Senin, 02 Desember 2019

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol.14 Chapter 1 : Meski Begitu, Keseharian Hikigaya Hachiman Terus Berlanjut (1)







Percikan air membasahi wajahku, membuat riak-riak di atas permukaan air. Pagi yang sunyi dan hanya terdengar suara riak air memang agak menyeramkan.

Kubuka perlahan kedua mataku, terdapat pantulan cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Di permukaan air tersebut muncul sesosok wajah yang familiar, melankolis, dan kedua matanya yang sayu. Kutarik penutup dasar wastafel, dan air yang keruh yang tadinya memantulkan wajahku, kini mulai menghilang.

Kuseka wajahku dengan handuk kering, dan mengembuskan napas yang cukup dalam.Aroma menthol dari pembersih wajah yang kupakai mulai tercium di ruangan ini. Kulihat di depan cermin wastafel, ada sesosok wajah dengan ekspresi malas disana. Meski terlihat malas, mungkin lebih tepat dibilang wajah malas yang segar, karena baru saja terkena air. Ekspresi wajahku memang tampak lebih baik jika dibandingkan semalam. Mungkin, inilah yang terjadi setelah sesuatu berakhir.

Kemarin, kontes yang sudah berjalan hampir setahun di Klub Relawan telah berakhir, aku kalah. Tarikan napasku yang lemah ini, diiringi perasaan lega daripada perasaan sedih.

Sekarang, semuanya sudah berakhir.

Yang tersisa bagiku adalah melaksanakan permintaan yang sudah diberikan kepadaku, permintaan yang hanya harus dilakukan olehku seorang.

Permintaan Yukinoshita Yukino adalah menjalankan keinginan dari Yuigahama Yui, itulah yang harus kulakukan.

Kugunakan Nivea Face Lotion di wajahku, lalu membersihkan kedua tanganku seakan-akan aku sudah siap untuk melakukan aktivitas hari ini.

Musim berganti seiring bergantinya penanggalan di kalender, dimana wajar saja kalau merasakan temperatur air mulai menjadi sedikit hangat dari biasanya, dan membuat kegiatan mencuci wajah di pagi hari lebih santai dari biasanya. Meski begitu, jari-jariku masih terasa dingin. Kuselimuti jari-jariku sejenak dengan handuk, lalu meninggalkan kamar mandi.

Rumahku sendiri, meski tidak bisa dibilang besar, sepertinya sedang dalam sebuah kesunyian yang mendalam, dimana tidak ada satupun suara yang terdengar. Hanya suara dari jarum detik jam dinding yang mengisi kekosongan di ruang keluarga ini.

Biasanya, aku habiskan waktuku di kamar tidur saja. Kalau kedua orangtuaku, antara mereka sedang tidur pulas, atau sudah pergi kerja karena kesibukan yang tinggi di akhir tutup buku perusahaan. Entahlah, kurang lebih seperti itu, tapi bukan masalah yang serius.

Aku berjalan menuju dapur, dan menyiapkan pemanas air. Sambil menunggu air mendidih, kuambil botol kopi bubuk di sampingku, kugoyang-goyangkan sekali, dua kali. Tiba-tiba, suara berderit muncul dari pintu ruang keluarga yang baru saja terbuka.

“Whoa...Menakutkan...” kataku, sambil berusaha menenangkan diriku yang baru saja ketakutan.

Kulihat dengan seksama pintu tersebut, ternyata yang muncul adalah kucing kami, Kamakura, dia terlihat menguap dan berusaha merenggangkan tubuhnya. Aku tidak tahu persisnya kapan, tapi kucing ini mulai bisa membuka pintu dengan memukul-mukul dan bergelantungan di gagang pintu. Dia pernah membuatku takut setengah mati ketika melakukannya tengah malam.

Kulihat kembali mugku, ada tumpahan bubuk kopi gara-gara efek spontan dariku yang baru saja terkejut.

“Bisa tidak lain kali masuknya lebih tenang...? Kalau saat ini adalah momen dimana kau menghadiri interview, kau sudah dinyatakan gagal.”

