x x x
Tanpa
sadar, jarum pendek jam menunjuk ke angka 11. Ini adalah jam buka toko.
Aku, yang sedari tadi membersihkan debu yang
ada di atas rak buku, bergegas memindahkan keranjang yang berisi buku-buku itu,
dimana rata-rata berharga 100Yen, ke depan toko, dan membalikkan papan nama
toko di depan.
Meski aku sudah buru-buru membuka pintunya,
tidak ada satupun pelanggan yang menunggu. Aku bahkan tidak melihat satu
orangpun yang berjalan dari jalan di depan toko hingga stasiun. Cuacanya sangat
panas, dan cuaca yang seperti ini memang tidak cocok untuk bepergian. Kumpulan
awan cumulonimbus tampak berkumpul di langit yang berada di atas toko ini,
kurasa sore nanti akan dihiasi dengan mendung dan petir.
Embusan angin yang lembab dan menyejukkan,
seperti embusan napas setiap orang. Papan tanda ‘Biblia’-pun berputar oleh
embusan angin itu, dan tulisan ‘Toko Buku Bekas’ mulai terbayang di kepalaku.
Ngomong-ngomong, hari yang baru telah
dimulai.
Akupun melemaskan punggungku, dan kembali
masuk ke dalam toko yang terlihat seperti sebuah goa dengan dinding yang
terbuat dari buku-buku. Suasana di dalam ruangan memang terasa agak lembab,
tapi lebih sejuk daripada di luar.
Ini adalah hari ketiga dari Daisuke Goura,
yang bekerja di Toko Buku Bekas Biblia. Aku tidak pernah tahu sebelumnya, kalau
toko ini sangat terkenal karena memiliki koleksi buku-buku mahal. Setelah googling di internet, aku menemukan
informasi kalau toko ini juga meminjamkan buku-bukunya di berbagai pameran.
Aku, yang punya ‘keadaan’ tidak bisa membaca
buku, bertemu dengan pemilik toko ini, Shioriko Shinokawa, beberapa hari lalu
ketika membawa buku peninggalan nenekku yang berjudul Koleksi Karya Soseki kepadanya. Karena kejadian itu, aku mulai
bekerja disini.
Shinokawa merasa kalau buku-buku tua itu
punya ceritanya sendiri diluar isi buku itu, dan dia juga bisa menjelaskan
dengan sempurna cerita tersembunyi dalam Koleksi
Karya Soseki milik nenekku. Cerita itu berhubungan dengan kelahiranku.
Shinokawa punya pengetahuan yang luar biasa dengan buku-buku tua, dan
memberikan kesan mengagumkan bagiku. Tapi, dia sangat tertutup, dan tidak mau
melihat mata lawan bicaranya ketika tidak membahas tentang buku.
Tiga hari berlalu dengan cepat.
Orang yang menjaga toko ini sebelumku, adik
Shinokawa – Ayaka Shinokawa – tidak pernah memberitahuku apapun soal detail
pekerjaan ini kecuali tentang menggunakan mesin kasir dan perlengkapan
kebersihan. Tampaknya dia juga tidak tahu cara bekerja di toko buku bekas itu
seperti apa, dan terus melihat pekerjaanku dengan tatapan curiga. Aku sendiri
tidak bisa mempercayai diriku, yang awalnya datang kesini sebagai pelanggan,
tiba-tiba menjadi karyawan toko ini hanya dalam waktu satu malam.
“Selain buku-buku, kakakku itu tidak
mempedulikan hal yang lain. Tahu tidak?”
Dia terus mengulangi kalimat itu beberapa
kali, hingga membuatku jengkel.
“Ada seorang pencuri datang ke toko ini
beberapa hari lalu, tahu tidak? Tapi tidak ada yang dicuri. Meski begitu, aku
merasa daerah ini menjadi tidak aman lagi.”
Cara bicaranya itu seolah-olah membuatku
terlihat seperti si pencuri itu. Apa dia tidak ingat kalau dia sendiri yang
membuatku bertemu Shinokawa di rumah sakit? Aku sebenarnya ingin mengatakan
itu, tapi aku terus menahannya dan memilih untuk fokus bekerja saja. Aku adalah
pria yang besar di lingkungan restoran, dan kuanggap itu sebagai omelan
pelanggan restoran saja.
Ayaka sejak pagi ada di rumah utama, dan
belum turun sekalipun. Mungkin dia sudah mulai percaya padaku, atau bisa jadi
dia sudah lelah terus mengawasiku sepanjang waktu.
Suasana di toko ini bisa dibilang sunyi, dan
aku menatap ke arah layar komputer yang ada di meja kasir. Akupun memeriksa
email toko, dan melihat ada email panjang dari Shinokawa. “Selamat pagi, ini
Shinokawa”. Itulah yang tertulis di pembuka emailnya, lalu di bawahnya, ada
banyak sekali instruksi pekerjaan. Di akhir email, dia menulis “Kuserahkan
semuanya padamu. Jika ada yang lain, bisa ditanyakan langsung kepadaku”.
Semua instruksi sejak hari pertamaku bekerja
dikirim via email. Shinokawa sendiri ada di RSU Ofuna, dan menelpon lewat HP
dilarang disana. Dia bisa menelpon lewat lobi, tapi kemungkinan besar dia dalam
kondisi yang tidak memungkinkan untuk keluar dari kamarnya.
Tentunya, aku diminta untuk datang ke RSU
jika ada sesuatu yang berhubungan dengan buku. Tapi, masalahnya adalah tidak
ada pelanggan. Jadi, aku tidak punya peluang untuk mengobrol dengannya.
Pekerjaanku di pagi hari adalah mengemas
buku-buku pesanan pelanggan yang ingin meminjamnya ke rumah. Toko Buku Biblia
adalah salah satu toko buku yang menyediakan jasa peminjaman di daftar penyedia jasa
buku-buku antik, dan mayoritas pesanan buku-buku yang dipinjam berasal dari
internet. Tampaknya pendapatan toko ini mayoritas berasal dari itu; kurasa
begitulah cara toko ini tetap beroperasi meskipun aku sangat jarang melihat ada
pelanggan datang ke toko ini.
Akupun berjalan ke sudut lain toko yang
berisikan rak-rak buku, dan melihat keterangan jenis-jenis buku yang ada di
tiap rak.
Akhirnya, aku tahu toko ini menyasar jenis
buku apa saja. Mayoritas bukunya berisi literatur, sejarah, filosofi, dan seni.
Ada beberapa manga dan buku saku, tapi buku itu sangat kuno dan belum pernah
kudengar judulnya.
Aku lalu mengambil buku-buku yang ada di
daftar email tadi, dan membawanya ke kasir. Sambil mengemas buku-buku itu, aku
juga memeriksa ulang dengan daftar yang dikirimkan oleh Shinokawa.
Ini mungkin sebuah fakta kalau dia hanya
menuliskan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan saja di email. Entah
mengapa, aku merasa membaca sebuah kata-kata yang terselubung disana, “Jika ada
yang lain”. Sepertinya dia hendak mengatakan, “Tolong jangan hubungi aku jika
tidak ada hal yang lain, dan jangan pergi ke RSU”.
Kupikir dia tidak akan senang mendengarkan
obrolan basa-basi dariku; image dirinya berbisik kepadaku, “...Begitu ya,” dan
kembali terdiam seperti teringat jelas di kepalaku. Tentunya, akan berbeda jika
ada hubungannya dengan buku. Dia pasti akan menjelaskan sesuatu kepadaku dengan
mata yang berkaca-kaca, seperti sebelumnya, dan inilah yang ingin kulihat.
Pintu toko terbuka; akupun melihat seorang
ibu-ibu yang berambut putih berjalan masuk ke toko. Dia memakai dress one-piece
berbahan parasol, dan terlihat seperti berasal dari keluarga berada.
Wajahnya tidak terasa familiar, mungkin
karena ini pertemuan pertama kami. Tapi, kupikir dia adalah orang yang tinggal
di dekat sini. Dia sepertinya baru saja selesai berbelanja, karena kulihat dia
membawa kantong plastik dengan label sebuah supermarket di bagian luarnya. Dia
tersenyum dan mengangguk kepadaku, akupun mengangguk balik. Para pelanggan di jam-jam seperti ini biasanya orang tua seperti dia.
Si ibu itu berjalan mengelilingi toko,
berhenti di beberapa sudut, membolak-balik beberapa buku, dan membacanya
sejenak. Akhirnya, dia mengangguk kepadaku dan menggeser pintunya, mungkin dia
tidak menemukan buku yang ingin dia beli.
Ketika hendak keluar, ada pelanggan lain yang
masuk, jadi si ibu itu mundur dan memberinya jalan.
Akupun menghentikan kegiatanku, karena si pelanggan
yang baru masuk itu pakaiannya agak aneh. Dia berkepala gundul, matanya besar
dan lebar. Dia pendek, dan kalau dari kerutan dan kulitnya, kutebak umur dia
50-an. Dia memakai T-Shirt yang terlalu besar baginya, dengan gambar bendera
Inggris. Dia memakai celana jeans, dan handuk kecil berwarna pink menempel di
sekitar lehernya.
Aku tidak tahu pekerjaannya apa, tapi
pastinya bukan karyawan kantor yang sedang libur. Dia juga memegang tas besar yang terbuat dari kain.
Si ibu itu tampak terkejut, sama denganku.
Dia mencoba melewati si botak itu, dan ketika bahu mereka hampir bersentuhan,
si botak itu memegangi bahunya.
“...Hei kau, tunggu dulu.”
Suara bernada bariton itu terdengar seperti
mengancam, dan wajah si ibu itu mendadak pucat. Akupun langsung berdiri; ini
bukan adegan kriminal di jalanan waktu malam hari, ini adalah toko buku bekas
di siang hari. Aku tidak pernah menyangka akan melihat kejadian semacam ini
disini.
“Apa yang kau lakukan!?”
Ketika aku hendak mendorong si botak itu ke
pinggir, dia tiba-tiba menyeringai dan protes.
“Dasar bodoh, kenapa kau malah memegangiku!?
Lihat itu!”
Dia menunjuk ke arah kantong plastik si ibu,
dan menarik sebuah benda yang ada di bagian teratas kantong tersebut. Dia
memegang sebuah buku besar yang tidak bersampul; buku itu ditulis oleh Jiro
Konwa dan Kenkichi Yoshida, berjudul ‘Modernology’, buku yang harusnya kutaruh
di pojokan rak. Namanya memang agak unik, jadi aku masih sedikit ingat dengan
buku ini. Akupun ke pojokan, dan ternyata buku itu memang tidak ada di
tempatnya – dengan kata lain, si ibu ini adalah pencuri.
“Ah...”
Dia menggerutu sambi terkejut. Aku malah
lebih terkejut karena sejak tadi dia dekat-dekat dengan rak buku dan
berpura-pura bersandar disana, ternyata itu untuk mencuri buku. Kupikir pencuri
semacam ini biasanya anak SMP atau SMA, tapi tidak pernah menyangka kalau
ibu-ibu akan melakukan hal semacam ini.
“...Kuharap kau bisa memaafkanku.”
Dia tiba-tiba menatapku dengan ekspresi memelas,
dan ini benar-benar situasi yang tidak wajar. Normalnya, aku harusnya
menyerahkan dia ke polisi, tapi entah mengapa aku agak ragu. Mungkin karena
hubunganku dengan mendiang nenekku, membuatku tidak terbiasa jika berhadapan
dengan wanita yang tua.
“Itu hal yang memalukan bagi orang seusia
anda!”
Si botak terus menggerutu.
“Dunia ini tidak punya tempat bagi orang tua
yang tidak tahu malu sepertimu. Lebih baik menjual ayam di pasar daripada
mencuri buku!”
Dia terlihat lebih emosi dari diriku yang
bekerja disini, dia lalu menarik si wanita tua tadi. Aku harus menghentikannya,
dan ketika kita menatapnya dengan rendah, si wanita tua itu membungkukkan
kepalanya.
“Maaf sudah merepotkanmu.”
Dia lalu lari keluar, dan secepatnya
menghilang dari pandanganku. Aku juga sempat mengejarnya, tapi kehilangan
dirinya. Caranya kabur seperti itu, benar-benar tidak cocok dengan umurnya.
“Dia sepertinya tersangka kriminal yang
sedang marak belakangan ini.”
Si botak itu mengatakan kepadaku ketika aku
masuk kembali ke toko.
“Tolong lain kali lebih waspada terhadap
pencuri, oke? Tidak ada gunanya kau menjaga toko ini jika seperti ini terus.”
“...Maaf.”
Akupun menundukkan kepalaku. Aku
berterimakasih kepadanya karena dia berhasil menghentikan pencurian itu, tapi
aku agak bingung mengapa malah dia yang menceramahiku. Siapa dia? Ketika dia
sadar kalau aku menatapnya dengan penuh tanda tanya, dia menunjuk ke arah
dirinya dan berkata.
“Namaku Shida; aku pelanggan tetap toko ini.”
Orang yang mengaku bernama Shida ini berjalan
ke meja kasir, dan menaruh beberapa buku saku disana. Ada 7, 8 total.
“...Ada apa ini?”
“Masa tidak tahu? Aku hendak menjual
buku-buku ini.”
Hatiku sedikit terkejut. Kalau begini, aku
punya alasan agar bisa bertemu Shinokawa, dan akupun berjalan ke meja kasir.
