberikan kunci toko yang pernah dia
percayakan kepadaku kepadanya lagi, di tangannya yang sedang berbaring di atas
selimut. Lalu, aku mengambil langkah mundur dan menjaga jarak diantara kita.
“Goura-san...E-Erm, aku masih punya beberapa
hal yang ingin kubicarakan...”
Aku memilih untuk tidak mempedulikan suara
paniknya itu dan membungkukkan tubuhku. Aku tidak mau mendengarnya terus
meminta maaf seperti itu, itu hanya membuatku merasa tidak nyaman kepadanya.
“Maaf aku sudah menyulitkanmu selama waktu
yang cukup pendek ini.”
x Chapter IV | END x
"Belakangan ini" yang dimaksud itu kumpulan cerpen karya pertama Dazai yang judul aslinya "Bannen" ya?
BalasHapus