Tentunya, Kamakura tidak mempedulikan kata-kataku, dan mulai sibuk menjilati cakar-cakarnya. Kulihat dirinya sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak lama kemudian, dari belakang Kamakura muncul Komachi yang memakai piyama. Setelah menyadari kehadiranku, dia menggosok-gosok kedua matanya dan menyapaku dengan kondisi setengah menguap.

“Oh, Pagi Onii-chan.”

“Yeah, pagi.” Kuanggukkan kepalaku.

Komachi lalu berjalan menuju kulkas dan mengambil susu karton. Kuambil secangkir gelas dari dapur untuknya, dan menawarkan gelas tersebut kepadanya. Dia mengambil gelas tersebut, berterimakasih kepadaku dengan suara yang menggumam, dan sempoyongan berjalan menuju meja kotatsu. Kamakura mengikutinya sambil merayu Komachi untuk memberinya susu juga. Komachi bermain dengan Kamakura dengan menggosok-gosokkan kaki Kamakura ke kepala Komachi.

Komachi lalu mengisi gelasnya dengan susu, dan meminumnya hingga habis. Setelah diam sejenak, dia membetulkan posisi badannya seakan-akan memberitahu kalau dia sudah sepenuhnya terjaga. Komachi membuka kedua matanya dan melihat ke arahku. Setelah itu,  dia mengedipkan kedua matanya berkali-kali.

“Apa!? Kalau bangun pagi sekali! Seperti, serius ini!”

“Apa...Kau saja yang lemot...Serius, lemot sekali...”

Komachi lalu menajamkan pandangan matanya, dengan susu yang belepotan di bibirnya, dia bertanya.

“Ada apa ini? Apa ada sesuatu hari ini?”

“Tidak, tidak ada. Hanya saja aku kebetulan saja bangun pagi, itu saja...” jawabku, sambil menaruh bubuk kopi di gelasku.

Kuisi gelasku dengan air panas. Aroma yang khas disertai dengan uap yang mengepul seperti membentuk sebuah pola yang tidak bisa bertahan lama. Minuman ini masih terlihat terlalu pekat, tapi dengan adanya tambahan susu dan gula, akan membuatnya terasa pas. Lalu akupun berjalan menuju kotatsu sambil membawa dua buah mug di tanganku.

Komachi berada dalam kotatsu, lalu menaruh Kamakura di pangkuannya, dia merasa heran dengan diriku yang sedari tadi menatap bekas susu yang ada di mulutnya.

“Mmhmm...?”

Dia menatapku dengan keheranan, atau mungkin, sedang mengagumiku. Merasa ini sudah dalam level yang tidak nyaman, aku mengambil tiga helai tissue dan memberikan itu kepadanya.

“Kumis...”

“Oh, oops.”

Sementara dia membersihkan mulutnya, kuambil susu yang berada di atas kotatsu, dan menuangkannya ke dalam kedua mug tersebut. Setelah selesai membuat dua Cafe au laits, aku memberikan satu ke Komachi. Awalnya dia agak keheranan, namun tidak lama kemudian dia menerima mug tersebut dengan senang hati.

“Terimakasih.”

Kubalas terimakasihnya, dan memegang erat-erat mug milikku. Kutiup pelan-pelan untuk sedikit mendinginkan kopiku, dan meminumnya sedikit. Komachi juga meniru apa yang aku lakukan, namun dia melakukannya sambil menatap ke arahku. Ketika kedua pandangan kami bertemu, diapun mengangguk.

“...Oke, katanya kau sudah tidur dengan cukup. Tapi kalau melihat matamu yang membusuk itu, sulit rasanya untuk mengetahui itu benar atau tidak.” Kali ini candaannya memang kelewatan.

Memang jarang bagiku untuk bangun pagi, karena itu Komachi mulai khawatir dengan kesehatanku. Ya ampun, Komachi-chan, kamu baik sekali...Untuk menunjukkan rasa terimakasihku, akupun tersenyum. Aku sebenarnya orang yang pemalu! Sulit rasanya bagiku untuk bilang terima kasih! Aku lebih baik melakukan hal selain itu.