“Orang yang bertugas menilai buku sedang
tidak ada disini, jadi tolong tinggalkan disini bukunya dan kembali lagi
besok...”
“Oh, aku tahu kalau soal itu.”
Shida mengatakan itu begitu saja seperti
tidak sabar untuk mengatakannya.
“Setahuku dia cedera dan dirawat di rumah
sakit. Apa kamu pegawai barunya? Kau pasti benar-benar menyukai pekerjaan ini.
Apa kamu tidak merasa kalau pemiliknya agak aneh? Sangat langka melihat ada
pemilik buku bekas yang sangat tertutup seperti dia.”
Seperti katanya, dia membuktikan dirinya
kalau dia memang pelanggan tetap toko ini. Dia lalu menjulurkan tangannya di
meja, dan mengambil beberapa kertas di tumpukan dokumen. Itu adalah slip untuk
mencatat transaksi; dia lebih tahu posisi benda-benda disini daripada diriku.
Dia menekan penanya dengan keras. Ketika
kuamati, kuku-kuku tangannya terlihat pecah-pecah di ujungnya. Ada bekas tinta
di ujung jari telunjuknya, tangan seperti itu sepertinya milik orang dengan
kehidupan yang keras.
“Oke, kurasa ini sudah cukup.”
Dia mengatakan itu sambil menyerahkan
slipnya. Alamat yang tertulis di slip itu adalah ‘Di bawah jembatan Pantai
Kugenuma, Kota Fujisawa’. Dan itu benar-benar akan menyulitkanku. Kupikir aku
familiar dengan area Pantai Kugenuma, tapi aku tidak tahu kalau ada daerah
bernama ‘Di bawah jembatan’.
“Ini alamatnya dimana?”
Aku bertanya, dan di saat yang bersamaan, aku
menyadari kalau kolom nomor HP tidak diisi olehnya.
“Sungai Hikijigawa mengalir disini, dan
disana ada jembatan, tepat di depan Pantai Kugenuma. Tahu tempat itu? Itu tepat
di atas jalan pinggir pantai.”
Shiba menggambar semacam peta imajiner dengan
jarinya.
“Ya.”
“Itu tepat di bawah jembatannya.”
Aku terus menatap wajahnya tanpa sedikitpun
memalingkan pandanganku – dan beberapa saat kemudian, aku tahu maksudnya. Orang
ini gelandangan.
“Aku baru saja mendapatkan buku-buku ini. Aku
adalah pemburu buku.”
“Pemburu buku?”
Apa artinya itu? Tapi Shida tidak menjawab
pertanyaanku dan menepuk-nepuk tumpukan buku itu dengan senyum di wajahnya.
“Ngomong-ngomong, bawa buku ini ke rumah
sakit dan minta ke si pemilik untuk menilainya. Mungkin tidak terlihat seperti
tampilannya, tapi ini adalah buku-buku yang tergolong tua. Pemilik tokomu pasti
sangat menyukai buku-buku ini.”
“Ah, oke.”
Aku ingin bertanya ke Shida mengenai pemburu
buku, tapi Shida mencondongkan tubuhnya di meja kasir, mungkin takut ketahuan
kalau dia cukup berkeringat. Padahal, hanya ada aku di toko ini. Sikapnya
memang agak berlebihan.
“...Well, sebenarnya ada yang ingin
kutanyakan kepadanya. Bisakah kau sampaikan ke si pemilik nanti?”
“Huh?”
Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi dia tidak
memberiku peluang untuk memikirkan itu.
“Lagipula, aku pelanggan tetap toko ini,
kurasa itu tidak masalah, benar tidak?...Ngomong-ngomong, ini terjadi
kemarin...”
Dengan ditemani diriku yang hanya diam saja
menatapnya, Shida mulai menceritakan itu.
x
x x
Sorenya, aku pergi ke rumah sakit. Adik
Shinokawa tidak ada kegiatan klub di sore hari, jadi dia yang menjaga tokonya.
Akupun mengetuk pintu kamarnya, yang kudengar hanyalah suara yang cukup pelan.
Seperti suara yang tidak jelas dan berbisik, tapi sepertinya dia ada di dalam
ruangan.
Kami sudah 3 hari tidak bertemu, tapi aku
sendiri merasa kurang senang dengan itu. Aku memikirkan tentang pelanggan yang
bernama Shida yang datang hari ini – dan request yang dia titipkan kepadaku.
“Permisi, ini Goura.”
Ketika kukatakan itu, kubuka pintunya.
“Aku sudah mengirim SMS. Ada yang meminta
menilai buku...”
Aku kehilangan kata-kata. Shinokawa sedang di
atas kasur, dan mengeringkan rambutnya dengan handuk. Sepertinya dia baru saja
selesai mandi, dan kulitnya yang putih terlihat bercampur dengan warna pink.
Setelah dia menyadari kehadiranku, dia tiba-tiba terdiam.
“Maaf. Aku akan tunggu di lorong.”
Dengan malu-malu, aku pergi keluar.
“Ti-Tidak apa-apa...Silakan masuk...”
Shinokawa memanggilku dengan suara yang
malu-malu, dan menundukkan kepalanya ketika mempersilakanku duduk. Rambut hitam
dan mengkilat miliknya tampak basah, dan terlihat ada air menetes di kepalanya,
dan aku hanya bisa menelan air liurku sendiri.
“A-Aku...Baru saja mandi...Kupikir kau akan
datang agak sorean...erm, maaf...”
Tampaknya dia mengatakan kalau dia baru saja
mandi, dan berpikir aku akan datang agak lama, dan merasa tidak enak karena
sedang mengeringkan rambutnya.
“Tidak, kau tidak perlu meminta maaf kepadaku
tentang itu.”
Karena ada yang mau menjaga tokonya, jadi aku
memutuskan untuk datang lebih awal. Aku lalu pura-pura batuk; karena suasananya
mendadak sunyi, aku mulai berpikir banyak tentang adegan ini.
“Apa kau mandi di kamar mandi rumah sakit?”
Dia mengangguk. Aroma shampo yang dia pakai
masih bisa tercium di udara.
“Aku dibantu...”
Shinokawa menggumamkan itu sambil menaruh
handuknya. Dia mungkin hendak mengatakan kalau perawat yang membantunya mandi.
Tampaknya begitu.
Dia tiba-tiba menarik napas yang dalam,
seperti hendak mencoba bersikap santai. Piyama yang dipakainya tampak
mengembang bersamaan dengan dadanya, dan pandanganku terfokus ke situ. Kupikir dadanya kecil, ternyata aku salah –
ah, apa aku idiot? Apa yang terjadi jika dia sadar dengan sikapku? Aku harusnya
langsung membahas urusanku kesini.
“Bisakah kau lihat buku-buku ini.”
Kuserahkan tas yang kubawa. Sejujurnya, aku
agak pesimis. Buku-buku berukuran kecil yang Shida bawa ini tidak sebagus yang
digembar-gemborkan olehnya, tampilannya tidak terlihat seperti buku tua sama
sekali.
Tapi, setelah Shinokawa mengambil salah satu
buku tersebut, sikapnya berubah.
“Wow, ini luar biasa.”
Shinokawa mengatakan itu dengan gembira
seperti menerima kado Natal. Dia memeluk buku kecil itu di dadanya, dan buku
itu terlihat menekan dadanya, membuatku tidak tahu harus fokus kemana untuk
saat ini.
“Coba lihat ini!”
Kedua matanya tampak berkaca-kaca, dia lalu
menunjukkan punggung buku itu kepadaku. Disitu tertulis terbitan Penerbit
Chikuma dan Kodansha Arts. Ada tiga volume buku yang berjudul “Persahabatan Kita”
dari Charles Dickens. Volume 1 dan 2 dari “Kemunculan Buku: Efek dari
percetakan” dari Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin. “Edisi Terbatas, Cerita
Asmara dari Nishotei” oleh Ryuzaburo Shikiba. Volume pertama dan kedua dari
“Ratusan Iblis” dari Shigemaru Sugiyama...Tampaknya tiap buku berisi konten
yang berbeda-beda, dan aku sendiri tidak tahu apa yang bagus dari buku-buku
ini.
“...Buku-buku ini sangat berharga?”
“Ya. Tiap buku bisa dijual sekitar
2000-3000Yen.”
“Eh? Serius?”
Aku terkejut. Ternyata lebih mahal dari
perkiraanku. Dan buku-buku ini tidak terlihat seperti buku tua.
“Semua buku disini mendapat nilai review yang
sangat tinggi, dan belum pernah dicetak ulang. Memang bisa jika membeli edisi
bajakannya, tapi bajakan yang bekas saja tidak akan dijual seharga
2000-3000Yen. Permintaan akan buku-buku ini cukup tinggi di pasaran saat ini.”
Aku teringat dengan ekspresi Shida yang penuh
semangat. Dia mungkin terlihat mencurigakan, tapi kemampuannya menemukan buku
tidak bisa diremehkan begitu saja. Aku sebenarnya agak curiga dia menemukan itu
dari mana. Dia hanya mengatakan ‘menemukannya baru-baru ini’.
“Ada pelanggan yang bernama Shida membawakan
itu ke toko.”
“Ah, jadi dia ya! Aku memang sudah menduga
kalau dia yang membawanya.”
Dia mengatakan itu dengan antusias.
“Mungkin karena ini adalah spesialisasinya.”
“Spesialisasinya? Memangnya apa yang
dilakukan orang itu?”
“Dia itu pemburu buku. Apa dia tidak
mengatakannya?”
“Dia mengatakannya. Tapi, apa sih pemburu buku?”
Aku tidak berkesempatan menanyakan itu ke
orangnya langsung, karena dia tidak memberiku kesempatan untuk bertanya.
“Mereka adalah orang-orang yang membeli
buku-buku murah dari toko buku bekas dan menjualnya lagi dengan harga tinggi.
Shida-san ini pergi berkeliling ke toko buku bekas setiap harinya.”
Ini pertamakalinya aku mendengar ada
pekerjaan semacam itu. Aku tidak menduga kalau akan ada orang yang hidup dari
misi-misi seperti itu.
“Kenapa dia menyebut dirinya pemburu buku?”
“Penjelasannya banyak dan panjang, dan salah
satunya yaitu bisa memeriksa dengan cepat rak buku dan menemukan judul buku
yang berpotensi. Shida-san ini sangat ahli dalam berdagang buku
langka...Mungkin wawasannya jauh lebih dalam daripada diriku.”
“.....”
Ngomong-ngomong, Shida adalah pelanggan
langka yang berkontribusi dalam terkenalnya nama toko kami ini dalam bisnis
buku langka. Aku hanya bisa sedikit menyesal; jika saja aku mendengarnya
berbicara dengan serius...
“Apa Shida-san memberikan request?”
Dia melihat ke arahku lewat celah frame
kacamatanya.
“Ka-Kau tahu dari mana?”
“Dia selalu begitu ketika hendak menjual
buku-buku yang bagus ke toko kami. Dia berkeinginan untuk membeli beberapa buku
edisi terbatas...Benar tidak?”
Dia tersenyum manis ketika mengatakan itu.
Kupikir karena dia sering datang dan memberikan request; karena dia ingin
menjual buku-buku tuanya ke toko buku bekas, maka akan sangat menguntungkan
jika toko kita punya hubungan dengannya.
“Hmm, bagaimana ya...Ini soal buku edisi
terbatas.”
Aku tidak tahu mau memulai dari mana. Request
itu agak – tidak, sangat rumit.
Ngomong-ngomong, aku mengambil catatan dari kantongku, sesuatu yang kutulis
untuk menghindari kalau diriku lupa akan requestnya.
“Dia ingin kita menemukan Edisi Pertama dari
karya Kiyoshi Koyama: Monumen Pemetik+Saint Andersen...”
“Itu sebuah anthologi dari penerbit Shincho
Paperback. Kalau tidak salah edisi pertamanya terbit tahun ke-30 dari Jaman
Showa.”
Shinokawa menjawabnya dengan detail.
“Tapi ini aneh sekali, toko kita punya
beberapa buku itu...”
“Bukan. Yang dia inginkan bukanlah buku yang
ada di toko kita.”
Akupun mencondongkan kepalaku.
“Request darinya adalah, ‘Buku milikku dicuri, dan kuharap kau bisa membantuku memperoleh bukuku
kembali’.”
“Eh?”
Dia mengedip-ngedipkan matanya. Akupun
mencoba menyusun kata-kata Shida tadi di pikiranku; kurasa akan lebih baik,
pikirku, jika aku mengatakan dengan persis apa yang dia katakan kepadaku di
toko tadi.
x x x
“..Aku
tidak punya uang, dan aku tidak muda lagi. Sekarang, aku sudah puas dengan
hidupku; aku tidak menjadi beban orang lain, dan bisa hidup mandiri. Tidak
semua orang tua selalu komplain dengan hal-hal tidak masuk akal seperti wanita
yang baru saja mencuri itu.”
“Aku punya beberapa buku yang tidak akan pernah mau kujual, apapun yang
terjadi. Semua orang punya hal-hal yang berharga bagi mereka, benar tidak?
Bagiku, itu adalah anthologi karya Kiyoshi Koyama, Monumen Pemetik + Saint
Andersen. Kau tidak pernah membacanya? Kau ini memang orang yang kurang
terpelajar.”
“Buku itu, adalah jimat keberuntunganku; aku selalu menaruhnya di tas
dan membawanya kemanapun sehingga aku bisa membacanya kapanpun aku mau...Tapi
buku itu dicuri. Itu terjadi kemarin.”
