x x x
Ketika kecil dulu, aku sangat buruk dalam
membaca.
Terutama buku-buku cetakan. Setelah berusaha
sabar dengan membalikkan halamannya, membaca hurufnya satu-persatu, entah
mengapa aku menjadi frustasi. Hatiku rasanya ingin berteriak saja, dan tanganku
mulai berkeringat. Pada akhirnya, itu hanya akan membuat suasana hatiku menjadi
buruk saja. Kau bisa menyebutku sebagai seorang yang memiliki bibliophobia...
Hasilnya, aku menderita di sekolah. Tidak
peduli apapun mata pelajarannya, buku pelajaran selalu memiliki tulisan yang
dicetak di atasnya. Untuk sekedar menulis saja, aku tidak punya masalah dengan
itu. Tapi bahasa Inggris dan Sastra Jepangku sangatlah buruk, karena aku harus
mengingat kata-kata yang ada di dalam buku. Aku bisa merasakan kalau bulu kudukku
ini berdiri ketika mendengar frase ‘memahami bacaan’.
Aku pernah memberitahu guru-guruku dan ibuku
mengenai masalahku ini, tapi yang kudapatkan malah dinasehati balik. Mereka
memberitahuku kalau mereka tidak bisa membantu masalahku ini. Mereka juga
mengatakan kepadaku kalau aku harusnya tidak perlu mengkhawatirkan itu; semua
orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Aku berterima kasih kepada mereka yang sudah
menghiburku. Tetapi, sebenarnya aku sudah salah menilai masalahku ini. Aku
sebenarnya tidak membenci ‘membaca buku’; hanya saja aku tidak bisa terus
membaca meskipun aku ingin. Ketika aku mulai membaca, tubuhku menolak.
Salah paham ini tidak pernah diluruskan sama
sekali, itu karena aku sendiri sangat buruk dalam menjelaskan sesuatu.
Lagipula, penampilanku ini juga bukanlah tampilan orang yang suka membaca. Jika
orang melihatku sekilas, kesan mereka hanyalah pria yang tinggi, besar, dan
berotot. Mereka pasti mengira kalau aku adalah tipe pria atletis. Aku sering
diajak untuk bergabung klub olahraga, aku selalu terpilih untuk berpartisipasi
di perlombaan, pertemuan, dan festival olahraga.
Tapi aku tidak tertarik dalam olahraga. Aku
benar-benar ingin bisa membaca. Aku sering menjadi bagian dari panitia
pengelola perpustakaan, dan aku sendiri tidak percaya kalau aku bisa merapikan
buku-buku perpustakaan, dan orang lainpun berpikir demikian. Aku sangat
menikmati melihat dari satu sudut ke sudut yang lainnya dari rak-rak buku,
mengagumi bagaimana rapinya barisan buku itu. Tidak ada satupun masalah jika
aku membayangkan isinya daripada membuka halamannya satu-persatu.
Ngomong-ngomong, ‘kondisi’-ku ini tidak
terjadi secara normal. Ketakutanku akan buku muncul dari sesuatu; ini adalah
cerita tentang karya Soseki, dan ini adalah pembuka dari seluruh ceritaku.
x x x
Ini terjadi sebelum aku masuk SD. Hujan
mengiringi sebuah hari di musim semi, aku sedang sendirian di ruang keluarga
yang terletak di lantai dua, membaca buku.
Kupikir, mungkin aku harus memperkenalkan
rumahku terlebih dahulu.
Rumahku berada di Ofuna, sebuah tempat yang
berada diantara kota Yokohama dan Kamakura. Sebuah tempat yang wajib dikunjungi
oleh para turis dari Tokyo yang memiliki rencana wisata dengan memakai kereta
dari East Japan Company.
Ada patung Budha Kuan Yin yang luar bisa di
bukit dekat stasiun Ofuna. Pemandangannya akan terlihat luar biasa ketika malam
hari dan diberi pencahayaan yang cukup. Tapi kalau kau melihat sosok patung itu
lewat celah-celah pohon, wajah patung yang terlihat putih itu entah mengapa
terlihat menakutkan.
Tapi, kalau mengesampingkan patung itu, Ofuna
sendiri adalah kota yang biasa.
Kalau membicarakan sesuatu yang berharga
selain patung Kuan Yin itu, mungkin
adanya studio film, salah satu yang terlangka di Jepang. Studio itu
sendiri sudah ditutup ketika aku mulai masuk SMP, tapi nenekku sering
menceritakan tentang studio itu. Studio itu tampaknya menjadi bagian penting
dari masa keemasan perfilman Jepang, tapi aku sendiri tidak tahu apapun soal
itu. Aku tidak begitu tahu soal film.
Rumahku sendiri berada di samping studio
film. Mereka menyebutnya ‘Rumah Makan Goura’, tapi makanan dari keluarga Goura
sendiri tidak ada yang spesial: daging babi potong dan nasi, bersama kacang
polong hijau dan acar.
Kakekku adalah pendiri restoran ini dan
nenekku yang meneruskannya. Dulu, para kru studio film sering mampir dan makan
di restoran kami, membuat tempat kami ini dengan suasana yang hidup. Tapi
dengan berlalunya waktu dan aku tumbuh semakin besar, bisnis restorannya
mengalami kesulitan.
Sebenarnya reputasi restorannya tidaklah
buruk, berkurangnya para staff film yang berkunjung itu dipengaruhi oleh
berkurangnya produksi film di studio tersebut. Pada akhirnya, nenekku
memberhentikan karyawannya dan menjalankan restoran itu sendirian.
Nenekku, ibuku, dan diriku – semuanya tinggal
di lantai dua, di atas restoran. Ayahku sudah meninggal sebelum aku lahir, dan
ibuku melahirkanku ketika dia berkunjung ke rumahnya di Ofuna. Begitulah aku
diberi nama ‘Daisuke’ yang merupakan pemberian dari nenekku.
Karena ibuku waktu itu bekerja di perusahaan
makanan di Yokohama, nenekku yang membesarkanku. Dia menceramahiku 10x lebih
lama daripada kesalahan yang kubuat, setiap harinya aku seperti diajari
bagaimana caranya untuk membungkuk dan meminta maaf. Meski aku satu-satunya
cucu, tapi aku tidak pernah dimanjakan.
Nenekku ini terlihat ramah sekali dan dia
punya lesung pipi yang bagus. Tapi tatapannya setajam patung Kuan Yin yang ada
di bukit.
Ngomong-ngomong, seperti kataku. Di tengah
hujan pada musim semi, aku pergi ke ruang keluarga di lantai dua untuk mencari
buku bergambar. Aku ingat kalau ada satu buku yang kusukai, yaitu ‘Guri dan
Gura’. Sampai saat itu, aku masih menjadi seorang anak yang menyukai membaca.
Aku tidak hanya membaca buku bergambar, tapi juga beberapa buku anak-anak yang
ditulis dengan bahasa sederhana. Aku ingat kalau dulu aku sering meminta
keluargaku untuk membelikanku buku baru ketika kami pergi ke toko buku.
Di hari itu, aku merasa sudah lelah dengan
semua buku yang ada di rumah. Aku sangat bosan. Jam makan siang sudah berakhir,
obrolan dari para pelanggan dan suara dari TV terdengar hingga lantai 2. Aku
ingin bermain keluar, tapi mustahil karena hujan.
Akupun meninggalkan ruang keluarga dan menuju
kamar nenekku yang ada di ujung lorong. Ruangan itu bergaya Jepang dan
menghadap ke utara, dan langit-langitnya tidak begitu tinggi sehingga membuatku
merasa agak sesak. (Rumah kami sering direnovasi ulang untuk memperbanyak
ruangannya, jadi setting ruangannya tidak sama dengan ruangan yang lain.)
Meski nenekku bilang kalau aku tidak boleh
masuk ke ruangannya tanpa permisi, aku tetap melakukannya – untuk mencari buku.
Disana ada sebuah rak buku yang besar
berisikan buku-buku milik nenekku. Tampaknya nenekku ini, yang mirip
Bodhisattva Kuan Yin, dulunya adalah pecinta buku. Kudengar dulunya sewaktu
muda, dia menghabiskan uang sakunya yang diperoleh dari bekerja di restoran
untuk membeli buku.
Buku-buku yang dikoleksi oleh nenekku
kebanyakan naskah kuno Jepang dari jaman Meiji dan taisho, dan aku ini terlalu
muda untuk mengerti isinya. Tapi dengan banyaknya buku disini, kupikir dia
mungkin punya beberapa buku untuk dibaca anak-anak. Aku memiliki ekspektasi
yang tinggi.
Kukeluarkan buku-buku itu, memeriksa isinya
sebentar. Ketika itu aku tidak mengerti kanji, dan aku melemparkan begitu saja
buku-buku itu ke lantai tanpa mengembalikannya ke rak. Pada akhirnya, aku tidak
bisa memutuskan apakah aku ini sedang mencari buku atau hanya membuat berantakan
tempat inii.
Setelah aku memerika seluruh isi rak
tersebut, aku melihat kalau ada sebuah kotak di rak terbawah yang berisi
buku-buku berukuran kecil. Karena kecil, kupikir ada buku anak-anak di sana,
dan akupun mulai membuka buku tersebut. Ada nama yang tertulis di belakangnya,
tapi sayangnya kebanyakan itu tertulis dalam kanji. Ada satu buku yang tertulis
dengan judul hiragana. Jadi aku mulai membacanya dengan keras:
Dan
Kemudian.
Buku apa ini? Ketika aku hendak menarik buku
itu dari kotaknya-
“Apa yang kau lakukan?”
Aku mendengar suara yang dalam dari atasku,
membuatku terkejut. Ketika kulihat, nenekku sedang berdiri disana dengan
pakaian memasaknya. Dia menatapu tajam. Kapan dia naik ke atas? Tatapan matanya
yang tajam, persis Bodhisattva Kuan Yin, sangat menakutkan bagi diriku yang
masih muda.
Aku duduk di atas tatami itu, dan buku-buku
terlihat berserakan di sekitarku.
Nenekku pernah mengatakan satu hal lagi
setelah dia memperingatkanku untuk tidak masuk ke ruangannya. Kalau tidak salah
-
meski kau masuk, kau tidak boleh menyentuh buku-buku yang ada di rak ini.
Mereka semua adalah sesuatu yang berharga bagiku.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Nenekku
adalah orang yang tegas, tapi aku akan selalu dimaafkan jika aku meminta maaf
dengan benar. Dulu aku pernah membariskan kursi-kursi di restoran hingga
membentuk terowongan dan dimaafkan. Akupun duduk dengan posisi seiza yang benar
dan membungkukkan kepalaku.
Aku tidak mengharapkan reaksi dari nenekku.
Dia memegangi bahuku dan menamparku dua kali, membuatku tertegun. Dia terus
melakukannya, memukulku dengan semua tenaga yang dimiliki orang dewasa. Lengan
dan kakiku dilemparkan ke tumpukan buku-buku itu. Sebelum aku bisa menangis,
dia mengangkatku lagi. Aku bahkan hampir membasahi celanaku ketika ditatap oleh
Bodhisattva Kuan Yin yang menakutkan itu. Itu adalah pertamakalinya aku dihajar
oleh nenekku sendiri, dan ditutup oleh kata-kata.
“...Kau tidak diperbolehkan untuk membaca
buku-buku ini.”
Dan nenekku menambahkan lagi dengan kata-kata
yang penuh tekanan.
“Jika kau melakukannya lagi, kau tidak akan
dianggap sebagai bagian dari keluarga ini lagi.”
Akupun hanya bisa menganggukkan kepalaku
dengan lemah.
x x x
Ketika aku dewasa, aku mulai mempertimbangkan
alasan yang sebenarnya mengapa diriku memiliki ‘kondisi’ ini. Tentunya, aku
tidak bisa mengatakan 100% karena alasan itu. Aku bukanlah seorang psikolog.
Tapi itu benar jika sejak aku mengalami
amarah luar biasa dari nenekku itu, aku merasa tidak bisa membaca buku. Dan
akupun juga tidak pernah masuk ke ruangannya lagi.
Aku tidak tahu kapan nenekku menyadari
perubahanku itu. Selama bertahun-tahun, kami tidak pernah membicarakan insiden
itu. Mungkin itu juga memberikan kenangan yang menyakitkan baginya.
Sudah sekitar lima belas tahun berlalu
semenjak terakhir kalinya kami membicarakan itu. Nenekku dirawat di rumah sakit
terdekat dan aku mengunjunginya.
Tiba-tiba, dia mulai membicarakan kejadian
itu.
“Soal tempo hari ketika aku memukulmu...” dia
memulai pembicaraannya.
“Aku waktu itu sangat terkejut melihatmu ada
di ruanganku. Kau tidak pernah masuk kesana sebelumnya, bukan?”
Dia mengatakan itu seperti itu terjadi
seminggu yang lalu, akupun memikirkan sejenak untuk mengetahui apa maksudnya.
Kita sudah berbeda setelah 15 tahun berlalu,
baik nenekku dan diriku. Aku tumbuh menjadi pria yang tinggi karena proses
pertumbuhanku, sedang nenekku, pendek, menjadi lebih kurus dan lemah. Dan
karena kesehatannya yang memburuk, restorannya sering tutup.
Waktu itu sudah masuk musim penghujan dan air
hujan terlihat mulai mengisi pemandangan jendela di samping kami. Ketika musim
mulai berganti, sakit kepala nenekku ini mulai muncul. Kali ini sakit kepalanya
tidak sembuh-sembuh sehingga dia dirawat di rumah sakit dimana akan ada orang
yang mengawasi perkembangan kesehatannya. Waktu itu aku sedang sibuk-sibuknya;
aku sedang mencari kerja, dan aku mengunjunginya di rumah sakit setelah melamar
pekerjaan di sebuah perusahaan. Aku merasa seperti orang asing yang memakai
pakaian formal, dan kali ini diajak berbicara tentang sesuatu ketika umurku masih 5 tahun.
“Aku awalnya tidak berniat untuk memukulmu.
Kurasa, itu adalah sebuah kesalahan.”
Aku bisa kedua mata nenekku yang terlihat
jujur. Meski begitu, entah mengapa suasananya begitu suram.
“Bukan, waktu itu memang salahku,” kataku.
“Aku datang ke ruangan nenek tanpa permisi dahulu. Jangan khawatir soal itu.”
Aku tidak pernah merasa dendam kepadanya
karena hal itu. Itu adalah pertama kali dan terakhir kalinya dia memukulku.
Tapi ekspresinya tampak kurang senang melihat jawabanku tadi.
“Aku sering berpikir jika seandainya kau bisa
membaca, hidupmu akan jauh berbeda,” katanya.
