Rabu, 11 Desember 2019

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol.14 Chapter 1 : Meski Begitu, Keseharian Hikigaya Hachiman Terus Berlanjut (3)






Bermacam-macam suara menghiasi jam pulang sekolah kali ini: suara pemukul baseball, teriakan untuk memberitahu arah bola, dan juga suara latihan drum band. Semakin jauh suaranya, semakin jelas jenis-jenis suara yang kudengar.

Kami baru saja melewati gerbang sekolah, tepatnya baru saja melewati momen padatnya lalu lintas jam pulang sekolah. Tidak banyak yang memilih jalur yang kami lewati ini. Jalan kecil yang mengarah ke sebuah kompleks hunian, dan sekitarnya memiliki taman, dimana taman tersebut banyak sekali dedaunan yang ditiup angin musim dingin ini. Kutuntun sepedaku di jalan yang sepi ini, berjalan lebih lambat dari biasanya untuk menyamakan langkahku dengan langkah Yuigahama.

“Maaf sudah menyita waktu luangmu.”

“Oh, tidak apa-apa,” katanya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Akupun mengangguk untuk membalas gesturnya.  Keinginanku untuk berbicara beberapa saat lebih awal nampaknya tidak terjadi, tapi setidaknya aku barusaja memulai percakapan yang akan menyelesaikan masalah ini untuk selamanya.

Jadi, kata-kata apa yang harus kukatakan selanjutnya? Kalau aku hendak menjelaskan dari awal, maka itu akan memakan waktu. Kalau ada tempat yang tenang untuk berdiskusi, kurasa itu akan lebih baik, karena kalau ada orang di sekitar, akan menarik perhatian orang sekitar dan akan timbul kesulitan untuk membicarakan sesuatu. Kalau merunut hal tersebut, maka Saize atau Kafe bukanlah tempat yang tepat. Hmm...

Ketika hal itu berkecamuk di pikiranku, Yuigahama tiba-tiba mengatakan sesuatu.

“Oh iya, kudengar dari Yukinon kemarin. Malam Perpisahannya sudah mendapat lampu hijau ya?”

Kata-katanya tadi membuatku terkejut, dan membuatku hampir terdiam. Tapi, kedua kakiku tetap berjalan dan akupun mengatakan sesuatu untuk menghilangkan kesunyian ini.

“Y-Ya...Kau diberitahu olehnya ya?”

“Yep, aku diberitahu tadi malam sih. Dia menghubungiku lewat LINE, kami bertemu, kemudian mendiskusikan itu,” kata Yuigahama sambil memasang senyum, meski begitu dia sedari tadi hanya menatap ke arah jalanan saja.

“Be-Begitu ya...” Kataku, dengan senyum yang ironis. Tidak ada yang aneh kalau dia tahu, karena seperti itulah hubungan mereka. Yuigahama sendiri merasa khawatir apakah kita bisa menggelar acara itu atau tidak,  jadi wajar saja kalau dia tetap berhubungan dengannya untuk mengetahui kelanjutannya.

Tapi, sikap Yukinoshita Yukino memang menunjukkan dirinya yang dulu. Di suatu titik, dia sangat cepat dan tepat. Di lain titik, dia terburu-buru mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kondisi, ekspektasi, atau hal-hal lainnya. Hal itu memang sangat nostalgia.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidaklah banyak berbeda. Aku selalu plin-plan seperti biasanya. Setiap waktu, aku harus mencari alasan untuk melakukan sesuatunya, misalnya kemampuanku untuk mengirim mail yang sederhana. Setelah semalaman memikirkan itu, akhirnya aku bisa berbicara langsung ke orang yang dituju, dan akhirnya terciptalah situasi yang sekarang ini kuhadapi. Tapi setidaknya, itu bisa membuatku mengambil keputusan akhir.

“Bagaimana kalau kita berbicara disana?” kataku, sambil menunjuk sebuah area taman.

“...Oke.” Yuigahama mengatakan itu sambil mengangguk.

Kalau aku tidak mendiskusikan situasi kita saat ini, maka aku cukup yakin kalau ini akan ditunda-tunda hingga beberapa hari kemudian.