“Bukankah disana ada jalan menuju Kobukuroya (dia menunjuk ke arah barat
laut)? Itu adalah tempat dimana kau akan melewati jalan pesisir pantai. Tahu
lampu lalu-lintas yang pertama kali kau temui ketika menuruni jalan pinggir
pantai?...Benar. Disana ada perempatan. Belok kiri akan ke Stasiun Ofuna, dan
kalau lurus akan menuju kuil. Aku bersepeda disana kemarin sore.”
“Kenapa, katamu? Untuk bekerja, bekerja. Belakangan ini, aku kenal
seseorang yang berprofesi sama denganku, dan kami sepakat untuk bertransaksi
disana. Volume 2 dari ‘Kemunculan Buku’ itu kudapat darinya.”
“...Huh? Kau tanya apa aku hanya punya volume duanya saja? Serius kamu?
Volume selanjutnya itu sangat sulit untuk dicari. Kau akan sering melihat orang
memperjualbelikan volume pertamanya, tapi volume keduanya jarang, benar tidak?
Volume kedua itu jumlahnya sedikit di pasaran, dan itu membuatnya berharga
lebih mahal.”
“Kami sepakat untuk bertemu di luar kuil. Aku datang pertama dan
memarkir sepedaku di bawah pohon pinus yang berada di sebelah gerbang
kuil...Tidak ada satupun orang ketika aku tiba, dan suasananya sangat sunyi.
Aku tidak membawa jam waktu itu, dan kupikir waktu itu hampir jam 2 siang.”
“Kuil itu di Kamakura, tidak termasuk kuil yang besar, dan pengunjungnya
tidak begitu banyak, terutama jika matahari bersinar cerah seperti kemarin. Aku
malah lebih nyaman berada di bawah banyangan pohon; orang-orang yang berdiri
mengantre di halte bus juga terlihat berkeringat.”
“Waktu itu aku bosan, dan tidak ada pekerjaan lain, jadi aku pikir aku
akan membaca buku di bawah pohon. Tasku ada di keranjang sepeda, dan biasanya,
aku selalu membawa buku Kiyoshi Koyama itu.”
“Tepat ketika aku hendak mengambil buku itu, tiba-tiba perutku kumat.
Mungkin terasa kurang enak kalau aku mengatakan ini, tapi aku sudah kena diare
beberapa hari ini. Aku ingin mengawasi makananku setiap harinya, tapi cuacanya
sangat panas, dan rumahku tidak punya kulkas.”
“Tapi tidak ada tanda kalau ada minimarket ataupun toilet di dekat situ,
jadi aku masuk ke dalam kuil. Kupikir disana ada toilet yang biasa dipakai
wisatawan.”
“Lalu kutaruh tas dan sepedanya di bawah pohon, dan kupikir tidak akan
ada seorangpun yang mau mencurinya. Aku memang ceroboh, dan setelah itu, aku
sadar kalau diriku telah melakukan kesalahan fatal.”
“Lalu aku melewati gerbang dan
menuruni sando. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara tabrakan dari
belakangku. Ketika kutengok, aku menemukan seorang gadis muda terbaring disamping sepedaku, dan dugaanku dia baru saja menabrak sepedaku, karena posisi
parkir sepedaku itu juga dekat jalur pejalan kaki.”
“...’Apa kau baik-baik saja?’ tanyaku ke gadis itu...Well, gadis itu
mungkin sekitar 16-17 tahun, berambut pendek, dan agak tinggi. Seandainya dia
tidak memakai rok, mungkin sudah kukira dia anak laki-laki.”
“Barang-barang kami berserakan di halaman kuil, termasuk isi tasku yang
baru saja kusebutkan itu.”
“’Maaf. Bisa bantu mengangkat sepeda ini?’”
“Aku
mengatakan itu dengan cukup jelas. Well...Kurasa tubuhku sudah tidak kuat lagi,
aku tidak punya tenaga lagi untuk mengambil apapun dan menaruhnya kembali ke
sepeda.”
“Tapi gadis itu tidak mempedulikanku, dia tidak peduli dengan tasku, dan
hanya memunguti barang-barangnya yang jatuh dari tasnya dengan hati-hati...Aku
tidak tahu apa isinya, tapi tas berwarna marun itu tampak mahal.”
“Gadis itu mulai melihat sekitarnya. Sepertinya ada sesuatu yang sangat
penting hilang dari tasnya, dan dia tiba-tiba mengambil sesuatu sebelum lari
meninggalkan tempat kejadian.”
“Jujur saja, aku merasa agak aneh waktu itu. Gadis itu seperti mengambil
buku berukuran saku. Ngomong-ngomong, ketika aku sudah selesai di toilet,
temanku sudah datang dan membantuku memunguti barang-barangku. Aku
berterimakasih kepadanya dan memeriksa isi tasnya, dan ternyata satu-satunya
buku yang hilang adalah karya Kiyoshi Koyama tadi...Aku baru sadar kalau itu
ternyata hilang.”
“Kutanya temanku, dan dia berkata kalau dia baru saja melewati seorang
gadis yang tinggi. Gadis itu menyeberang jalan dan tampak sedang menuju halte
bus. Tentunya, tidak ada satupun orang ketika aku sampai disana, busnya sudah
lama pergi.”
“Akupun berpisah dengan temanku, dan memeriksa halte busnya, tapi dia
tidak ada disana. Kurasa dia mengambil buku milikku dan naik bus disini.”
“Ngomong-ngomong, aku tidak bisa mendapatkan buku berhargaku kembali.
Jadi, ada request yang ingin kuberikan ke toko ini...”
“Huh? Kau tanya mengapa gadis itu mau mengambil buku itu? Bukankah sudah
jelas? Buku sejenis itu pasti bernilai banyak. Dia pasti berniat menjualnya
untuk mendapatkan uang.”
“Karena itu, ketika kupikir lagi, aku sadar kalau toko buku ini adalah
yang terdekat dari kuil itu. Jika gadis itu membawa buku itu untuk dijual
disini, bisakah kalian membelinya untukku? Nanti kuganti uangnya.”
“...Polisi? Tidak, aku tidak mau memanggil polisi. Aku tidak ingin
menangkap pencurinya. Aku hanya ingin buku itu kembali. Ada kalanya manusia
melakukan tindakan bodoh...Tapi aku benar –benar ingin menyelesaikan ini secara
kekeluargaan.”
“Ngomong-ngomong, tolong beritahu pemilik tokonya ya...Aku akan kembali
lagi malam ini. Aku pergi dulu ya!”
x x x
“...Begitulah. Bagaimana menurutmu?”
Aku membuat kesimpulan kasar seperti itu, dan
melihat ke arah Shinokawa. Dia sedang melipat tangannya di atas kasur, dan
tatapannya seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Kurasa Shida-san benar-benar menyukai karya
Kiyoshi Koyama. Aku menyadari itu pertama kali ketika kau sebut dia mencegah
sebuah pencurian.”
Dia mengatakan itu dengan tenang, dan aku
juga mengangguk setuju.
“Eh? Bukankah itu tidak ada hubungannya
dengan request Shida-san?”
Aku memang memberitahunya kalau dia menangkap
pencuri ketika menjelaskan request Shida, tapi dia terlihat tersenyum.
“Buku anthologi yang Shida-san punya itu,
adalah karya Koyama yang berjudul Monumen Pemetik. Kau tahu buku itu tentang
apa?”
“Tidak...”
“Itu adalah cerita pendek tentang keseharian
si novelis. Tentunya, itu dari sudut pandang si novelisnya. Dia bertemu gadis
muda di toko buku bekas, menerima hadiah ulang tahun dari gadis itu, membuka
bungkusnya, dan...Ahh, maaf, aku mulai bercerita panjang lebar lagi.”
Aku dari tadi mendengarkannya dengan
penasaran. Sebenarnya aku lebih tertarik tentang pertemuannya dengan gadis di
tempat semacam itu, dan apa yang terjadi setelah bungkusnya dibuka. Tapi dia
tiba-tiba batuk dan mengganti topiknya.
“Kembali ke topik utamanya, prolog dari
Monument Pemetik itu ada kalimat-kalimat seperti ini.”
Dia melihat ke atas dan menceritakannya.
“...’Jika mungkin, aku berharap aku lebih cepat
tua saja, dimana sakit punggung akan membuatku sulit untuk melakukan apapun.
Ketika itu, aku mungkin akan berternak ayam, tapi tidak semua orang tua akan
menghabiskan waktu mereka berkeluh-kesal tentang kejamnya dunia’.”
Akupun terkejut. Itu persis seperti kata-kata
Shida ke ibu-ibu di toko tadi. Aku memang sedikit terkejut ketika dia berkata
untuk menjual ayam.
Tapi saat ini, aku terkejut dengan hal lain.
“...Apa kau ingat tentang novel yang kau baca
itu?”
Mendengarkan kata-kataku, dia tiba-tiba
melambai-lambaikan tangannya dengan malu-malu.
“Ke-Kenapa? Bukan begitu. Mengingat semuanya
itu sangat...Aku hanya ingat beberapa halaman saja yang merupakan bagian
terbaik dari buku...”
“Eh? Bukankah itu luar biasa? Aku belum
pernah bertemu seseorang yang seperti itu.”
Aku mengatakan sejujurnya apa yang ada di
pikiranku, tapi responnya diluar dugaanku. Seperti mematung, mulutnya terbuka
lebar, dan wajahnya memerah.
“...A-Aku merasa aneh dipuji seperti itu.”
“Eh? Kenapa begitu?”
“Ini pertamakalinya seseorang mengatakan aku
luar biasa...”
Dia melirikku dari celah kacamatanya, dan
ketika kedua mata kami bertemu, dia tiba-tiba merendahkan kepalanya lagi. Aku
seperti tidak tahu harus mengatakan apa.
“...N-Ngomong-ngomong, kurasa kita harus
membantu Shida-san.”
Melihat situasi aneh menyelimuti kita berdua,
Shinokawa pura-pura batuk untuk mengganti topiknya.
“Goura-san, apa kau memeriksa ada orang yang
datang dan menjual Monumen Pemetik + Saint Andersen. Juga...”
Kedua mata dibalik kacamata itu menajam.
“...Juga aku membayangkan sesuatu.”
“Membayangkan?”
“Apa gadis itu benar-benar mencuri buku untuk
uang?”
Aku juga memikirkan itu. Mungkin beda
ceritanya jika gadis itu pemburu buku seperti Shida, tapi apa orang biasa akan
berpikir untuk menukar buku tua demi uang?
“Aku merasa agak aneh jika dia hanya mencuri
satu buku saja.”
Begitulah katanya.
“Shida-san sepakat untuk bertransaksi buku
dengan pemburu buku lainnya. Itu berarti di tasnya itu banyak sekali barang
yang bisa ditukar dengan uang. Jika gadis itu mengincar uang, bukankah akan
aneh jika dia tidak mengambil barang yang lain...?”
Akupun mengangguk. Ini memang aneh –
Shinokawa, yang dari tadi melipat lengannya, tiba-tiba mencondongkan tubuhnya
ke arahku. Aku seperti melihat sebuah pose dari model majalah, tapi aku
langsung kembali ke diriku.
“A-Ada apa?”
“Kurasa Shida-san tidak akan mendapatkan
bukunya kembali jika situasinya seperti ini...Kenapa kita tidak mencari gadis
itu?”
“Eh...”
Aku tidak pernah memikirkan itu. Mengapa kita
harus sejauh itu kepada pemburu buku? Tapi, aku tidak mau menghentikannya.
Kedua mata Shinokawa tampak terbuka lebar. Bahkan tanpa adanya urusan tentang
menjual buku, kasus ini membuatku memiliki alasan untuk pergi kesini dan
menemuinya.
Di saat yang bersamaan, antusiasmeku untuk
menangkap pelaku ini juga mulai muncul.
“Ayo kita bantu. Aku memikirkan hal yang sama
juga.”
Aku mengatakan itu dengan nada yang
meyakinkan, atau setidaknya menambahkan kalimat hiperbola. Dia lalu bertepuk
tangan dengan gembira di depan dadanya.
“Terima kasih banyak. Aku tahu kalau kau akan
mengatakannya, Goura-san.”
Setelah mendengarnya mengatakan sesuatu
dengan namaku, membuatku merasa tersentuh. Jadi dia benar-benar mempercayaiku?
Ketika suasananya berubah menjadi lebih baik, dia melanjutkan.
“Tapi jika gadis itu tidak menjualnya untuk
uang, kenapa dia mencuri buku itu? Menurutmu kenapa, Goura-san?”
Aku tiba-tiba melamun mendengarkan pertanyaan
tersebut. Aku sebenarnya ingin mendengarkan kata-katanya, persis seperti ketika
dia membuka misteri dari Koleksi Karya Soseki terakhir kali.
“Ah, yeah...Mungkin dia mencurinya karena dia
ingin membaca buku? Atau mungkin dia ingin membaca buku, tapi tidak menemukan
buku?”
“Kurasa persentasenya cukup kecil.”
Shinokawa seperti menyangkal teori itu dengan
kedipan matanya. Caranya menjawab itu sangat meyakinkan daripada kata-katanya
sendiri.
“Buku ini bukanlah buku yang terbilang
langka, dan tidak sulit untuk menemukannya di berbagai toko buku bekas. Buku
ini juga pernah dicetak ulang 15 tahun lalu.”