“Pergi dari sini, kuberitahu ya, aku tidur seperti kayu gelondongan. Mungkin saja rekor tidurku selama ini sudah kupecahkan. Tataplah kedua mataku yang udah terbakar matang ini.” Kataku, kubuka kedua mataku lebar-lebar seperti hendak mengeluarkan Starburst Stream. Meski, itu mirip-mirip Kirito.

Sebaliknya, Komachi melihatku dengan tatapan ragu. Kemudian dia menaruh tangannya di dagu seperti hendak memikirkan sesuatu. Tidak lama kemudian, dia memiringkan kepalanya.

“...Terbakar matang, seperti?” tanyanya. Melihatnya seperti itu, membuatku merasa tidak nyaman. Ketika mulutku hendak mengatakan sesuatu, dia tersenyum.

“Yang terpenting, kau ini baik-baik saja.”

“Yeah, jangan khawatir. Tidurku nyenyak, meskipun tidak lama.”

Sebenarnya, tidurku semalam memang nyenyak. Seperti baterai yang baru saja di-charge penuh, entah karena merasa terbebas dari stress karena kesibukan belakangan ini atau karena kelelahan sampai pulang larut. Saking nyenyaknya, aku tidak bermimpi apapun.

Meski alasannya seperti itu, sebenarnya ada beberapa hal yang terjadi sebelum aku benar-benar berada dalam fase “tidur lelap”. Itu karena tadi malam aku terus menatap handphoneku  setelah melemparnya ke kasur. Aku bingung ketika hendak menghubungi Yuigahama tentang kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini. Aku terjebak dalam dalam sebuah loop diantara aku mencoba menulis pesan yang terlalu pendek, atau terlalu malam, dan juga berkali-kali menghapusnya, lalu menuliskan kembali. Tiba-tiba, mataku terasa berat dan secara tidak sadar aku tertidur ketika memikirkan apakah sopan bila menghubunginya pada larut malam ataukah aku harusnya membicarakan itu dengannya secara langsung.

Kuhitung dengan cermat waktunya sebelum ketiduran, dan kukalkulasi kalau aku akan tidur sekitar 3 jam.

Ada sebuah teori, kalau pola tidur manusia sekitar 90 menit dan terbagi dua tahap: REM, dimana memulihkan kelelahan mental, dan non-REM, dimana memulihkan kelelahan fisik. Kalau hanya ingin bangun dan merasa segar, bangunlah ketika periode REM berakhir, atau dinamakan tidur sejenak.

Kalau kau mampu menguasai teknik ini dan punya pekerjaan, kau akan dijamin aman, seorang SDM yang murah dan bisa menjadi budak perusahaan andalan. Yang kau butuhkan hanyalah tidur selama 90 menit setiap harinya dan kau bisa bekerja untuk selamanya!

Bleh...Itu bisa membunuhku.

Masa depan semacam itu, hanya membunuhku saja, tapi masa depan bukanlah yang terjadi saat ini. Malahan, saat ini aku merasa lebih berenergi dari biasanya. Komachi, yang sudah lama tinggal bersama, sepertinya menyadari hal itu.

“Uh huh...Sepertinya kau memang tampak lebih segar.” Komachi mengatakan itu dengan pelan sambil meminum Cafe au laitnya.

“Lagipula, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.”

Akupun memegangi bahu dan leherku, dan mulai menggerak-gerakkan leherku. Komachi tampak penasaran dan memiringkan kepalanya.

“Maksudku, soal Malam Perpisahan, ingat tidak? Akhirnya, kita akan mengadakannya.”

“Oh, betul. Begitu ya. Kedengarannya menyenangkan!” diapun tersenyum.

Kalau Malam Perpisahan menjadi sebuah event tahunan, Komachi, yang sudah resmi akan menjadi siswi SMA Sobu, bisa berpartisipasi dalam event tersebut. Mungkin, dia sangat antusias karena itu. Hal itupun membuatku merasa sedikit terhibur.