Kubeli sekaleng kopi dingin dan teh botol hangat dari mesin penjual minuman terdekat, lalu menuju ke taman. Kuparkir sepedaku di dekat bangku taman yang disinari lampu jalanan, lalu aku duduk disana. Kupersilakan Yuigahama duduk dengan gestur wajahku, dia tampak meremas tali tas ranselnya. Ekspresinya tampak tegang, namun perlahan menghilang ketika datang menghampiriku. Ketika kukira dia hendak duduk, dia malah menaruh ranselnya di bangku.

“Wow, sepertinya sudah lama sekali aku belum kesini.” Yuigahama lalu berjalan mengelilingi jalan setapak taman seperti orang yang baru pertamakali kesini. Dia lalu terdiam dan menatap sesuatu. Ketika kulihat, dia sedang menatap sebuah ayunan, hal yang biasa kau temukan di TK manapun. Tidak ada yang spesial dari itu, tapi Yuigahama tampak bergegas menujut ayunan tersebut.

“Um, Apa? Halo?” akupun mencoba menghentikannya, tapi dia sudah terlanjur berdiri dan memegangi rantai ayunan disana. Aksinya itu membuatku terdiam, dan diriku mulai bergegas menuju arahnya.

“Whoa, ayunannya kecil sekali. Apa memang seperti ini ukurannya?” tanya Yuigahama, sambil duduk di ayunan tersebut. Tidak lama kemudian, dia mulai mengayun, dan suara rantai yang bergerak mulai terdengar.

“Ya ampun, wow! Sudah lama aku tidak naik ini, ternyata cukup menyeramkan juga!”

Dia lalu menghentikan ayunannya, menapakkan kedua kakinya di tanah, dan mengembuskan napas leganya. Di momen itu, akupun memberikan teh botol itu kepadanya.

“Kau dulu tidak perlu mengkhawatirkan apapun, namanya juga anak-anak. Aku sendiri biasanya langsung lompat dari ayunan itu dan ujung-ujungnya lututku selalu terluka.”

Yuigahama menerima teh botol tersebut, mengucapkan terimakasih, lalu meminumnya.

“Ohh, aku juga seperti itu, kalau tidak salah...Kupikir, kau bukan tipe orang yang akan melakukan itu, Hikki,” katanya, sambil memegangi rantai ayunan. Dia lalu melihat ke arahku, menginjakkan kakinya beberapa kali ke tanah. Dia lalu memberikan gestur untuk mempersilakanku duduk disana. Tapi, aku tidak menyambut tawarannya. Malahan, aku duduk bersandar ke pagar. Kubuka kaleng kopiku, dan mulai membasahi tenggorokanku yang kering.

“Yuigahama,” kataku, lalu aku minum seteguk kopi tersebut dan melanjutkan. “Katakan padaku apa keinginanmu.”

Dia terdiam sejenak, seperti tidak menangkap apa maksudku, lalu tersenyum.

“Apa maksudmu?”

“Begini. Apakah kau punya permintaan yang bisa kulakukan, atau ingin aku melakukan sesuatu untukmu?” tanyaku.

“Ehh?” dia kemudian menaruh tangannya di pinggang, dan mulai berpikir. Dia tiba-tiba mengatakan sesuatu.

“Banyak sih. Seperti, ingin kau bersikap natural ketika berbicara kepadaku, atau ingin kau berhenti mencuri pandang ke arahku, atau aku ingin kau membalas mailku lebih cepat, atau aku ingin kau berhenti jadi orang yang plin-plan, oh, juga begini-“

“Oke, oke, maaf sudah dilahirkan, oke? Lagipula, apa aku memang seburuk itu? Apa aku sebegitu menjijikkannya...”

Yuigahama mulai melipat jari-jarinya seiring dirinya menyebut hal-hal tersebut, dan kuhentikan itu sebelum dia melanjutkannya lagi. Kalau diteruskan lagi, aku bisa-bisa akan terserang depresi. Ketika aku mulai jijik dengan diriku sendiri, Yuigahama memiringkan kepalanya dan menatapku.

“Kenapa baru sadar sekarang...?”

“Menyakitkan bila mendengar hal-hal itu dari orang lain. Maksudku, banyak sekali yang kausebutkan, dan panjang-panjang juga, semuanya mengkritisi diriku, dan itu sangat menyakitkanku...Percaya atau tidak, aku tidak ada niatan untuk memperbaiki itu.”

“Kupikir kau tidak akan melakukannya, jadi lupakan saja...” dia tampak menyerah, dan menurunkan posisi bahunya.