“Kalau begitu...Ah, ya, mungkin dia mengambil
buku yang salah ketika mengumpulkan barang-barangnya...”
Kudengar dari Shida kalau barang-barang di
tasnya juga berserakan. Mustahil dia punya buku yang mirip, dan mengambil buku
yang salah karena bingung.
“Kupikir juga begitu, tapi dalam situasi
seperti itu, gadis itu pasti akan tetap di lokasi...Kupikir ada sebuah alasan
yang menyebabkan dirinya mencuri buku itu.”
“Hmm...”
Aku tidak bisa mencari penjelasan lain soal
ini. Mungkin ini limit dari kemampuan mentalku – tunggu, bukankah ini aneh?
“Jika dia tidak melakukan itu untuk uang atau
dibaca, lalu mengapa dia curi buku itu?”
“Ya, aku merasa kalau itu adalah pangkal
permasalahan kasus ini.”
Shinokawa mengatakan itu dengan semangat.
“Alasan mengapa buku itu dicuri merupakan
petunjuk penting yang membawa kita ke gadis ini. Mari kita investigasi ini.”
“Eh...Tapi apa yang akan kita lakukan?”
“Dari penjelasan Shida-san, kita hanya
memahami beberapa hal saja.”
Dia menaikkan jari telunjuknya ketika
mengatakan itu, dan aku secara spontan melihat ke arahnya.
“Pertama, dia terlihat terburu-buru. Dia
pasti menabrak sepeda yang diparkir di sisi trotoar karena berlari.”
“...Yeah.”
Aku mengangguk, lalu dia menaikkan jari
tengahnya.
“Juga, ada hal lain tentang jadwal kedatangan
bus. Menurut kata-kata Shida-san, ada orang-orang yang menunggu di halte bus
ketika dia bersepeda menuju kuil...Kurasa gadis itu sedang terburu-buru untuk
mencapai halte itu.”
Aku mulai paham. Dia terburu-buru karena
mengejar jadwal bus.
“Tapi ini agak membingungkan. Jika dia
terburu-buru, mengapa dia tidak langsung lari secepatnya setelah
berdiri...Shida-san bilang dia masih memeriksa isi tasnya dan melihat ke
sekitarnya.”
“Ah, ya. Dia mencari sesuatu seperti benda
miliknya yang jatuh...”
“Tapi dia tidak mengambil barangnya...Dia
mengambil buku Shida-san. Kupikir ada kemungkinan lain.”
Dia secara perlahan mengatakan tiap kata
tersebut.
“Barang si gadis itu tidak ada yang
ketinggalan, mungkin karena rusak atau semacamnya?”
“Rusak? Memangnya barang seperti apa itu?”
“Entahlah...Kalau begitu, mungkin dia
berpikir untuk mengambil buku itu sebagai pengganti benda yang rusak atau
memperbaiki sesuatu. Dia kan
melihat-lihat dahulu keadaan sekitarnya, lalu memilih untuk mengambil buku
seukuran saku...”
Aku menatapnya dengan intens. Ini persis
ketika dia memecahkan Koleksi Karya Soseki. Dia bisa mendeduksi banyak sekali
hal dari petunjuk yang sedikit, dan dia tidak mengatakan itu tanpa keluar dari
kamar pasien.
Tapi, ada sesuatu yang tidak kupahami.
“...Kalau begitu, apa gunanya buku seukuran
saku?”
Shinokawa mendesah, dan menaikkan
jari-jarinya. Dia mungkin tidak sadar, tapi dia mirip sekali dengan kucing
pembawa keberuntungan, dimana aku melihatnya dengan aneh.
“Aku tidak bisa memikirkannya secara detail.
Informasinya terlalu sedikit.”
Dia mengatakan itu sambil tetap dengan pose
Kucing Keberuntungan.
“...Mungkin ada baiknya untuk bertanya kepada
si pemburu buku yang sepakat untuk bertransaksi dengan Shida-san. Mungkin dia
tahu sesuatu.”
“Eh? Mengapa?”
“Kenalan Shida-san itu berkata kalau dia berpapasan
dengan gadis itu, tapi dia tidak akan tahu banyak jika dia hanya berpapasan.
Dia tahu kalau gadis itu ke halte bus karena dia membalikkan badannya dan
melihat ke arah gadis itu setelah melewatinya. Benar tidak?”
“...Begitu ya.”
Rasa penasaranku hilang seketika.
“Shida-san bilang kalau dia nanti malam akan
ke toko. Apa kutanya saja bagaimana cara menghubungi temannya itu?”
“Tapi temannya mungkin akan keberatan untuk
datang kesini.”
“Ya, itu benar. Kurasa kitalah yang harus
mengunjunginya.”
“Begitu ya...Tunggu, siapa yang akan menemuinya?”
Dia melihatku dengan penuh tanda tanya. Itu
pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar dari pembicaraan kita selama ini.
Shinokawa tidak bisa meninggalkan rumah sakit. Bukankah itu otomatis
menunjukkan siapa yang yang harus pergi?
x x x
Esok harinya, adalah hari libur bagi toko
Biblia.
Itu adalah libur pertama semenjak aku
bekerja, tapi yang kulakukan malah pergi keluar, dipanggang oleh matahari. Aku
parkir skuterku di depan kuil Kamakura, lokasi dimana Shida kehilangan bukunya.
Aku berdiri di bawah bayangan pohon pinus,
menyeka keringatku sambil melihat sekitarku. Tempat ini dekat sekali dengan
SMA-ku, dan aku sering kesini ketika ikut dalam kegiatan mengunjungi kuil –
sebuah kegiatan rutin di sekolah-sekolah yang ada di Kamakura. Perumahan di
sekitar sini tidak jauh berubah. Dekat dengan jalan pinggir pantai, tapi aku
tidak bisa menemukan restoran ataupun minimarket. Perumahan disini cukup sepi,
dan aku tidak melihat adanya satupun pejalan kaki.
Aku sepakat untuk bertemu dengan teman
Shida-san disini.
Shida datang kembali ke toko tadi malam, dan
dia sangat senang ketika tahu kalau kami hendak mencari gadis pencuri tersebut
(dan harga buku yang hendak dia jual). Dia memberitahuku kalau dia juga hendak
menghubungi temannya itu, dan dia menghubungi temannya itu menggunakan telepon
di toko. Aku tidak berbicara secara langsung dengan temannya itu, tapi dia
setuju kalau dia akan menemuiku, dan memberitahuku jam beserta lokasinya.
“Kau harusnya membaca Monumen Pemetik itu sesekali.”
Shida mengatakan itu kepadaku setelah
menelpon temannya.
“Itu adalah buku pertama yang kubaca ketika
memulai bisnis ini. Aku sebenarnya tidak ada niatan bekerja seperti ini;
perusahaan dan keluargaku berantakan...Tapi kurasa itu sudah tidak tertolong
lagi. Aku merasa damai ketika membaca di bawah jembatan.”
Shida pertamakali datang ke Biblia beberapa
tahun lalu, dan Shinokawa tidak tahu dimana dan apa pekerjaannya sebelum itu.
“Dia hanya orang malang yang tidak punya
skill sosial yang bagus. Keinginanku saat ini adalah sebuah keinginan yang
sederhana. Menemukan gadis lugu yang mau merawat pria ini, kurasa begitu.”
Nada suara Shida ketika menceritakan isi buku
itu terlihat lembut sekali. Dia seperti menceritakan itu kepada saudaranya sendiri.
“Meski si novelis tahu, dia tetap menulis
cerita ini. Kau akan paham jika kau membacanya...Aku benar-benar bersimpati
dengan penulis yang menulis cerita hidupnya sendiri.”
Akupun mengangguk – dan merasa kalau ingin
membacanya juga.
“...Sebenarnya, aku tahu kalau mendapatkan
buku itu kembali seperti sebuah hal yang sulit, tapi aku tidak suka menyerah
begitu saja...Aku tidak akan menyalahkanmu meski kau tidak bisa menemukannya,
jadi tolong santai saja...Sampaikan salamku kepada ‘baron’ itu.”
Siapa yang dia sebut dengan
‘Baron’?
Aku menggumamkan itu di bawah pohon pinus.
Mungkinkah itu sebutan si pemburu buku itu? Shida tidak pernah memberitahuku
tampilannya seperti apa, kurasa aku akan mengenalinya setelah bertemu
dengannya.
Aku memeriksa waktu di HP-ku. Ini baru saja
lewat jam pertemuan, tapi ketika aku hendak memikirkan bagaimana akan
menyapanya...
“Boleh kutahu apa yang kau lakukan disini?”
Aku mendengarkan suara dari belakangku. Aku
melihat ke belakang, dan melihat ada pria tinggi dengan kaos putih keluar dari
gerbang kuil. Dia mungkin berumur hampir 30 tahun, bermata lebar dan rambut
keriting. Kulitnya yang jarang disinari matahari itu memunculkan aroma wangi dari parfum, dan
kalau tidak karena tas kulit yang dia pegang, aku mungkin akan mengira dia
adalah model yang mengambil foto di waktu luangnya. Apa dia baru saja
berziarah?
“Aku sedang menunggu seseorang.”
Jawabku, dan kedua mata pria itu terbuka
lebar. Dia lalu tersenyum kepadaku.
“Dengan kata lain, kau sama denganku. Aku
berjalan-jalan sebentar di kuil karena datang lebih awal...Apa kau orang yang
membantu Shida-san menemukan bukunya?”
“Ya.”
Pria ini menjabat tanganku dengan erat
beberapa kali. Aku masih bingung dengan situasi itu, dan hanya bisa melihat
tangannya dan wajahnya saja berulang kali.
“Aku teman Shida-san, Kasai. Entah mengapa,
dia menyebutku ‘Baron’.”
Kasai menaikkan bahunya. Ngomong-ngomong, dia
seperti pria tampan di lukisan, dan aku benar-benar ingin menyebutnya
‘sesuatu-regal’.
x x x
Kasai memberiku kartu bisnisnya. Tapi, aku
tidak punya.
“Aku Goura, bekerja di Toko Biblia.”
Aku tidak punya pilihan kecuali
memperkenalkan diriku secara verbal.
“Ah, jadi kau dari toko buku itu? Aku dulu
pernah lewat sana, tapi tidak pernah masuk. Apa kau pemiliknya?”
“Bukan, aku hanya karyawan disana. Baru saja
bekerja disana.”
“Begitu ya? Kuharap aku bisa mengunjunginya
suatu hari nanti.”
Dia mengatakan itu dengan senyum.
“Aku hanya mengenalmu sebagai teman
Shida-san, jadi kupikir kau memiliki pekerjaan yang sama dengannya. Aku
benar-benar meminta maaf karena telah memanggil anda di tengah hari kerja
seperti ini.”
Kasai terlihat menggaruk-garuk kepalanya. Dia
terlihat agak menakutkan, tapi dia tampak tidak seperti orang jahat.
Kulihat kartu bisnis yang ada di tanganku,
ada kata, ‘Pemilik Toko Buku Kasai’ di atas nama Kikuya Kasai. Kudengar kalau
orang ini adalah pemburu buku, tapi tampaknya dia juga punya toko.
“Toko Buku Kasai adalah nama yang biasa
kugunakan di internet. Biasanya, aku fokus di membeli dan menjual secara
online, jadi metodeku agak berbeda dengan Shida-san.”
Aku seperti kagum ternyata ada pemburu buku
yang seperti itu. Memang benar kalau akan lebih cepat jika menjual buku-buku
itu ke pelanggan langsung daripada lewat toko; metode ini mungkin tidak jauh
berbeda dari toko buku yang biasanya.
“Aku tidak punya banyak pengalaman di buku,
dan aku biasanya menjual beberapa album lagu edisi terbatas dan game. Aku
sering bertransaksi dengan Shida-san, dan bidang yang kami geluti tidak saling
bertabrakan.”
Kalau melihat tampilannya, dia tidak terlihat
seperti orang yang kekurangan uang. Dia terlihat seperti pemburu buku yang
ulung.
“Oh ya. Apa ini menyangkut gadis yang
mengambil buku Shida-san?”
Aku kembali ke tujuanku setelah Kasai
mengatakan itu. Aku lalu menjelaskan kepadanya apa yang Shinokawa temukan;
informasi yang kita miliki tidaklah cukup bagi kita untuk menemukan gadis yang
mengambil buku itu. Setelah mendengarkan ceritaku, Kasai menaikkan alis
matanya.
“Apa?
Aku sudah menceritakan itu ke Shida-san. Dia tidak bilang kalau buku yang
dicuri itu adalah buku paling berharganya.”
“Apa kau tahu sesuatu?”
“Yang kutahu adalah apa yang kau tahu; tapi
kurasa aku tidak sekedar berpapasan saja. Ah, disana.”
Kasai
mengatakan itu dan berjalan menuju jalan pinggir pantai. Halte bus berada di
ujung jalan ini, dan aku bisa melihat lampu lalu lintas dan perempatannya. Dia
berhenti di depan pintu gerbang kuno yang ada di halaman kuil.
“Mungkin lebih tepat jika dikatakan kita
bertemu secara tidak sengaja daripada hanya sekedar lewat. Waktu itu sekitar
jam 2 siang, dan aku sedang berjalan setelah melewati perempatan itu. Dia
jongkok disini, dan terdengar suara seperti mencari-cari sesuatu di tasnya.”