“Terlalu dini untuk membayangkan Malam Perpisahannya, benar tidak...? Kau masih harus menjalani upacara penerimaan, oh tunggu dulu, sebelum itu kau juga harus hadir di acara perpisahan SMP, benar tidak?” akupun baru menyadari itu.

“Yep, itu minggu depan.” Komachi menjawab.

“Serius? Cepat sekali. Tunggu, tanggal pastinya kapan? Lokasi dimana? Apakah keluarga juga diundang?”

“Oh, tidak, tidak tidak, kau jangan datang, itu malah akan membuat acaranya menjadi aneh, tahu tidak? Tidak ada yang mengundangmu. Kau masih harus sekolah, tahu tidak?” dia mengulang-ulang itu, menggoyang-goyangkan tangannya sambil menatapku dengan serius. Sikapnya itu membuatku terdiam dan mulai membuatku jengkel.

Memang, kalau tidak ada yang mengundangmu, maka kau jangan datang. Misalnya saja: acara alumni teman sekelas, atau pertemuan alumni, atau juga pertemuan lingkaran pertemanan. Jika ada orang yang tidak diundang ikut serta dimana tidak ada seorangpun yang mengharapkan itu, maka suasana pertemuan akan kacau. Kemudian, ketika mereka sepakat untuk bubar, akan ada orang yang bertanya langsung atau posting di media sosial, “Uh, jadi akan kutanya satu persatu, kenapa dia bisa datang? Tolong dijawab dengan jujur. Oke, aku akan bertanya pertama kepada Enraku-san.”. Begitulah diskusi dimulai dan akhirnya akan berujung saling sindir, dan menjadi hiburan terbaik hari itu.

Well, tanda tanya besar memang lumrah terjadi ketika ada orang luar tiba-tiba datang dan ikut bergabung. Maksudku, mengapa orang itu datang meskipun tahu mereka tidak diundang? Brengsek.

Ada orang yang bernama Deadline. Orang ini tidak tahu membaca situasinya. Dia akan memanggilmu “Halo, saya Deadline...Saya sekarang berada tepat di belakangmu...” dan ketika kau membalikkan badanmu, dia ternyata berada disana. Pasti suasananya akan menjadi horor waktu itu. Dia pasti sejenis hantu atau iblis, sebuah hal mistis...

Tunggu dulu, bukankah itu artinya Deadline adalah hal yang tidak nyata?

Hal-hal aneh mulai membanjiri kepalaku, tapi jika merunut pengalamanku, deadline dan hari pengiriman memang nyata adanya. Deadline benar-benar nyata. Yang tidak nyata adalah kemungkinan aku akan menghadiri acara kelulusan Komachi.

Akupun bertambah kesal dan menatap Komachi. Dia sendiri sedang menyilangkan lengannya, dan tampak kurang senang. Kerutan di alis matanya merupakan penanda kalau ini adalah momen dimana aku tidak boleh mengatakan hal yang konyol seperti “Tidak apa-apa! Onii-chan memang tipe orang yang tidak pernah diundang apapun, jadi aku akan baik-baik saja! Bahkan ketika seseorang menatapku dengan tatapan serius, aku akan baik-baik-saja! Aku sudah terbiasa!”.

“...Yeah, yeah, aku paham. Aku tidak akan datang.” Kataku, sambil menggerutu. Komachi lalu bernapas lega dan menutup kedua matanya, seperti puas akan responku.

“Selama kau mengerti...Tapi jujur saja, kurasa aku akan menangis dan merasa sangat memalukan jika kau melihatku,” dia mengatakan itu sambil memalingkan pandangannya dariku.