Aww, dia menyerah terhadapku...Setiap hal yang kau katakan tadi akupun sadar akan hal itu, dan aku akan melakukan yang terbaik untuk itu...Lagipula, akan ada beberapa hal yang tidak akan bisa berubah, meski aku berusaha merubahnya secara perlahan, jadi yang bisa kulakukan hanya meresponnya dengan senyum yang kecut.

“Oh, juga, kupikir akan bagus jika kau tidak membiasakan diri merencanakan sesuatunya secara mendadak. Tidak masalah kalau aku ada waktu luang, tapi akan lebih baik jika aku diberi waktu untuk mempersiapkan diri dan sejenisnya.”

“Ah, betul. Maaf.”

Memang benar kalau belakangan ini aku sering meminta waktunya secara mendadak. Sepertinya dia tadi memang hendak membahas akan pergi kemana setelah pulang sekolah bersama Miura Cs, jadi aku merasa bersalah dan meminta maaf. Dia lalu mengangguk seperti menerima permintaan maafku.

“Dan juga...”

“Aku harus meminta maaf juga atas kata-kataku tadi? Ya sudah, aku minta maaf ya, oke?” kataku. Yuigahama mengatakan itu sambil tertawa, dan akupun tersenyum.

Akupun mulai membayangkan betapa mudahnya hidup kita jika kita selalu bisa berdiskusi semacam ini; selalu bisa menghindari membicarakan hal penting, berpura-pura semuanya baik saja, dan tidak pernah menyentuh akar permasalahan. Tapi membiarkan diriku terlena dengan segala kemewahan itu, sama saja dengan mengkhianati apa yang sudah kupercayai selama ini.

“...Sebenarnya, itu bukanlah jawaban pertanyaanku tadi,” kataku, suaraku tampak lebih lembut dari biasanya.

“Lalu, ini tentang apa?”

“Ini tentang perlombaan tempo hari. Dimana kau bisa meminta orang lain melakukan sesuatu untukmu jika kau menang.”

“...Tapi itu kan belum selesai.”

Nada suaranya seperti kesal akan sesuatu. Bagi orang yang baru saja menjelaskan bagaimana orang dewasa harusnya bersikap, kali ini dia benar-benar terlihat seperti anak kecil. Ini sedikit menggangguku.

“Ya, begitulah...Tapi aku sudah menyatakan kekalahanku. Jadi perlombaan itu telah selesai.”

“Tapi hanya kau saja yang menganggapnya begitu.”

Langit di barat, tampak mulai gelap, dan terlihat beberapa bintang disana.

“Tidak, aku memang kalah. Aku bahkan bisa menerima kekalahanku,” kataku, sambil menatap ke langit tersebut.

Sebenarnya, aku benar-benar menerima kekalahanku. Masalah apakah Malam Perpisahan bisa diadakan atau tidak, ternyata diluar dugaan menjadi kasus puncak dari kompetisi ini. Yukinoshita tahu kalau usul Malam Perpisahan dariku hanyalah akal-akalan untuk membuat usulnya terlihat lebih baik, lalu menerima kontes ini dalam keadaan tahu kalau itu semua hanya akal-akalanku saja. Dengan kata lain, aku salah membaca kartunya; aku tidak salah dalam membaca strateginya, tapi aku salah dalam membaca determinasinya.

Akupun mengembuskan napasku, membuat tubuhku terasa rileks.

Selama yang kalah bisa menerima keputusan itu, maka perlombaannya dinyatakan selesai.

“Karena itulah, biarkan diriku melaksanakan keinginanmu,” kataku, akhirnya mengucapkan kata-kata yang sudah lama menghantuiku. Mengucapkan itu saja sudah memakan banyak waktu. Bukan hanya saat ini. Ketika perlombaan dimulai, aku mulai merasa akhirnya aku bisa menyelesaikan apa yang sudah kuhabiskan setahun ini.

Yuigahama lalu menghentikan ayunannya.

“Aku ini orangnya serakah, jadi aku tidak punya hanya satu keinginan...Apa itu tidak masalah? Apakah boleh kalau semua keinginanku dikabulkan?”

Dia lalu menatapku, sambil tersenyum. Akupun hanya bisa menaikkan posisi bahuku.

“Kurasa itu masih standar saja...Selama aku bisa melakukannya, maka akan kulakukan.”

“Kupikir kau harus berhenti melakukan itu,” katanya, sambil memalingkan pandangannya dariku. Akupun terdiam melihat ekspresinya itu.