Gerbang ini seperti ditutupi oleh kebun, dan
aku tidak bisa melihat pemandangan dengan jelas dari posisi ini. Lalu aku
melihat ke arah pohon pinus; dari posisi ini, tampaknya si gadis ada disini
sebentar setelah mencuri buku itu.
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia membelakangiku ketika hendak
melewatinya, jadi aku sendiri tidak yakin. Ada tas berwarna marun yang
diletakkan di trotoar, dan dia mencari-cari sesuatu dengan memasukkan tangannya
di dalamnya. Dia tampak terburu-buru, lalu menoleh sesekali ke arah halte bus.
Kupikir itu cukup aneh, tapi karena aku sendiri sedang ada janji, aku
meneruskan perjalananku. Tepat ketika aku melewatinya, dia memanggilku.”
Aku agak terkejut.
“Eh? Kau berbicara dengan gadis itu?”
“Ya. Dia bertanya kepadaku, ‘Apa anda punya
gunting?”
“Gunting?”
“Ya, gunting kertas. Kupikir dia hendak
meminta yang lain, jujur saja, aku belum pernah mendengar seorang pejalan kaki
meminjam gunting...Tapi aku sendiri memang membawa gunting. Aku harus
mengirimkan banyak sekali benda lewat pos, jadi akan sangat nyaman jika membawa
gunting untuk membantu pembungkusan paket.”
Kasai mengambil gunting yang terbuat dari
stainless steel entah dari mana, akupun melihatnya dengan jelas ketika dia
membuka dan menutupnya.
Akupun menatap mata gunting itu yang
memantulkan cahaya. Jika dugaan Shinokawa benar, buku itu diambil oleh gadis
itu untuk memperbaiki sesuatu, bukankah itu artinya buku milik Shida sudah
dipotong-potong?
“Aku tidak tahu kalau buku Shida-san dicuri
ketika aku meminjaminya gunting, dan dia terlihat seperti tersipu malu. Dia
menggunakannya sebentar, lalu mengembalikannya kepadaku.
“Apa kau lihat yang gadis itu lakukan?”
“Tasnya menghalangiku, dan aku tidak tahu apa
yang ada di tas itu...Tunggu. Dia seperti memegangi sesuatu ketika aku
meminjaminya gunting. Kurasa itu...”
Kasai melihat ke arah langit untuk sejenak,
lalu dia melanjutkan.
“...Kupikir itu semacam kotak pendingin.”
“Kotak pendingin?”
“Itu loh,
yang biasa dipakai untuk menyimpan agar makanan tetap dingin, tahu tidak?”
Aku tahu itu, tapi yang tidak kumengerti
adalah mengapa gadis itu memegang kotak pendingin.
“Apa itu berarti tasnya berisi makanan atau
semacamnya?”
“Mungkin saja, tapi aku tidak tahu apa itu.”
Buku berukuran saku, gunting, dan kotak
pendingin; aku tidak tahu apa hubungan ketiga benda itu.
“Setelah mengembalikan guntingnya kepadaku,
dia lalu menyeberangi jalan dan berlari ke halte bus.”
Kasai menunjuk ke halte bus yang berada di
seberang jalan. Ada seorang siswi SMA yang berseragam, menunggu bus; dia
memakai seragam dari almamaterku. Dia mungkin hendak pulang setelah kegiatan
klub, dia membawa semacam tas yang lebih tinggi darinya, berdiri disana.
“Ada siswa SMA juga waktu itu, dia seperti
anak laki-laki dengan rambut pirang membawa gitar di punggungnya...Busnya belum
datang, dan karena kurasa itu tidak ada gunanya untuk melihat ke arah mereka
terus, aku putuskan untuk melanjutkan perjalananku ke kuil.”
“Jadi gadis itu naik bus, benar begitu?”
“Dia memang harusnya bisa, tapi dia tidak
naik.”
“Eh? Apa yang terjadi?”
Dia harusnya bisa naik bus dari sini ke
stasiun Ofuna. Aku selalu berpikir kalau gadis itu hendak menuju stasiun.
“Aku sampai di gerbang depan kuil, dan mulai
membantu mengumpulkan barang-barang Shida-san. Beberapa saat kemudian, aku agak
khawatir dengan gadis itu, jadi kulihat sebentar ke arah halte bus itu. Busnya
mulai terlihat berangkat, dan para penumpangnya sudah naik, tapi dia adalah
satu-satunya orang di halte yang tidak naik.”
“Dia harusnya naik bus itu kalau hendak ke
stasiun. Tapi dia tidak naik bus?”
“Begitulah. Aku tidak tahu apa alasannya.
Setelah itu, dia membawa tas itu di lengannya menuju perempatan jalan, dan
itulah yang kulihat.”
Akupun memiringkan kepalaku. Setelah mendengarkan
penjelasan Kasai, misteri ini tampaknya semakin membesar. Dia membawa tas yang
berisi kotak pendingin, mencuri buku saku, dan menggunakan gunting untuk
memotong sesuatu, berlari ke stasiun, tidak naik bus, dan melihatnya pergi –
aku tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.
x x x
Setelah mengucapkan selamat tinggal ke Kasai,
HP-ku berbunyi. Itu berasal dari nomor yang tidak dikenal, aku awalnya agak
ragu untuk menerimanya.
“Ya?”
Aku mengatakan itu, dan menunggu balasan,
tapi tidak ada balasan dari yang menelponku.
“Halo, boleh kutahu siapa ini?”
Tidak ada jawaban. Apa ada orang yang hendak
menjahiliku?
“Serius ini, ada apa?”
Aku mengatakan itu dengan nada tidak sabar.
Tapi tepat ketika aku hendak memutus telponnya.
[“...Ini Shinokawa”]
Suara yang lembut itu mengejutkanku.
“Shinokawa? Erm, ada apa menelponku
tiba-tiba...”
Pikiranku entah kemana. Aku memang pernah
memberitahunya mengenai nomorku ini, tapi aku tidak pernah menyangka kalau dia
akan menelponku. Dia memang tidak diperbolehkan menelpon di kamar pasien, tapi
diperbolehkan untuk mengirim SMS dan email.
[“A-Aku ada di lorong saat ini...Aku baru
saja keluar dari ruang rehab...”]
Dari kata-katanya itu, aku ingat kalau ada
tempat di dekat lorong dimana para pasien diperbolehkan untuk menelpon. Dia
pasti menelponku dari sana; mungkin ada baiknya jika dia memberitahuku sejak
awal.
[“Aku sangat ingin tahu apa yang si pemburu
buku itu katakan...Jadi aku menelponmu. Maaf ya...jadi...”]
Dia sepertinya hendak menutupnya, tapi karena
terkejut, aku tiba-tiba menaikkan nada suaraku begitu saja.
“Tung-Tunggu- Tunggu, tolong tunggu dulu!”
Kalau dia tutup dalam situasi seperti ini,
kesalahpahaman ini mungkin akan terus berlanjut.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu.
Aku baru saja menyelesaikan wawancaraku dengan pemburu buku itu!”
Aku mulai menceritakan apa yang kubicarakan
dengan Kasai. Untungnya, dia tidak menutup telponnya - tapi aku merasa kalau
dia bertambah bingung karena banyaknya hal yang kujelaskan kepadanya. Tidak
terbayangkan kalau akan ada seseorang yang memahami informasi yang
sepotong-sepotong itu dan diberitahukan lewat telpon.
Ketika aku menceritakan tentang gadis itu
yang menyeberang jalan, Shinokawa bertanya kepadaku, menunjukkan ekspresi tidak
terkejut dan tanpa keraguan.
[“...Gadis itu meninggalkan halte bus bersama
tasnya begitu saja?”]
Aku merasa lega. Sikapnya berubah setelah dia
bertanya soal buku itu; ini adalah kondisi dimana dia akan memecahkan misteri.
“Eh? Ya, tampaknya begitu.”
Jawabku. Lalu, dia mendesah.
[“...Begitu ya. Tampaknya aku paham.”]
“Paham bagaimana?”
[“Apa yang hendak dia lakukan, dan mengapa
dia mencuri buku itu...”]
Akupun membuka mulutku karena terkejut.
“Eh, benarkah?”
[“Aku tidak tahu kebenarannya, tapi aku
tampaknya mendapatkan gambaran tentang apa yang terjadi.”]
“Luar biasa! Aku bahkan tidak bisa
menyimpulkan itu...”
Aku sangat terkejut dia bisa mendeduksi
kebenarannya hanya dengan mendengarkan kata-kataku. Tampaknya aku salah kalau
berpikir tidak ada yang bisa memecahkan kasus ini; dia menunjukkan sesuatu yang
mengagumkan ketika membahas sesuatu yang berhubungan dengan buku.
[“...Tidak, aku tidak sehebat itu...”]
Dia lalu terdiam, dan diriku, yang antusias
mengenai ini, merasakan ada yang aneh. Dia mengatakan sudah memecahkannya, tapi
dia tampak menolak itu; dia tidak terlihat senang.
“Jadi, ada apa sebenarnya?”
Aku seperti dipengaruhi olehnya, dan suaraku
terdengar merendah. Setelah diam sejenak, dia berbicara.
[“...Itu adalah hadiah.”]
“Huh?”
[“Gadis itu punya sebuah hadiah di tasnya,
dan itu tampaknya makanan yang harus didinginkan. Karena tasnya tidak ada
tanda-tanda merk tertentu, kupikir dia tidak membelinya, tapi membuatnya
sendiri. Dia sangat terburu-buru karena dia ingin memberikan itu ke orangnya
langsung.”]
“Kepada siapa...”
Kata-kataku terhenti, aku mulai teringat
keterangan dari Kasai. Ada siswa yang menunggu di halte bus, anak laki-laki
dengan rambut pirang, membawa gitar di punggungnya.
“Dan alasan kenapa gadis itu tidak naik
bus...”
[“Dia memang tidak berniat naik bus itu, dia
sebenarnya hanya ingin memberikan hadiah itu ke anak muda tersebut...Tapi dia
mendapat masalah. Dia menabrak sepeda Shida-san dan terjatuh...Tas berisi
hadiah itu terjatuh di trotoar.”]
“...Apa hadiahnya rusak?”
Aku teringat dengan kue sandwich yang kumakan
bersama dengan Shinokawa. Apa makanannya semacam kue?
[“Jelas tidak, karena jika rusak, maka gadis
itu tidak akan memberikannya. Jadi yang rusak bukanlah makanannya...Tapi
sesuatu diluar makannya.”]
“Diluar?”
[“Itu adalah hadiah ke lawan jenis, jadi
harusnya memiliki bungkus yang bagus. Mungkin dekorasi atau sesuatunya menjadi
rusak, dan dia harus memperbaikinya dengan cepat, tapi dia tidak membawa bahan
dan peralatan. Dia juga tidak menemukan adanya minimarket di daerah
sekitarnya...Dan ketika itu, kedua matanya melihat buku saku Shida-san...”]
“Tapi menurutku ada yang aneh.”
Aku, yang mendengarkannya dari tadi, tidak bisa
mengikutinya dan memotongnya.
“Aku tidak pernah mendengar kalau halaman
dari sebuah buku bisa untuk memperbaiki bungkusan hadiah.”
[“...Kupikir dia tidak menggunakan buku itu.
Yang ingin kukatakan adalah...”]
Terdengar suara pintu bus yang dibuka, dan
ada sebuah bus berhenti di halte dan ketika aku menyadarinya, tanpa sadar aku
berteriak di telpon.
Ada anak muda yang turun dari bus. Celana
sekolahnya ditutup oleh kemeja putih, dan dia membawa pembungkus gitar di
punggungnya. Dia mungkin hendak menuju ke sekolah untuk latihan. SMA-ku dulu
selalu mengadakan festival budaya setelah liburan musim panas; apa dia hendak
menampilkan band dengan teman-temannya atau dia anggota klub musik?
Rambutnya pendek dan pirang; tampaknya rambut
itu adalah hasil di-cat.
[“...Goura-san, ada apa?”]
“Ada anak SMA baru turun dari bus. Kalau
dilihat dari ciri-cirinya, dia mirip anak laki-laki yang menunggu di halte bus
setelah buku Shida-san dicuri...”
[“Cepat kejar dia!”]
Shinokawa mengatakan itu dengan cepat.
[“Tolong tanyakan dia soal gadis itu.”]
“Oke. Aku telpon lagi nanti.”
Akupun menutup telponnya dan berlari. Aku
melihat pintu bus itu ditutup dan pergi. Anak itu membalikkan badannya dan
mulai berjalan. Jika peraturan sekolah belum berubah, siswa harusnya dilarang
untuk mewarnai rambutnya. Dia mungkin mewarnainya dengan warna yang mencolok
mata karena ini liburan musim panas.
“Maaf, apa kamu ada waktu?”
Anak itu berhenti dan berbalik ke arahku. Dia
lalu menatapku; matanya terlihat memanjang, mungkin dia sengaja menunjukkan
ekspresi kesalnya.
“...Apaan?”
Dia mengatakan itu dengan ekspresi kesal, dan
benar-benar berlebihan ketika mengatakan ‘apaan’.
Kurasa ini tata-krama yang cukup umum di sekitar sini, aku sering mengatakan
itu ketika di SMP dan SMA.
“Beberapa hari lalu, apa ada gadis yang
mendatangi halte bus ini...?”
Tanyaku, dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
Kudengar kalau gadis itu masih memegang tasnya ketika dia sudah pergi
meninggalkannya di halte ini; artinya anak ini tidak menerima hadiah dari si
gadis.