Sebagai kakaknya, aku sudah paham ekspresinya yang seperti ini, jadi aku tidak butuh waktu lama untuk memikirkan itu, tapi kurasa itu harusnya tidak dilakukan lagi karena mengingat umurnya yang sudah seperti itu. Tunggu dulu. Tentu saja, ada sesuatu yang terpikirkan olehku. Seperti betapa manisnya dia! Maksudku, dia tidak harus menangis, karena dia selalu, maksudku, selalu manis. Lihat saja dia, cara dia mengganti topik pembicaraan dengan pura-pura batuk saja sudah manis. Cara dia tersenyum untuk menyembunyikan rasa malunya juga manis. Dan terakhir, bibirnya ketika sedang berbicara juga manis!

“Jadi, aku tidak masalah jika merayakan kelulusanku diluar acara itu!”

“Betul...Aku akan memikirkan dahulu seperti apa. Aku dulu tidak melakukan apapun waktu hari ulang tahunmu dulu.” Kataku, sambil meminta maaf. Belakangan ini aku merasa terlalu sibuk dengan urusanku, sehingga harus menunda beberapa hal, dan aku menyesal tidak merayakan ulang tahunnya bersama-sama.

Komachi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak apa-apa, kau tidak perlu memaksakan dirimu seperti itu. Aku tidak masalah kalau kegiatannya di sela-sela kesibukanmu. Lagipula semuanya sedang sibuk, benar tidak? Seperti, dengan acara Malam Perpisahannya.”

Mendengar itu membuatku terdiam sejenak, meski dia mengatakan itu hanya sekedar mengisi topik.

“...Yeah, kau benar. Yeah...Tunggu, aku punya banyak waktu luang. Memang benar, aku ada pekerjaan yang harus kulakukan, hanya saja aku belum merencanakan itu.” Aku mengatakannya dengan terburu-buru, sambil menggerakkan bahuku agar terlihat meyakinkan. Tapi, usahaku itu tampak tidak memberikan hasil. Dia sudah hidup bersamaku lebih dari 15 tahun, dia tahu betul gestur dan karakterku. Meski aku terlihat berhasil menyembunyikan sesuatu ataupun bisa memberikan alasan yang logis, dia pasti tahu sesuatu.

“Hey...” dia tidak melanjutkan kata-katanya, dan meminum minumannya terlebih dahulu. Cafe au laitnya tampak berusaha melembabkan bibirnya yang kering, dan dia tampak ragu apakah terus melanjutkan itu atau tidak.

Aku tidak perlu mengatakan apapun, karena aku sudah tahu apa yang hendak dia tanyakan. Kutunggu dia menyelesaikan kata-katanya, sambil kuminum cae au laitku.

“Onii-chan, apakah terjadi sesuatu?” dia bertanya kepadaku dengan hati-hati, dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.

Beberapa waktu yang lalu, dia bertanya tentang hal yang sama. Kata-kata yang sama persis di hari setelah event Darmawisata Sekolah yang terjadi pada akhir musim gugur atau awal musim dingin. Dulu, dia menanyakan itu sambil becanda, namun berbeda kali ini. Sikapnya agak ragu mungkin karena pertengkaran setelah dia menanyakan itu dulu, pertengkaran yang sudah lama tidak pernah kita lakukan. Tapi, kali ini sepertinya dia sudah kehabisan opsi selain bertanya langsung, bukannya itu hobinya atau merasa senang dengan yang menimpaku, tapi karena dia ingin meringankan bebanku, meski itu artinya bisa jadi pertengkaran jilid selanjutnya. Kepeduliannyalah yang membuatku tergerak untuk mengatakan sesuatu.

“...Yeah, memang terjadi sesuatu.” Gumamku.

Komachi tampak terdiam, seperti terkejut dengan responku. Dia mengedipkan matanya dua sampai tiga kali, seperti masih dalam kondisi kaget, lalu dia mengatakan sesuatu dengan pelan.

“Terjadi sesuatu ya, huh?”

“Yeah, banyak sekali yang terjadi...” kataku dengan senyum yang kecut. Entah mengapa, kata-kataku tampak lebih nostalgia dari biasanya, seperti merasa nostalgia dengan rumah yang tidak bisa kudatangi lagi. Kata-kata tersebut juga diselimuti fakta kalau hari-hari yang membahagiakan itu sudah berakhir.