Akupun menggosok alisku. Ya, mungkin saja.
Waktu di universitas, aku menyerah dengan minat membacaku dan menerima ajakan
klub judo. Empat tahun disana, aku memperolah ranking 3 dalam Dan, dan dalam
kelas yang sesuai beratku, aku memperoleh ranking satu dalam turnamen daerah.
Kupikir aku lebih kuat sejak saat itu. Leher dan bahuku terlihat seperti sudah
terlatih.
“...Aku tidak punya masalah hanya karena
kesulitan membaca buku.”
Atau begitulah menurutku. Tapi itu sebenarnya
hanya separuh yang benar. Pastinya, kehidupan kuliahku akan lebih berisi – tapi
kurasa tidak akan jauh berbeda.
“Begitukah?”
Nenekku mendesah sambil menutup matanya.
Kupikir dia hendak tidur, tapi tidak lama kemudian dia membuka matanya.
“...Kau ingin menikahi gadis yang seperti
apa?”
“Huh?”
Topik yang berubah dengan tiba-tiba, aku
seperti ditarik kembali. Sejak kapan dari topik memukulku ketika umurku 5 tahun
ini berubah? Dan kata-katanya barusan sangat aneh dan tidak ada hubungannya
sama sekali. Situasi ini sangat aneh.
“Terlalu dini untuk bicara pernikahan,”
kataku, sambil melihat ke arah pintu yang setengah terbuka. Mungkin ada baiknya
jika aku memanggil perawat yang lewat di lorong.
“Mungkin akan bagus sekali jika kau menikahi
gadis yang menyukai buku. Kau tidak bisa membacanya, tapi dia bisa
memberitahumu apa yang menarik dari buku itu...Well, tapi akan terlihat sulit
untuk mewujudkannya. Kutu buku pasti akan terlihat menarik bagi Kutu buku
juga.” dia mengatakan itu seperti mengejekku.
Aku tiidak tahu apa dia sedang becanda, atau
dia sedang tidak sadar membicarakan sesuatu yang berasal dari dunia lain.
Dia seperti ingat sesuatu dan menambahkan.
“...Setelah aku meninggal, aku akan
meninggalkan semua buku milikku itu kepada kalian berdua dan terserah akan
kalian apakan.”
Aku merasa wajahku seperti disiram air
dingin. Aku bukanlah orang yang bisa begitu saja beradaptasi dengan situasi
seperti itu dengan cepat.
“A-Apa yang baru saja nenek katakan... Itu
terlalu dini.” aku menggumamkan itu.
Kakek dan ayahku sudah meninggal sebelum aku
lahir, jadi ini adalah pertamakalinya aku mendengar orang mengatakan sesuatu
seperti ini. Nenekku kemudian menutup kedua matanya sambil tersenyum. Tampaknya
dia sudah membaca seluruh keanehan yang tertulis di wajahku.
Pemeriksaan menemukan tumor di otaknya, dan
waktunya tidak lama lagi. Aku tidak memberitahunya, tapi dia mungkin sudah tahu
dari bagaimana diriku dan ibuku bersikap selama ini. Kami tidak bisa membodohi
mata dari Bodhisattva Kuan Yin.
Aku akhirnya paham apa yang nenekku ingin
katakan.
Kata-kata itu adalah sesuatu yang ingin dia
katakan ke cucunya sebelum itu terjadi – wasiat darinya.
x x x
Ketika aku mulai memikirkan lagi tentang
buku-buku nenekku, sudah satu tahun berlalu semenjak pemakamannya – tengah
musim panas, Agustus 2010.
Setelah lulus kuliah, aku tinggal di rumahku
yang berada di Ofuna. ketika siang tiba, aku akhirnya bangun dari tidurku, dan
ketika itu terjadi, aku mendengar ibuku berteriak kepadaku dari luar rumah.
“Turun kesini, Dai-pengangguran.”
Aku
awalnya bingung kenapa ibuku ada di rumah. Dia harusnya ada di perusahaan. Tapi
aku sadar kalau ini ternyata minggu. Jujur saja, aku tidak tahu bedanya antara
minggu dan hari lainnya sejak aku lulus.
Sambil menguap, aku berjalan keluar ruangan
dan melihat pintu dari ujung lorong telah terbuka. Ibuku tampaknya ada di dalam
ruangan milik nenekku.
“Ow.”
Kepalaku menabrak pintu ruangan itu ketika
aku mencoba masuk.
“Apa yang kau lakukan, Dai-pengangguran?
Berhentilah menghancurkan rumah ini.”
Ibuku berdiri di tengah ruangan. Kepalanya
hampir menyentuh lampu ruangan ini. Meski dia tidak setinggi diriku, dia tetap
tergolong tinggi dari ibu-ibu kebanyakan.
“Pintunya ini kurang tinggi,” aku mengatakan
komplainku, sambil memegangi kepalaku.
(Aku pernah menjelaskan kalau seringnya
renovasi membuat rumah ini agak terlihat aneh. Ruangan ini memang beberapa cm
lebih rendah, tapi itu tetap menjadi perbedaan yang sangat terasa.)
“Makanya lain kali jangan jalan jika
mengantuk,” kata ibuku. “Belum pernah ada yang menabrak frame pintunya
sebelumnya.”
Kupikir tidak begitu. Ada semacam karet hitam
ditempelkan di frame pintu, dan sudah ada disana sejak aku masuk
pertamakalinya. Seseorang pasti pernah mencoba masuk ke dalam. Kurasa akan
menjadi fakta yang menyedihkan jika memang benar kalau aku satu-satunya orang
yang menabrak frame pintu itu.
“Aku akan membersihkan benda-benda
peninggalan nenekmu..” dia mulai, dan kemudian berhenti sejenak. “Well, ada dua
orang tinggi di ruangan ini memang tidak menyenangkan. Mari kita duduk.”
Dan akupun duduk menyilangkan kakiku sambil
menghadap ibuku yang duduk di seiza. Dia punya dagu yang lebar, tatapan mata
yang tajam, dan dia juga kejam. Sederhananya, dia ini mirip nenekku. Ibu punya
2 saudari, tante-tanteku, dan dari semua saudarinya, dia yang paling mirip
dengan nenekku.
Tapi dia terlihat kurang senang disebut
sebagai yang paling mirip dengan nenek. Dia mungkin kesal, sebenarnya, karena mereka
mirip. Aku tidak pernah melihat ibuku berbicara dengan nenek lebih dari 5
menit. Dia mungkin juga pergi bekerja di luar rumah daripada meneruskan usaha
restoran karena menghindari bertemu nenek sebisa mungkin.
“Setahun kematian nenekmu sudah lewat,” kata
ibu. “Aku sudah merapikan barang-barangnya dan berpikir tentang buku-bukunya
ini akan dikemanakan.”
Seperti katanya. Banyak sekali tumpukan
kardus di sekitar kami, dan ditutup rapi. Pakaian nenekku dan perhiasannya
sudah diberikan kepada putri-putrinya, dan sisanya yang ada di rumah ini tidak
tersentuh sama sekali. Suasana berantakan ini mengingatkanku dengan kejadian
sewaktu diriku berusia 5 tahun di ruangan yang sama. Untuk menghilangkan memori
itu, aku mulai melirik ke setiap sudut ruangan ini. Lalu aku menyadari sesuatu
yang penting.
“Kemana buku-bukunya?”
Rak buku ini menempel di dinding, tapi
kosong. Tidak ada satupun buku disana.
“Buku-buku yang disana ada disini,” kata ibu.
“Bukankah tadi aku bilang kalau bukunya sudah kurapikan, benar tidak!? Apa kamu
ini mendengarkan ibu?”
Ibuku menepuk-nepuk beberapa kardus yang ada
di sampingnya.
“Kalau tidak salah ada panti sosial di sudut
Sekiya?” tanya ibu. “Aku ada kenalan disana, dia punya sebuah ruang baca. Jadi,
belakangan ini dia mengumpulkan banyak sekali buku. Dia sangat senang ketika
kutawarkan koleksi buku di rumah kami, dia bilang agar diberi sebanyak yang
kita bisa. Aku memberitahunya kalau anakku yang pemalas di rumah,
Dai-pengangguran, yang akan mengirimkan bukunya.”
“Kenapa ibu memanggilku seperti itu kepada
orang luar?” akupun menggerutu.
Tentunya, ‘Dai-pengangguran’ ini merujuk
kepadaku. Dai ini adalah seorang pengangguran, dan ternyata ibuku ini
memanggilku dengan sebutan ini di depan banyak orang.
“Bukankah itu benar? Kau hanya malas-malasan
di rumah dan tidak bekerja.”
“...Bukannya aku mau malas-malasan dan tidak
bekerja,” akupun menggumamkan itu.
Aku belum menemukan pekerjaan. Aku memang
menerima tawaran bekerja di konstruksi yang berada di Yokohama, tapi
perusahaannya sudah tutup Februari tahun ini. Aku masih sering pergi melamar
pekerjaan hingga saat ini, tapi tidak pernah lolos sampai tahap wawancara. Aku
bukanlah lulusan universitas terkenal, aku juga tidak punya kemampuan spesial
selain bentuk fisikku. Dan situasi ekonomi yang sedang lesu juga membuat ini
semakin buruk.
“Kau harusnya jangan terlalu pilih-pilih
pekerjaan,” katanya. “Coba lamar jadi tentara, atau polisi. Kau punya DNA tubuh
yang kuat dariku, kau harusnya bisa melakukan sesuatu dengan modal itu.”
Aku tidak menjawabnya. Ini bukanlah kali
pertama aku disuruh ikut tes tentara atau polisi. Memiliki Dan 4 judo juga
mendukung untuk itu, tapi setelah 4 tahun mendalami olahraga itu, aku sadar
kalau aku bukanlah orang yang mau bertarung demi kemenangan. Aku tidak mencari
pekerjaan yang cocok dengan fisikku, tapi aku ingin sebuah pekerjaan yang bisa
memberikan rasa aman bagi warga, atau kedamaian di negeri ini.
“Soal buku-buku ini,” kataku, merubah
topiknya. Akupun mencoba menaruh pembicaraan ‘PNS’ ini di salah satu sudut
pikiranku terlebih dahulu.
“Nenek sangat menyukai buku-buku ini,”
kataku. “Ibu tidak perlu menyumbangkan semua buku-buku ini...”
“Sebenarnya ibu tidak ada masalah,” katanya.
“Bukankah nenekmu itu bilang akan menyerahkan buku-buku ini padamu setelah dia
meninggal, dengar sendiri bukan?”
“Memang, tapi dia pasti tidak mau melihat
kita memperlakukan buku-bukunya seperti ini...”
Kupikir nenekku itu bermaksud untuk
membiarkan kita menyentuh buku-bukunya, selama kita menghargai buku itu. Tapi,
ibuku ini tampaknya sedang memikirkan sesuatu dengan keras.
“Ayolah, Daisuke. Dulu, kata-kata terakhir
kakekmu itu ‘kau jangan ambil semaumu’. Tapi
ketika kakekmu meninggal; dia mengurusi semua barang peninggalannya tanpa
merasakan perasaan bersalah seperti itu. Seperti itulah nenekmu.”
“Kalau dipikir-pikir, aku tidak ingat kalau
nenekku ini punya satupun barang peninggalan kakekku. Dia sudah lama meninggal.
Kudengar itu waktu ibuku pertamakali masuk SD. Dia meninggal karena kecelakaan
lalu lintas, tidak jauh dari sini. Waktu itu dia sedang pulang dari Kuil
Kawasaki Daishi.
“Kuakui mungkin pendapatku akan berubah jika
kau mau membacanya,” kata ibuku. “Apa kau mau membaca buku-buku ini?”
Tidak, tidak akan. Aku tidak bisa. Jika aku
menyimpannya, itu akan hanya menjadi pajangan. Mungkin memang akan sangat bagus
jika memberikannya ke seseorang yang mau membacanya.
“Kalau begitu, bagaimana jika aku yang
mengantarkannya sendiri?” saranku.
Akupun melihat ke seluruh ruangan. Buku-buku
yang lain masih ada yang belum dimasukkan ke kardus, dan berserakan di lantai
tatami. Aku harus merapikannya sebelum berangkat.
“Oke. Tapi sebelum kau pergi, aku ingin
membicarakan sesuatu.”
Ibuku mengambil satu set buku dari sampingnya
dan menaruhnya di sampingku. Kalau dihitung, mungkin ada sekitar 30 buku, dan
tiap buku ini bentuknya kecil dan tidak begitu tebal dari buku-buku biasa –
ukuran dari shonen manga dalam 1 volume.
Aku merasa seperti ada duri menusukku. Ini
mengingatkanku dengan masa lalu; buku-buku ini adalah buku yang sama ketika aku
mencari buku untuk dibaca ketika itu, tapi kali ini aku tahu nama buku-buku
ini. ‘Koleksi Karya Soseki’. Dalam set buku ini ada buku bernama ‘Dan kemudian’ yang ditulis Soseki
Natsume.
“Kupikir dia menyimpan tabungan rahasia yang
terlupakan berada diantara buku-bukunya, jadi aku membukanya satu-persatu.”
Jadi itu yang dia lakukan dengan buku-buku
ini. Ibuku ini tidak peduli dengan ekspresi keterkejutanku, lalu mengambil satu
buku dari tumpukan buku itu yang berjudul Volume
8: Dan Kemudian, ibu menunjukkan sisi dibalik kertas yang menempel di buku
tersebut.
“Ini, aku menemukan ini.”
Kalau dilihat sekilas, ini hanyalah sampul
buku biasa dengan banyak sisi yang kosong tidak tertulisi apapun. Ada bagian
sampul itu yang ditulis dengan baik. Kata-kata yang tertulis disana tidaklah
elegan, dan jarak antara tiap huruf tidaklah sama.
Soseki
Natsume
Kepada Tuan Yoshio Tanaka
Hanya ada 2 baris disini. “Soseki Natsume”
tertulis di tengah, sementara “Kepada Tuan Yoshio Tanaka” berada di bagian isi.
“Apa ini benar-benar tulisan dan tanda tangan
dari Soseki Natsume? Akan luar biasa jika ini benar-benar tulisannya!” kata
ibuku, matanya berbinar-binar.
Aku tidak seantusias dirinya. Akan sangat
luar biasa, tapi jika itu benar tulisannya, tapi akan menjadi tidak berguna
jika ini ternyata palsu.
Akupun mengambil buku itu, membuka-buka
isinya, dan aroma khas dari kertas yang sudah tua mulai mengisi udara ini.
Kepalaku seperti terasa dingin ketika melihat ada tulisan disana; Akupun
langsung ke halaman terakhir dan menemukan tanggal rilis buku ini. Buku ini
rilis di tahun Showa ke-31, 27 Juli, dan penerbitnya adalah Iwanami Shoten.