“...Ada seorang gadis yang hendak
memberikanmu hadiah, benar tidak? Itu yang hendak kutanyakan.”
Ekspresi wajah anak laki-laki ini berubah
menjadi kecut dan dia mulai menggerutu.
“Ah, maksudmu si Kosuga? Apa kau ini kenalannya?”
Aku ingat-ingat dahulu nama Kosuga di
pikiranku. Anak ini tampaknya kenal dia dengan baik.
“Aku ingin bertanya sesuatu tentangnya.
Bisakah kau memberitahuku alamatnya, atau bagaimana cara menghubunginya?”
“...Apa kamu polisi?”
“Ah, bukan...”
Aku tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan
percakapan ini. Tampaknya aku gagal. Karena terburu-buru mengejarnya, aku tidak
memikirkan bagaimana caraku untuk menanyakannya. Tidak ada yang mau memberikan
informasi pribadi kenalannya karena kejadian ini – tapi setelah berpikir
sejenak, dia mengambil HP-nya dan menunjukkanku layar HP-nya yang berisi daftar
kontak. Ada nomor telp dan tertulis nama ‘Nao Kosuga’.
“Dia mungkin tinggal di sekitar sini, dan aku
tidak tahu detail soal alamatnya. Apa nomor HP-nya saja cukup?”
“...Terima kasih.”
Akupun berterimakasih kepadanya. Bibir anak
ini terlihat ingin mengatakan sesuatu, dan dia tersenyum tipis. Dia tampaknya
sudah melatih senyum seperti ini di cermin.
“Apa anak itu melakukan sesuatu yang buruk?
Dia memang aneh sih.”
Dia mengatakan itu dengan ekspresi kesal,
tidak menunjukkan adanya kepedulian kepada gadis yang bernama Nao Kosuga itu.
Aku saja bisa tahu kalau dia seperti merasa senang mengatakan gadis itu aneh.
“...Apa maksudmu?”
“Kau pasti mencarinya karena alasan tertentu,
bukan? Memangnya ada apa? Apa kau akan menculiknya dan melemparnya ke lautan
dalam?”
Akupun menggerutu. Ternyata seperti ini dia
melihatku; tapi memang tampilanku ini mendukung teorinya itu.
“Apa kau tidak benar-benar kenal dia?”
“Tidak juga. Kami cuma kebetulan sekelas
saja. Aku memang pernah mengobrol dengannya di kelas, tapi aku tidak suka gadis
dengan kelakuan buruk.”
“Jadi kau menolak hadiahnya?”
“Meski itu ulang tahunku, aku punya hak untuk
menolak, bukan? Dia sangat terkejut ketika aku bilang, ‘aku tidak ingin
hadiahmu’.”
Jadi dia pura-pura terlihat ramah di sekolah,
tapi sifat aslinya suka melakukan hal-hal seperti ini. Dia dengan mudahnya
memberitahu info pribadi seseorang kepada orang asing.
Aku tidak punya alasan untuk menjelaskannya
tentang apa yang terjadi, tapi semakin lama aku berdiri disini, semakin kesal
diriku. Aku harus secepatnya menghubungi Nao Kosuga. Aku menggunakan fitur
infra-red untuk mengirim data ke HP-ku.
“Aku pergi dulu ya. Aku ada kegiatan klub.”
Setelah anak itu pergi, aku tetap berdiri
disini. Meski aku mendapatkan informasi penting, aku tidak melihat ini sebagai
sebuah info yang bagus.
Sambil mencari info tentang buku itu, kita
menemukan kalau gadis ini ingin memberikan hadiah ulang tahun, tapi hadiahnya
ditolak. Shinokawa mungkin ingin meyakinkan dirinya kalau hadiah dari gadis itu
tidak diterima oleh si anak laki-laki tadi.
x x x
Aku tiba-tiba teringat dengan karya Kiyoshi
Koyama, Monumen Pemetik. Setelah Shida merekomendasikannya, aku membeli
bukunya. Rasanya lama sekali sejak terakhir kalinya aku membeli buku. Monumen
Pemetik adalah novel pendek, dan aku berhasil menyelesakannya sebelum seluruh
tubuhku merasa tidak enak.
Protagonisnya, si novelis, orang yang miskin,
dan dia hidup dengan damai setiap harinya. Dia memang hidup melarat, tapi dia
punya kehidupan yang tenang; membeli hal-hal yang diperlukan, memasak, dan
membaca buku-buku.
Di suatu hari, dia berteman dengan gadis muda
dari toko buku bekas yang menyebut dirinya ‘sang pelindung buku’. Gadis pekerja
keras dan bersahaja ini memberi si protagonis pemotong kuku dan pembersih
telinga. Pada akhirnya, si protagonis menerima hadiahnya dengan senang hati.
Ceritanya memang membahagiakan, seperti kata
Shida; ini bisa melupakan pahit dan kesendirian dalam hidup. Tentunya, buku itu
tidak menyatakan kalau itu berasal dari pengalaman pribadi, dan bisa diartikan
ini adalah semacam buku harian imajinatif dari si penulis.
Sebuah hadiah yang membuat seseorang
merasakan kehangatan tidaklah terjadi begitu saja di kehidupan nyata. Meski kau
hendak memberikannya, selalu ada kemungkinan untuk ditolak, seperti yang
terjadi barusan.
Akupun keluar dari imajinasiku itu.
Ngomong-ngomong, aku harus memberitahu Shinokawa tentang yang kudengar dari
anak itu, lalu mendiskusikan langkah selanjutnya.
Aku mengambil HP-ku, dan memanggil nomornya.
x x x
Dari jendela, matahari terlihat sudah
terbenam seutuhnya, dan terlihat ada bulan sabit di langit. Aku duduk di kursi
yang berada di samping tempat tidur, dan melihat jam di HP-ku.
Jam 7 malam, waktu yang disepakati.
“...Dia akan datang, benar kan?”
Tanyaku ke Shinokawa.
“Dia akan datang...Setidaknya itu yang dia
katakan kepadaku.”
Setelah mendengarkan ceritaku, Shinokawa
mengirimkan SMS ke Nao Kosuga, memberitahukan kepadanya kalau kita mencari
sebuah buku karena diminta pemiliknya, dan berharap dia mau mengembalikan itu
ke rumah sakit. “Aku akan mengantarkannya.” tertulis di SMS balasan. Dia
sepertinya punya sesuatu yang akan dia katakan ke kami berdua.
“Kuharap dia bisa mengembalikan bukunya.”
Dia meminjam gunting dari Kasai, dan pastinya
memotong buku itu. Kurasa akan ada bagian dari buku itu yang terpotong.
“...Kurasa tidak apa-apa. Kurasa bukunya akan
dipotong di bagian dimana buku itu masih bisa dibaca.”
“Kenapa? Bukannya dia memotong itu memakai
gunting?”
“Memang...”
Sebelum Shinokawa selesai menjelaskan, kami
mendengar seseorang mengetuk pintu. Pintunya terbuka sebelum kami membalasnya,
dan ada gadis yang tinggi memakai jeans dan kaos berjalan masuk. Dia memiliki
mata yang bagus dan tampilan yang menarik; kupikir lebih mirip pria cantik
daripada gadis cantik.
Dia berjalan ke tengah ruangan, berhenti, dan
melihat sekitarnya, dan membungkukkan kepalanya setelah melihat kami berdua.
“...Saya Nao Kosuga.”
“Ha-Ha-Halo...A-Aku Shinokawa...”
Shinokawa menyebutkan namanya dengan
malu-malu.
“Huh? Bisakah lebih keras? Aku tidak bisa
mendengarkan apapun jika suaramu sangat pelan.”
Gadis itu mengatakannya dengan suara yang
lantang, dan wajah Shinokawa terlihat memerah.
“Bukan begitu...Erm...Well...”
Dia seperti kehilangan kata-kata. Shinokawa
terlihat kebingungan karena kedatangan Nao Kosuga yang tiba-tiba. Kenapa si
pencuri buku ini bersikap tenang-tenang saja?
“Kami dari Toko Buku Biblia, dekat stasiun
Kita-Kamakura.”
Tidak ada pilihan lagi, aku berbicara
mewakilinya. Meski sudah mengatakan nama toko kami, gadis itu hanya diam saja;
tampaknya dia tidak tahu dengan toko kami.
“Aku Daisuke Goura, karyawan toko itu. Dan
ini pemilik toko itu, Shinokawa. Pemilik buku yang dicuri itu merupakan
pelanggan tetap kami, jadi kami membantunya mencarikan buku itu kembali.”
Tiba-tiba, aku sadar kalau Nao Kosuga ini
tidak membawa apapun. Dimana buku yang dicurinya?
“Kau mengambil buku itu, benar tidak?”
Dia menyilangkan lengannya dan membusungkan
dadanya dengan arogan.
“...Memangnya kenapa?”
Aku tidak tahu harus mengatakan apa dengan
pertanyaan retoris seperti ini. Dia berusaha menyangkalnya, atau dia mengakui
itu dan meminta maaf? Sikap gadis ini benar-benar buruk, seperti kata anak
laki-laki itu.
“Darimana kau tahu nomor HP-ku? Apa ada yang
memberitahumu? Apa kau mencuri nomorku?”
Dia seperti memarahiku. Kalau melihat
posisinya, dia harusnya tidak berhak mengatakan itu.
“Teman sekelasmu yang memberitahu kami.”
“Teman sekelas? Siapa?”
“...Itu anak laki-laki berambut pirang. Aku
bertemu dengannya di halte bus dekat rumahmu.”
Tiba-tiba, wajahnya mendadak pucat.
“...Apa dia Nishino?”
Jadi anak itu dipanggil Nishino...Aku baru
sadar kalau anak itu tidak memberitahuku namanya. Dia lebih hati-hati dengan
informasi pribadinya.
“Apa kau memberitahu Nishino soal buku itu?”
Nao Kosuga mengatakan itu dengan menggerutu.
“Tidak, tidak sama sekali, tapi dia memberiku
nomormu begitu saja.”
“Nishino...Dia...”
Bahunya merendah. Gadis ini seperti ditolak
dua kali, pertama ketika hadiahnya ditolak, dan sekarang nomor HP-nya diberikan
ke orang tidak dikenal begitu saja.
“Bisakah kau kembalikan buku itu?”
Tanyaku. Meski aku mengatakannya dengan
sopan, dia tidak terlihat terpengaruh. Apa yang terjadi antara dirinya dengan
Nishino adalah masalahnya sendiri, dan pekerjaan kami adalah mengembalikan buku
Shida.
“...Aku tidak bisa mengembalikannya untuk
saat ini.”
Nao Kosuga tiba-tiba dengan emosi memalingkan
wajahnya.
“HAH?”
Akupun menaikkan nada suaraku.
“Apa maksudmu kau tidak bisa
mengembalikannya?”
“Diamlah! Ini tidak ada hubungannya
denganmu!? Kau tidak tahu apa yang terjadi!”
“Tunggu dulu, kenapa kau yang marah!? Kau kan yang mencurinya...”
“...Kurasa aku tahu apa yang terjadi.”
Shinokawa tiba-tiba mengatakan itu dari
tempat tidurnya, duduk dan menatap Nao Kosuga. Sikapnya yang ragu-ragu itu
tiba-tiba menghilang; tampaknya dia menjadi orang yang berbeda.
“Aku sengaja membuat janji dengan pemilik
buku itu setelah kuselesaikan ini denganmu...Atau kau mau saat ini langsung
kuberitahu dirinya soal bukunya?”
Suara itu membuat Nao Kosuga dan diriku
terdiam. Itu membuat suasana disini menjadi sunyi, tapi, gadis itu menatap
Shinokawa lagi.
“Jangan berbicara seolah-olah kau mengerti.
Apa kau tahu yang sebenarnya terjadi?”
“...Ya, kemungkinan besar.”
Shinokawa menjawabnya tanpa jeda, dan gadis
itu menatapnya dengan angkuh.
“Kalau begitu jelaskan padaku. Tunjukkan
kalau kau bisa.”
Kurasa ini bukan ide yang bagus. Jika
Shinokawa salah, Nao Kosuga mungkin tidak akan mengembalikan bukunya. Tentunya,
kasus ini akan selesai jika kita menyerahkan ini ke polisi, tapi Shida tidak
menginginkan itu.
“Apa kau yakin?”
Kubisikkan itu di telinga Shinokawa, bukannya
aku ragu dengan kesimpulan Shinokawa, tapi aku takut kalau gadis itu tidak
yakin dengannya – tapi, dia menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
“Tentu, tidak masalah.”
Lalu, dia menutup matanya, dan berkata.
“Hari itu, kau membuat makanan untuk teman
sekelasmu, Nishino-san, sebagai hadiah ulang tahun...Kau membutuhkan kotak pendingin,
dan karena kotak itu akan memberikan perlindungan ke makanannya ketika jatuh ke
lantai, kurasa makanan itu sejenis kue tart atau semacamnya. Setelah membungkusnya, kau mendekorasinya dengan pita berwarna merah, lalu membungkus
lagi dengan kertas koran, dan kau meninggalkan rumah. Kau tahu kalau
Nishino-san akan pergi ke halte bus setelah aktivitas klub dan pulang ke
rumah...Apa aku salah sampai di titik ini?”
Nao Kosuga membuka mulutnya. Tampaknya sejauh
ini benar.