“Banyak sekali ya, huh?”

“Yeah,” jawabku, suaraku tampak lebih meyakinkan dari yang kukira. Kutatap Komachi tanpa rasa ragu sedikitpun.

“Begitu ya,” dia menjawabnya, dan terdiam. Sambil berpikir, dia menatap ke arahku.

“Huh? Apaan?” Tanyaku, aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian ini.

“Oh bukan begitu, aku baru saja berpikir kalau sikap jujurmu tadi itu terasa menjijikkan,” dia menjawabnya dengan begitu saja.

“Wow...Bukannya kau yang tanya duluan?” tanyaku.

“Maksudku, aku tidak pernah menduga kalau kau akan menjawabnya,” jawabnya, sambil menggerutu.

“Oh, benar...Yea, benar juga.” Kataku, dan diapun mengangguk.

Benar. Biasanya aku akan mengalihkan topiknya. Bisa juga aku mengambil sikap pasif-agresif dan memberinya kode untuk berhenti membahas itu lagi. Tapi kali ini, aku memilih untuk tidak lari dari topik tersebut, malahan memberitahunya dengan tersenyum. Karena itulah, dia terlihat curiga, bahkan sekarang mulai cemas denganku.

“...Boleh tahu ada apa?”

Dia tampak memilih kata-katanya dengan hati-hati. Akupun membuat gestur berpikir dan melihat ke arah jam dinding. Dia meniru gesturku, melihat ke arah jam, dan menatapku kembali, seperti menunggu kata-kataku selanjutnya.

Sebenarnya masih banyak waktu sebelum pergi ke sekolah, tapi jika aku mulai bercerita sekarang, maka akan memakan banyak sekali waktu. Lagipula, ini bukanlah pembicaraan yang cocok untuk dilakukan di pagi hari. Lagipula, ada hal yang harus kulakukan terlebih dahulu. Kalau melihat situasinya, menceritakan itu kepadanya saat ini, malah hanya memberinya info yang setengah-setengah, dan membuatnya sulit menangkap inti permasalahannya. Tidak banyak yang bisa kukatakan saat ini, tapi ada kata-kata yang tepat untuk itu.

“Akan kuceritakan nanti,” kataku.

Ketika semuanya selesai, aku yakin akan menceritakan itu kepadanya, dengan jujur Tapi bukan saat ini, di suatu waktu di masa depan.

“...Oke.” Komachi tersenyum. Dia memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih jauh. Komachi yang kutahu memang yang peduli dengan perasaanku saat ini.

“...Maaf. Mungkin juga nanti kita merayakannya tidak dengan semuanya,” tambahku, aku merasa bersalah jika tidak memberitahunya tentang ekspektasi ulang tahunnya. Beberapa hari lalu, aku membuat request untuk merayakan ulang tahun Komachi, sepertinya requesku tidak akan terpenuhi. Setidaknya, dia sudah tahu sebelum itu.  Aku merasa kalau tidak memberitahunya terlebih dahulu, itu akan membuatku terlihat buruk, meski itu bisa memuaskan egoku.

Sebenarnya cukup sulit memahami sepenuhnya pernyataan yang ambigu dan abu-abu seperti tadi. Tapi, dia menatapku dengan tatapan hangatnya.

“Oh, Oke...Ya sudah kalau memang akhirnya begitu, mau bagaimana lagi,” dia menjawabnya dengan tersenyum. Meski terdengar ceria, aku merasakan nada kesepian dalam ucapannya tadi, meski hanya sebentar.

Dia mengembuskan napasnya, dan menunjuk ke arahku.

“Ingat tidak kata-kataku dulu? Aku tidak peduli kalau kau menjadi Onii-chan yang terburuk sepanjang sejarah.”

“Be-Benar...”

Dia lalu memukul pipiku dengan jarinya.

“Sebenarnya, memang lebih nyaman berdua saja, karena aku akan membuatmu terkejut dengan hadiah yang kubawa! Maksudku, bagaimana malunya kalau ada orang lain yang melihatnya!” dia mengoceh kesana-kemari, pura-pura tidak peduli, dan berusaha mendinginkan wajahnya yang tampak memerah.

“Ha-Hadiah apa itu? Pemberitahuanmu barusan sudah membuatnya kurang mengejutkan, meski begitu itu hampir membuatku menangis...” Candaku, berusaha mengikuti skenarionya.

“Benar kan? Nilainya sangat tinggi di Point Komachi!”

“Yeah...Itu juga tinggi di Point Hachiman, meski...AKu sendiri tidak yakin kalau nantinya bisa pura-pura terkejut...”

Aku yang memasang ekspresi keheranan, membuat Komachi memasang ekspresi serius, lalu dengan setengah becanda dia mengatakan sesuatu.

“Ya sudah, kita tinggal menggelar acara yang menyedihkan dan dihadiri kerabat dekat saja.”

“Kenapa seperti itu? Apa itu semacam acara pemakaman? Bukankah itu terdengar seperti upacara pemakaman, benar tidak...?” gumamku, sedang Komachi hanya tersenyum jahat kepadaku.

“Ngomong-ngomong, ayo sarapan!” katanya.

Dia berdiri dan menuju ke dapur sambil menyanyikan lagu. Kamakura tampak mengikutinya dari belakang, sepertinya sekarang memang sudah masuk waktu sarapan. Kamakura tampak merenggangkan tubuhnya, mencakar lantai sambil berjalan pelan. Woi, berhenti, lantainya nanti lecet-lecet!

Suara cakarnya di lantai membuat telingaku gatal, kalau dipikir-pikir lagi, mungkin memang sudah waktunya kukunya dipotong. Tiba-tiba, suaranya terhenti. Ketika kulihat, dia sedang menatapku dan seperti meminta perhatianku.

“Oh, Onii-chan, bisakah kau ambilkan mainan kucing disana?” tanya Komachi, sambil melihat ke arahku dari dapur.

“Oke.”

Akupun berdiri, dan Kamakura menggesek-gesekkan kepalanya ke kakiku. Karena Komachi sibuk, dia memutuskan untuk pergi kepadaku. Ya ampun, dia ini anak yang pintar.

Kulihat ke arah jam, sepertinya kita akan sarapan lebih awal dari biasanya. Jarang sekali aku bangun sepagi ini. Memang sudah lama sejak terakhir kalinya aku bermain dengannya, tapi hari ini, aku akan menghabiskan waktuku dengan kucing rumah tercinta kami.





x Chapter 1 Part 1 | End x

17 komentar:

  1. Pola nya sama, hehehe, sehat selalu min
    nyuri waktu pas istirahat jam kerja, loh nongol chap 1
    Sangkyuuuuu

    BalasHapus
  2. Lanjut min!! Makasih translate nya

    BalasHapus
  3. Saya Ampe keluar air mata bacanya .
    Apa gw yg lebay yah haha.
    Terimakasih untuk sebesar-besarnya admin.
    Dan sehat selalu

    BalasHapus
  4. Akhir mantap lah ngetl disaat kerja semangat terus min

    BalasHapus
  5. Volume 12 ama 13 gk di lanjutin? Di reddit ny oregairu udah lengkap loh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rencananya akan dilanjutkan setelah vol.14 chapter 3. BTW kalau bisa login google dulu agar jelas siapa komentar siapa, soalnya bingung banyak anonim.

      Hapus
  6. Soryy admin saya belum daftar

    BalasHapus
  7. prelude ny gk lengkap min
    apakah ada masalah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. prelude ny gk lengkap min
      apakah ada masalah dlm translasinya?

      Hapus
  8. mantap bang aoi. btw, gak bikin analisis di akhir bagian? padahal, analisisnya bang aoi itu salah satu yang paling ditunggu lo haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha, nanti akan saya taruh. Sekarang fokus kerjain TL dulu.

      Hapus