“...Kalau tidak salah itu setahun sebelum
nenek menikah.”
Aku hanya terdiam. Apa Soseki Natsume masih
hidup waktu itu? Kupikir dia sudah meninggal lama sekali ketika itu.
“Siapa orang yang bernama Tanaka ini?”
Nama nenekku itu, Kinuko Goura, jauh berbeda.
Kalau Soseki Natsume benar-benar menulis di kertas ini kepada pembeli bukunya,
kenapa buku ini ada di tangan nenekku?
“Ibu juga tidak tahu,” Ibuku sambil
menggaruk-garuk kepalanya. “Mungkin itu nama pemilik sebelumnya. Buku ini
memang seperti berasal dari sebuah toko buku bekas.”
Ibuku mengambil buku tersebut dariku dan
membolak-balik halamannya. Ada sebuah penanda buku dengan ukuran kartu bisnis,
dan disana ada tulisan yang menunjukkan harga koleksi ini. Tulisannya sudah
agak buram, tapi kata-katanya masih bisa dibaca jelas, “34 Volume, edisi
pertama, 3500Yen”. Aku tidak begitu tahu harga-harga buku ini di jaman dulu,
tapi jika ini harga seluruh koleksi buku, bukankah ini termasuk murah? Kartu
ini seperti ditaruh disini untuk menjahili seseorang...
Akupun menahan napasku.
Di salah satu sudut kartu ini, tertulis “Toko
Buku Bekas Biblia”. Pikiranku mulai terbayang seorang gadis yang cantik di
sebuah toko buku yang samar, duduk di belakang tumpukan buku. Itu adalah sebuah
toko buku yang berada di dekat SMA-ku dulu.
“Ibu ingin tahu berapa harga buku-buku ini.
Jika buku-buku ini memang incaran kolektor buku, kita harusnya tidak memberi
buku ini begitu saja. Tapi ibu tidak tahu siapa yang bisa memberitahu harga
buku-buku ini,” kata Ibuku. “Bisakah kau mencari tahu soal ini?”
x x x
Aku menghentikan skuter-ku ke dekat stasiun
Kita-Kamakura dan menaruh helm-ku di kursi penumpang.
Dari keranjang depan skuterku ini, aku
mengambil sebuah tas belanjaan dimana ada ‘Koleksi Karya Soseki’. Beberapa
tahun telah berlalu semenjak aku berdiri di depan Toko Buku Bekas Biblia.
Suasananya masih belum berubah semenjak aku SMA. Jalan ini terlalu kecil bagi mobil untuk
lewat, rumah yang terbuat dari kayu tua, tampilan tokonya, nama toko yang karat
dan bergerak ketika tertiup angin, dan tidak banyak pejalan kaki yang lewat.
Toko ini mungkin sudah ada sejak nenekku
masih muda. Pasti mustahil bagi gadis yang hidup di lingkungan restoran punya
uang yang cukup untuk membeli buku baru. Dia bisa mengoleksi ini karena dia
membelinya dengan murah di toko buku bekas seperti ini. Atau begitulah yang
terpikirkan olehku; tempat ini seperti tempat yang wajar bagi pikiranku untuk
melayang entah kemana.
Aku datang kesini untuk memakai jasa pemilik
toko menilai harga ‘Koleksi Karya Soseki’, dan sekalian bertanya apakah nenekku
memang pernah datang kesini. Plus, aku juga berharap bisa mengenal sesuatu
tentang gadis cantik yang kulihat ketika kelas 2 SMA dulu.
Sudah 6 tahun berlalu setelah pertemuan itu,
tapi setiap aku lewat di depan toko ini, yang terlihat hanyalah bapak paruh
baya yang berambut putih. Tentunya, akan terasa aneh jika aku jauh-jauh jalan
kesini hanya untuk bertanya tentang gadis itu. Tapi, aku ada keperluan hari
ini, jadi mengajaknya berkenalan harusnya bukan masalah besar.
Di depan pintu geser toko ini, ada sebuah
tanda yang tergantung dan bertuliskan “BUKA”. Aku lalu melihat ke arah dalam
dan ternyata kondisinya tidak jauh berbeda dengan dulu. Aku melihat beberapa
rak besar berisi buku dan meja kasir di ujung satunya.
Seseorang duduk di belakang meja kasir.
Dia bukanlah pemilik toko ini, dia ini adalah
gadis kecil yang masih muda. Kepalanya agak rendah sehingga aku tidak bisa
melihat wajahnya dengan jelas. Aku merasakan tubuhku mulai antusias karena
berpikir itu mungkin saja gadis yang kulihat tempo hari, dan tanpa sadar, aku
membuka pintu geser itu. Suaranya cukup keras.
Si penjaga toko itu menegakkan kepalanya, dan
suhu tubuhku ini sedikit panas. Kedua matanya lebar, dan kulitnya kecoklatan
seperti anak SD di liburan musim panas, berpakaian dengan atasan berwarna putih
yang menunjukkan kalau itu seragam SMA. Dia terlihat berbeda dengan gadis yang
kulihat sebelumnya. Dia bukan orang yang sama.
Seorang gadis SMA yang kerja paruh waktu?
Atau mungkin putri pemilik toko ini? Wajahnya bisa dibilang ada kemiripan
dengan gadis tempo hari. Dia melihat ke arah kantong belanjaan yang ada di
tanganku.
“Ah, apa anda hendak membeli buku bekas?”
Dia menyambutku dengan ramah. Tidak, aku
kesini bukan untuk membeli atau menjual, tapi ingin mencari tahu harga jual
buku yang ada tulisan Soseki ini. Mungkin, ini terkesan agak kasar.
Meski begitu, langsung kembali pulang akan
terkesan aneh. Jadi kuputuskan untuk bertanya kepadanya.
Aku melihat diantara rak-rak buku itu, banyak
sekali buku bertumpuk di lantai, dan membuat kondisi yang mustahil bagi
seseorang dengan ukuran sepertiku berjalan di lorong rak. Terlebih lagi, ini
terkesan kurang praktis bagi siapapun yang ingin melihat buku terbawah di rak;
bagaimana para pelanggan bisa membeli buku ini?
Gadis itu berdiri dari kursinya. Dia terlihat
jauh lebih muda dariku, dan melihat seragamnya, dia berasal dari almamater
SMA-ku. Kalau melihat dia memakai seragam meski ini liburan musim panas, dia
mungkin punya aktivitas klub pagi ini.
“...Saya kesini bukan untuk membeli buku,” kataku
dan berhenti sejenak, “Tapi saya ingin meminta bantuan anda untuk memeriksa
sesuatu. Apa tidak apa-apa? Ini tentang buku-buku ini. Nenekku membeli
buku-buku ini dari toko ini.”
Aku berhenti sejenak untuk melihat responnya,
tapi dia hanya menunggu kata-kata dariku. Akupun menaruh kantong itu di atas
meja dan mengambil Volume 8. Aku menunjukkan kepadanya sisi dalam sampul buku
tersebut, dia melihat sampul tersebut dan mendekatkan wajahnya.
“Lihat tanda tangan di ujung bawahnya,”
kataku.
“Wow! Disitu tertulis Soseki Natsume! Apa ini
asli?”
Seketika, aku tidak tahu harus menjawabnya
apa. Aku tidak menduga kalau dia akan menanyakan pertanyaan yang harusnya
kutanyakan kesini.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Karena itulah aku
kesini.”
“Oh, begitu ya...Hmm, apa yang harus
kulakukan?”
Gadis itu menyilangkan lengannya dan
menatapku. Apa dia akan menjadi pihak yang bertanya?
“...Apa anda bisa memberitahuku apakah ini
tulisan asli Soseki?”
“Ah, bukannya aku bisa...Yang menjaga toko
ini sedang tidak ada disini, aku sendiri tidak yakin bagaimana aku bisa
menjawab pertanyaanmu itu...”
Responnya sangat tidak meyakinkan.
“Jadi, kapan si penjaga tokonya kembali?”
Setelah kutanya, gadis ini menggerutu, dan
kedua alisnya saling bersentuhan.
“...Si penjaga tokonya sedang dirawat di
rumah sakit saat ini.”
Dia merendahkan suaranya. Sekarang dia baru
memberitahuku, memang toko ini terlihat seharusnya ditutup saja. Kurasa si
penjaga toko itu sedang tidak dalam kondisi yang bagus.
“Dia sakit, ya?”
“Bukan...Well, kakinya cedera...” katanya.
“Kalau ada yang mengirim buku kesini, aku harus membawa buku-buku itu ke rumah
sakit sehingga bisa dinilai. Aduh, ini cukup merepotkan!”
Penjelasannya tiba-tiba menjadi keluh-kesal.
Di lain pihak, aku juga sedikit terkejut karena tahu kalau pemiliknya masih
bekerja meski berada di rumah sakit. Apakah toko buku tua ini bisa benar-benar
beroperasi seperti itu?
“Tapi dia ada di RSU Ofuna, jadi tidak begitu
jauh,” katanya. “Dengan sepeda, hanya memakan 15 menit dari sini.”
“...Ah, jadi dia ada disana,” akupun
menggumam.
Aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa
agar pembicaraannya mengalir. RSU itu ada di dekat rumahku, dan ketika aku
mendengar ada seseorang menyebutkan rumah sakit di pembicaraannya, aku selalu
terbayang tentang RSU Ofuna. Itu adalah tempat aku dilahirkan, dan tempat
dimana nenekku meninggal.
“Ngomong-ngomong, anda bisa tinggalkan itu
disini,” katanya. “Aku masih ada aktivitas klub di musim panas ini, dan aku
sendiri tidak ada rencana ke RSU dalam waktu dekat. Apakah tidak masalah jika
ini agak memakan waktu?”
Ketika kupikir lagi, kurasa agak berlebihan
jika aku memintanya pergi ke rumah sakit saat ini, karena aku juga tidak
berniat untuk menjualnya ketika aku tahu harganya. Akan terasa kurang nyaman
baginya harus kesana-kemari untuk hal itu.
Sebelum aku hendak memberitahunya, dia
bertanya, “Erm, apa anda ada rencana untuk berkunjung ke RSU Ofuna?”
Setelah berhenti sejenak, aku berkata, “RSU
itu ada di dekat rumahku.”
Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi ceria.
“Kalau begitu! Bagaimana kalau anda yang ke
rumah sakit? Saya akan memberitahu si penjaga tokonya, dan penilaian terhadap
buku anda itu akan langsung dikerjakan.”
“Eh?”
Aku tidak pernah dengar kalau ada orang yang
mau pergi ke rumah sakit untuk menilai buku, dan yang terpenting, si pemilik
toko tidak memperoleh satupun keuntungan dari hal ini. Si pemilik toko yang
menakutkan itu mungkin akan melewatkan sebuah keuntungan.
“Tidak...Kurasa itu agak...”
Dia tidak mendengarkan kata-kataku, malahan
dia sudah membuka HP-nya. Dengan cepat dia menulis SMS, dan mengirimkannya,
menutup HP-nya, dan menyeringai ke arahku.
“SMS-nya terkirim! Sekarang anda bisa kesana
kapanpun anda mau.”
Mustahil aku bisa menolak. Aku hanya bisa
mengangguk saja dan terdiam.
x x x
Lima belas menit kemudian, aku sudah sampai
di tempat parkir RSU Ofuna.
Gedung putih berlantai enam itu memang cukup
menawan di tengah terik matahari musim panas. RS ini merupakan gedung terbesar
di daerah sini 10 tahun lalu. Lalu mereka merenovasi; ada tanah lapang di depan
pintu masuk, tapi tidak ada satupun pasien yang mau berjalan-jalan ataupun
duduk di bangku. Yang ada hanyalah suara mesin penyiram air taman.
Sambil membawa kantong belanja yang berisikan
‘Koleksi Karya Soseki’, aku melewati pintu otomatis dan masuk ke gedung. Aula
yang ber-AC ini tampak terisi oleh banyak pasien.
Naik tangga menuju area operasi, entah
mengapa aku kesini; aku belum pernah kesini semenjak menjemput jenazah nenekku.
Nenekku meninggal sebulan sejak percakapan
terakhir kami. Setelah dia memperoleh diagnosis yang formal, dia mengatakan
kalau ingin menghabiskan kenangan terakhirnya di Resort Pemandian Air Panas
Kusatsu. Kondisinya waktu itu sangat stabil, sehingga dokter pengawasnya
memberikannya ijin.
Bersama ibuku dan diriku, dia menikmati
perjalanan wisata itu dengan ceria. Bahkan perdebatan kecilnya dengan ibuku
waktu itu terlihat menyenangkan, kau seperti tidak melihat ada nenek yang
sekarat di di pemandangan itu. Tapi, seminggu setelah kami pulang dari Ofuna,
dia lemah dan meninggal. Hidupnya padam seperti api di sebuah lilin, tampak
terencana. Meski begitu, kerabat kami masih merasa terkejut mendengar itu.
Akupun mencatat namaku di buku tamu, dan
menuju ruangan yang diberitahu gadis SMA yang menjaga toko tadi. Sebelum
menyiapkan mentalku, aku sudah menemukan ruangannya. Akupun mengembuskan
sedikit napasku, mengumpulkan segenap keberanianku, dan mengetuk pintunya.
“Permisi.”
Tidak ada yang membalas. Akupun mengetuk
pintunya lagi, tidak ada jawaban. Akupun mengintip ke dalam melalui pintu yang
setengah terbuka.
Akupun terpesona.
Ruangan itu adalah ruangan yang elegan dan
terang berisikan satu tempat tidur. Tempat tidur di rumah sakit ini memang
posisinya dekat dengan jendela. Selimut itu menyelimuti sesuatu, dan seorang
wanita berambut panjang yang memakai piyama berwarna krem berbaring disana,
menutup kedua matanya.
Dia pasti tertidur ketika membaca, karena ada
buku yang terbuka dan berada diantara lututnya. Lekuk hidung hingga alisnya
terlihat menawan, dan ada frame tebal kacamata yang menempel diantaranya. Bibirnya hampir terbuka, wajahnya yang
cantik dan lembut itu mengingatkanku akan seseorang – orang yang kulihat di
Biblia 6 tahun lalu. Wajahnya agak kurus, tapi selain itu kurasa tidak ada yang
berubah. Dia memang terlihat lebih cantik.
Banyak sekali tumpukan buku berjejer di
kasurnya, tampak seperti miniatur jalan raya. Dia membawa banyak sekali buku,
lebih dari yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menghabiskan waktu luang. Apa
staff rumah sakit tidak memberitahunya untuk menyingkirkannya dari kasur?