“...Kau menabrak sepeda yang diparkir di
depan kuil, dan tasmu jatuh ke trotoar. Meski isinya tidak rusak, pembungkusnya
rusak. Hiasan yang menempel di simpulnya rusak...Sebuah hiasan bunga atau
sejenis itu. Kau butuh tali untuk membuat hiasan itu tetap menempel.”
“Eh? Tali?”
Aku tiba-tiba memotongnya. Shinokawa membuka
kedua matanya, dan mengambil sebuah buku kecil dari tumpukan buku. Buku itu
adalah Sanctuary karya William Faulkner, dicetak oleh Shincho Paperback. Dia
membuka salah satu halaman, dan menunjukkan sebuah tali buku berwarna marun.
Ah, akupun tiba-tiba menyadarinya – jadi
begini ya.
“Semua buku terbitan Shinco Paperback punya
tali buku...Talinya seperti rajutan tali-tali kecil sehingga membentuk tali
yang lebih solid. Buku Monumen Pemetik + Saint Andersen punya tali buku yang
berwarna merah juga, dan kau mencuri buku ini demi tali ini.”
“...Da-Dari mana kau melihatnya?”
Nao Kosuga menggumam.
“Aku tidak melihat hadiahmu.”
“Lalu dari mana kau tahu warna
pitanya...Harusnya hanya akulah yang tahu isi tas itu. Bahkan Nishino saja tidak
tahu.”
“Aku bisa menebak warna pitanya dari warna
tali buku yang kau gunakan. Tasmu itu berwarna marun, jadi aku pikir kau akan
membawa hadiah itu dengan tas yang berwarna senada...Juga, tali buku itu tidak
begitu panjang. Jadi, hanya ada beberapa hal yang bisa diperbaiki.”
Shinokawa menutup buku Sanctuary itu dan
menaruhnya di tumpukan buku yang berada di mejanya.
“Pertama, kau pasti berusaha untuk memutuskan
tali buku itu dengan tanganmu, tapi talinya ternyata tidak bisa diputus semudah
yang kau kira. Kau tidak punya pilihan lain, dan meminjam gunting dari pria
yang baru saja melewatimu, dan kau memotong tali buku itu...Bukunya sudah tidak
berguna lagi, tapi kau tidak bisa membuangnya begitu saja karena pria itu masih
ada disana. Kau putuskan untuk memberikan hadiahnya dahulu, dan menyembunyikan
bukunya sambil membawanya ke halte bus...”
Tiba-tiba, gadis itu mulai terlihat gugup.
“...Pada akhirnya, kau tidak bisa memberinya
hadiah. Kau meninggalkan halte bus itu, melupakan masalah buku itu...Apa aku
salah hingga titik ini?”
Nao Kosuga tiba-tiba berlutut. Tidak ada yang
berbicara lagi di ruangan ini.
“...Kau bahkan tahu sampai sejauh itu?”
Dia mengubur wajahnya di lututnya dan
menggumamkan itu.
“Apa kamu sendiri tahu...Kenapa aku tidak
mengembalikan bukunya?”
“Aku sebenarnya kurang yakin...Kau tidak
melakukan apapun dengan buku itu semenjak kau mengambilnya, dan ketika membahas
tentang mengembalikan buku itu, kau tidak mau menjelaskannya. Kalau melihat
beberapa poin ini...”
Entah mengapa, suara Shinokawa terlihat lebih
lembut dan ramah.
“...Apa mungkin kau ini sedang membaca buku
itu?”
Gadis ini menegakkan kepalanya, telinganya
memerah. Lalu, dia tampak menyesal dan memalingkan wajahnya.
“Aku awalnya tidak berniat membacanya. Aku
tidak suka buku...Tapi buku itu jatuh begitu saja dan terbuka di depan
mataku...”
“...Jadi halaman dengan cerita Monumen
Pemetik itu terbuka, benar tidak?”
Shinokawa melanjutkan. Begitulah, akupun
mengatakan itu dalam hati. Ini adalah cerita favoritnya Shida, dan dia mungkin
sudah menandai halaman dimana cerita yang paling dia sukai berada.
“Halaman itu ada cerita tentang seorang gadis
remaja yang memberikan hadiah ulang tahun ke pria yang dia sukai.”
Aku mulai mencerna apa yang terjadi. Gadis di
cerita itu umurnya memang mirip dengannya, dan ketika dia melihat ada cerita
seorang gadis yang memberikan hadiah ulang tahun, dia merasa antusias untuk
membacanya.
Nao Kosuga terus berlutut di lantai, tangannya
menutup mulutnya dari tadi, sikapnya yang emosional tadi terlihat mulai tenang,
dan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan.
“Aku tidak tahu apa aku menyukai dia atau
tidak, aku hanya merasa dia spesial bagiku...Oleh karena itu aku ingin
memberinya hadiah. Aku tidak tahu kalau dia itu membenciku. Well, kurasa aku
hanya menyia-nyiakan waktu dan usahaku selama ini.”
Nada suaranya terdengar tenang, dan aku tidak
tahu apakah dia memaksakan dirinya untuk mengatakan itu atau benar-benar merasa
lega.
“Cerita di buku itu menggambarkan harapanku.
Pertama, aku membayangkan apakah aku bisa menjadi gadis sepertinya, mungkin itu
ditulis berdasarkan imajinasi saja. Aku tahu itu, dan itu adalah cerita yang
bagus...Kupikir aku ingin membaca cerita-cerita lainnya di buku ini.”
Dia menaruh kedua tangannya di lututnya yang
dibalut jeans. Umur, gender, dan situasinya berbeda, tapi mungkin orang-orang
yang menyukai buku yang sama memiliki semacam perasaan yang sama.
“...Aku meminta maaf karena mencuri buku itu
dan memotong talinya.” katanya.
“Kalau kalian tidak keberatan dengan masalah
tali buku yang terpotong, aku akan membawanya besok. Aku ingin membacanya
dulu...”
“Itu tidak perlu.”
Shinokawa memotong kata-katanya, dan
menambahkan lagi sambil menatap gadis itu.
“Kau harus mengembalikan buku itu ke
pemiliknya, daripada ke kami. Pemiliknya adalah Shida-san, orang yang menyukai
cerita di buku Monumen Pemetik, sama sepertimu. Kalau kau meminta maaf dengan
tulus, dia pasti akan memaafkanmu.”
Aku akhirnya sadar, kalau Shinokawa memang
berniat untuk membuat gadis ini meminta maaf langsung ke Shida ketika dia
memutuskan untuk memanggilnya kesini sebelum memberitahu Shida. Kurasa metode
ini lebih cocok daripada memberikan bukunya kembali, dan kupikir Shida juga
akan senang mendengarnya.
“...Aku paham. Akan kulakukan.”
Nao Kosuga mengangguk.
x x x
Pagi hari, beberapa hari setelah pertemuan di
rumah sakit, aku membawa Nao Kosuga ke pesisir pantai di dekat stasiun
Kugenuma. Daerah pinggir pantai tampak dipenuhi oleh berbagai kendaraan milik
wisatawan dari dalam dan luar negeri, dan lalu-lintasnya terlihat padat. Suara
dari ombak terdengar jelas dari kejauhan, dan terlihat beberapa peselancar
bermain diantara ombak tersebut.
Aku
belakangan sadar setelah Nao Kosuga mengatakan akan mengembalikan buku itu
sendiri, tidak ada yang benar-benar tahu dimana Shida tinggal. Harus ada
seseorang yang mengantarnya kesana, dan akulah satu-satunya orang yang bisa
melakukannya.
Akupun berbelok di jalan pinggir pantai, dan
masuk ke jalan kecil sepanjang sungai Hikijigawa. Para pejalan kaki mulai
jarang terlihat di daerah ini.
Nao Kosuga membawa buku itu – tidak, aku
sendiri tidak melihatnya secara langsung, tapi dia jelas-jelas memegangi sebuah
benda yang dibungkus kertas koran. Tentunya, kami sudah memberitahu Shida
sebelumnya, dan dia mengatakan akan menunggu kami berdua di tempat tinggalnya.
Gadis ini hanya diam saja sepanjang
perjalanan. Kurasa dia agak gugup.
“...Kurasa di sekitar sini.”
Aku menunjuk area di bawah jembatan besi itu.
Ada sebuah rumah semi-permanen dengan atap plastik dan tembok dari balok beton;
seperti membuktikan argumenku, seorang pria paruh baya yang botak membuka pintunya
dan keluar.
Nao Kosuga tampak terkejut melihat penampilan
Shida, dan membuka matanya lebar-lebar, tapi itu hanya sebentar.
“...Kurasa cukup sampai disini. Aku akan
pergi sendirian.”
Dia lalu berjalan kaki menuju Shida, dan
akupun mengikutinya. Dia mungkin mengatakan sudah cukup, tapi sudah tugasku
untuk memastikan keselamatannya. Setelah menyadariku, Shida melepas handuk yang
ada di lehernya. Gadis itu berdiri di depan Shida dan menatapnya.
“...Saya Kosuga.”
“Saya Shida. Selamat pagi.”
Shida memperkenalkan dirinya. Gadis ini seperti
kebingungan hendak mengatakan apa, lalu mengambil buku tersebut dan
menyerahkannya ke Shida dengan kedua tangannya.
“Saya ingin mengembalikan ini. Maaf sudah
mengambilnya dari anda.”
Shida menerima buku itu, dan membuka penutup
bukunya seperti mengkonfirmasi buku itu. Aku bisa melihat nama Monumen Pemetik
+ Saint Andersen dengan jelas. Buku itu ternyata terlihat tua, dan halamannya
berwarna kecoklatan. Shida membolak-balik halamannya dan berhenti di halaman
dimana ada tali buku yang terpotong.
“...Ah, sayang sekali.”
Dia mengembuskan napasnya. Nao Kosuga tampak
khawatir dan menundukkan kepalanya.
“Saya benar-benar meminta maaf, saya tidak
bisa memperbaikinya...”
“Bukan, aku tidak membicarakan bukunya.”
“Eh?”
“Aku sedang membicarakanmu. Kau berusaha sangat
keras untuk ini, tapi orang lain malah tidak menerima hadiahmu.”
Gadis itu hanya terdiam, seperti tidak
menduga akan mendengar itu dari Shida.
“Saya kesini hanyah ingin meminta maaf.”
Dia menggumamkan itu dengan pelan, seperti
berusaha menahan perasaannya.
“Saya tidak memerlukan simpati anda...Hal-hal
semacam itu tidaklah perlu.”
“Tidak, itu bukan masalah perlu atau tidak.
Kau terluka karena niat baikmu ditolak...Tidak ada yang salah dengan itu. Tidak
perlu berbohong dengan mengatakan itu.”
Shida mengatakan itu. Dia tahu betul seberapa
hancur hati Nao Kosuga.
“Sa-Saya tidak berbohong...”
“Tidak masalah tidak mengatakan yang
sebenarnya, lagipula disini tidak ada seorangpun yang mengenal dirimu
sehari-hari, benar tidak? Kalau mau, kau bisa menceritakanku apa yang
sebenarnya terjadi?”
Bahu Nao Kosuga seperti bergetar.
“Kurasa sia-sia saja menceritakan
itu...Bukankah itu juga membuang-buang waktu anda?”
“Memang, pada dasarnya itu juga sebuah
kegiatan yang membuang-buang waktu.”
Shida mengangguk.
“Tapi jika kau menceritakan itu ke orang
lain, kau merasa lega...Tahu tidak, Monumen Pemetik itu juga sama. Ada beberapa
kalimat disana, ‘Entah itu berguna atau tidak, akan selalu bagus jika akan
selalu ada orang yang selalu ada untuk orang lain’. Mungkin kata-katanya agak
berlebihan, tapi itu bisa masuk ke hati orang lain dengan mudah. Kalau ada
sesuatu yang mengganjal pikiranmu, aku disini akan mendengarkannya.”
Tiba-tiba gadis itu menutup kedua matanya,
dan mulutnya terbuka. Mungkin dia hendak berteriak, dan aku sudah siap untuk
bergerak, tapi sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Dia menangis. Dia tidak mengeluarkan satupun
suara; itu adalah air mata yang sunyi.
Di tempat ini, tidak ada satupun dari kami
yang berbicara. Aku bahkan bisa mendengar suara ombak dari kejauhan. Setelah
beberapa saat, Shida mengatakan sesuatu kepadaku.
“Kau bisa pulang dulu. Ini adalah pembicaraan
antara kami berdua.”
“Huh?”
Akupun membuka mataku lebar-lebar. Apakah baik-baik
saja meninggalkan mereka berdua disini – tidak, aku tidak berpikir kalau Shida
akan melakukan sesuatu ke gadis ini, tapi ini bukan hal yang bagus untuk
meninggalkan gadis SMA yang menangis disini, benar tidak?
“Aku tidak bisa...”
“Kau kan
orang luar disini, benar tidak? Aku akan membayarmu nanti karena membantuku
menemukan buku ini lagi.”
Shida mengatakan itu dengan ekspresi
terkejut, dan bertanya ke Nao Kosuga.
“Bagaimana menurutmu? Apa tidak apa-apa kalau
pria ini ada disini?”
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan
mengatakan sesuatu dengan sesenggukan.
“...Kau bisa meninggalkan kami.”
Ya sudah, kalau itu yang mereka inginkan.
Akupun meninggalkan tempat itu.
x x x
Beberapa hari telah berlalu dengan damai.