“Kau selalu seperti ini, Hikki. Kau jelas-jelas tidak bisa melakukan sesuatunya, lalu kau akan mengatakan kalau kau akan melakukan sebisanya, dan pada akhirnya kaupun melakukan itu. Kau selalu memaksakan dirimu sendiri,” katanya, sambil mengayunkan lagi ayunannya.

“Karena itulah, aku berpikir kalau kali ini aku akan meminta hal yang sederhana. Aku sendiri tidak yakin menginginkan apa, tapi ada beberapa hal yang ingin kulakukan.”

“Uh huh, apa itu?” kulihat tatapan matanya.

“Pertama...Aku ingin membantu Yukinon. Aku ingin melihat Malam Perpisahan berlangsung sampai selesai.”

“Begitu ya.”

“Aku ingin merayakan bersama...Klub Game yang itu? Dan juga si Chuuni, bersama Yumiko, dan Hina, dan...”

“Begitu ya...”

“Aku ingin merayakan bersama Komachi-chan juga.”

“Kalau itu betul sekali.”

“Aku juga ingin jalan-jalan ke suatu tempat.”

“Masuk akal.”

Hal-hal yang diinginkan oleh Yuigahama tidaklah mengejutkan. Aku paham mengapa dia ingin membantu event Malam Perpisahan. Aku juga pernah mendengar tentang keinginannya menggelar pesta. Kalau soal merayakan dengan Komachi, malahan aku yang berterimakasih. Kalau soal jalan-jalan, aku sendiri tidak tahu banyak soal jalan-jalan, tapi kalau dia tidak masalah, aku sendiri dengan senang hati akan menemaninya.

Ayunannya mulai melambat dan dia tiba-tiba terdiam.

“Dan juga...” suaranya terdengar pelan, namun tiba-tiba terhenti.

Suara riuh terdengar dari ujung taman. Ketika kulihat, ada sekelompok siswa dan siswi yang sedang lewat. Ketika kulihat, tidak ada wajah-wajah familiar disana. Yuigahama tetap terdiam hingga mereka pergi. Yang tersisa hanyalah suara rantai ayunan yang mulai melemah hingga terdiam sepenuhnya.

Aku juga terdiam, hanya melihat ke arahnya, dan menunggu kata-katanya selanjutnya. Dia tampaknya menyadari apa yang sedang kulakukan, dan mulai tersenyum kepadaku.

“Dan juga, kurasa...Aku ingin mengabulkan keinginanmu, Hikki,” dia tersenyum bersamaan dengan mulai tenggelamnya matahari. Kegelapan mulai mengisi horizon, dan lampu jalanan menyinari sosoknya yang kurus tersebut.

Aku sendiri tidak bisa memberikan respon yang seharusnya. Karena alasanku ada disini adalah untuk melaksanakan keinginan Yukinoshita Yukino. Keinginannya adalah melaksanakan keinginan Yuigahama. Tapi dia bilang ingin melakukan keinginanku. Kalau begini, ini akan menjadi loop yang tanpa akhir.

“Keinginanku? Apa ya...” akupun meresponnya dengan jawaban yang tidak jelas.

“Benar. Jadi pakai waktumu untuk memikirkan itu sambil melaksanakan keinginanku tadi. Aku juga akan memikirkan tentang keinginan-keinginanku yang lain,” Yuigahama mengatakan itu, sambil menapak tanah dan berdiri. Dia berdiri dari ayunan yang masih bergoyang dan menatap ke arahku.

“...Akan kupastikan kalau aku akan memberitahumu soal keinginanku nanti. Karena itu, kau nanti harus memberitahuku apa keinginanmu itu, Hikki.”

Akupun terus menatap ke arahnya, meski cahaya senja terus menyinari mataku. Akupun mengangguk. Setelah dia melihat responku, dia lalu tersenyum manis kepadaku.


x Chapter 1 | End x

8 komentar:

  1. Hanya 2 Light novel yg gw suka. "OREGAIRU SAMA OVERLORD"
    Yg lain gw GK suka.
    Mungkin yg lain gw berakhir menonton anime nya..
    Dan tentunya hanya blog ini yg mentranslate oregairu dengan kualitas terbaik..
    Terimakasih untuk admin yg selalu update.

    BalasHapus
  2. oww owwwww yui akhirnya mengakui kekalahannya

    BalasHapus