Dia tiba-tiba terbangun, menggosok-gosok
matanya, dan melihat ke arahku.
“...Aya, apa itu kamu?”
Dia menyebutkan sebuah nama yang tidak
kukenal. Suaranya sangat lembut, tapi itu seperti memberitahuku. Sekarang aku
tahu siapa nama gadis yang ada di toko itu sebelumnya.
“Apa bukunya sudah datang...?”
Dia salah mengenaliku, mungkin karena dia
melihatku lewat celah kacamatanya. Kalau aku terus diam, sepertinya akan
menjadi hal yang buruk, jadi aku pura-pura batuk sesekali.
“...Selamat sore,” kataku, kurasa itu sudah
cukup untuk menjelaskan kepadanya.
Bahunya seperti terkejut, dan dia membetulkan
kacamatanya. Ketika melakukannya, dia menyenggol buku yang ada di lututnya itu
hingga terlempar.
“Ah.” Dia terlihat kecewa.
Secara spontan, aku masuk dan menangkap buku
itu dengan satu tangan. Buku itu tidaklah besar, tapi memang terasa berat. Ada
judul yang tertulis di sampulnya; tertulis, Selamat
tinggal fotografi. 2 Agustus di hotel mountaintop. Buku ini terlihat agak
tua, dan beberapa bagian sampul bukunya sudah menghitam.
Aku awalnya merasa puas dengan reaksiku ini,
tapi setelah dilihat lagi, aku melihatnya sedang menyelimuti dadanya. Tangannya
sedang berada di dekat tombol untuk memanggil perawat yang ada di dinding, dan
matanya melebar seperti sedang ketakutan. Kurasa siapapun pasti akan terkejut
melihat ada pria asing berotot masuk ke ruangannya. Akupun berdiri agak menjauh
agar memberikan jarak diantara kita.
“Maaf, saya kesini untuk bertanya mengenai
buku-buku milik nenekku. Saya pergi ke toko anda di Kita-Kamakura, dan gadis
yang menjaga toko itu menyuruhku datang kesini...Apa anda tidak menerima SMS
darinya?”
Tangannya, yang hendak menekan tombol itu,
tiba-tiba berhenti. Dia mengambil HP yang ada di meja, dan melihat layarnya –
setelah itu wajahnya terlihat memerah.
“...Aku benar-benar minta maaf.”
Hanya
begitu saja? Akupun menatapnya dengan curiga. Dia merendahkan kepalanya,
dan rambutnya yang indah itu seperti bermain-main di depanku. Ini adalah
pertamakalinya ada seseorang menatapku seperti itu.
“Ma-Maaf ya...Erm, adikku itu sudah
membuatmu...Mendapatkan masalah...” suaranya hampir tidak terdengar, dan
bahunya bergerak kesana-kemari, telinganya terlihat memerah.
Dia terus meminta maaf.
“Maaf – sudah membuatmu – datang sejauh ini –
Aku adalah pemilik dari Toko Buku Bekas Biblia, Shioriko Shinokawa.”
Aku akhirnya pahham. Gadis di toko itu adalah
adiknya, dan dia bilang mengirimkan SMS-nya ke pemilik toko. Dengan kata lain,
pemilik toko ini sudah berganti.
“Kalau tidak salah, pemilik sebelumnya
bapak-bapak yang berambut putih, benar tidak?”
“Kalau itu, dia adalah ayahku...”
“Ayahmu?”
Dia mengangguk.
“Dia meninggal tahun lalu...Dan aku mengambil
alih tokonya...”
“Begitu ya. Maaf kalau begitu, saya berharap
ayah anda bahagia disana.” kataku, dan kemudian membungkukkan badanku.
Seseorang di keluargaku juga meninggal tahun lalu. Aku merasa kalau baru saja
teringat dengannya.
“Terima kasih...”
Ruangan ini kemudian menjadi sunyi. Dia menghindari
kontak mata dan melihat sesuatu diantara tenggorokanku. Aku tidak menduga kalau
dia punya sifat tertutup dan pemalu; tapi, dia masih terlihat cantik, meski
terasa ada kekurangan. Bagaimana orang dengan sifat seperti ini bisa menerima
pelanggan? Sebenarnya ini bukan urusanku, tapi aku tidak bisa berhenti
memikirkan itu.
“Apa kau pernah menjaga toko ayahmu itu
beberapa tahun lalu?” tanyaku.
Dia seperti diam terpaku, tapi aku
menjelaskannya lebih lanjut.
“Aku dulunya sering lewat di depan toko itu
waktu masih di SMA. Sekolahku dekat dengan toko itu.”
“W-Well...Ya, aku dulu pernah sekali menjaga
toko itu...”
Bahunya
terlihat tenang. Tampaknya dia sudah merasa sedikit santai.
“Erm...”
Dia menjulurkan tangannya secara perlahan. Apa dia mau berjabat tangan denganku?
Akupun menaruh kantong buku-buku itu di lantai dan mengusap-usap tanganku di
celana jeans. Lalu, dia mengatakan dengan lembut...
“...Bukunya, kalau boleh...”
Ternyata aku salah. Sementara itu, aku masih
memegang buku Selamat tinggal, fotografi.
“Ini tampaknya buku yang mahal,” kataku, berharap
kalau ini bisa mencairkan suasananya. Akupun memberikan buku itu kepadanya.
Dia memiringkan kepalanya. Aku tidak tahu
apakah dia hanya geleng-geleng saja ataukah mengangguk.
“Ini adalah edisi pertama...Tapi kondisinya
tidak begitu bagus...Mungkin harganya sekitar 250,000Yen.”
“Dua ratus ribu...”
Caranya yang tenang ketika menyampaikan itu
membuatku terkejut. Buku berdebu ini? Akupun melihat sampulnya sekali lagi,
pikiranku seperti terasa kosong, tapi dia tidak melanjutkan penjelasannya. Dia
lalu menaruh buku 250,000Yen itu di tumpukan buku seperti buku biasa dan
menjulurkan tangannya lagi. Kali ini apa lagi?
“...Bolehkah kulihat buku-buku yang kau
bawa?”
Aku melihat kemana arah tatapannya, dan
menyadari kalau dia sedang menatap ke kantong belanjaan yang berisi ‘Koleksi
Karya Soseki’. Aku merasa tidak enak dengan apa yang hendak kukatakan; bukankah
ini hanya akan mengganggunya?
“Sebenarnya, aku tidak hendak menjualnya.
Ketika aku sedang membereskan barang-barang peninggalan nenekku, aku menemukan
sebuah tulisan dengan tanda tangan disitu...Dan tampaknya koleksi buku ini
dibeli dari tokomu puluhan tahun lalu. Bisakah kau memberitahuku berapa harga
buku-buku ini?”
Kalau dia terlihat agak ragu-ragu, kurasa aku
sebaiknya mengambil kembali buku itu dan mengurungkan niatku. Tapi, Shioriko
Shinokawa terus menatapku, dan tampak seperti orang yang berbeda dari
sebelumnya. Aku melihat sebuah keteguhan di matanya.
“Tolong perlihatkan kepadaku,” dia mengatakan
itu dengan ceria.
x x x
“Ah, ini edisi terbaru terbitan Iwanami
Shoten.”
Dia melihat ke dalam tas itu dan matanya
terlihat berbinar-binar; dia seperti anak kecil yang membuka hadiah ulang
tahun. Dia mengeluarkan buku tersebut satu-persatu, dari volume 1. Dia membuka beberapa
halaman buku tersebut, setelah itu menutupnya dan mengambil volume selanjutnya.
Aku bisa melihat judulnya yang ada di punggung buku, seperti Aku adalah seekor kucing dan Botchan.
Senyumnya terus berkembang ketika
dia membuka-buka volume itu lebih jauh. Kadang dia menganggukan kepalanya,
menajamkan pandangannya, atau juga bersiul; yang terakhir tadi adalah sesuatu
yang kudengar sendiri dan dia melakukannya sekali, dan itu di masa lalu.
Tampaknya dia tidak mempedulikan tampilannya ketika dia mengerjakan ini;
mungkin ini kebiasaan darinya ketika dia sudah tenggelam dalam buku.
Kurasa
yang seperti ini, pikirku. Ekspresi semacam ini yang selalu teringat di
kepalaku, wajah dirinya yang tenggelam dalam buku. Dia terus membaca, dan
akupun menarik sebuah kursi terdekat dan duduk saja disana menontonnya.
Dia tiba-tiba berhenti bersiul. Volume 8: Dan kemudian, dia taruh di pangkuannya.
Dia menundukkan kepalanya, seperti sedang kesulitan, tapi ternyata dia menatap
dari dekat sebuah tanda lilin yang ada di sampul buku. Dia membalik-balikkan
halamannya, dan berhenti di sebuah halaman yang ada kartu bertuliskan “34
Volume, edisi pertama, 3500Yen”. Dia tampaknya tertarik dengan kartu tersebut.
Shinokawa menaruh buku yang ada tanda tangannya
di pangkuannya dan mulai membuka buku lainnya. Akhirnya, dia memegang lagi volume
8 itu secara perlahan.
“Ternyata dugaanku benar,” dia mengatakan itu
secara perlahan. Dia lalu melihat ke arahku.
“Maaf sudah membuatmu menunggu. Kupikir aku
sudah mulai mengerti.”
“Jadi apa yang terjadi?”
“Sayangnya, tandatangan ini palsu,” katanya.
Dia meminta maaf, tapi aku sendiri tidak
terkejut. Ini memang sudah kuduga sejak tadi.
“Jadi itu bukan tulisan Soseki?”
“Ya. Tahunnya tidak cocok. Soseki Natsume
meninggal di tahun ke-5 Taisho, dan edisi lengkap ini terbit di tahun ke-31
Showa...Dimana, ini 40 tahun setelah kematiannya.”
“Empat puluh tahun...”
Kurasa tidak ada keraguan lagi soal
keasliannya. Kau tidak bisa mati selama 40 tahun dan bangkit lagi hanya untuk
menandatangani sebuah buku.
“Jadi koleksi buku ini tidaklah berharga
banyak?”
“Ya...Koleksi buku ini adalah koleksi edisi ekonomis. Buku-buku ini sering
dicetak ulang, dan banyak sekali koleksi buku ini toko buku bekas,” katanya. “Tapi,
review buku ini sangat bagus, dan cara mengemasnya juga menyatu dengan baik.
Mungkin terlihat sebagai buku yang berbentuk kurang bagus, tapi mereka semua
adalah buku yang bagus. Aku sangat menyukai buku-buku ini.”
Dia mengatakan itu seperti memuji teman lama.
Ekspresinya jauh berbeda dengan ekspresi gugupnya yang sebelumnya. Dia tampak
tenang sekali. Mungkin inilah dirinya yang sebenarnya.
“Iwanami Shoten adalah perusahaan pertama
yang menerbitkan Koleksi Karya Soseki,”
tambahnya. “Pemiliknya, Shigeo Iwanami, punya hubungan dekat dengan Soseki, dan
dia sering menggelar pertemuan dengan para penggemar Soseki. Bersama-sama,
mereka menerbitkan koleksi lengkap pertama, dan beberapa tahun kemudian, mereka
menerbitkan edisi revisinya. Meski ini edisi ‘buku murah’, tapi tidak
mengurangi kualitas isinya. Catatan harian milik Soseki juga disertakan sebagai
bonus edisi lengkap ini, dan reviewnya juga ditulis oleh pengikut setia Soseki,
Komiya Toyotaka.”
Penjelasannya sangat hidup sekali. Semakin
lama aku mendengarkannya, semakin lama aku tersedot olehnya.
“Jadi, diluar sana masih ada banyak lagi Koleksi Karya Soseki edisi lainnya?”
“Iwanami Shoten bukanlah satu-satunya
penerbit. Seluruh penerbit yang menerbitkan koleksi ini, menerbitkan judul yang
sama. Jika kita menghitung perusahaan yang punya lisensi tapi belum sampai di
tahap menerbitkan, maka setidaknya ada sekitar 30 edisi yang berbeda.”
Sangat sulit kubayangkan, akupun meresponnya,
“Itu sangat luar biasa.”
“Benar kan?
Kurasa dia mungkin penulis yang paling digemari oleh masyarakat Jepang,” dia
setuju denganku dan mengangguk.
Tapi aku tidak hanya memuji penulis yang
hebat itu. Aku juga memuji Shinokawa, yang menjelaskannya dengan bagus. Aku
merasakan lega bercampur kecewa yang tidak bisa kukatakan dengan kata-kata;
perasaanku bercampur aduk.
Akupun menatap ke satu-satunya buku yang dia
pegang. Volume 8: Dan Kemudian.
“Kurasa yang menulis tulisan dan tandatangan ini
mungkin orang iseng, benar kan?”
Tidak seperti biasanya dengan respon yang
cepat, dia terlihat berhenti sejenak untuk berpikir.
“Well, bisa jadi...”
Dia terlihat ragu, kedua alisnya seperti
bersentuhan. Aku tidak bisa menghentikan pikiranku kalau untuk sejenak aku
merasa mungkin saja tebakanku tadi salah.
“Apa ada yang mengganjal?”
“Harusnya ini tidak menjadi sebuah masalah,
tapi ada sesuatu yang benar-benar tidak kupahami...Mungkin ini pertanyaan yang
agak pribadi, apa nenekmu itu adalah orang yang suka membuat tanda di bukunya?”
“Eh? Tidak, kurasa tidak,” kataku, sambil menggeleng-gelengkan
kepalaku. Kemungkinan itu sangat sulit untuk kubayangkan. “Dia benar-benar
melihat buku-buku itu sebagai sesuatu yang sangat berharga...Dia bahkan tidak
membiarkan keluarganya untuk menyentuh buku itu. Dia akan sangat marah jika ada
salah satu dari kami yang menyentuhnya secara tidak sengaja.”
Menyentuh buku-buku nenek merupakan sebuah
tabu dalam keluarga, aku dan seluruh kerabat nenek juga tahu. Bahkan ibuku,
yang hubungannya tidak begitu dekat dengan nenek, tidak berani untuk menyentuhnya.
Lagipula, tidak ada yang berminat untuk melakukannya, karena tidak ada yang
suka buku selain dirinya.
“Kupikir aku punya sebuah penjelasan,”
kataku. “Meski itu mungkin akan menjadi cerita yang berbeda jika namanya
sendiri yang tertulis disana...”
Shinokawa membuka sampul buku volume 8 itu.
Dari kursiku, aku mencondongkan tubuhku dan melihat tulisan tangan tersebut.
Soseki
Natsume
Kepada Tuan Yoshio Tanaka
Tekanan pena tulisan itu tidak begitu keras,
sehingga membentuk garis tulisan yang baik, dan kalau dilihat dengan teliti,
tulisannya seperti ditulis oleh seorang wanita.
Tulisannya tidak terlihat unik, dan kurasa akan sangat mudah untuk
ditiru. Meski begitu, aku sangat yakin kalau ini bukanlah tulisan tangan
nenekku.
“Ada orang yang menjual buku-buku ini ke
Biblia, dan nenekku yang membelinya,” kataku.
Dia lalu menatapku.
“...Benarkah begitu?” katanya.
“Bukankah itu tertulis jelas dari tulisan
itu? Pemilik pertama buku itu adalah orang yang bernama Yoshio Tanaka?”
“Tidak, aku tidak berpikir seperti itu.”
Dia lalu mengambil kartu yang bertuliskan
harga itu dan menunjukkannya kepadaku.
34
Volume, edisi pertama, 3500Yen.
“Kartu harga seperti ini adalah kartu yang
digunakan kakekku ketika pertamakali membuka Biblia. Itu 45-46 tahun lalu.”
Dengan kata lain, nenekku membeli Koleksi Karya Soseki ini sekitar tahun
itu. Jika kita memakai kalender barat, 45-46 tahun lalu adalah – aku tidak bisa
begitu saja menghitung angka-angka.
Ah
sudahlah.
“Dalam kartu harga ini tidak ada keterangan
kalau ‘ada tandatangan Soseki’ dalam Koleksi
Karya Soseki,” Dia mengatakan itu sambil menunjukkan kartunya. “Jika ada
toko buku bekas membeli sebuah buku, mereka pasti akan memberikan catatan
tentang kondisi bukunya, seperti yang selalu kulakukan. Tiap orang yang membuka
buku ini pasti bisa membacanya karena tandatangannya ada di tempat yang sangat
jelas, jadi kita pasti menulis itu di keterangan kartu harga. Kalau tidak
begitu, pelanggan kami akan kembali lagi dan komplain.”
“...Ah.”
Begitu ya. Sekarang aku mengerti. Memang aneh
jika tidak menuliskan keterangan di kartu harga yang memberitahukan kalau buku
itu dari awalnya memang korban vandalisme.
“Karena itulah, ketika nenekmu membeli
koleksi lengkap ini dari toko keluargaku, buku ini tidak memiliki tulisan palsu
Soseki.”
Akupun menyilangkan lenganku. Situasi ini
terlihat aneh dan semakin aneh. Seandainya dugaan kami ini benar, maka orang
yang menulis tulisan dan tandatangan ini tidak pernah ada. Bagaimana mungkin?
“Ah...” Aku tiba-tiba teringat sesuatu. “...Mungkin
yang menulis ini adalah kakekku.”
“Kakekmu?”
“Dia sudah meninggal puluhan tahun lalu, dan
aku tidak pernah bertemu dengannya. Kupikir dia secara tidak sengaja menyentuh
buku koleksi nenekku, dan mereka bertengkar...”
Menurut ibuku, kakekku itu pernah hampir
diusir dari rumah. Jika dia tidak hanya menyentuh buku itu, tapi meninggalkan
tulisan di dalamnya, maka menjadi masuk akal kenapa aku dipukul ketika
mengentuhnya. Mungkin dia menyebut itu semacam kenangan yang menyakitkan. Kalau kau mengulangi lagi, kau tidak lagi
menjadi bagian dari keluarga ini. Dia mungkin teringat aksi vandalisme
kakekku dan mengatakan kata-kata itu.
“Aku tidak bisa memikirkan siapa lagi yang
bisa menulis itu. Tidak ada satupun yang berani menyentuh rak buku miliknya,”
kataku.
Tapi Shinokawa mencondongkan kepalanya secara
perlahan.
“Kupikir tidak begitu.”
“Eh?”
“Aku tidak berpikir kalau itu ditulis oleh
seseorang di keluargamu...Kupikir itu ditulis oleh nenekmu sendiri,” dia
menyimpulkan itu.
“Kenapa bisa begitu?” Kenapa dia bisa seyakin
itu?
“Kalau ada seseorang yang menulis sesuatu di
buku itu, nenekmu pasti tidak akan membiarkan bukunya tercoret begitu saja.
Tapi buku ini tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ada upaya untuk menghapus
tulisan ini...Dan jika memang merasa sulit untuk dihapus, akan sangat mudah
untuk membeli volume 8 yang lain untuk menggantinya. Seperti kataku, buku ini
tidaklah mahal. Banyak sekali cetakan ulangnya, dan ketika mereka mencetak
ulang, toko buku akan menyimpannya dalam jangka waktu yang lama.”
“Tapi...Mungkin saja dia memang membiarkannya
begitu. Mungkin saja ada seseorang yang menulis itu, tapi dia tidak sadar kalau
ada yang menulis itu di bukunya...”
Ketika penjelasanku sudah separuh jalan,
lidahku terhenti. Kurasa itu hampir mustahil. Si Bodhisattva Kuan Yin dari
keluarga Goura tidak akan seceroboh itu. Jika ada seseorang yang menyentuh buku
di ruangan itu, dia pasti akan tahu.
Apa
benar itu tulisan nenekku?
Kalau memang benar, maka tulisan ini bukanlah
tulisan iseng. Nenekku pasti menulisnya dengan alasan tertentu. Akupun
menggumamkan itu sambil melipat lenganku.
“Ada hal lain yang juga terasa janggal,” kata
Shioriko. “Soal kartu harganya...”
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Akupun
menegakkan kepalaku, tapi Shinokawa terus melihat ke lututnya, tampak terkejut.
Rambutnya yang panjang dan berwarna hitam menutupi wajahnya.
“Well...Aku benar-benar ingin meminta maaf...”
dia menggumamkan itu dengan pelan.
Dia kembali ke dirinya sebelum memegang
buku-buku itu. Aku tidak tahu dia meminta maaf untuk apa.
“Huh? Memangnya ada apa?”
“Ngomong-ngomong...Maaf sudah membuatmu
susah...”
“Ehh? Maaf, bisakah kau ulangi lagi?”
Dia mengatakan itu dengan sangat pelan dan
akupun mencondongkan kepalaku untuk mendengarnya, tapi Shinokawa seperti tidak
mau mengulanginya. Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Tenggorokannya seperti
terganggu, dan dia mengatakan itu dengan suara yang datar.
“Aku...Aku pada awalnya hanya ingin melihat
apakah tandatangannya asli atau tidak...Tapi, aku terbawa begitu saja dan
mengatakan terlalu banyak...”
Ini membuatku tambah bingung saja.
“Orang-orang biasa mengatakan kalau aku
ini...Aku ini tidak bisa berhenti berbicara ketika membahas soal buku.”
Pada saat ini, aku menyadari kalau bayanganku
terlihat dari kaca jendela. Ada pria besar dan berotot duduk di kursi yang
bundar, alis matanya menurun, dan tatapannya semakin menajam, memberikan aura
seperti hendak membunuh. Aku sering secara tidak sengaja menampilkan tatapan
tajam ala nenekku, yang biasanya
keluar setiap kali aku berpikir dengan keras.
“A-Aku benar-benar meminta maaf karena telah
menyita banyak sekali waktumu...”
Dia lalu menaruh volume 8 di kantongnya
kembali. Tapi aku langsung memotongnya.
“Aku sebenarnya tidak keberatan dengan semua
penjelasanmu tadi!”
Aku baru sadar kalau ternyata aku
mengatakannya terlalu keras. Dia terlihat ketakutan seperti ingin melepas
tangannya dari buku-buku yang sedang dipegangnya. Dia terlihat malu-malu, tapi dia bisa menjaga
buku-buku itu agar tidak jatuh ke lantai. Dia lalu terlihat lega. Tapi ketika
menyadari kalau aku dari tadi sedang menatapnya, wajahnya memerah.
“...Tolong, aku ingin mendengarkan lanjutan
penjelasanmu tadi,” kataku dengan suara yang lebih lembut.
Dia terlihat sedang menatapku dengan khawatir
dari balik tasnya, dia ini tampak sangat berbeda dari sebelumnya yang
menjelaskan buku-buku tersebut dengan lancar.
“Dulu waktu aku kecil, aku punya kenangan
yang sangat buruk dengan buku, karena itulah aku tidak bisa membacanya. Tapi,
aku ini sangat ingin sekali agar bisa membaca buku, jadi aku benar-benar senang
jika aku mendengar hal-hal semacam itu.”
Aku ingin mengatakan hal-hal semacam ini.
Sampai saat ini, tidak ada satupun orang yang mengerti kondisiku ini. Dia
membuka matanya lebar-lebar ke arahku, mungkin karena dia tidak paham
penjelasanku. Tepat ketika aku hendak menyerah saja, dia memindahkan tas itu
dari wajahnya, dan mata hitamnya itu menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tampaknya dia baru saja menekan tombol yang
membuat sifatnya berubah seketika.
“Apa kau ini tidak bisa membaca buku karena
pernah mendapat perlakuan buruk dari nenekmu?”
Suaranya sangat jelas dan terang. Kali ini,
akulah yang terkejut.
“Kau tahu dari mana?”
“Nenekmu sepertinya tipe orang yang akan
langsung emosi jika ada seseorang yang menyentuh rak bukunya. Tapi ‘tidak ada
yang berani menyentuh bukunya’ itu berarti siapapun itu, kecuali
dirinya...Kalau melihat bagaimana dia bisa begitu emosi karena hal semacam itu,
kurasa tidak akan mengejutkanku jika kau tidak bisa membaca buku...”
Aku kehilangan kata-kata. Dia bisa mengatakan
sesuatu yang mengena itu dengan mudah. Tampaknya dia sangat nyaman selama itu
berhubungan dengan buku.
Aku menaruh kedua tanganku itu di lututku,
dan duduk kembali. Aku benar-benar ingin mendengar kelanjutan penjelasannya
tadi.
“Aku benar-benar menyukai buku tua...Aku
merasa seperti buku itu punya kisahnya sendiri...Dan kisah itu tidak
sesederhana isi buku tersebut.”
Dia berhenti sejenak dan melihatku tepat di
kedua mataku seperti ini adalah momen pertamakali bagi dirinya melihat
eksistensi diriku.
“...Bolehkah kutahu siapa namamu?”
“Daisuke Goura.”
“Goura-san, sebenarnya, ada sesuatu yang
mengganjal di pikiranku.”
Dia mulai membahas ini dengan menyebutkan
namaku. Aku merasa kalau jarak diantara kita sudah semakin dekat.
Dia memberikanku kartu harga yang bertuliskan
’34 volume, edisi pertama, 3500Yen’.
“Ada stempel ‘tanda kepemilikan’ yang
terlihat di sebagian kartu harga ini.”
“Eh...? Ah, benar.”
“Coba lihat yang ini.”
Dia mengambil salah satu buku dari Koleksi Karya Soseki dari kasurnya dan
memindahkan sampulnya. Itu adalah volume 12: Hati. Dia membuka sampulnya, tidak ada tanda tangan ataupun tulisan
penulis di bagian dalam sampul. Tapi, ada semacam stempel bermotif bunga
disana.
“Ini adalah stempel kepemilikan, tanda siapa
pemilik buku tersebut. Ini sangat populer di China dan Jepang, dan stempelnya
sangat bervariasi, tergantung selera pemiiliknya. Stempel semacam ini cara
kerjanya mirip dengan stempel khas keluarga di Jepang; stempel dengan
menggambarkan huruf keluarga adalah yang paling umum, tapi ada juga yang
memakai stempel motif seperti ini. Orang yang menggunakan stempel dengan motif
seperti ini biasanya penggemar bunga.”
“Wow...”
Aku benar-benar tidak tahu ini, dan aku
dibuat kagum olehnya. Tapi, aku mencurigai sesuatu.
“Kalau begitu, bukankah ini berarti buku yang
satu ini harusnya memiliki semacam stempel kepemilikan juga?”
Aku menanyakan itu sambil melihat ke arah
volume 8 : Dan kemudian yang ada di
pangkuannya. Kalau memang ada stempel kepemilikan, harusnya akan sangat mudah
dilihat.
“Tidak, dan ini bagian paling anehnya. Dan kemudian ini adalah satu-satunya
buku yang tidak ada stempel kepemilikan di dalamnya, sedang volume lain di Koleksi Karya Soseki ini punya semua.”
“...Apa memang seaneh itu?”
“Ini jelas janggal.”
Akupun merendahkan kepalaku dan mendesah.
Dari 34 volume, ada buku yang memiliki stempel, tapi tidak ada tandatangannya.
Sedang ada buku yang punya tandatangan, tapi tidak ada stempelnya. Aku semakin
bingung saja.
“...Bagaimana nenekmu membeli edisi lengkap
ini di toko buku keluargaku? Apa kau pernah menanyakan itu kepadanya?”
“Tidak...Yang kutahu adalah dia sering
membeli buku sebelum menikah...Mungkin ibu dan tanteku juga tidak begitu tahu
soal ini. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan buku-buku tua ini.”
“...Begitu ya.”
Dia mengatakan itu sambil menaruh ujung
jarinya di bibir.
“Kalau begitu, satu-satunya penjelasan yang
terpikirkan olehku adalah, kalau volume 8 ini...”
Shinokawa tiba-tiba berhenti berbicara,
akupun melihat ke arah kaca jendela. Kali ini, tatapan mataku tidak sekejam
sebelumnya. Situasi ini jelas tidak karena tatapanku.
“Memangnya kenapa dengan volume 8?”
Aku memintanya untuk melanjutkan kata-katanya
karena diliputi rasa penasaran, dan dia tampak ragu.
“...Bisakah kau menyimpan pembicaraan ini
hanya diantara kita saja?”
“Huh?”
“Aku merasa kalau pembicaraan selanjutnya
sudah masuk privasi dari nenekmu.”
“...Aku paham.”
Meski awalnya sempat ragu, akupun mengangguk.
”Jika nenekku masih hidup, ini akan menjadi
masalah lain, tapi dia sudah meninggal setahun yang lalu. Sebagai cucunya, mungkin
akan dimaafkan jika kali ini membicarakan privasinya. Aku benar-benar ingin
tahu lebih jauh soal ini.”
“Sebenarnya, jawabannya sudah tersedia ketika
kau membawakan buku ini kepadaku, Goura-san.”
“Apa maksudmu?”
“Tanpa adanya tandatangan ataupun kartu
harga, tidak ada yang tahu kalau buku ini dibeli dari sebuah toko buku bekas.
Nenekmu kemungkinan besar ingin keluarganya berpikir demikian, Goura-san.”
“Eh?”
Akupun membuka mataku lebar-lebar. Aku tidak
paham apa maksudnya.
“Mengesampingkan kasusnya, nenekku memang
membeli buku dari Toko Biblia, dan dia membuat tandatangan itu setelahnya, begitu
menurutmu?”
“Itu yang terpikirkan olehku hingga saat ini,
tapi tampaknya ada sesuatu yang jauh lebih kompleks dari ini.”
Dia membuka volume 8, dan menyentuh tulisan
itu.
“Tulisan ini ditujukan untuk orang lain.
Dalam situasi normal...”
Dia berbicara sejauh itu dan menyadari kalau
aku agak ragu mengenai hal tersebut.
“Tulisan ini dibuat penulis untuk menunjukkan
apresiasi kepada penggemar karena membeli karyanya. Ketika menulis ini, akan
ada nama penulis buku dan nama penerima buku itu.”
Tanda tangan apresiasi. Begitu ya. Aku
belajar sesuatu yang baru lagi, akupun mengangguk dan memintanya untuk lanjut.
“Sebenarnya, tidak ada aturan baku dalam
penulisan ini. Biasanya, si penerima buku namanya tertulis di tengah, sedang
pengirim buku ini ada di sisi yang sama...Pengirim dalam kasus kita ini adalah
si penulis buku. Tapi di buku ini terjadi kebalikannya.”
Ini seperti menulis alamat. Memang benar nama
Soseki Natsume tertulis di tengah, sedang Kepada
Tuan Yoshio Tanaka tertulis di
sebelah kiri.
“Mungkinkah ini terjadi karena nenekku tidak
mengetahui tentang penulisan tulisan apresiasi pada umumnya?”
“Bisa jadi...Tapi ada yang lebih aneh lagi.
Goura-san, kenapa nenekmu sampai memalsukan seolah-olah buku ini diberi oleh penulisnya
langsung? Jika dia hendak menyamarkan buku sebagai buku yang ditandatangi oleh
orang terkenal, dia tinggal menulis nama Soseki saja. Tidak perlu menaruh nama
orang lain lagi.”
Aku dari tadi memang bertanya-tanya siapa Yoshio
Tanaka ini sejak pertama melihat buku ini di rumah.
“...Bagaimana jika kita berpikir sebaliknya.”
Nada dari Shinokawa sangat datar, tapi kedua
matanya menandakan sebuah antusiasme. Aku seperti tertarik oleh kata-katanya
dan membuatku secara tidak sadar mendekatkan kursiku ke kasurnya.
“...Dengan sebaliknya?”
“Kita andaikan ini memang ditulis seseorang,
maka kalau kita terbiasa melihat tulisan apresiasi di buku lain, ini jelas
terlihat aneh. Bagaimana jika...Nama pemberi buku di volume 8 ini bukanlah
Soseki Natsume, tapi Yoshio Tanaka? Dan nenekmu itu sengaja menambah nama
Soseki setelah itu...Apakah itu akan terdengar masuk akal?”
“Eh, tapi...Orang yang bernama Tanaka ini
bukanlah penulis, tapi mengapa dia menulis namanya disana?”
“Kupikir dia memang tidak berniat untuk
meniru dan membuatnya seperti penulisnya.”
Wajahnya memerah ketika menjawabnya.
“Memangnya jika bukan penulis buku itu, tidak
boleh menulis nama sendiri ketika memberikan buku itu ke orang lain? Bukan
sesuatu yang aneh jika melihat nama pemberi buku tertulis di buku tersebut.”
“Ah...”
Dengan kata lain, orang yang bernama Yoshio
Tanaka ini memberikan buku ini ke nenekku.
Tiba-tiba aku teringat kata-kata nenekku
kalau seorang kutu buku pasti akan menyukai sesama kutu buku. Kakekku bukanlah
seorang kutu buku, dan nenekku sendiri merasa kalau seorang kutu buku
sewajarnya bergaul dengan kutu buku juga.
Akupun terhanyut dalam misteri ini. Kalau
memang begini, sangat tidak masuk akal.
“Tapi nenekku membeli edisi lengkap ini di
Biblia, tidak dari Tanaka.”
“Memang begitu. Sepertinya Tuan Tanaka ini
hanya memberinya volume ini. Mungkin nenekmu itu datang ke toko kami untuk
membeli satu set lengkap berisi 34 volume setelah menerima volume 8 dari Tuan
Tanaka. Kemungkinan besar dia membuang volume 8 yang satu set dengan Koleksi Karya Soseki dari toko ini. Buku
ini tidak ada stempelnya, dan di dalam kartu harga tidak ada keterangan
mengenai tandatangan di buku ini; ini menjelaskan semuanya.”
“Kenapa nenekku sampai melakukan sejauh itu?”
“Tentunya agar volume 8 dari Tuan Tanaka itu
tidak disadari oleh anggota keluarga yang lain...Jika mereka melihat di rak ada
1 set koleksi, tidak ada satupun orang yang akan berpikir kalau salah satu buku
adalah pemberian orang. Akan sangat janggal jika dalam satu rak buku, hanya ada
volume 8 dari 34 volume koleksi Soseki.
Oleh karena itu dia membeli satu set lengkap yang terdiri dari 34 volume dari
kami...Dia lalu menaruh kartu harga ini di volume 8 sebagai bukti kalau dia
membeli 1 set ini di toko kami.”
“Lalu bagaimana dengan tulisan dan
tandatangan ini?”
“Nama Soseki dan tandatangannya, kurasa itu
palsu. Itu tidak ditujukan agar anggota keluarga berpikir kalau ini adalah
masalah serius, tapi agar semua orang berpikir kalau ini hanyalah keisengan yang ditulis oleh penulis
bukunya.”
Aku memang menduga seperti itu ketika melihat
tulisan itu pertama kali. Aku sudah duga kalau itu palsu, tapi aku tidak
berpikir kalau tulisan itu lebih dari sekedar iseng. Aku benar-benar tertipu
oleh penyamaran nenekku.
“...Memangnya apa alasannya dia sampai sejauh
ini menyembunyikan buku ini?”
Aku menggumamkan itu. Ada apa dengan nenekku
ini, dia tampak tidak takut apapun, mengapa harus menyembunyikan sesuatu sampai
sejauh ini?
“Kurasa itu berkaitan dengan masa
lalunya...Dan kurasa dia punya alasan kuat untuk melakukannya.”
Dia mengatakan itu dengan hati-hati. Aku
tidak sadar kalau ada alasan tersembunyi nenekku melakukannya. Kedua buyutku
itu dalam keadaan sehat sebelum nenekku menikah. Tidak seperti jaman sekarang,
banyak sekali orang yang diam-diam berselingkuh...Pada akhirnya, kakek dan
nenekku ini sepertinya menjalani pernikahan yang diatur oleh orang tua. Ini
mungkin sesuatu dimana Yoshio Tanaka tidak bisa menghentikannya.
Aku teringat lagi dengan kata-kata terakhir
nenekku di rumah sakit, ketika dia tiba-tiba membicarakan tentang calon istriku
setelah mengatakan kalau dia menyesal telah memukulku. Apakah itu karena volume
8 yang membuatnya teringat tentang pernikahan? Kalau begitu, tidak ada artinya
kata-kata “setelah aku meninggal, aku serahkan kepada kalian berdua untuk
mengaturnya sesuka kalian”. Dia mungkin merasa kalau tidak masalah jika kami
melihat tulisan itu.
Tapi bagi nenekku, itu mungkin hal yang
penting.
“Tapi mengapa dia menaruhnya di rak buku? Dia
bisa menyembunyikannya di suatu tempat.”
Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kupahami.
Jika dia menyelipkannya di bagian terbawah laci atau sejenisnya, dia tidak
perlu melakukan hal seperti ini.
“Mungkin dia merasa kalau akan lebih aman
jika menaruhnya bersama buku-buku lainnya daripada menyembunyikannya di suatu
tempat. Dan...”
Shinokawa menyentuh sampul buku volume 8 itu,
dan menghayatinya dengan seksama. Entah mengapa, aku teringat lagi dengan
tangan dari nenekku yang pernah memukulku itu.
“...Dia ingin menaruh bukunya yang paling
berharga itu di suatu tempat dimana dia bisa mengambilnya langsung. Mungkin,
perasaan semacam itu.”
Dia merendahkan tatapan matanya, dan melihat
buku yang ada di pangkuannya, lalu dia menatap ke arah kejauhan. Kalau begitu,
orang tersebut pastilah seseorang yang menyukai buku. Orang yang saling
mencintai wajarnya memang mencari yang mirip dengan mereka. Aku mulai
memikirkan hal yang serius hingga aku ingin bertanya kepadanya.
“...Aku tidak tahu berapa banyak hal-hal yang
kita bahas barusan itu yang merupakan kebenarannya.”
Tiba-tiba dia menegakkan kepalanya dan
mengatakan itu.
“Ini adalah sesuatu yang terjadi dahulu kala
sebelum kita berdua lahir, dan kita tidak bisa mengkonfirmasi itu dengan
nenekmu...Yang kita bisa peroleh dari buku ini sangatlah terbatas.”
Salah satu sisi bibirnya terlihat tersenyum,
aku seperti dibangunkan dari sebuah mimpi. Memang benar kalau kita tidak tahu
apakah yang kita simpulkan ini benar, dan mana yang salah, karena nenekku
sendiri sudah meninggal.
Shinokawa tiba-tiba melihat arlojinya. Dia
tampaknya memeriksa waktunya, dan mungkin, sebentar lagi dia harus memeriksakan
cederanya.
“Apa yang kau inginkan dari buku-buku ini?
Aku bisa membelinya jika kau mau menjualnya...”
“Tidak usah, aku ingin membawanya pulang
saja. Terima kasih banyak ya.”
Akupun berdiri. Meski ini tidaklah begitu
berharga, buku-buku koleksi ini sudah terisi oleh masa lalu nenekku. Aku tidak
ingin memindahtangankannya ke orang lain dengan begitu mudahnya.
“...Apa yang kau katakan tadi memang menarik,
sangat menarik.”
Kedua mata kami saling memandang ketika dia
sedang terbaring di kasurnya. Aku akan terlihat aneh jika aku tidak jadi
pulang. Sementara aku berpikir bagaimana caranya untuk mengatakan kalau aku
ingin mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, dia menyerahkan kantong
belanjaan yang berisi Koleksi Karya Soseki itu.
“...Terima kasih.”
Ketika aku menerima tas tersebut, bibirnya
bergerak.
“...Daisuke Goura-san.”
“Ya?”
Aku merasa tidak enak mendengar orang
memanggil namaku dengan lengkap.
“Mungkinkah, nenekmu yang memberikan nama
itu?”
“Eh?...Itu benar, kau tahu dari mana?”
Hanya kerabatku saja yang tahu soal ini, dan
tidak ada satupun yang bertanya namaku ini berasal dari mana.
Setelah menjawabnya, ekspresinya mendadak
suram.
“...Kalau boleh tahu, kapan nenekmu menikah?”
Apa itu penting? Apa ceritanya masih belum
selesai? Seperti sedang kesulitan, aku mulai mengingat-ingat lagi. Aku
sebenarnya tidak begitu jelas, tapi kalau tidak salah ada seseorang yang
membahasnya belakangan ini. Ngomong-ngomong, aku tiba-tiba melirik ke arah tas
di tanganku.
“Ah, benar. Aku pernah mendengar kalau buku
volume 8 ini diperoleh nenekku setahun sebelum dirinya menikah.”
Aku membuka tas itu dan menunjukkan volume 8.
Ketika itu, dia terdiam dan membeku. Mungkin,
ini hanya imajinasiku saja.
“Maafkan aku karena telah membuatmu mendengar
banyak hal-hal aneh.”
Dia merendahkan kepalanya dengan tulus sambil
berbaring di atas kasurnya.
x x x
Aku pulang ke rumah dan melaporkan hasilnya,
ekspresi ibuku langsung berubah.
Tentunya, aku tidak menceritakan sesuatu
tentang masa lalu nenekku itu. Aku hanya memberitahunya kalau tulisan itu
palsu, dan dia mulai marah-marah sambil membahas hal yang lain.
“Kapan ibu bilang kalau kau harus membawanya
ke toko buku? Dan kamu sampai pergi ke rumah sakit hanya untuk memastikannya.
Kau tahu betapa merepotkannya itu!? Itu bahkan lebih buruk dari melakukan makan
sambil berlari!!”
Seperti yang kauharapkan dari putri seorang
pengusaha restoran, dia bahkan mengatakan makan dan berlari. Dan itu adalah
poin yang kurang menyenangkan karena aku sendiri cucu dari pendiri rumah makan
ini. Aku putuskan untuk menuruti kata-kata ibuku dan mencoba membelikannya makanan yang enak
esok hari. Ini adalah sebuah kasus, dan ada sebuah fakta kalau aku sudah
merepotkan Shinokawa, tapi karena itulah aku punya alasan untuk mengunjunginya
lagi.
Hari berikutnya adalah awal pekan.
Seperti hari-hari sebelumnya, aku bangun
siang hari. Ibuku sudah pergi bekerja. Akupun turun ke lantai satu dan
memeriksa kotak surat, dan menemukan surat dari perusahaan yang kukirimi
lamaran tempo hari. Kubuka surat itu, dan menemukan resume yang kukirim dan tulisan
penolakan yang mengatakan aku tidak diterima. Ditolak, dan aku mengembuskan
napasku dengan berat, membuang surat itu di tempat sampah, mengeluarkan
skuterku dari restoran, dan pergi keluar.
Hari ini sangat panas, saking panasnya
sehingga keningku ini seperti terasa terbakar. Udara yang panas berembus dari
laut, dan bau dari laut bercampur dengan angin tersebut. Ini adalah suasana
musim panas di Kamakura dimana aku sangat familiar dengannya sejak kecil, dan
aku tidak menyukainya sama sekali.
Aku mengisi perutku di McDonalds depan
stasiun, dan berjalan-jalan sebentar untuk mencari makanan-makanan yang lezat
di dekat stasiun. Tapi, aku kesulitan akan membeli yang mana. Aku tidak tahu
dia suka apa, sehingga membuat diriku tidak fokus ketika berbelanja. Aku masih
membayangkan percakapan terakhir dengannya sebelum berpisah.
Apa nenekmu yang memberikanmu nama itu? Kapan
dia menikah? Dua pertanyaan itu tampak tidak begitu penting, tapi dia seperti
terguncang ketika mendengar jawabanku.
Kemarin, aku sempat bertanya ke ibuku
mengenai nama ‘Daisuke’.
“Dia memaksaku untuk memberimu nama itu
setelah kau lahir.”
Dia menceritakan itu dengan ekspresi kesal.
Tampaknya dia masih kurang senang dengan kejadian yang terjadi lebih dari 20
tahun lalu itu, tapi tetap terasa aneh jika memanggil nenek dengan ‘dia’.
“Dia bilang kalau nama itu sudah ada dalam
pikirannya sejak lama. Aku berusaha menolaknya...’Daisuke’ terdengar seperti
nama seseorang di bosozoku.”
Aku bukanlah mantan member bosozoku, dan aku
juga tidak setuju dengannya soal itu. Darimana aku tahu kalau nama itu adalah
nama pasaran di bosozoku?
“Sepertinya itu nama yang diambil dari novel
yang dia sukai. Huruf kanjinya berubah, tapi cara pengucapannya masih sama. Aku
tidak ingat itu novel yang mana.”
Aku tahu itu novel yang mana. Kemarin,
setelah sampai ke rumah, aku buka volume 8 dan menemukan nama karakter utama di
novel tersebut adalah Daisuke. Namaku pasti diambil dari sana, dan Shinokawa
pasti menyadari itu.
Aku memang merasakan tubuhku mendadak demam
ketika membuka buku itu, dan keringat mulai muncul, tapi aku terus bertahan
untuk membaca bagian prolognya. Isinya kurang lebih semacam obrolan mahasiswa
di kos-kosan yang bekerja part-time. Dan waktu itu, si Daisuke ini memang
menganggur, dan entah mengapa aku merasa familiar dengan tokoh itu. Dia memang
bukan orang yang punya motivasi tinggi, dan aku masih bertanya-tanya bagaimana
nasib Daisuke di akhir ceritanya? Tanpa kondisi spesial-ku ini, aku harusnya
bisa membaca novel itu hingga selesai.
Tapi aku masih tertegun dengan pertanyaan ‘mengapa
nenekku memberi nama ini?’. Mustahil dia berharap kalau aku suatu saat nanti
menjadi seorang pengangguran.
Aku memikirkan itu sambil berjalan di distrik
perbelanjaan, dan akhirnya berhenti di sebuah toko kue bergaya barat. Toko ini
menjual biskuit sandwich spesial dengan kismis dan krim mentega. Mungkin ada
bagusnya jika aku membawa biskuit ini sebagai camilan, dan mungkin aku akan
terkena serangan jantung jika terus-terusan begini.
Tepat ketika hendak masuk ke toko, aku
melihat seorang wanita bertubuh mungil yang terlihat familiar. Kulitnya agak
kecoklatan, dan dia sedikit gemuk. Dia punya mata yang lebar, dan aku akan
berpikir kalau dia adalah seekor beruang jika aku melihat wajahnya. Dia lebih
tua dari ibuku, dan tampaknya baru saja selesai membeli kue karena di tangannya
sedang memegang plastik pembungkus yang berisi kotak-kotak kue di dalamnya.
“Ya ampun, bukannya ini Daisuke? Apa kau
kesini hendak membeli kue di toko ini juga?”
Dia adalah Tante Maiko, yang tinggal di
Fujisawa.
Tante Maiko adalah putri tertua dari keluarga
Goura, dan bisa dibilang dia adalah yang tersukses diantara saudarinya.
Sejak muda, nilai akademisnya memang luar
biasa, setelah lulus sekolah di Yokohama, dia menikah dengan pria yang bekerja
di perusahaan elektronik, dan punya 2 putri dengannya. Mereka punya rumah yang sangat
besar di Kugenuma, kota Fujisawa, yang dekat dengan Ofuna, mereka berempat
hidup berkecukupan. Dia adalah orang yang sangat akrab dengan orang lain, tapi
orangnya memang agak cerewet.
Dia tidak mirip dengan nenek atau ibuku, dan
dia mirip kakekku yang fotonya di pernikahan dulu pernah dipotong olehnya entah
kemana.
“Mina-ku pindah kerjaan tahun lalu, lalu dia
sibuk bepergian dan berbelanja bersama teman-temannya. Dia baru saja menemukan
pekerjaan baru beberapa hari lalu, dekat Kawasaki Center. Gadis semuda itu
kerja di Kawasaki; kami sudah menasehatinya untuk pindah kerja saja, tapi dia
tidak mendengarkan.”
Aku berada di sebuah distrik perbelanjaan
yang bersebelahan dengan stasiun, dan aku adalah satu-satunya pelanggan
laki-laki di toko ini yang sisanya dipenuhi oleh ibu-ibu. Aku merasa aneh.
“...Kurasa kawasaki tidak begitu berbahaya.”
Kita sedang membicarakan sepupuku, setelah
tidak bertemu setahun semenjak meninggalnya nenekku.
“Tapi Kawasaki selalu jadi tempat rujukan
para pria untuk berwisata. Juga dengar-dengar banyak kasus pekerja yang bekerja
melebihi beban waktu, dan itu membuatku khawatir.”
Dia berpikir kalau Kawasaki adalah sebuah
tempat untuk bersenang-senang. Mungkin ada benarnya kalau membahas beberapa
tahun lalu, tapi saat ini, banyak distrik perbelanjaan di dekat stasiunnya.
Tepat ketika hendak mengatakan itu, tanteku ini mengganti topiknya.
“Ngomong-ngomong, kabarnya Eri bagaimana? Apa
dia masih sibuk dengan pekerjaannya?”
Eri adalah nama ibuku. Dia terlalu sibuk
dengan pekerjaannya belakangan ini, dan maksudku..benar-benar sibuk.
“...Kurang lebih begitu.”
“Bagaimana denganmu? Sudah dapat kerja?”
“...Belum tante.”
“Kau ingin pekerjaan yang bagaimana? Pernah
ikut Job fair?”
Entah mengapa, aku malah diceramahi. Aku
mulai paham secara perlahan setelah dewasa. Ketika tanteku ini mulai bicara
soal masalah keluarganya, itu berarti dia ingin terus mengobrol denganku.
Akupun menjawab kalau pernah pergi melamar beberapa perusahaan, dan dia
mengarahkan topiknya menuju Agensi Pencari Kerja – Hello.
“Ekonomi memang sedang sulit, itu membuatmu
menjadi sulit untuk memilih pekerjaan yang cocok. Kau punya fisik yang bagus.
Kenapa tidak daftar tentara atau polisi?”
Dia menggunakan kata-kata yang ramah, tapi
sikapnya sama saja dengan ibuku. Aku mulai berpikir apa mungkin karena mereka
saudara sehingga punya pemikiran yang sama.
“Om kamu juga khawatir denganmu. Kalau tidak
dapat pekerjaan lagi, datang saja ke kami ya.”
Akupun sempat tersentuh. Om-ku itu adalah
anak kedua dari keluarga Kugenuma yang terkenal kaya raya, dan punya banyak
koneksi di Fujisawa. Dia sudah berhenti dari pekerjaannya tahun lalu, tapi
kudengar kalau dia terpilih sebagai calon anggota DPRD. Mungkin saja dia bisa
merekomendasikan pekerjaan kepadaku.
“Ah, tentu.”
“Kalau kau terus menganggur seperti ini,
nenekmu itu akan khawatir terus kepadamu di akhirat sana. Dia memang terlalu
memanjakanmu.”
Aku hampir menyemburkan es kopi yang kuminum.
“Bukan begitu tante. Itu agak mustahil.”
Kedua mata yang tajam itu sangat tipis untuk
membiarkan siapapun masuk area privasinya. Dia bukanlah orang yang mau
memaafkan dan mencintai cucunya lagi setelah membuat kesalahan.
“Kau ini mirip sekali dengan Eri, huh? Kalian
berdua pasti tidak sadar.”
Tanteku ini tiba-tiba mengembuskan napasnya
seperti khawatir akan sesuatu.
“Tante ini hidup lebih lama dari kalian
berdua, jadi tante paham. Nenekmu itu sangat mencintaimu dan Eri...Setiap dia
mengunjungi rumah kami, dia terus membicarakan kalian berdua. Bukankah di
saat-saat terakhirnya dia memilih untuk berwisata dengan kalian, benar tidak?
Padahal keluargaku yang duluan mengajaknya berwisata, tapi dia menolaknya.”
Ini pertamakalinya aku mendengar ini. Memang
benar, setelah Om-ku pensiun dan Tante Maiko yang menjadi ibu rumahan, membuat
mereka berdua punya banyak waktu luang kalau dibandingkan dengan ibuku yang
selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku, yang sibuk mencari kerja.
Sekarang karena dia membahas itu, aku ingat
kalau dulu pernah melihat nenekku itu berdebat dengan Tante Maiko. Kupikir
mereka bisa akrab tidak seperti ibuku, tapi aku tidak bisa mengatakan kalau
hubungan mereka berdua dekat.
“Lalu, mengapa kita...”
Kalau membahas penampilan, mustahil kalau ibuku
dan aku ini enak dilihat. Aku tidak pernah berpikir kalau kami berdua punya
sesuatu yang bisa membuat nenekku bahagia.
“...Mungkin karena tinggimu?”
“Huh?”
Secara spontan aku bertanya lebih jauh, tapi
ekspresi tanteku itu sangat serius.
“Tante tidak sedang becanda loh. Kakekmu itu sama saja; seluruh
keluarga besar kita ini terlahir pendek, kecuali kau dan Eri. Aku sempat merasa
dia menyukai orang yang tinggi...Tahu tidak, di ruangan nenekmu itu ada semacam
hal itu, benar kan?”
Tanteku ini menggambar sebuah lingkaran
dengan jarinya, dan kalau dipikir lebih jauh, kurasa aku mengerti maksudnya.
Itu adalah papan penahan di frame atas pintu yang terbuat dari karet.
“Waktu itu kami masih kecil. Tidak ada
seorangpun di rumah yang tumbuh setinggi itu, dan dia mengatakan sesuatu
seperti ‘tampaknya akan buruk sekali jika anak selanjutnya akan punya tubuh
tinggi dan akan menabrak frame pintu’...Itu yang dia katakan sebelum Eri lahir.
Sekitar 45-46 tahun lalu.”
Aku tiba-tiba tertegun. Dari semua hal yang
berterbangan di kepalaku, aku teringat apa yang dikatakan nenekku, ‘kalau kau melakukannya lagi, kau tidak akan
kuanggap sebagai bagian keluarga ini’.
Begitu ya? Akupun menggumam dalam hatiku, dan
menelan es kopiku untuk menghilangkan rasa gugup ini. Mulutku terasa kering,
tapi tanganku basah.
“...Apa kau menabraknya, Daisuke? Itu tuh?”
Akupun mengangguk.
“Jadi itu ada benarnya ternyata. Nenekmu
pasti sangat bahagia.”
Suara tanteku ini terlihat agak berjarak
dariku, dan aku akhirnya mengerti mengapa Shinokawa sempat terkejut, tapi aku
belum mengkonfirmasi itu kepadanya. Akupun menoleh ke arahnya.
“Ngomong-ngomong, tentang tempo hari.”
Aku mencoba menenangkan diriku. Itu adalah
sebuah pertanyaan yang baru saja terpikirkan olehku, atau tepatnya...belakangan
ini terpikirkan.
“Kakekku itu orangnya seperti apa?”
Tangan yang sedang mengambil mug terhenti,
tanteku terdiam. Aku sampai mendengar suara orang-orang di sekitarku dengan
jelas. Ada dua ibu-ibu berusia seumuran tanteku duduk di meja sebelah kami,
mengobrol dengan keras. Mereka tampaknya berdiskui tentang makanan kesehatan
yang paling efektif adalah anggur hitam.
“Apa nenekmu pernah menceritakan soal
kakekmu?”
Sekarang dia bertanya itu, aku baru sadar
kalau tidak pernah mendengarnya membicarakan kakekku.
“...Tidak.”
“Kalau begitu kau tahu dia meninggalnya
kenapa?”
“Aku pernah mendengar ibuku menceritakan itu
ketika kecil dulu... Dia bilang kalau kakek meninggal karena kecelakaan mobil
sepulang dari Kawasaki Daishi di tengah musim panas.”
Tiba-tiba, Tante Maiko tersenyum kecut.
Ekspresi dinginnya membuatku terkejut, itu bukanlah ekspresi dirinya yang
biasanya.
“Eri waktu itu sangat muda, dan dia sangat
percaya kalau itulah yang terjadi.”
Dia menggumamkan itu.
“Coba kau pikir, Kamakura itu punya banyak
sekali kuil, kenapa dia sampai pergi berdoa ke Kawasaki? Dan di tengah musim
panas pula?...Kawasaki Daishi itu hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh
kakekmu.”
“...Alasan?”
“Pacuan kuda dan balapan mobil. Bukankah
hal-hal itu yang muncul di pikiranmu ketika kita membicarakan tentang Kawasaki?
Kakekmu dulu juga pecandu alkohol, dia dalam keadaan sangat mabuk ketika
mendapati kecelakaan itu.”
Aku terkejut dan tidak mampu mengatakan
apapun. Aku tidak menyangka kalau kakekku adalah orang yang seperti itu.
“Kakekmu itu sebenarnya adalah anak angkat di
keluarga, dan kudengar dia memang bekerja sangat keras ketika baru menikah.
Tapi setelah aku lahir, setelah buyutmu meninggal, dia mulai bersikap aneh. Dia
sering pergi ke ‘Kawasaki Daishi’ dan tidak pulang beberapa hari.”
Aku akhirnya mengerti mengapa Tante Maiko
membenci Kawasaki. Mustahil dia tidak melihat tempat itu dengan begitu saja
dimana dulu ayahnya sering kesana untuk berjudi. Dia mungkin tidak mau
dekat-dekat daerah itu.
“Kurasa sangat luar biasa nenekmu itu tidak
mengajukan cerai...Dia tetap bertahan apapun yang terjadi. Tentunya, itu adalah
hal yang berbeda ketika kakekmu menyentuh rak buku itu; nenekmu benar-benar
menakutkan waktu itu.”
Akupun menahan kata-kata yang hendak
kukatakan. Aku tidak bisa menenangkan diriku.
“Daisuke, kau jangan seperti kakekmu. Kau
harus bekerja keras.”
Dia mengatakan itu seperti sedang
menceramahiku, dan mungkin memberitahuku sesuatu dimana ibuku sendiri tidak
tahu bagaimana memperingatkanku. Kalimatnya itu mirip sebuah pesan. Dia lalu
menggeser kursinya, dan hendak berdiri; tampaknya dia hendak pulang.
“...Tante Maiko, apa tante pernah baca karya
Soseki yang Dan Kemudian?”
Tante melihatku dengan terkejut sambil
membawa kantong plastik yang ada logo toko kue ala barat, dan terus mengedip-ngedipkan matanya.
“Kenapa tiba-tiba tanya itu?”
“Sepertinya itu buku yang paling nenek suka.
Aku belakangan ini mulai membacanya.”
Aku mengatakan itu sambil menyertakan nenekku
sebagai alasan. Dia awalnya menunjukkan ekspresi ragu-ragu, sepertinya dia
tidak tahu mengenai rahasia di dalam buku itu. Jika putri tertua tidak tahu
soal itu, tampaknya aku adalah satu-satunya orang di keluarga yang tahu itu.
“Tante belum pernah baca buku itu, tapi tante
pernah lihat adaptasi filmnya, itu loh yang aktor utamanya si Yusaku Matsuda.”
Ini pertamakalinya aku mendengar kalau novel
itu diadaptasi menjadi sebuah film.
“Bagaimana endingnya? Yang kutahu si karakter
utamanya itu tidak punya pekerjaan.”
“Hmm, sepertinya...”
Tanteku merendahkan kepalanya untuk mengingat
sesuatu. Dia tampaknya tidak begitu mengingatnya dengan baik.
“Kalau tidak salah karakter utamanya
mendapatkan istri orang.”
x x x
Matahari mulai terbenam ketika aku sampai di
rumah sakit.
Seperti kemarin, Shinokawa sedang membaca
buku. Dia tampaknya seperti berusaha bersiul karena bibirnya terlihat
bergerak-gerak. Ketika dia melihatku, wajahnya memerah, dan dia membetulkan
posisinya.
“Ha...Halo...”
Dia menyapaku dengan lembut, sikapnya sangat
berbeda ketika dia menjelaskan tentang Koleksi Karya Soseki kemarin. Tampaknya
dia menjadi gadis tertutup jika dia tidak berbicara tentang buku.
“Halo. Apa kau ada waktu?”
“Ah, ya...Silakan masuk...”
Dia mempersilakanku duduk. Ketika aku aku
masuk ke ruangannya, aku melihat ada buku di atas lututnya. Dia sedang membaca
novel, dan ketika aku membayangkan buku apa itu, dengan malu-malu dia
menunjukkan kepadaku sampulnya. Ternyata ‘Julia and The Bazooka’ karya Anna
Kavan. Nama yang cukup aneh; aku tidak tahu isi novel itu tentang apa.
Aku lalu meminta maaf soal kemarin, dan
memberinya biskuit sandwich.
“Jangan...Kau-jangan seperti itu...Akulah
yang salah karena mengucapkan banyak sekali hal-hal tidak berguna...”
Kata ‘tidak berguna’ sepertinya punya semacam
kekuatan tersembunyi. Dia menolak untuk menerimanya, dan aku memaksa tangan
Shinokawa untuk menerimanya. Dia lalu merendahkan kepalanya dengan aneh.
Ketika aku khawatir apakah aku terlihat
terlalu memaksa, dia mengatakan itu dengan perlahan.
“...Aku...Aku juga punya snack sendiri disini.”
Dia mengatakan itu dengan suara yang pelan.
“Ji-Jika mungkin...Maukah kau memakannya
bersamaku?”
Tentu saja, aku tidak menolak. Dia membuka
kotak itu dan memberikanku biskuit yang dibungkus terpisah. Kami juga membuka
kotak biskuit kami bersamaan.
Ternyata isinya lebih bagus dari dugaanku.
Aroma butter dan asam dari kismis bercampur dengan baik, dan rasa gurih
biskuitnya memberikan rasa nyaman di gigi.
“Aku biasanya membeli ini untuk
dimakan...Tapi rasanya akan berbeda jika kubiarkan sehari tidak dimakan.”
Shinokawa tersenyum ketika mengatakannya. Aku
tidak begitu yakin, tapi tampaknya aku membuat keputusan yang tepat.
Akupun memakan biskuit itu dengan dua kali
gigit, dan dia masih terus mengunyah. Dia mengajakku makan bersama, tapi dia
tidak berbicara sama sekali. Tentunya, kami tidak pernah berbicara tentang
Koleksi Karya Soseki.
Dia tahu rahasia yang disimpan nenekku selama
puluhan tahun hanya dari petunjuk yang terdapat di buku. Dia juga berusaha
membuat rahasinya tidak terbaca olehku dengan begitu saja, dan dia menyebut itu
dengan ‘hal-hal tidak berguna’.
Tentunya, itu semua sudah terlambat.
Volume 8: Dan Kemudian, terbit 27 Juli di
tahun ke-31 Showa. Itu mungkin sekitar tahun 1956- atau 54 tahun lalu. Nenekku
menikah setahun setelahnya, dan aku berpikir kalau Yoshio Tanaka adalah orang
yang memberinya buku itu.
Kalau kupikir-pikir lagi, Yoshio Tanaka
mungkin saja memberinya buku itu setelah pernikahannya, dan mungkin saja buku
itu adalah buku paling berharga milik Yoshio Tanaka.
Nenekku membeli buku lainnya 45-46
tahun lalu, sekitar 10 tahun setelah pernikahannya. Jika Yoshio Tanaka
memberikan buku itu ke nenek di selang waktu tersebut, maka interaksi mereka berdua terjadi
setelah pernikahan nenek. Volume 8 itu adalah tulisan Soseki yang
menceritakan bagaimana Daisuke mencuri istri orang lain. Pernikahan kakek dan
nenekku ternyata bukanlah pernikahan yang bahagia.
Nenekku memberiku nama Daisuke berdasarkan
nama karakter utamanya, dan dia sudah memikirkan itu sejak lama – dengan kata
lain, dia tidak menamakan itu demi diriku, tapi itu adalah nama yang
dipersiapkan nenekku ketika hendak melahirkan ibuku, yang dia kira akan menjadi
anak laki-laki. Nenekku membeli Koleksi Karya Soseki setelah kelahiran ibuku.
Tante Maiko bilang kalau nenek suka orang
tinggi, dimana dia menunjuk ke diriku dan ibuku. Tapi mungkin itu hanya separuh
yang benar. Kami memang dua orang tertinggi di keluarga, dan yang lain pendek
semua. Aku memang tidak mirip kakekku sama sekali.
Apa nenekku ini melihat kemiripan wajah
selingkuhannya dari tampilan ibuku dan diriku?
Dia menaruh papan penahan di atas pintu yang
terbuat dari karet. Itu adalah sesuatu yang orang pendek tidak akan pernah
terpikirkan – yaitu akan ada kepala orang yang akan menabrak itu.
Mungkin dia tidak mengatakannya secara jelas
karena akan tampak pengaruhnya setelah anak-anaknya dewasa. Jika dia sejak awal
memang tidak ingin kepala seseorang terluka, maka dia sudah tahu akan ada
anggota keluarga yang tinggi setinggi diriku, meski semua anggota keluarga pada
dasarnya pendek-pendek.
Kakekku yang sebenarnya adalah pria yang
bernama Yoshio Tanaka – mungkin itulah rahasia yang selalu ingin disembunyikan
oleh nenekku dengan segala cara. ‘Kau tidak akan lagi dianggap sebagai bagian
keluarga ini lagi’, apa dia mengatakan itu dengan merujuk ke fakta itu?
Tapi itu hanya tebakanku saja. Karena nenekku
sudah meninggal, aku tidak bisa mengkonfirmasi itu, tapi selalu ada kemungkinan
ke arah itu.
“...Apa Yoshio Tanaka masih hidup?”
Mendengar pertanyaanku tadi, Shinokawa, yang
sedang hendak memakan gigitan terakhirnya itu, terhenti.
“Mungkin dia masih hidup...dan itu mungkin...”
Dia merendahkan kepalanya. Aku tahu apa
maksudnya. Yoshio Tanaka mungkin bertemu dengan nenekku ketika dia sibuk dengan
bisnis restorannya; dan itu berarti dia mungkin tinggal di dekat sini.
Ruangan rumah sakit ini cukup sunyi ketika
matahari tenggelam. Fakta yang tidak bisa kami katakan ini adalah sesuatu yang
kami berdua jelas ketahui. Kita tidak kenal satu sama lain, tapi entah mengapa,
kami terhubung oleh rahasia ini.
“Well...Goura-san?”
Suara Shinokawa tiba-tiba terdengar oleh
telingaku.
“Apa pekerjaanmu saat ini?”
Aku seperti kembali ke dunia nyata. Karena
dia bertanya dengan serius, akupun menjawabnya dengan jujur.
“...Aku masih belum punya.”
“Kalau kerja paruh waktu?”
“...Aku tidak sedang melakukannya.”
Aku tidak tahu kapan aku akan dipanggil
wawancara, jadi sangat sulit bagiku untuk kerja paruh waktu dalam jangka waktu
lama. Aku merasa aneh mengatakan ini – tapi entah mengapa, wajahnya terlihat
senang. Memangnya ada apa ini? Apa dia
bahagia melihatku sebagai pengangguran?
“Aku...Mengalami tulang retak, dan butuh
waktu lama hingga aku benar-benar dinyatakan sembuh...Toko milikku kekurangan
karyawan, dan nasibku seperti ini.”
“...Oh.”
Dia menambahkan itu dengan kata-kata yang
membingungkan, dan aku tidak tahu apa maksudnya.
“Kalau begitu, jika kau tidak keberatan,
maukah kau datang dan bekerja di toko milikku?”
Akupun membuka mataku lebar-lebar ke arahnya,
dan dia merendahkan wajahnya.
“Kumohon. Adikku akan membantu, tapi dia
tidak bisa diandalkan.”
“Tu...Tunggu dulu. Aku tidak begitu mengerti
buku dan sejenisnya.”
Dan dia harusnya juga mempertimbangkan
kebiasaanku juga. Aku tidak pernah mendengar ada orang yang tidak bisa membaca
buku bekerja di toko buku.
“...Apa kau punya SIM?”
“Yeah.”
“Bagus sekali. Kurasa tidak ada masalah lagi.”
Dia menganggukkan kepalanya.
Dia menganggukkan lagi kepalanya.
“...Apa benar-benar penting punya orang yang
memiliki SIM daripada yang bisa membaca?”
“Orang yang bekerja di toko buku bekas itu
tidak perlu tahu isi buku-buku disana, yang dia perlu tahu hanya harga bukunya.
Sebenarnya bagus jika kau bisa membaca banyak sekali buku, dan kau juga bisa
belajar meski tidak pernah membacanya. Bahkan, banyak sekali pekerja di toko
buku bekas yang tidak membaca buku diluar jam kerja mereka. Mungkin jika ada
karyawan yang sudah membaca banyak sekali buku akan terlihat seperti orang
aneh...”
Akupun membuka mulutku. Kesanku terhadap toko
buku bekas tiba-tiba hancur begitu saja, dan aku merasa kalau aku sudah
mendengar sesuatu yang tidak boleh didengar.
“Ngomong-ngomong, aku sudah merencanakan
untuk memindahkan sejumlah besar buku dari suatu tempat, jadi punya SIM itu
adalah sesuatu yang penting. Aku juga sedang melakukan evaluasi dan penilaian
dari buku-buku itu, jadi asal kau bisa mengikuti instruksiku, Goura-san...”
“Ta-Tapi...Bukankah ada orang yang lebih
cocok dariku?”
“Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kau
senang ketika mendengarkan orang bercerita tentang suatu buku?”
“Eh? Ah, benar.”
“Aku sangat cerewet sekali ketika bercerita
tentang buku...Para karyawan paruh waktu yang bekerja sebelumnya mengundurkan
diri karena mereka tidak tahan denganku. Aku benar-benar kesulitan untuk
menemukan orang yang bisa bekerja denganku.”
Jadi dia ingin mempekerjakanku dan membiarkanku
mendengar kata-katanya? Ketika aku hanya diam saja, dia membuka matanya,
seperti pura-pura memohon bantuanku. Kepalaku mulai terasa panas ketika melihat
matanya yang berkaca-kaca. Ekspresi semacam ini harusnya dimasukkan sebagai
bentuk kejahatan.
“Ngomong-ngomong, toko buku kami membutuhkan
banyak sekali pekerjaan fisik, dan banyak hal untuk diingat. Toko kecil kami
juga memberikan gaji yang lebih dari cukup...”
Aku merasa mustahil untuk membiarkannya
begitu saja sendirian, tapi aku tidak menjawabnya. Dia mencondongkan tubuhnya
ke arahku sementara dirinya dikelilingi oleh bukit buku, dan hampir jatuh dari
kasurnya.
“...Apa kau tidak berminat dengan pekerjaan
itu?”
Aku tiba-tiba teringat dengan kata-kata yang
diucapkan nenekku ketika di rumah sakit.
Kalau
kau bisa membaca buku, hidupmu pasti akan berubah drastis.
Gadis ini adalah seorang kutu buku yang
selalu membaca. Aku bukannya cukup puas dengan keadaan diriku yang sekarang,
tapi aku merasa kalau dari dalam hatiku, aku ingin bisa hidup diantara tumpukan
buku-buku ini.
Dan juga – aku selalu memikirkan tentang
Yoshio Tanaka. Sepertinya, dia adalah kutu buku seperti nenekku dan Shinokawa.
Jika dia memang tinggal di dekat sini, mungkin dia akan muncul di Toko Biblia.
“Baiklah, aku paham.”
Aku sudah siap, dan berdiri sambil
mengangguk.
“Tapi, aku punya satu syarat.”
Dia terlihat memasang ekspresi serius ketika
mendengarkan permintaanku.
“...Apa itu?”
“Bisakah kau menceritakan kepadaku tentang
novel Soseki Natsume yang berjudul Dan
Kemudian? Ceritanya seperti apa? Aku ingin tahu lebih jauh.”
Buku-buku yang diwariskan dari tangan satu ke
tangan yang lain tidak hanya mewariskan isinya saja, tapi mewariskan ceritanya
masing-masing.
Aku belajar tentang cerita bagaimana nenekku
menjadikan volume 8 : Dan Kemudian
sebagai harta terbaiknya. Juga, aku sangat tertarik dengan cerita buku itu –
meski aku tidak bisa membacanya hingga selesai.
“Tentu saja.”
Dia
mengangguk dan tersenyum. Wajahnya yang tersenyum itu membuatku tidak bisa
memalingkan pandanganku darinya. Dia seperti teringat sesuatu ketika melihat ke
arah langit di luar jendela. Tidak beberapa lama kemudian, bibirnya yang manis
mengeluarkan suara yang lembut.
“Cerita dari Dan Kemudian itu adalah novel yang diterbitkan di Harian Pagi pada
tahun ke 42 jaman Meiji. Ini adalah bagian dari trilogi yang berkaitan dengan Sanshiro dan The Gate...”
Apa dia akan menceritakan dari latar belakang
novelnya? Tampaknya kita akan terlibat pembicaraan yang sangat panjang. Aku
mendengarkan tiap kata darinya sambil menarik kursi bundar itu ke samping kamar
tidurnya.
x Chapter I | END x
terimakasi byk,, sdh menterjemahkn ku harap selesai membaca semua ^^
BalasHapus