Aku tidak tahu apa yang hendak Shida katakan
ke Kosuga. Setelah kuberitahu Shinokawa, “begitu ya”. Dia menjawab seperti itu
dan terlihat tidak tertarik lagi dengan kasus itu. Well, karena kami ini orang
luar, seperti yang Shida katakan tempo hari. Kami tidak punya alasan untuk ikut
campur.
Tapi, seminggu kemudian, aku mendengar
sesuatu yang mengkhawatirkan dari Kasai, yang datang ke Toko Biblia. Dia
mengatakan kalau dia tidak menemukan Shida di bawah jembatan Kugenuma.
“Tasnya masih disana, tapi sepedanya tidak
ada. Aku rasa dia tidak kembali beberapa hari...Dan aku agak khawatir.”
Kasai mengatakan itu. Akan bagus jika ada
fasilitas kesehatan di dekat sana, tapi bisa juga dia terlibat semacam
kecelakaan.
Mungkin aku harusnya bertanya ke Shinokawa,
atau aku kirim SMS dan tanya ke Kosuga? Aku terus memikirkan itu ketika bekerja
di toko, dan ketika menjelang malam, Shida muncul di toko.
“Yo, lama tidak bertemu. Apa kau sedang
bekerja keras?”
Dia berjalan ke kasir dengan gembira.
Wajahnya agak kecoklatan, dan kepala botaknya menunjukkan tanda-tanda beberapa
rambut yang tumbuh. Pakaiannya terlihat lebih kotor daripada biasanya.
Dia seperti habis bertahan hidup di sebuah pulau atau semacamnya.
“Aku memberikanmu masalah gara-gara buku
ini.”
Dia mengatakan itu sambil menunjukkan buku
yang disampul rapi, dan menunjukkan isinya. Itu adalah buku Monumen Pemetik.
“Setelah kau pergi, kami mengobrol. Dia
benar-benar menyukai cerita Kiyoshi Koyama...Dia mungkin terlihat nakal, tapi
dia anak yang baik.”
Dia mengatakan itu dengan ceria, dan
tampaknya teringat sesuatu sambil mengambil beberapa benda terbungkus kertas
koran dari tasnya. Seperti sebuah hadiah, dan benda ini dibungkus pita yang
manis.
“Dia memberiku ini, mengatakan kalau ini
sebagai ganti karena memotong tali buku milikku...Lihat ini.”
Di dalam tasnya, terlihat banyak sekali ruang
kosong meskipun ada buku kecil di dalamnya. Ternyata, kotak hadiah yang dibungkus pita itu di dalamnya
ada pemotong kuku dan pembersih telinga dari logam.
“Dia seperti bisa membaca hatiku, benar
tidak? Mungkin ini adalah hadiah paling berharga yang pernah kuterima, benar
tidak?”
Shida tersenyum ketika mengatakannya. Aku
mengerti maksudnya. Ini adalah hadiah yang sama ketika gadis muda di cerita
Monumen Pemetik memberikan hadiah ke protagonis. Setelah kulihat baik-baik,
kuku dari Shida terpotong rapi. Tampaknya dia menggunakan hadiah itu segera
setelah dia menerimanya.
“Aku akhirnya memperoleh buku ini lagi,
untung ada si Mbak. Gadis itu berkata
kalau si Mbak itu menganalisa
semuanya dengan benar meskipun dia berada di rumah sakit sepanjang waktu.”
Lalu dia berhenti sejenak sebelum
melanjutkannya.
“...Cukup menakutkan melihatnya bisa menebak
sebegitu akuratnya.”
Aku sebenarnya kurang senang. Dia yang selalu
disebut menganalisis dengan tepat, tapi aku juga kan berusaha dengan keras.
“Ngomong-ngomong, cukup abnormal bisa
mengembalikan buku milikku dengan cepat. Jadi aku punya hadiah untuk toko
ini...Dan inilah...”
Shida menaruh pemotong kuku dan pembersih
telinga kembali ke tasnya, dan memberiku sebuah buku kecil. Ini bukan buku
karya Kiyoshi Koyama; mungkin buku ini agak baru, tapi bukan edisi terbaru. Ini
adalah Walking Dead dari Peter Dickinson, dicetak oleh Sanrio SF Paperback. Aku
belum pernah mendengar buku semacam ini, mungkin ini semacam novel Sci-Fi.
“Apa ini?”
“Kenapa kau tanya lagi, apa kamu bodoh!?
Tentu aku kesini hendak menjualnya!”
Shida mengatakan itu dengan lantang.
“Terserah kalian mau memberi harga berapa.
Aku akan menjualnya ke kalian meski kalian bilang harganya 1Yen.”
Aku merendahkan kepalaku dan melihat ke buku
Walking Dead. Buku ini tergolong tipis, dan terlihat murah. Ada label harga di
buku ini, tertulis 480Yen. Tampak tidak seperti yang Shida gembar-gemborkan,
tapi ya sudahlah, akan kubawa nanti ke Shinokawa.
“Kau kemana saja belakangan ini?”
“Tahulah, pekerjaanku ya begitu. Aku ke
berbagai tempat, dan akhirnya menemukan buku ini...Setidaknya kau bilang terima
kasih kek atau semacamnya.”
Apa aku memang harus berterima kasih
kepadanya? Bukannya dia tidak memberikan buku ini secara gratis?
“...Terima kasih banyak.”
Ngomong-ngomong, aku merendahkan kepalaku.
Aku seperti orang bodoh saja sudah mengkhawatirkan dirinya.
x x x
Setelah menutup toko, akupun pergi ke rumah
sakit. Matahari sudah terbenam, dan Shinokawa, yang sedang menatap ke arah
laptopnya, menyapaku dengan gugup.
“Te-Terima kasih...”
Setelah mengatakan itu, dia terdiam. Aku
sudah bekerja cukup lama di toko ini, dan kami masih kesulitan membicarakan hal
lain diluar buku.
“...Terima kasih.”
Kemudian kami terdiam. Meski kami sering
bertemu, kurasa tidak ada gunanya jika aku tidak mengatakan sesuatu. Kuputuskan
untuk mengatakan topik basa-basi untuk mengisi waktu.
“Shinokawa, bagaimana cederamu?”
“...Cedera?”
“Bukannya kau tempo hari bilang habis dari
dari ruangan rehab?”
“Ah, yeah...Kurasa begitu...Aku sedang dalam
program rehab.”
Dia menjawabnya dengan suara yang lembut.
“Kenapa kau bisa cedera? Ngomong-ngomong, aku
tidak pernah bertanya itu kepadamu sampai saat ini.”
Kakinya seperti tidak diperban. Kudengar
kalau kakinya cedera; apa dia sudah sembuh?
“.....”
Dia tampak ragu-ragu, dan memikirkan harus
mengatakan apa, dan akhirnya tidak mengatakan apapun. Aku agak kecewa. Kuharap
aku bisa menggunakan peluang ini untuk mempererat hubunganku dengannya, tapi
kami sendiri sangat sulit untuk memulainya dari topik yang basa-basi.
“Er-erm...”
Tiba-tiba Shinokawa menaikkan nada suaranya.
Dia tampaknya hendak mengatakan sesuatu karena dia seperti berusaha
menyentuh-nyentuh lehernya.
“A-Aku tidak begitu bagus membicarakan hal
selain buku...Ta-Tapi aku bisa bicara denganmu tentang hal lain, Goura-san...”
Aku mulai berpikir. Apa kalau adegan ini
diteruskan, apakah ini akan menjadi hal yang buruk?
“Erm...Kau tidak akan berhenti dari toko ini setelah aku sembuh,
benar tidak?”
“Eh?”
“Aku bisa bekerja dengan nyaman di toko bersamamu,
Goura-san...jadi...”
Akupun mulai menatapnya. Aku tahu apa yang
ingin dia katakan. Tentunya, jawabanku pasti ‘ya’ – dia memang agak eksentrik,
tapi aku cukup senang kalau dia mengatakan membutuhkanku.
“Aku tidak akan berhenti. Aku juga bisa
mendengarkan ceritamu tentang buku-buku.”
Bagiku, yang tidak bisa membaca, ini adalah
tempat yang sempurna untukku. Aku sebenarnya agak keberatan dengan gajinya sih.
“Ah, ya.”
Aku tiba-tiba ingat kalau datang kemari
karena buku, dan mengambil buku Walking Dead dari tas.
Dia menegakkan wajahnya dan melihat ke arah
buku kecil yang kuberikan kepadanya – dan kedua matanya yang berada di balik
kacamata itu berkaca-kaca. Ekspresinya mulai ceria, dan dia berubah menjadi
orang yang berbeda.
“Ah, ini Walking Dead!”
Buku itu dengan cepat berpindah tangan, dan
berada di tangan Shinokawa. Dia melihat-lihat buku itu dari berbagai sudut.
“Dari mana Shida-san menemukan buku ini...Apa
dia mengatakan sesuatu soal ini?”
“Tidak...Apa buku itu benar-benar langka?”
“Sanrio SF Paperback sudah mencetak banyak
sekali buku yang diburu oleh kolektor. Mereka banyak sekali menerbitkan
kategori Sci-Fi dan Fantasy dari Amerika yang terasa kurang populer
di Jepang, tapi karena penjualannya buruk, mereka berhenti mencetaknya 10 tahun
lalu. Perusahaan ini menterjemahkan dan mencetak banyak sekali novel Sci-Fi, dan
sangat populer di penggemar novel Sci-Fi yang banyak mengoleksi semua novel
karya Sci-Fi dari berbagai perusahaan percetakan.”
Dia menjelaskannya dengan antusias, dan terus
menceritakan itu.
“Buku Walking Dead ini tergolong langka di
pasaran. Sangat jarang terlihat di toko buku bekas, dan tidak ada satupun yang
mengimpornya.”
Aku akhirnya tahu mengapa dia sangat
tertarik. Ngomong-ngomong, apa ini benar-benar mahal; apa ini kurang lebih sama
dengan beberapa buku kecil yang kubawa tempo hari?
“Memangnya itu harganya berapa?”
“Well...Dari atas, bawah, dan pinggir tidak
terlihat ada noda yang gelap, dan sampulnya cukup bagus...Mungkin bisa terjual
seharga 50,000Yen...”
Akupun kehilangan kata-kata. Hanya demi satu
buku ini? Aku tidak tahu kalau akan semahal ini. Shida bahkan bilang mau
menjualnya ke kami seharga 1Yen – mungkin ini dia jadikan sebagai tanda terima
kasih bagi toko buku. Dia mungkin berusaha keras untuk mendapatkan buku ini.
“Apa Shida-san menceritakan sesuatu tentang
Kosuga-san?”
“Well, tampaknya mereka mengobrol dengan
santai mengenai karya Kiyoshi Koyama.”
Shida tampak gembira ketika menunjukkan
pemotong kuku dan pembersih telinga itu. Mungkin dia bertemu seseorang yang
punya ketertarikan terhadap novel yang sama.
“Shida-san menerima hadiah dari gadis itu.
Hadiahnya adalah...”
“Sebuah pemotong kuku dan pembersih telinga,
benar tidak?”
Dia tiba-tiba menjawab itu. Aku, yang hendak
menjelaskannya, menjadi terkejut.
“Eh, tahu dari mana...”
Jawabannya tiba-tiba muncul di pikiranku, dan
akupun menghentikan kata-kataku tadi. Ketika Shinokawa berbicara kepada Nao
Kosuga disini, dia mengatakan kalau Shida itu menyukai buku Monumen Pemetik
juga, dan – bahkan dia memintanya untuk meminta maaf langsung ke orangnya.
Kupikir dari titik itu; mungkin dia secara
tidak langsung memberitahu Nao Kosuga untuk memberinya pemotong kuku dan
pembersih telinga sebagai permintaan maaf. Dia mungkin menduga Shida akan
senang, dan memaafkan Kosuga.
Akupun menatap dari samping wajah Shinokawa
dan terpesona, aku mengingat kata-kata yang diucapkan Shida sebelum
meninggalkan toko dan menitipkan buku Walking Dead itu.
“Aku
menyebabkan masalah buatmu, dan aku ingin benar-benar berterima kasih kepadamu,
tapi...”
Shida kehilangan kata-kata, lalu dia menunjukkan ekspresi yang serius.
“Si Mbak itu sangat luar biasa, tapi itu mengkhawatirkanku. Terlihat
terlalu pintar akan bisa membuatnya terkena masalah; tapi si Mbak itu belum
menyadarinya, kau harus memperhatikan dia baik-baik, tahu tidak?”
Waktu itu, kupikir dia hanya terlalu khawatir
saja. Shinokawa hanya tertarik ke buku saja, dan tidak akan menyebabkan masalah
lain.
Di titik ini, meski aku tidak mengubah cara
berpikirku – tapi aku sedikit ragu
tentang pemotong kuku dan pembersih telinga. Aku tahu kalau dia tidak berniat
buruk, tapi dia tidak memaksa langsung gadis itu untuk memberikan hadiah
tersebut diluar keinginannya. Jika gadis itu tahu soal ini, dia mungkin akan
terlihat kurang senang.
Mungkin aku harus benar-benar
memperhatikannya; kurasa akan baik-baik saja selama aku terus bekerja
bersamanya.
Shinokawa, yang membalik halamannya, membuka
mulutnya, dan terdengar suara napasnya yang serak.
Sepertinya dia ingin bersiul, tapi dia
sendiri tidak menyadari itu.
x Chapter II | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar